KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO"

Transkripsi

1 KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 ABSTRAK LAURENSIUS YUVIANTO. B Kajian Faktor Risiko Endogen Infeksi Cacing Jantung pada Berbagai Anjing di Wilayah Jawa dan Bali. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan YUSUF RIDWAN. Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian dirofilariasis di wilayah Jawa dan Bali. Studi ini merupakan studi cross-sectional, untuk mengetahui hubungan tingkat kejadian dengan faktor risiko. Sampel berupa serum darah anjing, diambil secara purposif di wilayah Jawa dan Bali. Keberadaan antigen Dirofilaria immitis dideteksi dengan menggunakan metode ELISA dan kemudian dianalisis untuk mengetahui hubungan faktor risiko dengan tingkat kejadian dirofilariasis dengan analisis statistika chi-square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan 18 sampel positif mengandung antigen D. immitis dari 235 sampel serum yang diperiksa. Hasil uji tingkat kejadian dirofilariasis keseluruhan sampel mencapai 7.66% dengan perincian pada Jakarta sebesar 2.12%, Jawa Barat sebesar 16.12%, Jawa Tengah sebesar 4.54%,dan Bali sebesar 8.77%. Berdasarkan analisis chi-square, daerah, umur dan jenis anjing berpengaruh nyata terhadap tingkat kejadian dirofilariasis. Anjing di daerah Jawa Barat mempunyai risiko terinfeksi D. immitis 8.58 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing dari daerah Jakarta. Anjing di daerah Jawa Tengah dan Bali mempunyai risiko terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan anjing dari daerah Jakarta tetapi tidak berbeda nyata. Anjing yang berumur lebih dari enam tahun mempunyai risiko 9.84 kali terinfeksi dibandingkan dengan anjing yang berumur kurang dua tahun dan pada anjing yang berumur 2-6 tahun mempunyai risiko 4.79 kali terinfeksi dibandingkan dengan anjing yang berumur kurang dari dua tahun. Sedangkan anjing lokal mempunyai risiko 1.60 kali terinfeksi dibandingkan dengan anjing ras murni. Kata kunci: Dirofilaria immitis, tingkat kejadian, dan faktor risiko.

3 ABSTRACT LAURENSIUS YUVIANTO. B Study on endogenous risk factors of heartworm infection in various dogs in Java and Bali area. Under the supervision of FADJAR SATRIJA and YUSUF RIDWAN. This study was objected to know the relation between risk factors and incident level of dirofilariasis in Java and Bali areas. This was cross-sectional study in order to observe the relations between incident level and risk factors. The samples which blood serum of dogs took from purposive method in Java and Bali areas. The existence of antigent from Dirofilaria immitis was detected by ELISA method and than analize to know the relation of risk factors with incident level of dirofilariasis using chi-square and logistic regression. The result of this study showed that 18 of 235 samples were positive of D. immitis antigen. Overall, the prevalence level was 7.66% and divided into several areas: 2.12% at Jakarta, 16.12% at West Java, 4.45% at Central Java and 8.77% at Bali. Based on chi-square statistical analysis, areas, age, and breed of dogs affect dirofilariasis incident level. Dogs from West Java was risks 8.58 times bigger than dogs from Jakarta areas to be infected by D. immitis. Dogs from Central Java and Bali areas had risked more than dogs from Jakarta areas. Moreover, dogs with more than six years old had risked 9.84 times bigger than dogs with less two years old and dogs with 2-6 years old had risked 4.79 times bigger than dogs with less two years old. Local dogs had risked 1.60 times bigger than pure breed to be infected. Keywords: Dirofilaria immitis, incident level, and risk factors

4 KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO B Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 Judul Skripsi : Kajian Faktor Risiko Endogen Infeksi Cacing Jantung (Dirofilaria immitis) pada Berbagai anjing di wilayah Jawa dan Bali Nama : Laurensius Yuvianto NIM : B Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph.D drh. Yusuf Ridwan, M.Si NIP: NIP: Diketahui, Wakil Dekan Dr. Nastiti Kusumorini, M.Si NIP: Tanggal Lulus :

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak drh. Fadjar Satrija, M.Sc, Ph. D dan bapak drh. Yusuf Ridwan, M.Si selaku pembimbing, atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. Ir. Etih Sudarnika, M.Si sebagai dosen penilai dalam seminar hasil penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini. 3. Dr. drh. Denny W L, M.Si sebagai moderator dalam seminar hasil penelitian atas masukan dan penjelasan untuk perbaikan tulisan ini. 4. Dr. drh. Ekowati Handharyani, MS selaku pembimbing akademik. 5. drh. Dewi Ratih Agungpriyono, Ph. D selaku dosen penguji. 6. drh. Cucu Kartini beserta staff, para dokter hewan di klinik dan RSHJ atas bantuan selama pengambilan sampel di lapangan. 7. Rekan-rekan sepenelitian (Rita dan Fitria). 8. Keluarga tercinta (Alm papa, Mama, Ade, Itioh & Tuaih, koko Aan, Iih syeni) atas segala dukungan, doa, perhatian dan cinta yang tanpa batas kepada saya 9. Teman-teman yang membantu (Aang, Kung&Cung, Indra, Trezna, Dian & Dinul, Yuyu, Monez & Lolo, Chipo, Nini & Opvink, Checz & Sari, Ai, Bdutz, dan Vin). 10. Seluruh pihak yang telah membantu saya selama di FKH IPB. Bogor, Agustus 2008 LAURENSIUS YUVIANTO

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1986 dari ayah Y. Djaya Kartika Ruslim dan ibu F. Susi Wijaya. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Fons Vitae I Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Minat Profesi (Himpro) Satwa Liar , anggota himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) , Ketua Divisi Hewan Kecil HKSA , dan anggota Persekutuan Fakultas FKH selama

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR TABEL v DAFTAR LAMPIRAN... vi PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang... 1 Tujuan.. 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Klasifikasi Anjing... 3 Dirofilaria immitis. 8 Daur Hidup Patogenesis Dirofilariasis Gejala Klinis 12 Diagnosa Prognosa Pencegahan dan Pengobatan MATERI DAN METODE.. 16 Waktu dan Tempat Rancangan Studi Metode Pengambilan Sampel. 16 Metode Pemeriksaan Sampel dan Interpretasi Analisis Data. 18 HASIL dan PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pembahasan KESIMPULAN dan SARAN. 25 DAFTAR PUSTAKA.. 26 LAMPIRAN. 29

9 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Jenis anjing Rhodesian Ridgeback. 4 2 Jenis anjing Golden Retriever Jenis anjing Shih Tzu 6 4 Jenis anjing Rottweiler Jenis anjing Yorkshire Terrier Jenis anjing lokal (campuran) 8 7 Bentuk mikrofilaria dan bentuk anatomi D. immitis Berbagai jenis vektor D. immitis pada anjing 10 9 Siklus hidup Dirofilaria immitis... 11

10 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil analisis dengan metode chi-square pemeriksaan D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali Hasil analisis dengan regresi logistik pemeriksaan D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali...21

11 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perkembangan stadium D. Immitis Model umum regresi logistik Model umum odds ratio 31 4 Model umum chi-square Kuesioner survey dirofilariasis Hasil positif dirofilariasis setelah dilakukan pemeriksaan ELISA... 34

