Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak mendapat perhatian. publik, baik pemerintah, petugas dan pemerhati kesehatan jiwa, maupun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak mendapat perhatian. publik, baik pemerintah, petugas dan pemerhati kesehatan jiwa, maupun"

Transkripsi

1 Kesehatan jiwa menjadi isu yang semakin banyak mendapat perhatian publik, baik pemerintah, petugas dan pemerhati kesehatan jiwa, maupun masyarakat umum. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013 menyebutkan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil, dan DI Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan prevalensi sebesar 2,7 per mil. Data ini juga menyebutkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas sebesar 6%. DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-4 dengan prevalensi gangguan mental emosional sebesar 8,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Data lain menyebutkan bahwa gangguan jiwa termasuk dalam satu dari sepuluh besar penyakit yang didiagnosis pada pasien rawat jalan di rumah sakit di Yogyakarta (Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013). Tingginya peringkat prevalensi gangguan jiwa berat dan mental emosional DI Yogyakarta berdasarkan data di atas diperkirakan terjadi karena tingginya angka identifikasi yang dilakukan petugas kesehatan terhadap kedua gangguan tersebut. Layanan kesehatan mental di provinsi ini telah dikembangkan menjadi layanan kesehatan berbasis masyarakat atau melalui Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ). Adanya pelatihan pelayanan kesehatan jiwa bagi perawat Puskesmas, pengembangan Kader Kesehatan Jiwa, hingga komitmen desa untuk memberi prioritas bagi layanan kesehatan mental merupakan upaya untuk meningkatkan akses layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat. Identifikasi masalah kesehatan mental yang cukup baik di DI Yogyakarta sayangnya tidak diikuti dengan proporsi cakupan pengobatan gangguan jiwa berat dan mental emosional. Proporsi cakupan pengobatan gangguan jiwa 1

2 provinsi ini sebesar 58,6%, lebih kecil dari cakupan pengobatan Indonesia sebesar 61,8%. Adapun cakupan pengobatan gangguan mental emosional di Indonesia adalah sebesar 26,6% dan DI Yogyakarta menunjukkan angka cakupan yang lebih baik yakni sebesar 30,1% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Apabila angka prevalensi dan cakupan gangguan mental emosional tersebut dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk DI Yogyakarta yang berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2013 sejumlah jiwa ( maka sekitar penduduk provinsi ini mengalami gangguan mental emosional dan hanya di antaranya yang mendapatkan pengobatan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin setiap orang dengan masalah kejiwaan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, serta perlindungan hukum dan sosial yang memadai adalah melalui penyusunan Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Pasal 1 dalam UU ini menyebutkan penanganan masalah kesehatan mental di Indonesia memerlukan serangkaian kegiatan yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang disebut dengan upaya kesehatan jiwa ( Undang-Undang Republik Indonesia, 2014). Sayangnya upaya kesehatan jiwa di Indonesia belum sepenuhnya berjalan di pelayanan kesehatan umum. Hal ini terlihat dari treatment gap yang mengindikasikan belum memadainya kapasitas layanan kesehatan jiwa dibandingkan dengan prevalensi gangguan jiwa yang ada. Salah satu indikasi treatment gap yakni hanya tersedia sekitar 600 orang psikiater dan 365 orang 2

3 psikolog untuk 241 juta jiwa penduduk Indonesia (Retnowati, 2011). Jumlah ini masih jauh dari rerata jumlah tenaga profesional kesehatan mental yang dibutuhkan oleh negara dengan pendapatan menengah dan rendah (termasuk Indonesia), yaitu 22,3 tenaga profesional per populasi pada negara dengan pendapatan rendah, sedangkan pada negara dengan pendapatan menengah dibutuhkan 26,7 tenaga profesional untuk populasi yang sama (Bruckner dkk., 2011). Di negara-negara maju dengan sistem perawatan kesehatan yang terorganisir dengan baik, antara 44% dan 70% dari pasien dengan gangguan mental tidak menerima pengobatan, sedangkan di negara berkembang angka-angka ini bahkan lebih mengejutkan, dengan treatment gap mendekati 90% (World Health Organization [WHO], 2003). Uraian di atas sejalan dengan reportase majalah Time edisi November 2003 yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki peringkat terendah dalam hal penyediaan layanan kesehatan jiwa di Asia. Selain rendahnya rasio jumlah psikiater dan tenaga kesehatan jiwa, serta fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang belum mencukupi dibandingkan dengan jumlah penduduk, keterbatasan anggaran untuk kesehatan jiwa juga menjadi masalah bagi penyediaan layanan kesehatan jiwa yang memadai di Indonesia (Yusuf, 2014). Treatment gap ini tentu memerlukan penanganan yang mendesak untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kesenjangan yang ada. Salah satu rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi treatment gap adalah dengan mengintegrasikan layanan kesehatan mental dalam perawatan primer sehingga orang-orang mendapatkan perawatan kesehatan mental yang mereka butuhkan (Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004; WHO dan World Organization of 3

