PENDAHULUAN Agar individu dapat berkembang dengan normal, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri, m em enuhi k ebutuhan dan mengatasi tugas dalam s

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN Agar individu dapat berkembang dengan normal, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri, m em enuhi k ebutuhan dan mengatasi tugas dalam s"

Transkripsi

1 GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA INDIVIDU LANJUT USIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA Novalia Desty Utami Pembimbing : Dra. Retnaningsih, MSi ABSTRAK Pada masa lanjut usia, individu ingin untuk dapat lebih menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang berarti buat mereka seperti anak-anak dan cucu-cucunya. Dukungan sosial menjadi kebutuhan yang semakin diperlukan lansia, lansia membutuhkan cinta, persahabatan, pen gertian dan butuh untuk dihargai. Kebutuhan emosional tersebut dapat diperoleh dari keluarga, baik pasangan hidup maupun keturunan. Namun, tidak semua lansia kemudian tin ggal bersama keluarganya. Ada juga lansia yang akhirnya tin ggal di institusi. Salah satunya di Indonesia institusi yang menyediakan sarana tempat tin ggal bagi para lansia adalah panti werdha. Kontak sosial yang dimiliki lansia akan mempengaruhi psychological well being lebih dari sebelumnya. Kontak sosial merupakan sumber unt uk mendapatkan dukungan pada lansia, keluarga memberikan keamanan dan dukungan emosional, sedang teman juga merupakan sumber penting untuk mendapatkan kesenangan dengan segera. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk men getahui alasan, gamba ran psychological well being, dan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang berbentuk studi kasus. Jumlah subjek yang diambil adalah 1 orang lansia berjenis kelamin wanita yang tinggal di panti werdha, berusia 80 tahun, dan telah tin ggal di panti werdha selama 3 setengah tahun. Dari hasil penelitian diketahui bahwa alasan lansia dalam penelitian ini tin ggal di panti werdha adalah karena perubahan tipe keluarga dan kemandirian. Selain itu, diketahui bahwa lansia yang tin ggal di panti werdha dalam penelitian ini memiliki psychological well being yang positif, hal ini berarti lansia yang tin ggal di panti werdha memiliki penerimaan diri yang baik, mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki otonomi yang baik, penguasaan lingkungan yang baik, memiliki tujuan dalam hidup, dan merasakan pribadinya terus tumbuh. Faktor jaringan sosial yang baik, kondisi ekonomi yang baik, interpretasi yang positif terhadap pengalaman yang dilewati, dan dukungan sosial yang baik, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi psychological well being individu lanjut usia yang tin ggal di panti werdha. Kata kunci: Lansia, Psychological Well Being, Panti werdha 1

2 PENDAHULUAN Agar individu dapat berkembang dengan normal, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri, m em enuhi k ebutuhan dan mengatasi tugas dalam setiap tahap perkembangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Ketika individu memasuki masa balita, individu dapat menyesuaikan diri dan m e m e n u h i t a n t a n g a n perkembangannya, jika mulai dapat m e n g g u n a k a n k e t e r a m p i l a n motoriknya serta memahami dan m e n g g u n a k a n b a h a s a u n t u k berbicara. Pada masa anak-anak, mereka harus mengembangkan identitas jenis kelaminnya serta m ul ai b e r m ai n d a n m e n j al i n h u b u n g a n d e n g a n t e m a n sebayanya, individu harus mulai mencari identitas dirinya termasuk identitas seksual, mengembangkan konsep diri mereka ketika mereka berada pada masa remaja. Pada masa dewasa muda individu harus d a p at m e n gam bi l keput us a n mengenai gaya hidup, hubungan dekat, serta pendidikan dan karir (Papalia, Olds, & Feldman, 2004), juga tantangan-tantangan lain seterusnya hingga individu memasuki masa lansia atau lanjut usia dan akhirnya meninggal. Masa lansia merupakan masa yang akan dilewati setiap individu. Menur ut Aiken (199 5) lansia didefinisikan sebagai individu yang telah memasuki dekade ketujuh dalam hidupnya. Secara tradisional yang tergolong dalam lansia adalah mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Troll dan Fingerman (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) mengatakan bahwa lansia ingin untuk dapat lebih menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang berarti buat mereka seperti anakanak dan cucu-cucunya. Dukungan sosial menjadi kebutuhan yang semakin diperlukan lansia, lansia membutuhkan cinta, persahabatan, pengertian dan butuh untuk dihargai (Kohut et al., 1983). Menurut Antonucci dan Akiyama (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) kebutuhan emosional tersebut dapat diperoleh dari keluarga, baik pasangan hidup maupun keturunan. N a m u n, t i d a k s e m u a l a n s i a kemudian tinggal bersama 1

3 3 keluarganya. Ada juga lansia yang akhirnya tinggal di institusi. Salah satunya di Indonesia institusi yang menyediakan sarana tempat tinggal bagi para lansia adalah panti werdha. Lansia yang memiliki kemungkinan besar tinggal di panti werdha diantaranya adalah lansia yang tidak memiliki keluarga (Kohut et al., 1983), hidup sendiri, tidak mengambil bagian dalam aktivitas sosial, memiliki keterbatasan kesehatan dan kemampuan, serta memiliki keluarga yang terbebani dengan kehadiran mereka (McFall & Miller dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Perubahan dalam kehidupan berkeluarga saat ini juga dapat menjdi salah satu faktor yang mendorong lansia tinggal di panti werdha. Nilai keluarga kecil bahagia sejahtera di Indonesia saat ini, m e n y e b a b k a n j u m l a h a n a k berkurang, sehingga mengakibatkan ketergantungan lansia pada anaknya pun menurun atau berkurang. Selain itu, peran kaum perempuan yang saat ini sudah tidak hanya di rumah saja sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga memasuki dunia kerja, atau yang kini biasa disebut wanita karir, menyebabkan kaum perempuan dalam sebuah keluarga tidak dapat lagi diandalkan sebagai pemberi pelayanan penuh bagi keluarganya, termasuk lansia dalam keluarga tersebut. Hal ini tentunya menyebabkan semakin sedikit anak u s i a p r o d u k t i f y a n g d a p a t menampung orang tuanya yang sudah lanjut usia dalam keluarga dan lama kelamaan akan ditemukan kenyataan bahwa keluarga tidak lagi dapat sepenuhnya diandalkan sebagai pemberi pelayanan bagi keluarganya, termasuk menopang kesejahteraan lansia sehingga mereka memutuskan hidup sendiri (Achir, 2001). Di samping itu, menurut Coles (dalam Gunarsa, ) l a n s i a y a n g m e m i l i k i keterbatasan dalam memenuhi kehidupan sehari-harinya sendiri pun akhirnya memilih untuk tinggal di panti werdha. Panti werdha merupakan unit pelaksanaan teknis kegiatan pelayanan sosial kepada lansia untuk memenuhi kebutuhan hidup m ereka secara layak melalui pemberian penampungan yaitu penempatan lansia di dalamnya, jaminan hidup seperti makanan dan

