TIGA JENIS BAHAN KEMASAN PLASTIK: PENGARUHNYA TERHADAP SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TIGA JENIS BAHAN KEMASAN PLASTIK: PENGARUHNYA TERHADAP SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH"

Transkripsi

1 1 TIGA JENIS BAHAN KEMASAN PLASTIK: PENGARUHNYA TERHADAP SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH Oleh: NOVALIANA FACHLENY G DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 2 TIGA JENIS BAHAN KEMASAN PLASTIK: PENGARUHNYA TERHADAP SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Oleh: NOVALIANA FACHLENY G DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

3 3 Judul skripsi : Tiga Jenis Bahan Kemasan Plastik: Pengaruhnya terhadap Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah Nama : Novaliana Fachleny NRP : G Menyetujui : Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Okky Setyawati Dharmaputra NIP Santi Ambarwati, M.Si Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP Tanggal lulus :

4 4 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Tiga Jenis Bahan Kemasan Plastik: Pengaruhnya terhadap Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi SEAMEO BIOTROP, Bogor, dari bulan April sampai dengan November Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Okky Setyawati Dharmaputra dan Ibu Santi Ambarwati, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan saran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Miftahudin, M.Si selaku wakil Komisi Pendidikan Departemen Biologi atas saran dan koreksinya terhadap karya ilmiah ini, Direktur SEAMEO BIOTROP atas izin penggunaan fasilitas dan bantuan dana penelitian, Ibu Ir. Ina Retnowati atas kesabaran dan pengarahannya, Pak Edi, Pak Suradi, dan Pak Rahmat atas bantuannya; Jezy, Nani, Indri, Dian, Syamsiyah, Laili, Santi, Sekar, Cynthia, Rusdi, Ruly, dan Pipin atas dukungan dan bantuannya; teman-teman Biologi 38 atas kekompakkan dan kebersamaannya; serta teman-teman di Bagunde 34, Yayu, Teh Ai, Mba Suci, atas dorongan semangat dan dukungannya. Teristimewa ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam penulis sampaikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta, adik-adikku Lely dan Ilham yang dengan sabar dan penuh kasih sayang senantiasa memberi dorongan moril dan semangat, serta rekan-rekan seperjuangan di DKM Al-Ghifari atas dorongan semangat, ukhuwah, dan pengertiannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Maret 2006 Novaliana Fachleny

5 5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 10 November 1983 dari ayah bernama Suripno dan ibu Siti Masitoh. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Bumiayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar pada tahun ajaran 2002/2003, Botani Umum pada tahun ajaran 2002/2003, Biologi Umum pada tahun ajaran 2003/2004, dan Pendidikan Agama Islam pada tahun ajaran 2004/2005. Pada bulan Juni-Juli 2004 penulis melaksanakan praktik lapangan di PT Nalco Indonesia, Citeureup dengan tema Optimalisasi Pengolahan Limbah Cair Secara Biologis. Pad a bulan Juli 2005 penulis mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Padang sebagai finalis Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Ilmiah, dengan topik Keragaman Liken Kortikolus di Taman Wisata Alam Situgunung, Sukabumi.

6 6 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.... viii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN.... ix x PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian BAHAN DAN METODE... 2 Pemanenan, Pengeringan dan Pengupasan Polong Pengemasan dan Penyimpanan... 2 Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja Penentuan Kadar Air dan Persentase Biji Rusak... 3 Penentuan Populasi Total Cendawan dan A. flavus Penentuan Kandungan Aflatoksin B Rancangan Percobaan... 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air... 6 Persentase Biji Rusak Populasi Total Cendawan Populasi A. flavus Kandungan Aflatoksin B SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 17

7 7 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen terhadap kadar air kacang tanah selama penyimpanan Kadar air kacang tanah selama penyimpanan Kisaran dan rata-rata suhu, serta kelembaban relatif ruang simpan selama p enyimpanan Persentase biji rusak kacang tanah selama penyimpanan Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah Pengaruh interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap populasi A. flavus pada kacang tanah Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah Pengaruh interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah

8 8 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Pengukuran konsentrasi oksigen rendah di dalam kantung plastik menggunakan cosmotector merek COSMOS, model No. XPO Biji kacang tanah yang dikemas di dalam kantung plastik dengan konsentrasi O 2 normal (a) dan rendah (b) Kantung-kantung plastik berisi biji kacang tanah yang diletakkan secara acak pada rak kay Skema cara memperoleh sampel kerja. a dan e: sampel untuk penentuan populasi cendawan, b dan f: sampel untuk penentuan persentase biji rusak, c dan g: sampel untuk penentuan kandungan aflatoksin B 1, d dan h: sampel untuk penentuan kadar air dan sampel cadangan Biji rusak kacang tanah Struktur kimia aflatoksin B Peta plat mikro analisis aflatoksin B 1 dengan metode ELISA Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalam tiga jenis bahan kemasan plastik pada awal penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: DG18. Faktor pengenceran: a = Aspergillus flavus ; b = A. niger; c = A. penicillioides; d = A. tamarii Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80 dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan. M edia untuk isolasi cendawan: DG18. Faktor pengenceran: a = Aspergillus flavus ; b = A. niger ; c = A. penicillioides Hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah yang dikemas di dalam tiga jenis kantung plastik pada awal penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: AFPA. Faktor pengenceran: 10-1.a = A. flavus Hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80 dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: AFPA. Faktor pengenceran: a = A. flavus... 12

9 9 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Karakteristik jenis bahan kemasan plastik yang digunakan sebagai pengemas kacang tanah Satuan percobaan pada berbagai kombi nasi perlakuan kacang tanah Cara perhitungan suhu dan kelembaban relatif rata-rata harian Komposisi media yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi cendawan Analisis ragam pengaruh jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap kadar air kacang tanah Analisis ragam pengaruh jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap biji rusak kacang tanah Analisis ragam penga ruh jenis plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah Analisis ragam pengaruh jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap populasi A. flavus pada kacang tanah Analisis ragam pengaruh jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah Populasi total cendawan pada kacang tanah selam a penyimpanan... 24