4 Family Doctors, 2008). Marchira, Puspitosari, Rochmawati, dan Mulyani (2014) menyebutkan bahwa Indonesia sebetulnya telah memiliki kebijakan nasional mengenai integrasi manajemen masalah kesehatan mental ke dalam sistem perawatan kesehatan primer, sayangnya implementasinya masih belum efektif. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dikenal sebagai pusat pelayanan kesehatan primer, atau garis terdepan pelayanan kesehatan di Indonesia. Puskesmas merupakan unit pelaksana pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan yang mempunyai misi memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau bagi masyarakat di sekitarnya (Ayubi, 2009). Sayangnya integrasi pelayanan kesehatan mental di Puskesmas masih sangat terbatas, yaitu hanya dari Puskesmas di Indonesia (Semen, 2014). Penempatan psikolog klinis di Puskesmas saat ini sudah dilakukan di DKI Jakarta, serta Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Di provinsi DI Yogyakarta, layanan kesehatan mental di Puskesmas mulai dapat diakses oleh pasien sejak 2004 untuk wilayah Kabupaten Sleman dan 2010 untuk wilayah Kota Yogyakarta. Dari seluruh pelayanan kesehatan mental di Puskesmas kedua wilayah tersebut, salah satu gangguan mental emosional yang banyak ditemukan adalah Gangguan Penyesuaian (GP). Mulai Juli 2010 hingga Februari 2014, Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM) mencatat ada 90 sesi penanganan pasien yang didiagnosis GP dari total sesi di Puskesmas Kota Yogyakarta, sedangkan di Kabupaten Sleman tercatat ada 153 sesi penanganan GP dari total sesi (Center for Public Mental Health [CPMH], 2014). Rosenberg dan Kosslyn (2011) menjelaskan GP sebagai suatu respon terhadap stresor-yang-diketahui, yang melebihi apa yang diperkirakan. GP dapat 4

5 terjadi sebagai reaksi pada stresor dalam tingkat keparahan apapun, bukan hanya sebatas stres traumatik (Oltmanns & Emery, 2012) dan terdiri dari gejala emosional dan perilaku (gejala depresi, kecemasan, dan/atau antisosial (Hoeksema, 2011). DSM-IV-TR menjelaskan GP sebagai suatu reaksi maladaptif terhadap suatu stresor yang dikenali dan berkembang beberapa bulan sejak munculnya stresor. Reaksi maladaptif ini terlihat dari adanya hendaya yang bermakna (signifikan) dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau akademis, atau adanya kondisi distres emosional yang melebihi batas normal. Diagnosis GP dapat ditegakkan bila reaksi terhadap stres tersebut tidak memenuhi kriteria diagnostik sindrom klinis yang lain seperti gangguan mood atau gangguan kecemasan. Reaksi maladaptif dalam GP ini mungkin teratasi bila stresor dipindahkan atau individu belajar menangani stresor. Bila reaksi maladaptif ini masih berlangsung lebih dari 6 bulan setelah stresor (atau konsekuensinya) dialihkan, diagnosis GP perlu diubah (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Hasil penelitian meta-analisis Mitchell dkk. (2011) pada pasien kanker menyebutkan prevalensi GP sebesar 15,4% di setting perawatan-paliatif dan 19,4% di setting perawatan onkologi dan hematologi. Survei cross-sectional pada 77 pusat layanan kesehatan primer di Catalonia menyebutkan 2,94% partisipan memenuhi kriteria diagnosis GP (Ferńandez dkk., 2012). Pada populasi umum Jerman, 0,9% subjek penelitian memenuhi kriteria GP dengan gangguan klinis yang signifikan dan 1,4% lainnya didiagnosis dengan GP tanpa gangguan klinis yang signifikan (Maercker dkk., 2012). Data empiris mengenai prevalensi GP untuk populasi Asia masih sangat terbatas, namun DSM-5 menyebutkan bahwa populasi Asia dan Asia-Amerika diketahui melaporkan GP pada tingkat yang 5

