FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA"

Transkripsi

1 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA PEMANFATAAN CITRA MULTISPEKTRAL DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI AGROEKOLOGI Kasus Di Sebagian Wilayah Temanggung Propinsi Jawa Tengah OLEH : NAMA : SIGIT HERUMURTI NIP : JURUSAN : SAINS INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGEMBANGAN WILAYAH i

2 HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian : PEMANFATAAN CITRAMULTISPEKTRAL DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI AGROEKOLOGI Kasus Di Sebagian Wilayah Temanggung Propinsi Jawa Tengah 2. Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar : Sigit Heru Murti BS, S.Si., M.Si. b. NIP : c. Pangkat/Jab/Gol. : Penata/Lektor/IIIc d. Jurusan : Sains Informasi Geografis dan PW e. Program Studi : Kartografi dan Penginderaan Jauh f. Alamat : Perum Alam Persada I/7B Tajem Maguwoharjo, Depok, Sleman g. Telp/HP/ /sigit@geo.ugm.ac.id Yogyakarta, Desember 2008 Mengetahui Pembimbing (Promotor) Peneliti Prof. Dr. Totok Gunawan, MS Sigit Heru Murti BS, M.Si. Menyetujui, Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Suratman, M.Sc. NIP ii

3 INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menyusun zone agroekologi sebagian wilayah Temanggung Propinsi Jawa Tengah yang berbasis pada pengolahan citra penginderaan jauh multispektral dan sistem informasi geografis (SIG) yang memiliki akurasi tinggi dan dapat diterapkan dengan cepat ditunjang oleh ketersediaan citra penginderaan jauh yang ada. Untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut, diperlukan tujuan khusus pada masing-masing tahapan. Tahapan yang dilakukan untuk menuju pada tujuan khusus dalam penelitian ini, yaitu: (1) inventarisasi kondisi biofisik lahan dengan menggunakan data primer (interpretasi citra satelit multispektral) dan sekunder (peta, statistik, hasil penelitian); (2) kajian komponen-komponen agroekologi yang ada pada wilayah penelitian dan menyusun zonasi agroekologi daerah penelitian. Pada tahap ini disusun basis data spasial dan atribut lahan. Penelitian ini menggunakan metode empiris-kuantitatif dengan penentuan sampel secara stratified random sampling. Sebagai awal dari penelitian ini dilakukan berbagai macam pemrosesan pada citra penginderaan jauh, yaitu citra ASTER perekaman 23 Juni 2004 dan citra Landsat 7 ETM+ perekaman 21 Agustus 2002 yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan citra dalam mengenali obyek.teknik pemrosesan citra tersebut diawali dengan proses rektifikasi, penajaman dan klasifikasi multispektral. Berdasarkan citra satelit dilakukan interpretasi bentuklahan. Data-data penunjang lainnya yang berupa peta jenis tanah, peta ketinggian tempat, peta kemiringan lereng dan peta curah hujan diperoleh dari data sekunder dibantu dengan analisis pada citra PJ. Dari hasil overlay terhadap variabel-variabel penelitian tersebut diperoleh hasil peta unit lahan. Peta unit lahan digunakan sebagai peta basis untuk melakukan kegiatan survei lapangan guna mendapatkan informasi tentang kondisi biofisik dan agroekologis wilayah yang berkaitan dengan kemampuan lahan untuk menunjang produksi tanaman pertanian, dalah hal ini tanaman tembakau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat 31 unit lahan hasil tumpangsusun dari variebl-veriabel penyusun zonasi agroekologi tersebut. Berdasarkan hasil analisis terhadap data lapangan ke-31 unit lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 15 zone agroekologi yang terkait dengan produktivitas lahan untuk tanaman tembakau. Kata kunci : citra multispektral, sistem informasi geografis, zone agroekologi iii

4 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga Laporan Akhir Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan penelitian di dalam bidang ilmu Penginderaan Jauh, khususnya aplikasi penginderaan jauh di bidang pertanian. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan zone agroekologi wilayah dan dilaksanakan di sebagian wilayah Temanggung Propinsi Jawa Tengah.Penelitian ini juga merupakan bagian dari penelitian program S-3 yang saat ini sedang dilaksanakan oleh penulis. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan biaya dari Dana Penelitian Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun anggaran Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada : 1. LAPAN yang telah memberikan data citra penginderaan jauh (ASTER) untuk digunakan dalam penelitian ini 2. PUSPICS yang telah memberikan data citra penginderaan jauh (Landsat 7 ETM+) untuk digunakan dalam penelitian ini. 3. Tim Promotor yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung. 4. Kepala Laboratorium Penginderaan Jauh Dasar dan Terapan yang telah mengijinkan penulis menggunakan peralatan yang ada untuk melaksanakan penelitian ini. 5. Para asisten yang telah membantu pekerjaan survei lapangan untuk mendudkung penelitian ini. Sebagai akhir dari pengantar ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritis dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan ini sangat diharapkan. Terima kasih. Yogyakarta, Desember 2008 Hormat saya, Sigit Heru Murti BS iv

5 DAFTAR ISI Halaman Judul Intisari Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Hal i ii iii Iv v vi Bab I Pendahuluan Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran 14 Bab II Metode Penelitian Bahan dan Alat Bahan Penelitian Alat Penelitian Tahapan Penelitian Persiapan Interpretasi Citra Penginderaan Jauh Analisis Data 18 Bab III Zonasi Agroekologi Sebagian Wilayah Temanggung Pengolahan Citra ASTER Landsat ETM Pemetaan Variabel-variabel Agroekologi Pemetaan Bentuklahan Pemetaan Curah Hujan Pemetaan Ketinggian Tempat Pemetaan Kemiringan Lereng Pemetaan Jenis Tanah Pemetaan Zone Agroekologi 37 Kesimpulan dan Saran 43 A. Kesimpulan 43 B. Saran 43 Daftar Pustaka 44 v

6 Daftar Tabel Hal Tabel 1.1. Karakteristik Citra Landsat ETM+ 9 Tabel 1.2 Karakteristik Citra Aster 11 Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan 18 Tabel 2.2. Klasifikasi Curah Hujan 19 Tabel 2.3. Klasifikasi Ketinggian 19 Tabel 2.4. Klasifikasi Kemiringan Lereng 19 Tabel 2.5. Klasifikasi Tanah 19 Tabel 3.1. Bentuklahan Daerah Penelitian 27 Tabel 3.2. Curah Hujan Daerah Penelitian 29 Tabel 3.3. Ketinggian Tempat Daerah Penelitian 31 Tabel 3.4. Kemiringan Lereng Daerah Penelitian 33 Tabel 3.5. Jenis Tanah Daerah Penelitian 35 Tabel 3.6. Agroekologi Daerah Penelitian 40 vi