4 4 pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir dan batin (Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial & Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2004). Panti werdha di Indonesia dikelola oleh pihak pemerintah dan juga pihak swasta. Di wilayah DKI Jakarta terdapat 12 panti jompo baik swasta maupun pemerintah (Dinas B i n a M e n t a l S p i r i t u a l d a n Kesejahteraan Sosial, 2004). Panti tersebut menyediakan sarana dan prasarana untuk menampung, merawat, serta memberikan kegiatan keterampilan, keagamaan, olahraga, d a n j u g a k e s e n i a n. N a m u n, pandangan terhadap panti werdha k u r a n g b e g i t u b ai k. D e n g a n tinggalnya lansia di panti werdha, m aka lansi a diang gap sebagai m anusia yang tidak m emili ki orientasi, tidak dapat mengatur dirinya, tidak bahagia, memiliki gambaran diri yang negatif, merasa tidak berharga dan tidak mampu Menurut Sommer (dalam Ebersole dan Hess, 1990), lansia yang tinggal di panti menunjukkan gejala antara lain deindividuasi, yai tu lansia mengalami peningkatan ketergantungan, penurunan asertifitas dan tidak mampu untuk membuat keputusan, keterasingan terhadap teknologi, dan perubahan lain di dunia luar, serta kebosanan akibat kekurangan stimulus baru. Tinggalnya lansia di panti w e r d h a, j u g a a k a n s e m a k i n menegaskan pemikiran bahwa dirinya sudah tua, menyulitkan, dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sel ain itu, menurut Kleeimeier (dalam Lawton, 1977) perilaku individu yang tinggal di panti diatur atau distandarisasi oleh petugas dan peraturan dari organisasi panti tersebut. Panti werdha memiliki Giri dimana para anggotanya dipisahkan dari masyarakat luas. Pemisahan ini terjadi karena penghuni yang ada memiliki perbedaan dalam usia, kesehatan, dan status lainnya dari masyarakat sekitarnya. Selain itu, penghuni juga jarang bergabung dengan komunitas sekitarnya dan (Tobin dan Lieberman, 1978).

5 5 kedatangan orang luar ke dalam panti pun terbatas. Panti werdha j u g a m e m i l i k i G i r i d i m a n a penghuninya melakukan aktivitas yang sama untuk bangun tidur, makan, atau kegiatan lainnya di waktu dan tem pat yang sama. Perlmutter dan Hall (1992) mengatakan pemisahan lansia dari masyarakat sekitarnya ini akan mengurangi kontak mereka dengan k a u m m u d a d a n d a p a t mempertahankan stereotipe bahwa lansia rapuh dan tidak berguna dimata kaum muda serta kehilangan stimulasi atas ide-ide baru yang mungkin dapat diperoleh dari kaum muda. Pemisahan ini juga membuat lansia tinggal dalam kondisi dimana hu bungan den gan ora ng lain terbatas, sehingga lansia akan merasa terisolasi, mobilitas terbatas, pengalaman sosial yang juga terbatas, terorientasi pada keg iatan rutin, dan aktivitas yang tidak kreatif ( T ownsend d al a m T o bi n d an Lieberman, 1978). Berbagai kondisi t e r s e b u t k e m u n g k i n a n a k a n berpengaruh terhadap psychological well being lansia yang tinggal di panti werdha. Psychological well being adalah reaksi evaluasi seseorang mengenai kenyaman hidupnya (Nathawat dalam Katarina, 2007). Menurut Voyer dan Boyer (dalam Louvet dan Rohmer, 2005) indikasi dari kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dalam berbagai konteks kehidupannya, seperti menyesuaikan diri terhadap masa rem aja, de wasa, usia lanjut, pekerjaan, dan lain sebagainya disebut Psychological well being. Perasaan terhadap well being tadi merupakan evaluasi individu atas hidupnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Ryff (1989) merumuskan terdapat enam dimensi dalam psychological well being, yaitu di mensi penerimaan diri (s elfacceptance), dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), dimensi otonomi (autonomy), dimensi p e n g u a s a a n l i n g k u n g a n (environmental mastery), dimensi tujuan hidup (purpose in life), dan dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth). Keenam dimensi i n i m a s i n g - m a s i n g m e m i l i k i tantangan-tantangan yang berbeda

6 6 dalam hidup yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara positif (Ryff, 1989). Terdapat juga berbagai kondisi lain atau faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keadaan psychological well being pada lansia, antara lain menurut Pinquart & Sorenson (dalam Gusmilizar, 2009) yaitu terdiri dari dua faktor, faktor jaringan sosial dan faktor status sosial ekonomi. Sedangkan menurut Andrew dan Robinson (dalam Syamsudin, 2008) faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being, adalah faktor pengalaman hidup dan interpretasinya juga faktor dukungan sosial yang diterim a individu. Di sisi lain, panti juga dapat m emberika n h al p ositif b agi penghuninya. Tinggal di tempat khusus bagi lansia dapat membuat lansia tidak terganggu lagi oleh keributan ataupun tingkah laku ramai dari kaum muda. Menurut Perlmutter dan Hall (1992), hal ini dapat m e m b u a t l a n s i a j u g a d a p a t berinteraksi dengan teman sebaya y a n g t a m p a k n y a d a p a t meningkatkan semangat hidup, aktivitas sosial, dan kepuasan tempat tinggal. Di samping itu, panti juga menyediakan keperluan sandang, pangan, dan papan para peng hun i nya. Panti umumnya memberikan kesempatan kepada penghuninya untuk melakukan kegiatan yang positif. Di dalam panti biasanya disediakan petugas sosial, tenaga medis, pengasuh spiritual yang dapat membantu lansia dalam m e n j a l a n k a n d a n m e n j a g a kehidupan sehari-hari. Lansia yang menghuni panti, biasan ya juga di b eri k an k esem patan untuk melakukan rekreasi bersama-sama. Dengan lingkungan yang asri, tertata r a p i, m a k a n t e r a t u r, d a n pengawasan kesehatan yang ketat, para lansia itu biasanya hidu p dengan sejahtera, bahkan di panti m i l i k p e m e r i n t a h s e k a l i p u n (Ratnawati, 2005). Berdasarkan uraian diatas, m a k a p e n el i t i t e r t a r i k u n t u k mengetahui psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Pertanyaan Penelitian