6 sama atau sedikit lebih tinggi (5-20%) daripada populasi pasien rawat jalan umum (Akutsu & Abhari, 2014; American Psychiatric Association [APA], 2013). Lebih spesifik lagi, penelitian Primasari (2012) menunjukkan prevalensi GP di Puskesmas sejumlah 12,9%. Berbagai hasil penelitian menyebutkan GP memiliki kaitan erat dengan stres (Akutsu & Abhari, 2014; Bisson & Sakhuja, 2006; Israelashvili, 2012; Patra & Sarkar, 2013). Lebih luas lagi, berbagai literatur menyebutkan kaitan antara stres dengan gangguan fisik dan mental emosional. Stres adalah kombinasi antara kejadian menantang dalam hidup, yang mengancam dan membebani, dan tuntutan untuk melakukan penyesuaian baik secara fisiologis, kognitif, maupun perilaku terhadapnya (Oltmann & Emery, 2012; Kearney & Trull, 2012). Stres disebutkan terkait dengan berbagai masalah kesehatan fisik yaitu penyakit sistemik sepeti diabetes, obesitas, alzheimer (Iwata, Ota, & Duman, 2013), asma (Nia, Aliloo, & Ansarin, 2010), gangguan kardiovaskular seperti hipertensi, serangan jantung, dan stroke (Donovan, Neylan, Metzler, & Cohen, 2012; Lundberg, 2004), penyakit autoimun seperti multiple sklerosis (Karagkouni, Alevizos, & Theoharides, 2013), inflamasi, penundaan dalam penyembuhan luka, respon lambat pada vaksin, peningkatan kemungkinan mengalami infeksi (Gouin, 2011), serta penyakit pencernaan seperti radang dinding lambung dan radang usus (Salleh, 2008). Pendekatan biopsikososial menjelaskan interaksi antara faktor biologi, psikologis, dan sosial budaya dalam perkembangan gangguan mental, yang dijelaskan dalam diathesis-stress model. Menurut model ini, individu memiliki kerentanan tertentu terhadap suatu gangguan fisik dan mental emosional meski pada banyak kasus kerentanan ini tidak cukup untuk membuat seseorang 6

7 mengalami gangguan fisik dan mental emosional. Kerentanan ini dapat bersifat biologis maupun psikologis. Gangguan mental emosional dapat benar-benar muncul ketika individu dengan kerentanan tersebut menghadapi stres, yang seringkali berupa faktor sosial (Beidel, Bulik, & Stanley, 2012; Hoeksema, 2011). Beberapa gangguan mental emosional yang dapat muncul terkait dengan stres selain GP di antaranya neurosis, burnout, depresi, schizophrenia, gangguan stres-pasca trauma, gangguan bipolar, kecemasan (Marin dkk., 2011; Salleh, 2008; Staufenbiel, Penninx, Spijker, Elzinga, & Rossum, 2013). Perhatian terhadap stres sebagai salah satu faktor yang berperan pada kemunculan gangguan mental emosional dapat ditarik menjadi sebuah upaya preventif. Penggunaan instrumen deteksi dini dapat menjadi satu langkah konkret dalam upaya kesehatan promotif-preventif terhadap kemunculan gangguan mental emosional. Agiananda (2010) merekomendasikan pembuatan instrumen diagnostik dan terapi yang singkat, sederhana, dan mampu laksana untuk meminimalkan risiko tidak terdeteksi dan tertatalaksananya gangguan jiwa dengan baik yang dapat menyebabkan timbulnya hendaya bagi penderitanya, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial-okupasional. Instrumen deteksi dini semacam ini penting untuk digunakan mengingat keterbatasan pasien Puskesmas memahami kaitan antara keluhan yang dirasakan dengan gejala gangguan mental emosional karena keluhan yang kerap mereka sampaikan terkait dengan gejala fisik yang dirasakan (Retnowati, 2011). Oleh karenanya sangatlah mendesak untuk menyediakan instrumen asesmen kesehatan mental yang terstandardisasi, yang akan membantu dokter umum dan profesional kesehatan lain untuk melakukan asesmen secara cepat, tepat, dan komprehensif (Sharma & Copeland, 2009) serta efisien (Batterham dkk., 2013). 7

8 Salah satu pendekatan untuk deteksi dini adalah penggunaan alat skrining yang terstandardisasi. Skrining mengacu pada deteksi dini penyakit atau kondisi pada tahap praklinis, yang didefinisikan sebagai periode sebelum gejala atau tanda-tanda klinis hadir (Kestenbaum, 2009). Tersedianya alat skrining di layanan kesehatan primer akan membuat deteksi kasus menjadi mudah dan sederhana (Criego, Crow, Goebel-Fabbri, Kendall, & Parkin, 2009; Patel dkk., 2007; Tunde-Ayinmode, Ayinmode, Adegunloye, & Abiodun, 2012). Skrining adalah metode singkat untuk memisahkan orang-orang yang mungkin mengalami masalah dengan mereka yang mungkin tidak mengalami. Rogers (2001) menambahkan bahwa kombinasi instrumen skrining yang terstandardisasi dan wawancara klinis terstruktur yang selektif pada layanan kesehatan primer akan sangat memudahkan identifikasi yang akurat dan pengobatan yang efektif pada gangguan mental. Skrining tidak berarti bebas error, namun seharusnya dapat dibuat seakurat mungkin untuk meminimalkan biaya terkait dengan rujukan yang berlebihan dan deteksi yang kurang (Glascoe, 2003). Akurasi alat skrining didefinisikan melalui senstivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif positif dan negatif. Karakteristik alat skrining yang akurat dapat dilihat dari (a) validitas, (b) standardisasi, stratifikasi, dan sampling, (c) reliabilitas, (d) dan beragam karakteristik lainnya sesuai subjek yang akan dikenai alat skrining tersebut. Keuntungan dari penggunaan alat skrining yaitu singkat dan mudah diadminstrasikan sehingga dapat mengurangi waktu yang diperlukan oleh profesional untuk mengumpulkan informasi (Glascoe, 2003). Alat skrining GP di layanan kesehatan primer yang baru-baru ini diuji validitas kliniknya oleh Primasari (2012) adalah General Health Questionnaire-12 8