12 Pendahuluan Latar Belakang Anjing (Canis familiaris) merupakan mamalia karnivora pertama yang didomestikasi manusia. Disamping sebagai hewan kesayangan (pet animal), anjing digunakan manusia untuk berbagai tujuan antara lain sebagai anjing pekerja (penuntun tunanetra, pelayan, dan penarik kereta salju), penjaga, penggembala ternak, pelacak, bahkan ada olahraga yang memamerkan kemampuan alami anjing (Anonim 2006). Kedekatan hubungan antara manusia dan anjing tentunya juga menimbulkan suatu risiko yang tak dapat dihindari yaitu kemungkinan terjadinya penularan penyakit yang berasal dari anjing ke manusia, maupun sebaliknya (zoonosis). Berbagai parasit anjing, baik yang hidup di luar tubuh (ektoparasit) maupun di dalam tubuh (endoparasit) bersifat zoonosis. Salah satu jenis penyakit akibat parasit tersebut adalah dirofilariasis. Dirofilariasis adalah suatu kondisi serius dan berpotensi fatal yang disebabkan oleh cacing parasit yang hidup di dalam arteri paru-paru dan terkadang di dalam jantung anjing, kucing, dan spesies mamalia lainnya (American Heartworm Society 2004). Meskipun mempunyai tingkat kejadian dirofilariasis yang cukup rendah, namun hal itu tidak boleh diabaikan karena penyakit ini memiliki daya mortalitas yang tinggi dan bersifat zoonosis. Seekor anjing yang telah terinfeksi Dirofilaria immitis dapat mengeluarkan mikrofilaria yang akan menjadi sumber infeksi bagi anjing lain maupun manusia. Cacing jantung dapat hidup di dalam tubuh anjing selama tujuh tahun (Anonim 2004). Pada manusia penyakit ini dikenal dengan nama Human Pulmonary Dirofilariasis (HPD) atau Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE) (Yamagata et al. 1992). Kasus HPD telah banyak dilaporkan dan setiap tahun cenderung meningkat, namun demikian hingga kini masih dianggap sebagai accidental host, hal ini disebabkan karena pada sistem kekebalan manusia dapat mengeleminasi mikrofilaria (Genchi 2005). Tarish dan Atwell (1991) diacu dalam Karmil (1996) mengatakan bahwa HPD ditandai dengan perubahan pada paru-paru dan arteri pulmonalis yang cukup luas, hal ini disebabkan oleh reaksi inang terhadap antigen D. immitis dan terhadap kejadian sekunder seperti trombosis. Studi tentang tingkat kejadian infeksi D. immitis di Indonesia masih jarang. Studi yang pernah dilakukan sebelumnya adalah perkembangan mikrofilaria D. immitis temuan lokal di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti strain

13 Liverpool yang diinfeksi secara in vitro terkendali yang dilakukan oleh Karmil (1996). Di Indonesia dirofilariasis masih jarang dilaporkan dan kurang mendapat perhatian dari si pemilik anjing. Kurangnya perhatian pemilik dapat disebabkan karena pemilik tidak mengetahui tentang penyakit ini akibat dari tidak adanya sosialisasi tentang bahaya dari penyakit ini. Kejadian dirofilariasis itu juga tak lepas dari dukungan beberapa faktor pendukung baik eksogen maupun endogen, adapun faktor endogen antara lain jenis kelamin, umur, jenis anjing, dan ketebalan bulu sedangkan untuk faktor eksogen antara lain lingkungan dan perawatan anjing. Oleh karena itu informasi maupun pengetahuan tentang faktor pendukung sangat diperlukan dalam penyusunan metode pengendalian efektif dirofilariasis. Tujuan Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko antara lain asal anjing, jenis kelamin anjing, umur anjing, jenis anjing dan ketebalan bulu pada anjing ras yang berhubungan dengan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing di wilayah Jawa dan Bali.

14 Tinjauan Pustaka Klasifikasi Anjing Anjing (Canis familiaris) merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi dalam kehidupan manusia. Sejak tahun yang lalu proses domestikasi anjing telah dilakukan dari serigala, dugaan ini diperkuat dengan bukti genetika menjelaskan bahwa anjing telah ada sejak tahun yang lalu berdasarkan penemuan fosil dan tes DNA (Anonim 2006). Vilà (1997) diacu dalam Anonim (2006) menyimpulkan bahwa anjing merupakan percabangan dari serigala yang terjadi sekitar sampai tahun yang lalu. Analisis lebih lanjut yang dilakukan Savolainen (2002) diacu dalam Anonim (2006) menunjukkan populasi anjing berasal dari sumber gen (gene pool) tunggal bersama-sama dari serigala. Pada masa sekarang anjing dapat dijadikan sahabat setia sekaligus dapat pula membantu di dalam kehidupan sehari - hari manusia semenjak zaman purbakala (Dharmojono 2003). Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan peradaban manusia, anjing mengalami berbagai perubahan fungsi, yaitu sebagai anjing penggembala, anjing penjaga, anjing perang, dan anjing pelacak (Sianipar et al 2004). Data yang dihimpun oleh FCI (Federation Cynologique Internationale) yang bermarkas di Brussel menunjukkan di dunia telah dikenal lebih dari empat ratus jenis anjing. Pengelompokkan anjing yang dilakukan oleh para ahli ini telah dilakukan sejak abad ke-17, dengan mengelompokkan tiga puluh jenis anjing berdasarkan bentuk dan posisi telinga (Untung 1999). Linnaeus pada tahun 1758 mengklasifikasikan anjing sebagai Canis familiaris, namun pada tahun 1993, Lembaga Smithsonian dan Asosiasi Ahli Mamalia Amerika menetapkan anjing sebagai subspesies serigala abu-abu Canis lupus (Anonim 2006). Di Indonesia, anjing hutan yang asli pulau Sumatra dan Jawa disebut ajag. Pembagian anjing ras adalah berdasarkan karakteristik dari seekor anjing. FCI mengelompokkan jenis anjing menurut penampilan fisik, sifat, dan kegunaannya. Berdasarkan pengelompokkan ini, anjing dapat di bagi menjadi enam kelompok, yaitu Hounds, Gundogs, Terrierrs, Utility, Working, dan Toy (Rachmatdi 2003 diacu dalam Samosir 2007). Tetapi di beberapa negara lain dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu Sporting, Hounds, Working, Terrierrs, Toy,

15 Non Sporting dan Herding. Alokasi ras pada kelompok tidak selalu mudah dan sangat bervariasi diantara klub kennel di negara yang berbeda. Hounds Anjing yang termasuk dalam kelompok ini digunakan sebagai anjing pemburu karena karakteristiknya yang khas. Anjing-anjing tersebut juga memiliki penciuman dan penglihatan yang tajam serta dapat mengerti dan mematuhi perintah yang diberikan pemiliknya (termasuk anjing dengan tingkat kecerdasan yang tinggi). Di Indonesia, kelompok anjing ini banyak dipelihara karena bentuknya yang lucu dan unik (Budiana 2006 diacu dalam Samosir 2007). Ciri khas anjing ras ini adalah berbulu pendek dengan ukuran tubuh sedang (Samosir 2007). Contoh dari anjing ini antara lain Greyhound, Beagle, Basenji, Basset Hound, Borzoi, Dachshund, dan Rhodesian Ridgeback (Scanziani 1985). Gambar 1 Jenis anjing Rhodesian Ridgeback 1 Sumber 1 : [25 Juli 2008] Gundogs Anjing jenis ini merupakan anjing yang paling terkenal di antara kelompok anjing lainnya. Kegunaan dari setiap ras di dalam kelompok ini sebagai pembantu dalam memburu dan bermain lempar tangkap. Anjing ini memiliki bulu tipis dan tebal. Ciri khas anjing ini mempunyai tempramen yang cepat akrab dengan lingkungan sekitar yang baru dikenalnya. Karakteristik dari anjing ini mempunyai kepintaran dan kesetiaan yang tinggi terhadap pemiliknya. Contoh dari anjing kelompok ini antara lain English Setter, Irish Setter, Pointer, Golden Retriever, Labrador Retriever, American Cocker Spaniel, dan English Cocker Spaniel (Scanziani 1985 ).