10 10 PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan palawija yang penting setelah jagung dan kedelai. Kacang tanah dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan, kacang tanah antara lain dapat diolah menjadi kacang garing, kacang goreng, kacang rebus, kacang telur, kacang atom, oncom goreng, dan bumbu kacang tanah. Kacang tanah mengandung minyak, protein, karbohidrat, vitamin (E, K, dan B), dan mineral seperti fosfor, kalsium, magnesium, dan kalium (Dwivedi et al. 1996). BPS (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2004 produksi kacang tanah di Indonesia mencapai ton. Iklim tropis dan kelembaban yang tinggi di Indonesia menyebabkan kacang tanah mudah terserang oleh cendawan, baik sebelum maupun setelah panen. Menurut Sauer et al. (1992) cendawan merupakan mikroorganisme utama penyebab kerusakan biji-bijian selama penyimpanan. Serangan cendawan dapat menurunkan kualitas fisik biji, keapakan, perubahan warna biji, penurunan kandungan nutrisi, dan dihasilkannya mikotoksin oleh spesies atau galur tertentu suatu spesies cendawan. Mikotoksin yang umum dijumpai pada produk pertanian adalah aflatoksin, yaitu metabolit sekunder yang dihasilkan antara lain oleh galur tertentu Aspergillus flavus apabila tumbuh pada substrat yang cocok, termasuk kacang tanah (Pitt 1999). Pada umumnya jenis aflatoksin yang mengkontaminasi bahan pangan adalah aflatoksin B 1, B 2, G 1, G 2, sedangkan yang paling berbahaya adalah aflatoksin B 1 (Betina 1989). Aflatoksin sangat toksik serta dapat menyebabkan kanker hati pada manusia dan hewan. FAO/WHO (1999) menetapkan batas kandungan maksimum aflatoksin total pada kacang tanah yang akan diproses sebesar 15 ppb. Menurut Pitt dan Hocking (1996) kandungan aflatoksin lebih dari ppb dapat menimbulkan efek toksik akut pada hewan dan manusia. Biji kacang tanah dapat terserang cendawan dan terkontaminasi aflatoksin apabila kegiatan pascapanen seperti pengeringan, pengupasan polong, dan penyimpanan tidak dilakukan secara layak. Kegiatan pengeringan sangat erat kaitannya dengan kadar air biji-bijian sebelum disimpan, dan sangat mempengaruhi kualitas biji setelah penyimpanan. Dharmaputra et al. (2005a) melaporkan bahwa kisaran kandungan aflatoksin B1 pada 54 sampel kacang tanah di tingkat pengecer di pasar tradisional Kabupaten Wonogiri dan Kota Surakarta pada musim hujan dan kemarau masing-masing adalah < ppb dan < ppb. Sebanyak 33% sampel pada musim hujan dan 74% sampel pada musim kemarau terkontaminasi aflatoksin B 1 lebih dari 15 ppb. Dharmaputra et al. (2005b) juga melaporkan bahwa kisaran kandungan aflatoksin B 1 pada 45 sampel kacang tanah di tingkat pengecer di Kabupaten Cianjur pada musim hujan adalah < ppb. Sebanyak 75.6% sampel terkontaminasi oleh aflatoksin B 1 lebih dari 15 ppb. Menurut Abramson (1991) pertumbuhan cendawan pascapanen pada biji-bijian antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen, kelembaban, dan lamanya penyimpanan. Selain itu Ginting dan Beti (1996) menyatakan bahwa jenis kemasan yang digunakan selama penyimpanan erat kaitannya dengan serangan cendawan. Dengan menekan konsentrasi oksigen di dalam kemasan diharapkan dapat menghambat pertumbuhan cendawan yang menyerang biji kacang tanah dan kontaminasi aflatoksin. Cara dan sarana penanganan pascapanen termasuk penyimpanan kacang tanah yang tidak layak dapat berpengaruh terhadap kualitas kacang tanah. Oleh karena itu penelitian mengenai pengaruh beberapa jenis bahan kemasan plastik terhadap serangan cendawan dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah selama penyimpanan adalah penting, agar dapat diperoleh informasi mengenai metode yang paling baik untuk meminimalkan serangan cendawan dan kontaminasi aflatoksin. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai pengaruh tiga jenis bahan kemasan plastik yang digunakan untuk mengemas kacang tanah pada konsentrasi oksigen normal dan rendah terhadap serangan cendawan pascapanen dan kontaminasi aflatoksin selama penyimpanan. Selain itu juga untuk meneliti kadar air dan persentase biji rusak kacang tanah.

11 2 BAHAN DAN METODE Pemanenan, Pengeringan, dan Pengupasan Polong Kacang tanah varietas lokal dipanen setelah cukup umur (kurang lebih 100 hari setelah tanam) dan diperoleh dari petani di Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat, pada bulan April Polong langsung dipisahkan dari tanamannya, kemudian dikeringkan dengan bantuan sinar matahari dan menggunakan alas lantai semen, sampai kadar air mencapai ±7%. Kulit polong kacang tanah dikupas menggunakan mesin pengupas diesel tipe kipas putar produk Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Serpong, Tangerang. Sebelum disimpan, biji kacang tanah difumigasi fosfin (2 g/ton) selama 5 hari, untuk membunuh semua stadium serangga yang mungkin terdapat di dalam dan di luar biji. Pengemasan dan Penyimpanan Sebelum pengemasan biji kacang tanah yang rusak (retak, patah, terserang cendawan, dan berubah warna) disortir, kemudian biji yang tidak rusak dikemas di dalam tiga jenis bahan kemasan plastik (1.5 kg/kantung) pada kondisi dengan konsentrasi oksigen normal (konsentrasi O2 pada awal penyimpanan ±21%) dan konsentrasi oksigen rendah (konsentrasi O 2 pada awal penyimpanan ±10%). Selanjutnya disimpan selama satu, dua, tiga, dan empat bulan pada kondisi gudang. Pengukuran konsentrasi oksigen rendah di dalam kantung plastik disajikan pada Gambar 1. Tiga jenis bahan kemasan plastik yang digunakan diberi kode OPP, NY 80, dan NY 70. Karakteristik masing-masing jenis kemasan plastik disajikan pada Lampiran 1. Kantung plastik diproduksi oleh PT Interkemas Flexipack, Tangerang. Setiap jenis kantung plastik digunakan untuk mengemas biji kacang tanah dengan konsentrasi oksigen, lama penyimpanan, dan ulangan yang berbeda. Untuk setiap perlakuan dibuat empat ulangan. Dengan demikian jumlah satuan percobaan adalah 3 x 2 x 5 x 4 =120 (3 = jenis bahan kemasan plastik; 2 = konsentrasi oksigen; 5 = lama penyimpanan; 4 = ulangan). Satuan percobaan pada berbagai kombinasi perlakuan disajikan pada Lampiran 2. Biji kacang tanah yang dikemas di dalam kantung plastik dengan konsentrasi oksigen normal dan rendah dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan kantung-kantung plastik berisi kacang tanah yang diletakkan secara acak pada rak kayu disajikan pada Gambar 3. Suhu dan kelembaban ruang simpan dicatat dengan menggunakan termohigrograf merek Haar- Synth Hygro, setiap hari pada pukul 08.00, 12.00, dan WIB. Cara perhitungan suhu dan kelembaban relatif rata-rata harian disajikan pada Lampiran 3. Gambar 1 Pengukuran konsentrasi oksigen rendah di dalam kantung plastik menggunakan cosmotector merek COSMOS, model No. XPO Gambar 2 Biji kacang tanah yang dikemas di dalam kantung plastik dengan konsentrasi O 2 normal (a) dan rendah (b). Gambar 3 Kantung-kantung plastik berisi biji kacang tanah yang diletakkan secara acak pada rak kayu.