9 (GHQ-12). Penelitian tersebut menegaskan bahwa GHQ-12 valid, reliabel, dan akurat sebagai instrumen skrining GP dengan nilai Area Under Curve (AUC) sebesar 77% dan titik potong optimum 4, sensitivitas sebesar 0,81 dan spesifisitas 0,55 berdasarkan model skoring CGHQ. Tersedianya satu alat skrining tentu belum cukup mengingat perlunya alat pembanding demi mendapatkan performa yang paling tinggi. Pilihan alternatif alat skrining juga akan membantu profesional kesehatan mental untuk menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu tersedianya alat skrining lain yang juga berbasis-bukti diperlukan di layanan kesehatan primer. Alat skrining alternatif yang dapat disediakan bagi deteksi dini GP di Puskesmas adalah instrumen yang mampu mengidentifikasi pasien, yang diprediksi akan mengalami GP, jika tidak mendapatkan penanganan kesehatan mental yang diperlukan. Dahlan (2009) menyebutkan bahwa penelitian mengenai suatu metode pemeriksaan yang baru dapat dilakukan jika pemeriksaan yang telah tersedia hanya dapat mendeteksi penyakit pada tahap lanjut sehingga diperlukan pemeriksaan yang dapat mendeteksi penyakit lebih dini (early diagnosis). Deteksi dini terhadap suatu penyakit akan memberikan keuntungan bagi layanan kesehatan mental yang seharusnya diterima oleh pasien. Perubahan hidup sebagai bagian dari pengalaman hidup seseorang telah dikenal melalui berbagai penelitian sebagai salah satu stresor yang berkontribusi terhadap kemunculan gangguan mental emosional (Dargahi & Shaham, 2012). Berbagai instrumen diagnostik disusun untuk mengukur perubahan hidup yang dialami oleh seseorang dan hasilnya dipercaya dapat memprediksi terjadinya gangguan mental emosional dalam rentang waktu tertentu. Salah satu instrumen asesmen yang paling banyak digunakan dan disebut dalam berbagai literatur 9

10 mengenai stres dan perubahan hidup adalah Social Readjustment Rating Scale (SRRS) yang dipublikasikan oleh Holmes dan Rahe pada tahun SRRS merupakan skala yang diperoleh studi penskalaan terhadap Schedule of Recent Experience (SRE) (Rahe, 1969). Pada setiap peristiwa hidup yang tercantum dalam SRRS, penekanannya adalah pada perubahan dari kondisi mapan yang ada dan bukan pada makna psikologis, emosi, atau social desirability (Holmes & Rahe, 1967). Holmes dan Rahe juga merumuskan gagasan bahwa perubahan yang khas dalam situasi kehidupan individu, kejadian hidup yang spesifik dan dapat didokumentasikan, dapat dinilai secara obyektif (Contrada & Baum, 2011). Penelitian dengan menggunakan SRRS bertujuan untuk menunjukkan bahwa besaran perubahan hidup secara signifikan berhubungan dengan waktu onset penyakit dan keseriusan penyakit yang dialami (Cooper & Dewe, 2004). Miller dan Rahe pada tahun 1997 kemudian memperbarui SRE dan SRRS menjadi Recent Life Changes Questionnaire (RLCQ). Sama seperti versi SRRS, nilai-nilai numerik ditetapkan untuk berbagai peristiwa atau perubahan, yang umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. RLCQ mengandung 74 peristiwa hidup yang mewakili stresor dalam kehidupan masyarakat Amerika saat ini dan mewakili peningkatan jumlah stres yang tidak teridentifikasi dalam SRRS (Edlin, Golanty, & Brown, 2000). Skor tinggi pada RLCQ menempatkan individu pada kerentanan yang lebih besar terhadap gangguan fisik atau psikologis. Kuesioner dikerjakan dengan mempertimbangkan tekanan hidup yang dialami dalam jangka waktu 6 bulan atau 1 tahun. Jika total skor enam bulan 300 unit perubahan hidup (Life Change Unit/LCUs), atau total skor 1 tahun 500 LCU, maka hal ini mengindikasikan tingkat stres yang tinggi dalam kehidupan baru- 10

