penggunaan istilah gaya menyangkut pada masalah gaya tradisi pedalangan yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "penggunaan istilah gaya menyangkut pada masalah gaya tradisi pedalangan yang"

Transkripsi

1 Bab I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wayang Kulit Purwa Yogyakarta Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian pergelaran wayang kulit, yang dikaji dalam bentuk gerak bayangan dari arah kelir (permainan bayangan/shadow play 1 ) melalui sinar lampu blencong 2 sebagai obyek penelitian. Aspek gerak tersebut berasal dari gambar-gambar bayangan yang dimainkan oleh dalang sebagai penentu cerita. Aspek gerak ini, dipedalangan dikenal dengan sabetan (Jawa) yang berhubungan dengan pakeliran segala lakon wayang yang dilayarkan/dikelirkan sebagai makna jagad (Kasidi, 1995) dan lakon perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang (Murtiyoso, 2004). Penyelenggaraan pergelaran wayang kulit perlu dipersiapkan mengenai ketentuan dari pelaksanaan pergelaran itu sendiri. Misalnya: tentang pemilihan dalang dengan ketentuan pada pertimbangan praktis mengenai mutu suara dan artikulasi dalang. Karena kata-kata yang berupa narasi dari dalang, harus cukup jelas mengingat alih aksara untuk keperluan transkripsi. Sebab, dalang wayang dan lakon wayang memiliki hubungan yang erat, yang satu sama lain, tak dapat dipisahkan dalam satu pertunjukan wayang. Studi kasus penelitian menggunakan pakeliran gaya tradisi Yogyakarta, lakon Parta Krama dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo. Hingga saat ini pakeliran gaya tradisi Yogyakarta, masih difungsikan seperti dimasa-masa sebelumnya yaitu, pada 1) perhelatan keluarga yang berkaitan dengan daur hidup (sepasaran bayi, selapanan bayi, tetakan, tetesan, pernikahan, tingkeban, nyewu dan sebagainya. 2) Adat istiadat (ruwatan dan nyadran atau bersih desa, misalnya). 3) kaulan atau nazar atau syukuran. Meskipun begitu unsur hiburan juga disertakan, misalnya dalam adegan garagara 3 (Kasidi,1995) Untuk selanjutnya digunakan istilah gaya Yogyakarta, karena penggunaan istilah gaya menyangkut pada masalah gaya tradisi pedalangan yang 1 Shadow play merupakan teknik kuno untuk bercerita dan hiburan dalam format permainan bayangan. 2 Meskipun aslinya lampu blencong menggunakan minyak untuk menerangi layar/kelir seperti pagelaran wayang kulit di Bali hingga kini. Tapi di Jawa lampu blencong sudah menggunakan listrik, dan istilahnya tetap dengan nama lampu blencong. 3 Adegan gara-gara, berisi para punakawan yang sedang bergembira sambil bernyanyi dan menari dalam waktu senggang, yang biasa digunakan untuk menghibur para penonton, sehabis adegan tegang, misalnya: adegan perang. 1

2 berkaitan dengan teknis ketrampilan gerak wayang yang dimiliki dalang. Penelitian ini menggunakan bahan rekaman dengan teknik kamera yang telah ditentukan sebelumnya, yakni dalam posisi diam tidak bergerak sehingga hasil rekamannya persis sama dengan pergelaran asli dari posisi pergelaran luar. Jadi penelitian ini merupakan telaah rekaman wayang kulit dari pergelaran luar 4. Pergelaran luar Pergelaran dalam Skema: 1.1 Denah lokasi pergelaran luar dan pergelaran dalam. (Laporan penelitian. Tabrani, dkk. 1998) Penelitian yang mengkaji tentang wayang kulit yang ada pada saat ini umumnya, dilakukan berdasarkan garapan yang sesuai bidang keahlian masing-masing. Beberapa diantaranya adalah, Moerdowo, dalam Reflections on Indonesian Art and Culture, mengklasifikasi boneka wayang menurut kepangkatan, jenis kelamin dan asal-usul penggunaan istilah umumnya (Moerdowo: 1963). Victoria M. Clara van Groenendael 4 Pagelaran luar, merupakan istilah lain dari pagelaran dari arah belakang kelir (dari arah bayangan) 2

3 meneliti tentang dalang sebagai penghidup cerita, dengan judul Dalang di Balik Wayang 5 (Van Groenendael: 1987). Penelitian ini mengungkapkan tentang dalang dalam posisi yang sentral, dianggap sebagai sutradara dan sekaligus sebagai pelaku utama dalam pertunjukan wayang kulit. Dalang sebagai penghidup cerita selain memiliki pengetahuan teknik-teknik memainkan gerak wayang juga memiliki pengetahuan tentang teknik-teknik menancapkan wayang dan tokoh wayang dalam suatu panggung pertunjukan. Misalnya, wayang simpingan atau wayang disimping, adalah kelompok wayang yang dipasang berderet di kiri dan kanan panggung pentas pada saat pergelaran 6. Gambar 1.1. Panggung wayang kulit, dengan menggunakan debog atas dan debog bawah. Berikut Gunungan dan wayang yang disimping (ditancapkan pada debog/batang pisang) (Gambar repro, Lordly Shades: 54) 5 Judul asli The Dalang behind the Wayang The Role of the Surakarta and the Yogyakarta Dalang in Indonesia Javanese Society. Diterbitkan sebagai No.114 seri Verhandelingen van het KITLV. 1985, Koninklijk Instituut voor Taal land envolkenkunde, Leiden. 6 Wayang simpingan ini diletakkan dan disimpan berdasarkan derajat kedudukan status tokoh wayang termasuk penampilan fisik seperti ukuran badan, gaya rambut, kemiringan wajah, dan seterusnya. Tempat penyimpanan yang lain adalah, kotak penyimpanan (peti) atau kotak (semacam bingkai) dari bambu, yang oleh para dalang disebut wayang dhudhahan atau wayang dugangan (wayang dhudhahan atau dugangan merupakan kelompok wayang yang tidak disimping di batang pisang). Wayang dugangan merupakan wayang yang posisi kaki wayang berjalan. 3

4 Pada penelitian pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dalam kajian bahasa rupa gerak ini, wayang kulit dikaji pada gerak (sabetan) bayangan pada kelir, yang berasal dari sorot lampu blencong disaat pertunjukan. Pemilihan dari arah bayangan karena wayang merupakan pertunjukan bayang-bayang, yakni roh dalam bentuk bayangan yang merupakan lambang watak manusia (Mulyono.1978; Bastomi.1993). Selain itu pergelaran wayang kulit luar, juga merupakan gambar-gambar dua dimensi dalam bentuk bayangan yang ber gerak, semacam film. Jadi aspek bayangan yang atraktif dan dramatislah, yang menjadikan pilihan dari penelitian ini. Oleh karena itu digunakan pendekatan analisis bahasa rupa sebagai subyek penelitian untuk mengetahui bahasa rupa gerak wayang kulit purwa. Artinya dalam membaca 7 sabetan, perlu diketahui lebih jauh arti posisi gambar yang dihasilkan dari gerak tersebut. Oleh karena itu wayang kulit perlu diteliti dengan bahasa rupa, untuk mengetahui aspek cerita dari gerak bayangan lebih lanjut. Sekaligus untuk menguji ulang teori bahasa rupa dari aspek peralihan ruang dan waktu melalui gerak bayangan wayang kulit dari sorot lampu blencong di saat pergelaran. Penelitian wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, yang ditulis oleh Roger Long, juga mengenai gerak/sabetan, tetapi pembahasan hanya sampai pada gerak baku karakter saja. Belum sampai pada bahasa rupa gerak bayangan wayang kulit. Sebab, bahasa rupa yang telah ditemukan Primadi ini dapat menceritakan lebih detail pada aspek gambargambar, termasuk gambar-gambar yang dirangkai sejenis relief candi, wayang beber, cerita bergambar (komik). Sedangkan wayang kulit bayangan, merupakan gambargambar bayangan yang bisa bergerak, sehingga bahasa rupa yang ditemukan Primadi ini dapat dipakai sebagai dasar teori bagi penelitian pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dari aspek gerak bayangan wayangnya. 7 Membaca di sini dimaksudkan dalam arti mengetahui atau memahami arti/maksud gerakan-gerakan tubuh seseorang atau kharakter untuk dapat dijelaskan kembali/diceritakan kembali. 4