12 3 Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja Pengambilan sampel dilakukan pada aw al penyimpanan, selanjutnya setelah satu, dua, tiga, dan empat bulan penyimpanan. Sampel diperoleh dari setiap kantung. Kantung plastik berisi kacang tanah yang diambil setiap bulan berjumlah 3 x 2 x 4 = 24 (3 = jenis bahan kemasan plastik; 2 = konsentrasi oksigen; 4 = ulangan). Setiap sampel yang berasal dari satu kantung plastik dibagi tiga kali menggunakan pembagi sampel berbentuk boks (box divider) untuk mendapatkan sampel kerja, yaitu sampel untuk penentuan kadar air, persentase biji rusak, populasi cendawan, kandungan aflatoksin B 1, dan sampel cadangan. Skema cara memperoleh sampel kerja untuk berbagai penentuan disajikan pada Gambar 4. Penentuan Kadar Air dan Persentase Biji Rusak Kadar air kacang tanah (berdasarkan bobot basah) ditentukan dengan menggunakan metode oven (AOAC 2000). Biji kacang tanah digiling terlebih dahulu menggunakan blender merek Nasionaltech hingga diperoleh partikel berukuran <2 mm. Sebanyak 5 g dari setiap sampel biji kacang tanah yang telah digiling ditempatkan di dalam cawan alumunium, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 5 jam. Dari setiap ulangan dibuat dua subulangan. Kadar air sampel berdasarkan bobot basah ditentukan dengan menggunakan rumus: % Kadar air = [(m 1 -m 2 )/(m 1 -m 0 )] x 100 m 0 = berat cawan alumunium (g) m 1 = berat cawan alumunium dan sampel sebelum dikeringkan (g) m 2 = berat cawan alumunium dan sampel setelah dikeringkan (g) Biji rusak meliputi biji terserang cendawan dan biji berubah warna. Biji rusak kacang tanah disajikan pada Gambar 5. Persentase biji rusak pada setiap sampel ditentukan dengan menggunakan rumus: % Biji rusak = jumlah biji rusak x 100 jumlah seluruh biji yang digunakan untuk penentuan persentase biji rusak Gambar 5 Biji rusak kacang tanah. Penentuan Populasi Total Cendawan dan A. flavus Populasi setiap spesies cendawan (selain A. flavus) ditentukan dengan metode pengenceran berderet yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada media Dichloran 18% Glycerol Agar (DG18) (Pitt et al. 1980; Pitt et al. 1992). Populasi A. flavus ditentukan dengan metode yang sama pada media Aspergillus Flavus and Parasiticus Agar (AFPA) (Pitt et al. 1983). Komposisi media DG18 dan AFPA disajikan pada Lampiran 4. ± 1500 g ± 750 g ± 750 g ±375 g ±375 g ±375 g ±375 g ±187.5 g ±187.5 g ±187.5 g ±187.5 g ±187.5 g ±187.5 g ±187.5 g ± g a b c d e f g h Gambar 4 Skema cara memperoleh sampel kerja. a dan e: sampel untuk penentuan populasi cendawan, b dan f: sampel untuk penentuan persentase biji rusak, c dan g: sampel untuk penentuan kandungan aflatoksin B 1, d dan h: sampel untuk penentuan kadar air dan sampel cadangan.

13 1 Biji kacang tanah digiling menggunakan blender merek Nasionaltech hingga diperoleh partikel berukuran <2 mm. Sebanyak 25 g dari setiap sampel biji kacang tanah yang telah digiling ditempatkan di dalam gelas ukur volume 500 ml, kemudian ditambahkan akuades steril hingga volumenya mencapai 250 ml, dengan demikian diperoleh suspensi kacang tanah dengan pengenceran 1:10. Gelas ukur tersebut digoyang dengan tangan kemudian suspensi dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer volume 500 ml, selanjutnya digoyang dengan mesin pengocok (shaker) merek Kottermann 4020 dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit. Sebanyak 10 ml suspensi tersebut dipipet dan ditempatkan di dalam labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan 90 ml akuades steril, selanjutnya digoyang dengan mesin pengocok dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit, sehingga diperoleh pengenceran 1:100. Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 1: Sebanyak 1 ml suspensi kacang tanah dari setiap pengenceran dipindahkan dengan pipet steril ke dal am setiap cawan Petri (diameter 9 cm), kemudian dituang sebanyak 12 ml media DG18 atau AFPA yang suhunya ±45 o C. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (±28 o C) selama 7 hari untuk media DG18 dan 4 hari untuk media AFPA. Untuk masing-masing media, setiap pengenceran dibuat di dalam tiga cawan Petri. Populasi setiap spesies cendawan (termasuk A. flavus) per gram kacang tanah (berdasarkan bobot basah) ditentukan dengan menggunakan rumus: Populasi setiap spesies cendawan/g (bobot basah) kacang tanah = 1 X. Y. Z X=Volume suspensi kacang tanah yang dipindahkan ke setiap cawan Petri (1 ml). Y=Pengenceran yang memberikan koloni cendawan terpisah. Z=Rata-rata jumlah koloni setiap spesies cendawan dari tiga cawan Petri. Identifikasi cendawan dilakukan dengan terlebih dahulu memindahkan sekelumit hifa dari koloni setiap spesies cendawan yang dibedakan berdasarkan warna dan pola pertumbuhannya ke media Czapek Yeast Extract Agar (CYA) dan Czapek Yeast Extract Agar + 20% Sucrose (CY20S). Selanjutnya cendawan diidentifikasi berdasarkan pustaka acuan Pitt dan Hocking (1997). Media CYA digunakan untuk mengidentifikasi cendawan pascapanen selain Eurotium, sedangkan media CY20S untuk mengidentifikasi Eurotium. Komposisi media CYA dan CY20S dapat dilihat pada Lampiran 4. Penentua n Kandungan Aflatoksin B 1 Jenis aflatoksin yang dianalisis adalah B 1 (Gambar 6) karena merupakan jenis aflatoksin yang paling berbahaya diantara jenis aflatoksin lainnya dan sering dijumpai pada bahan pangan. Kandungan aflatoksin B 1 ditentukan dengan met ode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) (Lee & Kennedy 2002). O O OCH3 Gambar 6 Struktur kimia aflatoksin B 1. Prinsip dasar metode ELISA adalah mengekstrak sampel dengan metanol 80%, kemudian dicampurkan ke dalam plat pencampuran (mixing well) yang telah berisi enzim konjugat. Demikian pula dengan deret standar aflatoksin B 1 (30 ppb, 12 ppb, 4.8 ppb, 1.9 ppb, 0.77 ppb, dan 0.31 ppb). Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam plat mikro yang telah dilapisi antibodi, sehingga terjadi kompetisi antara aflatoksin B 1 bebas (yang berasal dari ekstrak sampel maupun standar) untuk berikatan dengan antibodi. Enzim konjugat yang tidak berikatan akan tercuci, sedangkan yang berikatan dengan antibodi akan membentuk warna biru setelah penambahan substrat. Semakin tinggi kandungan aflatoksin pada sampel maupun standar, maka semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi. Hal ini menyebabkan intensitas warna biru yang terbentuk semakin pudar. Reaksi dihentikan dengan penambahan H2SO4 sehingga terbentuk warna kuning dan intensitas warna yang terbentuk diukur menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Tahapan yang dilakukan untuk menganalisis aflatoksin B 1 adalah sebagai berikut: Ekstraksi Sampel Sebanyak 75 ml larutan metanol 80% ditambahkan ke dalam 25 g sampel kacang tanah yang telah digiling hingga berukuran 50 mesh, kemudian dikocok dengan menggunakan alat pengocok (shaker) merek Kotterman 4020 selama 15 menit (250 rpm). Larutan jernih ekstrak sampel yang diperoleh setelah penyaringan diencerkan dengan akuades (1:1) terlebih dahulu sebelum digunakan. O O O