16 Gambar 2 Jenis anjing Labrador Retriever 2 Sumber 2 : [25 Juli 2008] Terriers Kelompok ini merupakan kelompok anjing yang mempunyai kemampuan sebagai pengontrol hama dari anjing, digunakan untuk menemukan dan membunuh semua rodentia. Anjing ini memiliki tempramen yang agak berlebihan, sehingga dapat digunakan sebagai alarm penjaga, senang bermain, dan akan puas bila menemukan sesuatu. Ciri khas anjing ini memiliki moncong yang agak panjang pada setiap ras. Kelompok anjing ini banyak dipelihara sebagai anjing pemburu, karena mempunyai kelebihan dengan daya gigitan yang sangat kuat (Scanziani 1985). Contoh dari kelompok ini antara lain Airedale Terrier, Australian Terrier, Border Terrier, Bull Terrier, Smooth dan Wire Fox Terrier, Parson Jack Russel, dan Welsh Terrier (Scanziani 1985). Salah satu anjing yang populer dari kelompok ini adalah Jack Russel. Anjing ini tidak terdaftar di dalam British atau American kennel club, karena anjing ini telah mengalami persilangan baik dengan anjing satu kelompok maupun anjing dari kelompok lain. Utility (Non Sporting) Kelompok Utility memasukkan semua bentuk, ukuran dan fungsi, dari yang besar hingga yang kecil (dari Dalmatian sampai Tibetan Spaniel). Kelompok ini mempunyai dua karakteristik yang berbeda dari semua komposisi pada kelompok ini. Pertama, ras ini tidak dapat disatukan dengan ras yang berasal dari kelompok lain.

17 Gambar 3 Jenis anjing Shih Tzu 3 Sumber 3 : [17 Juni 2008] Sedangkan yang kedua anjing ini bersifat companion dogs dimana anjing ini mempunyai kepercayaan kepada pemilik. Contoh dari kelompok ini antara lain Boston Terrier, Bulldog, Chow Chow, Dalmatian, Japanese Akita, Japanese Shiba Inu, Miniature Schnauzer, Poodles, Schnauzer, Shar Pei, dan Shih Tzu (Scanziani 1985). Working Kelompok working merupakan kelompok yang terdiri dari anjing ras besar dan mempunyai banyak ras yang termasuk ke dalam kelompok ini. Untuk alasan tersebut maka di Amerika dan beberapa negara membagi kelompok ini menjadi dua, yaitu Working and Herding. Gambar 4 Jenis anjing Rottweiler 4 Sumber 4 : [25 Juli 2008] Sesuai dengan namanya anjing ini memang diperuntukan untuk melakukan pekerjaan berat, seperti menarik kereta salju. Ras dari kelompok ini mempunyai ukuran tubuh yang dapat dikatakan raksasa karena sangat besar untuk ukuran suatu anjing. Kelompok ini juga mempunyai sifat yang tak terduga, setia, dan berani mati. Karena alasan itu banyak orang yang menggunakan

18 anjing anggota kelompok ini sebagai anjing penjaga dan mempunyai tanggung jawab yang yang tinggi bila diberikan tugas (Budiana 2006 diacu dalam Samosir 2007). Contoh kelompok anjing ini antara lain Alaskan Malamute, Australian Shepherd Dog, Bearded Colie, Border Collie, Boxer, Bullmastiff, Rough dan Smooth Collie, Dobermann, Eskimo Dog, German Shepherd Dog (Alsatian), Giant Schnauzer, Great Dane, Komondor, Mastiff, Newfoundland, Pinscher, Rottweiler, St Bernard, Samoyed, Siberian Husky, dan Welsh Corgi (Cardigan dan Pembroke) (Scanziani 1985). Toy Kelompok Toy merupakan anjing yang dibuat kecil dan paling kecil diantara kelompok anjing lain. Karena ukuran tubuh anjing ini maka memudahkan untuk digendong dan dibawa kemana saja. Ukuran yang paling besar Cavalier King Charles Spaniel, The Chinese Crested Dog dan Lowchan, sedangkan untuk anjing yang paling kecil adalah Pomeranian dan Chihuahua Anjing ini sesuai dengan namanya hanya digunakan untuk kesenangan semata. Serta memiliki sifat yang curiga terhadap suatu lingkungan yang baru. Contoh ras dari kelompok ini antara lain Australian Silky Terrierr, King Charles Spaniel, Maltese, Miniature Pinscher, Maltese, Pekingese Pomeranian, Pug, Yorkshire Terrier (Scanziani 1985). Gambar 5 Jenis anjing Yorkshire Terrier 5 Sumber 5 : [25 Juli 2008] Anjing lokal (campuran) Anjing campuran atau anjing mongrel adalah anjing yang tidak tergolong ke dalam ras tertentu, dan merupakan campuran dari dua ras atau lebih dalam berbagai persentase. Anjing campuran (anjing kampung), atau anjing tanpa asalusul ras murni sama sekali tidak lebih bagus atau lebih jelek dibandingkan anjing ras untuk digunakan sebagai sahabat, binatang peliharaan, anjing pekerja, atau

19 bertanding dalam olahraga anjing. Dari seluruh jenis anjing ras yang ada di dunia belum ada satu pun anjing ras asli Indonesia. Gambar 6 Jenis anjing lokal (campuran) 6 Sumber 6 : kampong/img/ak [12 Juli 2008] Anjing Kintamani adalah anjing ras pertama asli Indonesia yang diakui Perkumpulan Kinologi Indonesia (PERKIN), tapi belum diakui FCI sebagai anjing ras kelas dunia. Dirofilaria immitis Secara ilmiah Dirofilaria immitis diklasifikasikan menurut Levine (2003), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Nemathelminthes Kelas : Secernentea Subkelas : Spiruria Ordo : Spirurida Superfamilia : Filarioidea Familia : Onchocercidae Genus : Dirofilaria Spesies : Dirofilaria immitis Dirofilaria immitis atau yang lebih dikenal dengan nama cacing jantung termasuk dalam filum Nemathelminthes (Levine 2003). Cacing ini merupakan agen penyebab Heartworm disease pada anjing dan kucing. Cacing dewasa mempunyai bentuk tubuh bulat, panjang, langsing, berwarna putih dan habitatnya

20 di dalam pembuluh darah dan jantung pada inang definitif (ventrikel kanan, arteri pulmonalis, dan vena cava posterior) (Collive 1991 diacu dalam Karmil 1996). Cacing jantan memiliki ukuran cm sedangkan cacing betina cm, cacing betina lebih besar dan panjang daripada cacing jantan karena mereka memproduksi telur (Anonim 2004). Gambar 7 Bentuk mikrofilaria dan bentuk anatomi D. immitis Sumber 8 : [11 November 2007] Cacing Dirofilaria immitis termasuk kedalam ordo spirurida yang mempunyai dua inang yaitu inang antara dan inang definitif dan mempunyai dua bibir. Inang antara yaitu nyamuk sedangkan inang definitif yaitu mamalia (anjing maupun kucing). Dirofilaria sp termasuk di dalam famili filaridae dikarenakan memiliki bucal kapsul dan pada cacing jantan terdapat spikula berbentuk pipih dan pada ekor cacing jantan berbentuk spiral yang khas untuk filaroids (Gambar 6). Sedangkan untuk ukuran mikroskopis (mikrofilaria) µm, lebar 6.8 µm, mikrofilaria dalam darah tidak mempunyai selubung, ujung anterior panjang, ujung posterior tumpul. s 8 Daur hidup. Di dalam siklus hidupnya, cacing ini memiliki dua fase perkembangan yaitu fase larva (L1 sampai L5) dan fase dewasa. Fase larva dapat berlangsung pada inang antara dan inang definitif. Pada inang antara dalam hal ini adalah nyamuk (Aedes aegypti, Aedes albopictus, Culex quinquefasciatus, dan Armigeres subalbatus) berlangsung fase larva L1 hingga L3 (B pada gambar 9), lalu pada perkembangan L3 larva akan berpindah ke kelenjar ludah pada