5 Bahasa Rupa Kajian bahasa rupa masih termasuk disiplin ilmu baru. Pada bahasa rupa khususnya bahasannya ditekankan pada aspek bercerita (storytelling), bukan pada kaidah estetis dan makna simbolis. Bahasa rupa 8 ini adalah suatu cara yang dipakai untuk berkomunikasi lewat gambar, oleh karena itu biasa disebut bahasa gambar. Bahasa gambar tersebut diungkapkan melalui imaji dan tata ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik imaji yang ada dalam khayalan maupun imaji yang kasat mata. Oleh karena itu digunakan istilah citra untuk imaji dalam khayalan dan istilah wimba untuk imaji yang kasat mata. Dalam bahasa rupa, wimba (imaji kasat mata) dibedakan atas isi wimba dan cara wimba. Isi wimba ialah obyek yang digambar, misalnya gambar kerbau. Maka kerbau yang digambar = isi wimba. Cara wimba berarti dengan cara apa obyek gambar itu digambar. Misalnya, bagaimana kerbau digambar. Kerbau digambar tampak samping dari kepala sampai kaki, sehingga bahasa tubuhnya bisa dikenali sebagai kerbau, dan cara menggambarkan kerbau tersebut tampak khas (Tabrani. 2005). Cara menyusun berbagai isi wimba dan cara wimba agar gambar tunggal dapat bercerita disebut tata ungkapan dalam. Misalnya gambar kerbau berkaki enam, sebenarnya bukan menceritakan kerbau berkaki enam, tetapi menceritakan bahwa kerbau tersebut sedang berlari. Kemudian pada gambar tunggal yang satu dengan gambar tunggal yang berikutnya hingga gambar bisa bercerita, disebut tata ungkapan luar. Misalnya, bila pada gambar tunggal yang satu berlokasi di luar ruang, sedang gambar tunggal berikutnya berlokasi di dalam ruang, maka telah terjadi peralihan ruang dan waktu. Primadi secara tegas menyebutkan dua bentuk bahasa rupa pada gambar-gambar dua dimensi representatif (gambar-gambar yang mewakili dan bisa dikenali benda aslinya). Pertama, bahasa rupa modern menggunakan sistem menggambar yang disebut 8 Dalam daftar istilah (Suplemen disertasi Primadi. 1991) terdapat beberapa definisi dari istilah bahasa rupa, yakni 1). Visual language Media komunikasi rupa, misalnya gerak, gambar, rambu, dan sebagainya 2). Bahasa rupa khas bahasa rupa dari gambar yang diteliti disertasi ini: gambar prasejarah, primitif, anak, Lalitavistara Borobudur, wayang Beber Jaka Kembang Kuning (untuk mudahnya kemudian disebut oleh Primadi sebagai gambar tradisi. 3). Bahasa rupa media ruparungu dwimatra dinamis bahasa rupa media ruparungu gerak seperti film, televisi, wayang kulit. 4). Bahasa rupa media ruparungu dwimatra statis bahasa rupa media rupa rungu tidak bergerak, seperti wayang beber, slide suara, film strip suara 5). Bahasa rupa modern singkatan dari bahasa rupa media rupa rungu dwimatra statis modern 6). Media ruparungu audio visual language mencakup media ruparungu dwimatra statis dan dinamis. 5

6 Naturalis Perspektif Momenopname (NPM). Pada bidang-bidang studi seni rupa, salah satu pengaruh dari sistem menggambar NPM adalah kita seakan menembak suatu obyek dari satu tempat, ke satu arah, di satu waktu seperti memotret. Hasil gambarnya, merupakan stillpicture (gambar mati, yang dipenjarakan dalam frame/bingkai). Karenanya jenis gambar ini disebut gambar diam yang mati tanpa dimensi waktu. Pada bahasa rupa Film/TV merupakan gambar-gambar NPM yang masing-masing gambar dibatasi frame 9, dirangkai (berupa stop motion ) 10 dengan menggunakan The Grammar of Film/TV Language 11 untuk menciptakan ruang dan waktu, sehingga memiliki kisah yang dapat diceritakan. Kedua, apa yang disebut oleh Primadi Tabrani dengan bahasa rupa tradisi, yakni gambar-gambar dua dimensi representatif yang menggunakan sistem menggambar Ruang Waktu Datar (RWD). Artinya, gambar-gambar dua dimensi representatif ini merupakan gambar-gambar aneka tampak. Meskipun gambar bersifat datar, atau dua dimensi, tetapi mampu merepresentasikan dimensi gerak dan waktu di dalamnya sehingga bisa bercerita, dan disebut gambar diam yang hidup. Bahasa rupa gambar tradisi semula diperoleh dari bahasa rupa gambar-gambar pendahulu (gambar cadas prasejarah, gambar primitif dan gambar anak) yang kemudian berkembang jadi gambar tradisi (karena pengaruh latar belakang budaya). Gambar batu cadas prasejarah, gambar primitif dan gambar anak, disebut gambar pendahulu, karena para senimannya memiliki kesamaan, yakni belum membudayanya kebiasaan menulis, kebiasaan menulis belum dikenal atau kemampuan menulis belum memadai. Kemudian yang dimaksud dengan gambar tradisi Indonesia antara lain torehan lontar, relief candi, wayang beber, gambar motif lampion damarkurung, dan sejenisnya. Hasil penelitian 9 Frame (berasal dari istilah asing) yang dipakai untuk membatasi pandangan pada foto, lukisan, slide, dan negatif film. Panil digunakan untuk membatasi ruang dan waktu pada gambar-gambar relief candi, dan wayang beber. Panil juga digunakan sebagai pembatas pandangan pada gambar-gambar untuk edisi komik. 10 Stop Motion : merupakan istilah bahasa film untuk editing, yakni pengambilan gambar per-detik, yang umumnya digunakan untuk pembuatan film-film animasi (film-film kartun dan film-film bisu model film Charlie Chaplin) yang disusun sedemikian rupa dengan bantuan The grammar of Film/TV Language, sehingga memiliki kisah untuk diceritakan. 11 The Grammar of Film/TV Language, merupakan bahasa kamera Film/TV/Video untuk teknik-teknik pengambilan dan merangkai gambar, sehingga dapat bercerita. 6

7 Primadi menunjukkan, bahwa gambar-gambar tradisi tersebut bahasa rupa nya lebih dekat dengan gambar pendahulu yang merupakan gambar-gambar bersistem RWD. Kedua sistem menggambar ini, yakni NPM dan RWD dengan bahasa rupanya masingmasing, disebut perbendaharaan bahasa rupa dua dimensi gabungan. Gabungan dari perbendaharaan bahasa rupa NPM dan RWD, berikut cara wimba dan tata ungkapan dalam (Tabrani. 2005) yang kemudian pada perkembangannya menjadi perbendaharaan bahasa rupa dua dimensi gabungan lengkap. Merupakan gabungan dari bahasa rupa NPM dan RWD ditambah aspek gerak yang mencakup gerak statis, imaji gerak, cara kembar, lapisan latar, dan semacamnya. Cara menggambar yang berupa imaji gerak, cara kembar dan lapisan latar, merupakan teknis animasi stop motion berikut cara wimba, tata ungkapan dalam, dan tata ungkapan luar. Gambar I.2. Contoh dari pengertian istilah isi wimba dan cara wimba pada bahasa rupa wayang kulit dari arah bayangan. 7

8 Penelitian yang disusun Primadi Tabrani (1991) ini berpendapat bahwa, media ruparungu dua dimensi (baik yang tradisional maupun yang modern) dapat dibagi dalam dua kelompok: bahasa rupa media ruparungu dua dimensi diam (misalnya: wayang beber dan slide suara) dan bahasa rupa media ruparungu dua dimensi gerak (misalnya: wayang kulit dan film). Keduanya memiliki ciri-ciri yang jelas dapat dibedakan dan karena itu dapat menjadi dua masalah yang berbeda dan bisa jadi bahan disertasi yang berbeda pula. Selain itu terungkap pula bahwa bahasa rupa media ruparungu dua dimensi yang dipakai sebagai media teknologi komunikasi pendidikan di Indonesia praktis sama dengan bahasa rupa media ruparungu dua dimensi modern yang dipakai sebagai pembanding. Dijelaskan pula, akibat dari penyempitan masalah dan adanya perubahan judul dari penelitian Primadi Tabrani ini, terungkap bahwa secara historis bahasa rupa media ruparungu diam modern merupakan bagian dari bahasa rupa media ruparungu gerak modern. Ini karena yang gerak pun berdasar pada rangkaian frame, shot, scene, dan sequence, dimana frame adalah pula bahasa rupa media ruparungu diam. Dari pendapat tersebut tampaklah bahwa penelitian yang disusunnya sangat diharapkan kelanjutannya hingga ke penelitian bahasa rupa wayang kulit, sebab dapat dipakai alat pembanding yang sama, yaitu bahasaruparungu diam modern. Sehubungan dengan hal itu, dapat dijelaskan bahwa teori dari penelitian media ruparungu dua dimensi diam tetapi memiliki aspek gerak, maka penelitian ini dapat dilanjutkan untuk penelitian bahasa rupa media rupa rungu dua dimensi gerak, yakni bahasa rupa gerak wayang kulit dalam bentuk bayangan pada saat pergelaran Rumusan Masalah Penelitian ini secara mendasar mempermasalahkan aspek gerak/sabetan dalam cara pandang bahasa rupa wayang kulit dalam bentuk bayangan dari arah kelir melalui sinar lampu blencong pada saat pergelaran. Sebagai pergelaran yang merupakan gambar- 8