14 2 Persiapan Kurva Standar Aflatoksin B 1 Dari larutan stok standar aflatoksin B ppm didalam metanol, dipipet sebanyak µl ke dalam labu ukur 5 ml dan ditambahkan metanol 40% sampai tanda tera sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 30 ppb. Sebanyak 2 ml larutan standar aflatoksin B 1 30 ppb dipipet ke dalam labu ukur 5 ml kedua dan ditambahkan 3 ml metanol 40% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 12 ppb. Sebanyak 2 ml larutan standar aflatoksin B 1 12 ppb dipipet ke dalam labu ukur 5 ml ketiga dan ditambahkan 3 ml metanol 40% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 4.8 ppb. Sebanyak 2 ml larutan standar aflatoksin B ppb dipipet ke dalam labu ukur 5 ml keempat dan ditambahkan 3 ml metanol 40% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 1.9 ppb. Sebanyak 2 ml larutan standar aflatoksin B1 1.9 ppb dipipet ke dalam labu ukur 5 ml kelima dan ditambahkan 3 ml metanol 40% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 0.77 ppb. Sebanyak 2 ml larutan standar aflatoksin B ppb dipipet ke dalam labu ukur 5 ml keenam dan ditambahkan 3 ml metanol 40% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B 1 dengan konsentrasi 0.31 ppb. Persiapan Plat Mikro Antibodi Sebanyak µl stok murni antibodi (ANNA #5 Rab α Aflatoksin B µg/ml) dilarutkan ke dalam 21 ml larutan salutan (bufer karbonat), setelah itu dikocok dengan menggunakan vorteks merek Paramix II. Sebanyak 100 µl larutan antibodi tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing sumur pada plat mikro dengan menggunakan pipet mikro, kemudian diinkubasi selama satu malam pada suhu kamar. Selanjutnya plat mikro dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali, kemudian dikeringkan dengan tisu dan ditambahkan 200 µl larutan perebat (blocking solution) berupa 1% fish hydrosate di dalam phosphate buffer saline ke dalam masing-masing sumur. Setelah itu diinkubasi selama satu jam pada suhu ruang, kemudian dicuci kembali sebanyak tiga kali dengan akuades. Cara Kerja Pengujian Sebelum memulai analisis, dibuat peta plat mikro yang mencakup blangko, kontrol, standar, dan sampel (Gambar 7). Pada plat pencampuran (plat tanpa antibodi), 100 µl larutan enzim konjugat dimasukkan ke dalam masing-masing sumur kecuali pada sumur blangko ditambahkan 100 µl pengencer (1% fish hydrosate di dalam phosphate buffer saline). Sebanyak 50 µl metanol 40% dimasukkan ke dalam sumur blangko dan kontrol. Ke dalam sumur standar dan sampel dimasukkan masingmasing 50 µl standar dan sampel seperti tercantum pada peta plat mikro. Setelah itu campuran dibuat homogen dengan cara menggoyangkan plat mikro secara perlahan pada permukaan yang rata. Dengan menggunakan 8-channel multipipette, 50 µl campuran di dalam plat pencampuran dipindahkan ke dalam plat yang telah berisi antibodi dan dibiarkan selama 5 menit. Setelah itu plat dicuci tiga kali dengan akuades dan dikeringkan di atas tisu. Sebanyak 100 µl larutan substrat dimasukkan ke dalam masing-masing sumur dengan menggunakan 8- channel multipipette. Setelah itu dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 50 µl larutan H 2 SO M. Absorbansi warna kuning yang terbentuk dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. A B C D E F G H Blangko Blangko Sampel Sampel Blangko Blangko Sampel Sampel Blangko Blangko Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb pp b ppb ppb ppb Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb ppb ppb ppb ppb Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb ppb ppb ppb ppb Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb ppb ppb ppb ppb Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb ppb ppb ppb ppb Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel ppb ppb ppb ppb ppb ppb Kontrol Kontrol Sampel Sampel Kontrol Kontrol Sampel Sampel Kontrol Kontrol Sampel Sampel Gambar 7 Peta plat mikro analisis aflatoksin B 1 dengan metode ELISA.

15 2 Penghitungan Konsentrasi Aflatoksin B 1 Nilai absorbansi yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase inhibisi standar dan sampel. Persentase inhibisi standar dan sampel dihitung dengan menggunakan program excell dengan rumus sebagai berikut: % Inhibisi standar/sampel = 1- A standar/sampel-a blangko x 100 A kontrol-a blangko Persentase inhibisi standar yang telah diperoleh kemudian di plotkan dengan konsentrasi standar aflatoksin B 1 untuk memperoleh kurva standar. Dalam hal ini persentase inhibisi sebagai sumbu y dan konsentrasi aflatoksin B 1 sebagai sumbu x. Kurva standar diperoleh dengan menggunakan bantuan program excell. Untuk mengetahui konsentrasi aflatoksin B 1 sampel digunakan rumus baku menurut Lee dan Kennedy (2002). Penghitungan konsentrasi aflatoksin B1 sampel juga menggunakan bantuan program excell. Konsentrasi aflatoksin B 1 sampel yang diperoleh kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran, sehingga konsentrasi aflatoksin B 1 sampel yang sebenarnya dapat diketahui. Rancangan Percobaan Data dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis bahan kemasan plastik dengan tiga taraf, yaitu OPP, NY 80, dan NY 70; faktor kedua adalah konsentrasi oksigen dengan dua taraf, yaitu konsentrasi oksigen normal (±21%) dan konsentrasi oksigen rendah (±10%); faktor ketiga adalah lama penyimpanan dengan lima taraf, yaitu awal penyimpanan, satu bulan, dua bulan, tiga bulan, dan empat bulan penyimpanan. Setiap kombinasi perlakuan dibuat empat ulangan. Model linier dari rancangan acak lengkap faktorial (Steel & Torrie 1995) sebagai berikut: Yijk = µ + α i + β j + γ k + (αβ) ij + (αγ) ik + (βγ) jk + (αβγ) ijk + εijkl Keterangan : i = 1,2,3 (taraf jenis bahan kemasan plastik) j = 1,2 (taraf konsentrasi oksigen) k = 0,1,2,3,4 (taraf lama penyimpanan) l = 1,2,3,4 (ulangan) Yijkl =Nilai pengamatan pada faktor jenis bahan kemasan plastik taraf ke-i, faktor taraf oksigen taraf ke-j, faktor lama penyimpanan taraf ke -k, dan ulangan ke -l µi = Rataan umum αi = Pengaruh faktor jenis bahan kemasan plastik ke-i βj = Pengaruh faktor konsentrasi oksigen taraf ke-j γk = Pengaruh faktor lama penyimpanan taraf ke -k (αβ) ij = Pengaruh interaksi faktor jenis bahan kemasan plastik taraf ke-i dan faktor konsentrasi oksigen taraf ke-j (αγ) ik = Pengaruh interaksi faktor jenis bahan plastik taraf ke-i dan faktor lama penyimpanan taraf ke-k (βγ) jk = Pengaruh interaksi faktor konsentrasi oksigen taraf ke-j dan faktor lama penyimpanan taraf ke-k (αβγ) ijk = Pengaruh interaksi faktor jenis bahan plastik taraf ke-i, faktor konsentrasi oksigen taraf ke-j dan faktor lama penyimpanan taraf ke-k εijkl = Pengaruh acak pada faktor jenis bahan plastik taraf ke-i, faktor konsentrasi oksigen taraf ke-j dan faktor lama penyimpanan taraf ke-k, ulangan ke-l HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Kadar air awal biji merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan biji-bijian selama penyimpanan. Kadar air awal yang tinggi memberikan peluang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan cendawan. SNI (1995) menetapkan salah satu persyaratan mutu biji kacang tanah yaitu kadar airnya berkisar 6-8%. Berdasarkan analisis ragam, jenis bahan kemasan plastik, lama penyimpanan, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan, interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air biji kacang tanah, sedangkan konsentrasi oksigen memberikan pengaruh yang nyata. Interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air biji kacang tanah (Lampiran 5). Kadar air kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 pada konsentrasi oksigen rendah berbeda nyata