7 7 Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka diajukan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Mengapa individu lanjut usia tinggal di panti werdha? 2. Bagaimanakah gambaran psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa individu lanjut usia tinggal di panti werdha, psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha, dan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti wedha. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu: 1. Manfaat Praktis dapat memberikan informasi y a n g b e r m a n f a a t b a g i pengembangan ilmu psikologi k h u s u s n y a P s i k o l o g i Perkembangan dan Gerontology serta dapat menjadi masukan yang berguna bagi penelitian l e b i h l a n j u t m e n g e n a i psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada para individu lanjut usia dan keluarganya, serta pihak p a n t i w e r d h a, t e n t a n g psychological well being pada individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam merawat lansia di panti werdha. TINJAUAN PUSTAKA Konsep psychological well being atau kesejahteraan psikologis diperkenalkan oleh Neugarten (dalam Palupi, 2008) yang diartikan sebagai kondisi psikologis yang dicapai oleh seseorang pada saat Penelitian ini diharapkan

8 8 berada pada usia lanjut. Nathawat (dalam Katarina, 2007) berpendapat bahwa psychological well being adalah reaksi evaluasi seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Ryf f (dalam Pal upi, 200 8), menyatakan bahwa psychological well being adalah suatu keadan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sebagaimana adanya, m emiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu menguasai lingkungan, serta memiliki tujuan dalam hidupnya. Diener (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2004) mengatakan bahwa psychological well being adal ah pe rasaan subj ekti f da n evaluasi individu terhadap hidupnya sendiri. Berdasarkan dari beberapa definisi psychological well being yang dikemukakan diatas, maka d a p a t d i s i m p u l k a n b a h w a psychological well being meru pakan kondisi psikologis yang dicapai oleh individu, dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu menguasai lingkungan, serta memiliki tujuan dalam hidupnya dalam bentuk perasaan subjektif, sebagai reaksi evaluasi seseorang mengenai kenyamanan hidupnya. Dimensi-dimensi Psychological Well Being a) Penerimaan Diri (Self- Acceptance) Dimensi ini merujuk pada k e m a m p u a n i n d i v i d u d a l a m menerima segala aspek dirinya secara positif, baik di masa lalu m a u p u n s e k a r a n g. D i m e n s i penerimaan diri dikatakan sebagai karakteristik sentral dari individu yang sehat mental dan matang yang akhirnya mendukung terciptanya kondisi well- being. (Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004). Individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikan sebagai individu yang memiliki sikap positif terhadap diri, mengetahui dan menerima semua aspek diri, dan memiliki

9 9 pandangan positif tentang kehidupan masa lalunya. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini memiliki perasaan tidak puas dengan d i ri, kec ewa deng an kehidupan masa lalu, cemas dengan kualitas personal yang dimiliki, dan berharap untuk bisa berbeda dari dirinya sendiri. (Ryff & Keyes, 1995). b) Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Adanya kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang baik, saling percaya, penuh kehangatan, dan penuh cinta dipandang sebagai kriteria penting individu yang sehat mental dan matang. Individu yang sudah mampu mengaktualisasikan dirinya juga digambarkan sebagai individu yang mampu menunjukkan empati dan afeksi, mampu mencintai, dan m emiliki persaha batan ya ng mendalam. Pada intinya, seluruh kemampuan tersebut menjadi komponen penting dalam psychological well being individu (Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004). Individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikkan sebagai individu yang memiliki kehangatan, mampu menampilkan pribadi yang jujur ketika berhubungan, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman, serta memahami makna take and give ketika berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini tidak terlalu dekat dan jujur dalam menjalin suatu hubungan, merasa sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain, merasa terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, dan tidak bersedia untuk membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan penting dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995). c) Otonomi (Autonomy) Adapun yang menjadi dasar dalam dimensi ini adalah penentuan diri (selfdetermination), kebebasan, dan regulasi emosi didalamnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki kebebasan dalam menentuan diri, mampu mengatasi tekanan sosial ketika berpikir dan bertindak, mampu mengontrol perilaku, dan mampu mengevaluasi diri dengan standar

10 10 personal (Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004). Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini sangat mementingkan harapan dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain ketika membuat keputusan yang penting, dan mengikuti (conform) tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak (Ryff & Keyes, 1995). d) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini melibatkan k e m a m p u a n i n d i v i d u d a l a m mengatur dan mengubah lingkungan melalui aktivitas fisik dan mental. Ryff menyebutkan bahwa individu yang sehat m ental dan matang adalah individu yang memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikis dirinya, mampu berpartisipasi dalam aktivitas di luar diri, dan memanipulasi serta mengontrol lingkungan sekitarnya yang kompleks. Individu yang tinggi dalam dimensi ini dinilai sebagai individu yang sangat kompeten dan memiliki penguasaan yang baik dalam mengontrol lingkungan dan aktivitas eksternal, serta mampu memilih dan menciptakan situasi yang sesuai dengan nilai dan keinginannya (Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004). Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini merasa sulit untuk mengatur hidup sehari-hari, merasa tidak mampu untukmengubah atau meningkatkan situasi di sekelilingnya, tidak peduli pada sekitar,dan kehilangan kontrol diri (Ryff & Keyes, 1995). e) Tujuan Hidup (Purpose in Life) Ryff mengatakan bahwa individu yang dapat berfungsi secara positif adalah individu yang memiliki tujuan, intensi, dan arahan yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknaan hidupnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikkan sebagai individu yang memiliki tujuan dalam hidup dan mampu memberi makna pada hidupnya baik masa sekarang m aupun masa lal u (Ryf f dalam Lopez & Snyder, 2004). Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini merasa bahwa dirinya kehilangan petunjuk, tidak meyakini bahwa hidup ini memberikan arti, memiliki sedikit tujuan, dan tidak mampu

11 11 melihat tujuan di kehidupan masa lalunya (Ryff & Keyes, 1995). f) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Ryff mengatakan bahwa tercapainya fungsi positif yang optimal tidak hanya digambarkan ketika individu sudah berhasil mencapai suatu kriteria tertentu, t e t a p i j u g a k e t i k a d i r i n y a menumbuhkan, mengembangkan, dan meluaskan potensi atau fungsi dirinya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini memiliki pandangan bahwa dirinya selalu berkembang, terbuka pada pengalaman baru, m e m i l i k i k e m a m p u a n u n t u k merealisasikan potensi diri, mampu melihat perkembangan diri dan perilakunya sepanjang waktu, dan melakukan perubahan dengan caracara tertentu yang merefleksikan pengetahuan diri (Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004). Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini merasa bahwa hidupnya berhenti (stagnation), kehilangan kemampuan untuk meningkatkan diri sepanjang waktu, merasa jenuh dan merasa bahwa hidupnya tidak menarik, dan m e r a s a t i d a k m a m p u u n t u k membangun sikap atau perilaku baru (Ryff & Keyes, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being Menurut Pinquart & Sorenson (dalam Gusmilizar, 2009) terdapat d u a f a k t o r y a n g d a p a t mempengaruhi psychological well being individu, yaitu: a) Faktor Jaringan sosial Menurut Pinquart & Sorenson (dalam Gusmilizar, 2009), berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam p e r t e m u a n - p e r t e m u a n a t a u organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan. b) Faktor Status sosial ekonomi Menurut Pinquart & Sorenson (dalam Gusmilizar, 2009) meliputi besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi, status sosial di masyarakat. Menurut Andrew & Robinson (dalam Syamsudin, 2008) faktorf a k t o r y a n g m e m p e n g a r u h i psychological well being i nd ivid u

