BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Dispepsia Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012). 7

2 8 Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome. Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III Dispepsia Fungsional Postprandial Distres Syndrome Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu 2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan 2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium. Epigastric Pain Syndrome Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

3 9 2. Nyeri timbul berulang 3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium 4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin 5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal 2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa 3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan. (Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010) 2.2. Epidemiologi Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014). Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan

4 10 peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014). Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1 (Kumar dkk, 2012). Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur tahun, 17,6% pada umur tahun, 18,3% pada umur tahun, 19,7% pada umur tahun, 22,8% pada umur tahun, 23,7% pada umur tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia. Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).

5 Patofisiologi Dispepsia Fungsional Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010). Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori dibawah ini (Yehuda, 2010) : Infeksi H. Pylori Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan

6 12 penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum Ketidaknormalan Motilitas Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang kaku bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum Gangguan Sensori Visceral Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

7 Faktor Psikososial Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012) Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012) Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang

8 14 mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008) Perubahan Dalam Sistem Imun Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau

9 15 kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012) Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007). Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial

10 16 distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome) (Abdullah & Gunawan, 2012). Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012) Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah & Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:

11 17 Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari: Rasa penuh setelah makan yang mengganggu. Rasa cepat kenyang. Nyeri epigastrium. Rasa terbakar di epigastrium. dan Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis. (Diterjemahkan dari Chang, 2006) Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd & McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat

12 18 subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan, 2011) Consultation Liaison Psychiatry (CLP) Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).

13 19 CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd & McClelan, 2011). : Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan structural. Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dispepsia Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga. Perhatian terhadap fungsi dari medical ombudsman. Psikiater liaison dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir

14 Penanganan Secara Farmakologi Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011) Penanganan Secara Psikoterapi Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi

15 21 cognitive-behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ideide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004) Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004) Kepribadian Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi perilakunya (Feist & Feist, 2009). Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap

16 22 orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya, mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain Big Five Personality Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008). Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten. Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi. Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku seseorang selanjutnya (Feist & Feist, 2009).

17 Dimensi Big Five Personality Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) : a. Neuroticism (N) Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional. b. Extraversion (E) Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain. Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,

18 24 individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang, pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya. c. Openness (O) Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orangorang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O). Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan. d. Agreeableness (A) Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik. Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka

19 25 mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif. e. Conscientiousness (C) Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya. Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005). Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah Mudah khawatir, gugup, Neuroticism Tenang, rileks, tidak emosional, merasa tidak emosional, aman, tidak mampu, mudah memiliki daya tahan panik terhadap stres, merasa aman, puas atas diri sendiri Suka bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada orang lain, optimis, terbuka terhadap perasaannya, penuh kasih sayang Extraversion Suka menyendiri, sederhana, tidak berlebihan dalam kesenangan, menjauhkan diri, orientasi pada tugas, pemalu, serius Memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang Openness Sederhana, minat yang menetap, tidak artistik, tidak

20 26 luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan menjaga tradisi Bersifat lembut, baik hati, mudah percaya, penolong, pemaaf, penurut, jujur Agreeableness Suka mengejek, tidak sopan, curiga, kasar, tidak kooperatif, pendendam, cepat marah, suka memerintah dan manipulatif Orang yang suka mengatur, dapat diandalkan, pekerja keras, disiplin, rapi, ambisius dan tekun Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak bisa diandalkan, lalai, pemalas, tidak perhatian, ceroboh, memiliki kemauan yang lemah Pengukuran Big Five Personality Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality, diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain (Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen untuk mengukur Big Five personality, yaitu: a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992). b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis Goldberg pada tahun Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective markers.

21 Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas (Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan, terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflikkonflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits misalnya terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau paranoid, bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian

22 28 histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk, 2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila berlangsung lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan dkk,2010;krueger& Tackett, 2006).