7 Daftar Gambar Hal Gambar 1. Daerah Peta Administrasi Temanggung 5 Gambar 3.1. Citra Komposit 321 ASTER Sebagian 22 Temanggung Gambar 3.2. Citra Komposit 321 Landsat 7 ETM+ 24 Temanggung Gambar 3.3. Citra Komposit 432 Landsat 7 ETM+ 25 Temanggung Gambar 3.4. Peta Bentuklahan Sebagian Temanggung 28 Gambar 3.5. Peta Curah Hujan Sebagian Temanggung 30 Gambar 3.6. Peta Ketinggian Tempat Sebagian 32 Temanggung Gambar 3.7. Peta Kemiringan Lereng Sebagian 34 Temanggung Gambar 3.8. Peta Jenis Tanah Sebagian Temanggung 36 Gambar 3.9. Peta Agroekologi Sebagian Temanggung 42 vii

8 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Lahan bagi masyarakat merupakan faktor produksi alam yang dapat dikelola untuk menjadi sumber pendapatan mereka (Callier et al., 1979 dalam Buntoro, 1985). Namun karena sifatnya yang tidak dapat dipindah dan luasnya terbatas, menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan pertanian maupun untuk keperluan lainnya. Dalam bidang pertanian, pemanfaatan tersebut ditujukan untuk mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi bagi pemakai lahan dengan tanpa mengabaikan dampak negatif yang mungkin timbul. Oleh karena itu dalam pemanfaatan lahan diharapkan akan diperoleh nilai ekonomis yang tinggi dan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, baik sumberdaya air maupun lahan. Hal ini tersirat dalam beberapa kebijakan umum program pembangunan pertanian yang digunakan sebagai pedoman oleh dinas pertanian dalam melaksanakan kegiatannya. Kebijakan umum program pembangunan pertanian adalah mengembangkan kapasitas masyarakat pertanian agar mampu melaksanakan kegiatan ekonomi secara mandiri. Oleh karena itu strategi, kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan ditujukan untuk mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial petani agar dapat memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Beberapa kebijakan program pembangunan pertanian yang dilakukan meliputi : (a) peningkatan produktivitas, (b) perluasan areal tanam, dan (c) pengembangan agribisnis. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan meningkatkan mutu intensifikasi dengan tetap mengacu pada kelestarian lingkungan. Perluasan areal tanam ditempuh melalui peningkatan intensitas pertanaman. Pengembangan agribisnis ditempuh melalui sistem pemasaran yang berorientasi pada pasar (Dinas Pertanian Semarang, 2000). 1

9 Selama ini seringkali ditemukan ketidakakuratan dan ketidakkonsistenan data pertanian baik yang menyangkut keadaan lahan pertanian, luas lahan pertanian hingga produktivitas dan produksi tanaman petanian. Meskipun telah dilakukan kegiatan pengumpulan data secara periodik namun kegiatan verifikasi dan validasi di lapangan jarang dilakukan secara lebih teliti. Untuk dibutuhkan suatu sistem pengumpulan data spasial tanaman pertanian melalui suatu zonasi kondisi biofisik lahan yang berpengaruh pada produksi tanaman pertanian yang lebih akurat sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan lebih lanjut di bidang pertanian. Data Penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan yang real time dan kecilnya human error dibandingkan data pengamatan langsung di lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang tidak memungkinkan (Howard, 1996) Perumusan Masalah Ketersediaan data atau informasi merupakan bagian terpenting dalam membangun suatu sistem informasi pertanian yang akurat untuk mendukung perencanaan yang tepat. Dalam kaitan ini dibutuhkan suatu basis data yang tidak hanya lengkap tetapi juga mudah diakses serta didukung oleh perangkat yang handal. Mengacu pada konsep kecepatan, ketepatan, akurasi dan konsistensi data atau informasi untuk suatu kegiatan atau perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat, maka pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan SIG di bidang pertanian adalah sangat penting. 2

10 Beberapa metode pemetaan kondisi biofisik lahan pertanian telah dikembangkan menggunakan aplikasi data penginderaan jauh, metode tersebut adalah pendekatan spektral dan pendekatan spasial ekologis. Pendekatan spektral mengandalkan model-model pendekatan transformasi indeks vegetasi. Pendekatan spasial lebih bertumpu pada fenomena spasial-ekologis hasil interaksi karakteristik bentanglahan suatu wilayah dengan spesies yang dapat ( sesuai ) ditanam dan pola bercocok tanam (termasuk rotasi tanam) yang ada. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan spasial-ekologis, dan biasanya dilakukan berdasarkan hasil interpretasi visual citra melalui analisis medan (Danoedoro dkk, 1999). Berdasarkan beberapa penelitian tentang estimasi produksi yang telah dilakukan terungkap bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketelitian hasil estimasi. Secara garis besar faktor-faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor iklim, faktor kondisi fisik lahan dan faktor tanaman. Ketiga faktor tersebut merupakan komponen-komponen pembentuk agrotopoklimat/agroekologi (de Zuviria, 1992). Apabila dalam melakukan estimasi menggunakan bantuan citra penginderaan jauh maka faktor-faktor di atas masih ditambah lagi dengan faktor pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan. Selanjutnya timbul pertanyaan mendasar yaitu : (a) apakah informasi spektral pada citra penginderaan jauh yang merupakan pantulan dari obyek di permukaan bumi dapat digunakan untuk melakukan inventarisasi kondisi biofisik lahan, dan (b) bagaimana zonasi agroekologi berdasarkan komponen-komponen biofisik lahan yang ada pada wilayah penelitian untuk menyusun basis data spasial? 3

11 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dalam jangka panjang bertujuan untuk membangun suatu model untuk estimasi produksi pertanian dengan pendekatan agroekologi berdasarkan pengintegrasian citra penginderaan jauh multispektral dengan sistem informasi geografis. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Melakukan inventarisasi kondisi biofisik lahan dengan menggunakan data primer (interpretasi citra satelit multispektral) dan sekunder (peta, statistik, hasil penelitian). 2. Analisis komponen-komponen agroekologi yang ada pada wilayah penelitian dan menyusun zonasi agroekologi daerah penelitian Ruang Lingkup Penelitian ini dilaksanakan di sebagian wilayah Temanggung Propinsi Jawa Tengah yang meliput beberapa wilayah kecamatan, yaitu : Kecamatan Parakan, Kecamatan Bulu, Kecamatan Kledung, Kecamatan Bansari, Kecamatan Kedu, Kecamatan Temanggung, Kecamatan Tlogomulyo, Kecamatan Tembarak dan Kecamatan Selopampang (Gambar 1.) Wilayah Temanggung terkenal sebagai daerah penghasil tembakau nomer satu di Propinsi Jawa Tengah, oleh karena itu zonasi agroekologi yang akan dibuat di daerah penelitian juga mengacu pada kesesuaiannya untuk ditanami tembakau atau untuk memproduksi tembakau. 4