21 nyamuk, lalu selama itu larva akan menunggu saat nyamuk menggigit inang definitif (anjing dan kucing) (C pada gambar 9). Armigeres subalbatus Cx. quinquefasciatus Cx. fusocephalus Cx. tritaeniorhyncus Gambar 8 Berbagai vektor Dirofilaria immitis pada anjing 8 Sumber 8 : [20 Juli 2008] Inang definitif cacing ini dapat bermacam-macam seperti anjing, kucing, rubah (Carlson dan Nielsen 1983 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), musang (Parrott, Griener & Parrott 1984 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), anjing hutan (Jones, Meisch & Farmer 1993 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), serigala, berang-berang (anjing air), tikus air (muskrat), singa laut dan rakun (Procyon lotor) (Neafie, Connor & Meyes 1984 diacu dalam Boreham & Atwell 1997), kuda (Thurman, Johnson & Lichtenfels 1984 diacu dalam Boreham & Atwell 1997). Menurut Smith (1972) diacu dalam Karmil (1996), D. immitis juga telah ditemukan di dalam subkutis manusia. Pada inang definitif larva akan mengalami perkembangan lebih lanjut, setidaknya membutuhkan waktu selama 6 sampai 7 bulan untuk mengalami perkembangan kedua dan perkembangan menuju kematangan seksual sebelum dapat di deteksi dengan detektor oleh Heartworm test. Pada anjing larva akan mengalami pekembangan lebih lanjut L3 menjadi L4 dalam waktu 15 hari setelah dua sampai lima hari anjing digigit nyamuk yang mengandung larva D. immitis. Perkembangan selanjutnya dari L4 menjadi L5 tersembunyi selama dua bulan ke depan (D pada gambar 9). Pada L5 sudah dianggap dewasa muda dan sudah menyerang jaringan inang definitif pada jantung selama 70 hari setelah cacing masuk kedalam inang definitive (E pada gambar 9). Mayoritas L5 akan sampai ke jantung dalam 90 hari (F pada gambar 9). Di jantung, cacing akan menetap dan berkembang cepat dari panjang sampai ukuran tubuh. Cacing akan tinggal dan dapat hidup selama 5 sampai 7 tahun.

22 Siklus Hidup Dirofilaria immitis Gambar 9 Siklus hidup D. Immitis (Marcel et al. 2004) Pematangan seksual membutuhkan waktu selama tiga bulan setelah tiba di jantung. Cacing ini terus bertambah panjang setelah mencapai kematangan seksual dan cacing betina akan memulai pelepasan mikrofilaria di dalam darah. Secara singkat siklus dari D. immitis setidaknya ada beberapa faktor yang berperan yaitu inang antara, keadaan lingkungan yang mendukung perkembangan larva, keberadaan dari inang definitif baik sebagai sumber infeksi maupun individu yang tertular. Patogenesis Dirofilariasis. Secara umum patogenesa dari penyakit cacing jantung dimulai dari infeksi cacing jantung yang akan menjadi penyakit cacing jantung. Infeksi cacing jantung merupakan infeksi pada inang definitif sehat yang diinfeksi oleh salah satu tahapan dari Dirofilaria immitis. Sedangkan untuk penyakit cacing jantung, pada awalnya inang definitif memang menderita atau mempunyai cacing jantung di dalam pembuluh darah inang tersebut. Yang mempengaruhi tingkat patogenesa penyakit ini adalah jumlah Dirofilaria immitis di dalam darah. Jika jumlah cacing D. immitis sedikit maka

23 gejala yang ditimbulkan tidak tampak. Sedangkan untuk jumlah yang banyak maka gejala yang ditimbulkan berupa penyumbatan sistem sirkulasi jantung sehingga akan menyebabkan gagal jantung bagian kanan sehingga jantung akan menyebabkan kongesti yang kronis. Cacing yang masih aktif dapat menyebabkan endokarditis pada katub jantung dan endoateritis pulmoner proliferatif yang diakibatkan adanya respon terhadap produk produk yang diekskresikan oleh cacing tersebut. Gumpalan cacing yang mati atau hidup dapat menyebabkan emboli pada paru paru. Emboli yang berlangsung selama ± 9 bulan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmoner yang dikompensasi dengan terjadinya hipertrofi ventrikel kanan sehingga dapat menyebabkan gagal jantung kongestif yang ditandai dengan terjadinya edema dan asites. Pada kasus berat muncul tanda-tanda gangguan sirkulasi akibat gangguan mekanik dan endokarditis progresif. Gumpalan cacing D. immitis dewasa yang menyumbat di vena cava posterior menyebabkan sindroma vena cava yang ditandai dengan hemolisis, hemoglobinuria, bilirubinemia, ikterus, anoreksia, collaps dan dalam 2 3 hari dapat menyebabkan kematian (Busch & Noxon 1992 diacu dalam Karmil 1996). Penyumbatan mikrofilaria pada pembuluh darah di ginjal jarang terjadi. Gejala Klinis. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh D. immitis bervariasi tergantung dari tingkat infeksinya. Tetapi biasanya anjing dan karnivora lain yang terinfeksi D. immitis sering tidak memperlihatkan gejala klinik (subklinik), kecuali ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah. Ketika anjing terinfeksi awal dalam hal ini jumlah mikrofilaria masih sedikit, maka tidak akan terdeteksi gejala klinisnya. Perubahan akan terjadi pada anjing dimulai ketika larva mengalami perkembangan terakhir dan L5 yang sudah matang, yang hidup pada ventrikel kanan dan pembuluh darah. Pembuluh arteri tidak bekerja dengan baik bila terdapat mikrofilaria didalamnya. Pembuluh arteri akan mengalami kerusakan selama beberapa hari ke depan, maka tubuh akan merespon oleh kerusakan yang menyebabkan peradangan, peradangan tersebut dinamakan endarteritis. Peradangan ini masih dapat disembuhkan dengan sendiri oleh tubuh. Pada infeksi berat, gejala klinis yang ditimbulkan anjing akan terlihat lemah dan tidak aktif, batuk ringan tapi sifatnya kronis, pada stadium berikutnya

24 akan menyebabkan batuk disertai darah, sesak nafas, edema, asites, sindrom vena cava akut, hemoglobinuria, ikterus, dan kollaps. Diagnosa. Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan metode langsung (natif), teknik mikrohematokrit, teknik Knoot, teknik filter. Pada metode langsung (natif) darah sampel diambil sedikit lalu dicampur dengan cairan saline fisiologis, akan terlihat di mikroskop mikrofilaria yang motil dan aktif bergerak (filaria dance). Tetapi untuk melakukan metode ini diperlukan pengalaman yang cukup agar dapat menghasilkan hasil yang baik. Teknik mikrohematokrit menggunakan hematokrit darah sampel yang telah disentrifuse, mikrofilaria akan ditemukan pada plasma darah (buffy coat). Teknik Knoot menggunakan satu milimeter darah ditambahkan dengan 9 ml formalin 2%. Kemudian dicampur hingga darah terhemolisis lalu disentrifuse dengan 1500 rpm selama 5 menit. Lalu endapan didasar diambil sebanyak 0.5 atau 1 ml, maka akan terlihat mikrofilaria. Mikrofilaria kan terlihat dan mudah untuk dihitung. Teknik filter menggunakan darah sebanyak 1 ml yang dicampur dengan larutan pelisis (biasanya 9 ml) untuk melisiskan sel darah merah. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan filter mebran, hasil filtrate tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Metode yang mudah dan efektif dalam hasil adalah teknik filter dan teknik Knott. Keduanya memiliki keuntungan masing masing dan tergantung dari inang dan parasitnya. Selain metode diatas dapat pula dilakukan metode yang lebih modern antara lain dengan melakukan X-rays dan Heartworm antigen test. Pada X-rays dilakukan pada daerah pembuluh darah yang diduga merupakan habitat dari mikrofilaria, tekniknya dinamakan angiografi. Sedangkan untuk Heartworm antigen test menggunakan serum yang berasal dari sampel darah yang kemudian akan ditambahkan reagen khusus, metode ini menggunakan prinsip ELISA. Selain metode yang dijelaskan sebelumnya, kita dapat juga melakukan pemeriksaan patologi klinis, pemeriksaan yang dianjurkan antara lain pemeriksaan laju endap darah (LED), yang akan meningkat pada kasus cacing jantung lalu elektrokardiografi (EKG) untuk mengenali gangguan impuls oleh kelainan katub jantung, dan dapat pula dilakukan pemeriksaan darah lengkap agar dapat dilihat derajat keparahan dari kasus ini.