9 gambar bayangan (shadow puppet), dan memiliki makna dalam setiap gerak/sabetannya. Maka kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, segenap pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogyakarta perlu dikaji secara ilmiah berdasarkan teori bahasa rupa, karena teori bahasa rupa perlu ditegaskan akan keberadaannya melalui aspek gerak bayangan wayang kulit yang belum pernah diteliti sebelumnya. Sekarang teori ini diujikan pada gambar-gambar yang benar-benar hidup, yakni bayangan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta pada saat digelar. Kedua, penerapan teori bahasa rupa Primadi perlu digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui sampai sejauh mana peranannya dalam gerak/sabetan dari sebuah seni pertunjukan bayangan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, untuk kepentingan pendataan gerak bayangan tersebut Batasan Masalah Konsep-konsep Dasar Penelitian Ilmu Seni Rupa Sehubungan dengan penjelasan tersebut, penelitian bahasa rupa gerak wayang kulit ini, memanfaatkan temuan-temuan dalam keilmuan seni rupa, yakni kajian bahasa rupa. Berupa bahasa rupa gambar-gambar diam yang hidup, baik dari gambar-gambar bahasa rupa tradisi maupun bahasa rupa modern, akan digunakan untuk penelitian bahasa rupa gerak wayang kulit purwa dalam bentuk bayangan disaat pagelaran. Gambar-gambar diam yang hidup, memiliki imaji gerak, cara kembar, lapisan latar, adalah merupakan dasar-dasar animasi, karena terdapat peralihan sequence ke sequence dengan sejumlah adegan, berikut peralihan adegan atau bisa disebut dengan peralihan sub sequence, sudah diteliti oleh Primadi Tabrani (1991). Kemudian tentang gerak di dalam adegan (sabetan) dengan menggunakan gerak bayangan wayang kulit disaat pergelaran, merupakan topik utama dari penelitian ini. Konsep dasar dari bahasa rupa ini adalah aspek bercerita atau storytelling. Aspek bercerita atau yang biasa disebut storytelling (mendongeng), merupakan seni/teknik budaya kuno untuk menyampaikan suatu peristiwa yang dianggap penting, melalui kata- 9

10 kata, imaji dan suara-suara. Dongeng/cerita mungkin telah ada dalam banyak kebudayaan dan daerah sebagai hiburan, pendidikan, pelestarian kebudayaan dan menyimpan pengetahuan serta nilai-nilai moral. Elemen penting dalam mendongeng selain plot dan karakter, adalah juga sudut pandang narasi. Dongeng sering digunakan untuk mengajar, menjelaskan, dan/atau menghibur. Di sisi lain, dongeng juga dapat digunakan untuk membelokkan fakta, walaupun ini tidak selalu terjadi. Seringkali pada kenyataannya di dalam suatu cerita yang seharusnya menggambarkan fakta terdapat kebohongan dan fiksi. Kemajuan teknologi telah mengubah peralatan para pendongeng. Bentuk awal mendongeng hanya merupakan gabungan bahasa, gerak tubuh dan ekspresi wajah. Gambar-gambar kasar seperti yang terlihat pada goresan-goresan di dinding gua juga merupakan bentuk awal mendongeng. Media-media tidak tahan lama seperti pasir, daun dan batang pohon juga pernah digunakan untuk menulis cerita dalam gambar atau tulisan. Kemudian dengan ditemukannya teknik menulis dan penggunaan media yang lebih stabil dan mudah dibawa, cerita ditulis, dicetak, dan disebar ke dunia yang lebih luas. Cerita pernah di ukir, digores, dilukis, dicetak, diterakan menggunakan tinta pada permukaan kayu, bambu, gading dan jenis tulang lain, tembikar, lembaran tanah liat, batu, lembaran lontar, kulit (perkamen), kulit kayu, kertas, kain sutra, kanvas dan jenis kain lain, direkam dalam lembaran film dan disimpan secara elektronik dalam bentuk digital. Bentuk-bentuk tatto yang rumit juga menyimpan cerita berisi informasi genealogis (silsilah/keturunan), mata pencaharian dan status sosial. Secara tradisional, cerita-cerita oral diwariskan dari generasi ke generasi dan tersimpan hanya dalam ingatan. Penciptaan media tulis membuat ingatan dan teknik oral terabaikan Sebaliknya, industri hiburan raksasa di era modern justru dibangun di atas landasan mendongeng/bercerita (Lotte. 1970) yang menggunakan mediaganda (media ruparungu yang menggabungkan teknik oral, media tulis dan media rupa yang lain). Selain dengan menggunakan teknik oral, juga menggunakan permainan bayangan yang dikenal dengan istilah asingnya Shadow play. Permainan bayangan ini adalah bentuk kuno dari mendongeng dan hiburan dengan teknik cahaya tembus pandang yang ditampilkan sebagai hiasan gerak pada permukaan dinding dalam bentuk figur-figur yang sedang 10

11 berbicara. Seperti mendongeng, permainan bayangan juga telah ada di banyak kebudayaan. Terhitung sekitar 20 negara memiliki seni pertunjukan bayangan, yang dipertunjukkan secara berombongan. Biasanya pertunjukan ini dikenal dengan sebutan pertunjukan boneka bayangan ( shadow puppetry). Di Indonesia budaya kesenian pertunjukan boneka bayangan dikenal dengan pertunjukan pergelaran luar wayang kulit Seni Pedalangan Asal-usul wayang, belum dapat ditentukan dengan pasti, namun penulis-penulis Indonesia cenderung mengikuti (Hazeu dalam Mulyono. 1978) yang mengatakan wayang berasal dari suatu kegiatan keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut Hyang. Hingga saat ini jenis pertunjukan wayang yang paling populer dan paling luas daerah persebarannya di kalangan masyarakat Jawa adalah wayang kulit purwa. Jenis wayang ini telah berusia berabad-abad dan mengalami perubahan dari masa ke masa, sampai mencapai bentuknya yang sekarang. Ciri utama yang membedakan wayang kulit purwa dengan jenis wayang yang lain adalah sumber ceritanya. Cerita wayang purwa bersumber pada epos Ramayana dan Mahabarata. Pada dunia pewayangan dalam penyelenggaraannya selalu berhubungan dengan kegiatan memuja arwah nenek moyang untuk menghadapi kejadian-kejadian penting dalam kehidupan masyarakat, misalnya musim kering dan hama yang mengancam panen, malang mujur nasib seseorang, dan semacamnya. Perpaduan antara pengetahuan yang keduniawian dan yang gaib ini, dinamakan ilmu seni dalang, yang biasa disebut pedalangan. Pada ilmu pedalangan terdapat berbagai istilah pedalangan antara lain; sabetan (cara menggerakkan wayang bagi wayang kulit maupun golek); ginem (dialog); carios (cerita); lakon (drama); suluk; gending (lagu); peralatan seperti boneka, batang pisang, kelir, blencong (pelita), kotak cempala, kepyak, gamelan dan epos (Mahabharata, Ramayana, siklus cerita Panji, dan sejenisnya). 11

12 Sosiologi Di dalam masyarakat Jawa Tradisional setiap kedudukan dan pekerjaan seseorang sudah ditentukan oleh kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berakar di dalam, dan dapat dijelaskan asal-usulnya dari masa lalu. Sehingga tidak akan bisa diterima bila terjadi kekurangpengertian akan kelalaian kewajiban dalam tata tertib alam. Oleh karena itu, menjadi penting, bahwa tingkah laku masyarakat perlu dibimbing, diarahkan dan ditertibkan sebagaimana mestinya untuk menghindari bencana, dengan menyelenggarakan pagelaran wayang kulit, dan biasanya yang digemari adalah wayang kulit purwa (Walter, Williams.L. 1995) 12 Menurut Anderson (2003), dia menggunakan wayang untuk memahami masyarakat Jawa secara lebih mendalam, hal ini merupakan usahanya untuk mengetahui kompleksitas peradapan Jawa yang teramat luas. Pada masyarakat Jawa, wayang, sebagaimana sistem metafisika dan etika yang lain, berkenaan dengan penjelasan alam semesta. Meskipun sebagian didasarkan pada epos Mahabharata dan Ramayana dari India, mitologi wayang Jawa adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan-hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada sejawatnya dan kepada dirinya sendiri. Keragaman yang luar biasa dan perbedaan yang tajam antar tokoh-tokohnya menunjukkan bahwa wayang mencerminkan keragaman berbagai rona kehidupan sebagaimana yang dirasakan oleh orang Jawa. Bagi orang Jawa, semesta tidak hanya dipenuhi oleh daya hidup dan menghidupi, akan tetapi juga tersusun dalam hierarki dan tatanan yang rumit. Jawa tak pernah memiliki sistem kasta. Akan tetapi, sesuatu yang menyerupai kasta menekankan pada fungsi daripada keturunan, yang dilestarikan dan diungkapkan secara simbolis sesuai dgn susunan hierarki tersebut Hasil wawancara Walter l. Wiliam dengan seorang guru dalang wayang kulit, yang kemudian menjadi konsep tulisannya tentang budaya Jawa melalui pandangan seorang dalang wayang kulit. 13 Perasaan hirarkis ini mendasari struktur kebahasaan Jawa yang unik, yang menggunakan dua kosakata dasar yang sangat berbeda disebut krama dan ngoko bergantung pada derajat lawan bicara yang lebih tinggi atau lebih rendah dari pembicara. 12