12 12 lanjut usia yang tinggal di panti werdha adalah: a) Faktor Pengalaman Hidup dan I nterpretasi nya Menurut Andrew & Robinson (dalam Syamsudin, 2008) faktor pengalaman hi dup i nterpretasi individu terhadap pengalaman hidupnya akan berpengaruh pada p e n i l a i a n i n d i v i d u t e r h a d a p kehidupannya secara umum. b) Faktor Dukungan Sosial Hasil penelitian menemukan b ah wa d uk u n g a n s osial d ari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi psychological well-being yang dirasakan oleh individu tersebut. Menurut Sarafino (dalam syamsudin, 2008) dukungan sosial ternyata juga memiliki hubungan dengan kondisi wellbeing. Dukungan sosial didefinisikan sebagai pemberian rasa nyaman, kepedulian, penghargaan, atau bantuan kepada individu, yang bisa diperoleh dari pasangan, keluarga, t e m a n, a t a u o r g a n i s a s i kemasyarakatan (Cobb dalam Syamsudin, 2008). Menurut Cobb (dalam Syamsudin, 2008), individu yang mendapatkan dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai, dan menjadi bagian dalam jaringan sosial (seperti keluarga dan organisasi tertentu) y a n g m e n y e d i a k a n t e m p a t bergantung ketika dibutuhkan. Dalam penelitian ini, peneliti m e n g g u n a k a n t e o r i y a n g di ungkapkan oleh kedua tokoh tersebut diatas untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being i nd ivid u lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Digunakannya teori dari kedua tokoh tersebut karena kedua tokoh tersebut mengatakan hal yang berbeda mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being. Sehingga peneliti ingin mengetahui, bagaimana masingmasing dari faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap psychological well being individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Lanjut Usia Manusia berubah secara konstan, diawali kehidupan manusia perubahan itu bersifat evolusional, ya ng artinya b ahwa manusia berubah menuju kedewasaan, akan

13 13 t e t a p i p a d a p e r k e m b a n g a n selanjutnya mereka justru tidak berkembang secara evolusional lagi melainkan terjadi suatu regresi. Perubahan ini biasa disebut menua (Hurlock, 1980). Menurut Constantinides (dalam Nugroho, 2000) menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Lansia adalah masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an tahun dan diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam periode perkembangan manusia (Santrock, 1995). Aiken (1995) mendefinisikan lansia sebagai individu yang telah memasuki dekade ketujuh dalam hidupnya. Secara tradisional, yang tergolong dalam lanjut usia adalah mereka yang berusia 65 tahun atau lebih. Levinson (1978) memberikan batasan usia lansia yaitu individu yang berada pada usia 60 tahun keatas. Periode ini ditandai dengan adanya masa transisi dari dewasa akhir ke lanjut usia yang terjadi pada saat individu berusia tahun. Pada periode ini terdapat penurunan keadaan fisik serta pendapatan, namun biasanya masih memiliki aktifitas. Sementara di Indonesia, terdapat batasan usia lansia yang di berikan oleh pemerintah. Individu yang disebut lansia adalah yang telah mencapai usia 60 tahun dan dinyatakan dengan pemberian kartu tanda penduduk (KTP) seum ur hidup. Hal ini tercantum pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai kesejahteraan lansia (Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial & Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2004). Berdasarkan dari beberapa d e f i n i s i l a n j u t u s i a y a n g dikemukakan diatas, maka dapat di sim pulkan bah wa la njut usi a merupakan masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan ditandai dengan penurunan keadaan fisik.

14 14 Psychological Well Being pada individu lanjut usia Perasaan well being pada lansia dihubungkan dengan memilih tujuan spesifik sebagai hal penting dalam berfungsi dan secara efektif mengatur sumber-sumber internal (energi, pemikiran, dan sebagainya) dan eksternal (mengambil kelas keterampilan, dukungan teknis, dan sebagainya) untuk memaksimalkan tingkat fungsional mereka (Biren & Renner, 1980). Oleh karena itu, well being bergantung pada kemampuan untuk mengatur atau mengurangi akibat dari peristiwa hidup yang menekan dengan mengatur sumbersumber di sekitarnya untuk terus terlibat dalam peran dan kegiatan yang berharga (Hamarat dalam Newman & Newman, 2006). Dalam hubungan sosial, u m u m n y a k e h i d u p a n l a n s i a diperkaya dengan kehadiran teman lama dan keluarga. Dan Landsford et al., (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) mengatakan bahwa Kontak sosial yang dimiliki lansia akan mendapatkan dukungan pada lansia, keluarga memberikan keamanan dan dukungan emosional, sedang tem an juga merupakan sumber p e n t i n g u n t u k m e n d a p a t k a n k e s e n a n g a n d e n g a n s e g e r a (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Teman juga dapat menjadi tempat untuk menceritakan perasaan dan pikiran, serta dapat bercerita m e n g enai k ek h a w atiran d a n kesedihan yang dapat membantu menghadapi perubahandan krisis penuaan (Genevay dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004). Palupi (2008) mengungkapkan terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk men i ngkatkan psychological well being pada individu lanjut usia, yaitu sebagai berikut: a. Lingkungan menyediakan sumber dukungan sosial yang positif agar lansia tetap bisa merasa bahagia, mencapai kepuasan hidup dan terhindar dari depresi. Misalnya Lingkungan, terutama keluarga, memiliki kepedulian terhadap mempengaruhi well being lebih dari sebelumnya. Kontak sosial merupakan sumber untuk

15 15 kebutuhan lansia, melibatkan lansia dalam aktivitas sosial yang dilakukan keluarga dalam taraf yang memungkinkan, misalnya diskusi, makan malam bersama, rekreasi bersama, dan lain-lain. Memberikan kebebasan lansia menjalani hobinya sebatas tidak membahayakan diri mereka, dan memberi kesem patan l ansia untuk tetap menjalin relasi sosial dengan sebaya. b. Ada kesediaan dari pihak-pihak yang berkompeten untuk mendesain program intervensi bagi individu lanjut usia agar lebih siap menghadapi masa tua, seperti pelatihan kesiapan menghadapi masa pensiun, pelatihan penerimaan diri, pelatihan manajemen stres, pelatihan Life-Review untuk mengurangi depresi, pelatihanpelatihan yang menunjang hobi, terlebih yang mendatangkan hasil. c. Dari pihak lansia diharapkan adanya kesadaran diri untuk menjalani/memasuki masa lanjut usia, menumbuhkan minat untuk lebih melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang bermakna dan peningkatan rel igi usitas. Panti Werdha Panti werdha merupakan tempat tinggal dimana penghuninya menetap dalam jangka waktu panjang dan umumnya selama sisa hidup m ereka (Higgins, 19 89). Pengadaan panti werdha bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia. Berdasarkan UU RI no. 1 3 t a h u n t e n t a n g kesejahteraan lanj ut usia (Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial & Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2004), yang dmaksud dengan peningkatan kesejahteraan adalah peningkatan tata kehidupan dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan untuk mengadakan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya. Lansia yang tinggal di Panti Werdha