25 Prognosa. Prognosa D. Immitis adalah dubius sampai dengan infausta. Pada kejadian kronis sering timbul thromboemboli sampai dengan pneumonia thromboemboli dan syok pulmonum (Kirk et al diacu dalam Boreham & Atwell 1997). Kegagalan ginjal pada umumnya mengiringi kasus infeksi D. Immitis sehingga pengobatan dengan adultsida preparat arsen menjadi problematis (Ettinger 1989 diacu dalam Karmil 2002). Pencegahan dan Pengobatan. Secara umum lebih baik mencegah daripada mengobati. Pencegahan dirofilariasis pada anjing dapat diberikan obat cacing yang mengandung pyrantel dan praziquatel, selain itu dapat dilakukan dengan pemberian ivermectin maupun milbemycin dengan kandungan 136 µg setiap satu bulan sekali. Sedangkan untuk pengobatan infeksi cacing jantung dapat diberikan obat obatan untuk gangguan jantung seperti thiacetarsamide (Caparsolate ) dengan pengaplikasian intravena sebanyak dua kali sehari selama 2-4 hari dengan dosis 2.2 mg/kg, obat ini dapat membunuh cacing dewasa, lalu anjing harus diistirahatkan selama 2 6 minggu, apabila anjing juga menderita gangguan jantung maka dapat pula diberikan misalnya digoxin dan pemberian diuretikum misal lasix Obat yang kedua yaitu levamisole, obat ini baik untuk cacing dewasa dan larvanya. Obat ini diaplikasikan secara intramuskular, dengan dosis yang dianjurkan mg/kg diikuti dengan 2.5 mg/kg selama dua minggu, diteruskan 5 mg/kg selama dua minggu. Seluruh pengobatan sekurang-kurangnya diperlukan waktu enam minggu. Dapat juga dengan dosis 2.5 mg/kg selama satu minggu, lalu 5 mg/kg selama tiga minggu, kemudian 10 mg/kg selama tiga minggu. Seiiring dengan perkembangan ilmu kedokteran hewan penggunaan levamizole sudah tidak dianjurkan, karena levamizole tidak membunuh cacing secara konsisten, meskipun masih mampu membunuh cacing jantan dan mungkin mensterilkan cacing betina. Pengapliasian obat ini secara intramuskular pada daerah lumbal (L3 dan L5) diulangi setelah 24 jam, yang dilakukan kontralateral dari suntikan sehari sebelumnya. Penderita perlu istirahat minimum selama 4-6 minggu. Bagi penderita berat, pengobatan dilakukan satu kali seperti dimuka, satu bulan kemudian diulangi dua kali lagi dengan interval 24 jam.

26 Dengan obat-obatan yang mampu membunuh cacing di dalam sistem peredaran darah, dapat diantisipasi timbulnya bahaya tromboemboli, karena cacing yang mati dan hancur dapat membentuk trombus, yang dapat menyumbat pembuluh kapiler dan pembuluh darah lainnya. Untuk profilaksis dapat juga digunakan dietilkarbamasin (Caricide ) dengan dosis 3.3 mg/kg di daerah infeksi ringan dan 7-11mg/kg di daerah endemik, diberikan selama satu bulan.

27 MATERI DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juli 2007 sampai dengan September Sampel diambil dari wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah (Semarang-Yogyakarta), dan Bali. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Rancangan Studi Studi kasus ini dilakukan dengan metode studi cross-sectional. Sebanyak 235 sampel serum anjing pelihara berumur di atas enam bulan dari empat wilayah yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali diambil secara purposif. Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian dirofilariasis sebesar 10%, 20%, dan 30% tiap daerah. Keberadaan antigen D. immitis dalam serum dideteksi dengan menggunakan metode ELISA. Informasi tentang berbagai faktor risiko infeksi D. immitis yang terkait dengan faktor-faktor endogen seperti umur, jenis anjing, dan jenis kelamin anjing diperoleh dari pengisian kuesioner yang dilakukan melalui wawancara atau diisi sendiri oleh pemilik anjing (responden). Untuk menghitung besaran sampel digunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004) n 4Þ (1-Þ) Keterangan : n : Besaran sampel serum darah anjing yang akan diambil. Þ : Asumsi dugaan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing. L : Tingkat kesalahan 5% (0.05). L 2 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel secara aseptis dengan pengambilan darah sebanyak dua ml pada Vena saphena (kaki belakang) maupun Vena cephalica anti brachii (kaki depan) menggunakan syringe tiga ml. Setelah darah didapatkan, lalu didiamkan di dalam syringe selama dua jam pada suhu ruang (25 0 C) dengan tuas syringe ditarik. Setelah serum terpisah dengan plasma

28 darah, maka serum ditempatkan ke dalam tabung mikro. Untuk penanda sampel ditempelkan label yang berisi nomor yang sesuai dengan kuesioner. Untuk mencegah sampel rusak, maka ditempatkan di dalam coolbox yang berisi icepack. Sebelum diuji, sampel disentrifuse dengan alat sentrifuse selama lima menit agar serum benar-benar terpisah dengan plasma darah. Metode Pemeriksaan Sampel (Metode ELISA) dan Interpretasi Uji ELISA digunakan untuk mendiagnosa dirofilariasis. Kit ELISA yang digunakan yaitu Antigen Test Kit Canine Heart Worm (DiroCHEK ). Prosedur pemeriksaan dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut: microtitration plate ELISA yang telah dilapisi dengan antibodi anti D. immitis disiapkan, cairan kontrol diteteskan pada sumur pertama (botol merah, kontrol positif) dan sumur kedua (botol abu-abu, kontrol negatif) masing-masing satu tetes, kemudian sampel (serum) diisikan sebanyak 0.05 ml pada sumur ketiga sampai terakhir. Kemudian reagen pengkonjugasi (botol biru, Horseradish peroxidase (HRP) antibody conjugate) ditetesi seluruh sumur lalu ditunggu 15 detik. Pada setiap tahapan selalu dilakukan pencucian dengan aquabidest hingga bersih. Setelah bersih lalu dikeringkan dengan tissue dan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu perkembangan, dalam proses ini ditambahkan masing-masing dua tetes reagen dua (botol ungu, chromogenic substrate buffer), lalu diratakan dengan cara digoyang-goyangkan selama 15 detik dan dibiarkan selama lima menit. Setelah lima menit maka hasil dapat diintrepretasikan, reaksi positif ditandai dengan perubahan warna menjadi biru berarti terdapat antigen di dalam sampel yang diuji, sedangkan negatif akan tetap berwarna bening. Kemudian dibaca dengan ELISA plate reader dengan panjang gelombang 490 nm. Uji ini mempunyai sensitivitas 90.3%, spesifisitas 99.1%, dan akurasi 94.8% (Otto 1986 diacu dalam Boreham & Atwell 1997).

29 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode chi-square dan regresi logistik untuk melihat pengaruh dan risiko faktor terhadap hasil pemeriksaan ELISA. Untuk menghitung tingkat prevalensi digunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004): Tingkat prevalensi hewan positif = Jumlah hewan positif X 100% Populasi berisiko Keterangan: Populasi berisiko adalah keseluruhan sampel.

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Besaran sampel yang diambil selama penelitian adalah 235 sampel yang terdiri dari 94 sampel berasal dari Jakarta, 62 sampel berasal dari Jawa Barat, 22 sampel berasal dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Dari 235 sampel (jumlah keseluruhan) setelah diuji dengan metode ELISA maka didapatkan hasil sebanyak 18 sampel (7.66%) dari uji tersebut positif mengandung antigen D. immitis. Hasil analisis dengan metode chi-square didapatkan bahwa pada faktor daerah, umur, dan jenis anjing mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kejadian infeksi D. immitis, sedangkan untuk faktor berdasarkan jenis kelamin dan ras berdasarkan bulu tidak memiliki pengaruh yang nyata (Tabel 1). Tabel 1 Hasil analisis dengan metode chi-square pemeriksaan D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali Faktor Pearson chi-square Nilai-p Daerah * Jenis kelamin Umur * Jenis anjing * Ketebalan bulu *: berbeda nyata pada taraf uji 5% Hasil analisis regresi logistik memperlihatkan bahwa daerah Jawa Barat, umur 2-6 tahun, umur > 6 dan anjing ras mempunyai risiko berbeda nyata terhadap kasus dirofilariasis, hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai-p pada regresi logistik (Tabel 2). Pada faktor daerah, anjing di Jawa Barat mempunyai risiko terinfeksi 8.58 kali dibandingkan dengan Jakarta (OR = 8.58; SK 95% ), anjing di daerah Jawa Tengah mempunyai risiko terinfeksi 2.17 kali dibandingkan dengan Jakarta (Tingkat prevalensi daerah Jawa Tengah 4.54%), dan pada anjing di Bali mempunyai risisiko 4.37 kali dibandingkan dengan daerah Jakarta (Tabel 2). Pada anjing jantan mempunyai risiko terinfeksi 1.58 kali dibandingkan dengan anjing betina (OR = 1.58; SK 95% ) (Tabel 2).