16 3 dengan kadar air kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik yang sama pada konsentasi oksigen normal. Kedua jenis bahan kemasan plastik lainnya (OPP dan NY 80) tidak memberikan perbedaan yang nyata antara kadar air kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal dan rendah (Tabel 1). Tabel 1 Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen terhadap kadar air kacang tanah selama penyimpanan Kadar air kacang tanah (%) Jenis bahan Konsentrasi O kemasan 2 Normal Rendah plastik (±21%) (±10%) OPP 6.75 abc 6.70 cd NY bcd 6.78 ab NY a 6.65 d Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Kadar air tertinggi (6.79%) yaitu pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 pada konsentrasi oksigen normal (Tabel 1). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan nilai laju transmisi uap air jenis bahan kemasan plastik NY 70 ( g/m 2 24 jam) yang lebih tinggi dibandingkan nilai laju transmisi uap air jenis bahan kemasan plastik OPP ( g/m 2 24 jam) dan NY 80 ( g/m 2 24 jam) (Lampiran 1). Diasumsikan bahwa kecepatan transfer uap air pada jenis bahan kemasan plastik NY 70 lebih tinggi dibandingkan kedua jenis bahan kemasan plastik lainnya (OPP dan NY 80), sehingga kadar air kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 lebih tinggi. Selain itu mungkin berkaitan dengan ukuran pori, permeabilitas, dan ketebalan bahan kemasan NY 70. Kadar air terendah (6.65%) yaitu pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 pada konsentrasi oksigen rendah. Kadar air kacang tanah untuk semua perlakuan tergolong kadar air yang aman untuk penyimpanan kacang tanah. Meskipun lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air kacang tanah, namun terlihat adanya perubahan kadar air selama penyimpanan (Tabel 2). Perubahan ini berkaitan dengan kelembaban relatif ruang penyimpanan. Menurut Christensen et al. (1992) kadar air biji berada dalam keseimbangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Untuk mencapai keseimbangan tersebut biji-bijian dapat mengalami kehilangan kelembaban atau mengabsorbsi kelembaban dari lingkungannya. Biji yang disimpan di ruangan dengan kelembaban relatif yang tinggi akan mengabsorbsi kelembaban dari lingkungannya. Sebaliknya, biji akan mengalami kehilangan kelembaban jika disimpan di ruangan dengan kelembaban relatif yang rendah. Menurut Bala (1997) selain dipengaruhi oleh kelembaban relatif, keseimbangan kadar air ini juga dipengaruhi oleh suhu. Kisaran suhu dan kelembaban relatif ruang simpan selama penyimpanan masing-masing o C dan % (Tabel 3). Tabel 2 Kadar air kacang tanah selama empat bulan penyimpanan Lama penyimpanan (bulan) Kadar air (%) Kadar air dipengaruhi oleh aktivitas respirasi biji, aktivitas serangga dan cendawan. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi pada biji dan mengeluarkan air sebagai hasil metabolisme Semakin tinggi suhu, semakin tinggi pula kecepatan pertumbuhan cendawan dan produksi mikotoksin (Richardson 1999). Kelembaban yang tinggi juga mendukung perkembangan Tabel 3 Kisaran dan rata-rata suhu, serta kelembaban relatif ruang simpan selama penyimpanan Penyimpanan bulan ke - Suhu ( o C) Kelembaban relatif (%) Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata

17 4 cendawan dan produksi aflatoksin. Suhu dan kadar air yang rendah tidak akan menyebabkan cendawan mati melainkan hanya menyebabkan dorm an dan pertumbuhannya terhambat (Douglas & Boyle 1996). Menurut Lacey dan Magan (1991) diantara mikroorganisme yang mengkolonisasi biji-bijian, cendawan merupakan mikroorganisme yang paling toleran terhadap ketersediaan air yang rendah, sehingga paling berperan dalam kerusakan biji. Persentase Biji Rusak Berdasarkan analisis ragam, jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan, interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase biji rusak. Lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase biji rusak (Lampiran 6). Persentase biji rusak meningkat selama empat bulan penyimpanan. Persentase biji rusak pada awal penyimpanan berbeda nyata dengan persentase biji rusak setelah satu, dua, tiga, dan empat bulan penyimpanan. Persentase biji rusak setelah satu bulan penyimpanan tidak berbeda nyata dengan persentase biji rusak setelah dua bulan penyimpanan, namun berbeda nyata dengan persentase biji rusak setelah tiga dan empat bulan penyimpanan (Tabel 4). Persentase biji rusak tertinggi (5.31%) yaitu setelah empat bulan penyimpanan. SNI (1995) menetapkan bahwa persyaratan mutu biji rusak kacang tanah adalah 0-2%. Tabel 4 Persentase biji rusak kacang tanah selama penyimpanan Lama penyimpanan (bulan) Biji rusak (%) d c c b a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. secara sempurna sebelum biji kacang tanah dikemas. Menurut Christensen et al. (1992) peningkatan persentase biji rusak selama penyimpanan antara lain disebabkan oleh serangan cendawan. Cendawan menyerang biji utuh dengan terlebih dahulu melakukan penetrasi pada kulit biji, merusak testa dan embrio, serta mendekomposisi granula pati pada endosperma (Schmidt 1991). Dharmaputra et al. (1991) melaporkan bahwa pada sampel kacang tanah yang diperoleh dari beberapa pasar tradisional di Bogor, populasi A. flavus pada biji rusak lebih tinggi daripada biji utuh. Blakenship et al. (1985) melaporkan bahwa pada berbagai kultivar kacang tanah yang dianalisis, kandungan aflatoksin paling tinggi terdapat pada biji rusak. Populasi Total Cendawan Berdasarkan analisis ragam, jenis bahan kemasan plastik, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi total cendawan. Interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata. Konsentrasi oksigen, lama penyimpanan, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap populasi total cendawan (Lampiran 7). Setelah empat bulan penyimpanan populasi total cendawan tertinggi (1.72 x 10 4 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP (Tabel 5). Hal ini berkaitan den gan nilai laju transmisi oksigen jenis bahan kemasan plastik OPP, yaitu sebesar cc/m 2 24 jam (Lampiran 3). Nilai laju transmisi oksigen jenis bahan kemasan plastik OPP lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis bahan kemasan lainnya (NY 80 dan NY 70), sehingga lebih mendukung transfer oksigen dari lingkungan. Hal ini diasumsikan berakibat terhadap tingginya kecepatan pertumbuhan dan perkembangan cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalamnya. Setelah empat bulan penyimpanan populasi total cendawan terendah (9.06 x 10 3 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 80. Keberadaan biji rusak pada awal penyimpanan kemungkinan disebabkan antara lain oleh penyortiran yang tidak dapat dilakukan

18 Tabel 5 Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah Lama penyimpanan (bulan) Populasi total cendawan (koloni/g b.b) OPP NY 80 NY 70 T TP T TP T TP g 7.60 x fg 7.80 x ef 8.70 x de 1.95 x ef 1.57 x c 5.53 x cd 3.64 x de 1.85 x c 4.42 x b 2.13 x b 2.76 x b 2.18 x a 1.72 x a 9.06 x a 1.35 x 10 4 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. T: Transformasi log (x), TP: Tidak ditransformasi. Populasi total cendawan pada konsentrasi oksigen normal tidak berbeda nyata dengan konsentrasi oksigen rendah pada awal hingga tiga bulan penyimpanan (Tabel 6). Perbedaan yang nyata antara populasi total cendawan pada konsentrasi oksigen normal dan rendah terlihat setelah empat bulan penyimpanan. Pada Tabel 6 juga dapat dilihat bahwa setelah empat bulan penyimpanan populasi total cendawan tertinggi (2.43 x 10 4 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal, sedangkan yang terendah (2.28 x 10 3 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen rendah. Populasi total cendawan pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal setelah satu, tiga, dan empat bulan penyimpanan lebih tinggi daripada yang dikemas pada konsentrasi oksigen rendah. Cendawan merupakan mikroorganisme yang bersifat aerob obligat, sehingga dapat diasumsikan pertumbuhannya akan terhambat pada konsentrasi oksigen rendah. Menurut Garraway dan Evans (1984) pertumbuhan cendawan pada umumnya meningkat dengan meningkatnya konsentrasi oksigen. Walaupun demikian, konsentrasi oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum spesies cendawan tertentu mungkin relatif rendah. Dharmaputra et al. (2000) melaporkan bahwa populasi total cendawan pada jagung dengan kadar air awal 14, 17, dan 20% yang dikemas di dalam kantung polietilena pada kondisi kedap udara (konsentrasi O 2 ±1.4%) lebih rendah daripada yang dikemas pada kondisi normal (konsentrasi O 2 ±21%). Pada Tabel 5 dan 6 dapat dilihat bahwa secara umum populasi total cendawan pada kacang tanah meningkat selama penyimpanan. Dharmaputra et al. (1993) juga melaporkan bahwa populasi cendawan pada beras cenderung meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan. Melalui Surat Keputusan Nomor 03726/B/SK/VII/89 tertanggal 10 Juli 1985, Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan menetapkan batas maksimum populasi cendawan dalam makanan yaitu 10 4 koloni/g. Pada Tabel 6 terlihat bahwa setelah empat bulan penyimpanan populasi total cendawan pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal (2.43 x 10 4 koloni/g b.b) telah melebihi batas maksimum tersebut. Oleh karena itu lama penyimpanan biji kacang tanah pada konsentrasi oksigen normal hendaknya tidak melebihi tiga bulan. Pada penyimpanan tiga bulan populasi total cendawan masih lebih rendah daripada batas maksimum populasi cendawan. Tabel 6 Pengaruh interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah Populasi total cendawan (koloni/g b.b) Lama penyimpanan (bulan) Konsentrasi O 2 normal Konsentrasi O 2 rendah T TP T TP d 7.30 x d 8.70 x c 3.67 x c 2.36 x c 2.85 x c 3.75 x b 2.37 x b 2.34 x a 2.43 x b 2.28 x 10 3 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. T : Transformasi log (x), TP: Tidak ditransformasi.

19 6 Berdasarkan hasil isolasi, tidak terdapat perbedaan jumlah spesies cendawan pada kacang tanah yang dikemas baik pada konsentrasi oksigen normal maupun pada konsentrasi oksigen rendah (Lampiran 10). Diasumsikan bahwa cendawan-cendawan tersebut mampu tumbuh pada kisaran konsentrasi oksigen yang luas. Menurut Lacey dan Magan (1991) meskipun cendawan bersifat aerob, namun kebutuhannya terhadap oksigen seringkali diluar kisaran pada umumnya dan cendawan tersebut mampu tumbuh pada konsentrasi oksigen yang sangat rendah. Pada jagung, pertumbuhan cendawan lebih dipengaruhi oleh penurunan aktivitas air dari 1.0 menjadi 0.7 dibandingkan penurunan konsentrasi oksigen dari 21% menjadi 1%. Selama empat bulan penyimpanan sebanyak sembilan spesies cendawan telah diisolasi dari semua perlakuan, yaitu Aspergillus flavus, A. niger, A. penicillioides, A. tamarii, Eurotium chevalieri, Fusarium solani, Mucor hiemalis, Penicillium citrinum, dan Syncephalastrum racemosum (Lampiran 10). Cendawan yang selalu terisolasi dari semua perlakuan selama penyimpanan adalah A. flavus dan A. niger. Populasi A. penicillioides mulai meningkat setelah satu bulan penyimpanan, dan merupakan cendawan dominan pada kacang tanah sejak populasinya mulai meningkat. Pitt dan Hocking (1997) melaporkan bahwa populasi A. penicillioides yang tinggi ditemukan pada berbagai jenis bahan pangan. Aspergillus penicillioides umum dijumpai pada bahan pangan yang memiliki aktivitas air rendah (Samson et al.1996; Pitt & Hocking 1997). Diasumsikan bahwa selama penyimpanan aktivitas air kacang tanah menurun sehingga populasi A. penicillioides cenderung meningkat (Lampiran 10). Selain itu diduga penurunan tersebut masih pada kisaran aktivitas air yang memungkinkan untuk pertumbuhan A. penicillioides. Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah pada awal penyimpanan disajikan pada Gambar 8, sedangkan hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80, dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan pada media DG18 disajikan pada Gambar 9. Gambar 8 Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalam tiga jenis bahan kemasan plastik pada awal penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: DG18. Faktor pengenceran: a = Aspergillus flavus ; b = A. niger ; c = A. penicillioides; d = A. tamari.

20 Gambar 9 Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80 dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: DG18. Faktor pengenceran: 10-1.a = Aspergillus flavus; b = A. niger ; c = A. penicillioides. Populasi A. flavus Berdasarkan analisis ragam, jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan, interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap populasi A. flavus. Lama penyimpanan, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap populasi A. flavus (Lampiran 8). Setelah empat bulan penyimpanan populasi A. flavus tertinggi (65.0 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 pada konsentrasi oksigen normal, sedangkan yang terendah (25.3 koloni/g b.b) terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70 pada konsentrasi oksigen rendah (Tabel 7). Selama penyimpanan populasi A. flavus mengalami fluktuasi (Tabel 7), kemungkinan disebabkan oleh adanya cendaw an yang bersifat antagonis atau kompetitif terhadap A. flavus. Menurut Lacey dan Magan (1991) keberadaan A. flavus selama penyimpanan dipengaruhi oleh temperatur, aktivitas air, komposisi gas, dan interaksi mikroorganisme. Dharmaputra (2003) melaporkan bahwa A. niger merupakan cendawan yang paling berpotensi dalam menghambat A. flavus toksigen bila dibandingkan dengan A. flavus non-toksigen dan Trichoderma harzianum. Tabel 7 Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan terhadap populasi A. flavus pada kacang tanah Lama Populasi A. flavus (koloni/g b.b) penyimpanan Konsentrasi O 2 normal Konsentrasi O 2 rendah (bulan) OPP NY 80 NY 70 OPP NY 80 NY abcdef 52.3 abcde 57.8 abcd 63.8 a 63.5 a 52.3 abcde bcdefg 56.8 abcd 36.3 defgh 49.3 abcdef 31.8 efghi 39.3 cdefg bcdefg 26.5 ghi 34.0 efghi 29.0 fghi 20.8 ghi 13.5 i ghi 23.0 ghi 14.0 hi 41.8 bcdefg 25.0 ghi 39.0 cdefg cdefg 27.8 fghi 65.0 a 62.0 ab 60.0 abc 25.3 ghi Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

21 Biji kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80, dan NY 70 baik pada konsentrasi oksigen normal maupun rendah telah terserang A. flavus pada awal penyimpanan (Tabel 7). Keberadaan A. flavus pada awal penyimpanan dapat disebabkan oleh serangan A. flavus selama penanganan pascapanen (pengeringan dan pengupasan polong). Sepert i halnya cendawan lain, A. flavus juga mampu tumbuh pada konsentrasi oksigen rendah (Lampiran 10). Menurut Lacey dan Magan (1991) pertumbuhan A. flavus hanya dapat dihambat pada konsentrasi oksigen dibawah 1%. Aspergillus flavus juga mampu tumbuh pada kisaran temperatur yang luas (Heathcote & Hibbert 1978), dan pada kadar air yang rendah (Abramson 1991). Hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah pada awal penyimpanan disajikan pada Gambar 10, sedangkan hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80, dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan pada media AFPA disajikan pada Gambar 11. a Gambar 10 Hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah yang dikemas di dalam tiga jenis bahan kemasan plastik pada awal penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: AFPA. Faktor pengenceran: a = A. flavus. Gambar 11 Hasil isolasi A. flavus pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80 dan NY 70 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah empat bulan penyimpanan. Media untuk isolasi cendawan: AFPA. Faktor pengenceran: a = A. flavus.

22 6 Kandungan Aflatoksin B 1 Berdasarkan analisis ragam, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan konsentrasi oksigen, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah. Interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan jenis bahan kemasan plastik, konsentrasi oksigen, lama penyimpanan, interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah (Lampiran 9). Berbeda halnya dengan populasi A. flavus yang mengalami fluktuasi selama penyimpanan (Tabel 7), kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah meningkat selama penyimpanan (Tabel 8 dan 9). Hal ini menunjukkan bahwa populasi A. flavus tidak berkorelasi positif dengan kandungan aflatoksin B1. Dharmaputra et al. (1991) melaporkan bahwa tingginya populasi A. flavus pada beberapa sampel kacang tanah yang diperoleh dari beberapa pasar tradisional di Bogor tidak selalu diikuti oleh tingginya kandungan aflatoksin B 1 pada sampel tersebut. Menurut Pitt dan Hocking (1997) produksi aflatoksin bergantung pada galur -galur tertentu A. flavus. Selain itu, kemungkinan adanya kompetisi antara A. flavus dengan mikroorganisme lain dalam memanfaatkan substrat juga dapat membatasi atau mengurangi produksi aflatoksin (Diener & Davis 1969). Dharmaputra et al. (2001) melaporkan bahwa A. niger dan A. flavus non-toksigen mampu menghambat produksi aflatoksin secara in vitro masing-masing sebesar 80 dan 61%. Peningkatan kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah selama penyimpanan diasumsikan terjadi karena aflatoksin B 1 yang dihasilkan oleh A. flavus toksigen terakumulasi pada kacang tanah dan tidak dapat mengalami degradasi oleh mikroorganisme lain. Pada awal penyimpanan kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP, NY 80, dan NY 70 telah terkontaminasi aflatoksin B 1, masing-masing dengan kandungan sebesar 18.6, 18.8, dan 19.8 ppb (Tabel 8). Kandungan aflatoksin B 1 pada awal penyimpanan tidak berbeda nyata pada ketiga jenis bahan kemasan plastik. Keberadaan aflatoksin B 1 pada awal penyimpanan dapat disebabkan terkontaminasinya biji kacang tanah pada waktu pengeringan. Set elah empat bulan penyimpanan kandungan aflatoksin B 1 tertinggi (40.5 ppb) yaitu terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik NY 70, sedangkan yang terendah (35.7 ppb) terdapat pada kacang tanah yang dikemas di dalam jenis bahan kemasan plastik OPP (Tabel 8). Tabel 8 Pengaruh interaksi antara jenis bahan kemasan plastik dan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah Lama penyimpanan (bulan) Kandungan aflatoksin B 1 (ppb) OPP NY 80 NY i 18.8 i 19.8 i h 25.4 g 25.0 f f 33.7 cd 32.2 e e 34.1 c 32.6 d b 40.2 a 40.5 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Setelah empat bulan penyimpanan kandungan aflatoksin B 1 tertinggi (38.9 ppb) terdapat pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal, sedangkan terendah (38.7 ppb) yaitu pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen rendah (Tabel 9). Tabel 9 Penga ruh interaksi antara konsentrasi oksigen dan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah Kandungan aflatoksin B Lama 1 (ppb) penyimpanan Konsentrasi Konsentrasi (bulan) O 2 normal O 2 rendah g 18.2 h e 23.8 f cd 31.3 c b 32.6 b a 38.7 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%. Walaupun kandungan aflatoksin B 1 pada konsentrasi oksigen normal dan rendah setelah dua, tiga, dan empat bulan penyimpanan tidak berbeda nyata, akan tetapi secara umum kandungan aflatoksin B 1 pada kacang tanah yang dikemas pada konsentrasi oksigen normal lebih tinggi daripada yang dikemas pada konsentrasi oksigen rendah. Menurut Diener dan Davis (1969) salah satu faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada

Kapang pada Beras yang Berasal dari Beberapa Varietas Padi

Kapang pada Beras yang Berasal dari Beberapa Varietas Padi Hayati, Darcmber 1994, hlm. 37-41 ISSN 0854-8587 Vol. 1, No. 2 Kapang pada Beras yang Berasal dari Beberapa Varietas Padi OKKY SETYAWAT1 DHARMAPUTRA Jurusan Biologi FMIPA IPB, Jalan Raya Pajajaran, Bogor

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan lokasi Kabupaten

Lebih terperinci

SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH DI GROSIR DAN PENGECER DI KOTA BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA.

SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH DI GROSIR DAN PENGECER DI KOTA BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA. 1 SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH DI GROSIR DAN PENGECER DI KOTA BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA Oleh : DIANA NOVIANSARI G34102050 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Pakan Zat Penghambat Kerusakan Peralatan Bahan Kimia Tempat Penyimpanan

METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Pakan Zat Penghambat Kerusakan Peralatan Bahan Kimia Tempat Penyimpanan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai pada bulan September hingga bulan Desember 2008 dan berlokasi di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

SEAMEO BIOTROP, Bogor Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRAK

SEAMEO BIOTROP, Bogor Institut Pertanian Bogor, Bogor ABSTRAK ISSN: 2339-2479 Volume 9, Nomor 4, Agustus 2013 Halaman 99 106 DOI: 10.14692/jfi.9.4.99 Kualitas Fisik, Populasi Aspergillus flavus, dan Kandungan Aflatoksin pada Biji Kacang Tanah Mentah Physical Quality,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Maret Juni 2012 bertempat di Bendungan Batu Tegi Kabupaten Tanggamus dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Departemen

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Lewikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai pada bulan April 2010 sampai bulan Maret 2011 yang dilakukan di University Farm Cikabayan, Institut Pertanian Bogor untuk kegiatan pengomposan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai Oktober 2011, dan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. 10 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Februari 2014. Pengambilan sampel tanah dilakukan di Hutan mangrove Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Analisis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat 11 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2011 di Laboratorium Agromikrobiologi, Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan;

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium pengolahan limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Tahapan METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Biokimia Zat Gizi,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras varietas Cisadane dan daun mindi, serta bahan-bahan kimia seperti air suling/aquades, n-heksana

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penanaman tumpangsari orok-orok dan jagung dilakukan di kebun percobaan

BAB III MATERI DAN METODE. Penanaman tumpangsari orok-orok dan jagung dilakukan di kebun percobaan 19 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai kecernanan dan fermentabilitas tanaman orok-orok secara in vitro sebagai bahan pakan yang ditanam secara tumpangsari dengan jagung manis dilaksanakan pada

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011. Pelaksanaan penelitian di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan 14 METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua percobaan yaitu 1) Percobaan mengenai evaluasi kualitas nutrisi ransum komplit yang mengandung limbah taoge kacang hijau pada ternak domba dan 2)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Produksi Ternak Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Produksi Ternak Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 17 Maret sampai dengan 17 April 2013 di Laboratorium Teknologi Pascapanen dan Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

PENGARUH SERBUK TIGA JENIS REMPAH DAN PENJEMURAN TERHADAP PERKEMBANGAN

PENGARUH SERBUK TIGA JENIS REMPAH DAN PENJEMURAN TERHADAP PERKEMBANGAN PENGARUH SERBUK TIGA JENIS REMPAH DAN PENJEMURAN TERHADAP PERKEMBANGAN Callosobruchus maculatus (F.) (COLEOPTERA: BRUCHIDAE) PADA BENIH KACANG HIJAU (Phaseolus aureus R.) FARRIZA DIYASTI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tahapan Penelitian Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian III.1.1. Studi Literatur Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum memulai penelitian. Pada tahap

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan April sampai dengan bulan November 2011 di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Materi Alat dan Bahan Metode Proses Pembuatan Pelet

MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Materi Alat dan Bahan Metode Proses Pembuatan Pelet MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010 di Laboratorium Agrostologi, Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi. a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PERCOBAAN 1. Penyiapan Inokulum dan Optimasi Waktu Inokulasi a. Peremajaan Biakan Aspergillus flavus galur NTGA7A4UVE10 Setelah dilakukan peremajaan pada agar miring

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Faktor I adalah variasi konsentrasi kitosan yang terdiri dari 4 taraf meliputi:

BAB III METODE PENELITIAN. Faktor I adalah variasi konsentrasi kitosan yang terdiri dari 4 taraf meliputi: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian akan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial. Faktor pertama adalah kadar kitosan yang terdiri dari : 2%, 2,5%, dan 3%.

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul produksi VFA, NH 3 dan protein total pada fodder

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul produksi VFA, NH 3 dan protein total pada fodder 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul produksi VFA, NH 3 dan protein total pada fodder jagung hidroponik dengan media perendaman dan penggunaan dosis pupuk yang berbeda dilakukan pada tanggal

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pembuatan pupuk cair dan karakteristik pupuk cair ini dilaksanakan dari bulan November sampai Desember 200 yang dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian pengaruh penyimpanan dan jenis bahan pengemas terhadap

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian pengaruh penyimpanan dan jenis bahan pengemas terhadap 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian pengaruh penyimpanan dan jenis bahan pengemas terhadap populasi bakteri asam laktat serta keberadaan bakteri gram pada pelet calf starter yang ditambah limbah kubis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus Uji potensi

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus Uji potensi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2016. Uji potensi mikroba pelarut fosfat dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Februari 2012, bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu Hasil Pertanian Jurusan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 12 METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pembuatan papan komposit dari limbah kayu dan karton dilaksanakan di Lab Biokomposit Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada pellet calf starter dengan penambahan bakteri asam laktat dari limbah kubis terfermentasi telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai April Pelaksanaan penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai April Pelaksanaan penelitian 11 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai April 2015. Pelaksanaan penelitian pembuatan pelet calf

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan penelitian mulai bulan Februari 2012 sampai dengan bulan April 2012. Pembuatan pakan dilaksanakan di CV. Indofeed. Analisis Laboratorium dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 ulangan meliputi pemberian minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium Kesehatan Medan. 3.2 Alat dan Bahan Alat alat yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas

MATERI DAN METODE di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini sudah dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2014 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur penetapan kemasaman tanah (ph) H 2 O

Lampiran 1. Prosedur penetapan kemasaman tanah (ph) H 2 O Lampiran 1. Prosedur penetapan kemasaman tanah (ph) H 2 O Bahan-bahan - air destilasi - larutan kalium chloride (KCl) 1N ditimbang 373 g KCl yang sudah dikeringkan di dalam oven pengering 105 o C, dilarutkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Sampel

Lampiran 1. Prosedur Analisa Sampel Lampiran 1. Prosedur Analisa Sampel 1. Pengukuran Kadar Air (AOAC, 1984) Cawan aluminium dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 C selama 15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN PELAKSANAAN Penelitian ini dilaksanaan pada bulan Februarisampai Mei 2011 di Laboratorium Teknik Kimia, dan Laboratorium Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada 4 April 2016 sampai 16 Agustus 2016. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Material dan Hayati Departemen

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 2 dalam menurunkan kadar glukosa dalam darah, selain itu daun anggrek merpati juga memiliki kandungan flavonoid yang tinggi, kandungan flavonoid yang tinggi ini selain bermanfaat sebagai antidiabetes juga

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda pada pollard terhadap kandungan total bakteri, Gram positif/negatif dan bakteri asam laktat telah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat penelitian BAB III BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016 di 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016 di Laboratorium Teknologi Pakan serta Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Analisis sampel dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Analisis sampel dilaksanakan 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu (uji kimia dan mikrobiologi) dan di bagian Teknologi Hasil Ternak (uji organoleptik), Departemen Ilmu Produksi dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA), jalan Tangkuban Perahu No. 157 Lembang, Bandung. 3.2.

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di Laboratorium Kesuburan Tanah, dan Laboratorium Bioteknologi Pertanian Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel

BAB III METODE PENELITIAN. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium penelitian jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Untuk sampel kulit

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014 di Green House dan Laboratorium Genetika dan Molekuler jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat B. Bahan dan Alat C. Tahapan Penelitian 1. Persiapan bahan

III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat B. Bahan dan Alat C. Tahapan Penelitian 1. Persiapan bahan III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 hingga Mei 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas

METODE PENELITIAN. pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap: Tahap pertama adalah pembuatan vermikompos yang dilakukan di Kebun Biologi, Fakultas Teknobiologi, Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. di laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

III. METODOLOGI PENELITIAN. di laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 30 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2011 di laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Pengumpulan daun apu-apu

Pengumpulan daun apu-apu 58 Lampiran 1. Pembuatan Tepung Daun Apu-apu Pengumpulan daun apu-apu Pencucian daun apu-apu menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun Penyortiran, daun dipisahkan dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Dalam melakukan kegiatan penelitian diperlukan peralatan laboratorium, bahan serta prosedur penelitian yang akan dilakukan. Tiga hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratoris In Vitro. B. Populasi dan Sampel Penelitian Subyek pada penelitian ini yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2011 sampai Maret 2012. Pemeliharaan, pengamatan bobot badan, penyembelihan dan pengamatan sifat non karkas landak dilakukan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei Juni Di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei Juni Di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei Juni 2011. Di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan. Pengujian a W di lakukan di Laboratorium Teknologi Hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia)

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. Yogyakarta dan bahan uji berupa ekstrak daun pare (Momordica charantia) BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratoris murni yang dilakukan secara in vitro. B. Bahan Uji dan Bakteri Uji Bakteri uji

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi:

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi: 55 Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi: a. Pengukuran Ketebalan Film (McHugh dan Krochta, 1994).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah Kaca Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Januari 2012

Lebih terperinci