13 Berpangkal dari konsepsi tentang fungsi, tumbuh gagasan tentang moral. Karena semua fungsi saling berkait dan setiap golongan adalah esensial bagi yang lain, sehingga dukungan masyarakat bagi individu-individu dalam setiap golongan bergantung pada seberapa memadai mereka memenuhi fungsi golongan mereka. Sebagai contoh: seorang satria yang seharusnya berperilaku sangat baik, tapi berlaku dengan cara-cara seorang tukang pukul, adalah merupakan satria yang buruk, betapapun pada kenyataannya banyak kebajikan yang telah dilakukan. Seorang pedagang menjalani hidup sebagaimana seorang pedagang, dan bukan menjalani hidup selayaknya seorang brahmana. Seorang pedagang dengan apapun yang telah dilakukannya atau sesakti apapun tetap dengan penampilan semula, seorang pedagang sederhana. Modal perilaku yang ideal adalah mengenali diri dengan sepantasnya sesuai dengan derajat yang telah ditentukan oleh nasib seseorang, tanpa menempelkan nilai penting yang permanen padanya. Pluralisme moral ini menyelubungi seluruh jagat wayang, beberapa yang telah dijadikan contoh misalnya, kritik yang ditujukan pada para Kurawa adalah bukan karena mereka manusia jelek, tetapi karena mereka satria jelek. Pada suatu lakon, tokoh pahlawan Adipati Karna bertempur di pihak Kurawa tapi hal ini dapat diterima karena dia hidup dan mati sebagaimana seorang kesatria. Pada konsep tradisi yang terpenting adalah secara tradisional pendidikan anak-anak Jawa mendapat inspirasi dari aspek etis dan keragaman dari wayang. Para kesatria wayang adalah teladan yang diterima secara sadar ataupun tidak oleh seorang anak dalam proses pertumbuhannya menjadi dewasa. Anak-anak Jawa belajar dari teladan-teladan dan contoh-contoh ajaran filsafat yang kemudian akan mengarahkannya ke dunia luar. Wayang tidak hanya membentuk moral anak-anak Jawa tapi juga kesadaran estetisnya. Oleh karena itu pengembangan segi estetis dari kepekaan seorang anak adalah kunci pendidikan Jawa. Sebab, tujuannya adalah agar setiap anak dapat belajar untuk menata semua segi kehidupannya secara harmonis dan selaras. Menari, misalnya, diajarkan, tidak demi alasan sosial, atau untuk memberikan kesempatan bagi muda-mudi untuk saling bertemu, tapi untuk mengembangkan keanggunan fisik, kepekaan terhadap irama, dan suatu kepribadian yang harmonis. 13

14 Kecintaan dan pengetahuan akan mitos wayang pada semua tingkatan dan daerah di Jawa menunjukkan bahwa anak-anak di desa sejak kecil telah diperkenalkan dengan tokohtokoh wayang yang sangat beragam, tidak hanya nama mereka, juga bentuk fisik, psikologi, dan tata susila mereka. Pengetahuan mereka tidaklah abstrak, namun diperagakan dengan kuat, karena pertunjukan wayang sering diadakan, dan sebagian besar warga desa memiliki seperangkat wayang yang terbuat dari kayu kasar, atau kertas karton yang dapat digunakan oleh anak-anak untuk bermain dan berlatih sendiri, dengan berpedoman pada perilaku dan karakter gerak dari masing-masing tokoh yang sudah mereka kenal Pakeliran Tradisi Gaya Pedalangan Yogyakarta. Wilayah penyebaran pedalangan hampir terdapat di seluruh Nusantara, maka sebagian demi sebagian dari keseluruhan penyebaran pedalangan tersebut akan diteliti. Oleh sebab itu terlebih dahulu perhatian dipusatkan ke Jawa Tengah. Fokus pada pakeliran gaya Yogyakarta/Mataraman yang masih menggunakan pola-pola pakeliran tradisi, (Murtiyoso, dkk: 2004) dalam membawakan pesan-pesan moral yang disampaikan dalang melalui garapan pakelirannya. Bila dilihat dari bahan pembuatannya, wayang yang dijadikan obyek penelitian ini, termasuk dalam kelompok wayang kulit. Bila digolongkan dalam siklus ceritanya, kajian penelitian ini termasuk kajian wayang kulit purwa. Berdasarkan tempat pertumbuhan, komunitas pendukung, gaya bahasa dan tradisi pertunjukkannya, juga penggolongannya, untuk penelitian ini dipilih wayang kulit purwa Jawa tradisi Yogyakarta. Wilayah penyebaran pedalangan sangat luas, hampir meliputi seluruh Nusantara, maka tidak mungkin akan diteliti seluruhnya. Perhatian akan dipusatkan ke Jawa Tengah, terutama gaya Yogyakarta. Karena pengaruh gaya Yogyakarta secara kultural dan sejarahnya, memiliki pengaruh yang tidak begitu luas, (hanya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya) dibandingkan gaya Surakarta. Oleh karena itu perlu diangkat dalam bentuk penelitian, untuk mempelajari lebih lanjut pada pakelirannya. 14

15 Gaya-gaya lokal serta varian pertunjukan wayang yang ada di daerah lain (Pasundan, Banyumasan, Surakarta, Jawatimuran dan Bali), tidak dibahas, walaupun secara subtansial menunjukkan kesamaan. Kendatipun dalam penyajiannya terdapat perbedaan yang penting, sehingga memunculkan adanya pakem 14. Pada penelitian ini digunakan pakeliran tradisi gaya Yogyakarta dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo. Maksud dari pemilihan wayang kulit purwa Jawa tradisi gaya Yogyakarta adalah gaya pedalangan tradisi pakeliran Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo yang berasal dari keraton sekaligus merakyat di lingkungan masyarakat Yogyakarta. Artinya Ki Timbul Hadiprayitno menggunakan pakeliran gaya keraton harus mematuhi peraturan (pakem) yang telah ditentukan, sekaligus menggunakan pakeliran gaya kerakyatan yang lebih bebas dalam mengekspresikannya, sekaligus sederhana serta lugas. Unsur inovasi yang digunakan Ki Timbul Hadiprayitno, tidak keluar dari pakem, pakelirannya tetap dalam frame of reference, dan tidak menggunakan teknologi yang berlebihan, misalnya tata suara (sound system), sound effect, slide dan tata cahaya, karena masyarakat penikmat wayang kulit di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta masih sulit menerima ide-ide baru pakeliran yang pakem-nya sudah sedemikian mentradisi tersebut (Murtiyoso, dkk: 2004). Adapun lakon wayang yang dijadikan obyek penelitian adalah lakon wayang Parta Krama, pentas dalang Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Manggolo, yang direkam dalam bentuk CD. Rekaman pementasan ini merupakan salah satu gaya pakeliran dan versi lakon wayang dalam tradisi pewayangan Yogyakarta. 14 Istilah pakem harfiah dapat diketahui dalam banyak kamus, misalnya: Paugeran, Serat, Pedoman, Cerita Asli (Winter Sr dan Prawiroatmodjo, dalam Murtiyoso. 2004) Kemunculan pakem tersebut, karena adanya perbedaan aliran, gaya, cengkok dan gagrak. 15

16 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang gerak (sabetan) wayang kulit purwa disaat pagelaran dalam bentuk bayangan sinar blencong ini, dalam wilayah ke ilmuan seni rupa, dengan dukungan dari bidang-bidang kelimuan lain yakni: Ilmu komunikasi, yang berhubungan dengan komunikasi setengah lisan pada pagelaran wayang kulit bayangan, yakni selain menggunakan bahasa verbal/lisan (tutur kata), juga menggunakan bahasa nonverbal (yang bukan menggunakan kata-kata). Bahasa nonverbal merupakan bahasa isyarat atau bahasa gerak tubuh (gesture) dan bahasa gambar. Termasuk juga didalammya adalah aspek bercerita melalui sarana suara, kata-kata dan imaji Pengetahuan editing, (the Grammar of Film/TV language) untuk mengetahui ragam bahasa film/video, dan teknik pengambilan gambar pada kamera. Karena penelitian ini merupakan telaah rekaman pagelaran wayang kulit purwa dalam bentuk bayangan sinar blencong di malam hari (pergelaran luar). 16