16 16 Lansia yang tinggal di panti menunjukkan gejala antara lain d e i n d i v i d u a s i, y a i t u l a n s i a m e n g a l a m i p e n i n g a t a n keterantungan terhadap bantuan dari orang lain, penurunan asertifitas dan tidak m ampu unt uk m embuat keputusan, keterasingan terhadap teknologi dan perubahan lain di dunia luar, serta kebosanan akibat kekurangan stimulus baru (Sommer dalam Ebersole & Hess, 1990). Lansia juga diangap sebagai m anusia yang tidak m emiliki orientasi, tidak dapat mengatur dirinya, tidak bahagia, memiliki gambaran diri yang negatif, merasa tidak berharga dan tidak mampu (Tobin & Lieberman, 1978). Akan tetapi, menurut Parmele & Lawton (1990) mengatakan panti dapat memberikan kepuasan kepada p e n g h u n i n y a j i k a d a p a t menggantikan unsur-unsur yang h i l a n g d a r i r u m a h m e r e k a sebelumnya, seperti keamanan, dukungan, dan persahabatan. Keamanan bagi lansia tidak hanya berarti secara fisik, melainkan juga dengan menemukan lingkungan yang sesuai untuk menjalani sisa hidupnya dan memiliki ketersediaan kontak sosial, dukungan dan pertolongan saat diperlukan. Kehidupan penghuni panti umumnya berpusat di sekitar tempat tid u rnya aki bat keterbatasan tempat um um di p anti (W ood roff e & Townsend dalam Higgins, 1989). Dan menurut Higgins (1989), panti yang dapat menjaga privasi seperti menyediakan tempat yang membuat individu memiliki pilihan dan kendali, dimana mereka dapat menarik diri d a r i h u b u n g a n s o s i a l y a n g mengancam juga dapat memberikan kepuasan bagi penghuninya. Ketika panti dapat memberikan kesempatan lansia untuk mengambil peran dalam ak ti v i t as se h ari-hari s e p erti memasak atau yang lainnya, tingkat kepuasan mereka terhadap panti akan lebih tinggi, karena kualitas pengalaman di panti juga dapat ditingkatkan dengan memberikan tanggung jawab dan kebebasan melakukan kegiatan sehari-hari kepada penghuni seperti layaknya di rumah sendiri seperti belanja, ke tempat ibadah, dan sebagainya (Higgins, 1989).

17 17 Menurut Wade (dalam Higgins, 1989) sebagian besar lansia yang tinggal di panti tidak menjalin persahabatan dengan penghuni lainnya, hubungan antara penghuni panti dikarakteristikkan sebagai hubungan yang kaku yang hanya menunjukkan rasa sopan dan penghindara n terh adap ko ntak pribadi, mereka cenderung menjaga kehidupan pribadi mereka sendiri dan berkomunikasi dengan orang lain untuk menunjukkan keramahan, bukan untuk berteman. Selain itu, arti pertemanan dalam panti lebih mengarah pada menjaga toleransi kedekatan secara fisik daripada secara aktif menikmati atau mencari persahabatan. Maka dari itu menurut W ade (dalam Higgi ns, 1989) kesempatan untuk mendapatkan kepuasan hubungan sosial rendah. terasa Alasan Lansia tinggal di Panti Werdha Menurut Kadir (2009) terdapat b e b e r a p a a l a s a n ya n g ya n g menyebabkan lansia tinggal di panti werdha, yaitu: a. Perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga, yaitu suatu institusi tertentu. b. Berubahnya peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anakanak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di kantoran dan sebagainya. Sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu. c. Kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila ia tinggal dalam keluarga mungkin ia akan mengalami perasaan

18 18 yang bosan ditinggal sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya ke sekolah. Sehingga ia membutuhkan suatu lingkungan sosial dimana di dalam komunitas tersebut yaitu panti werdha terdapat beberapa kesamaan sehingga ia merasa betah dan kembali bersemangat. Menurut Kadir (2009) panti werdha bisa menjadi pilihan yang baik untuk menikmati hari tua, di panti werdha mereka menemukan teman yang relatif seusia dengannya dimana mereka dapat berbagi cerita. Karena keberadaan lansia di panti dengan berbagai karakter serta m e m i l i k i b e r b a g a i r a g a m problematika maka dipandang perlu u n t u k m e m b e r i k a n s u a t u p e n a n g a n a n k h u s u s s e s u a i kelebihan serta kekurangan yang mereka miliki. Di panti werdha selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan buat mereka sebagai pengisian waktu luang diantaranya pemberian Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental Spiritual serta Rekreasi, penyaluran bakat dan hoby, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya (Kadir, 2009). Di panti werdha, mereka m e n d apatk a n f as i litas serta kemudahan-kemudahan/aksesibilitas lainnya. sel ain bersam a teman s e u s i a n y a, m e r e k a j u g a mendapatkan pelayanan maksimal dari para Pekerja Sosial dimana mereka menemukan hari-harinya dengan ceria (Kadir, 2009). Psychological Well Being Pada Individu Lanjut Usia Yang Tnggal Di Panti Werdha Ryff (dalam Palupi, 2008), menyatakan bahwa psychological well being adalah suatu keadan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sebagaimana adanya, m emiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri, mampu mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan, mampu menguasai lingkungan, serta memiliki tujuan dalam hidupnya Menurut Biren & Renner (1980), perasaan well being pada

