BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat Pelumpuh Otot Prinsip farmakologi pelumpuh otot adalah menghalangi transmisi impuls saraf di sambungan saraf-otot (neuromuscular junction). Berdasarkan mekanisme kerjanya obat pelumpuh otot diklasifikasikan menjadi pelumpuh otot depolarisasi dan non-depolarisasi. 13 Penggunaan klinis pelumpuh otot dalam bidang anestesiologi adalah menyediakan suatu kondisi relaksasi otot untuk memfasilitasi intubasi endotrakea dan memudahkan kerja operator selama anestesi umum. Dosis 2xED95 direkomendasikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakea. Pelumpuh otot tidak mendepresi saraf pusat dan tidak memiliki sifat analgesik. Penggunaan pelumpuh otot diluar ruang operasi juga luas diaplikasikan seperti halnya pada pengelolaan pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif Anatomi dan Fisiologi Sambungan Saraf-Otot Regio antara motor neuron dan sel otot disebut sambungan saraf-otot. Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm). Pada saat depolarisasi potensial aksi saraf terminal, terjadi influks ion-ion kalsium melalui gerbang saluran kalsium ke sitoplasma saraf yang menyebabkan vesikel di membran terminal akan mengeluarkan asetilkolin (acethylcholine). Molekul asetilkolin akan berdifusi sepanjang celah sinaps untuk berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada membran otot di motor end-plate. Setiap sambungan saraf-otot mengandung 5 juta reseptor, tapi hanya diperlukan reseptor untuk kontraksi otot normal. 10,11,13,29 23

2 Gambar 2.2. Fisiologi sambungan saraf-otot (Netter illustration from Elsevier all rights reserved) 51 Struktur reseptor asetilkolin bervariasi di setiap jaringan dan perkembangannya juga berbeda. Setiap reseptor asetilkolin di sambungan sarafotot normalnya mempunyai 5 subunit protein, 2 subunit α dan subunit tunggal β, δ, dan ε. Hanya subunit α identik yang bisa mengikat molekul asetilkolin. Bila kedua tempat diduduki asetilkolin, terjadi perubahan cepat pada subunit α (1 milidetik) membuka saluran ion pada inti reseptor. 11,13,30 24

3 Gambar 2.2.1: Struktur reseptor asetilkolin. A: Dua subunit yang berikatan dengan ACh dan kanal tengah. B: Ikatan ACh ke reseptor pada muscle end-plate menyebabkan pembukaan kanal dan masuknya ion. 11 Kation keluar melalui saluran asetilkolin yang terbuka (sodium dan kalsium masuk; potasium keluar), menghasilkan potensial end-plate. Bila reseptor-reseptor telah cukup diduduki oleh asetilkolin, akan terjadi depolarisasi membran perijunctional. Saluran sodium pada bagian ini akan terbuka bila ambang batas terlewati. Potensial aksi menyebar sepanjang membran otot dan T- tubule yang membuka saluran-saluran sodium dan melepaskan kalsium dari retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini membuat actin dan myosin berinteraksi yang menimbulkan kontraksi otot. 11,13,30 Asetilkolin segera dihidrolisis ke dalam bentuk asetat dan kolin oleh enzim spesifik acethylcholinesterase. Enzim ini terdapat pada membran motor endplate 25

4 yang segera mendekati reseptor asetilkolin. Bila potensial aksi berhenti, saluran sodium pada membran otot akan tertutup dan otot menjadi istirahat. 11,13, Mekanisme Kerja Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi Seperti asetilkolin, seluruh obat pelumpuh otot memiliki rantai amonium yang secara positif mengisi nitrogen yang berafinitas terhadap reseptor asetilkolin nikotinik. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja mencegah depolarisasi dengan jalan berikatan dengan reseptor asetilkolin dengan cara: 10,11,29 a. Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptornya sehingga mencegah depolarisasi motor end-plate. b. Molekul obat akan masuk ke kanal reseptor dan menyebabkan blokade kanal. c. Pelumpuh otot non-depolarisasi bekerja pada presinaptik, memblokade kanal Natrium dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa ke release site. Tabel 2.3 Farmakologi pelumpuh otot non-depolarisasi (Atracurium & Rocuronium) 11 Struktur Metabolisme Ekskresi Onset 2 Durasi 3 Pelepasan Blok Kimia 1 Primer Histamin 4 Vagal 5 Atracurium B +++ Insignifikan Rocuronium S Insignifikan Bilier B=Benzylisoquinolone, S=Steroidal 2 Onset: + slow, ++ moderate, +++rapid 3 Durasi: + short, ++ intermediate, +++ long 4 Pelepasan Histamin: 0 no effect, + slight effect 5 Blok Vagal: 0 no effect, + slight effect (dikutip dari Morgan & Mikhail s Clinical Anesthesiology) 2.4 Rocuronium Bromida Merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi turunan aminosteroid, dengan efek utamanya pada post-junctional dan selektifitas yang tinggi pada reseptor sambungan saraf-otot. Obat ini dipublikasikan pada tahun 26

5 1988 pada World Congress of Anesthesiology IX di Washington dan diperkenalkan pada praktek anestesi tahun 1994 di Prancis. 10 Paralisis otot dihasilkan oleh karena terjadinya antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik nikotinik otot rangka, potensinya kurang lebih 15-20% dari vecuronium. Rocuronium tidak menghasilkan blok pada ganglia otonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk melepaskan histamin Sifat Fisik dan Kimia Rocuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl, 16-allyl-pyrrolidino derivat dari vecuronium, yang berbeda dari vecuronium pada posisi 3 nukleus steroid. Rumus kimianya C32H53BrN2O4 dengan berat molekul 609,7. Koefisien partisi dalam n-octanol/water adalah 0,5 pada suhu 20 0 C dan memiliki ph 4. Osmolaritas (osmol.liter -1 ) dan osmolalitas (osmol.kg -1 ) antara 260 dan 330,6. 10,12,32 Gambar Rumus Kimia Rocuronium Bromida 11 Karakteristik molekuler yang menarik dari rocuronium adalah tidak adanya fragmen mirip asetilkolin yang ditemukan pada nukleus steroid cincin A seperti pada pancuronium dan vecuronium. Fragmen mirip asetilkolin terletak pada cincin D yang sesuai untuk bergabung dengan reseptor di sambungan sarafotot dan yang pada umumnya ada pada pelumpuh otot dengan potensi tinggi. Namun penggantian grup metil yang terletak pada nitrogen quarterner dari 27