12 PETA ADMINISTRASI KABUPATEN TEMANGGUNG mt mt mu Batang Kendal Kota Semarang mu Bejen Tretep Candiroto Temanggung Gemawang Wonoboyo Ngadirejo Jumo Kedu Kandangan Kaloran Semarang Bansari Parakan Wonosobo Kledung Bulu Tlogomulyo Temanggung Kranggan Pringsurat Tembarak Selopampang mu Magelang mu mt mt U LEGENDA : Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Batas Kecamatan km PETUNJUK LETAK PETA mu mu mt Pekalongan Batang Banjarnegara Wonosobo mt Kendal Temanggung Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti Magelang mt Kota Semarang Semarang Kd mt Sumber : Peta Administrasi Temanggung skala 1 : mu mu FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Gambar 1. Daerah Peta Administrasi Temanggung 5

13 1.5. Tinjauan Pustaka Karaketristik Pantulan Obyek Vegetasi Tiap obyek di permukaan bumi mempunyai ciri tersendiri dalam menyerap, memantulkan dan meneruskan tenaga yang diterimanya. Pada panjang gelombang 0,55 µm (saluran hijau) terdapat puncak kecil karena kloroplas memantulkan sebagian besar sinar hijau yang diterimanya. Pada saluran biru (0,45 µm) dan saluran merah (0,65 µm) terjadi serapan energi oleh kloroplas yang digunakan untuk fotosintesis. Pada saluran dengan panjang gelombang lebih besar dari 0,70 µm (inframerah dekat) terjadi kenaikan pantulan yang sangat tajam, karena sinar inframerah dekat dipantulkan oleh jaringan parensima daun (spongy mesophyl). Konsep tersebut berlaku untuk vegetasi secara umum dan dalam kondisi sehat. Menurut Hoffer (dalam Swain dan Davis, 1978) pantulan daun berlapis banyak (multiple leaf layers) lebih besar 85 % dibandingkan pantulan pada daun berlapis tunggal (single leaf layers) pada saluran inframerah dekat. Penyebab lebih besarnya pantulan pada daun berlapis banyak adalah adanya tambahan sinar pantulan yang berasal dari sinar yang diteruskan oleh lapisan yang ada di bawahnya. Kerapatan daun juga mempunyai pengaruh terhadap pantulan spektral, dimana semakin rapat kanopi maka semakin luas permukaan daun yang bertindak sebagai pemantul. Pada spektrum inframerah dekat daun hijau cenderung lebih banyak memantulkan dan meneruskan energi yang diterimanya Konsep Agroekologi Konsep terpenting dalam agroekologi adalah ekosistem, dimana suatu sistem ekologi bentanglahan yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dengan adanya konsep ekosistem, maka unsur-unsur dalam lingkungan hidup tidak dipandang secara tersendiri melainkan secara terintegrasi sebagai 6

14 komponen yang berkaitan dalam suatu sistem, demikian pula dengan pertanian sebagai suatu ekosistem. Huizing (1990) mengemukakan suatu pendekatan agroekologi untuk memandang pertanian sebagai suatu sistem. Agroekologi yang menyatakan hubungan dan interaksi antara tanaman dan atau ternak dengan lahan atau lingkungannya, didefinisikannya sebagai pendekatan untuk pertanian yang mengintegrasikan ide dan konsep dari berbagai bidang yang mempelajari pertanian (agroekosistem). Sebuah agroekosistem adalah sebuah satuan penggunaan lahan termasuk di dalamnya tanaman dan atau ternak serta lahan yang mengubah energi matahari, air, hara, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia. Dalam agroekologi, konsep tersebut dipertajam menjadi hubungan timbal balik antara tanaman dan atau ternak (agro) dengan lahannya dan kondisi iklim yang mendukung pertumbuhannya (ekologi). Dengan kata lain keberadaan atau keberhasilan produksi suatu jenis tanaman pertanian sangat dipengaruhi oleh pemilihan jenis tanaman yang sesuai untuk diusahakan pada sebidang lahan yang cocok dengan didukung oleh kondisi iklim yang sesuai pula Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau gejala melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand et al., 2004). Alat yang dimaksud adalah sensor penginderaan jauh yang menerima dan merekam tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrm elektromagnetik yang mengenainya. 7

15 Untuk memperoleh data permukaan bumi dikembangkan teknologi satelit sumberdaya alam yang mulai berkembang pesat setelah diluncurkannya Satelit Landsat pada tahun Hingga saat ini terdapat banyak satelit sumberdaya yang mengorbit bumi dengan berbagai macam sensor dengan karakteristiknya masing-masing Citra Landsat 7 ETM+ Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan tujuan untuk menghasilkan data seri untuk seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan citra yang direkam dengan panjang gelombang tampak mata dan inframerah kualitas tinggi serta melanjutkan basis data Landsat yang sudah ada. Satelit ini dioperasikan bersama oleh NASA, NOAA dan USGS. Sistem Landsat 7 ETM+ dirancang untuk bekerja selama 5 tahun, dengan spesifikasi sebagai berikut : (a) sensor ETM+ memiliki jumlah saluran 8, terdiri dari 6 saluran multispektral, 1 saluran termal dan 1 saluran pankromatik (Tabel 2); (b) resolusi spasial bervariasi, 30 meter untuk saluran 1-5 dan 7, 60 meter untuk saluran 6 dan 15 meter untuk saluran pankromatik; (c) ketinggian orbit 705 km; (d) resolusi temporal 16 hari; (e) waktu lokal ; (f) inklinasi 98,2 º; (g) orbit sinkron matahari dan polar; (h) setiap sekali mengorbit memerlukan waktu 99 menit, sehingga dalam 1 hari dapat mengorbit bumi sebanyak 14 kali; (i) lebar liputan 185 km. 8

16 Tabel 1.1. Karakteristik Citra Landsat ETM+ Saluran Rentang Resolusi Karakteristik Spektral (µm) Spasial (m) 1 0,440 0, Didesain untuk penetrasi pada tubuh air, pembedaan tanah dan vegetasi, dan pemetaan jenis-jenis hutan 2 0,525 0, Merupakan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau, baik untuk pembedaan vegetasi 3 0,630 0, Beroperasi pada daerah serapan klorofil, baik untuk deteksi jalan, tanah kering dan jenis-jenis vegetasi 4 0,775 0, Saluran ini baik digunakan untuk mengukur biomasa, memisahkan tubuh air dengan vegetasi dan mengenali kelembaban tanah 5 1,550 1, Baik digunakan untuk membedakan jalan, tanah kering dan air. Juga baik untuk digunakan membedakan jenis-jenis vegetasi dan relatif tidak mengalami gangguan atmosfer 6 10,400 12, Saluran ini merekam pantulan termal obyek, baik digunakan untuk deteksi kelembaban tanah, temperatur vegetasi dan pemetaan termal 7 2,090 2, Saluran ini baik digunakan untuk pembedaan batuan dan mineral, serta interpretasi jenis-jenis tutupan vegtasi dan kelembaban tanah 8 0,520 0, Merupakan saluran pankromatik (hitam putih) untuk meningkatkan kemampuan pengenalan obyek Sumber : 20 April 2000; WIB 9