31 Pada anjing umur lebih dari enam tahun lebih berisiko terinfeksi 9.84 kali dibandingkan dengan umur kurang dari dua tahun (OR = 9.84; SK 95% ) dan untuk umur 2-6 tahun mempunyai risiko 4.79 kali dibandingkan dengan umur kurang dari dua tahun(or = 4.79; SK 95% )(Tabel 2) Berdasarkan informasi yang didapatkan dari kuesioner, umur anjing termuda tujuh bulan dan tertua sembilan tahun. Anjing lokal mempunyai risiko terinfeksi 1.66 kali dibandingkan dengan anjing ras dan untuk anjing campuran mempunyai risiko terinfeksi 0.4 kali dibandingkan dengan anjing ras (Tabel 2). Pada ketebalan bulu, anjing ras yang memiliki bulu pendek lebih berisiko 0.49 kali dibandingkan dengan anjing ras bulu panjang (Tabel 2).

32 Tabel 2 Hasil analisis dengan regresi logistik pemeriksaan D. immitis pada anjing daerah Jawa dan Bali Faktor Anjing Jumlah positif % Anjing Jumlah negatif % Nilai p Odds ratio 95% CI lower upper Daerah Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Bali Jenis kelamin Betina Jantan Umur (tahun) < > Jenis anjing Anjing ras Anjing campuran Anjing lokal Ketebalan bulu (anjing ras) Bulu panjang Bulu pendek *: berbeda nyata pada taraf uji 5% CI: Confident interval; selang kepercayaan 95% * * *

33 Pembahasan Hasil dari pemeriksaan dari 235 sampel didapatkan tingkat kejadian dirofilariasis pada Jawa dan Bali sebesar 7.66%. Hasil studi ini masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh karmil tahun 2002 sebesar 62.66% pada daerah Jakarta dan Bogor. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan metode yang digunakan untuk mendeteksi, Karmil menggunakan metode uji serologis, yaitu untuk melihat antibodi D. immitis pada anjing sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi dikarenakan adanya antibodi yang meningkat sejalan dengan kejadian infeksi. Sedangkan pada negara lain seperti Kuala Lumpur tingkat prevalensi sebesar 9.6% (Rajamanickam 1985, diacu Boreham & Atwell 1977), lalu pada negara yang lebih maju seperti Amerika, penyakit ini juga telah ada dan menyerang hampir seluruh negara bagian, sebagai contoh pada negara Colorado, sebesar 3.3% (WHO 1983, diacu Boreham & Atwell 1997). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan iklim geografis yang akan mempengaruhi stadium pertumbuhan larva. Karmil (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan larva membutuhkan waktu hari pada daerah subtropis dan 8-10 hari untuk daerah tropis. Karmil (2002) juga menyatakan bahwa perkembangan selama hari setelah infeksi. Hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan dari penyebab tingginya tingkat kejadian pada daerah Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis diatas pada faktor daerah khususnya Jawa Barat mempunyai tingkat kejadian dirofilariasis paling besar (16.12%) dan mempunyai hubungan yang nyata serta risiko lebih besar 8.58 kali dibanding dengan Jakarta. Hal itu kemungkinan disebabkan karena pemilik anjing pada wilayah Jawa Barat kurang memperhatikan manejemen pemeliharaan anjing diantaranya anjing dibiarkan pada lingkungan yang terbuka sehingga risiko keterpaparan semakin besar. Selain itu dapat juga dikarenakan adanya lingkungan yang mendukung keberadaan vektor (nyamuk). Nyamuk dapat hidup dan berkembang biak di tundra Kutub Utara sama baiknya seperti di hutan hujan tropis (Foster & Edward 2002). Karmil (2002) juga berpendapat bahwa kasus dirofilariasis kemungkinan besar terkait dengan kepadatan populasi anjing di suatu daerah tertentu, salah satu faktor yang mendukung tingkat tingkat kejadian tersebut adalah peningkatan populasi anjing resevoir. Daya tahan hidup vektor juga berperan, semakin lama larva terinkubasi didalam vektor maka semakin tinggi tingkat kematian vektor (Karmil 2002).

34 Pada faktor umur didapatkan hasil pemeriksaan bahwa pada anjing berumur lebih dari enam tahun mempunyai risiko 9.84 kali lebih tinggi dibandingkan dengan umur kurang dari dua tahun. Pada anjing tua biasanya memiliki keterpaparan oleh lingkungan yang lebih lama dibandingkan dengan umur yang muda, sehingga akan membuat anjing tua mudah terinfeksi D. immitis dan biasanya infeksi tersebut bersifat kronis. Pada anjing muda (2-6 tahun) kejadian dirofilariasis juga cukup tinggi hal ini dikarenakan anjing dengan umur tersebut biasanya sudah ditempatkan ditempat terbuka sehingga nyamuk akan mudah menghisap darah anjing dan terjadi penularan infeksi. Selain itu pada anjing tua juga memiliki kekebalan yang menurun sejalan dengan bertambahnya usia, sehingga anjing lebih mudah untuk menderita suatu penyakit. Menurut Georgi (1985) diacu dalam Karmil (2002) daya tahan tubuh terhadap infeksi kecacingan berhubungan dengan umur, preimunitas, dan imunitas dapatan. Oleh sebab itu pada umur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap infeksi cacing jantung. Hasil pemeriksaan sampel memperlihatkan pada anjing lokal lebih tinggi tingkat kejadian infeksinya dibandingkan dengan anjing campuran maupun anjing ras murni. Pada anjing lokal mempunyai pengaruh yang nyata terhadap infeksi, hal ini kemungkinan dikarenakan perbedaan genetika. Genetika dalam tubuh anjing mempunyai hubungan yang mendasar dengan sistem immunitas anjing tersebut (Anonim 2006). Sprent (1979) diacu dalam Soulsby (1982) mengatakan bahwa makin jauh perbedaan taksonomi antara hospes dengan parasit, yang berarti makin tinggi derajat keasingannya, maka makin kuat pula reaksi penolakan yang diberikan oleh hospes terhadap parasit tersebut. Reaksi penolakan yang diberikan oleh hospes berkaitan erat dengan reaksi antibodi pada jenis spesies yang berbeda. Ini dikarenakan bahwa masing masing spesies hewan mempunyai runutan asam basa nukleat yang berbeda, sehingga reaksi antibodi pada jenis spesies berbeda pula. Menurut Kimball (1998), bahwa antibodi adalah protein dan semua bukti yang menunjukkan bahwa bahan itu disintesis oleh mekanisme yang sama, yaitu DNA, RNA, dan polipeptida yang juga digunakan untuk semua protein lainnya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa pengaruh infeksi cacing terhadap ras anjing mempunyai hubungan erat, walaupun tingkat kejadian dirofilariasis berdasarkan perbedaan genetik sulit diuraikan secara pasti.