19 19 lansia dihubungkan dengan memilih tujuan spesifik sebagai hal penting dalam berfungsi dan secara efektif mengatur sumber-sumber internal (energi, pemikiran, dan sebagainya) dan eksternal (mengambil kelas keterampilan, dukungan teknis, dan sebagainya) untuk memaksimalkan tingkat fungsional mereka. Oleh karena itu, Hamarat (dalam Newman & Newman, 2006) mengatakan bahwa well being bergantung pada kemampuan untuk mengatur atau mengurangi akibat dari peristiwa hidup yang menekan dengan m e n g atur sum b er - sum b e r di sekitarnya untuk terus terlibat dalam peran dan kegiatan yang berharga. Dalam hubungan sosial, u m u m n y a k e h i d u p a n l a n s i a diperkaya dengan kehadiran teman lama dan keluarga, sedangkan Landsford et al., (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) mengatakan bahwa kontak sosial yang dimiliki lansia akan mempengaruhi well being lebih dari sebelumnya. Kontak sosial merupakan sumber untuk mendapatkan dukungan pada lansia, keluarga memberikan keamanan dan dukungan emosional, sedang tem an juga merupakan sumber p e n t i n g u n t u k m e n d a p a t k a n k e s e n a n g a n d e n g a n s e g e r a (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Teman juga dapat menjadi tempat untuk menceritakan perasaan dan pikiran, serta dapat bercerita m e n g enai k ek h a w atiran d a n kesedihan yang dapat membantu menghadapi perubahandan krisis penuaan (Genevay dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004). Panti merupakan tempat t i nggal dimana penghuni n ya menetap dalam waktu jangka panjang dan umumnya selama sisa hi dup mereka (Higgi ns, 198 9). Menurut Townsend (dalam Tobin & Lieberman, 1978) tinggal di panti werdha membuat lansia tinggal dalam kondisi dimana hubungan dengan orang lain rendah, merasa terisolasi, mobilitas terbatas, pengamanan sosial yang terbatas, terorientasi pada kegiatan rutin, aktivitas yang tidak kreatif, dan sebagainya. Selain itu, lansia yang tinggal di panti menunjukkan gejala antara lain deindividuasi, yaitu lansia m e n g a l a m i p e n i n g k a t a n keterantungan terhadap bantuan dari

20 20 orang lain, penurunan asertifitas dan tidak m ampu unt uk m embuat keputusan, keterasingan terhadap teknologi dan perubahan lain di dunia luar, serta kebosanan akibat kekurangan stimulus baru (Sommer dalam Ebersole & Hess, 1990). Namun di sisi lain, menurut Parmele & Lawton (1990) mengatakan panti dapat memberikan kepuasan kepada p e n g h u n i n y a j i k a d a p a t menggantikan unsur-unsur yang h i l a n g d a r i r u m a h m e r e k a sebelumnya, seperti keamanan, dukungan, dan persahabatan. Keamanan bagi lansia tidak hanya berarti secara fisik, melainkan juga dengan menemukan lingkungan yang sesuai untuk menjalani sisa hidupnya dan memiliki ketersediaan kontak sosial, dukungan dan pertolongan saat diperlukan. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas dapat terlihat jelas bahwa terdapat hal-hal yang dapat memberikan pengaruh terhadap psychological well being i nd ivid u lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Maka dari itulah penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimanakah psychological well being individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha. METODE PENELITIAN Oleh karena penelitian ini b ertuj u a n u nt uk m en g e t a h ui gambaran menyeluruh tentang penghayatan subjektif individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha untuk dilihat kaitannya dengan kondisi PWB, maka metode yang tepat untuk diterapkan adalah pendekatan kualitatif dengan m e l a k u k a n o b s e r v a s i d a n wawancara mendalam. Partisipan penelitian terdiri satu orang lansia wanita yang tinggal di anti werdha, usia 80 tahun serta telah tinggal di panti werdha selama tiga setengah t a h u n. A d a p u n c a r a u n t u k menganalisis hasilnya adalah dengan melakukan analisis intra kasus. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan lansia tinggal di panti werdha adalah karena perubahan tipe keluarga dan kemandirian yang lansia miliki. Menurut Kadir (2009) terdapat b e b e r a p a a l a s a n ya n g ya n g menyebabkan lansia tinggal di panti

21 21 werdha, yaitu: a. Perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga, yaitu suatu institusi tertentu. b. Berubahnya peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anakanak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di kantoran dan sebagainya. Sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu. c. Kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila ia tinggal dalam keluarga mungkin ia akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya ke sekolah. Sehingga ia membutuhkan suatu lingku ngan sosial dimana di dalam komunitas tersebut yaitu panti werdha terdapat beberapa kesamaan sehingga ia merasa betah dan kembali bersemangat. Berdasarkan hasil wawancara dan o bse rv asi da pat diket ahui bahwa alasan subjek tinggal di panti werdha adalah karena perubahan tipe keluarga dan kemandirian yang subjek miliki. Perubahan tipe keluarga pada subjek adalah subjek yang kini telah tinggal sendiri, karena suami subjek sudah meninggal, juga anak-anak subjek yang kini telah menikah dan membentuk keluarga m asi ng-masing. Mereka suda h tinggal terpisah dengan subjek. Bahkan anak pertama subjek sudah tinggal di negara yang berbeda dengan subjek. Tetapi, anak kedua subjek masih tinggal satu kota dengan subjek. Kem andirian yang subjek miliki juga menjadi alasan subjek memilih untuk tinggal di panti

22 22 werdha, karena anak kedua subjek m enginginkan subjek tinggal bersama mereka, namun subjek menolaknya. Subjek merasa tidak ingin merepotkan orang lain, termasuk anak-anaknya. Sehingga tinggal di panti werdha a dala h keputusan dan pilihan hidup subjek sendiri. Banyak hal yang menjadi pertimbangan subjek. Salah satunya adalah, subjek tidak ingin terjadi konflik antara dirinya dengan pihak besan karena jika subjek tinggal bersama anaknya, maka cucu subjek akan lebih dekat dengan subjek. Subjek khawatir besannya akan cemburu sehingga terjadi konflik, hal inilah yang subjek hi ndari. Sehi ngga subjek lebih memilih untuk tinggal di panti werd ha. Tinggal di panti werdha yang saat ini subjek tingali pun memang merupakan salah satu tujuan hidup subjek. Subjek sudah berniat di hari tuanya akan menghabiskan waktu dengan tinggal di panti werdha tempat subjek tnggal saat ini. Bagi panti werdha adalah karena perubahan tipe keluarga dan kemandirian yang subjek miliki. Hasil penelitian juga subjek, terdapat beberapa nilai lebih dari panti werdha tempat subjek tinggal. Diperbolehkannya kegiatan bercocok tanam yang sesuai dengan hobi subj ek dan kam ar ya n g di peruntukkan masing-masing, adalah nilai lebih yang penti werdha tersebut miliki. Sehingga membuat subjek tertarik. Bagi subjek, subjek tidak m e r a sa m e m b ut u hk a n s u at u lingkungan yang di dalamnya terdapat banyak kesamaan, salah sat un ya kesam aan usia, untuk membuat subjek merasa kembali bersemangat. Subjek memang memiliki kebutuhan berosialisasi, tapi tidak sampai membuat subjek merasa membutuhkan kesamaan dari suatu lingkungan tersebut kemudian baru bisa membuat subjek kemb ali berseman gat. Ap alagi dijadikan alasan subjek memilih tinggal di panti werdha. Apa yang ada di dalam diri dan hidup subjek sudah cukup bagi subjek untuk membuat subjek bersemangat. Jadi alasan subjek memilih tinggal di menunjukan bahwa gambaran Psychological Well Being lansia yang tinggal di panti werdha adalah positif, hal ini