17 Landsat 7 ETM+ merekam permukaan bumi dengan 8 saluran spektral yang dimilikinya. Tujuh saluran diantaranya merupakan pengembangan dari sistem sensor yang terpasang pada Landsat generasi sebelumnya (Landsat 4 dan 5), yaitu sensor TM (Thematic Mapper) dan penambahan satu saluran baru yang berupa saluran pankromatik. Pengembangan tersebut terletak pada penajaman julat panjang gelombang dalam setiap salurannya dan peningkatan resolusi spasial untuk band 6. Saluran-saluran pada Landsat ETM+ dipilih untuk menampilkan faktor-faktor dominan yang mengontrol pantulan daun pada vegetasi, seperti pigmen daun, strukur daun dan bentuk kanopi, serta kandungan lengas daun (Tabel 1.1.) Citra ASTER Salah satu satelit sumberdaya yang masih tergolong baru dan memilki prospek yang baik untuk dikembangkan adalah Satelit Terra ASTER.ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) merupakan sensor yang dipasang pada satelit Terra yang diluncurkan 18 Desember Satelit Tera mengorbit bumi dengan orbit Sun-synchronous, ketinggian 707 km di katulistiwa, inklinasi 98.2 o dari nominal, dan resolusi temporal 16 hari. Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1. Sensor ini terdiri dari Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer(TIR), Intersected Signal Processing Unit dan Master Power Unit. VNIR merupakan high performance dan high resolution optical instrument yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level visibel hingga inframerah ( µ m) dengan 3 band. Band nomor 3 dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopis. 10

18 Tabel 1.2. Karakteristik Citra Aster Nama produk Keterangan Resolusi Level 1A Level 1B Relative Spectral Emissivity (2A02) Relative Spectral Reflectance VNIR (2A03V) Relative Spectral Reflectance SWIR (2A03S) Surface Radiance VNIR (2B01V) Surface Radiance SWIR (2B01S) Surface Radiance TIR (2B01T) Surface Reflectance VNIR (2B05V) Surface Reflectance SWIR (2B05S) Surface Temperature (2B03) Surface Emissivity (2B04) Orthographic Image (3A01) Relative DEM Z (4A01Z) Produk ini adalah data mentah langsung dari satelit. Koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik terlampir, tetapi tidak diterapkan dalam data. Produk ini tidak disesuaikan pada proyeksi peta tertentu. Produk ini hasil proses penerapan koefisien koreksi radiometrik dan geometrik yang terlampir pada data level 1A. Pada produk ini juga diterapkan metoda proyeksi peta dalam proses L1B. Dari produk ini dapat diperoleh informasi fisik seperti radiance dan temperatur dengan menggunakan nilai digital (DN) dalam data. Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched dari data ASTER TIR. Produk ini menunjukkan variasi emisi yang diperkuat (enhanced emissivity variations) yang diturunkan dari range TIR lemah. Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER VNIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations) Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER SWIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations) Sumber : Sumantyo dan Soekanto, 2003 V(15m) S(30m) T(90m) V(15m) S(30m) T(90m) Jumlah hasil observasi citra/hari m 50 15m 50 30m 50 Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER VNIR. 15m 10 Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER SWIR. 30m 10 Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER TIR. 90m 10 Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER VNIR setelah penerapan koreksi atmosfir. Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER SWIR setelah penerapan koreksi atmosfir. Produk ini berisi temperatur permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir. Produk ini berisi emisi permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir. Produk ini adalah data orthografik ASTER yang dihasilkan dari data relatif DEM (4A01), dan bebas dari distorsi geografik karena perbedaan ketinggian. Data ketinggian untuk posisi geografis pada setiap pixel juga terlampir. Produk ini diperoleh dari data ketinggian yang diturunkan dari data stereoskopik. Dimana data stereoskopik ini diperoleh dari band VNIR 3N (nadir looking) dan 3B (backward looking). 15m 10 30m 10 T(90m) 10 T(90m) 10 V(15m)+DTM S(30m)+DTM T(90m)+DTM 30 Z (30m) 30 Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data VNIR ini, sehingga data ini tidak hanya untuk peta 11

19 topografik saja, tetapi bisa juga digunakan sebagai citra stereo. SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range ( µ m). Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif.tir adalah high accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation ( µ m) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Multi-band thermal infrared sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90m (Sumantyo dan Soekanto, 2003). Karakteristik citra aster disajikan pada tabel Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) yang diterjemahkan dari geographical information system (GIS) adalah sebah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data; yang mana data tersebut secara keruangan terkait dengan muka bumi. Untuk dapat mengoperasikan sistem ini dibutuhkan perangkat lunak dan keras. Perangkat lunak dalam hal ini adalah program komputer yang sesuai untuk tujuan di atas, sedangkan perangkat keras adalah sistem komputer yang sesuai untuk pengoperasian perangkat lunaknya (Suharyadi dan Danoedoro, 2004). Fasilitas perangkat lunak SIG digital pada dasarnya dapat dirinci menjadi 3 sub-sistem yang saling terkait, yaitu : (a) sub-sistem pemasukan data, (b) sub-sistem pemrosesan data dan (c) sub-sistem output data. Sementara itu, Chang (2002) membagi SIG ke dalam komponenkomponen berikut : (a) sistem komputer meliputi perangkat keras dan 12