11 baru ini dan diperkirakan meningkatkan risiko gangguan bagi individu (Townsend, 2009). Manfaat pengukuran terhadap perubahan hidup sebagai salah satu upaya deteksi dini terhadap kemungkinan munculnya gangguan mental emosional nyatanya belum dipraktikkan dalam pelayanan kesehatan mental primer di Puskesmas. Penelitian mengenai RLCQ sebagai instrumen yang memperbarui SRRS juga masih sangat terbatas. Oleh karenanya penelitian empiris untuk memeriksa validitas dan reliabilitas dari RLCQ perlu dilakukan agar instrumen ini dapat digunakan sebagai alat skrining stresor di layanan kesehatan primer. Selain itu RLCQ ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih akurat dalam rangka penegakan diagnosis multiaksial, terutama pada aksis IV mengenai masalah psikososial dan lingkungan. Identifikasi terhadap stresor yang diperoleh dari RLCQ juga dapat memudahkan petugas kesehatan ataupun profesional kesehatan mental untuk mengkomunikasikan pentingnya deteksi dini gangguan mental emosional dengan mempertimbangkan bobot stres yang dialami oleh seseorang. Sebelum digunakan di Indonesia, RLCQ tentu saja harus melalui proses adaptasi terlebih dahulu. American Educational Research Association (AERA), American Psychological Association (APA), dan National Council on Measurement in Education (NCME) melalui Standards for Educational and Psychological Testing (1985, dalam Hambleton, 2005) menyebutkan bahwa pengguna alat tes yang melakukan perubahan substansial pada bahasa asli dari sebuah instrumen seharusnya me-revalidasi penggunaan tes tersebut. Ketika tes diterjemahkan dari satu bahasa atau dialek lain, reliabilitas dan validitas untuk 11

12 penggunaan yang dimaksudkan pada kelompok bahasa yang akan diuji harus diperiksa terlebih dahulu. Reliabilitas dan validitas merupakan properti psikometri yang harus diperiksa ketika mengevaluasi sebuah alat skrining. Reliabilitas didefinisikan sebagai konsistensi hasil yang diperoleh dari penggunaan instrumen yang sama meski dilakukan oleh rater yang berbeda (inter-rater reliability) atau pada waktu yang berbeda (test-retest reliability). Validitas yang paling relevan digunakan adalah validitas kriteria, yaitu sejauh mana sebuah alat skrining dapat memberikan diagnosis yang sama, yang diperoleh melalui sebuah standar baku emas (gold standard). Jenis validitas kriteria yang digunakan adalah validitas prediktif yang merujuk pada sejauh mana alat skrining dapat memprediksi kondisi konstruk tertentu di masa depan berdasarkan kondisi pada saat ini (Frick, Berry, & Kamphaus, 2010; Rush & Castel, 2011). Selain validitas kriteria, alat skrining juga perlu diperiksa validitas kliniknya. Validitas klinik (clinical validity) didefinisikan sebagai sejauh mana skala rating atau kuesioner memiliki signifikansi klinik atau valid secara klinik (Bech, 2012). Standar baku emas yang sering digunakan adalah wawancara diagnostik terstruktur atau semi-terstruktur yang diadministrasikan oleh pewawancara terlatih, atau kadang penilaian dari seorang profesional berpengalaman (Rush & Castel, 2011). Salah satu wawancara diagnostik terstruktur yang paling banyak digunakan adalah Structured Clinical Interview for DSM IV Axis I (SCID-I). SCID-I adalah panduan wawancara semi terstruktur yang dirancang untuk memungkinkan klinisi atau profesional kesehatan mental yang terlatih untuk membuat diagnosis DSM-IV Aksis I. Standar SCID-I meliputi sebagian besar gangguan utama dalam DSM-IV Aksis I, termasuk gangguan mood, gangguan 12

13 psikotik, gangguan penggunaan zat, gangguan kecemasan, gangguan somatoform, gangguan makan, dan GP (First & Gibbon, 2004). Waktu yang diperlukan untuk mengadministrasikan SCID-I bervariasi, mulai dari 60 menit untuk pasien nonpsikiatrik hingga 90 menit untuk pasien psikiatrik (Weiner & Craighead, 2010). Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk melakukan adaptasi dan menguji daya prediksi RLCQ, melalui wawancara klinis berbasis Structured Clinical Interview for DSM IV Disorder-Axis I (SCID-I), sebagai standar baku emas, sehingga dapat digunakan sebagai instrumen deteksi dini pada pasien Puskesmas. Pertanyaan yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalah sejauh mana dan bagaimana RLCQ berkaitan dengan penegakkan GP. Hipotesis yang diajukan berdasarkan kajian literatur di atas adalah RLCQ memiliki daya prediksi terhadap GP. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keilmuan psikologi, terutama di bidang pengembangan alat ukur psikologi dari sisi teoritis. Selain itu secara praktis, membantu meningkatkan sensitivitas dokter dan paramedis dalam memprediksi GP pada pasien Puskesmas melalui asesmen terhadap perubahan hidup (stresor) yang dialami oleh pasien. 13