35 Faktor lain yang dapat mempengaruhi infeksi cacing terhadap ras anjing adalah manajemen pemeliharaan. Manajemen pemeliharaan meliputi tempat tinggal anjing, sanitasi kandang, dan program pemberian obat cacing. Anjing lokal umumnya mendapat perawatan yang buruk dari pemiliknya, salah satu contoh biasanya pemilik anjing lokal tidak memperhatikan gizi anjing peliharaanya, anjing tersebut diberikan makanan seadanya yang mengakibatkan anjing kekurangan gizi. Gizi buruk merupakan dampak dari pemberian nutrisi (makanan) yang buruk, kemungkinan hal itu akan berdampak pada sistem kekebalan terhadap infeksi menjadi menurun oleh sebab itu anjing mudah terinfeksi oleh D. immitis. Menurut Karmil (2002), pada umumnya anjing ras besar paling sering terinfeksi oleh D. immitis. Anjing gembala Jerman (Herder) dan Boxer mempunyai risiko paling tinggi terhadap dirofilariasis dan kebanyakan infeksi lebih tinggi pada anjing jantan (Karmil 2002). Pada penelitian ini ketebalan bulu dan jenis kelamin tidak berpengaruh yang nyata terhadap infeksi cacing jantung, tetapi pada anjing jantan mempunyai risiko sebesar 1.58 kali untuk terinfeksi. Hal itu menunjukkan bahwa kejadian dirofilariasis dapat menyerang anjing jantan maupun betina serta pada anjing ras murni yang memiliki bulu panjang maupun pendek. Menurut Jonstone et al. (1997) diacu Karmil (2002) ketebalan bulu pada anjing ras tertentu dan gender tidak berkaitan dengan faktor risiko.

36 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Tingkat kejadian dirofilariasis pada daerah Jawa dan Bali sebesar 7.66%. 2. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi tingkat kejadian dirofilariasis adalah daerah, umur, dan jenis anjing. Saran 1. Perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan anjing yaitu daerah, umur, dan jenis anjing. 2. Perlu dilakukan sistem informasi kepada pemilik anjing tentang bahaya cacing jantung khususnya di Indonesia. 3. Perlu dilakukan studi kasus lanjutan terhadap kucing dan satwa liar lainnya yang merupakan inang definitif dari D. immitis.

37 DAFTAR PUSTAKA [AHS] American Heartworm Society Heartworm disease. [11 November 2007]. [Anonim] Important facts about heartworm. [17 November 2007]. [Anonim] Anjing. [24 juli 2008]. Atkins CE Comparison of results of three commercial heartworm antigen test kits in dogs with low heartworm burdens. J Am Vet Med Assoc. 222(9): Boreham PFL & Atwell RB Dirofilariasis. Quensland: CRC Pr. Boring JG Heartworm Disease. Di dalam: Kirk RW, editor. Current Veterinary Therapy Small animal Practice VI. Philadelphia: Saunders Co Bowman DD. Lynn RC. Eberhad ML. Alcaraz A Georgi s Parasitology for Veterinary. Philadelphia: Saunders. Charles HM dan Robinson ED Diagnostic Parasitology for Veterinary Technician Third Edition. Philadelphia. USA. Dharmojono Anjing Permasalahan dan Pemecahan. Jakarta. Penebar Swadaya. Karmil TF Perkembangan mikrofilaria Dirofilaria immitis temuan lokal di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti strain liverpool yang diinfeksi secara in vitro terkendali [tesis]. Pascasarjana, IPB. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Karmil TF Studi biologis dan potensi vektor alami Dirofilaria immitis sebagai landasan penyiapan bahan hayati [disertasi]. Pascasarjana, IPB. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Kimball JW Biologi. edisi ke-5. Tjitrosomo SS, Sugiri N, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Biology. 5 th edition. Kusharyoto W Produksi Fragmen Antibodi Terhadap Virus Dengue Di Eschericia Coli. Jawa Barat: LIPI.

38 Levine ND Parasitologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Pr. Terjemahan dari: Parasitologi Veteriner. Marcel et al Incident the Dirofilaria immitis. www. Veterinaria. org/association/vet-uy/articles [14 September 2008] Mccurnin DM dan Joanna MB Clinical Textbook for Veterinary Technicians Sixth Edition. Elsevier Saunders. Lousiana. Mc Fadzen JA Investigation Into The Cause of Microfilarial Periodicity. J Brit Med. 1: Noble ER. Noble GA Parasitologi: Biologi Parasit Hewan edisi kelima. Wardiarto, penerjemah; Soeripto N, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada Pr. Terjemahan dari : Parasitology :The Biology of Animal Parasites 5 th edition. Panton AA Waspada Penyakit Zoonosis. Waspada Online. [25 juni 2008]. Samosir TP Kecacingan Ancylostoma sp pada anjing ras [skripsi]. Sarjana, IPB. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Scanziani P The World Encyclopedia of Dogs. London: Orbis Publish Limited. Selvin S Statistical Analysis of Epidemiology Data. London: Oxford University Pr Sianipar ND et al Merawat dan Melatih Anjing penjaga. Depok: Agromedia Pustaka. Soulsby EJL Immunity to Animal Parasites. New York and London: Academic Pr. Subronto Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gajah Mada University Pr. Yogyakarta. Suweta IGP Prevalensi Infeksi Cacing Ascaris Suum Pada Babi di Bali Dampaknya Terhadap Babi Penderita dan Upaya Penanggulangannya. Bali: Udayana. Untung O Merawat dan Melatih Anjing. Jakarta: Penebar Swadaya.

KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO

KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO KAJIAN FAKTOR RISIKO ENDOGEN INFEKSI CACING JANTUNG (Dirofilaria immitis) PADA BERBAGAI ANJING DI WILAYAH JAWA DAN BALI LAURENSIUS YUVIANTO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan yang lainnya sehingga mendorong manusia untuk memberi perhatian lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum dan klasifikasi Anjing Anjing adalah hewan yang sangat dekat dengan manusia. Anjing merupakan hewan kesayangan dengan jumlah ras terbanyak dan memiliki perbedaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, adalah penyebab penyakit parasit yang serius pada anjing, hidup pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis

Lebih terperinci

Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis KATEGORI KRITERIA FOTO

Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis KATEGORI KRITERIA FOTO LAMPIRAN Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis Tabel 20. Jenis - Jenis 17 JENIS ANJING KATEGORI KRITERIA FOTO Chihuahua Long Coat Chihuahua Smooth

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing adalah mamalia karnivora darat yang telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 100.000 tahun silam, hal ini diperkuat dengan bukti genetik berupa penemuan

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik anjing impor Berdasarkan data Pusat Karantina Hewan (2008), tercatat sebanyak 548 ekor anjing impor dari berbagai negara yang dilalulintaskan melalui Balai Besar Karantina

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992, atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI. VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B

POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI. VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B POTENSI NYAMUK Aeries albopictus (DLE'TERA : CULICIDAE) SEBAGAI VEKTOR DirojiZaria inzmitis (NEMATODA : FILARIIDAE) PADA ANJING HAMNY B01497046 PAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2001 RINGKASAN

Lebih terperinci

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B04103159 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Kata kunci : Prevalensi, infeksi cacing Toxocara canis, Anjing Kintamani Bali.

Kata kunci : Prevalensi, infeksi cacing Toxocara canis, Anjing Kintamani Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 16 Desember 1993, merupakan putra Kedua dari dua bersaudara pasangan I Made Suwija dan Ni Nyoman Supariani. Penulis menempuh pendidikan di TK Putra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama seperti nama pemiliknya. Sebaliknya, anjing menganggap manusia. tidak membedakannya sama sekali (David, 1984).