20 sistem operasinya, (b) perangkat lunak SIG yang meliputi program dan user interface untuk mengendalikan perangkat keras, (c) brainware untuk pengendalian aspek tujuan, alasan, manfaat dan justifikasi penggunaan SIG, (d) infrastruktur yang mencakup lingkungan fisik, organisasi, administratif, serta kultur untuk mendukung operasi SIG, yang juga meliputi ketrampilan, standardisasi, data clearinghouse, serta pola organisasi. Salah satu isyu utama dalam SIG ialah pemodelan spasial. Pemodelan spasial digunakan untuk memodelkan dunia nyata (real world), dan hal ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau kewilayahan. Pada pemodelan ini, berbagai variabel harus dikenali terlebih dahulu kemudian dipetakan secara digital dan disesuaikan sistem proyeksi maupun koordinatnya, dengan melibatkan aspek-aspek resolusi dan sistem kalsifikasinya (kalau ada). Pemilihan model data raster atau vektor dalam suatu pemodelan berbasis SIG bukan sekedar dilandasi oleh pertimbangan mudah-tidaknya pengoperasian, melainkan juga efektiftidaknya model dan struktur data itu dalam proses dan hasil pemodelannya (Suharyadi dan Danoedoro, 2004) Penelitian Yang Berkaitan Ormsby et al., (1987) melakukan simulasi pada data digital Landsat MSS untuk mengetahui hubungan atau pengaruh kerapatan vegetasi terhadap nilai kecerahan pada citra penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah citra MSS saluran 4 dan saluran 2. Data tersebut dimanipulasi ke dalam bentuk transformasi NDVI {(saluran 4 saluran 2)/(saluran 4 + saluran 2)} dan SR (saluran 4/saluran 2), selanjutnya digunakan sebagai indikator penentuan wilayah bervegetasi dan tidak bervegetasi serta kerapatannya. Data vegetasi diperoleh melalui pendekatan besarnya sinar yang dipantulkan oleh vegetasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan antara NDVI dan SR dengan 13

21 liputan vegetasi. Nilai NDVI kurang dari 0,3 menunjukkan wilayah bervegetasi kurang dari 5 %, sedangkan nilai NDVI lebih dari 0,7 menunjukkan wilayah bervegetasi dengan kerapatan lebih fdari 80 %. Danoedoro (1993) mengemukakan bahwa meskipun metode pemetaan penggunaan lahan yang menggunakan algoritma klasifikasi multispektral dikembangkan melalui pendekatan statistik yang mapan, tetapi ada satu hal yang diabaikan yaitu distribusi fenomena geografis di permukaan bumi tidaklaha bersifat acak. Distribusi tersebut mengikuti suatu pola ekologi-spasial yang seringkali tidak dapat dijelaskan sematamata melalui pendekatan statistik non-spasial. Penggunaan lahan yang ada pada dasarnya dipengaruhi oleh bentanglahannya dan intervensi manusia terhadap lingkungannya, sehingga informasi penggunaan lahan sebaiknya dikaitkan dengan informasi spasial yang sesuai, seperti tanah, lereng, elevasi, curah hujan dan sebagainya. Agar informasi spasial spasial yang diperlukan tersebut dapat dikaitkan dengan informasi penggunaan lahan, maka data-data tersebut disusun sebagai knowledgebased dengan mengekspresikan suatu aturan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam SIG. Murti (1997) melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengestimasi besarnya produksi daun tembakau berdasarkan analisis digital citra Landsat TM dengan metode transformasi indeks vegetasi dan integrasi klasifikasi multispektral dengan SIG melalui pendekatan ekologi bentang lahan. Parameter fisik lahan yang digunakan sebagai nindikator dalam penentukan zone produksi tembakau adalah komponen agrotopklimat yang meliputi bentuklahan, tekstur tanah, kemiringan lereng, ketinggian tempat, rotasi tanam, dan tumpangsari tanaman. Hasil penelitian menunjukkan : (i) untuk metode transformasi indeks vegetasi tidak terdapat hubungan yang kuat antara nilai spektral dengan produksi daun tembakau meskipun data yang ada telah dipecah ke dalam katagori arah kemiringan lereng dan keseragaman vegetasi, (ii) untuk metode 14

22 integrasi klasifikasi multispektral dengan SIG diperoleh hasil estimasi produksi daun tembakau dengan tingkat ketelitian 96,75 % Kerangka Pemikiran Sebagai salah satu negara agraris terkemuka di dunia yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam sangat potensial, Indonesia sudah sewajarnya harus mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya, karena pangan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam. Untuk mencukupi kebutuhan pangan tersebut diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat memperkuat struktur sektor pertanian. Dalam menyusun kebijakan-kebijakan tersebut diperlukan berbagai macam data pendukung, diantaranya adalah data kondisi biofisik lahan yang diwujudkan dalam zone agroekologi. Beberapa metode pemetaan agroekologi telah dikembangkan menggunakan aplikasi data penginderaan jauh, metode tersebut adalah interpretasi citra penginderaan jauh menggunakan pendekatan spasial ekologis Pendekatan spasial lebih bertumpu pada fenomena spasialekologis hasil interaksi karakteristik bentanglahan suatu wilayah dengan spesies yang dapat ( sesuai ) ditanam dan pola bercocok tanam (termasuk rotasi tanam) yang ada, sehingga produktivitas lahan pada berbagai macam kondisi lahan dapat diketahui. Selain informasi yang diperoleh dari citra dan data sekunder melalui pendekatan-pendekatan di atas, diperlukan pula data tanah, data curah hujan, data ketinggian tempat dan data produktivitas lahan untuk tanaman tembakau pada titik-titik sampel terpilih. Pemilihan sampel lapangan menggunakan metode statified samplingsesuai dengan jumlah unit lahan yang terbentuk. 15

23 Bab II Metode Penelitian 2.1. Bahan dan Alat Sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini dimanfaatkan data penginderaan jauh untuk ekstraksi berbagai informasi tentang kondisi permukaan bumi dan karakteristiknya, ditunjang dengan berbagai data karakteristik biofisik, berbagai macam data peta, data sosial ekonomi dan berbagai data penunjang lain sebagai data input Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Citra ASTER Level 1B tanggal Perekaman23 Juni 2004 daerah Temanggung dan sekitarnya dari LAPAN. - Citra Landsat ETM+ tanggal perekaman 21 Agustus 2002 daerah Temanggung dan sekitarnya dari LAPAN. - Peta Rupabumi Indonesia Skala 1 : Lembar Temanggung dari Bakosurtanal - Data Curah Hujan dari tahun dari BMG Jawa Tengah - Peta Tanah Tinjau Skala 1 : daerah Jawa Tengah dari Puslitanak Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Seperangkat Komputer PC AT Pentium 4 dengan monitor warna 17 resolusi tinggi - Perangkat lunak ENVI 4.0 untuk mengolah citra ASTER - Perangkat lunak ARC-View 3.3. untuk mengolah data spasial - Daftar Isian Lapangan untuk perolehan data lapangan 16