Problem kesehatan mental saat ini semakin memerlukan perhatian di. tingkat global, nasional, maupun lokal. World Health Organization (WHO)

Problem kesehatan mental saat ini semakin memerlukan perhatian di. tingkat global, nasional, maupun lokal. World Health Organization (WHO) Problem kesehatan mental saat ini semakin memerlukan perhatian di tingkat global, nasional, maupun lokal. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa gangguan mental, neurologis, dan penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terpotongnya suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan terpotongnya suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah suatu penyakit cerebrovascular dimana terjadinya gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak (Wardhani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, depresi masih sering terlupakan, padahal kasusnya cukup banyak ditemukan, hal ini terjadi karena seringkali pasien depresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, khususnya di kota-kota besar tiap tahunnya menyebabkan kebutuhan akan transportasi juga semakin meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa

BAB I PENDAHULUAN. Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai. perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masa menopause merupakan suatu transisidimana ditandai perubahan siklus menstruasi yang sebelumnya regular, siklik, bisa diprediksi yang cenderung ovulatoar menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. juta dan diprediksikan meningkat hingga 1,5 miliar pada tahun Lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. juta dan diprediksikan meningkat hingga 1,5 miliar pada tahun Lebih dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO, 2011) melaporkan bahwa populasi kelompok lanjut usia (lansia) mengalami perkembangan yang pesat dibandingkan kelompok umur lainnya. Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa, menurut World Health Organization (WHO, 2005). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Depkes,

Lebih terperinci

global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan

global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia Baru, Ukraina, dan A. Latar Belakang Prevalensi jumlah penderita gangguan mental dilaporkan tinggi secara global. Kessler, et al. (2007) misalnya, menemukan sebanyak >75% responden di 5 negara (Columbia, Perancis, Selandia

Lebih terperinci

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting. Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting. Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua provinsi di Indonesia, usia 15 tahun keatas, mengalami gangguan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Apakah saya sehat jiwa? Sehat Jiwa Bukan semata-mata tidak adanya penyakit/gangguan

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Chaplin,gangguan jiwa adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih. fungsi yang penting dari manusia (Komarudin, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki beberapa aspek yang saling berkaitan, yaitu jasmani,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki beberapa aspek yang saling berkaitan, yaitu jasmani, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memiliki beberapa aspek yang saling berkaitan, yaitu jasmani, ruh, dan jiwa. Manusia yang tidak memiliki jasmani maupun ruh tidak akan bisa hidup, lain halnya

Lebih terperinci

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya. IPAP PTSD Tambahan Prinsip Umum I. Evaluasi Awal dan berkala A. PTSD merupakan gejala umum dan sering kali tidak terdiagnosis. Bukti adanya prevalensi paparan trauma yang tinggi, (termasuk kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita gangguan jiwa di dunia diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan masalah yang sangat serius.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah investasi paling mahal guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam era globalisasi ini kemajuan teknologi mampu memberikan pengaruh perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. 1

BAB I PENDAHULUAN. penyakit tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan pembangunan nasional memberikan dampak perubahan pada sistem kesehatan Indonesia ke dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Layanan kesehatan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Empat jenis utama penyakit tidak menular menurut World Health Organization (WHO) adalah

Lebih terperinci

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4

30/10/2015. Penemuan Penyakit secara Screening - 2. Penemuan Penyakit secara Screening - 3. Penemuan Penyakit secara Screening - 4 Pengertian Tujuan dan sasaran Macam-macam bentuk screening Keuntungan Kriteria program skrining Validitas Reliabilitas Yield Evaluasi atau uji alat screening Penemuan Penyakit secara Screening - 2 Adalah

Lebih terperinci

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ GASTROINTESTINAL Maria Inez Devina Siregar 11.2013.158 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa RS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan

BAB I PENDAHULUAN. kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Data epidemiologis menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung. Di tahun 2008, stroke dan penyakit cerebrovaskular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional maupun lokal.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder, 4th edition) adalah perilaku atau sindrom psikologis klinis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah lanjut usia (lansia) sekarang ini semakin meningkat. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah lanjut usia (lansia) sekarang ini semakin meningkat. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah lanjut usia (lansia) sekarang ini semakin meningkat. Hal ini tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi di Indonesia pun terjadi hal yang serupa. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Visi Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah masyarakat yang sehat mandiri dan berkeadilan. Visi tersebut menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan

Lebih terperinci

2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup narapidana menemukan tiap 6

2005). Hasil 62 survei di 12 negara dan mencakup narapidana menemukan tiap 6 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia. Stres baik ringan, sedang maupun berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, penduduk dunia diperkirakan berjumlah sekitar 7 milyar,