6 pancuronium dan vecuronium oleh grup allyl dan tidak adanya fragmen mirip asetilkolin pada cincin A mungkin bertanggung jawab pada penurunan potensi rocuronium. Penggantian grup asetat yang terletak pada cincin A oleh grup hidroksil yang mungkin menyebabkan rocuronium sebagai larutan yang stabil. 10,12, Interaksi dan Potensi Penelitian menunjukkan ED50 0,105 0,170 mg/kg, dan ED 90 0,259 0,305 mg/kg, tergantung tehnik anestesi dan stimulasi yang digunakan. Enfluran dan isofluran mempunyai efek potensiasi dengan rocuronium, sedang halothan kurang dibandingkan enfluran dan isofluran, hal ini sama dengan pelumpuh otot yang lain. 11 Penelitian mengenai interaksi rocuronium dengan beberapa obat anestesi intravena seperti droperidol, midazolam, etomidat, tiopenton dan propofol tidak mempunyai efek yang nyata secara klinis, namun dosis tinggi obat-obatan tersebut mempunyai sedikit efek potensiasi, pemberian suxamethonium sebelumnya tidak memberikan efek pada potensi rocuronium Efek Kardiovaskular Pelumpuh otot dapat menghasilkan efek kardiovaskular pada blok reseptor muskarinik, blok ganglion, pelepasan noradrenalin dan blokade re-uptake, atau akibat pelepasan histamin. Rocuronium juga memiliki sedikit efek vagolitik, oleh karena itu rocuronium dapat juga digunakan untuk operasi yang mempunyai resiko stimulasi vagal. Begitupun rocuronium tidak menyebabkan perubahan denyut jantung ataupun tekanan darah. 13,32,33 Pada dosis klinis rocuronium mempunyai aktifitas sedikit atau tidak ada pada reseptor kolinergik nikotinik yang lain diluar otot rangka. Efek vagolitik yang ringan, yang tampak pada dosis yang lebih tinggi dari rokuronium dapat membantu pencegahan bradikardia intraoperatif. 13,32,33 28

7 Kurangnya efek blok ganglion otonom secara relatif atau efek simpatomimetik, biasanya tidak menyebabkan permasalahan pada pasien-pasien yang menggunakan terapi (antidepresan, β blocker) yang mana targetnya adalah sistem simpatik. 13,32,33 Tidak ada perubahan hemodinamik yang berarti oleh karena pemberian rocuronium. Tidak ada peningkatan plasma histamin pada dosis 1,2 mg/kg iv (4xED95). Perubahan hemodinamik sedikit pernah diobservasi sewaktu operasi bypass koroner jantung. Reaksi anafilaksis pernah dilaporkan, namun ternyata dianggap positif palsu, karena lebih dari 50% populasi menunjukkan tes intradermal negatif. Penemuan terbaru menyimpulkan bahwa tidaklah tepat untuk menghindari rocuronium karena alasan reaksi anafilaksis. 13,32, Sifat Pelepasan Histamin Pelepasan histamin dapat menyebabkan efek yang tak diinginkan yang mana efek terhadap kardiopulmonar adalah masalah yang penting pada klinis. Kebanyakan pelumpuh otot yang digunakan sekarang ini adalah derivat aminosteroidal, benzylisoquinoline, atau molekul asetilkolin. Perbedaan pada obat tersebut adalah matriks molekuler yang mendukung struktur amonium bisquarternary. 10 Hal ini telah diperlihatkan bahwa pelumpuh otot golongan benzylisoquinolin mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk melepaskan histamin daripada aminosteroid Farmakokinetik Farmakokinetik rocuronium mirip dengan vecuronium, kecuali volume distribusinya lebih kecil, ini menunjukkan sifat lipofilik rocuronium lebih rendah dari vecuronium Pada orang dewasa yang sehat, waktu paruh eliminasi rata-rata 73 menit, volume distribusi 203 ml/kg dan bersihan plasma adalah 3,7 ml/kg/menit. Rocuronium terutama dieliminasi melalui jalur hepatobilier dan 10% di ginjal. 29

8 Pada umumnya kumulasi berdasarkan pada pemakaian dosis dan sifat farmakologi obat. 10,13 Cooper dkk menemukan bahwa nilai farmakokinetik rocuronium pada pasien dengan/tanpa gagal ginjal dapat menunjukkan perbedaan kecepatan bersihan (2,5 dan 3,7 ml/kg/menit) yang nyata. 10,13,32,33 Pada penyakit hepar stadium lanjut terjadi pemanjangan masa kerja obat tetapi dosis awal sedikit ditingkatkan karena volume distribusi yang lebih lama dan pada keadaan gagal ginjal bersihan plasma menurun, volume distribusi menjadi meningkat dan terjadi pemanjangan masa kerja obat yang signifikan dengan sekali pemberian. Pemanjangan masa kerja juga terjadi pada wanita hamil dan orang tua akibat fungsi hati yang menurun. Selain itu pemanjangan kerja rocuronium dapat disebabkan akibat penambahan dosis dari 0,6 mg/kg iv menjadi 1 mg/kg iv (37 95 menit). 10,13,32, Farmakodinamik Potensi rocuronium sekitar 15-20% vecuronium. Potensi yang lebih rendah ini dapat mempunyai keuntungan. Pada penelitian eksperimental, obatobat dengan potensi rendah menghasilkan mula kerja yang lebih cepat, kemungkinan karena konsentrasi molar yang lebih tinggi pada tempat kerjanya. 10,32,33 Rocuronium bekerja dengan cara berkompetisi dengan asetilkolin di reseptornya. Prinsip kerjanya pada reseptor yang sama dengan asetilkolin dan suksinilkolin, tetapi tidak menimbulkan depolarisasi motor endplate. Rocuronium mempertahankan kestabilan membran post sinap dan mencegah terbentuknya potensial aksi di otot rangka. 10,32,33 Mula kerja rocuronium lebih cepat dibandingkan pelumpuh otot nondepolarisasi yang telah tersedia, pada beberapa dosis perbandingan pelumpuh otot, rocuronium memberikan paralisis dan kondisi intubasi yang baik serta lebih 30