24 2.2. Tahapan Penelitian Untuk memperlancar jalannya penelitian, disusun tahapan-tahapan penelitian secara sistematik yang terbagi dalam tiga bagian, yaitu tahap persiapan, tahap interpretasi citra penginderaan jauh dan tahap analisa data Persiapan Pada tahap ini dilakukan kegiatan inventarisasi data untuk mengumpulkan informasi tentang Citra ASTER dan peta-peta terkait yang tersedia untuk daerah Temanggung dan sekitarnya sebagai daerah penelitian. Informasi tentang keberadaan citra ASTER diperoleh dari LAPAN, data curah hujan dari BMG, peta tanah dari Puslitanak dan petarbi dari Bakosurtanal. Selain itu dilakukan pula studi pustaka untuk menentukan variabel-variabel penyusun zone agroekologi dan metode penyusunannya Interpretasi Citra Penginderaan Jauh Citra penginderaan jauh yang digunakan ini merupakan data raster dalam produk digital dan hardcopy. Data hardcopy ini diperoleh berdasarkan hasil analisis citra digital setelah melewati proses kalibrasi (koreksi radiometrik dan geometrik) dan analisis interaktif untuk pemilihan citra input terbaik sebagai data acuan dalam proses kerja ekstraksi informasi. Dalam penelitian ini diupayakan pembentukan berbagai citra paduan warna (color composit) dan dievaluasi untuk keperluan interpretasi visual. Interpretasi visual yang dilakukan pada citra ASTER dan Landsat 7 ETM+ ini adalah untuk menurunkan informasi bentuklahan daerah penelitian. Selain itu citra ini juga digunakan untuk mendetilkan peta tanah skala tinjau yang mempunyai skala 1 : ke dalam skala 1 : yang digunakan dalam penelitian ini, terutama untuk memperbaiki batas 17

25 peta tanah yang sudah ada. Fungsi berikutnya dari citra ini adalah untuk membantu menentukan batas variabel ketinggian yang akan digunakan berdasarkan kenampakan visual obyek penutup lahan yang tampak pada citra Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis variabel penelitian yang berisi seluruh informasi yang ditetapkan sebagai parameter pembatas tingkat potensi suatu kawasan untuk tujuan pengembangan kegiatan pertanian tertentu dalam hal ini adalah tanaman tembakau. Parameter yang dipersyaratkan antara lain: Kemiringan Lereng Bentuklahan Tanah Curah Hujan Ketinggian Dalam penyusunan zonasi agroekologi digunakan teknik overlay antara semua variabel tersebut untuk menysun satuan lahan/unit analisis yang selanjutnya akan dilakukan analisis berdasarkan hasil survei lapangan untuk mendapatkan zone agoekologi daerah penelitian. Klasifikasi data yang digunakan untuk setiap variabel penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 2.1. Klasifikasi Bentuklahan Kelas Bentuklahan Kode Bentuklahan Lereng atas volkan B1 Lereng tengah volkan B2 Lereng bawah volkan B3 Lereng kaki volkan B4 Boka B5 Perbukitan terkikis B6 18

26 Tabel 2.2. Klasifikasi Curah Hujan Kelas Curah Hujan Kode Curah Hujan < 2500 mm/th H mm/th H2 > 3500 mm/th H3 Tabel 2.3. Klasifikasi Ketinggian Kelas Ketinggian Kode Ketinggian <700 mdpal K mdpal K2 > 1100 mdpal K3 Tabel 2.4. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kelas Kemiringan Lereng Kode Kemiringan Lereng < 8 % L % L % L % L4 > 40 % L5 Tabel 2.5. Klasifikasi Tanah Kelas Jenis Tanah Kode Jenis Tanah Kompleks regosol dan litosol T1 Kompleks regosol kelabu dan latosol T2 Latosol coklat T3 19

27 Bab III Zonasi Agroekologi Sebagian Wilayah Temanggung 3.1. Pengolahan Citra ASTER Citra ASTER yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 24 Juni 2004 dengan level data 1B atau data telah mengalami proses koreksi radiometrik dan geometrik standar. Namun dalam penelitian ini dilakukan koreksi radiometrik dan geometrik ulang untuk mendapatkan citra yang lebih baik dengan presisi yang tinggi supaya nantinya dapat diintegrasikan dengan peta-peta tematik lain yang dipakai dalam penelitian ini denganbaik dan tepat. Setelah pemrosesan awal selesai dilakukan, maka selanjutnya diproses untuk membuat citra komposit warna yang akan digunakan untuk interpretasi bentuklahan dan pengamatan kondisi medan lainnya. Meskipun Citra ASTER terdiri dari tiga macam sensor, yaitu VNIR, SWIR dan TIR, namun dalam penelitian ini hanya digunakan citra yanng direkam dengan sensor VNIR saja yang terdiri dari tiga macam panjang gelombang, yaitu hijau, merah dan inframerah dekat. Oleh karena itu citra komposit wana yang dapat dibuat dari kombinasi ketiga panjang gelombang tersebut adalah gabungan 321 (inframerah dekat-merah-hijau) yang merupakan citra komposit warna semu standar. Pada citra tersebut obyek vegetasi akan berwarna merah, obyek ar akan berwana gelap (biru gelap-hitam), dan tanah terbuka/bangunan akan berwarna kehijauan. Pada citra yang digunakan (gambar 3.1.) tampak bahwa sebagian besar daerah penelitian tampak dengan warna merah, yang berarti bahwa tutupan vegetasi mendominasi daerah penelitian. Pada lereng atas G. Sundoro dan G. Sumbing tampak warna merah yang ada cenderung gelap, hal ini menandakan bahwa tutupan vegetasinya cukup lebat dan diperkirakan daerah itu masih berupa hutan. Selain di lereng atas, 20

28 kenamapak merah gelap juga terdapat di bagian bawah daerah penelitian yang diidentifikasi sebagai hutan/kebun campuran yang berada di daerah perbukitan. Di bawah daerah hutan tersebut warna merah yang ada sudah semakin cerah dan diselingi oleh warna hijau pucat yang menandakan bahwa tutupan vegetasi yang ada sudah tidak begitu rapat dan diantaranya terdapat tanah-tanah terbuka. Berdasarkan hal ini dapat diidentifikasi bahwa daerah tersebut merupakan lahan pertanian, dimana pada bagian yang berwarna merah merupakan lahan pertanian yang ada tanamannya, sedangkan pada daerah yang berwarna hijau pucat merupakan lahan pertanian yang belum ada tanamannya atau kalaupun sudah ada tanamannya namun masih muda/kecil. Untuk obyek yang berwarna hijau tua dengan ukuran yang cukup besar dapat diidentifikasi sebagai lahan terbangun. Kenampakan fisiografi lahan di daerah penelitian cukup baik pada citra ini. Kenampakan kerapatan aliran, pola aliran, perbedaan tinggi dan kesan tiga dimensi yang dapat ditangkap akan sangat membantu dalam proses interpretasi bentuklahan yang akan dilakukan berdasarkan citra ini. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam interpretasi bentuklahan di daerah penelitian, selain menggunakan citra ASTER juga akan digunakan citra Landsat 7 ETM+. Penggunaan citra Lndsat 7 ETM+ tersebut disebabkan oleh karean citra ini sudah teruji dan terbukti dapat digunakan untuk pemetaan bentuklahan dengan hasil yang baik dan ketelitian cukup tinggi. 21