23 23 ditunjukkan dengan: a. Penerimaan diri Menurut Ryff (dalam Lopez & S n y d e r, ), d i m e n s i penerimaan diri merujuk pada kemampuan individu dalam menerima segala aspek dirinya secara positif, baik di masa lalu maupun sekarang. Dimensi penerimaan diri dikatakan sebagai karakteristik sentral dari individu yang sehat mental dan m a t a n g y a n g a k h i r n y a mendukung terciptanya kondisi well-being. Ryff & Keyes (1995) mengatakan bahwa individu yang t i n g g i d a l a m d i m e n s i i n i dikarakteristikan sebagai individu yang memiliki sikap positif terhadap diri, mengetahui dan menerima semua aspek diri, dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan masa lalunya. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini memiliki perasaan tidak puas dengan diri, kecewa dengan kehidupan masa lalu, cemas dengan kualitas personal yang dimiliki, dan berharap untuk bisa berbeda dari dirinya sendiri. Dalam kasus ini subjek memiliki sikap positif terhadap dirinya, dengan bersyukur telah menjadi dirinya sendiri. Subjek menginginkan dirinya bisa mandiri, karena subjek sejak kecil mengalami sakit-sakitan. Saat akan melakukan sesuatu, subjek akan mempelajari terlebih d a h u l u, b a r u k e m u d i a n dijalankan. Subjek merasa puas dengan apa yang ada di dirinya hingga saat ini dan seterusnya. Subjek merasa, hal yang orang lain dapat lakukan, maka subjek pun juga dapat melakukannya. Subjek menerima dirinya apa adanya, mensyukuri apa yang ada pada dirinya, sama sekali subjek tidak berharap untuk menjadi orang lain. Subjek menyadari dirinya berbeda dari orang-orang seusianya yang biasanya ingin dekat dengan

24 24 keluarga, namun subjek tidak bisa melakukannya. Tetapi subjek tetap bersyukur. Karena subjek menyadari bahwa tinggal di panti kini pun karena memang keinginan subjek sendiri. Jadi subjek tidak mera sa dirin ya terbuang atau tidak diperhatikan oleh anak-anak. Subjek sendiri yang menginginkan dirinya mandiri, tidak tergantung pada anak-anak. Subjek pun merasa senang dengan tinggal di panti werdha. Karena dengan tinggal di panti werdha subjek tetap dapat merasakan hubungan yang baik dengan keluarga, dirinya menjadi tidak merepotkan anak-anak, dan keinginan-keinginannya juga bisa terlaksana. Penerim aan diri subjek juga dikatakan baik karena subjek mengetahui aspek-aspek yang ada pada dirinya. Kekurangan diri tidak dapat subjek ketahui jika dicari, namun yang pasti saat subjek m e r a s a o r a n g l a i n b i s a melakukan sesuatu dan dirinya tidak, maka dia harus bisa melakukan hal itu juga, dengan mempelejarinya. Subjek merasa kelebihan yang ada dirinya adalah mau berusaha untuk menjadi bisa, tidak takut untuk mencoba, sekalipun awalnya tidak bisa sama sekali. Awalnya subjek merasa terpaksa untuk menjadi bisa dan harus bisa, itu adalah didikan dari ibu dan neneknya. Tinggal di panti membuat subjek juga semakin mengetahui aspek-aspek yang ada di dirinya, yaitu kelebihan d a n k e k u r a n g a n d i r i. Pengalaman-pengalaman baru yang subjek dapatkan di panti s e m a k i n m e m b u a t s u b j e k mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Mau berusaha untuk menjadi bisa adalah kelebihan yang subjek miliki. Terbukti dari kegiatan-kegiatan yang sama sekali belum pernah subjek lakukan, namun kini subjek mahir melakukannya. Begitu juga untuk kegiatan yang sulit sekali baginya untuk mengikutinya, subjek tidak akan putus asa, terus berusaha hingga bisa. Kekurangan diri subjek juga subjek ketahui selama subjek tinggal di panti.

25 25 Lingkungan yang bersahabat, k e k e l u a r g a a n, m e m b u a t hub ung an yan g baik ant ara subjek dengan para petugas p a n t i. S e h i n g g a s a l i n g mengkoreksi dalam rangka perbaikan diri menjadi hal yang berdampak positif bagi subjek. Penerimaan diri subjek dikatakan baik juga karena subjek memiliki pandangan yang positif terhadap kehidupan nya di masa lal u. S u b j e k m e m a n d a n g kehidupannya di masa lalu s e b a g a i k e h i d u p a n y a n g menyenangkan, karena di masa lalunya subjek termasuk orang yang terpandang. Subjek merasa bangga karena dihargai, hal ini karena memandang kedudukan orang tua subjek. Pandangan subjek terhadap masa lalunya bai k, subjek m eni km atinya, karena sewaktu kecil subjek adalah salah seorang putri bangsawan, yang disebut noninoni pada zaman itu. b. Hubungan Positif dengan orang lain Menurut Ryff (dalam Lopez & Snyder, 2004), dimensi hubungan positif dengan orang lain ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk m em bina hubungan interpersonal yang baik, saling percaya, penu h kehangatan, dan penuh cinta dipandang sebagai kriteria penting individu yang sehat mental dan matang. Individu y a n g s u d a h m a m p u mengaktualisasikan dirinya juga digambarkan sebagai individu yang mampu menunjukkan empati dan afeksi, mampu m e n c i n t a i, d a n m e m i l i k i persahabatan yang mendalam. P a d a i n t i n y a, s e l u r u h kemampuan tersebut menjadi k o m p o n e n p e n t i n g d a l a m psychological well being individu. Ryff & Keyes (1995) mengatakan bahwa individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikkan sebagai individu yang memiliki k e h a n g a t a n, m a m p u menampilkan pribadi yang jujur ketika berhubungan, peduli dengan kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman, sert a memahami makna take and

26 26 give ketika berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini tidak terlalu dekat dan jujur dalam menjalin suat u hubungan, merasa sulit untuk menjadi hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain, merasa terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, dan tidak bersedia untuk membuat k o m p r o m i u n t u k mempertahankan ikatan penting dengan orang lain. Dalam kasus ini subjek tidak merasa kesulitan untuk menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, di panti pun subjek merasakan hal tersebut. Karena subjek merasa pergaulan itu diperl ukan. Subjek m emang menjaga dalam bersahabat agar tidak terlalu mendalam. Hal ini dikarenakan subjek tidak mau m e n c a r i m a s a l a h. S u b j e k mengibaratkan, karena apabila terlalu dekat lalu kemudian jatuh, maka keduanya akan rugi. Dalam hubungan pertemanan, subjek bersikap lebih hati-hati untuk terlalu membuka dirinya kepada orang lain, karena subjek mengetahui tujuan setiap orang yang mencoba dekat dengannya. Contohnya seperti salah satu penghuni panti, subjek sengaja tidak mau menjalin hubungan y a n g t e r l a l u m e n d a l a m deng ann ya, karen a m enurut subjek, apa bila na nti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di dalam hubungan pertemanan itu, keduanya akan merugi. Subjek juga dikat ak an b aik dal am dimensi hubungan positif dengan orang lain karena subjek adalah orang yang peduli terhadap orang lain. Subjek suka melakukan tolong-menolong. Dalam menolong subjek melihat dulu keadaan orang yang perlu d i t o l o n g d a n b a g a i m a n a orangnya. Subjek menolong dengan sewajarnya, sebatas kemampuan yang subjek miliki. Tolong-menolong merupakan p e n d i d i k a n y a n g t e l a h ditanamkan di keluarga subjek sejak kecil, ayah dan kakek subjek menjadi contoh bagi subjek. Di panti subjek merasa,

Usia yang Tinggal di Panti Werdha

Usia yang Tinggal di Panti Werdha Gambaran Psychological Well Being Pada Individu Lanjut Usia yang Tinggal di Panti Werdha http://www.gunadarma.ac.id/ Disusun Oleh Novalia Desty Utami Latar Belakang Lansia ingin untuk dapat lebih menghabiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

para1). BAB I PENDAHULUAN

para1). BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menjadi tua merupakan suatu proses perubahan alami yang terjadi pada setiap individu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan 60 tahun sampai 74 tahun sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Santrock, orang yang telah lanjut usia dimulai ketika seseorang mulai memasuki usia 60 tahun. Seringkali usia yang telah lanjut dianggap sebagai masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Lanjut Usia (Lansia) 2.1.1. Pengertian Lanjut Usia (Lansia) Ada dua pandangan tentang definisi lanjut usia menurut J.W.Santrock, (2002), yaitu menurut pandangan orang barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan sepanjang hidup, artinya secara fisik individu akan terus tumbuh namun akan berhenti

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Psychological Well Being merupakan evaluasi individu terhadap kepuasan hidup dirinya dimana di dalamnya terdapat penerimaan diri, baik kekuatan dan kelemahannya, memiliki

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2000 diperoleh data bahwa jumlah lansia (kaum lanjut usia) mencapai 15,8 juta jiwa atau 7,6%. Sementara itu populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya, ilmu psikologi lebih menekankan kepada aspek pemecahan masalah yang dialami individu dan cenderung lebih memusatkan perhatian kepada sisi negatif perilaku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-Being 1. Pengertian Subjective Well-Being Pinquart & Sorenson (2000) mendefinisikan subjective well-being sebagai evaluasi positif dari kehidupan individu terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Periode perkembangan hidup manusia terdiri dari masa pranatal, masa

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Periode perkembangan hidup manusia terdiri dari masa pranatal, masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui tahaptahap perkembangan. Periode perkembangan hidup manusia terdiri dari masa pranatal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah masa penutup. Masa penutup merupakan masa dimana. penurunan jumlah aktivitas (Hurlock, 1999).

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan istilah masa penutup. Masa penutup merupakan masa dimana. penurunan jumlah aktivitas (Hurlock, 1999). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu menjalani periode perkembangan yang sama. Salah satu masa perkembangan yang dijalani adalah masa lansia atau masa tua yang juga dikenal dengan istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah 1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah perempuan yang berada dalam dunia kerja (bekerja maupun sedang secara aktif mencari pekerjaan) telah meningkat secara drastis selama abad ke-20. Khususnya,

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rentang kehidupan, pastinya setiap individu akan mengalami sebuah fase kehidupan. Fase kehidupan tersebut berawal sejak dari kandungan, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran 5.1 Simpulan Pada penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kecemasan state dengan psychological well being pada isteri TNI Angkatan Darat yang suaminya bertugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang manusia dalam kehidupan. Manusia menjadi tua melalui proses perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, dewasa, dan

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (kesejahteraan psikologis) merupakan suatu kondisi tertinggi yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Madya dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Setiap fase

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era modern saat ini semua individu pasti mengalami fase mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia dan hal itu sudah sewajarnya terjadi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wellbeing merupakan kondisi saat individu bisa mengetahui dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, dan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang satu akan memberikan pengaruh pada tahap perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. yang satu akan memberikan pengaruh pada tahap perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pada dasarnya dialami oleh semua makhluk hidup. Tahapan perkembangan pada manusia dimulai pada saat manusia berada di dalam kandungan (prenatal) hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan jumlah penduduk lansia sebanyak 18.118.699 jiwa (BPS, 2010). Badan Pusat Statistik memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan (usia lanjut). Pada masa lansia

BAB I PENDAHULUAN. dan usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan (usia lanjut). Pada masa lansia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa lansia merupakan periode perkembangan terakhir hidup manusia. Masa lansia merupakan tahap terakhir dalam rentang kehidupan yang berkisar antara usia enam puluh

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (www.kompasiana.com/wardhanahendra/mereka-lansia-mereka-berdaya) orang di tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi

BAB I PENDAHULUAN. (www.kompasiana.com/wardhanahendra/mereka-lansia-mereka-berdaya) orang di tahun Data WHO juga memperkirakan 75% populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 5 besar negara dengan jumlah penduduk lansia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bekerja merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun kebutuhan manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow meliputi kebutuhan fisiologis,

Lebih terperinci

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : SANTI SULANDARI F 100 050 265 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa

BAB I PENDAHULUAN. lansia. Semua individu mengikuti pola perkemban gan dengan pasti. Setiap masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap individu atau Manusia dalam hidupnya mengalami perkembangan dalam serangkaian periode yang berurutan, mulai dari periode prenatal hingga lansia. Semua

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dari bagian awal penelitian ini dijelaskan mengenai pembahasan yang hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling pada pasangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN 1. Defenisi Kemandirian Menurut Steinberg (2002) kemandirian adalah kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri. Steinberg (2006) juga menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan memiliki rasa kesedihan. Kebahagiaan memiliki tujuan penting di dalam kehidupan manusia. Setiap individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old.

BAB I PENDAHULUAN. membagi lansia ke dalam 3 tahapan yaitu young old, old-old, dan oldest old. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lansia merupakan periode perkembangan yang dimulai pada usia 65 sampai kematian. Neugarten (dalam Whitbourne & Whitbourne, 2011) membagi lansia ke dalam 3 tahapan

Lebih terperinci