9 cepat. Dosis 0,6 mg/kg iv (2xED95) memberikan kondisi intubasi yang baik hampir pada semua pasien. 10,32, Atracurium Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot, atracurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi ginjal, waktu mula kerja lebih cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih komplit Rumus Kimia Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-depolarisasi dari golongan benzylisoquinolinium bisquaternary, dengan berat molekul 1243,5 DA. Pada ED mg/kg bb atracurium memiliki mula kerja 3-5 menit dan durasi kerja menit. 38,39 Ditemukan oleh Stenlake dkk pada pertengahan 1970, yang dirancang untuk menghasilkan relaksasi non-depolarisasi dan mengalami eliminasi Hofmann. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis di Inggris oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di AS oleh Basta pada tahun ,11,13 Gambar Rumus Kimia Atracurium Besylate 11 31

10 2.5.2 Mekanisme Kerja Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik prasinaps dan paskasinaps. Atracurium juga menyebabkan penghambatan otot-saraf secara langsung dengan mempengaruhi aliran ion melalui kanal reseptor-reseptor kolinergik nikotinik. Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan plasma protein terutama albumin. Atracurium didesain untuk didegradasi spontan in vivo (eliminasi Hoffman) pada temperatur tubuh dan ph normal. 36 Garam iodide besylate ditambahkan untuk membuat atracurium lebih larut dalam air, dan mengatur ph larutan diantara untuk meminimalkan degradasi in vitro spontan. Oleh karena sediaan komersial yang memiliki ph yang rendah, atracurium sebaiknya tidak dicampur dengan obat-obat yang bersifat alkali seperti barbiturat atau cairan infus yang alkalis. Terpaparnya atracurium terhadap larutan alkali sebelum masuk ke sirkulasi secara teori akan mengakibatkan kerusakan dini pada obat. Potensi atracurium yang disimpan di temperatur ruangan akan menurun sekitar 5% setiap 30 hari. 10,11, Bersihan Atracurium mengalami degradasi spontan non-enzimatis pada temperatur tubuh dan ph normal yang dikenal sebagai eliminasi Hofmann. Selanjutnya secara simultan atracurium akan dihidrolisis oleh plasma esterase yang nonspesifik. Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, sedangkan hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini tidak tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari kolinesterase plasma. Sama seperti pasien normal, maka masa kerja penghambatan atracurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar adalah sama. Eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek kumulatif obat yang sedikit dengan dosis berulang atau infus kontinu. Di atas semua itu, hidrolisis ester bernilai terhadap sekitar 2/3 atracurium yang didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan jaring yang aman, 32

11 khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan/atau ginjal yang terganggu. 10,11,13,37 Masa kerja atracurium tidak berbeda diantara pasien normal dan pasienpasien dengan penurunan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan kelainan cholinesterase plasma yang atipikal. 13 Tidak terjadinya pemanjangan kerja atracurium pada pasien-pasien dengan cholinesterase atipikal menunjukkan ketergantungan hidrolisis ester pada plasma esterase yang non-spesifik yang tidak berkaitan dengan cholinesterase plasma. 37 Konsistensi dari mula kerja hingga masa pulih setelah dosis tambahan atracurium berulang merupakan karakteristik dari obat ini dan menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan. Tidak terdapatnya obat yang signifikan karena bersihan atracurium yang cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi renal dan hepar. Sedikitnya efek kumulatif memperkecil kecendrungan blokade yang persisten ketika prosedur pembedahan yang lama membutuhkan dosis berulang atau infus kontinu. 10,11, Laudanosine Laudanosine merupakan metabolit utama dari kedua jalur metabolisme atracurium. Eliminasi Hofmann menghasilkan 2 molekul laudanosine dan hidrolis ester menghasilkan 1 molekul laudanosine dari setiap 1 molekul atracurium yang dimetabolisme. 13 Konsentrasi plasma puncak laudanosine pada manusia terjadi 2 menit setelah pemberian iv cepat atracurium dan menetap lebih kurang 75% dari level puncak sekitar 15 menit. 37 Laudanosine bergantung pada bersihan hati, sekitar 70% diekskresi melalui empedu dan sisanya melalui urin. 13 Sirosis hati tidak mempengaruhi bersihan laudanosine, dimana ekskresi metabolit ini akan terganggu pada pasien dengan obstruksi saluran empedu. Konsentrasi plasma dari laudanosine setelah dosis tunggal atracurium 0.5 mg/kg iv akan meningkat pada pasien dengan gagal ginjal dibandingkan dengan pasien normal. Laudanosine tidak akan menyebabkan aktivitas kejang pada pasien yang 33

12 dibius karena atracurium menyebabkan kelumpuhan otot dan disisi lain sedasi hipnotik akan mendepresi susunan saraf pusat Perubahan Asam-Basa Meskipun eliminasi Hofmann bergantung pada ph (dipercepat pada keadaan alkalosis dan diperlambat pada keadaan asidosis) akan tetapi perlu perubahan ph yang cukup besar untuk dapat mempengaruhi eliminasi Hofmann. Perubahan ph akan mempengaruhi laju hidrolisis ester yang berlawanan arah dengan laju eliminasi Hofmann. Oleh karenanya eliminasi Hofmann yang lambat akan dilawan dengan meningkatnya laju hidrolisis ester Efek Kardiovaskular Pemberian cepat atracurium dosis 3xED 95 akan meningkatkan frekuensi jantung 8.3% dan menurunkan tekanan rerata arteri 21.5%. 35 Perubahan pada sistem sirkulasi ini bersifat sementara, terjadi pada detik setelah pemberian atracurium dan akan segera menghilang dalam waktu 5 menit. Wajah dan bagian dada yang memerah (flushing) pada beberapa pasien disebabkan pelepasan histamin sebagai mekanisme perubahan sirkulasi yang berhubungan dengan pemberian cepat atracurium dosis tinggi. Peningkatan konsentrasi histamin plasma sementara dan paralel terhadap perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik terjadi ketika atracurium 0.6 mg/kg iv diberikan secara cepat. Sebaliknya dosis atracurium yang sama diberikan dalam waktu detik, atau bila secara cepat harus didahului pemberian pretreatment antagonis reseptor Histamin 1 dan 2 agar tidak menyebabkan perubahan sirkulasi meskipun didapatkan peningkatan konsentrasi histamin yang sama dengan pemberian dosis tanpa pretreatment. Meskipun memiliki kemampuan melepaskan histamin, pemberian atracurium tidak mempengaruhi tekanan intrakranial pada pasienpasien dengan tumor intrakranial. 13 Pelepasan histamin yang dibangkitkan oleh atracurium tidak terjadi pada pemberian berulang dalam jangka pendek, hal ini dikarenakan cadangan histamin 34