17 1.5. Bagan Kerangka Pemikiran A C B Bahasa rupa RWD Wayang kulit Bahasa rupa 2 dimensi gabungan (RWD + NPM) Bahasa rupa 2 dimensi gabungan lengkap (RWD + NPM) + GERAK Bahasa rupa NPM Film/Video/TV Wayang golek Media Audio Visual Wayang Kulit = 2 dimensi diam + gerak Wayang Golek = 3 dimensi Diam + gerak D F BAHASA RUPA WAYANG KULIT The Grammar of Film/TV Language E Keterangan Bagan: A : Kelompok Bahasa Rupa RWD (Ruang-Waktu-Datar), merupakan gambar diam yang hidup sekaligus memiliki dimensi waktu. Kelompok ini terdiri atas: - Bahasa Rupa RWD yakni; gambar-gambar prasejarah, gambar primitif, dan gambar anak. Pelakunya sama-sama belum mengenal budaya tulis/budaya tulis belum membudaya. Maka disebut kelompok gambar pendahulu, kemudian kelompok gambar-gambar tradisi, yakni gambar relief Borobudur, gambar wayang beber dan gambar lampion Damarkurung (keseluruhan gambar-gambar ini merupakan gambar-gambar 2 dimensi representatif). - Wayang Kulit dalam bentuk bayangan merupakan gambar 2 dimensi diam (bila ada adegan diam ) sekaligus gambar gerak - Wayang Golek dalam bentuk boneka merupakan bentuk 3 dimensi diam sekaligus gerak. B : Kelompok Bahasa Rupa NPM (Naturalis - Perspektif - Moment opname), merupakan gambar diam yang diam tanpa memiliki dimensi waktu. Kelompol ini mencakup: - Bahasa Rupa NPM, merupakan kelompok bahasa rupa modern, terdiri dari lukisan, gambar, foto yang berkarakter naturalis, perspektif dan momentopname (keseluruhan gambar-gambar ini merupakan gambar-gambar 2 dimensi representatif). - Film, TV, Video merupakan gambar 2 dimensi diam (bila ada adegan diam), sekaligus gambar gerak. 17

18 C : Gambar-gambar 2 dimensi representatif, baik dari bahasa rupa RWD dan bahasa rupa NPM, menghasilkan bahasa rupa 2 dimensi gabungan (RWD + NPM). Kemudian dengan adanya tambahan bahasa rupa gerak menjadi bahasa rupa 2 dimensi gabungan lengkap (RWD + NPM) + GERAK, - Wayang Kulit dalam bentuk bayangan yang bergerak (RWD), berikut Film, TV dan Video adalah gambar bergerak (NPM), merupakan media gambar. Karenanya menjadi gambar 2 dimensi diam, sekaligus gambar gerak. Maka disebut gambar-gambar (RWD + NPM) + GERAK. D : Wayang Kulit dalam bentuk bayangan ( 2 dimensi diam + gerak ) dan wayang golek dalam bentuk boneka ( 3 dimensi diam + gerak ), keduanya merupakan media Audio Visual. E : Dari kelompok Film, TV dan Video, yang merupakan media audio visual telah diketemukan bahasa rupanya, yang berupa The Grammar Of Film/TV Language. Dipergunakan untuk membantu menemukan bahasa rupa wayang kulit yang sedang diteliti. F : Upaya pencarian bahasa rupa wayang kulit purwa dalam bentuk bayangan dari arah kelir dengan melalui sinar lampu blencong Pertanyaan Penelitian. Berdasarkan penjelasan-penjelasan serta latar belakang permasalahan yang telah dituliskan sebelumnya, maka pemecahan permasalahan penelitian ini, bertolak dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana cara menjelaskan gerak/sabetan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dengan teori bahasa rupa? Bagaimana menguji gerak/sabetan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, tanpa memperhitungkan iringan bunyi-bunyian dengan teori bahasa rupa? Bagaimana peranan gambar-gambar diam yang hidup pada wayang kulit purwa gaya Yogyakarta melalui peranan teori bahasa rupa? Bagaimana keterkaitan antara bahasa lisan (bahasa tutur) dan bahasa rupa wayang kulit purwa gaya Yogyakarta? Bagaimana rincian gerak/sabetan Wayang Kulit Purwa, hingga dapat terbaca dan dapat diceritakan Bagaimana bahasa rupa film/tv pada konteks bahasa rupa wayang kulit purwa gaya Yogyakarta? Bagaimana hubungan antara gerak baku karakter wayang kulit purwa Yogyakarta teori Roger Long dengan bahasa rupa gerak wayang kulit purwa Yogyakarta? 18

19 1.7. Tujuan Penelitian Memahami dan memperoleh bahasa rupa gerak wayang kulit (Wayang Kulit Purwa gaya Yogyakarta) Menemukan bahasa rupa Wayang Kulit Purwa dalam posisi diam (berbagai posisi dalam keadaan diam / ditancapkan) pada jagat pewayangan. Guna memperoleh perbendaharaan bahasa rupa yang lebih detail dari wayang kulit purwa dalam posisi diam /ditancapkan pada jagat pewayangan Menemukan bahasa rupa Wayang kulit Purwa dalam posisi bergerak/ dalam bentuk sabetan (dicabut, dipegang, diputar, digetarkan, direbahkan, ditegakkan, digeser, dan diturunkan), untuk melengkapi tata ungkapan luar yang telah diketemukan sebelumnya Manfaat Penelitian Pengembangan perbendaharaan bahasa rupa, khususnya bahasa rupa gerak, karena diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang ruang dan waktu pada setiap gerak yang memiliki ceritanya masing-masing. kemudian dapat dilakukan pembedaan pada tiap tata ungkapan luar nya Membuka kemungkinan agar pagelaran wayang kulit purwa bisa memiliki bahasa rupa wayang kulit. Untuk mempermudah mengetahui cara bermain para dalang dalam mempergelarkan wayang kulit Pengembangan perbendaharaan bahasa rupa, untuk memberikan masukan bagi perkembangan ilmu seni rupa umumnya, dan bahasa rupa khususnya. Misalnya, menambah bahan kajian sebagai salah satu analisis pembacaan aspek rupa dari kajian analisis visual yang lebih lengkap, terutama dalam aspek bercerita Pendataan gerak mengunakan teknik editing film/video stop motion maka dari upaya ini dapat diperoleh tambahan ragam bahasa rupa film/tv untuk kepentingan teknik pembuatan script film dalam menyunting gambar. 19

20 Untuk pemanfaatan proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi Pedalangan, dan lingkungan masyarakat dalang, dan untuk memperkaya teknik analisis visual wayang pada saat dipergelarkan dalam suatu lakon bagi proses belajar mengajar di perguruan tinggi Pedalangan Pemecahan Masalah Metoda Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dalam bidang kajian seni rupa. Karena merupakan penelitian gambar-gambar dua dimensi gerak dari pergelaran wayang kulit purwa gaya Yogtakarta sekaligus hasil produk dari akal budi manusia dan sebagai obyek penelitian. Subyek penelitian menggunakan kajian bahasa rupa, sekaligus sebagai metoda dan teknik pengambilan datanya. Maksudnya adalah, pada kajian bahasa rupa sebelumnya telah diperoleh parameter-parameter yang dapat dipakai sebagai dasar pedoman untuk menguji bahasa rupa pada aspek gerak bayangan wayang kulit. Begitu pula pada teknik pengambilan datanya, digunakan parameter-parameter tersebut sebagai pedoman dalam mendapatkan data gerak bayangan wayang kulit. Keperluan ini untuk mengungkap arti cerita gambar gerak bayangan, dan kaitannya dengan aneka nilai dan pesan moral yang disampaikan dalam bentuk pagelaran wayang kulit tersebut. Tahap-tahap penelitian yaitu: pengumpulan data, klasifikasi, dan analisa Fokus Penelitian Penelitian wayang ini, bila dilihat dari bahan pembuatannya, termasuk dalam kelompok wayang kulit. Bila digolongkan dalam siklus ceritanya, kajian penelitian ini termasuk kajian wayang kulit purwa. Berdasarkan tempat pertumbuhan, komunitas pendukung, gaya bahasa dan tradisi pertunjukkannya, juga penggolongannya, penelitian ini dipilih wayang kulit purwa Jawa gaya Yogyakarta, gaya pedalangan tradisi pakeliran Ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermomenggolo. 20

21 Studi Analisis Data Menjelaskan tentang langkah-langkah dari analisis data melalui hubungan-hubungan teknik dan lokasi pengambilan data, bahan analisis data dan analisis pada pergelaran Teknik dan Lokasi Pengambilan Data Pengambilan data penelitian dari pagelaran wayang kulit, merupakan penelitian pergelaran asli, dengan teknik pengambilan gambar dari arah kelir dan berupa bayangan wayang kulit. Teknis perekaman video dengan posisi kamera ke arah kelir diam/tidak bergerak, dengan pengambilan ukuran gambar selalu dari kepala sampai kaki. Untuk mudahnya, pergelaran direkam sedemikian rupa, sehingga seperti pergelaran asli. Teknik pengumpulan data, melalui teknik perekaman wayang yang menggunakan kamera camcorder pada saat pergelaran berlangsung, dan diharapkan mendapatkan hasil gambar yang mewakili pergelaran asli untuk kepentingan penelitian. Pengambilan gambar dari arah layar dalam bentuk bayangan, diambil secara keseluruhan dari jagat wayang, dengan posisi kamera diam, tetap dan stabil. Kondisi kamera dalam posisi tidak bergerak kesana-kemari, dan tidak ada campur tangan sutradara. Perekaman non stop untuk kegiatan perekaman pergelaran wayang kulit tradisi Yogyakarta dengan lakon Parta Krama berlangsung selama 9 jam, dari jam (setelah Isya) hingga jam (saat Subuh). Sumber kajian di lapangan adalah berupa pergelaran wayang kulit purwa, Yogyakarta, dengan lakon Parta Krama. Dalam hal ini karena dibutuhkan untuk mengetahui pandangan personal penelitian dari dalang sebagai penghidup tokoh anak wayang. Maka teknik wawancara dalam memahami pengetahuan dalang pada saat memainkan para tokoh anak wayang merupakan narasumber yang relevan. Wawancara ini difokuskan pada obyek penelitian berupa pergelaran luar wayang kulit purwa gaya Jawa Yogyakarta dengan lakon Parta Krama di daerah Yogyakarta. 21

22 Bahan Analisis Data Berbagai data dan informasi terkumpul dipilah dan dianalisis untuk menghasilkan data informasi yang relevan dengan penelitian dan mendukung kepentingan bagi topik penelitian yang dikaji yakni bahasa rupa + gerak wayang kulit purwa. Data utama berupa rekaman pagelaran luar wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, lakon Parta Krama, dengan dalang ki Timbul Hadiprayitno KMT Cermo Menggolo. Data pelengkap yang diperoleh dalam observasi lapangan tentang wayang kulit purwa, cenderung beragam yakni berupa tulisan (buku-buku, katalog, arsip-arsip, manuskrip), visual (fotofoto, gambar, bentuk visual wayang) dan yang utama adalah, audiovisual dalam bentuk rekaman pagelaran wayang kulit purwa Pengumpulan data dan informasi yang relevan, misalnya: gambar-gambar dua dimensi yang diam tapi hidup, gambar-gambar still picture, The Grammar of Film/TV Language, Wayang Kulit dari berbagai versi, juga diperoleh dengan meng-akses melalui CD-ROM, internet dan , secara bersamaan dalam usaha untuk mengumpulkan informasi dalam penelitian bahasa rupa gerak dan wayang kulit purwa Kajian Analisis Pergelaran Wayang Kajian analisis pergelaran wayang, fokus analisisnya adalah mengungkap gambar gerak pada bayangan wayang di saat pagelaran. Desain analisisnya untuk identifikasi unit data, yaitu menurut fisik, berupa salah satu pagelaran wayang kulit, yang telah direkam dalam bentuk CD untuk kepentingan analisis. Untuk meneliti pagelaran wayang kulit tersebut dalam bentuk rekaman CD, yakni dengan menggunakan unit bahasa rupa, yaitu dengan satuan terkecil berupa gerak, suatu cara yang dipakai untuk berkomunikasi lewat gerak dari bahasa gambar. Kesemuanya itu dengan mengacu pula pada bahasa rupa gambar dua dimensi diam sekaligus hidup yang sudah ada, dari bahasa rupa Film/TV dan bahasa rupa wayang golek. 22

23 1.10. Sistematika Penulisan Sistematika dari penelitian ini disusun sebagai berikut: Bab 1. Pendahuluan Merupakan bab awal yang mengupas masalah latar belakang penulisan penelitian ini, yakni, membahas masalah prinsipil/arti mendasar dari kajian bahasa rupa. Membahas secara prinsipil/arti mendasar dari wayang kulit purwa dan situasi kultural pagelaran wayang kulit purwa tradisi gaya Yogyakarta. Pembahasan ini dibatasi pada konsepkonsep dasar penelitian dan pakeliran tradisi gaya pedalangan Yogyakarta. Meliputi pula pembahasan tentang pernyataan penelitian, ruang lingkup penelitian yang berisi tentang konsep dan ilmu-ilmu pendukung yang terkait, berikut bagan kerangka pemikiran. Pada pertanyaan penelitian, mempertanyakan teori bahasa rupa untuk menjelaskan gerak/sabetan wayang kulit purwa, bagaimana menguji teori bahasa rupa tersebut, dan bagaimana peranannya supaya dapat diceritakan ulang, berikut hubungannya dengan bahasa rupa film/tv. Beberapa tujuan penelitian dan manfaatnya, kemudian rencana pemecahan masalah yang di dalamnya meliputi, metoda penelitian dan studi analisa data. Pada studi analisa data dibagi menjadi tiga bagian sub kegiatan analisis yakni, teknik dan lokasi pengambilan data, bahan analisis dan kajian analisis. Bab 2. Tinjauan Teoritik, merupakan kajian yang pembahasannya dibagi dalam dua bagian, yang terdiri dari bagian pertama, mengkaji tentang landasan teoritik, dan bagian ke dua tentang kaji pustaka. Pada bagian pertama mengkaji tentang landasan teoritik, yang dalam pembahasannya dibagi menjadi tiga bagian utama, yang meliputi kajian tentang konstelasi teori/pemikiran pembacaan rupa, pembahasan kajian atas hasil disertasi Primadi (Kajian bahasa rupa Primadi), dan kajian atas esensi hasil penelitian Roger Long. Kemudian pada bagian ke dua yakni kaji pustaka, membahas tentang pustaka-pustaka lain yang meneliti tentang wayang kulit, sebagai pengetahuan tentang kedudukan penelitian ini dari penelitian-penelitian lain tentang wayang kulit. Sekaligus diperlukan untuk menunjang penelitian ini dari segi rujukan teori yang diperoleh dari berbagai penerbitan tentang wayang kulit tersebut, baik dari sudut pandang ilmiah maupun yang aktual, yang isinya tentang bahasan keterangan-keterangan yang diperlukan 23

24 dan sesuai dengan obyek penelitian yang sedang dikaji yakni pagelaran luar wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Bab 3. Tentang pagelaran wayang kulit Purwa Jawa tradisi gaya Yogyakarta dengan lakon Parta Krama. Pembagian bahasannya, meliputi bagian pertama tentang peran pertunjukan wayang kulit dalam Seni Budaya Yogyakarta. Bagian ke dua, membahas cerita Parta Krama, dengan fokus kajian dalam cerita Parta Krama berupa ringkasan cerita Parta Krama, suntingan teks Parta Krama, bahan suntingan yang berupa rekaman CD, transkripsi (penjelasan sehubungan dengan istilah-istilah baku pedalangan pada transkripsi), dan contoh teks lakon Parta Krama. Bagian ke tiga merupakan penjelasan umum tentang peta gerak dalam pertunjukan wayang kulit dengan lakon Parta Krama. Pada bagian ini dijelaskan tentang proses pembacaan gerak dari telaah rekaman CD pagelaran luar wayang kulit purwa gaya Yogyakarta lakon Parta Krama. Melalui telaah ini dimungkinkan untuk pembuatan bahan analisis yang berupa data dengan teknik stop motion pagelaran luar wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Kemudian pada bagian ke empat, membahas tentang pilihan adegan dari lakon Parta Krama. Alasan pemilihan adegan dari suatu sequence yang digunakan untuk bahan analisis kajian bahasa rupa gerak pagelaran luar wayang kulit purwa gaya Yogyakarta dengan lakon Parta Krama. Misalnya, dipilih adegan yang dipandang menarik dari segi dramatiknya, untuk mendapatkan pebuktian bahasa rupa gerak nya. Bab 4. Pada bab ini, menjelaskan lebih lanjut pra analisis untuk gambar-gambar gerak yang diperoleh dari hasil pembuatan dan penyusunan gambar-gambar stop motion yang diperoleh dari CD 1 sampai dengan CD 8, dari hasil perekaman wayang kulit sebelumnya. Data berupa tabulasi pembacaan/analisis terhadap gerak-gerak, berdasarkan teori gerak wayang Roger Long, lalu diteruskan dengan analisis kelompok bahasa rupa tata ungkapan dalam dan luar yang telah diketemukan, berdasarkan teori analisis bahasa rupa Primadi (Wayang Beber, kiri kanan), yang terakhir analisis bahasa rupa gerak wayang kulit untuk kepentingan penelitian ini. Pembahasan analisa pada bahasa rupa wayang kulit purwa dalam posisi statis (berbagai posisi dalam keadaan diam / ditancapkan). Kemudian pembahasan analisa pada bahasa rupa wayang kulit purwa 24

25 dalam posisi bergerak (dicabut, disabet, ditancapkan) dengan mengacu pada penelitian bahasa rupa wayang golek purwa. Pada pembahasan ini, segala karakter pada saat bergerak, baik dalam bentuk gerak tunggal maupun dalam bentuk gerakan-gerakan bersama, dicoba dianalisis dengan menggunakan metode analisis bahasa rupa, untuk mendapatkan aspek berceritanya. Dari upaya ini diperoleh rumusan hasil analisis untuk memperoleh pemaknaan atas hasil analisis tersebut. Bab 5. Bab yang membahas tentang pemaknaan atas hasil analisis yang diperoleh dari rumusan dalam Bab 4, yang berupa data tabulasi pembacaan rupa tersebut. Pemaknaanpemaknaannya berupa cerita-cerita tambahan yang tidak diperoleh secara kongkrit dari gerakan-gerakan adegan yang dilakukan oleh para tokohnya selama pagelaran berlangsung. Karena yang direkam merupakan pagelaran dalam bentuk bayangan, sehingga gambar-gambar yang ditampilkan terdapat bayangan-bayangan khusus yang tampil lebih dramatis daripada gerak bayangan biasa. Misalnya: dalam posisi tertentu, karena adanya gerak khusus, menjadi lebih besar dari bayangan tokoh yang semula normal. Pada bab ini diakhiri dengan cerita-cerita/kisah para tokohnya yang lebih lengkap karena keterlibatan pemaknaan yang tidak hanya berupa cerita, tetapi juga keterlibatan spirit dan mitos yang menyertainya. Bab 6. Merupakan bab terakhir yang menuliskan tentang kesimpulan dan temuan, dari keseluruhan bahasan. Bab ini merupakan sintesa dari permasalahan penelitian. Kesimpulan meliputi temuan empirik menunjuk pada temuan-temuan gerak wayang kulit purwa gaya Yogyakarta, yang berasal dari gaya kreasi pribadi khas dalang Timbul Hadiprayitno CMT Cermo Menggolo. Temuan teoritik menunjuk pada jumlah ragam peristilahan bahasa rupa yang khas berdasarkan konsep-konsep bahasa rupa Ruang Waktu Datar + GERAK (RWD + GERAK). Saran penelitian lanjutan, menunjuk pada temuan-temuan empirik dan teoritik bahasa rupa dari penelitian ini dengan kasus-kasus serupa dari bahasa rupa gerak wayang dan tarian dari berbagai daerah, untuk kepentingan kegiatan penelitian bahasa rupa yang lebih kaya ragam kosakatanya 25

26 26

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas.

menganggap bahwa bahasa tutur dalang masih diperlukan untuk membantu mendapatkan cerita gerak yang lebih jelas. Bab. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Teori bahasa rupa dapat menjelaskan gerak/sebetan wayang kulit purwa dengan cara menggunakan rangkaian gambar gerak dari satu gambar gerak ke gambar gerak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

Mata Kuliah Persepsi Bentuk Modul ke: Mata Kuliah Persepsi Bentuk Pertemuan 13 Fakultas FDSK Ali Ramadhan S.Sn.,M.Ds Program Studi Desain Produk Grafis Dan Multimedia www.mercubuana.ac.id BAHASA RUPA Bahasa Rupa sebagai gambar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat /kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek

Lebih terperinci

PERSEPSI BENTUK. Bahasa Rupa Modul 13. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk

PERSEPSI BENTUK. Bahasa Rupa Modul 13. Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn. Modul ke: Fakultas Desain dan Seni Kreatif. Program Studi Desain Produk PERSEPSI BENTUK Modul ke: Bahasa Rupa Modul 13 Fakultas Desain dan Seni Kreatif Udhi Marsudi, S.Sn. M.Sn Program Studi Desain Produk PERSEPSI BENTUK Modul ke: Bahasa Rupa Modul 13 Fakultas Desain dan Seni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bercerita memang mengasyikkan untuk semua orang. Kegiatan bercerita dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun karakter seseorang terutama anak kecil. Bercerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan istilah seniman. Pada umumnya, seorang seniman dalam menuangkan idenya menjadi sebuah karya

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

Kajian Bahasa Rupa Berdasar Rekaman Video Pergelaran Wayang Kulit Purwa dalam Lakon Parta Krama

Kajian Bahasa Rupa Berdasar Rekaman Video Pergelaran Wayang Kulit Purwa dalam Lakon Parta Krama 364 ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 3, 2007, 364-390 Kajian Bahasa Rupa Berdasar Rekaman Video Pergelaran Wayang Kulit Purwa dalam Lakon Parta Krama Ismurdyahwati 1, Setiawan Sabana 2, Primadi 2 & Priyanto

Lebih terperinci

BAHASA RUPA GAMBAR ANAK APA PERANAN GAMBAR

BAHASA RUPA GAMBAR ANAK APA PERANAN GAMBAR BAHASA RUPA GAMBAR ANAK APA PERANAN GAMBAR Masa Budaya tanpa tulisan: Pra Sejarah & Primitip Masa Tulisan belum membudaya: Masa Tradisi & Anak - Anak Hanya sesuatu yang INDAH untuk dilihat? Apakah tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan boneka tiruan rupa manusia yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni. Wayang Golek

Lebih terperinci

MENILIK PERBENDAHARAAN BAHASA RUPA. Taswadi ABSTRAK

MENILIK PERBENDAHARAAN BAHASA RUPA. Taswadi ABSTRAK MENILIK PERBENDAHARAAN BAHASA RUPA Taswadi ABSTRAK Tulisan ini untuk memperkenalkan salah satu pendekatan dalam bidang seni rupa. Biasanya seni itu ditinjau dari kacamata estetis dan simbolis. Untuk memperkaya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT.

BAB II LANDASAN TEORI. tradisi slametan, yang merupakan sebuah upacara adat syukuran terhadap rahmat. dan anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Seni Pertunjukan dalam Tradisi Masyarakat Seni pertunjukan yang terdapat dalam tradisi masyarakat, umumnya masih banyak ditemui ritual-ritual yang berkenaan dengan sebuah prosesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia adalah Suku Sunda. Dengan populasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan peranannya di masyarakat serta ciri khasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia eksotisme penuh dengan berbagai macam seni budaya, dari pulau Sabang sampai Merauke berbeda budaya yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Berbagai

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya. 104 BAB IV PENUTUP Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya terdapat dua jenis wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan

1 Tata Ungkapan Luar (TUL) adalah bagaimana mambuat perbedaan antara TUD di satu gambar dengan Bab. IV. ANALISIS GERAK PADA JEJER I ADEGAN KEDHATON - PATHET NEM (Menggunakan pendekatan hasil disertasi Primadi) 4.1. Sajian data dan analisis lengkapnya (tabulasi pembacaan/analisis terhadap gerakgerak)

Lebih terperinci

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan

BAB I DEFINISI OPERASIONAL. Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan 1 BAB I DEFINISI OPERASIONAL A. LATAR BELAKANG MASALAH Seni merupakan salah satu pemanfaatan budi dan akal untuk menghasilkan karya yang dapat menyentuh jiwa spiritual manusia, karya seni merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwujudan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter dengan kualitas akhlak mulia, kreatif,

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Dan Literatur Metode penelitian yang digunakan: Literatur : - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. - Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

Pagelaran Wayang Ringkas

Pagelaran Wayang Ringkas LOMBA KOMPETENSI SISWA SMK TINGKAT NASIONAL XIV Jakarta, 12 16 Juni 2006 KODE : 33 NAS Bidang Lomba Keahlian Seni Pedalangan Pagelaran Wayang Ringkas Test Project DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya. telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan 305 BAB V KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, kiranya telah cukup menjawab berbagai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Penjelasan yang terkait dengan keberadaan seni lukis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa, tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari luar nusantara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan wayang sebagai salah satu aset berharga budaya Indonesia yang perlu dijaga kelestariannya. Wayang sudah diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB 2 DATA DAN ANALISA 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Sumber data yang digunakan untuk membantu dan mendukung Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa sumber dari dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. semua peristiwa itu aktivitas menyimak terjadi. Dalam mengikuti pendidikan. peristiwa ini keterampilan menyimak mutlak diperlukan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai kesibukan menyimak. Dialog di keluarga, baik antara anak dan orang tua, antara orang tua, antar

Lebih terperinci

3. Karakteristik tari

3. Karakteristik tari 3. Karakteristik tari Pada sub bab satu telah dijelaskan jenis tari dan sub bab dua dijelaskan tentang fungsi tari. Berdasarkan penjelasan dari dua sub bab tersebut, Anda tentunya telah memperoleh gambaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni 147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni tradisional wayang kulit purwa di Kabupaten Tegal, maka terdapat empat hal yang ingin penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkaitan erat dengan proses belajar mangajar. Seperti di sekolah tempat pelaksanaan pendidikan, peserta didik dan pendidik saling melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan nasional dan kebudayaan. daerah. Kebudayaan nasional Indonesia merupakan puncak puncak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Nusantara terdiri atas aneka warna kebudayaan dan bahasa. Keaneka ragaman kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia disatupadukan dari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya zaman ke arah modern membuat kepopuleran ludruk

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya zaman ke arah modern membuat kepopuleran ludruk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berkembangnya zaman ke arah modern membuat kepopuleran ludruk sebagai kesenian tradisional Jawa Timur semakin terkikis. Kepopuleran di masa lampau seakan hilang seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk mengabadikan momen penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena melalui sebuah foto kenangan demi kenangan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter

Lebih terperinci

ABSTRAK. : Antonime, Film Pendek, Film Pendek Bisu, Pantomime, Produser

ABSTRAK. : Antonime, Film Pendek, Film Pendek Bisu, Pantomime, Produser 1 ABSTRAK Film pendek memiliki banyak genre mulai drama cerita, documenter, kartun, bisu, animasi, boneka, stop-motion, dll, dengan waktu yang pendek. Film ANTOMIME bergenre bisu atau silent movie. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar dan luas. Dengan kondisi geografis yang demikian, membuat Indonesia menjadi negara yang

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA

MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA DISUSUN OLEH Komang Kembar Dana Disusun oleh : Komang Kembar Dana 1 MODUL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA STANDAR KOMPETENSI Mengapresiasi karya seni teater KOMPETENSI DASAR Menunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif yang dibuat berdasarkan imajinasi dunia lain dan dunia nyata sangat berbeda tetapi saling terkait

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

BEELAJAR MENCIPTAKAN RUANG MELALUI GAMBAR ANAK-ANAK Oleh: Taswadi. Abstrak

BEELAJAR MENCIPTAKAN RUANG MELALUI GAMBAR ANAK-ANAK Oleh: Taswadi. Abstrak BEELAJAR MENCIPTAKAN RUANG MELALUI GAMBAR ANAK-ANAK Oleh: Taswadi Abstrak Anak-anak memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Usia anak-anak sering disebut dengan masa bermain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran BAB I PENDAHULULAN A. Latar Belakang Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk menyampaikan pesan yang ditujukan pada sasaran, tetapi komunikasi juga berarti makna dan proses. Ketika seseorang mengirimkan

Lebih terperinci

PERGELARAN BAYANGAN WAYANG KULIT PURWA DALAM KAJIAN BAHASA RUPA GERAK ( Lakon Parta Krama Gaya Yogyakarta) DISERTASI

PERGELARAN BAYANGAN WAYANG KULIT PURWA DALAM KAJIAN BAHASA RUPA GERAK ( Lakon Parta Krama Gaya Yogyakarta) DISERTASI PERGELARAN BAYANGAN WAYANG KULIT PURWA DALAM KAJIAN BAHASA RUPA GERAK ( Lakon Parta Krama Gaya Yogyakarta) DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta

BAB I PENDAHULUAN. game berjalan beriringan, dan para desainer saling bersaing secara kreatif. Fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inovasi dinamika teknologi dan industri multimedia kini telah berkembang pesat. Industri multimedia seperti desain brand, pembuatan video, dan pembuatan game berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Indonesia memiliki begitu banyak budaya, dari tiap-tiap provinsi memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dengan ciri khas yang dimiliki. Masyarakat di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Kebudayaan Banyak orang mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas yaitu pikiran, karya, dan semua hasil karya manusia yang memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku etnis dan bangsa yang memiliki ciri khas masing-masing. Dari berbagai suku dan etnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mata pencaharian dengan hormat dan jujur. Dalam versi yang lain seni disebut. mempunyai unsur transendental atau spiritual.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mata pencaharian dengan hormat dan jujur. Dalam versi yang lain seni disebut. mempunyai unsur transendental atau spiritual. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Seni 1. Pengertian Seni Menurut Soedarso (1988: 16-17) bahwa kata seni berasal dari bahasa Sansekerta sani yang berarti pemujaan, palayanan, donasi, permintaan atau mata pencaharian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sejarah beserta peninggalannya. Candi merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang tidak dapat lepas nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah Negara yang memiliki beragam kebudayaan daerah dengan ciri khas masing-masing. Bangsa Indonesia telah memiliki semboyan Bhineka Tunggal

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa. Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J.

BAB II METODOLOGI. Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa. Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J. BAB II METODOLOGI A. Identifikasi Masalah Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J. Krom, Prof. Kern, dan W.H. Rassers;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan normanorma BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan normanorma budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PEMILIHAN STUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PEMILIHAN STUDI BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PEMILIHAN STUDI 1.1.1. Judul Perancangan Dalam pemberian suatu judul dalam perancangan dapat terjadinya kesalahan dalam penafsiran oleh pembacanya, maka dari itu dibuatlah

Lebih terperinci

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA A. Implementasi Teoritis Penulis menyadari bahwa topeng merupakan sebuah bagian peninggalan prasejarah yang sekarang masih mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pesatnya perkembangan informasi di era globalisasi ini, komunikasi menjadi sebuah kegiatan penting. Informasi sangat dibutuhkan dalam mendukung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Melihat perkembangan dan kemajuan ilmu teknologi yang semakin berkembang pesat dengan adanya sarana media pendidikan dan hiburan yang lebih banyak menggunakan media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Kesenian tradisional daerah dengan kekhasannya masing-masing senantiasa mengungkapkan alam pikiran dan kehidupan kultural daerah yang bersangkutan. Adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seluruh Warga Negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras

I. PENDAHULUAN. Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tari adalah gerak-gerak dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Tari juga merupakan ekspresi jiwa

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya 4 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Perkembangan Balita Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya mengetahui sekelumit pertumbuhan fisik dan sisi psikologinya. Ada beberapa aspek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ><

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang >< BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dari negara Indonesia yang terkenal akan keanekaragamannya. Keanekaragaman ini menjadi unsur perekat kesatuan dan persatuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling vital untuk memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Suzanne K. Langer (1998:2) menyatakan bahwa Kesenian adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Suzanne K. Langer (1998:2) menyatakan bahwa Kesenian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan induk dari beberapa bentuk cabang seni yang ada di Indonesia, diantaranya seni tari, seni musik, seni rupa, seni drama dan seni sastra. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini mengambil judul Perancangan Buku Referensi Karakteristik Tata Rias Tari Surabaya Dengan Teknik Fotografi Sebagai Sarana Informasi Masyarakat

Lebih terperinci

Budaya Visual Visual Culture Visual Culture

Budaya Visual Visual Culture Visual Culture Budaya Visual Sumber : John A. Walker & Sarah Chaplin. 1997. Visual Culture. Manchester University Press. New York. Jenks, Chris. 1995. Visual Culture, Routledge, NewYork Budaya Visual Bidang Seni Rupa

Lebih terperinci

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL 2.1. Seni dan Tari 2.1.1. Pengertian Seni Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 915) didefinisikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi

Lebih terperinci

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Laras - Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit saat ini ditengahtengah perkembangan teknologi yang sangat maju, sebenarnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan, alam, dan wilayah geografis. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya. Kebudayaan lokal sering disebut kebudayaan etnis atau folklor (budaya tradisi). Kebudayaan lokal

Lebih terperinci

54. Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB B) A. Latar Belakang

54. Mata Pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB B) A. Latar Belakang 54. Mata Pelajaran Seni Budaya dan untuk Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB B) A. Latar Belakang Muatan seni budaya dan keterampilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Wayang Kulit

BAB II IDENTIFIKASI DATA. A. Wayang Kulit BAB II IDENTIFIKASI DATA A. Wayang Kulit 1. Pengertian Wayang Kulit Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang, dalam bahasa Aceh bayeng, dalam bahasa Bugis wayang

Lebih terperinci

III. METODE PENCIPTAAN. A. Implementasi Teoritis

III. METODE PENCIPTAAN. A. Implementasi Teoritis III. METODE PENCIPTAAN 1. Tematik A. Implementasi Teoritis Kehidupan dunia anak-anak yang diangkat oleh penulis ke dalam karya Tugas Akhir seni lukis ini merupakan suatu ketertarikaan penulis terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adat istiadat, agama dan kesenian. Namun di era globalisasi ini banyak budayabudaya

BAB I PENDAHULUAN. adat istiadat, agama dan kesenian. Namun di era globalisasi ini banyak budayabudaya BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, budaya, adat istiadat, agama dan kesenian. Namun di era globalisasi ini banyak budayabudaya asing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era globalisasi tidak ada lagi sekat yang membatasi ruang kebudayaan di negara manapun di dunia ini. Kebudayaan apapun dapat dengan mudah di konsumsi dan di adaptasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan adalah seni yang merupakan bagian dari kehidupan manusia yang sangat tua keberadaannya. Salah satu bentuk kesusastraan yang sudah lama ada di Indonesia

Lebih terperinci

Bab VI Simpulan & Saran

Bab VI Simpulan & Saran Bab VI Simpulan & Saran VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan yang ingin dicapai di dalam Tugas Akhir ini adalah menghasilkan film dokumenter yang mengenalkan kebudayaan Wayang Krucil dari Desa Gondowangi Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan sistem nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh kebudayaan yang membentuk lapis-lapis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono,2012, hlm. 2). Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENCIPTAAN

BAB III METODE PENCIPTAAN 53 BAB III METODE PENCIPTAAN A. Ide atau Gagasan Beberapa faktor dapat mempengaruhi sebagian karya dari ide yang dihasilkan seorang seniman, faktor tersebut bisa datang dari dalam maupun luar yang menjadikan

Lebih terperinci

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK Pedagogi Inti 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. 2. Menguasai

Lebih terperinci