29 Gambar 3.1. Citra Komposit 321 ASTER Sebagian Temanggung 22

30 Landsat ETM+ Seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya, selain digunakan citra ASTER dalam penelitian ini digunakan pula citra Landsat 7 ETM+. Citra Landsat 7 ETM+ yang digunakan dalam penelitian ini direkam pada tanggal 21 Agustus 2002 dengan level data 1G. Level data tersebut menunjukkan bahwa citra ini juga sudah mengalami koreksi radiometrik dan koreksi geometrik secara sistematik. Seperti juga dilakukan pada citra ASTER, maka untuk meningkatkan kualitas citra Landsat 7 ETM+ ini juga dilakukan pemrosesan awal citra yang berisi koreksi radiomettrik pengaruh atmosfer dan koreksi geometrik berdasarkan peta rupabumi dengan teknik koreksi disesuaikan dengan kondisi daerah penelitian yang bergunung. Setelah pemrosesan awal citra selesai dikerjakan, maka disusun cittra komposit warna pada citra ini. Karena jumlah panjang gelombang visibel dan inframerah dekat pada citra ini lebih bervariasi dibandingkan citra ASTER, yaitu dengan adanya panjang gelombang biru, maka cittra komposit warna yang dapat dibuat juga lebih bervariasi. Oleh karena itu pada citra ini dibuat dua buah citra komposit, yaitu citra komposit warna sebenarnya yang merupakan gabungan dari panjang gelombang merahhijau-biru (gambar 3.2.) dan citra komposit warna semu standar yang merupakan gabungan dari panjang gelombang inframerah dekat-merahhijau (gambar 3.3.). Sejarah pemanfaaan citra Landsat di dunia maupun di Indonesia sudah cukup panjang dengan aplikasi yang sangat beragam, oleh karena itu dalam penelitian ini citra Landsat digunakan sebagai pendamping citra ASTER untuk interpretasi bentuklahan. Meskipun citra Landsat memiliki resolusi spasial leboh rendah daripada citra ASTER namun dari sisi kualitas radiometrik citra Landsat lebih baik dibanding citra ASTER. 23

31 Gambar 3.2. Citra Komposit 321 Landsat 7 ETM+ Temanggung 24

32 Gambar 3.3. Citra Komposit 432 Landsat 7 ETM+ Temanggung 25

33 3.2. Pemetaan Variabel-variabel Agroekologi Sebagai langkah awal untuk menyusun peta agroekologi daerah penelitian dilakukan pemetaan variabel-variabel penelitian yang meliputi peta bentuklahan, peta curah hujan, peta kemiringan lereng, peta ketinggian tempat dan peta jenis tanah menggunakan citra penginderaan jauh dan data-data sekunder lainnya Pemetaan Bentuklahan Daerah penelitian terletak di antara G. Sundoro dan G. Sumbing yang secara administratif masuk di Temanggung. Lokasi daerah penelitian yang terletak diantara dua gunung berapi tersebut menyebabkan bentuklahan yang muncul di daerah tersebut didominasi oleh bentuklahan asal volkanik. Berdasarkan hasil interpretasi terhadap citra ASTER dan citra Landsat 7 ETM+ diperoleh hasil bahwa di daerah penelitian terdapat enam bentuklahan, yaitu lereng atas volkan, lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, lereng kaki volkan, boka dan perbukitan terkikis. Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi bentuklahan untuk skala 1 : , sehingga tidak begitu detil. Di daerah penelitian, bentuklahan lereng kaki volkan merupakan daerah terluas dengan luas mencapai 9825,156 Ha yang terdapat mulai dari wilayah Kecamatan Parakan, Kedu, Bulu, Temanggung, Tlogomulyo, Tembarak hingga Kecamatan Selopampang. Urutan bentuklahan berikutnya berdasarkan luasannya adalah bentuklahan lereng tengah volkan dengan luas 7091,697 Ha, lereng bawah volkan dengan luas 6862,548 Ha, boka dengan luas 1405,209 Ha, lereng atas volkan dengan luas 1302,110 Ha dan terakhir adalah perbukitan terkikis dengan luas 53,672 Ha yang terdapat di wilayah Kecamatan Temanggung (Tabel 3.1.). 26

34 Tabel 3.1. Bentuklahan Daerah Penelitian Kelas Bentuklahan Kode BL Luas (Ha) Lereng atas volkan B1 1302,110 Lereng tengah volkan B2 7091,697 Lereng bawah volkan B3 6862,548 Lereng kaki volkan B4 9825,156 Boka B5 1405,209 Perbukitan terkikis B6 53,672 Berdasarkan kajian wilayah terhadap bentuklahan yang ada, Kecamatan Bulu, Tlogomulyo, Tembarak dan Selopampang memiliki bentuklahan sangat bervariasi, yaitu mulai dari lereng atas volkan, lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, sampai dengan lereng kaki volkan. Kecamatan Parakan juga memilki empat bentuklahan, yaitu lereng tengah volkan, lereng bawah volkan, lereng kaki volkan, dan boka. Untuk Kecamatan Bansari dan Kledung hanya memiliki tiga bentuklahan, yaitu lereng atas volkan, lereng tengah volkan dan lereng bawah volkan. Kecamatan Temanggung memiliki juga tiga bentuklahan yang terdiri dari lereng kaki volkan, boka dan perbukitan terkikis, sedangkan Kecamatan Kedu merupakan kecamatan yang paling sedikit variasi bentuklahannya, yaitu hanya terdiri dari lereng kaki volkan dan boka. Secara lebih lengkap distribusi spasial dari hasil pemetaan bentuklahan di daeah penelitian disajikan pada gambar

35 PETA BENTUKLAHAN SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG mt mt Wonoboyo Jumo mu Ngadirejo KABUPATEN TEMANGGUNG Kandangan mu Kedu Bansari Parakan Bulu Temanggung Kledung Tlogomulyo Tembarak mu KABUPATEN WONOSOBO Selopampang mu KABUPATEN MAGELANG mu mt U km PETUNJUK LETAK PETA mt Batang mu Kendal mt mu LEGENDA : Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Batas Kecamatan Bentuklahan Boka Lereng atas volkan Lereng tengah volkan Lereng bawah volkan Lereng kaki volkan Perbukitan terkikis mu Banjarnegara Wonosobo mt Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti Temanggung Magelang Sumber : 1. Interpretasi Citra Landsat 7 ETM+ Perekaman 21 Agustus Survei lapangan September 2008 Semarang K mu mt FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Gambar 3.4. Peta Bentuklahan Sebagian Temanggung 28

36 Pemetaan Curah Hujan Pemetaan curah hujan dilakukan menggunakan data hujan selama sepuluh tahun mulai dari tahun 1993 sampai dengan Meskipun data yang digunakan tergolong data lama, namun dipandang masih dapat mewakili kondisi yang ada di daerah penelitian. Untuk memperoleh data yang lebih baru merupakan hal yang cukup menyulitkan bagi penulis, karena meskipun data tersedia dan ada di BMG namun harga data hujan sangat mahal pada saat ini (kurang lebih Rp. 500,;/stasiun/bulan). Berdasarkan analisis terhadap data hujan dikaitkan dengan tabel kesesuaian tanaman tembakau yang mensyaratkan tanaman ini tidak menghendaki hujan yang dangat banyak ataupun sangat sedikit, maka dibuat tiga kelas curah hujan, yaitu kurang dari 2500 mm/tahun, mm/tahun dan di atas 3500 mm/tahun. Tabel 3.2. Curah Hujan Daerah Penelitian Kelas Curah Hujan Kode CH Luas (Ha) < 2500 mm/tahun H1 7981, mm/tahun H ,022 > 3500 mm/tahun H3 4014,176 Berdasarkan tabel 3.2. dapat diketahui bahwa sebagaian besar daerah penelitian memiliki curah hujan antara mm/tahun dengan luas mencapai 14551,022 Ha yang tersebar di seluruh wilayah penelitian. Berikutnya adalah curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun dengan luas 7981,468 Ha yang terdapat di bagian tengah daerah penelitian dan terakhir adalah curah hujan lebih dari 3500 mm/tahun yang terdapat di wilayah lereng atas G. Sundoro dan G. Sumbing. Distribusi spasial curah hujan di daerah penelitian disajikan pada Peta Curah Hujan Sebagian Temanggung (gambar 3.5). 29

37 PETA CURAH HUJAN SEBAGIAN KABUPATEN TEMANGGUNG mt mt Wonoboyo Jumo mu Ngadirejo KABUPATEN TEMANGGUNG Kandangan mu Kedu Bansari Parakan Bulu Temanggung Kledung Tlogomulyo Tembarak mu KABUPATEN WONOSOBO Selopampang mu KABUPATEN MAGELANG mu mt U km PETUNJUK LETAK PETA mt Batang mu Kendal mt mu LEGENDA : Sungai Jalan Nasional Jalan Kolektor Jalan Lokal Rel Kereta Api Batas Batas Kecamatan Curah Hujan < 2500 mm/tahun mm/tahun > 3500 mm/tahun mu Banjarnegara Wonosobo mt Dibuat Oleh : Sigit Heru Murti Temanggung Magelang Semarang Sumber : 1. Analisa Data Hujan Tahun Survei lapangan September 2008 K mu mt FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Gambar 3.5. Peta Curah Hujan Sebagian Temanggung 30

38 Pemetaan Ketinggian Tempat Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman tembakau. Semakin dingin suatu tempat akan semakin baik untuk pertumbuhan tembakau, oleh karena itu semakin tinggi suatu wilayah akan semakin baik pula karena akan semakin dingin temperatur udaranya. Selain berdasarkan pada kesesuaian untuk tanaman digunakan pula pengamatan kondisi medan pada citra untuk menentukan dasar pembagian ketinggian tempat ini. Dari hasil analisis citra dapat dilihat bahwa kurang dari ketinggian 700 meter kemiringan lereng mulai datar, hal ini tidak begitu baik untuk tanaman tembakau yang tidak menghendaki air dapat menggenang. Berdasarkan kesesuaiannya, ketinggian tempat dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu ketinggian kurang dari 700 mdpal, ketinggian antara 700 sampai dengan 1100 mdpal dan ketinggian lebih dari 1100 mdpal. Tabel 3.3. Ketinggian Tempat Daerah Penelitian Kode Kelas Ketinggian Ketinggian Luas (Ha) < 700 mdpal K1 4996, mdpal K ,462 >1100 mdpal K3 7959,283 Berdasarkan tabel 3.3 dan peta 3.6. dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah penelitian memiliki ketinggian antara 700 sampai dengan 1100 mdpal dengan luas 13590,462 Ha yang terdapat di tengah daerah penelitian. Selanjutnya adalah adalah daerah yang terdapat pada ketinggian lebih dari 1100 mdpal dengan luas 7959,283 Ha yang terdapat di wilayah lereng atas dan lereng tengah G. Sundoro dan G. Sumbing, serta terakhir adalah daerah yang memiliki ketinggian kurang dari 700 mdpal yang terdapat di bagian bawah daerah penelitian di sekitar Kecamatan Kedu, Temanggung, Tembarak dan Selopampang. 31

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM

LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM LETAK GEOGRAFIS DAN KEADAAN ALAM PETA WILAYAH KABUPATEN TEMANGGUNG Temanggung Dalam Angka Tahun 2011 1 LETAK GEOGRAFI Kabupaten Temanggung terletak antara : 110 o 23' - 110 o 46'30" Bujur Timur 7 o 14'

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 41 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas Wilayah dan Pemanfaatan Lahan Kabupaten Temanggung secara geografis terletak antara garis 110 0 23-110 0 00 30 Bujur Timur dan antara garis 07 0 10-07

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENENTUKAN LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN PERMUKIMAN

PEMANFAATAN CITRA ASTER DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENENTUKAN LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN PERMUKIMAN PEMANFAATAN CITRA ASTER DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK MENENTUKAN LOKASI POTENSIAL PENGEMBANGAN PERMUKIMAN (di sebagiankabupaten Magelang, Jawa Tengah) Iswardani Puspitarini rini.int@gmail.com Retnadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO PUSPICS/Departemen Sains Informasi Geografis, Fakultas Geografi UGM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti

Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : Ninda Fitri Yulianti Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra Khursanul Munibah Asisten : 1. Muh. Tufiq Wiguna (A14120059) 2. Triawan Wicaksono H (A14120060) 3. Darwin (A14120091) ANALISIS SPEKTRAL Ninda Fitri Yulianti A14150046

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci

hari atau rata-rata 10,33 hari/bulan. hutan, perkebunan dan lahan lainnya. atas sebagaimana tergambar pada tabel 2.9.

hari atau rata-rata 10,33 hari/bulan. hutan, perkebunan dan lahan lainnya. atas sebagaimana tergambar pada tabel 2.9. Januari sampai dengan Desember 2013 adalah sebanyak 124 hari atau rata-rata 10,33 hari/bulan. g. Penggunaan Dilihat dari jenis penggunaan lahan kawasan budidaya terdiri dari penggunaan untuk sawah, permukiman/

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) Oleh: Tri Mulyadi 134130071 Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pada saat ini teknologi penginderaan jauh (PJ) telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya jenis wahana, sensor dan

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci