PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA MODEL ATTACHMENT MASA DEWASA DAN RYFF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DIMENSI SELF-ACCEPTANCE, AUTONOMY, DAN POSITIVE RELATIONSHIPS WITH OTHER PADA MAHASISWA PSIKOLOGI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh : Carolina Pramesti Dewi 089 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 0 i

2

3

4 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, Agustus 0 Penulis, Carolina Pramesti Dewi iv

5 HUBUNGAN ANTARA MODEL ATTACHMENT MASA DEWASA DAN RYFF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DIMENSI SELF-ACCEPTANCE, AUTONOMY, DAN POSITIVE RELATIONSHIPS WITH OTHER PADA MAHASISWA PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA Carolina Pramesti Dewi ABSTRAK Penelitian kuantitatif korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara model attachment masa dewasa dan Ryff Psychological Well-Being dimensi self-acceptance (SA), autonomy (A), dan positive relationships with other (PRO) pada mahasiswa psikologi. Hipotesis penelitian menyatakan ada hubungan signifikan antara model attachment pada masa dewasa dan Ryff Psychological Well-Being dimensi self-acceptance, autonomy, dan positive relationships with other. Subjek penelitian adalah 8 mahasiswa semester Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dipilih secara purposive. Data dikumpulkan dengan Relation Style Questionnaire (RSQ) dan 8 item tambahan serta Skala Ryff s Psychological Well-Being (RPWB). Hasil analisis korelasi Pearson product moment dan Spearman Rank menunjukkan sembilan antarvariabel memiliki hubungan signifikan dan tiga antarvariabel memiliki hubungan tidak signifikan. Hubungan positif signifikan ditemukan antara model secure dan dimensi SA, A, PRO. Hubungan negatif signifikan ditemukan antara model preoccupied dan dimensi SA, PRO. Hubungan negatif tidak signifikan ditemukan antara model preoccupied dan dimensi A. Hubungan negatif signifikan ditemukan antara model fearful dan dimensi SA, PRO. Hubungan negatif tidak signifikan ditemukan antara model fearful dan dimensi A. Hubungan positif signifikan ditemukan antara model dismissing dan dimensi SA, A. Hubungan negatif tidak signifikan ditemukan antara model dismissing dan dimensi PRO. Kata Kunci: model attachment masa dewasa, Ryff Psychological well-being v

6 THE CORRELATION BETWEEN ADULT ATTACHMENT STYLE AND RYFF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DIMENSIONS OF SELF-ACCEPTANCE, AUTONOMY, AND POSITIVE RELATIONSHIPS WITH OTHER AMONG PSYCHOLOGY UNDERGRADUATE STUDENT SANATA DHARMA UNIVERSITY Carolina Pramesti Dewi ABSTRACT This quantitative correlational research aims to investigate the correlation between adult attachment style and Ryff Psychological Well-Being dimensions of self-acceptance, autonomy, and positive relationships with other. The hypothesis says there is a significant correlation between adult attachment style and Ryff Psychological Well-Being dimensions of self-acceptance (SA), autonomy (A), and positive relationships with other (PRO). The purposively selected subjects of this research were eightytwo at fourth semester students of Psychology Faculty of Sanata Dharma University. Data were collected with the Relationship Style Quetionaire (RSQ) plus 8 items and Ryff s Psychological Well-Being Scale (RPWB). The results of Pearson product moment correlation and Spearman Rank correlation show that nine hypotheses are accepted and three hypotheses are rejected. It means that nine variables have a significant correlation and three variables have no significant correlation. Secure has a significant positive correlation with SA, A, PRO. Preoccupied has a significant negative correlation with SA, PRO. Preoccupied has no significant negative correlation with A. Fearful has a significant negative correlation with SA, PRO. Fearful has no significant negative correlation with A. Dismissing has a significant positive correlation with SA, A. Dismissing has no significant negative correlation with PRO. Keywords: adult attachment style, ryff psychological well-being vi

7 LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Carolina Pramesti Dewi Nomor Mahasiswa : 089 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Hubungan antara Model Attachment Masa Dewasa dan Ryff Psychological Well-Being Dimensi self-acceptance, autonomy, dan positive relationships with other pada Mahasiswa Psikologi beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya di internet atau media lain untuk kepentingan akedemis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : Agustus 0 Yang menyatakan, (Carolina Pramesti Dewi) vii

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Bunda Maria atas segala rahmat Roh Kudus yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa psikologi. Penulis menemukan keyakinan yang besar dengan bertekun dan berpasrah pada Tuhan. Dengan keyakinan ini, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Hubungan antara Model Attachment masa dewasa dan Ryff Psychological Well- Being dimensi self- acceptance, autonomy, dan positive relationships with other pada mahasiswa Psikologi. Penulis menyadari banyak orang yang telah mengisi kehidupan penulis selama menimba ilmu Psikologi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah memberikan warnawarni untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Mereka adalah :. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi., M.si. selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan dukungan yang telah diberikan.. Romo Dr. A. Priyono Marwan, S.J. selaku dosen pembimbing skripsi atas keyakinan bahwa penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.. Suster Lidwina TA, FCJ, MA. selaku dosen semester tujuh atas waktu yang disediakan untuk berdiskusi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini dan referensi jurnal yang diberikan.. Bapak Agung Santoso, M.A. selaku dosen Statistik atas kesediaan menjelaskan semua pertanyaan mengenai Statistik. viii

9 . Semua dosen dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membagi ilmu, mendampingi dan membimbing selama masa studi atas segala buah baik yang telah diberikan.. Ayah penulis yang selalu hidup di hati, mama dan adik atas doa, semangat, dan saran yang tanpa lelah diberikan selama hidup penulis. 7. Sahabat Kepompong, sahabat berbagi suka dan duka (Patrick, Ayu, Nana, Dinar dan Ndut) atas cinta, kepedulian, kritik, dan saran kalian yang sudah berjalan selama tahun. 8. el, sahabat hati penulis atas kasih dan dukungan yang selalu diberikan selama tahun ini. 9. Teman-teman satu dosen pembimbing skripsi (Kris, Manda, Mengty, Jeje), atas kebersamaan berkeluh-kesah, bersukaria saat jenuh mengerjakaan skripsi, dan belajar bersama. 0. Teman-teman Psikologi angkatan 008 (khususnya kelas D) dan berbagai angkatan atas dinamika yang berjalan selama masa studi. Penulis menyadari ketidaksempurnaan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima segala bentuk kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Yogyakarta, Agustus 0 Penulis, Carolina Pramesti Dewi ix

10 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii HALAMAN PENGESAHAN...iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...iv ABSTRAK...v ABSTRACT...vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...vii KATA PENGANTAR...viii DAFTAR ISI...x DAFTAR TABEL...xiv DAFTAR GAMBAR...xv DAFTAR LAMPIRAN...xvii BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah...9 C. Tujuan Penelitian...9 D. Manfaat Penelitian...9. Manfaat Praktis...9. Manfaat Teoritis...0 x

11 BAB II LANDASAN TEORI... A. Attachment pada Masa Dewasa.... Pengertian Attachment pada Masa Dewasa.... Model Attachment pada Masa Dewasa.... Karakteristik Model Attachment pada Masa Dewasa...7 B. Psychological Well-Being...9. Pengertian Psychological Well-Being...0. Ryff Psychological Well-Being... C. Masa Dewasa Awal... D. Hubungan Attachment dan Psychological Well-Being pada Masa Dewasa...8. Dinamika Hubungan antara Model Attachment dan Dimensi Self- Acceptance RPWB...9. Dinamika Hubungan antara Model Attachment dan Dimensi Autonomy RPWB.... Dinamika Hubungan antara Model Attachment dan Dimensi Positive Relationships with Other RPWB... E. Ske ma...9 F. Hipotesis... BAB III METODOLOGI PENELITIAN... A. Jenis Penelitian... B. Variabel Penelitian... xi

12 C. Definisi Operasional Variabel Penelitian.... Model Attachment pada Masa Dewasa.... Psychological Well-Being... D. Subjek Penelitian... E. Metode Pengumpulan Data... F. Alat Pengumpulan Data...7. Skala Model Attachment pada Masa Dewasa...7. Skala Ryff s Psychological Well-Being (RPWB)...9 G. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Penelitian.... Uji Validitas.... Seleksi Item.... Uji Reliabilitas... H. Metode Analisis Data...7 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...8 A. Persiapan Penelitian...8 B. Pelaksanaan Penelitian...0 C. Hasil Penelitian.... Uji Asumsi Penelitian.... Uji Hipotesis...7 D. Pembahasan Hipotesisi Diterima Hipotesis Ditolak...8 xii

13 . Temuan Tambahan...88 BAB V PENUTUP...90 A. Kesimpulan...90 B. Keterbatasan Penelitian...9 C. Saran...9 DAFTAR PUSTAKA...9 LAMPIRAN...00 xiii

14 DAFTAR TABEL Tabel Skor item-item Favorable pada Skala Model Attachment...8 Tabel Skor item-item Unfavorabel pada Skala Model Attachment...8 Tabel Blueprint Skala Model Attachment Sebelum Seleksi Item...9 Tabel Skor item-item Favorabel pada Setiap Dimensi Skala RPWB...0 Tabel Skor item-item Unfovorable pada Setiap Dimensi Skala RPWB.. Tabel Blueprint Skala RPWB Sebelum Seleksi Item... Tabel 7 Blueprint Skala Model Attachment Setelah Seleksi Item... Tabel 8 Blueprint Skala RPWB Setelah Seleksi Item... Tabel 9 Kolmogorov-Smirnov Test... Tabel 0 Test for Linearity...7 Tabel Uji Hipotesis Korelasi Pearson Product Moment...7 Tabel Uji Hipotesi Spearman Rank...78 xiv

15 DAFTAR GAMBAR Gambar Model Attachment pada Masa Dewasa... Gambar Grafik Histogram Model Secure Attachment... Gambar Grafik Histogram Model Preoccupied Attachment... Gambar Grafik Histogram Model Fearful Attachment... Gambar Grafik Histogram Model Dismissing Attachment... Gambar Grafik Histogram Dimensi Self-Acceptance... Gambar 7 Grafik Histogra m Dimensi Autonomy... Gambar 8 Grafik Histogram Dimensi Positive Relationships with Other... Gambar 9 Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Model Secure Attachment...7 Gambar 0 Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Model Preoccupied Attachment...8 Gambar Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Model Fearful Attachment...9 Gambar Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Model Dismissing Attachment...70 Gambar Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Dimensi Self- Acceptance...7 xv

16 Gambar Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Dimensi Autonomy...7 Gambar Grafik Stem and Leaf Plot dan Normal Q-Q Plots Dimensi Positive Relationships with Other...7 xvi

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Skala Penelitian...00 Lampiran B Uji Reliabilitas... Lampiran C Uji Normalitas...8 Lampiran D Uji Linearitas...0 Lampiran E Uji Hipotesis... xvii

18 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan menyajikan empat bagian, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. A. LATAR BELAKANG MASALAH Di zaman modernisasi, masalah gangguan jiwa secara global mengalami peningkatan, termasuk di Indonesia. World Health Organization (WHO) meramalkan bahwa jumlah penderita sakit mental akan terus meningkat hingga mencapai 0 juta orang di seluruh dunia pada tahun 0 (Safitri, 0). Riset dasar kesehatan nasional tahun 007 menyebutkan bahwa sekitar satu juta orang Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dan 9 juta orang lainnya menderita gangguan jiwa ringan sampai dengan sedang (Safitri, 0). Dari satu juta penderita gangguan jiwa di Indonesia, hanya 0 persen penderita yang pernah berobat ke rumah sakit jiwa atau fasilitas kesehatan lainnya (Harnowo, 0). Riyadi (0 dalam Harnowo, 0) menjelaskan bahwa salah satu penyebab minimnya penderita gangguan jiwa yang memeriksakan diri adalah masalah akses pelayanan kesehatan. Rumah sakit jiwa di Indonesia yang dimiliki pemerintah hanya berjumlah buah, yang dikelola oleh swasta berjumlah 0-an, dan tersebar 8 provinsi (khususnya provinsi pemekaran) belum memiliki fasilitas kesehatan jiwa. Selain itu, sumber daya manusia

19 (SDM) di Indonesia juga masih tergolong rendah. Menurut data kesehatan nasional, jumlah psikiater adalah orang yang terpusat di kota-kota besar dan belum menyebar keseluruh Indonesia. Dengan kata lain, seorang ahli jiwa melayani penduduk. Porsi ini masih jauh dari perbandingan ideal layanan kesehatan mental yaitu psikiater untuk penduduk (Safitri, 0). Tidak hanya psikiater, konselor juga berpotensi untuk membantu mengatasi masalah kurangnya SDM layanan kesehatan di Indonesia. Sumber daya manusia yang berkualitas pun sangat diharapkan untuk mengatasi masalah tersebut (Suliswati dkk, 00). George dan Cristiani (99) menegaskan bahwa kualitas konselor yang efektif tidak hanya dilihat dari kedalaman penguasaan teori tetapi juga diperhatikan pada kemampuan konselor untuk menjadi individu yang berfungsi sepenuhnya atau fully fuctioning. Hernández, Seem dan Shakoor (00) menambahkan bahwa berfungsi sepenuhnya atau fully functioning adalah indikasi dari kemampuan konselor untuk menolong orang lain. Kualitas individu ini merupakan indikator penting untuk proses konseling yang efektif. Kualitas konselor yang efektif akan membangun hubungan therapeutic yang positif dan menuju pada perubahan therapeutic (Russell, 009). Lambert (99 dalam Russell, 009) memperkirakan bahwa kualitas seorang konselor yang efektif menyumbangkan 0% keberhasilan hubungan therapeutic yang secara efektif positif.

20 Berfungsi sepenuhnya atau fully functioning merupakan bentuk optimal dari Psychological Well Being (PWB). Ryff (989) menegaskan wellbeing sebagai kemampuan untuk berusaha berfungsi sepenuhnya atau fully functioning dan mewujudkan talenta unik (potensi diri) yang dimilikinya. Waterman (99) mengatakan bahwa well-being merupakan kemampuan untuk mengenali diri dan hidup sesuai potensi diri. Psychological well-being berhubungan dengan berbagai macam karakteristik kepribadian. Sebagai contoh, individu dengan psychological well-being cenderung memiliki empati yang lebih tinggi (Acun-Kapikiran, 0). Chang dan Sanna (00 dalam Acun-Kapikiran, 0) mengatakan bahwa individu dengan karakteristik optimis memiliki psychological wellbeing yang lebih baik daripada individu dengan karakteristik pesimis. Selain itu, Işiklar (0) menemukan bahwa dimensi penerimaan diri dalam psychological well-being berkorelasi positif dengan self-esteem. Diamond dan Hicks (00) mengatakan bahwa attachment mungkin memainkan peran penting dalam pencapaian PWB. Ryff (989) membangun konsep well-being dengan menggunakan teori psikologi positif. Teori psikologi positif yang digunakan, antara lain teori masa perkembangan manusia (Erikson, 99 dalam Ryff, 989), teori klinis mengenai pertumbuhan pribadi (Allport, 9; Maslow, 98; Rogers, 9 dalam Ryff, 989) dan kriteria positif dari kesehatan mental oleh Jahoda (98 dalam Ryff, 989). Ryff (989) menjelaskan well-being ke dalam enam dimensi (multidimensional), yaitu: () Penerimaan diri (self-acceptance), ()

21 Kemandiriani (autonomy), () Hubungan positif dengan orang lain (positive relationships with other), () Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery), () Tujuan hidup (purpose in life), () Perkembangan diri (personal growth). George dan Cristiani (99) menulis dua belas karakteristik personal konselor yang efektif. Karakteristik ini dirangkum melalui analisis individu yang berkualitas. Berdasarkan konsep fully functioning Ryff (989) mengenai Psychological Well-Being (RPWB), empat karakteristik personal konselor yang efektif mencerminkan tiga dari enam dimensi RPWB. Tiga dimensi RPWB yang dimaksud adalah penerimaan diri (self-acceptance), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relatianships with other). Penjelasan mengenai hubungan antara karakteristik personal konselor yang efektif dan tiga dimensi RPWB adalah sebagai berikut: Pertama, dimensi penerimaan diri (self-acceptance) dipahami sebagai sikap individu yang mampu menerima diri apa adanya. Salah satu tanda dari adanya penerimaan diri adalah mau mengakui kelemahan dan kekuatan diri. Dimensi ini mencerminkan karakteristik terbuka dan menerima perasaaan dan pengalaman hidup serta memiliki kesadaran diri. Karakteristik-karakteristik tersebut ditunjukkan dengan konselor yang tidak berusaha untuk mengontrol reaksi emosi tetapi berusaha menerima perasaan baik positif maupun negatif dan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri serta mau menerima apa adanya diri mereka.

22 Kedua, dimensi kemandirian (autonomy) digambarkan sebagai individu mengevaluasi diri berdasarkan standar diri dan memiliki kontrol diri. Kemampuan ini membantu individu untuk berani mengambil sikap mandiri dan menolak tekanan sosial untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan standar diri. Dimensi ini mencerminkan karakteristik menyadari nilai dan keyakinan diri. Karakteristik menyadari nilai dan keyakinan diri memperlihatkan bahwa konselor mengetahui nilai-nilai yang penting untuk mereka dan memiliki standar diri untuk menjalani hidup. Kejelasan mengenai nilai hidup akan membantu mereka untuk menemukan cara hidup yang bermakna. Mereka pun menghindari perilaku yang tidak efektif dan tidak konsisten dan berperilaku lebih positif dan bermakna. Yang terakhir, dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relationships with other) ditandai dengan individu memiliki interaksi yang hangat dengan orang lain. Interaksi ini ditunjukkan dengan adanya perhatian terhadap kesejahteraan dan menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman dengan orang lain. Dimensi ini mencerminkan karakteristik mengembangkan hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain. Karakteristik mengembangkan hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain memperlihatkan bahwa konselor harus bisa menghargai orang lain. Konselor harus bisa menghargai perasaaan, pendapat dan pribadi orang lain. Sikap ini ditunjukkan dengan memberikan kepedulian dan menerima pribadi orang lain apa adanya. Dapat disimpulkan bahwa konsep RPWB hanya tiga dari enam

23 dimensi, yaitu: dimensi self-acceptance, autonomy, dan positive relatianships with other yang mencerminkan karakteristik personal konselor yang efektif. Salah satu karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan psychological well-being adalah attachment (Diomond & Hicks, 00). Bowlby (977 dalam Bartholomew & Horowitz, 99) mengemukakan bahwa attachment adalah kecenderungan manusia (bayi) untuk membangun ikatan afeksi yang kuat dengan orang tertentu (pengasuhnya). Ikatan afeksi yang dibangun antara bayi dan pengasuhnya ditunjukkan oleh sistem attachment. Sistem attachment merupakan segala bentuk perilaku yang didasarkan pada sistem motivasi (kebutuhan atau libidinal needs) dan dorongan untuk memelihara kedekatan dengan pengasuhnya (Bowlby, 97 dalam Bartholomew & Horowitz, 99). Tujuan dari sistem attachment adalah menyediakan perlindungan dan membangun perasaan aman atau felt security. Berdasarkan teori Bowlby (97, 980 & 98 dalam Bartholomew & Horowitz, 99), pengalaman attachment dengan pengasuhnya diinternalisasikan oleh anak ke dalam representasi internal atau mental model diri dan orang lain untuk membangun model relasi dengan orang lain di luar anggota keluarga di masa depan. Bartholomew dan Horowitz (99) menggunakan konsep representasi internal atau mental model diri dan orang lain untuk menggambarkan model attachment pada masa dewasa. Kombinasi mental model diri dan orang lain menghasilkan empat model attachment pada masa dewasa.

24 7 Model pertama adalah secure yang mengindikasikan sikap kelayakan diri dan harapan bahwa secara umum orang lain menerima dan berperilaku responsif. Model kedua adalah fearful yang menunjukkan sikap ketidaklayakkan diri serta cenderung memandang orang lain negatif. Model ketiga adalah preoccupied yang menggambarkan sikap ketidaklayakkan diri (tidak dicintai), tetapi mereka memandang orang lain positif. Sikap ini membangun penerimaan diri didapatkan dengan melihat penilaian positif orang lain pada dirinya. Model keempat adalah dismissing yang mengindikasikan sikap mencintai diri atau kelayakkan diri, namun cenderung berperilaku negatif pada orang lain. Berdasarkan literatur, attachment berhubungan positif dengan berbagai macam karakteristik psychological well-being. Penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa secure attachment memperlihatkan personal dan sosial self-esteem yang tinggi (Feeney & Noller, 990), regulasi emosi yang baik (Kobak & Sceery, 988; Mikulincer, Florian, & Tolmacz, 990), kemampuan mandiri dan interdependen (Merz & Consedine, 009; Merz, Consedine, Schulze, & Schuengel, 009 dalam Merz & Consedine, 0). Di sisi lain, Collin dan Read (990) menemukan anxious dan avoidant attachment memperlihatkan harga diri, kepercayaan diri sosial, sikap arsertif, dan kontrol diri yang rendah. Erozkan (009) mengatakan bahwa insecure attachment mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan memperlihatkan kemampuan komunikasi yang berkarakteristik penghindaran sosial. Feeney dan Noller (990) juga menemukan bahwa avoidant attachment

25 8 memperlihatkan kurang dapat percaya pada orang lain dan anxious attachment memperlihatkan kemandirian yang rendah serta keinginan untuk intim dalam berelasi. Levy dan Davis (988) menambahkan bahwa avoidant dan anxious attachment memperlihatkan karakteristik relasi yang negatif. Subjek yang berpotensi menjadi konselor yang berkualitas antara lain adalah mahasiswa psikologi. Dari sudut profesional, mereka sedang menjalani proses pendidikan psikologi yang kelak akan menjadi sarjana psikologi dan berpotensi menjadi konselor. Peneliti memiih mahasiswa karena mahasiswa perlu mempersiapkan diri untuk menjadi konselor yang efektif. Oleh karena itu, proses pendidikan yang mendukung pertumbuhan pribadi mahasiswa penting diketahui agar para pendidik mampu membantu mahasiswa menjadi pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Dari sudut kepribadian, mahasiswa psikologi berada tahap perkembangan dewasa awal. Tugas perkembangan masa dewasa awal adalah menjadi pribadi mandiri (Santrock, 009) dan membangun hubungan intim dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 009). Berkaitan dengan kemandirian, individu dituntut untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri (karir, identitas diri, dan gaya hidup yang ingin dijalani). Berkaitan dengan membangun hubungan intim dengan orang lain, kebutuhan ini ditunjukkan dengan relasi yang kuat, stabil, dekat dan penuh perhatian. Dapat diketahui bahwa mahasiswa dipilih karena mereka sedang menjalani proses pendidikan psikologi dan berpotensi menjadi SDM layanan kesehatan yang berkualitas.

26 9 Dalam minat pada mahasiswa psikologi yang berpotensi menjadi SDM layanan kesehatan dan dalam hubungan konselor, psychological well-being, dan attachment, maka peneliti membatasi diri pada hubungan antara attachment masa dewasa dan dimensi self-acceptance, autonomy, dan positive relationships with other RPWB pada mahasiswa psikologi. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana hubungan antara model attachment dan psychological well-being pada masa dewasa? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara model attachment pada masa dewasa dan psychological well-being mahasiswa psikologi. D. MANFAAT PENELITIAN. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai hubungan attachment dan fully functioning sebagai bentuk optimal psychological well-being yang dibutuhkan oleh mahasiswa psikologi untuk memiliki kualitas konselor yang efektif.

27 0. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai hubungan antara model attachment dan psychological well-being pada masa dewasa awal.

28 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan landasan teori dalam enam bagian, yakni attachment masa dewasa, psychological well-being, masa dewasa awal, hubungan antara attachment masa dewasa dan psychological well-being, skema, serta hipotesis. A. ATTACHMENT PADA MASA DEWASA Pada bagian ini attachment pada masa dewasa dijelaskan dalam tiga sub-bagian, yakni pengertian attachment masa dewasa, model attachment masa dewasa, dan karakteristik model attachment masa dewasa.. Pengertian Attachment pada Masa Dewasa Bowlby (97 dalam Diehl, Elnick, Bourbeau & Labouvie- Vief, 998) menegaskan bahwa relasi attachment pada anak terbentuk dari interaksi dengan pengasuhnya yang dihasilkan prototipe kerangka model internal dalam hubungan akrab. Ainsworth, Blehar, Waters, dan Wall (978 dalam Simpson, 990) melakukan penelitian berdasarkan teori Bowlby (97 dalam Simpson, 990) untuk membedakan gaya atau pola attachment pada anak-anak. Penelitian tersebut

29 mengindentifikasikan tiga gaya utama attachment, yaitu: secure, anxious/ambivalent, dan avoidant. Banyak penelitian mengenai attachment masa dewasa yang mengadopsi tiga kategori model attachment Ainsworth, et.al (978 dalam Simpson, 990) untuk mengetahui hubungan dari secure, anxious-ambivalent, dan avoidant pada masa dewasa awal (Collin & Read, 990; Feeney & Noller, 990; Hazan & Shaver, 987; Kirkpatrick & Davis, 99; Kobak & Hazan, 99; Main, et.al., 98 dalam Diehl, Elnick, Bourbeau & Labouvie-Vief, 998). Penelitian sejauh ini tidak ada yang mempertimbangkan keseluruhan empat kategori (kombinasi antara model mental diri dan orang lain baik positif atau negatif; Bartholomew & Horowitz, 990) untuk klasifikasi model attachment masa dewasa. Sebagai contoh, penelitian Main (98 dalam Bartholew & Horowitz, 99) ditemukan kelemahan dalam klasifikasi model attachment masa dewasa. Penelitian tersebut gagal mendiskusikan kemungkinan subjek memiliki model diri dan orang lain negatif. Penelitian ini memilih perspektif attachment masa dewasa menurut Bartholomew dan Horowitz (99). Kedua tokoh tersebut melakukan klasifikasi model attachment masa dewasa dengan prosedur self-report dan wawancara semi struktur. Dengan kombinasi prosedur tersebut, penelitian ini memiliki kelebihan dalam

30 mendiskusikan keseluruhan kombinasi positif atau negatif model diri dan orang lain yang tidak ditemukan pada penelitian sebelumnya. Perspektif attachment menurut Bartholomew dan Horowitz (99) dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Attachment merupakan kebutuhan manusia secara universal untuk membentuk ikatan afeksi yang dekat dengan orang lain (Bowlby, 97, 980, 98 dalam Bartholomew & Horowitz, 99). Perspektif attachment Bartholomew dan Horowitz (99) didasarkan oleh teori Bowlby (97, 980 & 98) yang mengemukakan bahwa kualitas hubungan masa kanak-kanak dengan pengasuhnya dihasilkan dari representasi internal atau kerangka model diri dan orang lain. Kerangka model diri dan orang lain pada masa ini akan menentukan model relasi sosial di masa depan. Bartholomew dan Horowitz (99) menegaskan bahwa attachment masa dewasa adalah pandangan kelekatan (ikatan afeksi) diri orang dewasa pada orang lain yang dihasilkan dari model mental diri dan model mental orang lain baik secara positif maupun negatif. Model mental diri dipahami sebagai keyakinan bahwa diri dicintai (lovability) dan layak mendapatkan perhatian (worthiness of care). Model mental orang lain dimengerti sebagai harapan bahwa orang lain hadir secara emosional dan responsif. Model diri positif bercirikan sikap diri di mana individu mampu menghargai diri sendiri dan memiliki harapan bahwa orang

31 lain akan merespon mereka secara positif. Model diri negatif bercirikan individu yang memiliki kecemasan pada penerimaan diri sendiri dan penolakkan dari orang lain dalam hubungan akrab. Kecemasan ini disebabkan oleh pengalaman individu akan kecemasan dan ketergantungan dalam hubungan akrab. Model orang lain positif bercirikan individu yang suka mencari keintiman dan dukungan dalam hubungan akrab. Model orang lain negatif mengindikasikan individu yang memiliki kecenderungan untuk menghindari keintiman dalam suatu hubungan. Hasil interaksi dari model-model ini membangun attachment masa dewasa dan dikategorikan ke dalam empat model attachment (Bartholomew & Horowitz, 99).. Model Attachment pada Masa Dewasa Interaksi antara model diri dan model orang lain menghasilkan empat model attachment, yaitu secure, preoccupied, fearful, dan dismissing. Model attachment secure mengarah pada secure attachment dan model attachment preoccupied, fearful, dan dismissing mengarah pada insecure attachment (Bartholomew & Horowitz, 99). Gambar mengilustrasikan empat model attachment sebagai berikut:

32 Gambar. Model attachment pada masa dewasa MODEL OF SELF (Dependence) Positive Negative (Low) (High) Positive (Low) MODEL OF OTHER (Avoidance) Negatif (High) SEL I SECURE Comforable with intimacy and autonomy SEL IV DISMISSING Dismissing of intimacy Counter-dependent SEL II PREOCCUPIED Preoccupied with relationships SEL III FEARFUL Fearful of intimacy socially avoidant Model diri dan model orang lain mewakili harapan umum mengenai sikap kelayakkan diri dan kehadiran orang lain (Griffin & Bartholomew, 99). Berdasarkan ciri khas setiap sel, empat model attachment dijelaskan sebagai berikut: Sel I: Individu dengan klasifikasi secure memiliki pandangan model diri positif dan model orang lain positif. Mereka tidak mudah tergantung (low dependency) dan tidak ingin menghindar (low avoidance). Model ini mengindikasikan sikap kelayakan diri dan harapan bahwa secara umum orang lain menerima dan berperilaku responsif. Mereka pun mudah menerima dirinya dan tidak mengkhawatirkan penolakan orang lain. Sel II: Individu dengan klasifikasi preoccupied memiliki gambaran model diri negatif tetapi model orang lain positif. Mereka memiliki kecenderungan mudah tergantung (high dependency) dan

33 tidak ingin menghindar (low avoidance). Model ini mengindikasikan sikap ketidaklayakkan diri (tidak dicintai), tetapi mereka memandang orang lain positif. Penerimaan diri didapatkan dengan melihat penilaian positif orang lain pada dirinya. Sel III: Individu dengan klasifikasi fearful memiliki pandangan model diri dan model orang lain yang negatif. Mereka mudah menjadi tergantung (high dependency) dan ingin menghindar (high avoidance). Model ini mengindikasikan sikap ketidaklayakkan diri serta cenderung memandang orang lain negatif. Dengan kata lain, orang lain tidak dapat dipercaya dan ditolak. Untuk melindungi diri dari penolakan orang lain, individu fearful memilih menghindari keterlibatan akrab dengan orang lain. Sel IV: Individu dengan klasifikasi dismissing memiliki gambaran model diri positif tetapi model orang lain negatif. Mereka cenderung tidak mudah tergantung (low dependency) dan memiliki keinginan yang tinggi untuk menghindar (high avoidance). Model ini mengindikasikan sikap mencintai diri atau kelayakkan diri, namun cenderung berperilaku negatif pada orang lain. Untuk menghindari kekecewaan, mereka melindungi diri dengan menghindari hubungan akrab dan memelihara sikap mandiri serta ketidakrapuhan diri.

34 7. Karakteristik Model Attachment pada Masa Dewasa Griffin dan Bartholomew (99) mengartikan empat model attachment sebagai strategi untuk mengontrol perasaan aman dalam hubungan akrab. Setiap model bercirikan perbedaan pada perilaku interpersonal dan kontrol emosi. Empat model attachment tersebut akan digambarkan sebagai berikut: Secure. Secara umum, individu secure biasanya memiliki hubungan yang akrab dengan orang lain. Mereka memiliki sikap kelayakkan diri sehingga merasa nyaman terlibat dalam hubungan akrab, mampu mandiri dan memiliki keinginan untuk membangun kepercayaan. Mereka juga lebih percaya diri dan sensitif pada saat dibutuhkan. Mereka memiliki respon yang bersifat fleksibel dan coping yang baik. Oleh karena itu, mereka cenderung memiliki variasi strategi coping yang efektif dan biasanya dapat menyelesaikan konflik secara konstruktif. Mereka lebih terintergrasi dalam struktur diri, terutama ketika berada di bawah tekanan. Mereka pun memiliki keseimbangan dalam memandang diri. Hal ini dikarenakan mereka melihat diri tidak hanya bersumber pada diri tetapi juga melihat pandangan orang lain. Preoccupied. Secara umum, individu preoccupied digambarkan sebagai individu yang menginginkan keintiman sehingga mencemaskan kesendirian. Mereka memiliki kekhawatiran bahwa

35 8 orang lain menilai mereka berlawanan dengan penilaian mereka. Sehingga penerimaan diri mereka bersumber pada penilaian positif orang lain. Mereka pun memiliki kepercayaan diri yang rendah. Mereka mengalami kesulitan menyelesaikan masalah tanpa pertolongan orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki model diri negatif dan model orang lain positif. Ketika suasana hati mereka negatif, seketika itu juga mereka mudah untuk mencari orang lain. Mereka termasuk orang yang ekspresif; reaksi mereka terlihat kuat. Mereka suka mencari perhatian ketika berhadapan dengan masalah atau berbuat salah. Dengan pandangan model orang lain positif, mereka cenderung suka bergaul dan selalu ingin diperhatikan orang lain. Mereka pun sangat menuntut kedekatan dalam suatu hubungan. Fearful. Secara umum, individu fearful memiliki model diri negatif. Model diri negatif memperlihatkan bahwa mereka kurang percaya diri. Mereka pun mudah menjadi cemburu dan mencemaskan keterpisahan. Mereka ingin berhubungan dengan orang lain, tetapi merasa tidak nyaman karena sangat sensitif terhadap tanda-tanda penolakkan dan takut merasakan sakit. Untuk menghindari rasa sakit, mereka memilih menghindari kemesraan. Di sisi lain, mereka membutuhkan orang lain untuk penerimaan diri. Mereka juga mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan pada orang lain. Hal tersebut dikarenakan mereka memiliki pandangan negatif terhadap orang lain. Ketika berhadapan dengan masalah atau berbuat salah,

36 9 mereka bereaksi secara emosional, sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan distres mereka. Mereka pun tidak mencoba mencari dukungan orang lain untuk menyelesaikan distres. Hal ini dikarenakan mereka tidak termasuk orang yang terbuka secara emosional. Dismissing. Secara umum, individu dismissing bersifat defensif. Mereka merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan dan memilih tidak tergantung pada orang lain. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan model orang lain negatif dan model diri positif. Mereka mempergunakan pengalaman orang lain yang ditolak untuk mempertahankan perasaan harga diri dan kepercayaan diri. Mereka juga memelihara sikap kelayakan diri dengan menolak nilai-nilai dalam hubungan akrab dan tidak mencemaskan kemandirian, autonomi, dan perasaan ketidakrapuhan diri. Mereka termasuk orang yang mampu mandiri secara emosional. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang bergantung pada diri sendiri. Ketika mengalami keterpisahan (dalam suatu hubungan) dengan orang terdekat, mereka cenderung tidak mudah cemburu ataupun cemas. Ketika berhadapan dengan masalah atau berbuat salah, mereka tidak berusaha mencari dukungan dari orang lain dan mengabaikan emosi sendiri. B. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING Pada bagian ini psychological well-being dijelaskan dalam dua subbagian, yakni pengertian psychological well-being dan Ryff psychological well-being.

37 0. Pengertian Psychological Well-Being Kualitas well-being mengaju pada pengoptimalan fungsi psikologis dan pengalaman hidup. Ilmu psikologi menjelaskan wellbeing melalui dua perspektif, yaitu perspektif hedonic (kesenangan hidup) dan perspektif eudaimonic (hidup bermakna; Waterman, 99). Perspektif hedonic dapat dimengerti sebagai pengalaman subjektif dari individu, di mana individu meyakini bahwa segala hal penting yang didapatkan selama hidup berupa kesenangan (Kraut, 979 dalam Waterman, 99). Dalam hal ini, kesenangan merupakan kegembiraan tunggal tanpa memperdulikan penyebab dari kesenangan (Tatarkiewicz, 97 dalam Waterman, 99). Dalam perspektif hedonic, Diener (98 dalam Gallagher, Lopez, Preacher, 009) menegaskan subjektif well-being sebagai evaluasi pengalaman hidup mengenai perasaan (emosi dan suasana hati) positif dan negatif serta kepuasaan hidup. Pada penelitian Diener, subjektif well-being bersinonim dengan hedonic well-being (Kahneman, Diener, & Schwart, 999 dalam Gallagher, Lopez, Preacher, 009). Waterman (99) mengartikan well-being sebagai pencapaian kebahagiaan yang diukur melalui keseimbangan antara pengalaman hidup positif dan negatif. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, perspektif hedonic menggambarkan well-being sebagai pencapaian kebahagiaan, keseimbangan antara pengalaman hidup positif dan negatif, serta kepuasan hidup secara menyeluruh.

38 Di sisi lain, perspektif eudaimonic dijelaskan sebagai ekspresi personal dari individu, di mana individu berusaha hidup sesuai dengan potensi diri, mampu mewujudkan potensi diri (self-realization), dan hal tersebut membantu individu menemukan makna dan tujuan hidupnya (Waterman, 99). Perspektif eudemonic diwakili oleh Carol Ryff (989) yang membangun teori Psychological Well-Being (PWB) ke dalam ringkasan yang lebih sederhana. Ryff dan Keyes (99) menunjukkan well-being sebagai pencapaian diri yang sempurna berupa realisasi potensi diri yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, well-being dinilai melalui seberapa baik individu hidup berdasarkan potensi yang dimilikinya. Ryff dan Singer (998) menambahkan bahwa well-being bukan sekedar pencapaian kebahagiaan, tetapi buah kehidupan yang dihayati. Berdasarkan PWB yang dibangun oleh Ryff (989), perspektif eudemonic menegaskan well-being sebagai individu yang berusaha untuk berfungsi sepenuhnya (function fully) dan mewujudkan talenta unik (potensi diri) yang dimilikinya. Untuk menjelaskan well-being, ilmu psikologi lebih mengacu pada psychological well-being (perspektif eudemonic) daripada subjektif well-being (perspektif hedonic; Abbott et al., 00).. Ryff Psychological Well-Being Penelitian ini memilih psychological well-being menurut Carol Ryff (989), yaitu Ryff Psychological Well-Being (RPWB) sebagai landasan teori. Alasan pemilihan RPWB adalah RPWB dibangun

39 berdasarkan perkembangan semasa hidup dan mencoba mendefinisikan hidup yang baik (Becker, 99 dalam Dierendonck, Díaz, Rodríguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jiménez, 008). Selain itu, RPWB tidak hanya memiliki kesamaan bahkan melengkapi kriteria fungsi psikologis yang positif. Pada kenyataannya, perspektif ini membangun pandangan baru mengenai sehat secara mental. Pandangan bahwa sehat bukan diartikan sebagai ketidakadaanya suatu gangguan tetapi kemampuan menghadirkan sesuatu yang positif (WHO, 98; Ryff & Singer 998 dalam Dierendonck, Díaz, Rodríguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jiménez, 008). Ryff (989) membangun PWB berdasarkan penelitian di area kesehatan mental, perkembangan masa hidup manusia, dan psikologi klinis. Bidang kesehatan mental memberikan konsep berupa kriteria positif kesehatan mental dan tipe-tipe negatif dari psikologis negatif (Jahoda, 98). Perkembangan masa hidup manusia menyumbangkan teori perkembangan psikososial (Erikson, 99), tendensi dasar hidup dan fulfillment (Buhler & Massarik, 98), serta konsep perubahan kepribadian (Neugarten, 97). Psikologi klinis memberikan konsep individu yang beraktualisasi diri (Maslow, 98), individu yang matang (Allport, 9), individu yang berfungsi sepenuhnya (Roger, 9), dan individu yang terindividuasi (Jung, 9). Ryff (989) menjelaskan PWB dengan enam model multidimensional, yaitu:. Penerimaan diri (self-acceptance),.

40 Hubungan positif dengan orang lain (positive relatianships with other),. Kemandirian (autonomy),. Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery),. Tujuan hidup (purpose in life),. Perkembangan diri (personal growth). Penjelasan mengenai enam model PWB sebagai berikut:. Penerimaan diri (self-acceptance) Penerimaan diri (self-acceptance) dapat dipahami sebagai sikap mampu menerima diri apa adanya. Sikap ini ditandai dengan pandangan positif mengenai diri sendiri, menerima secara positif peristiwa-peristiwa masa lalu, dan mau mengakui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Pencapaian penerimaan diri dibangun melalui kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, kejujuran atas evaluasi diri, kesadaran atas kesalahan dan keterbatasan diri, serta mencintai diri sendiri.. Hubungan positif dengan orang lain (positive relatianships with other) Hubungan positif dengan orang lain (positive relationships with other) bercirikan interaksi yang hangat dan adanya kepercayaan individu pada orang lain, mau memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan memiliki keinginan untuk menunjukkan empati, afeksi dan keintiman. Ciri dari keberhasilan hubungan ini adalah individu mendapat penguatan, merasa nyaman

41 dan bahagia ketika berada dalam suatu hubungan yang akrab, intim, dan rasa cinta yang kuat.. Kemandirian (autonomy) Kemandirian (autonomy) bercirikan individu yang tidak memerlukan afirmasi dari orang lain untuk mengevaluasi diri. Dengan kata lain, individu ini memiliki kemampuan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi dan tidak mencari persetujuan dari orang lain untuk menentukan standar diri. Kemampuan ini ditandai dengan sikap mandiri dan kontrol diri. Kedua sikap tersebut berkaitan dengan kapasitas individu untuk mampu mengambil keputusan sendiri dan memiliki kontrol diri. Dengan kata lain, individu ini berani mengambil sikap mandiri dan menolak tekanan sosial untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan standar diri.. Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery) Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery) merupakan kemampuan individu mengatur secara efektif situasi hidupnya agar sesuai dengan kondisi psikisnya melalui perilaku dan upaya diri. Aspek ini digambarkan dengan kemampuan untuk mengatur dan mengontrol situasi yang kompleks. Dengan kata lain, penguasaan situasi hidup merupakan kemampuan individu untuk menguasai dan mengubah situasi di sekitarnya secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental.

42 . Tujuan hidup (purpose in life) Tujuan hidup (purpose in life) adalah sikap individu yang memiliki tujuan dan makna hidup. Sikap ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk menjadi produktif, kreatif atau mencapai kestabilan emosi. Kemampuan ini akan makin membantu individu menemukan makna dan arah hidup melalui pengalaman pribadi.. Perkembangan diri (personal growth) Perkembangan diri (personal growth) dapat digambarkan sebagai individu yang tidak hanya mencapai prioritas karakteristik diri, tetapi individu yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi diri. Pengembangan potensi diri ini ditandai dengan keinginan membuka diri pada pengalaman baru (tantangan baru, tugas-tugas perkembangan semasa hidup), memaksimalkan potensi diri, keinginan memperbaiki diri dari kesalahan, dan mampu berubah sesuai dengan kemampuan diri. Berdasarkan konsep RPWB, well-being diartikan sebagai proses multidimensional manusia yang meliputi pencapaian tujuan hidup, memaksimalkan potensi diri, membangun hubungan dengan orang lain, mampu mengatur situasi hidup, melatih sikap mandiri, dan menerima diri secara positif (Ryff & Singer, 99 dalam Strauser, Lustig, & Çiftçi, 008).

43 Penelitian ini hanya menggunakan tiga dari enam dimensi RPWB, yaitu: self-acceptance, autonomy, positive relationships with other. Pemilihan ini dikarenakan tiga dimensi tersebut merupakan aspek penting yang dibutuhkan untuk mencapai karakteristik personal konselor yang efektif (George & Christiani, 99). C. Masa Dewasa Awal Mahasiswa pada umumnya berada pada tahap perkembangan remaja akhir ataupun dewasa awal. Masa dewasa awal merupakan transisi dari masa remaja menuju masa dewasa dan berada dalam periode usia emerging adulthood. Periode usia emerging adulthood diawali pada usia 8- tahun (Santrock, 009). Pada periode usia ini, individu dituntut menjadi pribadi yang mandiri dan membangun hubungan intim dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 009; Santrock, 009). Roisman, Masten, Coatswarth, dan Tellegen (00 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 009) mengidentifikasi beberapa tugas perkembangan masa dewasa awal. Tugas-tugas tersebut adalah meninggalkan rumah masa kecil demi pendidikan tinggi, pekerjaan atau tugas militer; mengembangkan sense of efficacy dan individuasi. Individuasi adalah kesadaran diri (sense of self) akan kemandirian dan kemampuan untuk bergantung pada diri sendiri. Arnett (99 dalam Santrock, 009) menambahkan bahwa individu dewasa ditandai dengan menerima tanggung jawab atas konsekuensi perilaku diri sendiri, memutuskan

44 7 berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan diri, dan membangun relasi dengan orang lain. Pada masa ini individu ditugaskan untuk mengembangkan kemandirian atas hidupnya. Papalia, Olds, dan Feldman, 009 menambahkan bahwa tugas perkembangan masa dewasa awal juga meliputi membangun hubungan intim dengan orang lain. Kebutuhan ini ditunjukkan dengan relasi yang kuat, stabil, dekat dan penuh perhatian. Keintiman dapat tercipta melalui sikap saling terbuka, responsif terhadap kebutuhan orang lain, dan saling menghargai dan menerima. George dan Cristiani (99) menulis tentang karakteristik personal konselor yang efektif. Karakteristik ini dirangkum melalui analisis individu yang berkualitas. George dan Cristiani (99) menyebutkan karakteristik personal konselor yang efektif adalah sebagai berikut: () memiliki kesadaran diri, () terbuka dan menerima perasaan dan pengalaman hidupnya sendiri, () menyadari nilai dan keyakinan diri, () mampu menampilkan diri apa adanya, () berpikir terbuka, () berani mengambil resiko, (7) memiliki intuisi, (8) mengembangkan tingkat aspirasi yang realistik, (9) menerima tanggung jawab atas perilaku sendiri, (0) memiliki ketertarikan terhadap perilaku dan kepribadian manusia, () memiliki rasa humor, dan () mampu mengembangkan hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain. Berdasarkan tugas perkembangan masa dewasa awal dan karakeristik personal konselor yang efektif, ciri-ciri khas mahasiswa

45 8 psikologi pada masa dewasa awal adalah individu yang mampu menerima diri, menjadi pribadi yang mandiri, dan membangun hubungan yang hangat dan mendalam dengan orang lain. D. HUBUNGAN ATTACHMENT DAN PSYCHOLOGICAL WELL- BEING PADA MASA DEWASA Attachment pada masa dewasa berperan penting dalam pencapaian kualitas hubungan interpersonal dan penyesuaian diri secara keseluruhan (Hazan & Shaver, 99 dalam dalam Diehl, Elnick, Bourbeau, & Labouvie-Vief, 998). Pernyataan tersebut didasarkan pada attachment masa kanak-kanak terbentuk oleh interaksi antara anak dan pengasuhnya dalam hubungan dekat dan anak menginternalisasikan pengalaman tersebut ke dalam kerangka model internal (Bowlby, 97 dalam Diehl, Elnick, Bourbeau, & Labouvie-Vief, 998). Kerangka model internal ini mengintegrasikan keyakinan dasar mengenai diri, orang lain dan dunia sosial secara umum. Selain itu, kerangka model internal diperkirakan mampu mempengaruhi pembentukan dan pemeliharan relasi sosial kehidupan individu di masa depan (Bowlby, 988 dalam Diehl, Elnick, Bourbeau, & Labouvie-Vief, 998). Model attachment juga diyakini akan membentuk struktur kepribadian individu secara menyeluruh, mempengaruhi karakteristik kepribadian serta cara individu bereaksi terhadap kebutuhan internal dan eksternal (Bowlby, 988 dalam Diehl, Elnick, Bourbeau, & Labouvie-Vief, 998).

46 9 Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan model attachment berhubungan dengan perbedaan masalah interpersonal, seperti self-esteem, kemampuan berekspresi, kemampuan percaya pada orang lain, keyakinan mengenai sifat manusia, gaya mencintai (Collin & Read, 990), kualitas relasi interpersonal (Hazan & Shaver, 987), dan kemampuan regulasi diri (Kobak & Sceery, 988). Bartholomew dan Horowitz (99) membuktikan bahwa attachment pada masa dewasa berhubungan dengan konsep diri (distres, self-esteem, dan self-acceptance), kemampuan bersosialisasi, dan masalah interpersonal (autocratic, competitive, cold, introverted, subassertive, exploitable, nurturant, dan ekspressive). Diehl, Elnick, Bourbeau, dan Labouvie-Vief (998) menambahkan bahwa attachment pada masa dewasa mengindikasikan kepercayaan diri, psychological well-being, dan kemampuan bersosialisasi. Dinamika hubungan antara model attachment masa dewasa dan dimensi self-acceptance, autonomy, positive relationships with other RPWB dijelaskan sebagai berikut:. Dinamika Hubungan antara Model Attachment dan Dimensi Self- Acceptance RPWB Dalam perspektif attachment masa dewasa, mental model diri merupakan respresentasi harapan mengenai kelayakan diri (Griffin & Bartholomew, 99). Secure attachment memiliki model diri positif yang mengindikasikan kemampuan penerimaan diri. Kemampuan ini dihasilkan dari sikap kelayakan diri (self-worth) yang bersumber pada

47 0 penghargaan diri yang positif (penilaian internal dan tidak bergantung pada penilaian eksternal; Bartholomew, 990). Kemampuan ini juga disebabkan oleh kepuasan diri (self-liking) akan hubungan yang hangat dengan orang lain dan penerimaan positif dari orang lain (Brennan & Morris, 997). Bartholomew dan Horowitz (99) menemukan bahwa secure attachment berhubungan positif dengan self-concept (self-esteem, self-acceptance, subjective distress). Park, Crocker, dan Mickelson (00) menambahkan bahwa individu dengan pandangan model diri positif (misalnya, secure attachment) memiliki self-esteem yang tinggi dibandingkan dengan individu dengan pandangan model diri negatif (anxious-ambivalent attachment). Preoccupied attachment memiliki pandangan model diri negatif. Bartholomew (990) mengungkapkan bahwa model diri negatif berhubungan dengan kecemasan akan penerimaan dan penolakkan dalam hubungan akrab. Selain itu, mereka mengkhawatirkan kebutuhan akan kelekatan (attachment). Hasil dari kecemasan dan kekhawatiran tersebut adalah individu ini cenderung mudah bergantung (high dependency) pada orang lain. Penerimaan diri pun didapatkan dengan berusaha diterima dan dinilai positif oleh orang lain. Brennan dan Bosson (998 dalam Park, Crocker & Mickelson, 00) mengemukakan bahwa individu preoccupied attachment mengalami keraguan dalam penerimaan diri karena evaluasi diri (self-

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap 7 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1 Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang HUBUNGAN KELEKATAN DAN KECERDASAN EMOSI PADA ANAK USIA DINI Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang ABSTRAK. Kelekatan (Attachment) merupakan hubungan emosional antara seorang anak dengan pengasuhnya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Mengacu pada hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dari 60 jumlah responden berdasarkan teori attachment menurut Bartholomew & Griffin (1994)

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dan membentuk hubungan sosial dengan orang lain, karena pada dasarnya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Attachment 2.1.1 Definisi attachment Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah suatu hubungan atau interaksi antara 2 individu yang merasa terikat kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan orang lain. Setiap manusia, selalu berinteraksi dengan orang-orang yang ada dalam

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial oleh karena itu manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan manusia lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HUBUNGAN ANTARA KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DENGAN POLA KELEKATAN DEWASA PADA IBU BEKERJA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dapat hidup sendiri. Di sepanjang rentang kehidupan, setiap manusia membutuhkan manusia lainnya untuk

Lebih terperinci

ABSTRAK. vii. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. vii. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara adult attachment style dengan kecerdasan emosional pada mahasiswa baru angkatan 2014 Fakultas Psikologi. Penentuan responden dari penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Adanya interaksi sosial antara manusia yang satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA DEWASA MUDA DITINJAU DARI POLA ATTACHMENT

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA DEWASA MUDA DITINJAU DARI POLA ATTACHMENT GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA DEWASA MUDA DITINJAU DARI POLA ATTACHMENT Fransisca Iriani, Ninawati Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Attachment pada manusia pertama kali terbentuk dari hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang berinteraksi dengan bayinya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Psychological Well-Being 2. Variabel tergantung : Komitmen Organisasional B. Definisi Operasional 1. Komitmen Organisasional

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci : Attachment to God, Psychological Well Being, Early Adulthood

Abstrak. Kata kunci : Attachment to God, Psychological Well Being, Early Adulthood Abstrak Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi dimensi Attachment to God terhadap dimensi Psychological Well Being. Adapun responden dalam penelitian tersebut adalah 200

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN Pada bab ketiga ini akan dijelaskan mengenai permasalahan penelitian, hipotesis penelitian, subjek penelitian, tipe dan desain penelitian, alat ukur yang digunakan dan prosedur pelaksanaan

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang bisa diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu gereja yang sudah berdiri sejak tahun 1950 di Indonesia adalah Gereja Kristen Indonesia atau yang biasa disebut GKI. GKI adalah sekelompok gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target atau yang disebut sebagai standar keahlian. keahlian atau pun standar keunggulan (standard of excellent).

BAB I PENDAHULUAN. dengan target atau yang disebut sebagai standar keahlian. keahlian atau pun standar keunggulan (standard of excellent). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Motivasi berprestasi sangat penting bagi kehidupan. Motivasi berprestasi yang baik akan membawa dampak positif bagi setiap individu. Hal ini terbukti dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

iv Universitas Kristen Maranatha

iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Psychological Well-Being pada pensiunan bank X di Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode Accidental Sampling dan didapatkan sampel berjumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas tentang orientasi kancah penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian, hasil uji coba, hasil uji asumsi, hasil uji hipotesa dan pembahasan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pacaran adalah istilah yang sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Hampir seluruh masyarakat dapat melihat atau menjadi subjek dalam fenomena pacaran ini

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Attachment 2.1.1 Definisi Attachment Bowlby adalah tokoh pertama yang melakukan penelitian dan mengemukakan teori mengenai attachment dan tetap menjadi dasar teori bagi penelitian-penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi, Sampel, dan Lokasi Penelitian 1. Populasi dan Sampel penelitian Sampel penelitian adalah orang tua anak tunarungu. Anak tunarungu tersebut bersekolah di kelas satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang dalam menjalankan kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah 1 1.PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M.

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN Nama : Elfa Gustiara NPM : 12509831 Pembimbing : dr. Matrissya Hermita, M.si LATAR BELAKANG MASALAH Saat berada dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

ABSTRAK. viii. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. viii. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai derajat Psychological Well-Being pada tunanetra dewasa awal di Panti Sosial Bina Netra X Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB 3. Metodologi Penelitian

BAB 3. Metodologi Penelitian BAB 3 Metodologi Penelitian 3.1 Variabel Penelitian Variabel penelitian merupakan karakteristik atau fenomena yang dapat berbeda di antara organisme, situasi, atau lingkungan (Christensen, 2001). 3.1.1

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN.. Abstrak Penelitian ini berjudul studi kasus mengenai profil Psychological Well- Being pada anak yatim piatu di Panti Asuhan Putra X Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang BAB I PENDAHULUAN l.l Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Merekalah yang akan menerima kepemimpinan dikemudian hari serta menjadi penerus perjuangan bangsa. Dalam

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR BAGAN.ix. DAFTAR TABEL...x. DAFTAR LAMPIRAN.xi BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR BAGAN.ix. DAFTAR TABEL...x. DAFTAR LAMPIRAN.xi BAB I PENDAHULUAN... ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dinamika dimensi-dimensi psychological well-being pada pasien kanker serviks stadium lanjut di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Maksud dan tujuan dari penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Kesepian 2.1.1 Definisi Kesepian Kesepian didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia, terutama dalam gaya hidup masyarakat. Indonesia pun tidak luput dari perubahanperubahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN ASERTIVITAS DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ISTRI YANG TINGGAL DENGAN MERTUA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian eksperimen (True Experimental Research) yaitu suatu penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian eksperimen (True Experimental Research) yaitu suatu penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 TIPE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis eksperimen dengan cara memberi perlakuan sesuatu pada situasi tertentu, kemudian membandingkan hasil tersebut

Lebih terperinci

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK  Program Magister Psikologi  Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan pengihatan yang tidak dapat diperbaiki meskipun telah dilakukan penanganan secara medis. Penyandang low vision hanya memiliki sisa penglihatan yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Variabel Penelitian & Hipotesis 3.1.1. Variabel Penelitian & Definisi Operasional Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang akan diuji adalah: 1. Variable (X): Materialisme

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung : Psychological well-being 2. Variabel Bebas : Locus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pet Attachment II.1.1 Pengertian Pet Attachment Konsep pet attachment diambil langsung dari teori Bowlby (dalam Quinn, 2005) mengenai gaya kelekatan atau attachment. Bowlby menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, dimana mereka tidak dapat hidup seorang diri. Manusia selalu membutuhkan orang lain, baik untuk saling membantu, bekerja sama, bahkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT This study was aimed to investigate the relationship between social

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi BAB I PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa transisi dari masa anakanak ke masa dewasa yang disertai dengan perubahan (Gunarsa, 2003). Remaja akan mengalami berbagai perubahan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi ke masa dewasa. Masa ini dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan

Lebih terperinci

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being pada lansia di Panti Jompo X Kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Lebih terperinci

Hubungan Kesejahteraan Psikologis Dengan Self Esteem Pada Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di Wilayah Kecamatan Tebet

Hubungan Kesejahteraan Psikologis Dengan Self Esteem Pada Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di Wilayah Kecamatan Tebet Hubungan Kesejahteraan Psikologis Dengan Self Esteem Pada Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di Wilayah Kecamatan Tebet SKRIPSI Oleh : Bayhaqqi 201210515003 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA Rita Sinthia Dosen Prodi Bimbingan Konseling FKIP Universitas Bengkulu Abstract:This study was

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL DENGAN RELASI INTERPERSONAL SAAT BERPACARAN PADA MAHASISWA SKRIPSI HERTANTY DELLA MAESTRY

HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL DENGAN RELASI INTERPERSONAL SAAT BERPACARAN PADA MAHASISWA SKRIPSI HERTANTY DELLA MAESTRY HUBUNGAN ANTARA KETERGANTUNGAN MEDIA SOSIAL DENGAN RELASI INTERPERSONAL SAAT BERPACARAN PADA MAHASISWA SKRIPSI HERTANTY DELLA MAESTRY 13.40.0282 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Lebih terperinci