13 tidak tergantikan dalam beberapa hari. Oleh karenanya penurunan tekanan darah sistemik minimal terjadi pada pengulangan dosis yang sama. 13 Tabel Karakteristik pelumpuh otot Non-Depolarisasi (Atracurium & Rocuronium) 11 ED95 (mg/kg) Dosis Intubasi (mg/kg) Mula Kerja Intubasi (menit) Durasi (menit) Dosis Rumatan Bolus (mg/kg) Dosis Rumatan Infus (mg/kg/menit) Atracurium 0,2 0,5 2,5-3, , Rocuronium 0,3 0,8 1, , (Dikutip dari Morgan & Mikhail s Clinical Anestesiology) 2.6 Efedrin Efedrin merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus ephedra (ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di China dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan nama lainnya α-hydroxy-β-methylaminopropylbenzene. 33 Gambar 2.6. Rumus Kimia Ephedrine 50 Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk bidang anestesi. Efedrin merupakan non-katekolamin sintetis yang bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung (merangsang reseptor adrenergik) atau tidak langsung (merangsang pelepasan noradrenalin endogen). Efedrin bertahan terhadap metabolisme oleh MAO di saluran cerna, 35

14 sehingga diabsorpsi dalam bentuk tidak berubah oleh saluran cerna. Hingga 40% efedrin juga diekskresi ginjal dalam bentuk utuh. Tidak seperti epinefrin, efedrin tidak menyebabkan hiperglikemia. Efek stimulasi saraf pusat juga tidak sekuat amfetamin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, efedrin 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronchial, kongesti nasal karena koriza, rhinitis dan sinusitis. 33,38,50 Dalam bidang anestesi efedrin digunakan pada kasus hipotensi akibat anestesi regional, baik oleh karena anestesi spinal atau epidural. Pemberian efedrin mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi efek hipotensi akibat blok simpatis karena anestesi regional. 13 Untuk ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesaria dengan anestesi spinal, efedrin merupakan pilihan untuk mengatasi hipotensi, oleh karena selain meningkatkan tekanan darah juga memperbaiki aliran darah plasenta. 50 Selain digunakan untuk mengatasi hipotensi, Pencampuran efedrin dan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat penyuntikan propofol. 39,40 Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja pelumpuh otot non-depolarisasi. 18, Farmakokinetik Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin cepat diserap secara utuh pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorpsi efedrin yang diberikan intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Efek terhadap tekanan darah dapat bertahan hingga 1 jam pada pemberian parenteral dan 4 jam pada pemberian oral. Efedrin juga dilaporkan dapat menembus plasenta dan terdistribusi dalam air susu ibu

15 Efedrin dimetabolisme oleh hati dalam jumlah kecil melalui proses deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk yang tidak berubah. Eliminasinya dipengaruhi oleh keasaman urin. 13,33,41 Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi Efek Kardiovaskular Efek kardiovaskular efedrin menyerupai epinefrin. Dibutuhkan 250 kali lebih banyak efedrin dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splangnic menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot rangka meningkat. Tahanan perifer meningkat minimal oleh karena efek vasokonstriksi di sebagian pembuluh darah dilawan oleh vasodilasi akibat perangsangan β2 si sebagian pembuluh darah lain. Efek kardiovaskular berupa vasokonstriksi arteri dan vena disebabkan oleh perangsangan reseptor α. Mekanisme utama efedrin terhadap kardiovaskular adalah meningkatkan kontraksi otot jantung oleh aktivasi reseptor β1. 50 Dosis kedua efedrin tidak terlalu meningkatkan respon naiknya tekanan darah sistemik seperti pada dosis pertama. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, dimana terjadi juga pada simpatomimetik lain yang berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik yang persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah kembalinya tekanan darah sistemik mendekati level sebelum mendapat efedrin akibat kompensasi kardiovaskular. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya masih ditempati oleh dosis sebelumnya dan respon tekanan darah berkurang. Takifilaksis mungkin juga karena kekurangan simpanan norepinefrin

16 2.6.3 Kontraindikasi Kontraindikasi terutama termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina pektoris, aritmia dan gagal jantung. 42, Toksisitas Efedrin Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan kebingungan, delirium, halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin juga bisa menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat, mukosa hidung dan tenggorokan kering, takikardi, aritmia, nyeri dada, berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urin, hipertensi yang berakibat perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan. 40 Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun yang mengkonsumsi efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmhg dan diatasi dengan lidokain dan nitropruside dan tekanan darah turun dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin dan 100 mg kafein dan dalam 15 menit kemudian mengalami nyeri dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan lidokain dan nitropruside. Dalam penelitian ini menggunakan efedrin dosis kecil yang diharapkan tidak akan menimbulkan efek samping dan toksisitas berdasarkan laporan yang tersebut diatas. Dilaporkan bahwa dosis efedrin 110 µg/kg/iv berhubungan dengan hipertensi dan takikardia setelah intubasi, sementara dosis 20 µg/kg/iv tidak memperbaiki kondisi intubasi Pemantauan Hambatan Saraf-Otot Pada umumnya, derajat hambatan saraf-otot yang disebabkan oleh pelumpuh otot dinilai dari respon kontraksi otot terhadap stimulus listrik supramaksimal di saraf perifer. Serabut otot yang masih terinhibisi pelumpuh otot tidak akan berespon terhadap rangsang listrik. 51 Kekuatan dan intensitas dari respon ini bergantung pada jumlah serat otot yang teraktivasi. Dengan intensitas 38

17 stimulasi yang cukup, maka semua serat otot yang dipersarafi akan berkontraksi dan mencapai level maksimum. Pada penggunaan klinis stimulus supramaksimal sebesar % diatas level maksimum Tehnik Pemantauan Hambatan Saraf-Otot Persiapan dan penempatan elektroda mempunyai pengaruh dalam pemantauan blokade saraf-otot. Sebelum menempatkan elektroda, kulit harus dibersihkan terlebih dahulu dengan larutan alkohol. Elektroda harus ditempatkan secara tepat pada saraf motorik perifer yang akan distimulasi. Ketika menggunakan elektroda EKG jarak antara dua elektroda harus <6 cm. Sebagai tambahan, direkomendasikan untuk menjaga suhu kulit 32 0 C untuk mencegah bias karena hipotermia. Unit saraf otot yang paling sering dipilih adalah otot adductor pollicis dan nervus ulnaris. Ketika pemantauan akseleromiografi kuantitatif akan digunakan, probe dapat diletakkan pada ujung ibu jari. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, keempat jari lain harus difiksasi. 44 Alternatif lain bila pasien dalam posisi telungkup, saraf tibialis posterior dan otot flexor hallucis brevis dapat digunakan. Pilihan lain lagi adalah nervus fasialis untuk menilai kontraksi otot orbicularis occuli dan otot corrugators supercilii. Intensitas aliran listrik juga berbeda untuk setiap unit otot saraf yang digunakan

18 Gambar Pemantauan pelumpuh otot dengan acceleromiografi. 44 Grup otot yang berbeda akan menunjukkan respon yang berbeda dalam onset, offset, dan efek puncak dari pelumpuh otot saraf. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi intubasi yang optimal dan paralisis otot diafragma dan dinding perut dapat diprediksi oleh pemantauan nervus fasialis dan otot corrugators supercilii, sedangkan nervus ulnaris dan adductor pollicis merupakan pilihan yang baik untuk mengetahui pemulihan otot faring. 44, Pola Rangsangan Saraf Secara klinis pola stimulasi yang digunakan adalah stimulasi kedutan tunggal (single twitch stimulation), stimulasi train of four (TOF), stimulasi tetanik, post-tetanic count stimulation (PTC), dan double-burst stimulation (DBS). 44,46,47 40

19 Single twitch (kedutan tunggal) merupakan pemberian stimulus supramaksimal kepada saraf dengan frekuensi antara Hz. Respon terhadap rangsangan dapat dilihat dari kontraksi otot yang menetap hingga 75% reseptor diduduki oleh pelumpuh otot. Penilaian penurunan respon hingga tidak adanya respon menunjukkan blokade 95% reseptor. 51 Train of four diperkenalkan pada tahun 1970 oleh Ali dan kawankawan. 44,47 Gambar Pola stimulasi dan respon Train of Four 44 Berbeda dengan stimulasi kedutan tunggal, TOF memberikan penilaian yang lebih nyata dari blok saraf-otot. Stimulasi ini memiliki pola yang terdiri dari 4 kedutan pada frekuensi 2 Hz, dengan interval bebas stimulasi 10 detik diantara stimulasi TOF. 44 Menghilangnya (fading) dari respon TOF menunjukkan adanya penghambatan oleh pelumpuh otot di reseptor asetilkolin. Relakasasi pembedahan didefinisikan sebagai rasio TOF 15 25% selama pembedahan. 47 Pada keadaan tanpa penghambatan saraf-otot keempat respon mempunyai amplitudo yang sama. Kehilangan dari respon ke empat menandakan blockade 75-80%. Hilangnya respon ketiga, kedua, dan pertama, menandakan blok 85%, 90%, dan % secara berurutan. Rasio Train of Four didapatkan dengan membagi 41

20 amplitude (tinggi) dari respon keempat dengan amplitudo dari respon pertama. Hal ini untuk menilai pemulihan saraf otot selama pemberian pelumpuh sarafotot. Rasio TOF 0.7 merepresentasikan pemulihan diafragma yang adekuat. Adapun untuk memastikan kembalinya fungsi otot faring yang adekuat membutuhkan rasio TOF > ,46,47 Dibawah ini merupakan hubungan antara depresi kedutan pertama dan respon train of four. 47 Tabel Hubungan antara reseptor yang diduduki, T1, T4, T4/T1 T1 selama blok pelumpuh otot non depolarisasi 44 Hubungan antara reseptor yang diduduki, T1, T4, T4/T1 selama blok pelumpuh otot non depolarisasi Presentasi penghambatan T1 (% normal) T4 (% normal) T4/T1 (% normal) Hilang T Hilang T Hilang T Hilang T TOF-Watch merupakan suatu alat yang memiliki timer tersendiri dimana alat ini memberikan stimuli pada detik tertentu dengan interval bebas stimuli selama 10 detik

21 Stimulasi tetanik adalah pola stimulasi frekuensi tinggi ( Hz) yang berulang. Respon otot yang didapatkan adalah kontraksi tetanik ketika tidak dalam pengaruh blok saraf-otot. Pada kasus pemulihan saraf otot yang tidak komplit, efek fade dapat dilihat selama stimulasi. Penelitian terbaru menunjukkan sensitivitas stimulasi tetanik untuk mendeteksi kurarisasi residual hanya sekitar 70% dengan spesifisitas hanya 50%. 44,46,51 Post tetanic count (PTC) mengizinkan evaluasi taktil dan visual terhadap blok pelumpuh otot yang tidak respon dengan stimulasi TOF. Selama stimulasi PTC, stimulasi 50 Hz diaplikasikan selama 5 detik diikuti stimulus tunggal supramaksimal dengan frekuensi 1 Hz setelah interval 3 detik. PTC akan menghasilkan respon stimulus tunggal yang mengikuti stimulasi tetanik dan idealnya harus 0 jika blok saraf otot yang dalam diperlukan. 44,46,51 Double-burst stimulation diperkenalkan untuk penggunaan klinis pada tahun 1989 oleh Engback dan kawan-kawan. Tehnik ini memberikan evaluasi taktil terhadap penghambatan saraf-otot yang minor dibandingkan evaluasi rasio TOF. Stimulasi ini menggunakan frekuensi 50 Hz dengan interval 750 ms, dimana satu burst terdiri dari 2-3 impuls. Menghilangnya impuls kedua dari seri impuls dibandingkan dengan impuls yang pertama berkorelasi dengan pemulihan pelumpuh otot yang tidak komplit dan dapat dibandingkan dengan TOF < Akseleromiografi Akseleromiografi merupakan salah satu teknik pemantauan kuantitatif yang banyak dipakai saat ini, karena murah dan mudah digunakan. Akselerometri atau akseleromiografi akan mengukur percepatan gerakan dari bagian tubuh seperti ibu jari, dimana otot pollicis adductor melekat. Setelah penempatan elektroda pada saraf yang menjadi target stimulasi, elemen piezo-electric ditempatkan diatas otot yang diinervasi oleh saraf tersebut. Akseleromiografi akan menilai percepatan isotonic dari otot yang distimulasi. Dasar dari metode ini adalah hukum kedua newton bahwa gaya adalah massa dikali percepatan. Jika massa dianggap konstan, maka gaya dari kontraksi otot dapat dihitung jika 43

22 percepatan dinilai. Pergerakan dari organ akhir seperti ibu jari, akan menghasilkan tegangan dalam elemen piezo elektrik yang berkorelasi dengan percepatan otot. 44 Selain di ibu jari, akseleromiografi juga dapat digunakan di otot mata seperti otot supercilli corrugators, namun penggunaannya memiliki keterbatasan. Secara umum akurasi akseleromiografi rendah ketika pergerakan yang dihasilkan beramplitudo lemah. Meskipun demikian akseleromiografi merupakan perangkat yang paling akurat dan paling banyak digunakan untuk menilai blok saraf otot. 48 Akseleromiografi telah menunjukkan korelasi yang baik akan tetapi dapat dipengaruhi artefak, pergerakan pasien, dan respon kedutan yang tidak stabil. Adapun, fiksasi jari-jari dan lengan atas direkomendasikan ketika menggunakan ibu jari. 48 Perangkat komersial akseleromiografi yang tersedia adalah TOF-watch yang didistribusikan perusahaan Phillips di Amerika Serikat. Akan tetapi penggunannya terbatas pada otot adductor pollicis saja, dan tidak bisa digunakan pada diafragma maupun laring. 48 Waktu yang paling penting dalam menerapkan pemantauan otot-saraf adalah pada akhir pembedahan dan anestesi, sebelum pasien dibangunkan. Kebanyakan klinisi akan menggunakan stimulator saraf untuk mengkonfirmasikan pemulihan yang sempurna dari transmisi saraf-otot. Hal ini dikarenakan sangat sulit untuk melakukan evaluasi klinis seperti mengangkat kepala, menjabat tangan, maupun mengangkat kaki pada pasien yang baru pulih dari keadaan anestesi. Stimulator saraf akan banyak membantu pada situasi dimana evaluasi klinis tidak memungkinkan. Rasio train-of-four >0.9 pada otot adductor pollicis perlu diperoleh untuk mendapatkan proteksi jalan nafas yang adekuat setelah anestesi untuk mencegah atelektasis paska operasi dan pneumonia. 48 Aplikasi klinis lain dari monitoring ini adalah untuk menilai mula kerja pelumpuh otot dan menilai kondisi intubasi yang adekuat. Mula kerja laten dari obat adalah waktu yang dibutuhkan mulai dari injeksi sampai dijumpainya efek yang dapat diukur. Mula kerja didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan 44

23 sampai efek puncak. Pengukuran mula kerja bervariasi tergantung pada unit saraf otot yang distimulasi. Onset di laring, diafragma, dan pita suara lebih cepat dibandingkan mula kerja pada otot adductor pollicis. Pemantauan otot orbicularis occuli lebih berguna selama menilai mula kerja pelumpuh otot untuk RSI. 47 Indikasi pemantauan pelumpuh otot-saraf 47 Pemantauan pelumpuh otot-saraf sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang mendapat obat pelumpuh otot. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat obat pelumpuh otot diantaranya: 1. Penyakit ginjal kronik, 2. Penyakit hati, insufisiensi hati, 3. Penyakit neuromuskular seperti miastenia gravis, miopati, dan lesi motor neuron atas dan bawah, 4. Pasien dengan penyakit paru berat, 5. Obesitas untuk memastikan kembalinya fungsi otot rangka, 6. Pelumpuh otot yang diberikan berkesinambungan, 7. Pasien yang mendapat pelumpuh otot kerja panjang, 8. Pasien yang menjalani bedah mayor yang berdurasi panjang. Keterbatasan pemantauan pelumpuh otot Respon pelumpuh otot dapat normal, meskipun reseptor asetilkolin sepenuhnya diduduki pelumpuh otot. T4:T1 rasio 1 meskipun ketika 40-50% reseptor telah diduduki, 2. Variabilitas individual akan memberikan respon yang berbeda, beberapa pasien menunjukkan kelemahan pada rasio TOF , 3. Nilai cut-off untuk pemulihan yang adekuat tidak menggaransi fungsi ventilasi atau proteksi jalan nafas yang baik, 4. Peningkatan impedance kulit yang diakibatkan oleh hipotermia akan membatasi interpretasi yang diperlukan untuk membangkitkan respon. 45

24 2.9 Kerangka Teori Priming Efedrin 10 % dosis intubasi Pelumpuh otot non-depolarisasi Stimulasi reseptor α dan β Menduduki reseptor Asetilkolin lebih awal Meningkatkan curah jantung Menutup sebagian saluran natrium paska sinaps Percepatan perfusi ke otot rangka Inhibisi depolarisasi saraf paska sinaps Potensiasi Obat pelumpuh otot Non-depolarisasi Mempercepat mula kerja pelumpuh otot Gambar 2.9: Kerangka Teori 46

25 2.10 Kerangka Konsep Priming Atracurium 0,5 mg/kg + efedrin 75 µg/kg Mula Kerja (lag time & onset time) Rocuronium 1 mg/kg Variabel Tergantung Variabel Bebas Gambar Kerangka Konsep 47

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ROKURONIUM BROMIDA Merupakan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi turunan aminosteroidal, dengan efek utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat-obat pelumpuh otot-saraf Mekanisme kerja obat-obat pelumpuh otot-saraf adalah menghambat transmisi impuls saraf di sambungan otot-saraf. Obat-obat ini dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap sebuah pelumpuh otot yang ideal yang dapat memberikan kondisi intubasi yang ideal dalam durasi

Lebih terperinci

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL

FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL Tugas Anestesi FARMAKOLOGI ANESTESI LOKAL disusun oleh ASTRI NURFIDAYANTI 110.2004.036 FK UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK PERIODE 14 FEBRUARI-19 MARET 2011 DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS)

MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS) MAKALAH FARMAKOLOGI MOLEKULER RESEPTOR ASETILKOLIN NIKOTINIK (OBAT PELEMAS) Disusun oleh: Kelompok 9 Kelas A Bina Maraya Lestyoningrum Amyda Ayu Dianritami Raras Ravenisa G1F014051 G1F014053 G1F014055

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi umum merupakan teknik yang sering dilakukan pada berbagai macam prosedur pembedahan. 1 Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi anestesi. 2 Idealnya induksi

Lebih terperinci

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

ANTAGONIS KOLINERGIK. Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS ANTAGONIS KOLINERGIK Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Antagonis kolinergik disebut juga obat peng hambat kolinergik atau obat antikolinergik. Yang paling bermanfaat

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang anestesiologis, mahir dalam penatalaksanaan jalan nafas merupakan kemampuan yang sangat penting. Salah satu tindakan manajemen jalan nafas adalah tindakan

Lebih terperinci

Kesetimbangan asam basa tubuh

Kesetimbangan asam basa tubuh Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tujuan dari terapi cairan perioperatif adalah menyediakan jumlah cairan yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskular yang adekuat agar sistem kardiovaskular

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indikasi tindakan seksio sesaria pada wanita hamil berkisar antara 15 sampai 20% dari seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Rendemen Ekstrak akar Acalypha indica Linn. dari tiga sediaan menunjukkan hasil rendemen yaitu, 1,85 %, 2,4 %, dan 1,9 %. 4.2. Uji Fitokimia Hasil uji fitokimia ekstrak

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP PENELITI. : dr. Haryo Prabowo NIM : Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985

RIWAYAT HIDUP PENELITI. : dr. Haryo Prabowo NIM : Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985 Lampiran 1 RIWAYAT HIDUP PENELITI Nama : dr. Haryo Prabowo NIM : 107114003 Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985 Pekerjaan : Dokter umum Agama : Islam Alamat : Jln. Sentosa Lama gg. Sanun no. 12 Medan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Propofol telah digunakan secara luas untuk induksi dan pemeliharaan dalam anestesi umum. Obat ini mempunyai banyak keuntungan seperti mula aksi yang cepat dan pemulihan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informed consent 2.1.1 Definisi Informed consent Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan

Lebih terperinci

PENGANTAR FARMAKOLOGI

PENGANTAR FARMAKOLOGI PENGANTAR FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI : PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - DIAGNOSIS - PENGOBATAN GEJALA PENYAKIT FARMAKOTERAPI : CABANG ILMU PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - PENGOBATAN FARMAKOLOGI KLINIK : CABANG

Lebih terperinci

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA) Penyakit flu umumnya dapat sembuh dengan sendirinya jika kita cukup istirahat, makan teratur, dan banyak mengkonsumsi sayur serta buah-buahan. Namun demikian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Anestesi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen anestesi seperti obat analgesik yang dapat menghilangkan rasa sakit, sementara obat-obat

Lebih terperinci

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL Pendahuluan Parasetamol adalah golongan obat analgesik non opioid yang dijual secara bebas. Indikasi parasetamol adalah untuk sakit kepala, nyeri otot sementara, sakit menjelang

Lebih terperinci

bioavailabilitasnya meningkat hingga mencapai F relsl = 63 ± 22 %

bioavailabilitasnya meningkat hingga mencapai F relsl = 63 ± 22 % BAB 1 PENDAHULUAN Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim. Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak variabel lain. Hipertensi arteri yang berkepanjangan

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT JULAEHA, M.P.H., Apt FISIONEUROLOGI OBAT SSP Obat SSP menekan / menstimulasi seluruh atau bagian tertentu dari SSP. Jika terdapat penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses persalinan yang disertai dengan anestesi mempunyai angka kematian maternal yang rendah (sekitar

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anestesi intravena total adalah suatu tehnik anestesi yang dilakukan hanya dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat anestesi inhalasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan suatu tindakan yang sering dilakukan pada anestesi umum untuk mengurangi atau menumpulkan respon

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot Tinjauan Umum Jaringan Otot Tipe Otot Otot rangka menempel pada kerangka, lurik, dapat dikontrol secara sadar Otot jantung menyusun jantung, lurik, dikontrol secara tidak sadar Otot polos, berada terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan dan anestesi merupakan suatu kondisi yang dapat memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani pembedahan sudah tentunya

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI Mempunyai kekhususan karena : Keadaan umum pasien sangat bervariasi (normal sehat menderita penyakit dasar berat) Kelainan bedah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang anestesi. Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah,

Lebih terperinci

Obat2 Sistem Saraf Otonom. I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt

Obat2 Sistem Saraf Otonom. I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt Obat2 Sistem Saraf Otonom I Dewa Gede Supartama, S. Farm., Apt Pendahuluan Sistem Saraf Manusia Sistem Saraf Pusat (SSP) Sistem Saraf Tepi (perifer) Otak Medula Spinalis SS Somatik SS Otonum Simpatis Parasimpatis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Popularitas anestesi lokal yang semakin meluas dan meningkat dalam bidang kedokteran gigi merupakan cerminan dari efisiensi, kenyamanan dan adanya kontraindikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Penghambat kanal Ca 2+ adalah segolongan obat yang bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, jaringan arteri, vena, dan kapiler yang mengangkut darah ke seluruh tubuh. Darah membawa oksigen dan nutrisi penting untuk

Lebih terperinci

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik. Farmakodinamik - 2 Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping Reaksi yang merugikan Efek toksik Farmakodinamik - 2 1 Mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat Mempelajari mekanisme

Lebih terperinci

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014

SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 SISTEM SARAF OTONOM KELAS IIID FORMU14SI 014 PENGERTIAN SISTEM SARAF Merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh Merupan

Lebih terperinci

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi)

TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) TEKANAN DARAH TINGGI (Hipertensi) DEFINISI Tekanan Darah Tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana

Lebih terperinci

ASIDOSIS RESPIRATORIK

ASIDOSIS RESPIRATORIK ASIDOSIS RESPIRATORIK A. PENGERTIAN. Asidosis Respiratorik (Kelebihan Asam Karbonat). 1. Asidosis Respiratorik adalah gangguan klinis dimana PH kurang dari 7,35 dan tekanan parsial karbondioksida arteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data menyajikan data yang terkumpul dari penelitian, yang terdiri dari data rasa nyeri yang diperoleh dari

Lebih terperinci

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik. Interaksi reseptor Mekanisme non-reseptor

Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik. Interaksi reseptor Mekanisme non-reseptor Pengertian farmakodinamika Dosis Efek samping, reaksi yang merugikan dan efek toksik Farmakodinamik - 2 Mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia seluler dan mekanisme kerja obat Mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri pascabedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Saat ini nyeri masih menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The International Association for The Study of Pain menggambarkan rasa sakit sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan dihubungkan dengan

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan nyeri adalah hak dasar manusia tanpa memandang jenis kelamin dan usia. Telah diketahui bahwa transmisi dan persepsi nyeri timbul dan berfungsi sejak kehamilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernafasan yang bersifat kronis dengan

Lebih terperinci

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 Neuromuskulator Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015 STRUKTUR SARAF 3/12/2015 2 SIFAT DASAR SARAF 1. Iritabilitas/eksisitaas : kemampuan memberikan respon bila mendapat rangsangan. Umumnya berkembang

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS) ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA DENGAN GANGGUAN SISTEM CARDIOVASKULER (ANGINA PECTORIS) ANGINA PECTORIS I. PENGERTIAN Angina pectoris adalah suatu sindrom klinis di mana pasien mendapat serangan sakit dada

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN. menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1 Data Hasil Penelitian Uji perbandingan antara keempat kelompok sebelum perlakuan menggunakan uji One Way Anova. Rerata tekanan darah sistolik kelompok kontrol adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Latar belakang. hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang Anestesi adalah hilangnya rasa sakit yang disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Pada dasarnya anestesi digunakan pada tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 1 Rute pemberian obat Untuk memperoleh efek yang cepat obat biasanya diberikan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. OBAT OBAT EMERGENSI Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt. PENGERTIAN Obat Obat Emergensi adalah obat obat yang digunakan untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat

Lebih terperinci

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf

Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Dasar-dasar Farmakoterapi Sistem Saraf Pendahuluan Dasarnya : neurofarmakologi studi ttg obat yang berpengaruh terhadap jaringan saraf Ruang lingkup obat-obat SSP: analgetik, sedatif, antikonvulsan, antidepresan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reaksi tubuh terhadap pembedahan dapat merupakan reaksi yang ringan atau berat, lokal, atau menyeluruh. Reaksi yang menyeluruh ini melibatkan

Lebih terperinci

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain

Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai perdarah spontan di kulit dan atau perdarahan lain Demam berdarah dengue 1. Klinis Gejala klinis harus ada yaitu : a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlagsung terus menerus selama 2-7 hari b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain

BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF. Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain BAB II PENJALARAN IMPULS SARAF 2.1 Ganglia basalis dan subthalamik nukleus Ganglia basalis merupakan bagian dari otak yang memiliki peranan penting antara lain dalam menghasilkan gerakan motorik terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasa sakit didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman dan suatu pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan tubuh (Levine, 2012), oleh

Lebih terperinci

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH Disusun: Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh

Lebih terperinci

BAB Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular junction

BAB Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular junction BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular junction Regio antara motor neuron dan sel otot disebut neuromuscular junction (gambar 1). Membran sel neuron dan serat otot dipisahkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang tua. 1 Berdasarkan data pada Agustus 2010, terdapat pasien anak berusia 2-12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak-anak mempunyai kondisi berbeda dengan orang dewasa pada saat pra bedah sebelum masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan kian meningkat yang berbanding lurus dengan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi. Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan menenangkan hewan

Lebih terperinci

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS OBAT-OBAT PARASIMPATIS (PARASIMPATOMIMETIK) Dra.Suhatri.MS.Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS 1 Pembagian sistem syaraf Sistem syaraf dibedakan atas 2 bagian : 1. Sistem Syaraf Pusat (SSP). 2. Sistem

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI Oleh : Furkon Nurhakim INTERVENSI PASCA OPERASI PASE PASCA ANESTHESI Periode segera setelah anesthesi à gawat MEMPERTAHANKAN VENTILASI PULMONARI Periode

Lebih terperinci

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan

Lebih terperinci

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam 1. Agen Pelindung Mukosa a Sukralfat Dosis Untuk dewasa 4 kali sehari 500-1000 mg (maksimum 8 gram/hari) sewaktu lambung kosong (1 jam sebelum makan dan tidur). Pengobatan dianjurkan selama 4-8 minggu,

Lebih terperinci

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg

5/30/2013. dr. Annisa Fitria. Hipertensi. 140 mmhg / 90 mmhg dr. Annisa Fitria Hipertensi 140 mmhg / 90 mmhg 1 Hipertensi Primer sekunder Faktor risiko : genetik obesitas merokok alkoholisme aktivitas

Lebih terperinci

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker. BAB 1 PENDAHULUAN Pemberian obat oral telah menjadi salah satu yang paling cocok dan diterima secara luas oleh pasien untuk terapi pemberian obat. tetapi, terdapat beberapa kondisi fisiologis pada saluran

Lebih terperinci

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal Perbandingan antara Sistem syaraf Somatik dan Otonom Sistem

Lebih terperinci

sekresi Progesteron ACTH Estrogen KORTISOL menghambat peningkatan sintesis progesteron produksi prostaglandin

sekresi Progesteron ACTH Estrogen KORTISOL menghambat peningkatan sintesis progesteron produksi prostaglandin Pengertian Macam-macam obat uterotonika Cara kerja / khasiat obat uterotonika Indikasi dan kontraindikasi Dosis yang digunakan Efek samping dan cara mengatasinya Obat Uterotonika - 2 Pada aterm, sekresi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anestesi Spinal a. Definisi Anestesi spinal adalah suatu cara memasukan obat anestesi lokal ke ruang intratekal untuk menghasilkan atau menimbulkan hilangnya

Lebih terperinci

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman

Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Hal-hal yang Perlu Diwaspadai untuk Menghindari Keracunan Kafein dalam Minuman Banyak orang terpikat untuk mengonsumsi minuman berenergi. Dengan publikasi/promosi yang menarik, minuman berenergi dapat

Lebih terperinci

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF

DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF DASAR-DASAR SISTEM SYARAF DAN JARINGAN SYARAF Sistem syaraf bertanggung jawab dalam mempertahankan homeostasis tubuh (kesetimbangan tubuh, lingkungan internal tubuh stabil) Fungsi utamanya adalah untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

Oleh: M. Winardi S. Lesmana NIM: TESIS

Oleh: M. Winardi S. Lesmana NIM: TESIS Efek Penambahan Efedrin HCl 75 µg/kg BB IV Terhadap Mula Kerja Atracurium Besylate 0,5 mg/kg BB IV Tehnik Priming Dibandingkan dengan Rocuronium Bromida 1 mg/kg BB IV pada Tindakan Anestesi Umum Intubasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,

Lebih terperinci

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S

Dr.Or. Mansur, M.S. Dr.Or. Mansur, M.S PENTINGNYA CAIRAN Dr.Or. Mansur, M.S Dr.Or. Mansur, M.S mansur@uny.ac.id Fungsi air dan elektrolit 1. Mempertahankan keseimbangan cairan 2. Hilangnya kelebihan air terjadi selama aktivitas 3. Dehidrasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak BAB 1 PENDAHULUAN 11 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES

OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES OBAT YANG BEKERJA PADA SUSUNAN SARAF OTONOM DR. APRILITA RINA YANTI EFF., M.BIOMED PRODI RMIK-FIKES KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan pengertian tentang Obat-obat`yang bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad

BAB I PENDAHULUAN. Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal sebagai negara agraris. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif,

Lebih terperinci

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA PATOGENESIS PENYAKIT ASMA Pendekatan terapi yang rasional terhadap penyakit asma adalah tergantung dari pengetahuan mengenai patogenesis penyakit asma Asma adalah penyakit yang diperantarai oleh ikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci