BAB I PENDAHULUAN. hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pinjam meminjam, baik untuk modal kerja atau pun modal untuk mengembangkan suatu bisnis. Salah satu motif utama suatu badan usaha meminjam atau memakai modal dari pihak ketiga adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, tambahan modal baru dapat dimanfaatkan untuk memperlancar arus kas perusahaan atau biasa digunakan untuk dalam pengembangan bisnis perusahaan. Sedangkan di sisi lain, salah satu motif utama pihak kreditur atau pemberi pinjaman bersedia memberi pinjaman adalah keinginan untuk memperoleh balas jasa dengan pemberian pinjaman tersebut (misalnya bunga). Kegiatan pinjam meminjam ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam dunia bisnis. Akan tetapi, dalam dunia bisnis juga tidak terlepas dari resiko kerugian-kerugian, bahkan besarnya resiko kerugian dapat menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besarnya balas jasa bagi suatu pinjaman. Melihat hal tersebut maka sangat penting bagi kreditur untuk mengkaji kinerja dan performa dari perusahaan calon debitur apakah layak atau tidak untuk diberikan pinjaman. Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi

2 sanggup membayar hutang-hutangnya. Akan tetapi dalam prakteknya kegiatan bisnis, banyak perusahaan yang menjalankan atau mengembangkan bisnisnya dari pinjaman kredit, baik itu untuk modal kerja maupun modal barang. Kerugian yang dialami perusahaan seringkali akhirnya berpengaruh kepada kemampuan mengembalikan pinjaman kredit tersebut. Imbas yang dapat terjadi dari kerugian tersebut dalam kegiatan bisnis adalah menjadi pailit. Hal tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi, begitu pula pada perseroan. Sepanjang kerugian tersebut tidak sampai menggangu arus kas perusahaan. Hukum kepailitan Negara Anglo Saxon menyebutnya bangkruptcy yang berarti ketidakmampuan membayar utang. Kata bangkruptcy tersebut kemudian diterjemahkan bangkrut dalam bahasa Indonesia 1. Dalam Black s Law Dictionary pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo 2. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata baik dari debitur sendiri maupun dari pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan tersebut sebagai pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tau keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadan ini diperkuat dengan 1 Sentosa Sembiring, 2006, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait Dengan Kepailitan, Nuansa Aulia, Bandung, h Bryan A., 1999, Black s Law Dictionary, West Group, St. Paul, h. 141.

3 putusan pengadilan baik yang mengabulkan maupun menolak permohonan kepailitan tersebut 3. Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil. Lembaga hukum Kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), terutama pasal 1131 dan 1132 tentang piutang-piutang yang diistimewakan, maupun Undang-Undang Kepailitan. Pengertian kepailitan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajian pembayaran utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) menyatakan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan 3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, PT Raja Grafindo, Jakarta, h. 12.

4 mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif, efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat nakal untuk menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu menghindari penagihan. Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma Nomor 1 Tahun 2000). Pemberlakuan lembaga paksa badan dibentuk sebagai upaya pembaharuan dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa

5 badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan keseimbangan hukum dapat tercapai, namun keberadaan lembaga ini masih kontroversial 4. Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan 5. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi pihak debitur yang nakal. Hal ini mendorong pemerintah untuk menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi pihak debitur yang memenuhi kewajibannya, dan mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Paksa badan yang diatur dalam Perma No 1 Tahun 2000 ini berbeda dengan gijzeling sebelumnya, yakni ditujukan kepada debitor mampu, tetapi membangkang tidak mau membayar utang. Dalam Pasal 4 Perma No 1 Tahun 2000 paksa badan hanya dikenakan kepada debitor "kelas kakap" yang mempunyai utang sekurangnya Rp ,00 (satu miliar rupiah). Sejak dikeluarkannya perma tentang lembaga paksa badan pada bulan Juni 2000 hingga kini belum seorang pun debitor yang dikenai paksa badan 6. Sebagai contoh, pengadilan negeri Jakarta Selatan menolak permohonan paksa badan yang 4 Anomin, 2008, Penyelesaian hutang piutang, diakses tanggal 12 Maret Kemal Fasya, 2011, Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak, diakses tanggal 3 Oktober Widodo Dwi Putro, 2014, Dewi Themis Tunduk Pada Konglomerat, diakses tanggal 29 November 2014.