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, penduduk dunia diperkirakan berjumlah sekitar 7 milyar, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, penduduk dunia diperkirakan berjumlah sekitar 7 milyar, meningkat dari sekitar 6.5 milyar di tahun 2006. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diikuti dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel yang disebabkan oleh beberapa perubahan dalam ekspresi gen yang menyebabkan ketidakseimbangan regulasi proliferasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan berdampak pada penurunan angka kelahiran, angka kesakitan dan angka kematian serta peningkatan angka harapan hidup penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan di berbagai bidang, khususnya bidang perekonomian, kesehatan, dan teknologi menyebabkan peningkatan usia harapan hidup. Meningkatnya usia harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan ini memperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan

Lebih terperinci

250 juta jiwa (http://www.m.republika.co.id), tercatat masih memiliki berbagai. permasalahan pada berbagai aspek dalam usahanya meningkatkan

250 juta jiwa (http://www.m.republika.co.id), tercatat masih memiliki berbagai. permasalahan pada berbagai aspek dalam usahanya meningkatkan Indonesia, sebagai negara berkembang, dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa (http://www.m.republika.co.id), tercatat masih memiliki berbagai permasalahan pada berbagai aspek dalam usahanya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronis yang merupakan masalah kesehatan dunia yang serius. World Health Organization (WHO) memperkirakan di

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT DEPRESI DENGAN KEMANDIRIAN DALAM ACTIVITY of DAILY LIVING (ADL) PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya terus meningkat. World Health Organization (WHO) di Kabupaten Gunungkidul DIY tercatat 1262 orang terhitung dari bulan

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya terus meningkat. World Health Organization (WHO) di Kabupaten Gunungkidul DIY tercatat 1262 orang terhitung dari bulan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena jumlahnya terus meningkat. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular (World Health Organization, 2010). Menurut AHA (American

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskular (World Health Organization, 2010). Menurut AHA (American BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit adalah suatu keadaan abnormal tubuh atau pikiran yang menyebabkan ketidaknyamanan disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhinya. Ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keperawatan jiwa adalah pelayanan kesehatan professional yang didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari. kesehatan dan Keadaan Sejahtera Badan, Jiwa dan Sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan adalah keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, juga dapat diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara global, diperkirakan sebanyak 24 juta orang telah menderita skizofrenia (WHO, 2009). Di Indonesia, menurut Riskesdas (2007), sebanyak 1 juta orang atau sekitar

Lebih terperinci

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.185, 2014 KESEHATAN. Jiwa. Kesehatan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia (lansia) disamping usia yang semakin bertambah tua terjadi pula penurunan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Insomnia merupakan suatu kesulitan kronis dalam. memulai tidur, mempertahankan tidur / sering terbangun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Insomnia merupakan suatu kesulitan kronis dalam. memulai tidur, mempertahankan tidur / sering terbangun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Insomnia merupakan suatu kesulitan kronis dalam memulai tidur, mempertahankan tidur / sering terbangun dari tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan / tidur singkat

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

Jawa Barat, sebanyak 20,0% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau, sebesar 5,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi

Jawa Barat, sebanyak 20,0% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau, sebesar 5,1% (Riskesdas, 2007). Prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Depresi berat banyak dijumpai di layanan kesehatan primer (Hickie, 2000). Menurut World Health Organization-Psychiatric Prevalence in General Health Care (WHO-PPGHC),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dari masalah yang diteliti, rumusan masalah, tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian, serta manfaat penelitian ini. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (noncommunicable diseases). Terjadinya transisi epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. menular (noncommunicable diseases). Terjadinya transisi epidemiologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dewasa ini sedang dihadapkan pada terjadinya transisi epidemiologi, transisi demografi dan transisi teknologi, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian nasional maupun global. Masalah PTM pada akhirnya tidak hanya menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan

BAB I PENDAHULUAN. insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) tipe 2 yang dahulu dikenal dengan nama non insulin dependent diabetes melitus atau adult onset diabetes merupakan penyakit gangguan metabolik

Lebih terperinci

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001

JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK. Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ. Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari H2A012001 JOURNAL READING GANGGUAN GEJALA SOMATIK Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Jiwa Diajukan Kepada : dr. Rihadini, Sp.KJ Disusun oleh : Shinta Dewi Wulandari

Lebih terperinci

Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu dari beban kesakitan. global (global burden of disease). Gangguan kesehatan mental dianggap sebagai

Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu dari beban kesakitan. global (global burden of disease). Gangguan kesehatan mental dianggap sebagai 2 Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu dari beban kesakitan global (global burden of disease). Gangguan kesehatan mental dianggap sebagai penyebab utama dari kerugian ekonomi dan disabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Depkes RI (2003), gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan tergangguanya fungsi sehari-hari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di negara dengan pendapatan tinggi sampai rendah. 1 Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Jakarta seperti menjadi magnet yang menarik orang untuk datang dan tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala kemudahan dan serba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang mengganggu fungsi mental sehingga menempatkan seseorang dalam kategori tidak sejahtera. Gangguan jiwa adalah respon maladaptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang dikutip Junaidi (2011) adalah suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan. mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia menderita

