Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-depolarisasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-depolarisasi"

Transkripsi

1 Inhibitor Asetilkolinesterase untuk Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-depolarisasi Iswandi Erwin 1, Donni Indra Kusuma 2 1 Dokter Umum, Asisten Peneliti Pokdisus RSUPN-CM, Jakarta, Indonesia 2 Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif BLU RSUD Kota Semarang Jawa Tengah, Indonesia ABSTRAK Transmisi neuromuskular berawal dari asetilkolin, neurotransmiter di ujung saraf motorik yang memengaruhi reseptor muskarinik dan nikotinik di banyak organ tubuh. Pemulih pelumpuh otot golongan non-depolarisasi disebut golongan inhibitor asetilkolinesterase atau golongan antikolinesterase, salah satunya adalah prostigmin. Obat golongan ini, terutama golongan non-depolarisasi makin rutin digunakan pada anestesi yang menggunakan pelumpuh otot. Pada makalah ini akan dibahas jenis-jenis inhibitor asetilkolinesterase yang umum dipakai dan mekanisme kerjanya dalam pemulihan efek pelumpuh otot pasca-anestesi. Kata kunci: prostigmin, inhibitor asetilkolinesterase, antikolinesterase, reseptor PENDAHULUAN Setiap serabut saraf motorik mempersarafi beberapa serabut otot lurik; sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Obat pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blokade neuromuskular. 1 Walaupun bukan obat anestetik, obat ini sangat membantu pelaksanaan anestesi umum, antara lain memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberikan relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. 2 FISIOLOGI TRANSMISI SARAF-OTOT Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf-otot. Hubungan ini terdiri atas bagian ujung saraf motorik yang tidak berlapis myelin dan membran otot yang dipisah oleh celah sinap. Di ujung saraf motorik terdapat gudang persediaan kalsium, vesikel atau gudang asetilkolin, mitokondria, dan retikulum endoplasmik. Di bagian membran otot terdapat reseptor asetilkolin. 2 Asetilkolin merupakan bahan penghantar rangsang saraf (neurotransmitter) yang dibuat di dalam ujung serabut saraf motorik melalui proses asetilasi kolin ekstrasel dan koenzim A yang memerlukan enzim asetiltransferase. Asetilkolin disimpan dalam kantung atau gudang yang disebut vesikel. Ada tiga bentuk asetilkolin, yaitu bentuk bebas, bentuk cadangan belum siap pakai, dan bentuk siap pakai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sintesis dan/atau pelepasan asetilkolin, antara lain, adalah kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenisasi, suhu, analgetik lokal, dan antibiotik golongan aminoglikosida. Potensial istirahat membran ujung saraf motorik (resting membrane potential) terjadi karena membran lebih mudah ditembus ion kalium ekstrasel daripada ion natrium. Potensial yang terukur umumnya mv. Asetilkolin membuat membran tersebut lebih permeabel terhadap ion natrium sehingga terjadi depolarisasi. Influks ion kalsium memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmiter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik dan kolinergik di otot. Jika jumlahnya cukup banyak, akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka. Ion natrium dan kalsium masuk, sedangkan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisis oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali maka terjadilah repolarisasi. MEKANISME HAMBATAN (BLOK) SARAF OTOT 2 Otot yang pertama kali dihambat adalah otototot kecil dengan gerakan cepat seperti otot mata dan jari, kemudian otot trunkus dan abdomen, otot interkostal dan akhirnya diafragma. Pemulihan terjadi sebaliknya, sehingga diafragma akan kembali berfungsi paling awal. Injeksi intravena obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada orang sadar mula-mula menimbulkan kesulitan memfokus dan kelemahan otot mandibula diikuti ptosis, diplopia, dan disfagia. Relaksasi otot telinga akan memperbaiki pendengaran. Kesadaran dan sensorik utuh. 1. Hambatan kompetisi atau blok nondepolarisasi Hambatan gabungan asetilkolin dengan reseptor di membran ujung motor terjadi karena pemberian tubokurarin, galamin, alkuronium, dan sebagainya. Karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh otot nondepolarisasi, tidak terjadi proses depolarisasi membran otot dan otot menjadi lumpuh. Pemulihan fungsi saraf otot terjadi jika jumlah molekul obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang, antara lain karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga dapat dipercepat dengan pemberian obat antikolinesterase (neostigmin) yang meningkatkan jumlah asetilkolin. 2. Hambatan depolarisasi atau blok depolarisasi Hambatan penurunan kepekaan membran ujung motorik terjadi karena pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi. Serabut otot mendapat rangsang depolarisasi menetap sampai akhirnya kehilangan respons kontraksi 333 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 333 6/5/ :01:46 AM

