TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAKSA BADAN (GIJZELING), KEPAILITAN DAN PERSEROAN TERBATAS 2.1 Tinjauan Umum Tentang Paksa Badan (Gijzeling) Pengertian paksa badan (gijzeling) Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia antara lain dikatakan, paksa merupakan tindakan yang menekan atau mendesak seseorang harus melakukan sesuatu. Jadi paksa badan merupakan tindakan yang ditimpakan kepada jasad atau tubuh debitur sebagai tekanan atau desakan agar memenuhi kewajiban membayar utang yang diperintahkan putusan atau penetapan pengadilan. Menurut Prof. Dr. Soepomo, gijzeling berarti penyanderaan atau ditutup dalam penjara. Maksud gijzeling, untuk memberi tekanan kepada pihak yang berutang dan keluarganya untuk memenuhi putusan hakim. Juga Prof Subekti mengartikan gijzeling sama dengan penyanderaan. Apabila harta milik tergugat tidak mencukupi memenuhi isi pengadilan, undang-undang memperbolehkan menyandranya. Tujuannya untuk memaksa sanak keluarganya membayar sejumlah yang ditapkan dalam putusan pengadilan. Lembaga Sandra (gijzeling) merupakan salah satu lembaga yang dikenal dalam hukum untuk proses penegakkan hukum. Penegakan hukum melalui lembaga sandra secara umum di bidang hukum perdata dapat dilihat di Perma

2 Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Ada 2 (dua) hal yang patut dicermati dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 ini yaitu 1 : a. Gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secara psikis diberlakukan terhadap untuk melunasi hutang pokok; b. Gijzeling sebagai upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur nakal ke dalam rumah tahanan Negara yang ditetapkan pengadilan. Debitur nakal dimaksud adalah penjamin utang yang dapat diperluas penunggak pajak yang mampu tetapi tidak mau membayar utangnya Syarat-syarat paksa badan (gijzeling) Dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditegaskan bahwa permintaan untuk menahan debitor pailit harus dikabulkan, apabila permintaan tersebut didasarkan atas alas an bahwa debitor pailit dengan tidak sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, Pasal 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2). Artinya berdasarkan ketentuan Pasal 93 jo. Pasal 95 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ada persyaratan khusus dalam hal pengadilan mengabulkan permohonan paksa badan (gijzeling) yaitu: 19 Mulyasi W, 2012, Gijzeling dalam Perkara Pajak, diakses tanggal 8 Februari 2015

3 1. Debitor bersikap tidak kooperatif dengan kurator dan atau berupaya menghilangkan harta pailit seperti semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya milik debitor. 2. Debitor pailit tidak menghadap untuk memberikan keterangan kepada hakim pengawas, kurator, atau panitia kreditur meskipun telah dipanggil secara resmi, patut, dan layak. 3. Debitor pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang. 4. Kreditur tidak dapat meminta keterangan dari debitor pailit mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas. Persyaratan khusus mengenai pengabulan permohonan paksa badan (gijzeling) juga diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2000 seperti dalam pasalpasal berikut: 1. Pada Pasal 3 ayat (1), disebutkan bahwa paksa badan (gijzeling) tidak dapat dikenakan terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun. 2. Pasal 4 yang menyatakan bahwa paksa badan (gijzeling) hanya dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang sekurang-kurangnya Rp ,- (satu miliar rupiah). 2.2 Tinjauan Umum Mengenai Perseroan Terbatas Pengertian perseroan terbatas

4 Perseroan terbatas yang digunakan dewasa ini, sebelumnya dikenal dengan isitlah Naamloze Vennootschaap (VN) yang semula diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD). Bentuk usaha yang saat ini paling banyak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha adalah bentuk usaha berbentuk perseroan terbatas yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia. Perkembangan perseroan terbatas tersebut juga tidak terlepas dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka memberikan kemudahan dan tanggung jawab pada perseroan terbatas sebagai badan hukum. Pengaturan perseroan terbatas dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 di pandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat dikarenakan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu cepat, khususnya pada era globalisasi. Adanya kebutuhan tersebut menuntut penyempurnaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya diganti/dirubah dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Mengenai pengertian/definisi perseroan terbatas pada KUHD sebagai cikal bakal dari pengaturan perseroan terbatas tidak ditemui adanya pengertian dari perseroan terbatas. Akan tetapi dari ketentuan-ketentuan Pasal 36, Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 45 KUHD, akan didapat pengertian perseroan terbatas. Dalam pasal-pasal tersebut mengandung unsur-unsur yaitu 2 : 20 Agus Budiarto,2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 24.

5 a. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masingmasing persero (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan; b. Adanya Persero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam Rapat Umum Pemegang Saham merupakan kekuasaan tertinggi dalam organisasi Perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris, berhak menetapkan garisgaris besar kebijakan menjalankan perusahaan, dan lain-lain; c. Adanya pengurus yaitu direksi dan komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurus dan pengawas terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar atau keputusan rapat umum pemegang saham. Perseroan terbatas berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 (selanjutnya disebut UUPT) memiliki definisi sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dari definisi ini dapat dirarik unsur-unsur perseroan terbatas yaitu: 3 1. Perseroan terbatas adalah badan hukum; 21 Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, h. 33.

6 2. Didirikan berdasarkan perjanjian; 3. Melakukan kegiatan usaha; 4. Modalnya terdiri dari saham-saham. Dengan demikian perseroan terbatas sebagai badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dalam melakukan kegiatannya dari modal perseroan yang terdiri dari saham-saham, maka secara hukum pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendirinya atau pemiliknya. Karena itu tanggung jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi milik perusahaan yang berbentuk badan hukum tersebut. Suatu badan hukum merupakan perseroan terbatas yang modalnya terdiri atas saham-saham, maka tanggung jawab pemegang saham dalam perseroan terbatas terbatas pada modal yang disetor dalam perseroan tidak bertanggung jawab sampai kekayaan pribadinya 4. Sebagai badan hukum, perseroan terbatas dianggap layaknya orangperorangan secara individu yang dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, memiliki harta kekayaan sendiri dan dapat dituntut serta menuntut di depan pengadilan Organ-organ perseroan terbatas Perseroan terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Perseroan terbatas sebagai hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana manusia, ia adalah makhluk artificial. Badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri. Oleh karena itu ia tidak 22 Munir Fuady, 2002, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), h. 3.

7 dapat melakukan perbuatan sendiri, ia harus bertindak dengan perantara orang alamiah (manusia). Tetapi orang tersebut tidak bertindak atas nama dirinya, ia bertindak atas nama dan tanggung jawab badan hukum 5. Organ-organ perseroan terbatas berdasarkan pada ketentuan Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 adalah: 1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris. Pada prinsipnya yang merupakan organ perseroan adalah bukan pemegang sahamnya, melainkan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) tersebut 6. RUPS merupakan organ perusahaan dengan kekuasaan tertinggi, tetapi bukan kekuasaan mutlak, dikarenakan Negara kita didalam UUPT menganut prinsip distribution of power, artinya kewenangan di dalam perseroan terbatas dialokasikan kepada komisaris, direksi, dan RUPS. Dengan demikian apabila suatu kewenangan telah dialokasikan kepada direktur atau komisaris, maka RUPS tidak berwenang lagi terhadap hal yang bersangkutan 7. Serta hal tersebut menganut paham institusional dimana paham ini berpandangan bahwa ketiga organ perseroan terbatas masingmasing mempunyai kedudukan mandiri (otonom) dengan kewenangan sendiri-sendiri sebagaimana diberikan menurut undang-undang dan 23 Ali Ridho, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan Koperasi, Alumni, Bandung, h Munir Fuady, 2008, Hukum Prusahaan: dalam paradigma hukum bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady II), h Ibid, h. 47.

8 anggaran dasar tanpa wewenang organ yang satu boleh dikerjakan oleh organ yang lainnya 8. Secara umum RUPS terdiri dari 2 jenis yaitu RUPS tahunan dan RUPS luar biasa. 2. Direksi Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Menurut Pasal 92 UUPT dapat diketahui bahwa organ yang bertugas melakukan pengurusan perseroan adalah direksi. Serta pengertian direksi secara umum telah dijelaskan dalam UUPT Pasal 1 butir 4. Setiap direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan 9. Direksi juga dapat diartikan sebagai keseluruhan direktur, yang biasanya terbagi atas beberapa direktur bidang tertentu dan seorang direktur utama 10. Biasanya terdapat suatu tata tertib direksi yang harus mendapat persetujuan RUPS, dimana tata tertib ini hakikatnya sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan (6) UUPT. Direksi diangkat oleh RUPS 26 Rudhi Prasetyo, 1983, Kedudukan Mandiri dan Pertanggungjawaban Terbatas dari Perseroan Terbatas, Airlangga University Press, Surabaya, h Cornelius Simanjuntak, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, h Ibid, h. 29.

9 dan karenanya segala tugas pengurusan perseroan harus dipertanggungjawabkan kepada RUPS 11 Jangka waktu jabatan seorang anggota direksi perseroan berpedoman pada anggaran dasar masingmasing perseroan. 3. Dewan Komisaris Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai Anggaran Dasar serta memberi nasihat kepada direksi. Tugas atau fungsi dewan komisaris diatur pada Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UUPT yaitu melakukan pengawan terhadap kebijakan pengurus perseroan yang dilakukan direksi, dan jalannya pengurusan pada umumnya Prinsip dasar pengurusan perseroan terbatas 1. Prinsip Fiduciary duty dalam pengurusan perseroan terbatas Pasal 92 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa: Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui direksi bertugas mengurus perseroan antara lain pengurusan sehari-hari perseroan. Kata pengurusan sehari-hari perseroan, sejalan dengan pandangan para ahli di bidang hukum bisnis yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pengurusan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan beheer van 29 Ibid.

10 daden adalah tiap-tiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata 12. Konsep pengurusan bukan dimaksudkan bahwa direksi hanya menjadi pelaksana kebijakan dan rencana yang dibuat RUPS atau Dewan Komisaris tetapi lebih tepatnya istilah pengurusan diartikan sebagai Direksi ditugaskan untuk 13 : a. Mengatur dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan usaha Perseroan; b. Mengelola kekayaan perseroan; dan c. Mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Dalam pengurusan perseroan, anggota direksi merupakan pemegang amanah (fiduciary), karena itu dikatakan bahwa antara perseroan terbatas dan direksi terdapat hubungan fiducia yang melahirkan fiduciary duties bagi direksi 14. Istilah duty berarti tugas, sedangkan untuk istilah fiduciary berasal dari bahasa latin fiduciarus dengan akar kata fiducia yang berarti kepercayaan (trust) atau dengan kata kerja fidere yang berarti mempercayai (to trust). Sehingga dengan istilah fiduciary diartikan 30 Nindyo Pramono, 2007, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, Desember 2007, h Ais Chatamarrasjid, 2004, penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h Try Widiyono, op.cit, h. 38.

11 sebagai memegang suatu dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu kepercayaan untuk kepentingan orang lain 15. Ada 2 (dua) jenis kewajiban pokok dalam fiduciary duty yaitu 16 : a. Kewajiban untuk setia, yaitu suatu kewajiban yang menghendaki direktur dengan persetujuan dan dengan jujur melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya. b. Kewajiban peduli, yaitu sebuah kewajiban yang menghendaki direktur untuk menjalankan tanggung jawab dengan hati-hati yang mana seorang yang berhati-hati dengan alasan akan menggunakan dibawah keadaan yang sama, ketika bertindak dalam cara yang berbeda. Hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan kepentingan pribadinya sendiri. Fiduciary duty direksi mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut 17 : a. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga, tanpa persetujuan atau sepengetahuan perseroan, b. Direksi tidak boleh memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga, kecuali atas persetujuan perseroan, c. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan asset perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga. 33 Munir Fuady I, op.cit, h Gunawan Widjaja, loc.cit. 35 Ais Chatamarrasjid, op.cit, h. 196.

12 2. Business Judgement Rule Teori ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik untuk perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Prinsip ini ada untuk melindungi direksi, karena menurut prinsip ini jika tindakannya merupakan tindakan yang terbaik untuk perseroan, maupun bertentangan dengan keputusan RUPS yang dianggap tidak sesuai untuk perusahaan, maka direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. 3. Tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra Vires Adapun yang dimaksud dengan prinsip ultra vires (pelampauan kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang mengatur akibat hukum seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan, tetapi tindakan direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur dalam anggaran dasar perseroan. Suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa wewenang (authority) dalam melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar dan hukum perusahaan. Menurut Ais Chatarramasjid bahwa suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu RUPS.

13 Sehingga perbuatan direksi yang ultra vires adalah merupakan tanggung jawab pribadi dari direksi tersebut 18. Fred B.G Tumbuan mengungkapkan kriteria-kriteria ultra vires yaitu 19 : 1. Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh anggaran dasar 2. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar. 3. Dengan memperhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju pada kepentingan perseroan terbatas. 4. Tanggung jawab berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori Penyikapan Tirai Perusahaan merupakan topik yang sangat popular dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan dalam hukum modern di Negara lain. Penerapan prinsip ini mempunyai tujuan utama yaitu keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dengan perseroan, baik investor maupun para pemegang saham. Pada umumnya prinsip piercing corporate viel diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku. Dengan 36 Hadi Shubhan, op.cit, h Hadi Shubhan, op.cit, h. 229.

14 demikian, piercieng corporate viel ini pada hakaikatnya merupakan doktrin yang memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris dan biasanya doktrin ini baru diterapkan jika ada klaim dari pihak ketiga kepada perseroan. Doktrin ini juga dianut dalam UUPT yaitu Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 80, dan Pasal Tinjauan Umum Tentang Kepailitan Pengertian kepailitan Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya istilah pailit berasal dari kata Belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet berasal dari Perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut Le fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan menggunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy 20. Mengenai definisi dari kepailitan sebagaimana terjemahan istilah Belanda Faillisement tidak dapat ditemukan dalam peraturan kepailitan (Faillisement Verordenings yang diundangkan dalam Staatsblad Hindia Belanda tahun 1905 Nomor 271 junto Staatsblad tahun 1906 Nomor 348) 21. Peraturan Hindia Belanda tersebut dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan masalah kepailitan, sehingga 38 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h Rahayu Hartini, 2008, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Press, Malang, h. 9.

15 pemerintah memperbaharuinya dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan perubahan terakhirnya adalah Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengertian Kepailitan mengacu pada undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, Pasal 1 butir 1 menyebutkan definisi kepailitan yaitu sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesan hartanya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pengetian kepailitan lain yang dikemukakan oleh para sarjana diantaranya adalah seperti yang dikatakan oleh Imran Nating bahwa kepailitan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya yang dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga 22. Melihat pendapat dari Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah mogok dalam melakukan pembayaran 23, sedangkan Kartono mengemukakan bahwa kepailitan adalah sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya 24. Sementara itu pengertian pailit menurut R Subekti adalah keadaan seorang debitur apabila debitur tersebut telah menghentikan pembayaran hutang- 40 Imran Nating, loc.cit. 41 Siti Soemartini Hartono, 1981, Pengantar Hukum Kepailitan, Seksi Hukum Dagang FH UGM, Yogyakarta, h Sentosa Sembiring, op.cit, h. 14.

16 hutangnya, suatu keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan bersama dari para krediturnya 25. Jadi berdasarkan definisi atau pengertian yang diberikan oleh para sarjana di atas, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 5. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur; 6. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para krediturnya bersama-sama Syarat-syarat kepailitan Syarat-syarat kepailitan sangat penting karena bila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU yaitu debitur yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan 1 (satu) atau lebih krediturnya. Adapun syarat-syaratnya ialah sebagai berikut 26 : 1. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (Concursus Creditorium). Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditur yang dikenal dalam HUKPerdata, yaitu sebagai berikut: a. Kreditur konkuren, kreditur konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang dengan hak pari passu dan pro rata. Yang artinya para kreditur secara bersama memperoleh 43 Subekti dan R Tjitrosudibyo, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 31.

17 pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing kreditur terhadap utang debitur secara keseluruhan. b. Kreditur preferen, merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). c. Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dalam KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. 2. Harus ada utang. Pengertian utang mengacu pada undang-undang kepailitan dan PKPU Pasal 1 ayat (6). 3. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU tidak membedakan, tetapi menyatukan syarat suatu utang yang telah jatuh tempo dan utang yang dapat ditagih. 4. Debitur harus dalam keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua orang saja. Pernyataan pailit diperiksa secara sederhana, ialah bila dalam mengambil keputusan tidak diperlukan alat-alat pembuktian seperti yang diatur dalam

18 Buku IV KUHPerdata cukup bila peristiwa itu telah terbukti dengan alat-alat pembuktian yang sederhana 27. Berkenaan dengan sifat sederhananya pemeriksaan permohonan kepailitan, maka tentunya sangat diharapkan sikap yang aktif dari hakim untuk sedapat mungkin mendengar secara seksama kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur di depan persidangan, dan berusaha mendamaikan diantara keduanya Tujuan hukum kepailitan Hukum kepailitan bukan suatu lembaga yang sederhana dan berdiri sendiri, karena mengatur hubungan berbagai pihak sehingga mempunyai berbagai kaitan dan aspek, yang merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Termasuk juga pada masalah apakah pengaturan mengenai kepailitan (faillssment) yang masih berlaku sesuai dengan keadaan sekarang. Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah- milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitur yang tidak cukup nilainya. Maka dari itu tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah 28 : 3. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan yang dimana perwujudan dari pasal 1131 KUHPerdata disebutkan bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak 45 Rahayu Hartini, op.cit, h Adrian Sutedi, op.cit, h. 29.

19 bergerak, baik yang telah ada sekarang maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut diantara para kreditur terhadap harta debitur berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya hukum kepailitan, maka akan terjadi kreditur yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditur yang lemah. 4. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai dengan asas pari passu yaitu membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur tersebut di dalam hukum Indonesia. Adapun asas pari passu ini merupakan perwujudan dari pasal 1132 KUHPerdata. 5. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan seorang debitur pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan menindahtangankan harta kekayaannya. 6. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailit memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya yaitu dengan cara memperoleh pembebasan utangnya. Menurut hukum kepailitan Amerika Serika, seorang debitur perorangan (individual debitor) akan dibebaskan dari utang-utangnya

20 setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai hartanya setelah dilikuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada krediturnya, tetapi debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. 7. Menghukum pengurus karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. 8. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utangutang debitur. Peraturan kepailitan tersebut sangat perlu sampai saat ini, sebab di dalam dunia perdagangan maupun dunia usaha yang semakin majunya perekonomian dunia pada umumnya dan perekonomian Indonesia pada khususnya yang selalu dalam perkembangannya membutuhkan modal yang cukup besar untuk kemajuan usahanya, tak terlepas dari perbuatan hukum yang menimbulkan perjanjian-perjanjian yang bentuknya utang piutang dengan suatu jaminan, maka oleh para pengusaha termasuk juga pedagang, mungkin juga sebuah badan dalam bentuk organisasi sebagai usaha perniagaan (perseroan terbatas, firma, dan lain sebagainya), selalu mungkin dalam suatu ketika menghadapi

21 kenyataan penagihan utang-utang yang telah dapat dijalankan, yaitu atas tuntutan beberapa kreditur (sedikit-dikitnya dua orang kreditur) Pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepailitan lama (Fv) atau sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, maka pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu: 1. Debitor sendiri; 2. Seorang kreditur atau lebih; 3. Jaksa penuntut umum. Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 2 ayat (1) sampai ayat (5), pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit diantaranya adalah: 1. Debitor sendiri; 2. Seorang atau lebih krediturnya; 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum; 4. Bank Indonesia (BI); 5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam); 6. Menteri Keuangan Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit Debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat 47 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, op.cit, h. 14.

22 dijatuhi keputusan kepailitan. Debitor disini dapat terdiri dari orang atau badan pribadi maupun badan hukum. Menurut pendapat Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, pihak yang dapat dinyatakan pailit adalah: Orang perorangan, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah menikah maupun yang belum manikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitur perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami-istri tersebut tidak ada percampuran harta; 2. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat kediaman masingmasing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma; 3. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi, maupun yayasan yang berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasar; 4. Harta peninggalan (Warisan). Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti 48 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, op.cit., h. 16.

23 membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 1107 KUHPerdata.

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 51 BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 3.1 Kepailitan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kepailitan 1. Pengertian Pailit dan Kepailitan Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

Asas dan Dasar Hukum Kepailitan. Dr. Freddy Harris Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Asas dan Dasar Hukum Kepailitan. Dr. Freddy Harris Fakultas Hukum Universitas Indonesia Asas dan Dasar Hukum Kepailitan Dr. Freddy Harris Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sumber Hukum Kepailitan di Indonesia BW secara umum Khususnya pasal 1131, 1132, 1133 dan 1134 HIR (Peraturan( Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H. EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh : Raffles, S.H., M.H. 1 Abstrak Direksi adalah organ perseroaan yang bertanggung jawab penuh

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan masyarakat modern, karena merupakan salah satu pusat kegiatan manusia untuk memenuhi kehidupan kesehariannya.

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang kadangkala tidak bisa dihindari oleh seseorang atau pun oleh suatu perusahaan yang

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang perkembangan dan perekonomian, dalam perekonomian banyak faktor yang mempengaruhi perekonomian

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum 129 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini : 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di Mekanisme Perdamaian dalam Kepailitan Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus PT. Pelita

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN SEKUTU DALAM PERSEKUTUAN KOMANDITER YANG MENGALAMI KEPAILITAN

PERTANGGUNGJAWABAN SEKUTU DALAM PERSEKUTUAN KOMANDITER YANG MENGALAMI KEPAILITAN PERTANGGUNGJAWABAN SEKUTU DALAM PERSEKUTUAN KOMANDITER YANG MENGALAMI KEPAILITAN Oleh : Novita Diana Safitri Made Mahartayasa Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Dalam perusahaan terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN 1.1 Hak Tanggungan 1.1.1 Pengertian Hak Tanggungan Undang-Undang Pokok Agraria menamakan lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan Hak

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015 KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB PENDIRI PERSEROAN TERBATAS (PT) TERHADAP PERUSAHAAN YANG MENGALAMI PAILIT MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 1 Oleh : Swenry Pahaso 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet. BAB II 21 TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI 1.1 Kepailitan 1.1.1 Pengertian Kepailitan Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.Kata Failliet itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA

BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA BAB II KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN (GIJZELING/ IMPRISONMENT FOR CIVIL DEBTS) DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan Secara konsepsional inti dari penegakan hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS Kurniawan * Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram Jalan Majapahit Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN A. Kepailitan 1. Pengertian dan Syarat Kepailitan Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala yang berhubungan dengan pailit. Istilah pailit dijumpai

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. Kata kunci: Tanggungjawab, Direksi, Kepailitan, Perseroan Terbatas

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. Kata kunci: Tanggungjawab, Direksi, Kepailitan, Perseroan Terbatas TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 1 Oleh: Climen F. Senduk 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perseroan terbatas sebagai salah satu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang bertujuan mencari keuntungan, tentunya tidak terlepas dari kegiatan pinjam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

perubahan Anggaran Dasar.

perubahan Anggaran Dasar. 2. Selain itu Peningkatan Modal Perseroan tanpa melalui mekanisme RUPS melanggar kewajiban peningkatan modal yang diatur pada Pasal 42 UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyatakan keputusan RUPS untuk penambahan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili RH DIREKSI Direksi diatur secara khusus dalam Bagian Pertama Bab VII Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu mulai pasal 92 sampai dengan pasal 107 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUPT Direksi

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan bukan hal yang baru dalam suatu kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang usaha. Dalam mengadakan suatu transaksi bisnis antara debitur dan kreditur kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA A. Penerapan asas Piercing The Corporate Veil dalam Perseroan Terbatas

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 26 BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati, karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Syarat Permohonan Pernyataan Pailit Dalam UUK dan PKPU disebutkan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan Direksi sebagai organ yang bertugas melakukan pengurusan terhadap jalannya kegiatan usaha perseroan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor privat merupakan entitas mandiri yang berhak melakukan pengelolaan aset kekayaannya sendiri sebagai entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan mempunyai utang. Perusahaan yang mempunyai utang bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asalkan perusahaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hukum Perusahaan Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap dan terang-terangan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017 PENERAPAN LEMBAGA PAKSA BADAN TERHADAP DEBITUR BERITIKAD TIDAK JUJUR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 1 Oleh: Prayogha R. Laminullah 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996

DAFTAR PUSTAKA. Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996 137 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Adjie, Habib, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008 Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan merupakan hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan. hukum dagang merupakan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN DI INDONESIA. A. Tinjauan Umum mengenai kepailitan di Indonesia

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN DI INDONESIA. A. Tinjauan Umum mengenai kepailitan di Indonesia BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEPAILITAN DI INDONESIA A. Tinjauan Umum mengenai kepailitan di Indonesia Sejarah hukum tentang kepailitan sudah ada sejak jaman Romawi. Kata pailit dalam bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia)

Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) Karyawan Sebagai Pemohon Dalam Mempailitkan Perusahaan (Studi Kasus: Kasus PT. Kymco Lippo Motor Indonesia) MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah LBHK semester I Angkatan V Oleh: Prasaja Pricillia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan perekonomian dan dunia usaha semakin bertumbuh pesat. Menurut Peneliti terbukti dengan sangat banyaknya ditemukan pelaku-pelaku usaha

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aspek-Aspek Kepailitan 1. Definisi dan Asas-Asas Kepailitan Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso (1993:18-19) menjelaskan definisi dari kepailitan yaitu, secara etimologi kepailitan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KEPAILITAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KEPAILITAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN KEPAILITAN A. Perseroan Terbatas 1. Pengertian Dan Ciri-Ciri Perseroan Terbatas Definisi mengenai perseroan terbatas tidak dapat dijumpai dalam pasalpasal

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perusahaan Asuransi 1. Pengertian Perusahaan Asuransi Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA 23 BAB II PENGATURAN TENTANG PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Ketentuan-Ketentuan Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dibanding Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban

Lebih terperinci