23 29 Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma, keluarga meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita, 2004). Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan individu tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang berlangsung lama akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1) adanya perasaan negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak yakin, 2) peningkatan gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial aksi sel, 3) selektif dalam perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada lokasi tertentu, 4) peran kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah hipotalamus dan amigdala terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai respon terhadap stimulus yang ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi di nukleus paraventrikular dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan pengeluaran kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh darah dan meningkatkan glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan kemauan. Amigdala sentral dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH di lateral hipotalamus. CRH di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari sistem saraf otonomik. Proyeksi neuron ke intermediolateral cell coloumn ke spinal cord akan mengaktifkan sistem otonom simpatik preganglion. Jalur CRH juga mengaktifkan Locus coeruleus sehingga norepinephrine dikeluarkan ke

24 30 reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik (Lenzenweger & Clarkin, 2005). Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut (Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism, sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman. Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia fungsional ( Ammerman, 2006).

25 30

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAITS DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA PASIEN DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAITS DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA PASIEN DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAITS DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA PASIEN DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR I WAYAN WESTA ABSTRAK PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perubahan dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan stress. Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia 2.1.1. Definisi Dispepsia Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan) yang berarti pencernaan yang jelek. Menurut Konsensus

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia 2.1.1. Definisi Dispepsia Kata dispepsia berasal dari bahasa Yunani yaitu yaitu dys (buruk) dan peptein (pencernaan) yang berarti pencernaan yang jelek. Menurut Konsensus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh (begah) atau cepat kenyang, sendawa, rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Setiap tahun sekitar 500.000 penderita kanker serviks baru di

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia Fungsional 2.1.1 Defenisi Dispepsia Fungsional Dalam konsensus Roma III (tahun 2006 dikutip dari Djojoningrat, 2009) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai kumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Definisi Kecemasan adalah sinyal peringatan; memperingatkan akan adanya bahaya yang akan terjadi dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah, di satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang belum

Lebih terperinci

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

TUGAS 3 SISTEM PORTAL TUGAS 3 SISTEM PORTAL Fasilitator : Drg. Agnes Frethernety, M.Biomed Nama : Ni Made Yogaswari NIM : FAA 113 032 Kelompok : III Modul Ginjal dan Cairan Tubuh Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya

Lebih terperinci

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ GASTROINTESTINAL Maria Inez Devina Siregar 11.2013.158 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia merupakan gangguan nyeri dan rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan yang berpusat di abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut berupa nyeri epigastrium,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan diyakini menjadi unsur kunci dalam melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010).

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepribadian. konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone, 2010). BAB II LANDASAN TEORI A. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku-perilaku (Pervin & Cervone,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Locus of Control 2.1.1 Definisi Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu berfungsi sebagai satu kesatuan yang utuh dan unik. Utuh berarti bahwa individu tidak dapat dipisahkan dengan segala cirinya, karena individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis A. Teori Lima Besar (Big Five Model) 1. Sejarah Big Five Model Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali dilakukan oleh Allport dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres karena infertilitas berbeda dari stres yang lain. Pasangan infertil menderita stres

BAB I PENDAHULUAN. Stres karena infertilitas berbeda dari stres yang lain. Pasangan infertil menderita stres BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stres karena infertilitas berbeda dari stres yang lain. Pasangan infertil menderita stres kronis setiap bulan jika pembuahan tidak terjadi. Hubungan antara stres dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan khususnya sebagai generasi penerus bangsa tidak luput dari aktifitas yang tinggi. Oleh sebab itu, mahasiswa diharapkan

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PATOFISIOLOGI ANSIETAS PATOFISIOLOGI ANSIETAS Faktor Predisposisi (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1. Peristiwa traumatik 2. Konflik emosional 3. Konsep diri terganggu 4. Frustasi 5. Gangguan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepribadian 2.1.1.1 Definisi Kepribadian Kepribadian berasal dari kata Latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dunia perkuliahan seringkali mahasiswa-mahasiswi mengalami stres saat mengerjakan banyak tugas dan memenuhi berbagai tuntutan. Terbukti dengan prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian atas. Keluhan pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. bagian atas. Keluhan pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap (Attitude) 2.1.1 Definisi Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Berdasarkan batasan tersebut,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI Program Studi : Kedokteran Kode Blok : Blok 20 Blok : PSIKIATRI Semester : 5 Standar Kompetensi : Mampu memahami dan menjelaskan tentang

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 Penelitian Keperawatan Jiwa SITI FATIMAH ZUCHRA BP. 1010324031

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya sensitivitas

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penduduk lanjut usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan masyarakat yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan definisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI DISPEPSIA Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Teori 1. Kecemasan Situasi yang mengancam atau yang dapat menimbulkan stres dapat menimbulkan kecemasan pada diri individu. Atkinson, dkk (1999, p.212) menjelaskan kecemasan merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang banyak mengandung kelenjar

Lebih terperinci

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seks pranikah merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. infeksi Human Papilloma Virus (HPV) grup onkogenik resiko tinggi, terutama HPV 16 dan

BAB I PENDAHULUAN. infeksi Human Papilloma Virus (HPV) grup onkogenik resiko tinggi, terutama HPV 16 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker serviks adalah penyakit ganas pada serviks uterus yang disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) grup onkogenik resiko tinggi, terutama HPV 16 dan 18.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Tekanan psikologis dan kekhawatiran tentang infertilitas memiliki efek

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Tekanan psikologis dan kekhawatiran tentang infertilitas memiliki efek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa infertilitas merupakan masalah utama dalam kesehatan kesuburan yang memiliki dimensi fisik, psikologis dan sosial

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dispepsia Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. beban penyakit global dan lazim ditemukan pada masyarakat negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. beban penyakit global dan lazim ditemukan pada masyarakat negara maju maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang masih menjadi beban kesehatan di masyarakat global. Hipertensi diperkirakan menyumbang 4,5% dari beban penyakit global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa diprediksi yang cenderung ovulatoar menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Harapan Ibu Purbalingga yang merupakan salah satu Rumah Sakit Swasta kelas D milik Yayasan Islam Bani Shobari.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres 2.1.1 Definisi Stres dan Jenis Stres Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah suatu fenomena yang kompleks, dialami secara primer sebagai suatu pengalaman psikologis. Penelitian yang berlangsung selama bertahun-tahun ini oleh ahli-ahli

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia yang mengarah modern ditandai gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang peningkatan asam lambung, seperti:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekelompok (peer group) serta kurangnya kepedulian terhadap masalah kesehatan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gambaran khas remaja yaitu pencarian identitas, kepedulian akan penampilan, rentan terhadap masalah komersial dan tekanan dari teman sekelompok (peer group)

Lebih terperinci

PROSES TERJADINYA MASALAH

PROSES TERJADINYA MASALAH PROSES TERJADINYA MASALAH ` PREDISPOSISI PRESIPITASI BIOLOGIS GABA pada sistem limbik: Neurotransmiter inhibitor Norepineprin pada locus cereleus Serotonin PERILAKU Frustasi yang disebabkan karena kegagalan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tes psikologi adalah suatu pengukuran yang objektif dan terstandar terhadap sampel dari suatu perilaku. Tujuan dari tes psikologi sendiri adalah untuk mengukur perbedaan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five

BAB II URAIAN TEORITIS. Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five 35 BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Sumbayak (2009) dengan judul skripsi Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality Terhadap Coping Stress Pada Polisi Reserse Kriminal Poltabes Medan.

Lebih terperinci

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Artikel PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Mardiya Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18 Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai

Lebih terperinci

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA

GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA Pembimbing : Dr. Prasilla, Sp KJ Disusun oleh : Kelompok II Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta cemas menyeluruh dan penyalahgunaan zat. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja menurut WHO merupakan masa transisi dalam pertumbuhan dan perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada periode

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami definisi, penyebab, mekanisme dan patofisiologi dari inkontinensia feses pada kehamilan. INKONTINENSIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah di atas normal (hiperglikemia) akibat kelainan pada sekresi insulin, kerja

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001 JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Jiwa Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prestasi Belajar 2.1.1 Definisi Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh melalui perbuatan belajar dapat berupa tingkah laku nyata dan perbuatan tingkah

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 40% keganasan pada perempuan merupakan kanker ginekologi. Kanker

BAB I PENDAHULUAN. dari 40% keganasan pada perempuan merupakan kanker ginekologi. Kanker 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker berada pada urutan kelima penyebab kematian di Indonesia. Lebih dari 40% keganasan pada perempuan merupakan kanker ginekologi. Kanker ginekologi yang paling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama di Negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, modernisasi dan globalisasi tidak dapat dihindari lagi oleh setiap negara di dunia. Begitu pula halnya

Lebih terperinci

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar Susah buang air besar atau lebih dikenal dengan nama sembelit merupakan problem yang mungkin pernah dialami oleh anda sendiri. Banyak yang menganggap sembelit hanya gangguan kecil yang dapat hilang sendiri

Lebih terperinci

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

BAB II. meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat. BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Rahim (2001) manajemen konflik tidak hanya berkaitan dengan menghindari, mengurangi serta menghilangkan konflik, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat terlihat dari peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dan Angka

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat terlihat dari peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dan Angka 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan di bidang kesehatan merupakan cita cita suatu bangsa, hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH) dan Angka Harapan Hidup

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012). BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (51 orang) adalah perempuan. Perempuan lebih mudah merasakan adanya serangan

Lebih terperinci

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Oleh : Husna Nadia 1102010126 Pembimbing : dr Prasila Darwin, SpKJ DEFINISI PTSD : Gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami /menyaksikan suatu peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencabutan gigi. Berdasarkan penelitian Nair MA, ditemukan prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. pencabutan gigi. Berdasarkan penelitian Nair MA, ditemukan prevalensi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bedah mulut merupakan salah satu bidang dalam ilmu kedokteran gigi. Dalam bidang kedokteran gigi gejala kecemasan sering ditemukan pada pasien tindakan pencabutan gigi.

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Dispepsia merupakan salah satu gangguan yang diderita oleh hampir seperempat populasi umum di negara industri dan merupakan salah satu alasan orang melakukan konsultasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Operasi adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan, sampai saat ini sebagian besar orang menganggap bahwa semua pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Wade dan Tavris (2007: 194) menyebutkan bahwa kepribadian (personality) adalah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 10 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengulas tentang pelbagai teori dan literatur yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori tersebut adalah tentang perubahan organisasi (organizational change)

Lebih terperinci

Antisipasi Dampak Stress sekitar

Antisipasi Dampak Stress sekitar Antisipasi Dampak Stress sekitar PEMILU LEGISLATIF Dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD, K-GEH, MMB Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM Anggota PAPDI Perubahan yang mendasar dalam penetapan anggota DPR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana

BAB II LANDASAN TEORI. Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana BAB II LANDASAN TEORI A. PEMBELIAN IMPULSIF Pembelian Impulsif adalah salah satu jenis dari perilaku membeli, dimana perilaku pembelian ini berhubungan dengan adanya dorongan yang menyebabkan konsumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang sedang kita hadapi saat ini dalam pembangunan kesehatan adalah beban ganda penyakit, yaitu disatu pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hospitalisasi 1. Pengertian Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk menjalani terapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Manajemen adalah sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan. Menurut Mangkunegara (2005) manajemen adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Profesi perawat diharapkan dapat membantu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 10,67 juta orang (8,61 % dari seluruh penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orang lanjut usia adalah sebutan bagi mereka yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut

Lebih terperinci

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf BAB II Struktur dan Fungsi Syaraf A. SISTEM SARAF Unit terkecil dari system saraf adalah neuron. Neuron terdiri dari dendrit dan badan sel sebagai penerima pesan, dilanjutkan oleh bagian yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek

Lebih terperinci

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk: HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam

Lebih terperinci