2 menimbulkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase. 3. Hambatan lain a. Hambatan fase II atau blok desensitisasi/ bifasik (blok ganda) Disebabkan oleh pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi yang berulang-ulang sehingga fase I (depolarisasi) membran berubah menjadi fase II (nondepolarisasi). Mekanisme perubahan ini belum diketahui. Pemberian suksinilkolin hingga dosis 500 mg dikatakan dapat menyebabkan hambatan fase II. Hambatan jenis ini tidak dapat diatasi oleh obat antikolinesterase. b. Hambatan campuran Terjadi karena pemberian simultan obat pelumpuh otot depolarisasi dan nondepolarisasi. CIRI KELUMPUHAN OTOT 1. Non-depolarisasi a. Tidak ada fasikulasi otot. b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran). c. Kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik. d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase. 2. Depolarisasi a. Ada fasikulasi otot. b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase. c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non-depolarisasi dan asidosis. d. Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik. e. Belum dapat diatasi dengan obat spesifi k. PELUMPUH OTOT NON-DEPOLARISASI Manfaat obat ini di bidang anestesiologi antara lain untuk: 1. Memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea. 2. Membuat relaksasi selama pembedahan. 3. Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan napas atas selama anestesi. 4. Memudahkan pernapasan kendali selama anestesi. 5. Mencegah fasikulasi otot akibat obat pelumpuh otot depolarisasi. Obat ini bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, tetapi menghalangi penempatan asetilkolin, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan susunan kimianya, obat pelumpuh otot non-depolarisasi digolongkan menjadi: 1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium, mivakurium. 2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium. 3. Eter-fenolik: galamin. 4. Nortoksiferin: alkuronium. Karakter pada rangsang listrik stimulator saraf perifer: 1. Penurunan respons twitch pada rangsang tunggal 2. Respons singkat (fade) selama rangsang kontinu 3. Rasio TOF (train-of-four) <7 Berdasarkan lama kerja, pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek. PILIHAN PELUMPUH OTOT 1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium 2. Gangguan faal hati : atrakurium Tabel 1 Jenis pelumpuh otot berdasarkan jenis, dosis, dan durasi Nondepol Long Acting 1. D-tubokurarin 2. Pankuronium 3. Metakurin. 4. Pipekuronium 5. Doksakurium 6. Alkurium Nondepol Intermediate 1. Gallamin 2. Atrakurium 3. Vekuronium 4. Rokuronium 5. Cistakuronium Nondepol Short Acting 1. Mivakurium 2. Ropakuronium Dosis Awal (mg/kg) 0,40-0,60 0,08-0,12 0,20-0,40 0,05-0,12 0,02-0,08 0,15-0, ,5-0,6 0,1-0,2 0,6-0,1 0,15-0,20 0,20-0,25 1,5-2,0 Dosis Rumatan (mg/kg) 0,10 0,15-0,20 0,05 0,01-0,015 0,005-0,010 0,05 0,5 0,1 0,015-0,02 0,10-0,15 0,02 0,05 0,3-0,5 3. Miastenia gravis : dosis 1/10 atrakurium 4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium 5. Kasus obstetrik : semua dapat digunakan, kecuali galamin. INHIBITOR ASETILKOLINESTERASE Terminologi kolinergik merujuk kepada efek neurotransmiter asetilkolin yang berlawanan dengan efek adrenergik noradrenalin (norepinefrin). Asetilkolin disintesis melalui reaksi asetil koenzim A dengan kolin yang dikatalisis oleh enzim kolin-asetil transferase di ujung terminal saraf (Gambar 1). Setelah pelepasannya ke celah sinap, asetilkolin dengan cepat dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (true cholinesterase) menjadi asetat dan kolin. Asetilkolin merupakan neurotransmitter untuk semua sistem saraf parasimpatis (ganglion parasimpatis dan sel efektor), sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula adrenal, dan kelenjar keringat), beberapa neuron susunan saraf pusat dan saraf somatik yang menyarafi otot skelet. Reseptor kolinergik dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan reaksi mereka terhadap alkaloid muskarin dan nikotin. 3 Nikotin menstimulasi ganglia autonom dan reseptor otot skelet (reseptor nikotinik), sedangkan muskarin mengaktivasi sel efektor ujung organ pada otot polos bronkus, kelenjar air liur dan nodus sinoatrial (reseptor muskarinik). 3 Susunan saraf pusat mempunyai dua jenis reseptor di atas. Reseptor nikotinik diblok oleh obat pelumpuh otot (disebut juga blok neuromuskular), reseptor muskarinik diblok oleh obat antiko- Durasi (menit) Efek Samping Histamin +, hipotensi Vagolitik, takikardia Histamin -, hipotensi Kardiovaskuler stabil Kardiovaskuler stabil Vagolitik, takikardia Histamin +, hipotensi Aman untuk hepar Isomer Atrakurium Histamin +, hipotensi Depol Short Acting 1. Suksinilkolin Lihat teks 334 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 334 6/5/ :01:47 AM

3 CHOLINE Choline Acetyltransferase ACETYCHOLINE Acetyltransferase ACETYL-CoA + HO CH 2 CH 2 + N C O CH 2 CH 2 + N = = O O linergik, seperti atropin. 3 Walaupun reseptor nikotinik dan muskarinik dibedakan atas respons kerja mereka terhadap beberapa agonis (seperti nikotin dan muskarin) dan antagonis (pankuronium, atropin), kedua jenis reseptor ini responsif terhadap rangsangan asetilkolin (Tabel 2). Agonis kolinergik yang tersedia secara klinis menahan proses hidrolisis oleh kolinesterase. Metakolin dan betanekol adalah contoh agonis muskarinik utama,sedangkan karbakol mempunyai aktivitas agonis nikotin dan muskarin. Metakolin inhalasi telah lama digunakan sebagai tes provokasi pada asma, sedangkan betanekol merupakan terapi atonia vesika urinaria. Karbakol digunakan sebagai obat topikal glaukoma sudut terbuka. Tabel 2 Karakteristik reseptor kolinergik Midbrain Medulla Preganglion Vagus nerve ACETATE C OH + CHOLINE Gambar 1 Sintesis dan Hidrolisis Asetilkolin Post-ganglion Ciliary ganglion Submandibular ganglion Otic ganglion Eye Salivary glands Contraction of iris sphincter (miosis) Contraction of ciliary muscle (near vision) Secretion Nikotinik Muskarinik Lokasi Ganglia autonom Kelenjar lakrimal Ganglia simpatis Kelenjar liur Ganglia parasimpatis Lambung Otot skelet Otot Polos Bronkus Gastrointestinal Kandung kemih Pembuluh darah Jantung Nodus SA Nodus AV Agonis Asetilkolin Asetilkolin Nikotin Muskarin Antagonis Nondepolarizing relaxants Antimuskarinik Atropin Skopolamin Glikopirolat Heart heart rate conduction velocity contraction NICOTINE Lungs Bronchial constriction N N Spinal cord Pancreas insulin secretion HO MUSCARINE Pelvic nerves Intestine tone and motility H 3 C O CH 2 + N Bladder Sphincter relaxation Dentrusor contraction Gambar 2 Sistem saraf parasimpatis menggunakan asetilkolin sebagai neurotransmiter preganglionik dan postganglionik Gambar 3 Struktur molekul nikotin dan muskarin. Bandingkan dengan asetilkolin Kunci utama pemulihan efek blokade neuromuskular adalah memaksimalkan transmisi nikotinik dan meminimalkan efek samping muskariniknya. 335 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 335 6/5/ :01:47 AM

4 Mekanisme Kerja Transmisi neuromuskular normal secara umum bergantung pada ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik-kolinergik di motor-end-plate. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja dengan mekanisme kompetisi dengan asetilkolin pada sisi ikatan ini, sehingga memblok transmisi neuromuskular. Pemulihan efek blokade ini tergantung pada difusi bertahap, redistribusi, metabolisme dan ekskresi obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari dalam tubuh (pemulihan spontan) ataupun dengan pemberian agen pemulih spesifik (pemulihan farmakologik). Inhibitor kolinesterase secara tidak langsung menambah jumlah asetilkolin yang tersedia untuk berkompetisi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi, sehingga mengembalikan transmisi neuromuskular normal. 4 Inhibitor kolinesterase menonaktifkan asetilkolinesterase dengan cara berikatan dengan enzim ini secara reversibel. Stabilitas ikatan memengaruhi durasi kerja obat, contoh: tarikan elektrostatik dan ikatan hidrogen edrofonium terhadap enzim ini bekerja singkat, namun ikatan kovalen neostigmin dan piridostigmin terhadap asetilkolinesterase bertahan lebih lama. Organofosfat, salah satu tipe inhibitor kolinesterase, membentuk ikatan sangat stabil dan irreversibel terhadap asetilkolinesterase. Zat ini digunakan dalam bidang oftalmologi dan lebih umum sebagai pestisida. Durasi klinis inhibitor kolinesterase dipengaruhi oleh kecepatan hilangnya obat ini dari plasma. Perbedaan durasi kerja dapat diatasi dengan penyesuaian dosis, sehingga durasi edrofonium yang normalnya singkat sebagian dapat diatasi dengan meningkatkan dosis. Inhibitor kolinesterase juga digunakan pada diagnosis dan pengobatan miastenia gravis. Mekanisme kerja selain inaktivasi asetilkolinesterase mungkin juga berperan dalam pemulihan fungsi neuromuskular. 4 Edrofonium tampaknya mempunyai efek prejunctional yang mempercepat pelepasan asetilkolin. Neostigmin mempunyai efek agonis lemah terhadap reseptor nikotinik. Mobilisasi dan pelepasan asetilkolin juga dipercepat (mekanisme presinaptik). Pada dosis berlebihan, asetilkolinesterase inhibitor secara paradoksal mempotensiasi blokade neuromuskular non-depolarisasi. Neostigmin dosis tinggi dapat menyebabkan blokade chanel dari asetilkolin. Obat-obatan jenis ini juga memperpanjang blok depolarisasi oleh suksinilkolin. 5 Ada dua penjelasan yang mendasari mekanisme terjadinya hal ini: peningkatan asetilkolin (yang meningkatkan depolarisasi motor-end-plate) dan inhibisi aktivitas pseudokolinesterase. Neostigmin dan beberapa prototipe piridostigmin memperlihatkan aktivitas penghambatan pseudokolinesterase walaupun efeknya terhadap asetilkolinesterase jauh lebih besar. 5 Edrofonium mempunyai efek yang kecil sekali terhadap pseudokolinesterase bahkan hampir tidak ada. Neostigmin, walau dikatakan dapat memperlambat metabolisme mivakurium secara ringan, efek totalnya adalah mempercepat pemulihan efek blokade mivakurium. Dalam dosis besar, neostigmin dapat menyebabkan blokade depolarisasi neuromuskular ringan. 6 Farmakologi Klinis Karakteristik umum Peningkatan jumlah asetilkolin yang disebabkan oleh inhibitor kolinesterase mempengaruhi bukan saja hanya reseptor nikotinik otot skelet, melainkan juga efek muskarinik beberapa sistem organ lain (Tabel 3). Tabel 3 Efek samping muskarinik inhibitor kolinesterase Kardiovaskular Denyut jantung menurun, bradiaritmia Pulmoner Bronkospasme, sekresi bronkus meningkat Serebral Eksitasi difus 1 Gastrointestinal Spasme intestinal, salivasi meningkat Genitourinarius Tonus kandung kemih meningkat Oftalmologi Konstriksi pupil 1 Hanya untuk fisostigmin Reseptor kardiovaskular Efek muskarinik predominan pada jantung adalah bradikardi menyerupai refleks vagal yang dapat berlanjut menjadi henti sinus (sinus arrest). Efek ini telah dilaporkan pada jantung yang baru ditransplantasikan (denervasi), lebih sering pada jantung yang telah ditransplantasikan 6 bulan sebelumnya (reinervasi). Reseptor Pulmoner Stimulasi muskarinik dapat menyebabkan bronkospasme dan peningkatan sekresi saluran napas. Reseptor Serebral Fisostigmin adalah inhibitor kolinesterase yang dapat melewati sawar darah otak, dapat menyebabkan aktivasi elektroensefalogram yang difus karena menstimulasi reseptor muskarinik dan nikotinik susunan saraf pusat. Inaktivasi reseptor nikotinik-asetilkolin di susunan saraf pusat berperan penting pada mekanisme kerja anestesi umum. Reseptor Gastrointestinal Stimulasi muskarinik meningkatkan aktivitas peristaltik saluran cerna (esofagus, lambung dan usus) dan juga sekresi kelenjar (kelenjar ludah, dll.). Kebocoran perioperatif post anastomosis usus, mual dan muntah, juga inkontinensia feses merupakan beberapa komplikasi penggunaan inhibitor kolinesterase. Efek samping muskarinik yang tidak diinginkan dikurangi dengan penggunaan antikolinergik sebelum atau bersamaan dengan pemberian inhibitor asetilkolinesterase, seperti pemberian atropin bersama glikopirolat. Durasi kerja obat golongan inhibitor asetilkolinesterase berbeda-beda. Klirens tergantung pada metabolisme hepatik (25-50%) dan ekskresi renal (50-75%). Perpanjangan kerja pelumpuh otot non-depolarisasi akan diikuti oleh peningkatan durasi kerja obat inhibitor asetilkolinesterase. Dosis yang diperlukan tergantung derajat blok neuromuskular yang telah pulih; biasanya diperkirakan dengan melihat respons stimulasi saraf perifer. Umumnya tidak ada inhibitor asetilkolinesterase yang dapat memulihkan blok saraf sangat intens yang tidak responsif terhadap stimulasi saraf perifer. Tidak adanya twitch sedikitpun pada 5 detik setelah stimulasi tetanik pada 50 Hz menggambarkan blok sangat intensif yang tidak bisa dipulihkan. Dosis berlebihan inhibitor kolinesterase akan memperpanjang masa pemulihan. Tanda adanya pemulihan spontan (contoh: twitch pertama pada train-of-four [TOF]) harus ada sebelum dilakukan pemulihan farmakologik. Perhitungan pasca-tetanik (jumlah twitch yang dapat dipalpasi pasca tetanik) secara umum berhubungan dengan waktu pemulihan twitch pertama TOF, sehingga berhubungan dengan kemampuan memulihkan paralisis intens. Pada obat kerjasedang, seperti atrakurium dan venkuronium, twitch pasca-tetanik yang teraba akan muncul 10 menit sebelum pemulihan spontan twitch pertama pada TOF. Sebaliknya, pada agen 336 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 336 6/5/ :01:49 AM

5 kerja-panjang, seperti pankuronium, twitch pertama TOF akan muncul 40 menit setelah twitch pasca-tetanik yang teraba. Waktu pemulihan efek blokade non-depolarisasi bergantung pada beberapa faktor, termasuk pilihan dan dosis obat inhibitor kolinesterase yang digunakan, pelumpuh otot yang diantagonis, dan derajat blokade sebelum pemulihan. Pemulihan menggunakan edrofonium umumnya berlangsung lebih cepat daripada menggunakan neostigmin. Dosis besar neostigmin berlangsung lebih cepat daripada obat yang sama dengan dosis yang lebih sedikit. Pelumpuh otot kerja sedang membutuhkan dosis agen pemulihan (untuk derajat blok yang sama) yang lebih kecil daripada agen yang lebih lama masa kerjanya. Ekskresi dan metabolisme yang memadai akan mempercepat masa pemulihan agen kerja singkat dan sedang. Keuntungan ini dapat hilang dalam kondisi kerusakan organ tingkat terminal (misalnya, penggunaan vekuronium pada pasien gagal fungsi hati) ataupun defisiensi enzim (misalnya, pemberian mivakurium pada pasien homozygous atypical pseudocholinesterase). Bergantung pada dosis pelumpuh otot yang telah diberikan, pemulihan spontan sampai ke tahap adekuat secara farmakologik dapat berlangsung lebih dari 1 jam pada pelumpuh otot kerja panjang karena metabolisme yang kurang signifikan hingga ekskresi lambat. Faktor-faktor yang mempecepat pemulihan juga biasanya berhubungan dengan kejadian paralisis residual yang lebih kecil dan kejadian komplikasi pernafasan pascabedah. Agen pemulihan mesti diberikan secara rutin pada pasien yang mendapatkan pelumpuh otot non-depolarisasi kecuali pemulihan universal dapat dibuktikan ataupun rencana post operasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi, dimana pada situasi terakhir ini sedasi yang adekuat harus tersedia. Gambar 4 Struktur kimia inhibitor kolinesterase Tabel 4 Inhibitor kolinesterase yang digunakan sebagai pemulih pelumpuh otot, antikolinergik, dan dosisnya Inhibitor kolinesterase Dosis umum Antikolinergik yang dianjurkan Neostigmin 0,04-0,08 mg/kg Glikopirolat 0,2 mg Piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg Glikopirolat 0,05 mg Edrofonium 0,5-1 mg/kg Atropin 0,014 mg Fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg Biasanya tidak perlu NA Stimulasi saraf perifer juga mestilah digunakan untuk memonitor kemajuan dan konfirmasi bahwa reversal sudah adekuat. Secara umum, semakin tinggi frekuensi stimulasi, semakin tinggi sensitivitas test tersebut (100-Hz tetanik >50-Hz tetanik atau TOF >single-twitch height). Dikarenakan stimulasi saraf perifer tidaklah nyaman pada pasien sadar, maka double-burst stimulation and test alternatif dari fungsi neuromuskuler yang mestinya digunakan pada pasien sadar. Variasi juga didapatkan pada sensitivitasnya (sustained head lift > inspiratory force > vital capacity > tidal volume). Maka dari itu, batas seseorang dapat dikatakan pulih ialah tetanus yang berkelanjutan 5 detik setelah respons dari stimulus 100 Hz pada pasien terbius ataupun mengangkat kepala pada pasien sadar. Jika tidak ada titik akhir diatas yang dapat dicapai, pasien harus tetap terintubasi dan ventilasi diteruskan. Edrofonium Edrofonium merupakan salah satu senyawa inhibitor asetilkolinesterase yang reversibel. Obat ini bertindak sebagai inhibitor kompetitif enzim asetilkolinesterase, terutama pada neuromuscular junction, mencegah pemecahan asetilkolin. Edrofonium tidak mempunyai molekul karbamat sehingga bergantung pada ikatan nonkovalen terhadap enzim asetilkolinesterase. Senyawa amonium kuartener obat ini membatasi kelarutan obat ini dalam lemak. Efektivitas edrofonium 10% lebih kecil dari neostigmin. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kgbb. Edrofonium tersedia dalam larutan 10 mg/ml dan dalam kombinasi dengan atropin. Edrofonium mempunyai onset paling cepat (1-2 menit) dan durasi kerja paling pendek di antara inhibitor asetilkolinesterase lain. Dosis kecil tidak dianjurkan karena efek obat pelumpuh otot lebih panjang. Dosis tinggi Dosis umum antikolinergik per mg inhibitor kolinesterase edrofonium akan memperpanjang durasi kerja hingga lebih dari 1 jam. Pasien usia sangat lanjut tidak lebih sensitif terhadap edrofonium dibandingkan dengan neostigmin. Edrofonium mungkin tidak lebih efektif dari neostigmin dalam mengobati kelumpuhan otot yang berat, namun lebih efektif mengobati efek mivakurium. Pada dosis equipotent, efek muskarinik edrofonium dikatakan lebih kecil dari neostigmin dan piridostigmin. Onset obat ini jika dibandingkan dengan pemberian atropin adalah 0,014 mg atropin per 1 mg edrofonium. Dapat diberikan glikopirolat (0,007 mg per 1 mg edrofonium), tetapi harus diberikan beberapa menit sebelum edrofonium untuk menghindari bradikardia. 6 Mengingat durasi kerja edrofonium hanya sekitar 20 menit, edrofonium digunakan untuk membedakan miastenia gravis dari krisis kolinergik (Tensilon Test). 7 Pada miastenia gravis, edrofonium akan menghasilkan stimulasi efektif melalui penghambatan asetilkolinesterase yang meningkatkan jumlah asetilkolin. Pada krisis kolinergik, edrofonium akan memperparah kelemahan otot melalui mekanisme induksi blok depolarisasi dari otot. Neostigmin (prostigmin, vagostimin) Merupakan senyawa inhibitor asetilkolinesterase bersifat parasimpatomimetik. Obat ini pertama kali dibuat oleh Aesclimann dan Reinert (1931) melalui sintesis 3-dimetilamin- 337 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 337 6/5/ :01:49 AM