6 diajukan Badan Penyehat Perbankan Nasional (selanjutnya disebut BPPN) terhadap debitor Wellwin Finance (HK) Limited (Ongko Group). Padahal debitor telah mengakui berutang kepada negara sejumlah Rp ,00 (dua ratus tujuh puluh miliar) dan tidak kooperatif. Selain itu juga BPPN melakukan tindakan serupa terhadap Samsul Nursalim, Direktur Bank Dagang Nasional Indonesia dan Group Gajah Tunggal yang juga dinilai tidak kooperatif untuk menyelesaikan utang-utangnya. Contoh lain keluarga Gondokusumo dari Grup Dharmala melalui DeMat Investment berutang 13 juta dollar AS. Sebagai konglomerat, mereka sebenarnya mampu melunasi utangnya, tetapi tak kooperatif. Badan Penyehat Perbankan Nasional lalu mengajukan paksa badan kepada pengadilan negeri Jakarta Selatan terhadap lima anggota keluarga Gondokusumo. Namun, permohonan itu dipatahkan majelis hakim dengan alasan prosedural dan bukti-bukti tidak lengkap 7. Terhadap debitor dan para pengurus perseroan yang non kooperatif, BPPN dan para kreditur telah mengajukan usul paksa badan. Paksa badan seharusnya dapat diterapkan setelah semua persyaratan yang diwajibkan peraturan dipenuhi. Kenyataannya paksa badan tidak pernah dapat dilaksanakan secara efektif, baik dalam penerapan Undang-undang Kepailitan dan PKPU, maupun sebagai pelaksanaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun Alasan yang diajukan di antaranya berkaitan dengan perangkat hukum yang belum jelas dan pasti. 7 Ibid.

7 Dengan uraian diatas, maka saya sebagai saya tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul Pengaturan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi Putusan Pailit 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan kepada perseoran terbatas? 2. Bagaimana pengaturan paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan terbatas yang dinyatakan pailit? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari terjadinya kekaburan dan kesimpangsiuran pembahasan terhadap permasalahan yang dikaji, yang kadang dapat merumitkan kajian yang sesungguhnya, maka perlu diadakan pembatasan-pembatasan terhadap permasalahan yang akan dibahas. Adapun pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Permasalahan yang disoroti dalam karya ilmiah ini terbatas pada perihal tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan kepada perseroan terbatas. 2. Disamping itu permasalahan yang dibahas, terbatas pada perihal pengaturan lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap direksi perseroan terbatas yang dinyatakan pailit.

8 1.4 Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka penulis menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini peneliti akan menampilkan 2 skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pelaksanaan penerapan lembaga Paksa badan terhadap direksi perseroan terbatas yang dijatuhi putusan pailit Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1. Tinjauan Yuridis Terhadap keberadaan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) di Indonesia 2. Analisis Perbandingan Paksa Badan Menurut Hukum Islam Dengan Hukum Positif Indonesia DA Dislan (Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana Universitas Sumatra Utara) Tahun 2010 Siti Hamidah (Program Studi Ilmu Hukum, Program Sarjana Universitas Brawijaya), Tahun Bagaimana pengaturan mengenai lembaga paksa badan (gijzeling) dalam sistem hukum Indonesia? 2.Bagaimanakah keberadaan lembaga paksa badan (gijzeling) dalam Kepailitan? 1.Bagaimana Pengaturan Paksa Badan Menurut Hukum Islam dan Hukum Indonesia? 2.Analisis Perbandingan Posotof Bentuk Eksekusi Paksa Badan Berdasarkan Hukum Islam Dan

9 Hukum Indonesia? Positif Tabel 1.2 DAftar Penelitian Penulis No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1 Pengaturan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) Terhadap Direksi Perseroan Terbatas Yang Dijatuhi Putusan Pailit Luthfi Andriansyah, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun Bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan kepada Perseoran Terbatas? 2.Bagaimana penerapan paksa badan terhadap direksi Perseroan Terbatas yang dinyatakan Pailit? 1.5 Tujuan Penulisan Setiap penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : Tujuan Umum a. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa seperti mengadakan penelitian tentang masalah hukum yang timbul dimasyarakat. b. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.

10 c. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kepailitan dan hukum perusahaan. d. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat Tujuan Khusus a. Mengetahui bagaimana tanggung jawab hukum direksi terhadap putusan pailit yang dijatuhkan kepada perseoran terbatas. b. Mengetahui bagaimana pengaturan paksa badan terhadap direksi perseroan terbatas yang dijatuhi Putusan Pailit 1.6 Manfaat Penulisan Manfaat Teoritis Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan manfaat akademis untuk pengembangan ilmu hukum, terutama hukum kepailitan Manfaat Praktis Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan masukan tentang akibat hukum kepailitan Perseroan Terbatas bagi direksi dan bagi Perseroan itu sendiri. Juga diharapkan dengan penulisan ini akan dapat membawa manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas. 1.7 Landasan Teori Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

11 membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya 8. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum 9. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Dan Pasal 1132 KUHPerdata menyatan bahwa: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut 8 Imran Nating, 2004, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo, Jakarta, h. 2 9 Dadang Sukandar, 2011, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, diakses tanggal 12 September 2014.

12 perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Tujuan Undang-undang kepailitan modern adalah melindungi kreditur konkuren untuk memperoleh hak-haknya sesuai asas yang menjamin hak-hak kreditur dengan kekayaan debitur yaitu prinsip pari passu prorata 10. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masingmasing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. Untuk itu dilakukan sita umum setelah adanya putusan pailit terhadap semua kekayaaan yang dimiliki debitur untuk manfaat semua kreditur 11. Sitaan umum bertujuan untuk mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Berikut ini dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana keberadaannya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum 12 : a. Paritas Creditorium adalah para kreditur baik kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren mempunyai hak yang sama tanpa dibedakan terhadap segenap harta benda debitur sehingga jika 10 Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998, Grafiti, Jakarta, h Elijana, 2005, Inventarisasi dan Verifikasi Dalam Rangka Pemberesan Boedel Pailit, Undang-Undang Kepailitan dan perkembangannya, Pusat Kajian Hukum, Jakarta, h Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Prenada Media Group, Jakarta, h. 27.

13 debitur tidak dapat membayar utangnya maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran kreditur. b. Prinsip Pari Passu Prorate Parte adalah harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagi secara proporsional (prorate) antara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan. c. Prinsip Structured Prorate, bahwa kreditur kepailitan digolongkan secara struktural yang terdiri dari kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren, yang masing-masing kreditur tersebut berbeda kedudukannya. d. Prinsip Utang adalah utang yang dijadikan dasar dalam pengajuan permohoman pailit adalah utang pretasi baik yang timbul sebagai akibat perjanjian maupun timbul sebagai perintah Undang-undang serta adanya pembatasan minimum jumlah utang yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit. e. Prinsip Debt Collection adalah kepailitan merupakan pranata collective proceeding untuk melakukan likuidasi terhadap harta pailit yang selanjutnya didistribusikan kepada para krediturnya karena tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditur akan berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitur untuk kepentingan masing-masing sehingga karena itu hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut collective action problem

14 yang ditimbulkan dari kepentingan individu dari masing-masing kreditur tersebut. f. Prinsip Debt Pooling adalah kepailitan merupakan pranata untuk mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara para krediturnya, dimana kepailitan merupakan proses yang eksklusif yang diatur dengan norma dan prosedur khusus. g. Prinsip Debt Forgiveness adalah kepailitan merupakan pranata hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperingan beban yang harus ditanggunga oleh debitur karena sebagai akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai dengan kesepakatan semula dan bahkan sampai pada pengampunan atas utang-utangnya sehingga utang-utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali. h. Prinsip Universal adalah kepailitan berlaku terhadap semua harta kekayaan debitur pailit, baik yang ada didalam negeri maupun yang ada diluar negeri. i. Prinsip Territorial adalah putusan pailit hanya berlaku di Negara dimana putusan pailit tersebut dijatuhkan dan putusan pailit oleh pengadilan di Negara asing tidak dapat diberlakukan di Negara yang bersangkutan. j. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress yaitu memberi makna bahwa kepailitan merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan

15 dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundangundangan dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama. Maka diberikan syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhi utang dalam jumlah tertentu, maupun syarat kualitatif, yakni diragukan itikad baik pihak pengutang atau penjamin. Indikasi itikad tidak baik tersebut antara lain penanggung utang atau penjamin diduga menyembunyikan harta kekayaan, atau terdapat dugaan yang kuat akan melarikan diri 13. Perseoan terbatas merupakan salah satu bentuk perusahaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia disamping bentuk-bentuk badan usaha lainnya seperti: Koperasi, Firma, CV, dan lain-lain. Perseroan terbatas dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah ditentukan dalam anggaran dasar perseroan 13 Anisia Astuti, 2012, Pengertian dan Syarat Kepailitan, diakses tanggal 1 Juli 2015.

16 terbatas pada saat didirikan. Sebagai badan hukum perseroan terbatas memiliki unsur-unsur yaitu: a. Adanya harta kekayaan yang terpisah; b. Mempunyai tujuan; c. Mempunyai organisasi yang teratur. Unsur-unsur tersebut terkait dengan badan hukum sebagai subyek hukum yaitu subyek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi 14. Dalam pengurusan yang dilakukan organ-organ perseroan terbatas khususnya direksi suatu perseoran, maka terdapat teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: 1. Prinsip Fiduciary duty dalam pengurusan perseroan terbatas Dalam pengurusan perseroan, anggotan direksi merupakan pemegang amanah (fiduciary), karena itu dikatakan bahwa antara perseroan terbatas dan direksi terdapat hubungan fiducia yang melahirkan fiduciary duties bagi direksi 15. Ada 2 (dua) jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yaitu 16 : a. Kewajiban untuk setia yaitu suatu kewajiban yang menghendaki direktur dengan persetujuan dan dengan jujur 14 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum perdata Indonesia, Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, h Try Widiyono, 2008, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor, h Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Pemilik dan Komisaris PT, Forum Sahabat, Jakarta, h. 45.

17 melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya b. Kewajiban peduli yaitu sebuah kewajiban yang menghendaki direktur untuk menjalankan tanggung jawab dengan hati-hati yang mana seorang yang berhati-hati dengan alasan akan menggunakan dibawah keadaan yang sama, ketika bertindak dalam cara yang berbeda. 2. Business Judgement Rule Teori ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik untuk perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. 3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra Vires Adapun yang dimaksud dengan prinsip ultra vires (pelampauan kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat hukum seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan, tetapi tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan. 4. Tanggung jawab berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan

18 pelaku. Dengan demikian, piercieng corporate viel ini pada hakaikatnya merupakan doktrin yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris dan biasanya doktrin ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada perseroan. 1.8 Metode Penelitian Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Metode penelitian normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial process) 17. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis Jenis Penelitian 17 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Gratifi Press, Jakarta, h Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitan Hukum, UI-Press, Jakarta, h. 6.