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan. mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia menderita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hipertensi telah membunuh 9,4 juta warga di dunia setiap tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi perilaku, yaitu bagaimana prestasi kerja yang ditampilkan oleh individu baik proses maupun hasilnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proporsi penduduk usia lanjut diproyeksikan meningkat setiap tahun diperkirakan mencapai 67 juta orang atau sekitar 24% dari seluruh populasi Indonesia pada tahun 2035.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Definisi

Lebih terperinci

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A

SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A SISTEM KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A Do Penyusunan gejala Memberi nama atau label Membedakan dengan penyakit lain For Prognosis Terapi (Farmakoterapi / psikoterapi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak ditemukan di Indonesia maupun di dunia. Penderita hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. masih banyak ditemukan di Indonesia maupun di dunia. Penderita hipertensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan kesehatan masyarakat, keluarga sebagai unit utama yang menjadi sasaran pelayanan. Apabila salah satu di antara anggota keluarga mempunyai masalah keperawatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan kondisi yang progresif meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi diabetes menimbulkan beban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan depresi merupakan penyebab utama terjadinya penyakit dan kecacatan pada remaja usia 10-19 tahun, sedangkan bunuh diri menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini berarti seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. penduduk dunia seluruhnya, bahkan relatif akan lebih besar di negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. penduduk dunia seluruhnya, bahkan relatif akan lebih besar di negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Populasi lanjut usia (lansia) di dunia akan bertambah dengan cepat dibanding penduduk dunia seluruhnya, bahkan relatif akan lebih besar di negara-negara sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa adalah gangguan secara psikologis atau perilaku yang terjadi pada seseorang, umumnya terkait dengan gangguan afektif, perilaku, kognitif dan perseptual.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Depresi merupakan salah satu masalah psikologis yang sering terjadi pada masa remaja dan onsetnya meningkat seiring dengan meningkatnya usia (Al- Qaisy, 2011). Depresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Struktur penduduk dunia saat ini menuju proses penuaan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah proporsi penduduk lanjut usia (lansia). Proyeksi dan data-data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit serebrovaskuler atau yang lebih dikenal dengan stroke merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA

KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA KLASIFIKASI GANGGUAN JIWA PSIKOLOGIS; didasarkan atas letak dominasi gangguan pada fungsi psikologis FISIOLOGIS; setiap proses psikologis didasari fisiologis/faali ETIOLOGIS; berdasarkan penyebab gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan tahap krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Banyak tugas yang harus dicapai seorang remaja pada fase ini yang seringkali menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), dan tindakan (psychomotor) (Yosep, 2013). Gangguan jiwa yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal penting yang diinginkan. setiap manusia. Menurut World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal penting yang diinginkan. setiap manusia. Menurut World Health Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal penting yang diinginkan setiap manusia. Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan yang baik adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Prevalensi di dunia tahun 2014 sebanyak 9%, di Indonesia meningkat dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi perhatian utama secara global dalam kesehatan. Setiap tahun terjadi peningkatan kasus dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (World Health Organization,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (World Health Organization, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan paliatif pada penyakit kanker merupakan pelayanan yang bertujuan untuk menurunkan permasalahan yang diakibatkan oleh penyakit kanker meskipun dengan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

Beberapa dekade terakhir, perhatian pada kesehatan mental meningkat. seiring dengan ditemukan tingginya prevalensi masyarakat dunia yang

Beberapa dekade terakhir, perhatian pada kesehatan mental meningkat. seiring dengan ditemukan tingginya prevalensi masyarakat dunia yang Beberapa dekade terakhir, perhatian pada kesehatan mental meningkat seiring dengan ditemukan tingginya prevalensi masyarakat dunia yang mengalami gangguan mental. Pada 2001, dilaporkan satu dari empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang semakin berkembang, tantangan. terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman yang semakin berkembang, tantangan terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar didominasi oleh organisasi kesehatan yang mampu memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Data World Health Organization (2012) menunjukkan bahwa dua miliar orang di seluruh dunia telah terinfeksi virus Hepatitis B dan sekitar 600.000 orang meninggal

Lebih terperinci

Gangguan Mental Emosional pada Masyarakat di Rancabuaya Shelly Iskandar 1, Arifah Nur Istiqomah 1. Abstrak

Gangguan Mental Emosional pada Masyarakat di Rancabuaya Shelly Iskandar 1, Arifah Nur Istiqomah 1. Abstrak Gangguan Mental Emosional pada Masyarakat di Rancabuaya Shelly Iskandar 1, Arifah Nur Istiqomah 1 1 Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011). mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011). mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa merupakan pengendalian diri dalam menghadapi stresor di lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa adanya tekanan

Lebih terperinci