BAB I PENDAHULUAN. yang sama seperti nama pemiliknya. Sebaliknya, anjing menganggap manusia. tidak membedakannya sama sekali (David, 1984). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing adalah mamalia yang telah mengalami domestikasi dari serigala kemungkinan sejak ratusan ribu tahun yang lalu berdasarkan bukti genetik berupa penemuan fosil

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoariae (Berg.) Roscoe) TERHADAP GAMBARAN KLINIS PRE DAN POST OPERASI PADA KELINCI YANG DIINDUKSI TUMOR HERYUDIANTO VIBOWO FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA Editor: Nama : Istiqomah NIM : G1C015022 FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2015 /2016 1 IDENTIFIKASI FILARIASIS

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian dan perancangan, serta metodologi penulisan mengenai klinik perawatan anjing di Kota

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS LABRADOR RETRIEVER DI SUBDIT SATWA POLRI-DEPOK GITA WIDARTI ANGGAYASTI

GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS LABRADOR RETRIEVER DI SUBDIT SATWA POLRI-DEPOK GITA WIDARTI ANGGAYASTI GAMBARAN HEMATOLOGI ANJING PELACAK OPERASIONAL RAS LABRADOR RETRIEVER DI SUBDIT SATWA POLRI-DEPOK GITA WIDARTI ANGGAYASTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 RINGKASAN GITA WIDARTI

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah. BAB 1 RANGKUMAN 1.1. Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah. 1.2. Pemimpin / Penanggung Jawab Penelitian akan dipimpin langsung

Lebih terperinci

STUDI KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM DARAH ANJING KAMPUNG (Canis familiaris) UMUR 3 DAN 6 BULAN SATRIANA

STUDI KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM DARAH ANJING KAMPUNG (Canis familiaris) UMUR 3 DAN 6 BULAN SATRIANA 1 STUDI KADAR UREUM DAN KREATININ SERUM DARAH ANJING KAMPUNG (Canis familiaris) UMUR 3 DAN 6 BULAN SATRIANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA

DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA DETEKSI BAKTERI GRAM NEGATIF (Salmonella sp., Escherichia coli, dan Koliform) PADA SUSU BUBUK SKIM IMPOR DINY MALTA WIDYASTIKA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK DINY

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE

BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE BAB II TINJAUAN DEMAM BERDARAH DENGUE 2.1 Sejarah Demam Berdarah Dengue Penyakit demam berdarah dengue pertama kali di temukan di Filiphina pada tahun 1953 dan menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia

Lebih terperinci

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan Perbandingan Prevalensi Filariasis berdasarkan Status IgG4 Antifilaria pada Penduduk Daerah Endemik Filariasis Kelurahan Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat Gracia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni

BAB I PENDAHULUAN. garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kucing adalah salah satu hewan peliharaan terpopuler di dunia. Kucing yang garis keturunannya tercatat secara resmi sebagai kucing trah atau galur murni (pure breed),

Lebih terperinci

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 31 Mei 1993, merupakan putra pertama dari tiga bersaudara pasangan I Wayan Ariana dan Ni Kadek Sri Anggreni. Penulis menempuh pendidikan di TK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik. B. Waktu dan tempat penelitian Tempat penelitian desa Pekacangan, Cacaban, dan Ketosari Kecamatan

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM

GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM GAMBARAN KALSIUM DARAH PADA PERIODE KEBUNTINGAN DAN KANDUNGAN KALSIUM DALAM SUSU PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH CANDRA ELISSAR YAFIZHAM DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria (Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA

KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 RINGKASAN ADITYA. Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa,

NYAMUK SI PEMBAWA PENYAKIT Selasa, PLEASE READ!!!! Sumber: http://bhell.multiply.com/reviews/item/13 Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus yang mengandung virus dengue dapat menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang ditandai dengan

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA

GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA 1 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG JANTAN (Canis familiaris) UMUR 3 SAMPAI 7 BULAN KRESNA NURDIN NUNU NUGRAHA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 GAMBARAN DARAH ANJING KAMPUNG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Gambaran Morfologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Dirofilaria immitis Genus Dirofilaria dibagi menjadi dua subgenus, yaitu subgenus Dirofilaria meliputi Dirofilaria immitis dan Dipetalonema reconditum sedangkan subgenus

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali

Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Anjing Kintamani Bali di Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali (THE PREVALENCE OF PROTOZOA INTESTINAL INFECTION IN KINTAMANI DOG

Lebih terperinci

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah? Upik Kesumawati Hadi *) Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

Klinik Perawatan Anjing di Kota Denpasar

Klinik Perawatan Anjing di Kota Denpasar LANDASAN KONSEPTUAL PERANCANGAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Periode Juli 2015 Klinik Perawatan Anjing di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

Frekuensi Hepatitis B dan Hepatitis C Positif pada Darah Donor di Unit Transfusi Darah Cabang Padang pada Tahun 2012

Frekuensi Hepatitis B dan Hepatitis C Positif pada Darah Donor di Unit Transfusi Darah Cabang Padang pada Tahun 2012 Artikel Penelitian Frekuensi Hepatitis B dan Hepatitis C Positif pada Darah Donor di Unit Transfusi Darah Cabang Padang pada Tahun 2012 Dewi Oktavia 1, Rismawati Yaswir 2, Nora Harminarti 3 Abstrak Infeksi

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista

Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista Upaya Peningkatan Kekebalan Broiler terhadap Penyakit Koksidiosis melalui Infeksi Simultan Ookista (Oocyst Simultaneous Infection to Increase Broiler Immunity from Coccidiosis) S.J.A. Setyawati dan Endro

Lebih terperinci

Prevalensi pre_treatment

Prevalensi pre_treatment Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi yang dilakukan dalam penelitian serta sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Sampai saat

Lebih terperinci

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( )

NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease. tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin ( ) Pendahuluan : NEWCASTLE DISEASE VIRUS,,,, Penyebab Newcastle Disease tahukan Anda???? Margareta Sisca Ganwarin (078114032) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Newcastle Disease (ND) juga di kenal

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian 3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ANALISIS FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER DENGAN MENGGUNAKAN METODE REGRESI LOGISTIK DAN CHAID: KASUS DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR ASTRI ATTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN. Infeksi Toxocara sp. Pada Hewan Peliharaan di Kelurahan Padang Bulan Tahun Oleh : RINA STEFANY MANURUNG

HASIL PENELITIAN. Infeksi Toxocara sp. Pada Hewan Peliharaan di Kelurahan Padang Bulan Tahun Oleh : RINA STEFANY MANURUNG HASIL PENELITIAN Infeksi Toxocara sp. Pada Hewan Peliharaan di Kelurahan Padang Bulan Tahun 2012 Oleh : RINA STEFANY MANURUNG 090100326 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 i LEMBAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) PADA UJI TOKSISITAS AKUT

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) PADA UJI TOKSISITAS AKUT GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI DAN GINJAL TIKUS PADA PEMBERIAN FRAKSI ASAM AMINO NON-PROTEIN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) PADA UJI TOKSISITAS AKUT LILIS SUYANTI B04103164 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi di Indonesia. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia

Lebih terperinci

Pendahuluan. Tujuan Penggunaan

Pendahuluan. Tujuan Penggunaan Pendahuluan Malaria merupakan salah satu penyakit parasit paling umum di dunia dan menempati urutan ke 3 dalam tingkat mortalitas diantara prnyakit infeksi utama lainnya. Parasit protozoa penyebab malaria

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

JENIS ANJING PIARAAN. 1. Labrador Retriever

JENIS ANJING PIARAAN. 1. Labrador Retriever JENIS ANJING PIARAAN 1. Labrador Retriever Labrador Retriever merupakan salah satu anjing terpopuler didunia karena terkenal pintar dan cepat belajar. Sebagian besar Labrador Retriever sangat suka berenang

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN JARINGAN UJI KHASIAT BUAH MERAH (Pandanus conoideus) SEBAGAI BAHAN PENGHAMBAT KERUSAKAN HATI AGUSTIN ZAHARIA PADERI

KAJIAN PERUBAHAN JARINGAN UJI KHASIAT BUAH MERAH (Pandanus conoideus) SEBAGAI BAHAN PENGHAMBAT KERUSAKAN HATI AGUSTIN ZAHARIA PADERI KAJIAN PERUBAHAN JARINGAN UJI KHASIAT BUAH MERAH (Pandanus conoideus) SEBAGAI BAHAN PENGHAMBAT KERUSAKAN HATI AGUSTIN ZAHARIA PADERI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK AGUSTIN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran

Lebih terperinci

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR

PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR PENYAKIT-PENYAKIT DITULARKAN VEKTOR dr. I NYOMAN PUTRA Kepala Bidang Upaya Kesehatan dan Lintas Wilayah Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Tanjung Priok DEMAM BERDARAH DENGUE (DHF) Definisi Merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA

KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA KAJIAN PATOLOGI HATI KELINCI HIPERLIPIDEMIA : DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN ANTIHIPERLIPIDEMIA LILIAN DEVANITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LILIAN DEVANITA. Kajian Patologi

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN 2007-2011 Eggi Erlangga, 2013. Pembimbing I : July Ivone, dr., M.KK., MPd.Ked. Pembimbing

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi

Lebih terperinci