19 Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif. Adapun jenis penelitian yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literatur Jenis Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The Statue approach). Dimana dalam pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dan pendekatan Analis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) dimana pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal tersebut peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi Bahan Hukum Dengan berpangkal tolak dari pendekatan masalah yanag ada, maka dalam penulisan skripsi ini terdapat bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer: Peraturan Dasar dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku terkait dengan permasalahan yang

20 diangkat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan meliputi: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131); c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); d. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat para pakar (doktrin), serta jurnal-jurnal hukum. 3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan

21 perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan Teknik Analisis Bahan Hukum Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategorikategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Adapun teknik analisa yang dipergunakan yaitu: 1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisa yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 2. Teknik Evaluasi adalah penelitian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak sejutu, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder. 3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin

22 banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS

TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS 2.1 Tinjauan Umum Tentang Paksa Badan (Gijzeling) 2.1.1 Pengertian paksa badan (gijzeling) Dalam Kamus Umum Bahasa

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam, sumber manusia termasuk juga perkembangan di sektor ekonomi dan bisnis. Perkembangan perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang

BAB I PENDAHULUAN. bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak krisis moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan bulan Juli tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan Secara konsepsional inti dari penegakan hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA oleh Raden Rizki Agung Firmansyah I Dewa Nyoman Sekar Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Principle

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan hidup financial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai cara. Orang (orang perseorangan dan badan hukum) yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum 129 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini : 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak masalah. Modal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya, 1 sedangkan kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN

ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN ANALISA MENGENAI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.22/PAILIT/2003/PN.NIAGA/JKAT-PST DALAM PERKARA PT HANIF DINAMIKA YANG DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO 4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN Oleh : Dendi Tjahjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) diatur pada pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan ketidakmampuan membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung. BAB I 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterpurukan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan menyisakan sedikit yang mampu bertahan.

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. Kata kunci: Tanggungjawab, Direksi, Kepailitan, Perseroan Terbatas

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. Kata kunci: Tanggungjawab, Direksi, Kepailitan, Perseroan Terbatas TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 1 Oleh: Climen F. Senduk 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa manusia lain. Hanya dalam kehidupan bersamalah manusia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan dan perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali pelaku usaha baik dalam bentuk

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D 101 09 205 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D

ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D ANALISIS YURIDIS HAMBATAN PELAKSANAAN PUTUSAN KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 NOVALDI / D 101 09 050 ABSTRAK Penulisan ini membahas dan menganalisis faktor-faktor penyebab tidak Sempurnanya

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang. usaha dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu : Perusahaan Perorangan (sole 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan badan hukum, terutama perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan hukum.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. yang secara etimologi dapat diartikan keadaan memburuh, yaitu keadaan dimana. seorang buruh bekerja pada orang lain (pengusaha).

BAB II TINJAUAN UMUM. yang secara etimologi dapat diartikan keadaan memburuh, yaitu keadaan dimana. seorang buruh bekerja pada orang lain (pengusaha). BAB II TINJAUAN UMUM A. Ketenagakerjaan Penggantian istilah buruh dengan istilah pekerja, memberi konsekuensi bahwa hukum perburuhan tidak sesuai lagi. Perburuhan berasal dari kata buruh yang secara etimologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan penurunan nilai rupiah terhadap nilai dolar Amerika yang dimulai sekitar bulan Agustus 1997, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama kurang lebih 32 tahun, kita baru menyadari bahwa pembangunan bidang ekonomi lebih diutamankan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN Riska Wijayanti 1, Siti Malikhatun Bariyah 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan mengkaji

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketenagakerjaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum perusahaan adalah semua peraturan hukum yang mengatur mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian perusahaan terdapat dalam Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pula kebutuhan keuangan, sehingga untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan jika terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI Oleh : Anak Agung Cynthia Tungga Dewi Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU). Pengertian

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu motif utama badan usaha meminjam atau memakai modal adalah keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi jumlah maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan, masyarakat mempunyai kemampuan dan keahlian masing-masing serta cara yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan kemakmuran dan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA. Fenty Riska I 1 PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG) FENTY RISKA ABSTRACT Bankruptcy is a public confiscation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman sekarang semua kegiatan manusia tidak lepas dari yang namanya uang. Mulai dari hal yang sederhana, sampai yang kompleks sekalipun kita tidak dapat lepas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang mempunyai peranan menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan dengan berbagai kebutuhan demi menunjang kehidupannya. Berbagai cara dilakukan oleh manusia demi menjamin kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai keinginan kuat untuk melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian terlebih setelah krisis moneter

Lebih terperinci