6 ofenol dengan N-dimetilkarbamoil klorida, membentuk senyawa dimetilkarbamat. Kemudian produk ini dialkilasi menggunakan dimetilsulfat membentuk neostigmin. 8 Dengan menghambat proses pemecahan asetilkolin, obat ini secara tidak langsung menstimulasi baik reseptor muskarinik maupun reseptor nikotinik. Tidak seperti fisostigmin, neostigmin merupakan senyawa nitrogen kuartener sehingga lebih polar dan tidak masuk ke susunan saraf pusat. Efek obat ini terhadap otot rangka lebih besar daripada efek fisostigmin, dapat menstimulasi kontraksi otot bahkan sebelum lumpuh. 9 Neostigmin mempunyai durasi kerja singkat, biasanya 30 menit sampai 2 jam. 9 Neostigmin berikatan dengan sisi anionik asetilkolinesterase. Obat ini memblok tempat aktif asetilkolinesterase sehingga enzim ini tidak dapat merusak molekul asetilkolin. Kejadian ini mengakibatkan ambang rangsang lebih cepat tercapai untuk membentuk impuls baru. Dosis rekomendasi maksimal neostigmin ialah 0,08 mg/kgbb (dapat sampai di atas 5 mg pada dewasa). Neostigmin umumnya dalam kemasan 10 ml pada konsentrasi 1 mg/ ml, tersedia juga pada konsentrasi 0,5 mg/ml dan 0,25 mg/ml. Efek neostigmin (0,04 ml/kgbb) umumnya muncul dalam 5-10 menit, puncaknya pada 10 menit dan berlangsung lebih dari 1 jam. Jika pemulihan tidak muncul 10 menit setelah pemberian 0,08 ml/kgbb, fungsi kontraksi selanjutnya dipengaruhi oleh pemberian pelumpuh otot sebelumnya dan intensitas blokade. Pada praktek sehari-hari, digunakan dosis 0,04 mg/kgbb jika masih terdapat kelumpuhan otot ringan hingga sedang dan dosis 0,08 mg/kgbb jika kontraksi otot telah terjadi. Pasien anak dan usia lanjut umumnya lebih sensitif, sehingga onsetnya lebih cepat dan membutuhkan dosis lebih kecil; durasi kerja obat ini diperpanjang pada pasien geriatrik. Efek samping muskarinik diminimalkan dengan pemberian antikolinergik sebelumnya atau bersamaan. Onset kerja glikopirolat (0,2 mg glikopirolat per 1 mg neostigmin) sebanding dengan neostigmin dan lebih jarang menyebabkan takikardi daripada atropin (0,4 mg atropin per 1 mg neostigmin). Obat ini dilaporkan dapat melewati plasenta sehingga dapat mengakibatkan bradikardia fetal, sehingga pada wanita hamil atropin merupakan obat pilihan.. Neostigmin (50100 g) telah digunakan sebagai ajuvan pada anestesia intratekal. Neostigmin digunakan sebagai pengobatan miastenia gravis dan secara rutin pada bidang anestesia di akhir operasi sebagai reversal efek obat pelumpuh otot non-depolarisasi, seperti rocuronium dan vecuronium. Obat ini dapat pula digunakan pada kasus retensi urin pascaanestesi umum, ileus paralitik, dan pengobatan keracunan obat kurariformis. Indikasi lain obat ini adalah Sindrom Ogilvie - penyakit pseudoobstruksi kolon pada pasien kritis. Efek samping neostigmin termasuk mual, muntah, inkontinensia alvi, perpanjangan waktu pemulihan dan bradikardi-resistenatropin pada dosis lebih tinggi (200 μg). Neostigmin dapat memicu efek samping okuler meliputi nyeri kepala, pandangan kabur, fakodonesis, injeksi perikornea, iritis kongestif, reaksi alergi, dan (amat jarang) kerusakan retina. 8 Neostigmin juga menyebabkan bradikardia sehingga biasanya digunakan bersamaan dengan obat-obat parasimpatolitik, seperti atropin dan glikopirolat. Piridostigmin Secara struktural mirip dengan neostigmin, kecuali bahwa senyawa ammonium kuartener terikat dengan cincin fenol. Piridostigmin juga bersifat kovalen terhadap ikatan pada asetilkolinesterase dan tidak larut lemak. Piridostigmin mempunyai potensi 20% neostigmin, dapat diberikan pada dosis sampai 0,4 mg/kgbb (umumnya 20 mg pada dewasa). Obat ini tersedia pada sediaan larutan konsentrasi 5 mg/ml. Mula kerja piridostigmin menit lebih lambat dan durasinya sedikit lebih panjang (>2 jam) dibandingkan neostigmin. Glikopirolat (0,05 mg per 1 mg piridostigmin) atau atropin (0,1 mg per 1 mg piridostigmin) harus diberikan untuk mencegah bradikardi. Glikopirolat lebih disukai karena mula kerjanya yang lebih lambat cocok dengan piridostigmin dalam mencegah terjadinya takikardia usai pemberian antikolinergik. Piridostigmin juga digunakan untuk mengobati kelemahan otot pada pasien dengan miastenia gravis dan memulihkan efek keracunan obat kurariformis. Obat ini telah disetujui FDA untuk pengobatan Gulf War Syndrome; saat ini digunakan untuk hipotensi ortostatik. Obat ini dikontraindikasikan pada ileus obstruktif dan obstruksi urin, juga diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan asma bronkial. 9 Fisostigmin Fisostigmin merupakan struktur amin tertier yang mempunyai molekul karbamat namun tidak mempunyai struktur ammonium kuartener. Karenanya senyawa ini larut dalam lemak dan merupakan satu-satunya obat inhibitor asetilkolinesterase yang dapat menembus sawar darah-otak. Sifat ini membatasi kegunaannya sebagai agen pemulihan efek pelumpuh otot nondepolarisasi, namun efektif mengobati keracunan antikolinergik sentral seperti atropin dan skopolamin. Obat ini juga dapat berefek reversal terhadap depresi susunan saraf pusat dan delirium akibat penggunaan golongan benzodiazepin dan anestesi volatil lainnya. Fisostigmin (0,04 mg/kg) tampaknya efektif mengatasi menggigil post operasi. Obat ini antara lain antagonis terhadap efek depresi pernafasan oleh golongan morfin. 10 Hal ini diduga karena efek morfin yang mengurangi jumlah pelepasan asetilkolin di otak dan pusat pernafasan. Efek ini dilaporkan sementara dan mungkin diperlukan dosis berulang. Mekanismenya sebagai inhibitor asetilkolinesterase pada tingkat transmisi sama dengan golongan sejenis. Inhibisi ini meningkatkan efek asetilkolin sehingga berguna untuk gangguan kolinergik dan miastenia gravis. Akhir-akhir ini dilaporkan obat ini meningkatkan daya ingat penderita Alzheimer karena aktivitas antikolinesterasenya yang poten di susunan saraf pusat. Sayangnya, formula fisostigmin salisilat mempunyai bioavailabilitas rendah. Fisostigmin mempunyai efek miotik pada pupil. Selain itu juga meningkatkan outflow aqueous humour mata, sehingga berguna untuk pengobatan glaukoma. Fisostigmin digunakan untuk mengobati miastenia gravis, glaukoma, penyakit Alzheimer dan hambatan pengosongan lambung. Obat ini juga dapat meningkatkan memori jangka pendek (Krus et al 1968). Akhir-akhir ini juga digunakan sebagai pengobatan hipotensi ortostatik. Karena bentuknya amin tersier (dan tidak mengandung ikatan hidrogen dan membuatnya menjadi hidrofobik), obat ini 338 CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 338 6/5/ :01:50 AM

7 dapat menembus sawar darah otak; fisostigmin salisilat digunakan untuk mengatasi efek susunan saraf pusat dari atropin, skopolamin dan overdosis obat antikolinergik. Fisostigmin juga merupakan antidotum keracunan Datura stramonium dan Atropa belladonna. Fisostigmin diusulkan untuk pengobatan intoksikasi GHB (Gama Hidroksi Butirat), agen hipnotik-sedatif poten yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran, kehilangan kontrol otot lurik hingga kematian. Fisostigmin menjadi agen penawar keracunan GHB dengan memproduksi tingkat kesadaran non-spesifik, 10 tetapi belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk membuktikannya sebagai penawar keracunan GHB yang tepat. Fisostigmin juga dapat menangkal efek samping tidak diinginkan dari golongan benzodiazepin seperti diazepam, dan efek barbiturat (semua turunan asam barbiturat yang digunakan untuk hipnotik-sedatif ). Bradikardia jarang terjadi pada dosis dianjurkan, tetapi atropin dan glikopirolat harus tetap tersedia. Glikopirolat tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak akan mengembalikan efek susunan saraf pusat fisostigmin. Efek samping muskarinik lain yang mungkin terjadi ialah salivasi berlebihan, muntah dan kejang. Fisostigmin dimetabolisme hampir lengkap oleh plasma esterase, sehingga ekskresi melalui ginjal kurang penting. Dosis fisostigmin 0,01-0,03 mg/kgbb, tersedia dalam larutan konsentrasi 1 mg/ml. SIMPULAN Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf otot. Hubungan ini terdiri atas ujung saraf motorik tidak berlapis myelin dan membran otot yang dipisah oleh celah sinap. Asetilkolin merupakan neurotransmiter yang dibuat di dalam ujung serabut saraf motorik. Asetilkolin yang terbentuk cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase. Potensial istirahat (resting membran potential) membran ujung saraf motorik terjadi karena membran lebih mudah ditembus ion Kalium ekstrasel daripada ion Natrium. Pada saat pelepasan asetilkolin, membran tersebut sebaliknya akan lebih permeabel terhadap ion Natrium sehingga terjadi depolarisasi otot. Hambatan atau blok saraf dibagi menjadi beberapa mekanisme, yaitu hambatan kompetitif atau non-depolarisasi, hambatan depolarisasi atau hambatan jenis lain, seperti hambatan fase II /blok desensititasi, dan hambatan campuran. Inhibitor asetilkolinesterase hanya dapat memulihkan hambatan yang disebabkan oleh mekanisme non-depolarisasi. Terminologi kolinergik merujuk kepada efek asetilkolin yang berlawanan dengan efek adrenergik dari noradrenalin (norepinefrin). Asetilkolin merupakan neurotransmiter semua sistem saraf parasimpatis (ganglion parasimpatis dan sel efektor), sebagian sistem saraf simpatis (ganglion simpatis, medula adrenal dan kelenjar keringat), beberapa neuron susunan saraf pusat dan saraf somatik yang mempersarafi otot skelet. Reseptor kolinergik dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan reaksi mereka terhadap alkaloid muskarin dan nikotin. Nikotin menstimulasi ganglia otonom dan reseptor otot skelet (reseptor nikotinik), muskarin mengaktivasi sel efektor ujung organ otot polos bronkus, kelenjar air liur dan nodus sinoatrial (reseptor muskarinik). Transmisi neuromuskular normal secara umum bergantung pada ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik-kolinergik motor-endplate. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja berkompetisi dengan asetilkolin pada sisi ikatan ini, sehingga memblok transmisi neuromuskular. Inhibitor kolinesterase secara tidak langsung menambah jumlah asetilkolin untuk berkompetisi dengan pelumpuh otot non-depolarisasi, sehingga mengembalikan transmisi neuromuskular normal. Pada dosis berlebihan, inhibitor asetilkolinesterase secara paradoksal mempotensiasi blokade neuromuskular non-depolarisasi. Agen asetilkolinesterase yang umum dipakai dalam pemulihan pelumpuh otot non-depolarisasi ialah edrofonium, piridostigmin, neostigmin dan fisostigmin. Hanya fisostigmin yang mampu menembus sawar darah otak, sehingga terbatas kegunaannya dalam pemulihan pelumpuh otot di bidang anestesi. Dosis inhibitor kolinesterase yang diperlukan tergantung derajat blok neuromuskular yang telah dipulihkan; waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan efek blok non-depolarisasi bergantung pada beberapa faktor termasuk pilihan dan dosis obat inhibitor kolinesterase yang digunakan, jenis pelumpuh otot yang diantagonis, dan derajat blokade sebelum pemulihan. Agen pemulihan harus diberikan rutin pada pasien yang mendapat pelumpuh otot non-depolarisasi kecuali ada pemulihan universal, rencana pasca-operasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi, untuk menyediakan sedasi yang adekuat. DAFTAR PUSTAKA 1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh otot. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007;3: Rachmat L, Sunatrio S. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. 2004;15: Savarese JJ. A current practice of relaxation. In: Clinical Anesthesiology, 3rd ed. McGraw-Hill, 2002: Stoelting RK. Pharmacology and physiology. In: Anesthetic Practice. 3rd ed. Lippincott, William & Wilkins, Jones JE, Hunter JM, Utting JE. Use of neostigmine in the antagonism of residual neuromuscular blockade produced by vecuronium. Br J Anaesth 1987;59: Joshi GP, Garg SA, Hailey A, Yu SY. The effects of antagonizing residual neuromuscular blockade by neostigmine and glycopyrrolate on nausea and vomiting after ambulatory surgery. Anesth Analg 1999;89: Brenner GM. Pharmacology. Philadelphia, PA: WB. Saunders Co. 2000: Gilman AG, Goodman LS, Gilman A. Goodman and Gilman s The Pharmacological Basis of Therapeutics; 6th ed. Macmillan Publ. Co., Inc., 1980; Howland RD, Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Pharmacology 3rd edition, Lippincott s Illustrated Reviews, 2008; Traub SJ, Nelson, Hoffman. Physostigmine as a treatment for gamma-hydroxybutyrate toxicity: a review. Clin. Toxicol. 2002; 40 (6): CDK-193_vol39_no5_th2012 ok.indd 339 6/5/ :01:51 AM

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS 1 Pembagian sistem syaraf Sistem syaraf dibedakan atas 2 bagian : 1. Sistem Syaraf Pusat (SSP). 2. Sistem

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS)

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS) MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS) Disusun oleh: Kelompok 9 Kelas A Bina Maraya Lestyoningrum Amyda Ayu Dianritami Raras Ravenisa G1F014051 G1F014053 G1F014055

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES

OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan pengertian tentang Obat-obat`yang bekerja

Lebih terperinci

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V

ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN OLEH: KELOMPOK V ATROPIN ATROPIN 0,25 MG/ML INJEKSI GOLONGAN : K KANDUNGAN : Atropine sulfat DOSIS : 250-1000 µg secara subkutan. KEMASAN : Injeksi 0,25 mg/ml x 30 ampul @1 ml SEDIAAN : ampul inj.im/iv/sk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 PENGERTIAN SISTEM SARAF Merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh Merupan

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad

BAB I PENDAHULUAN. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai negara agraris. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

PRINSIP KERJA OBAT. Pengertian

PRINSIP KERJA OBAT. Pengertian PRINSIP KERJA OBAT Kerja obat? Pengertian Perubahan kondisi yang mengakibatkan timbulnya efek (respon) Efek obat? Perubahan fungsi, struktur atau proses sebagai akibat kerja obat Efek Efek utama Efek yang

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ROKURONIUM BROMIDA Merupakan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi turunan aminosteroidal, dengan efek utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi pada

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Rendemen Ekstrak akar Acalypha indica Linn. dari tiga sediaan menunjukkan hasil rendemen yaitu, 1,85 %, 2,4 %, dan 1,9 %. 4.2. Uji Fitokimia Hasil uji fitokimia ekstrak

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI SISTEM SYARAF OTONOM. Rina Wijayanti, M. Sc., Apt Disampaikan dalam Kuliah Modul Farmakologi Prodi Farmasi FK UNISSULA

FARMAKOLOGI SISTEM SYARAF OTONOM. Rina Wijayanti, M. Sc., Apt Disampaikan dalam Kuliah Modul Farmakologi Prodi Farmasi FK UNISSULA FARMAKOLOGI SISTEM SYARAF OTONOM Rina Wijayanti, M. Sc., Apt Disampaikan dalam Kuliah Modul Farmakologi Prodi Farmasi FK UNISSULA SASARAN BELAJAR Mampu menjelaskan : hubungan antara neurotransmiter dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

Obat2 Sistem Saraf Otonom. I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt

Obat2 Sistem Saraf Otonom. I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt Obat2 Sistem Saraf Otonom I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt Pendahuluan Sistem Saraf Manusia Sistem Saraf Pusat (SSP) Sistem Saraf Tepi (perifer) Otak Medula Spinalis SS Somatik SS Otonum Simpatis Parasimpatis

Lebih terperinci

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI

SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI SISTEM SARAF SEL SARAF MENURUT BENTUK DAN FUNGSI 1. SEL SARAF SENSORIK. 2. SEL SARAF MOTORIK. 3. SEL SARAF INTERMEDIET/ASOSIASI. Sel Saraf Sensorik Menghantarkan impuls (pesan) dari reseptor ke sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. posterior dari dinding trakea dan bronkus utama. Dari ganglia ini serabut saraf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. posterior dari dinding trakea dan bronkus utama. Dari ganglia ini serabut saraf BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Neuroanatomi Saluran Napas Secara dominan persarafan dari otot polos saluran napas dimediasi oleh serat-serat parasimpatik yang dibawa oleh nervus vagus. Nervus vagus membawa

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Jember 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Jember 2015 PRAKTIKUM FARMAKOLOGI OBAT MIOTIKUM DAN MIDRIATIKUM ILMU PENYAKIT MATA LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Latifatu Choirunisa NIM 132010101013 Cahya Kusumawardani NIM 132010101030 Ngurah Agung Reza Satria Nugraha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983).

BAB I PENDAHULUAN. pembedahan belum bisa dilakukan tanpa anestesi (Hall dan Clarke, 1983). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anestesi adalah tahapan yang sangat penting pada prosedur pembedahan. Prosedur awal pembedahan harus didahului dengan pemberian anestesi karena pembedahan

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

PERBANDINGAN EFEK GROOMING PADA MENCIT YANG DIBERIKAN EPINEFRIN DAN ATROPIN DAN EFEK DIURESIS PADA MENCIT YANG DIBERIKAN PILOKARPIN DAN PROPRANOLOL

PERBANDINGAN EFEK GROOMING PADA MENCIT YANG DIBERIKAN EPINEFRIN DAN ATROPIN DAN EFEK DIURESIS PADA MENCIT YANG DIBERIKAN PILOKARPIN DAN PROPRANOLOL PERBANDINGAN EFEK GROOMING PADA MENCIT YANG DIBERIKAN EPINEFRIN DAN ATROPIN DAN EFEK DIURESIS PADA MENCIT YANG DIBERIKAN PILOKARPIN DAN PROPRANOLOL ABSTRAK PENDAHULUAN Sistem saraf otonom berkerja menghantarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

Miastenia Gravis Definisi Klasifikasi

Miastenia Gravis Definisi Klasifikasi Miastenia Gravis Definisi Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

SISTEM SARAF. Sel Saraf

SISTEM SARAF. Sel Saraf SISTEM SARAF Sel Saraf Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistemn ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Dalam kegiatannya, saraf mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

SISTEM SARAF MANUSIA

SISTEM SARAF MANUSIA SISTEM SARAF MANUSIA skema sistem saraf manusia m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti m e li p u ti SEL SARAF Struktur sel saraf neuron: Badan sel, Dendrit Akson Struktur

Lebih terperinci

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda

Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron. Gamaliel Septian Airlanda Komunikasi di Sepanjang dan Antar Neuron Gamaliel Septian Airlanda Prinsip Dasar Jalannya Rangsang a) Resting Membrane Potensial b) Potensial Membrane c) Potensial aksi d) Sifat elektrik pasif membrane

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anestesi digunakan secara luas dalam bidang kedokteran hewan seperti menghilangkan nyeri dan kesadaran pada tindakan pembedahan, pengendalian hewan (restraint), keperluan

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot Tinjauan Umum Jaringan Otot Tipe Otot Otot rangka menempel pada kerangka, lurik, dapat dikontrol secara sadar Otot jantung menyusun jantung, lurik, dikontrol secara tidak sadar Otot polos, berada terutama

Lebih terperinci

TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM

TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM TINGKAT KONTROL SISTEM SARAF OTONOM Sistem Saraf manusia Tubuh manusia dapat dilihat sebagai suatu sistem saraf yang dapat berubah-ubah kinerjanya bergantung antara lain pada perubahan rangsangan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat-obat pelumpuh otot-saraf Mekanisme kerja obat-obat pelumpuh otot-saraf adalah menghambat transmisi impuls saraf di sambungan otot-saraf. Obat-obat ini dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus

Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Reflex adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus Merupakan fungsi integratif Lengkung reflex (reflex arc) adalah jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya Nyeri bukan hanya suatu modalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Pelumpuh Otot Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls saraf di sambungan saraf-otot (neuromuscular junction). Berdasarkan mekanisme kerjanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

Sistem Saraf pada Manusia

Sistem Saraf pada Manusia Sistem Saraf pada Manusia Apa yang dimaksud dengn sistem saraf? Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA

Bio Psikologi. Firman Alamsyah, MA Bio Psikologi Modul ke: Konduksi Neural / Sinapsis: 1. Konsep sinapsis 2. Peristiwa kimiawi pada sinapsis 3. Obat-obatan dan sinapsis Fakultas Psikologi Firman Alamsyah, MA Program Studi Psikologi Konsep

Lebih terperinci

MYASTHENIA GRAVIS. DIAH MUSTIKA HW SpS, KIC INTENSIVE CARE UNIT of EMERGENCY DEPARTMENT NAVAL HOSPITAL dr RAMELAN, SURABAYA

MYASTHENIA GRAVIS. DIAH MUSTIKA HW SpS, KIC INTENSIVE CARE UNIT of EMERGENCY DEPARTMENT NAVAL HOSPITAL dr RAMELAN, SURABAYA MYASTHENIA GRAVIS DIAH MUSTIKA HW SpS, KIC INTENSIVE CARE UNIT of EMERGENCY DEPARTMENT NAVAL HOSPITAL dr RAMELAN, SURABAYA DEFINISI Myasthenia Gravis adalah suatu penyakit neuromuskular otoimun yang menyerang

Lebih terperinci

TUGAS FARMAKOLOGI OBAT OBAT OTONOM DAN SUSUNAN SARAF PUSAT

TUGAS FARMAKOLOGI OBAT OBAT OTONOM DAN SUSUNAN SARAF PUSAT TUGAS FARMAKOLOGI OBAT OBAT OTONOM DAN SUSUNAN SARAF PUSAT DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1 1.AAM CITRIDA PRAMITA 2.ARI KUNCORO 3.AGNES THERESIA 4.AULIA DWI NATALIA 5.DELLA ROSALIA 6.. 7.. 8... 9... 10. DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 Neuromuskulator Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 STRUKTUR SARAF 3/12/2015 2 SIFAT DASAR SARAF 1. Iritabilitas/eksisitaas : kemampuan memberikan respon bila mendapat rangsangan. Umumnya berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi

Lebih terperinci

SISTEM SARAF SEBAGAI SISTEM PENGENDALI TUBUH

SISTEM SARAF SEBAGAI SISTEM PENGENDALI TUBUH SISTEM SARAF SEBAGAI SISTEM PENGENDALI TUBUH dr. Sawitono Amin Singgih, PFK Departemen Ilmu Faal FKUI Pendahuluan Tubuh manusia dapat dilihat sebagai suatu sistem yang dapat berubah-ubah kinerjanya bergantung

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan tidak normalnya mekanisme

Lebih terperinci

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA PATOGENESIS PENYAKIT ASMA Pendekatan terapi yang rasional terhadap penyakit asma adalah tergantung dari pengetahuan mengenai patogenesis penyakit asma Asma adalah penyakit yang diperantarai oleh ikatan

Lebih terperinci

SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA

SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA SISTEM SARAF & INDRA PADA MANUSIA Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013 Sistem Saraf Manusia ; neuron Sistem saraf PENGATUR fungsi tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

Cara Kerja Sistem Saraf Simpatik dan Parasimpatik loading...

Cara Kerja Sistem Saraf Simpatik dan Parasimpatik loading... Cara Kerja Sistem Saraf Simpatik dan Parasimpatik loading... Saraf simpatik dan parasimpatik termasuk ke dalam sistem saraf tak sadar. Saraf simpatik berpangkal pada sumsum tulang belakang (medula spinalis)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal

BAB I PENDAHULUAN. 2006). Infeksi bakteri sebagai salah satu pencetus apendisitis dan berbagai hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apendiks merupakan salah satu organ yang fungsinya belum diketahui secara pasti. Apendiks sering menimbulkan masalah kesehatan, salah satunya adalah apendisitis (Sjamsuhidayat

Lebih terperinci

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2 Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik Farmakodinamik - 2 1 Mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat Mempelajari mekanisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT

KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT KANAL ION SEBAGAI TARGET AKSI OBAT YENI FARIDA S.FARM., M.SC.,APT Kanal ion Peran penting kanal ion dalam sel adalah : 1. transport ion 2. pengaturan potensi listrik di membrane sel 3. signaling sel (kanal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan menenangkan hewan

Lebih terperinci

AKTIVITAS OTONOM. Imai Indra. Kata kunci : Sistem otonom, somatik, fungsi, simpatis, parasimpatis, transmitter

AKTIVITAS OTONOM. Imai Indra. Kata kunci : Sistem otonom, somatik, fungsi, simpatis, parasimpatis, transmitter AKTIVITAS OTONOM Imai Indra Abstrak. Sistem saraf motorik terbagi atas sistem otonom dan somatik. Sistem saraf otonom (SSO) sesuai dengan namanya bersifat otonom (independen) dimana aktifitas tidak dibawah

Lebih terperinci

Sistem Saraf. Sumsum. Sumsum Lanjutan

Sistem Saraf. Sumsum. Sumsum Lanjutan Sistem Saraf Sistem Saraf Pusat Sistem Saraf Tepi Otak Sumsum Sistem Saraf Aferen Sistem Saraf Eferen Lobus Frontalis Lobus Temporalis Otak Besar Lobus Oksipitalis Lobus Parietalis Otak Kecil Sumsum Lanjutan

Lebih terperinci

Anesty Claresta

Anesty Claresta Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang

Lebih terperinci

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S PENTINGNYA CAIRAN Dr.Or. Mansur, M.S Dr.Or. Mansur, M.S mansur@uny.ac.id Fungsi air dan elektrolit 1. Mempertahankan keseimbangan cairan 2. Hilangnya kelebihan air terjadi selama aktivitas 3. Dehidrasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaringan aktual dan potensial yang menyebabkan seseorang mencari. perawatan kesehatan ( Smeltzer & Bare, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. jaringan aktual dan potensial yang menyebabkan seseorang mencari. perawatan kesehatan ( Smeltzer & Bare, 2012). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang dirasakan mengganggu dan menyakitkan, sebagai akibat adanya kerusakan jaringan aktual dan potensial yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan tubuh manusia tidak hanya tergantung dari jenis makanan yang dikonsumsi, tetapi juga dari aktivitas atau latihan fisik yang dilakukan. Efek akut aktivitas

Lebih terperinci

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI 1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI PERITONITIS POST TRAUMA PADA LAKI-LAKI 43 TAHUN

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROTOMI PERITONITIS POST TRAUMA PADA LAKI-LAKI 43 TAHUN [Home E-CASE] Artikel o Daftar Artikel o Daftar Topik Presus o Presus Home o Daftar Presus o Rangking Presus o Print Forum o Forum Home Jadwal o Daftar Jadwal o Kalender Jadwal Galeri File o Daftar galeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing merupakan hewan peliharaan yang paling populer hampir di seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga memiliki jiwa pengabdian

Lebih terperinci

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik. Interaksi reseptor Mekanisme non-reseptor

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik. Interaksi reseptor Mekanisme non-reseptor Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik Farmakodinamik - 2 Mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat Mempelajari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organofosfat Organofosfat adalah zat kimia sintesis yang terkandung dalam pestisida berupa ester organik asam fosfat atau thiophosphoric. Senyawa tersebut merupakan inhibitor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan anestesi. Sejarah membuktikan

Lebih terperinci

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar.

Fungsi. Sistem saraf sebagai sistem koordinasi mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu: Pusat pengendali tanggapan, Alat komunikasi dengan dunia luar. Pengertian Sistem saraf adalah sistem yang mengatur dan mengendalikan semua kegiatan aktivitas tubuh kita seperti berjalan, menggerakkan tangan, mengunyah makanan dan lainnya. Sistem Saraf tersusun dari

Lebih terperinci

Gangguan Neuromuskular

Gangguan Neuromuskular Bab 9 Gangguan Neuromuskular Oleh: Dr. dr. Zairin Noor Helmi, Sp.OT(K)., M.M., FISC. Tujuan Pembelajaran Setelah menyelesaikan bab ini, pembaca/peserta didik diharapkan mampu: mendeskripsikan konsep palsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

biologi SET 17 SISTEM SARAF DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. PEMBAGIAN SUSUNAN SARAF

biologi SET 17 SISTEM SARAF DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. PEMBAGIAN SUSUNAN SARAF 17 MATERI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL biologi SET 17 SISTEM SARAF Segala aktivitas tubuh manusia dikoordinasi oleh sistem saraf dan sistem hormon (endokrin). Sistem saraf bekerja atas

Lebih terperinci

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500 PERBANDINGAN PENURUNAN TEKANAN DARAH ANTARA LIDOKAIN 5% HIPERBARIK DENGAN BUPIVAKAIN 0,5% HIPERBARIK PADA ANESTESI SPINAL UNTUK OPERASI EKSTREMITAS INFERIOR DI RSO. Prof. Dr. R. SOEHARSO SURAKARTA SKRIPSI

Lebih terperinci

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PATOFISIOLOGI ANSIETAS PATOFISIOLOGI ANSIETAS Faktor Predisposisi (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa : 1. Peristiwa traumatik 2. Konflik emosional 3. Konsep diri terganggu 4. Frustasi 5. Gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembedahan atau operasi merupakan tindakan invasif dengan membuka bagian tubuh untuk perbaikan.pembedahan biasanya diberikan anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh memiliki mekanisme untuk merespon bagian yang mengalami luka. Respon terhadap luka ini terdiri dari proses homeostasis, fase inflamasi, fase proliferatif, dan

Lebih terperinci