ICASERD WORKING PAPER No.16
|
|
- Ratna Indradjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ICASERD WORKING PAPER No.16 KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI Masdjidin Siregar September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
2 ICASERD WORKING PAPER No.16 KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI Masdjidin Siregar September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp , Fax , E-mai : caser@indosat.net.id No. Dok.027/16/2/03
3 KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN DAYA SAING KOMODITAS KEDELAI 1 Masdjidin Siregar Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl A. Yani No.70 Bogor ABSTRACT This objective of this paper is to review soybean trade policy and competitiveness of soybean. Trade policies in the past consisted of (i) floor price, (ii) import tariff, (iii) import volume, and (iv) import price for domestic users. The major objective of the trade policies is to stabilize domestic soybean price at particular levels that would encourage soybean growers to increase production. Among the four policies, only import volume and import price policies can be effective to attain the policy objective. Such policies, however, cannot be implemented in free trade era. The government should not intervene in local soybean marketing since the marketing efficiency has been relatively high. The marketing efficiency can only be raised by improving infrastructure, market information, and other supporting policies such as credits for small traders and farmers. Although soybean has no comparative advantage, it is still financially competitive if the exchange rate at least decreases by 9,2 percent (from Rp.8500/US $), or border price of soybean (CIF) at least increases by 8,5 percent (from US $ 244 / ton), or soybean yield at least increases by 27,4 percent (from 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Key words : trade policy, competitiveness, and efficiency. ABSTRAK Tujuan makalah ini adalah untuk mereview perubahan kebijakan perdagangan kedelai dan daya saing kedelai. Kebijakan tersebut terdiri dari (i) penetapan harga dasar, (ii) penetapan tarif impor, (iii) pengaturan volume impor dan (iv) penetapan harga kedelai impor untuk pengguna di dalam negeri. Dari keempat instrumen kebijakan tersebut ternyata hanya kebijakan pengaturan volume impor dan penetapan harga jual kedelai impor yang efektif dalam upaya menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang memberi insentif kepada petani. Tapi kedua kebijakan itu nampaknya tidak dapat lagi dipertahankan dalam menghadapi liberalisasi perdagangan. Campur tangan dalam pemasaran kedelai lokal juga sebaiknya tidak dilakukan karena efisiensi pemasaran kedelai sudah relatif tinggi. Efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan dengan perbaikan prasarana, penyebaran informasi pasar dan sarana penunjang lainnya seperti pemberian kredit kepada petani dan pedagang kecil. Meskipun kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif, komoditas kedelai masih mempunyai daya saing finansial kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen (dari Rp.8500/US $), atau harga perbatasan kedelai (CIF) naik 8,5 persen (dari US$244/ton), atau produktivitas kedelai ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen (dari 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Kata kunci : kebijakan perdagangan, dayasaing, dan efisiensi. 1 Makalah ini merupakan pengembangan dari Siregar (2003) yang dimuat dalam SOCA, Vol.3 No
4 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap kedelai berupa hasil olahan (seperti tempe, tahu, tauco dan kecap) dan bahan baku pakan ternak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. tidak saja karena pertambahan penduduk, tetapi juga karena peningkatan konsumsi perkapita dan pertumbuhan peternakan unggas. Sebagai contoh, konsumsi kedelai per kapita meningkat dari 3,5 kg pada tahun 1970-an menjadi 22,2 kg pada tahun Ini berarti bahwa peningkatan konsumsi kedelai meningkat sekitar 160 persen dalam periode waktu 13 tahun (Amang dan Sawit, 1996). Konsumsi tempe dan tahu meningkat lebih cepat jika dibandingkan dengan konsumsi produk-produk kedelai lainnya. Karena peningkatan konsumsi kedelai yang begitu pesat dan tidak dapat diimbangi oleh peningkatan produksi kedelai di dalam negeri, maka kesenjangan antara konsumsi dan produksi semakin melebar. Kesenjangan itu ditutup dengan kedelai impor yang banyak menyita devisa. Amang dan Sawit (1996) menyatakan bahwa impor kedelai dan bungkil kedelai pada tahun 1994 saja mencapai US$242 juta atau 30 persen dari nilai impor biji-bijian, sementara pertumbuhan impor kedelai dan bungkil kedelai mencapai 12 persen per tahun. Upaya memperkecil kesenjangan antara produksi dan konsumsi kedelai tersebut sebenarnya dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu meningkatkan produksi dalam negeri atau mensubstitusi kedelai dengan produk pertanian lainnya seperti ikan. Tetapi kemungkinan mensubstitusi tempe dan tahu dengan ikan, misalnya, agaknya masih kecil sepanjang harga ikan masih jauh lebih tinggi dari harga tempe dan tahu. Untuk jangka waktu yang relatif lama kedepan, satu-satunya cara untuk mengurangi kesenjangan itu hanya dengan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Upaya peningkatan produksi kedelai di Indonesia telah banyak dilakukan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Tetapi kebanyakan lahan yang digunakan untuk tanaman kedelai juga dipergunakan untuk tanaman pangan lainnya seperti jagung dan padi yang produksinya juga perlu ditingkatkan karena kesenjangan antara produksi dan konsumsi di dalam negeri juga terjadi pada komoditas jagung dan padi. Karena itu kajian yang lebih memperkaya pengetahuan tentang berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menanam kedelai atau tanaman lainnya sangat diperlukan bagi penentuan kebijakan. Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan suatu komoditas pertanian yang perlu diperhatikan adalah libelarisasi perdagangan yang memberikan 2
5 peluang dan tantangan baru. Liberalisasi perdagangan memberikan peluang baru karena pasar semakin luas sejalan dengan penghapusan berbagai hambatan perdagangan antar negara. Tetapi liberalisasi perdagangan juga akan menimbulkan masalah baru kalau komoditas yang dihasilkan tidak mampu bersaing di pasar dunia. Keberhasilan pengembangan komoditas di suatu wilayah antara lain tergantung pada kemampuan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya. Karena itu maka seperangkat data dan informasi dari hasil penelitian yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat dibutuhkan. Tujuan makalah ini adalah untuk mereview perubahan kebijakan perdagangan kedelai dan daya saing kedelai. Kebijakan tersebut terdiri dari (i) penetapan harga dasar, (ii) penetapan tarif impor, (iii) pengaturan volume impor dan (iv) penetapan harga kedelai impor untuk pengguna di dalam negeri. DINAMIKA KEBIJAKAN Instrumen Kebijaksanaan Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan komoditas pertanian. Meskipun istilah perdagangan (trade) lebih sering diartikan sebagai perdagangan antar negara, namun kebijakan perdagangan (trade policy) tidak terlepas dari kebijakan produksi dan pemasaran dalam negeri. Di samping itu, kebijakan perdagangan juga berkaitan erat dengan kebijakan harga karena harga sering menjadi sasaran penting dari kebijakan perdagangan. Tujuan kebijakan perdagangan komoditas pertanian dapat berbeda-beda tergantung pada jenis komoditasnya. Kebijakan tarif impor atau hambatan-hambatan nontarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas substitusi impor. Sebaliknya, kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Kebijakan perdagangan dalam negeri biasanya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran komoditas antar daerah. Kebijakan harga terhadap komoditas pertanian umumnya bertujuan sebagai berikut: (i) meningkatkan harga domestik, pendapatan petani dan pemerataan pendapatan; (ii) menstabilkan harga dan mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri; (iii) meningkatkan swasembada sehingga mengurangi ketergantungan pada impor; (iv) menghemat devisa dan memperbaiki neraca pembayaran; (v) menjaga kestabilan politik; dan (vi) memperbaiki alokasi sumberdaya domestik sehingga dicapai pertumbuhan 3
6 ekonomi secara efisien (lihat Tomek dan Robinson, 1972; Timmer, Falcon dan Pearson, 1983). Sejak Pelita I pemerintah menggunakan berbagai instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berbagai kebijakan mengalami perkembangan dan telah berdampak terhadap keragaan ekonomi berbagai komoditas pertanian. Untuk komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, tarif, volume impor, dan stabilisasi harga dalam negeri. Karena itu fokus pambahasan selanjutnya lebih ditekankan pada keempat aspek tersebut. Kebijakan Harga Dasar Kebijakan harga dasar kedelai dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991 dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali untuk tahun 1991 yang ditetapkan sebulan lebih awal. Seperti terlihat pada Tabel 1, harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp.210 per kg dan berakhir pada tingkat Rp.500 per kg selama kurun waktu 12 tahun tersebut. Meskipun nilai nominal harga dasar kedelai meningkat, namun nisbah (ratio) harga dasar kedelai terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) hanya meningkat selama tiga tahun pertama, yaitu dari 2,47 sampai 2,57. Kemudian nilai nisbah tersebut menurun sampai 1,43 pada tahun 1987, tapi setelah itu kecenderungannya menjadi tidak jelas sampai tahun Gambaran nisbah harga dasar kedelai terhadap harga GKG tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah pada mulanya lebih berpihak pada pengembangan kedelai jika dibandingkan dengan padi, tapi kemudian lebih memihak kepada padi dan akhirnya kecenderungannya tidak jelas. Perubahan kecenderungan tersebut nampaknya menggambarkan perubahan perhatian pemerintah terhadap kedelai atau padi dari tahun ke tahun. Tetapi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga di tingkat petani memperlihatkan bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak menguntungkan petani. Seperti terlihat pada Tabel.1, nisbah harga dasar kedelai terhadap harga produsen dalam tiga tahun pertama cenderung naik tapi masih lebih kecil dari satu dan kemudian bahkan cenderung menurun sampai mencapai 0,51 pada tahun Nisbah yang kecil ini menggambarkan bahwa harga di tingkat produsen tidak dipengaruhi oleh harga dasar kedelai karena harga dasar tersebut cenderung semakin menjauh dibawah harga di tingkat produsen. 4
7 Tabel 1. Nisbah Harga Dasar Kedelai Terhadap Harga Produsen dan Harga Dasar GKG, 1979/ Tahun Harga dasar kedelai (HDK) (Rp/kg) Tanggal berlaku Nisbah HDK terhadap Nisbah HDK terhadap 1979/ / / / / / /11/79 1/11/80 1/11/81 1/11/82 1/11/83 1/11/84 1/11/86 1/11/87 1/11/88 1/11/89 1/11/90 3/10/91 HD-GKG*) 2,47 2,53 2,57 2,33 2,07 2,07 1,71 1,43 1,55 1,48 1,48 1,69 Sumber : Vademekum Pemasaran (Dirjen TPH, 1997) dan BPS; Keterangan: *) HD-GKG= harga dasar gabah kering giling; **) Diolah. harga produsen**) 0,85 0,91 0,95 0,86 0,75 0,81 0,64 0,54 0,52 0,57 0,53 0,51 Untuk mengetahui dasar pertimbangan pemerintah dalam menetapkan harga dasar, Sudaryanto et al., (2000) mencoba menggali dasar pertimbangan tersebut dengan menggunakan metode regresi. Hasil analisis regresi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah lebih mempertimbangkan nilai tukar mata uang dan kurang mempertimbangkan harga kedelai dunia dalam penetapan harga dasar. Kemudian Siregar (2002) menemukan bahwa penentuan harga dasar kedelai dipengaruhi oleh keputusan pemerintah tentang penentuan harga dasar gabah. Hal ini menarik karena meskipun nisbah harga dasar kedelai terhadap harga gabah cenderung menurun (lihat Tabel 1), namun penentuan harga dasar gabah tetap menjadi bahan pertimbangan utama dalam penentuan harga dasar kedelai. Ini menunjukkan bahwa kebijakan harga dasar pangan dengan maksud memberi insentif kepada petani lebih mengutamakan peningkatan produksi padi daripada peningkatan produksi kedelai. Kebijakan Tarif dan Volume Impor serta Stabilisasi Harga Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pada awal tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri hanya berlangsung selama 3 tahun (1979/ /83) dan jumlahnya sangat kecil atau kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang besar. Pengadaan melalui impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi kemudian menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi sampai mancapai 490,9 ton pada tahun Sementara itu stok kedelai 5
8 meningkat terus dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal sekitar 20 persen dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto, 1989) tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan baik. Alasannya adalah karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal. Karena intervensi BULOG dalam pengadaan kedelai impor, fluktuasi harga kedelai di dalam negeri lebih kecil dari fluktusi harga kedelai internasional. Dalam periode , koefisien variasi harga kedelai di tingkat pedagang besar hanya sekitar 9 persen, sedangkan untuk harga kedelai internasional adalah 34 persen (Sudaryanto et al., 1992). Koefisien variasi harga riil kedelai domestik bahkan lebih kecil lagi yaitu 0,8 persen sementara untuk harga riil kedelai internasional adalah 5,3 persen. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa kebijakan perdagangan kedelai berhasil menstabilkan harga kedelai di dalam negeri. Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen yang dipertahankan sampai tahun Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada tahun 1994 sampai Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 sampai sekarang. Tarif biasanya menaikkan harga dalam negeri termasuk harga produsen. Tetapi analisis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al., (2000) memperlihatkan bahwa harga dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif. Dengan perkatan lain, kebijakan tarif juga tidak efektif dalam menaikkan harga dalam negeri. Lebih jauh analisis regresi tersebut memperlihatkan bahwa harga produsen dipengaruhi oleh harga paritas dan volume impor kedelai. Selama berlakunya harga dasar kedelai, tarif impor dikenakan 30 persen pada periode dan 10 persen pada periode Pada masing-masing periode tersebut nisbah harga konsumen terhadap harga paritas adalah 1,39 dan 1,67. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa tarif impor tidak efektif karena pada saat tarif impor menurun, nisbah harga konsumen terhadap harga paritas malah meningkat. Dengan perkataan lain konsumen membayar lebih tinggi dari yang seharusnya (Sudaryanto et al., 2000). Penurunan tarif impor berlanjut menjadi 5 persen pada tahun , 2,5 persen pada tahun 1997, dan akhirnya ditiadakan sejak tahun Penurunan tarif impor ini sesuai dengan tuntutan liberalisasi perdagangan, tetapi konsumen dalam negeri masih membayar lebih besar dari yang seharusnya. 6
9 Selama kurun waktu , BULOG relatif berhasil dalam menstabilkan harga di tingkat produsen jika ditinjau dari segi harga kedelai dunia yang lebih bergejolak. Hal ini diperlihatkan oleh koefisien variasi harga produsen sebesar 32,1 persen yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan koefisien variasi harga dunia dalam rupiah sebesar 40,3 persen. Harga konsumen dengan koefisien variasi sebesar 38,7 persen menunjukkan harga konsumen kurang stabil jika dibandingkan dengan harga produsen tapi masih lebih stabil jika dibandingkan dengan harga kedelai dunia dalam rupiah. Harga kedelai dunia dalam dolar cukup stabil dengan koefisien variasi sebesar 10,8 persen. Ketidakstabilan harga kedelai dunia dalam rupiah disebabkan karena koefisien variasi kurs rupiah terhadap dolar cukup besar yaitu 40 persen (Sudaryanto et al., 2000). Berkaitan dengan elastisitas transmisi harga, Erwidodo dan Hadi (1999) memperoleh hasil regresi sebagai berikut. Elastisitas transmisi harga kedelai internasional terhadap harga kedelai pedagang besar pada periode adalah 0,7152 dan elastisitas transmisi harga kedelai pedagang besar terhadap harga kedelai produsen adalah 0,8774. Dalam mengestimasi dampak deregulasi, Erwidodo dan Hadi (1999) menganalisis dampak penghapusan tarif impor kedelai 5 persen pada tahun 1995 (Pakmei) dengan konsep consumer surplus dan producer surplus. Fungsi permintaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga kedelai tingkat pedagang besar, sementara fungsi penyediaan dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga tingkat produsen. Analisis tersebut menyimpulkan bahwa penghapusan tarif akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dinikmati oleh konsumen sebesar Rp. 110,5 milyar. Peningkatan kesejahteraan konsumen tersebut melebihi kehilangan yang dialami oleh produsen sebesar Rp. 55,8 milyar sebagai akibat dari penghapusan tarif impor kedelai. Di pihak pemerintah akan kehilangan Rp. 22,3 milyar sebagai akibat dari penghapusan tarif tersebut. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan keseluruhan adalah Rp. 32,4 milyar. Tetapi analisis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al., (2000) memperlihatkan bahwa harga dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif. Karena kebijakan tarif tidak efektif dalam menaikkan harga dalam negeri, maka peningkatan kesejahteraan sebagai akibat dari penghapusan tarif tersebut mungkin tidak terjadi. Setelah menganalisis data dari Direktorat Binus, Zulham dan Yumm (1996) menyatakan bahwa baik harga kedelai lokal maupun harga kedelai impor pada tingkat pedagang besar relatif stabil dari bulan ke bulan, masing-masing dengan koefisien variasi 3,1 untuk kedelai lokal dan 3,0 untuk kedelai impor. Fluktuasi harga yang kecil tersebut disebabkan karena pemerintah berhasil melaksanakan mekanisme pengendalian harga melalui impor kedelai. Sementara itu nisbah harga kedelai lokal terhadap harga kedelai 7
10 impor dari bulan ke bulan berada di antara 0,9 dan 1,0, sedangkan nisbah harga produsen kedelai di luar Jawa terhadap harga kedelai di di Jawa sebagai daerah konsumen berada di antara 0,8 dan 0,9. Harga kedelai pada tingkat konsumen dari bulan ke bulan juga tidak berfluktuasi besar. Sebagai contoh, koefisien variasi harga bulanan kedelai di Jawa pada tahun 1994 adalah 5,6 untuk kedelai lokal dan 4,0 untuk kedelai impor. Sementara itu, koefisien variasi harga kedelai lokal pada tingkat produsen di luar Jawa (Sulawesi Selatan, Lampung dan NTB) sebagai daerah produsen tidak jauh berbeda, yaitu 5,9 (lihat Zulham dan Yumm, 1996). Sehubungan dengan efisiensi pemasaran, Rusastra et al., (1992) menyatakan bahwa pemasaran kedelai lokal di Jawa Timur sudah efisien karena marjin pemasaran keseluruhan dari produsen ke konsumen hanya 11 persen, dengan perkataan lain petani memperoleh harga sekitar 89 persen dari harga konsumen. Marjin pemasaran yang relatif rendah ini disebabkan karena fungsi tataniaga yang dilakukan sangat sederhana, yaitu berupa pengangkutan saja. EFISIENSI PEMASARAN DAN DAYA SAING Pemasaran komoditas pertanian sering dipandang tidak efisien karena distorsi yang diakibatkan oleh struktur pasar. Akan tetapi Hayami, et al., (1987) and Hayami, et al., (1989) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran kedelai di daerah produksi kedelai di Garut dan di Lampung sudah efisien dengan alasan bahwa besaran marjin pemasaran dari satu tingkat ke tingkat pemasaran berikutnya hanya dapat diterangkan oleh biaya penanganan dan pengangkutan. Dengan demikian maka efisiensi pemasaran kedelai hanya dapat ditingkatkan apabila ada perbaikan prasarana dan sarana transportasi. Untuk memperkuat kesimpulannya itu Hayami et al., (1987) menambahkan bahwa penerimaan bersih pedagang pada setiap tingkatan hanya mendekati opportunity costs. Artinya mereka tidak meraup economic rent atau keuntungan berlebihan yang biasa ditemukan pada sistem pemasaran yang tidak efisien. Temuan yang hampir sama juga diperlihatkan oleh Rusastra et al., (1992), Zulham et al., (1993), Purwoto et al., (1993) and Purwoto and Sayaka (1992) walaupun mereka menemukan bahwa pedagang kecamatan di beberapa tempat masih memperoleh keutungan yang melebihi normal profit. Kalau perbedaan marjin pemasaran dapat diterangkan dengan perbedaan biaya transportasi, Hayami et al., (1987) menyarankan agar pemerintah tidak melakukan intervensi dalam pemasaran kedelai lokal karena setiap intervensi justru akan mengurangi 8
11 efisiensi pemasaran kedelai lokal. Dalam hal ini efisiensi pemasaran hanya dapat ditingkatkan kalau pemerintah dapat memperbaiki infrastuktur transportasi, mengembangkan sistem informasi harga, dan memperluas jangkauan terhadap kredit bagi mereka yang sedang atau ingin masuk ke dalam bisnis pemasaran kedelai. Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang tidak siap dalam menghadapi era liberalisasi perdagangan. Hal ini diperlihatkan oleh Rosegrant et al., (1987), Gonzales et al., (1993) dan Rusastra (1996) dengan kriteria nisbah biaya sumberdaya domestik (DRCR). Seperti diperlihatkan pada Tabel 2, hasil penelitian Rusastra (1996) menunjukkan bahwa produksi kedelai di Jawa tidak memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan substitusi impor (IS) atau untuk perdagangan antar daerah (IR), apalagi kalau untuk tujuan ekspor (EP). Usahatani kedelai di luar Jawa memiliki keunggulan komparatif marginal untuk tujuan perdagangan antar daerah (IR) atau substitusi impor (IS) tetapi tidak memiliki keungulan komparatif untuk tujuan ekpor (EP) kecuali di Sulawesi. Dari uraian di atas terlihat bahwa pengembangan kedelai di Indonesia yang memiliki kelayakan ekonomis hanya di luar Jawa, yaitu di wilayah Sumatera, Bali dan Nusra, Sulawesi dan Kalimantan. Tetapi harus diingat bahwa, kecuali di Sulawesi, kelayakan produksi kedelai di luar Jawa masih rentan terhadap penurunan produktivitas sehingga memiliki stabilitas kelayakan yang relatif rendah. Penurunan produktivitas dengan kisaran 3,2-8,1 persen akan menyebabkan usahatani kedelai tidak lagi memiliki keunggulan komparatif. Menyadari hal ini, sebelum tahun 1988 pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada produsen kedelai baik dari segi harga keluaran maupun dan segi harga masukan. Dari segi harga output, pemerintah bahkan pernah memberikan proteksi sangat tinggi. Hal ini terlihat dari kisaran tingkat proteksi nominal (NPR) yang berada di antara 83 persen sampai 188 persen (Purwoto dan Suryana, 1997). Hasil penelitian Rosegrant dkk (1987) dan Gonzales et al., (1993) juga menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap keluaran sangat protektif. Seperti telah dikemukakan di atas, instrumen proteksi utama dalam hal ini adalah penetapan harga kedelai dan pengaturan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG. Karena keunggulan komparatif merupakan sesuatu yang dinamis maka temuan-temuan ini perlu dikaji ulang terutama setelah subsidi pupuk dan pestisida ditiadakan setelah tahun
12 Tabel 2. Keunggulan Komparatif dan Struktur Proteksi Usahatani Kedelai Menurut Pola Perdagangan, 1993 Produktivitativitas utk. Produk- Pola NPR IT Wilayah perdagangan DRCR EPR (%) (%) (%) Aktual DRC=1 (kg /ha) (kg/ha) 1.Jawa. 2.Luar Jawa IR a) IS EP IR b) IS EP 1,78 1,62 1,85 0,97 0,88 1,01 c) Sumber : Diadaptasi dari Rusastra (1996); a) Tidak termasuk Jawa Barat; b) Hanya untuk Bali dan Nusra; c) DRCR di luar Jawa untuk tujuan ekspor > 1 kecuali untuk Sulawesi = 0,94; Besaran yang tercantum adalah median nilai antar propinsi (di Jawa) atau antar pulau (di luar Jawa) Untuk melihat daya saing komoditas kedelai setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998, Siregar dan Sumaryanto (2003) melakukan analisis dengan menggunakan kerangka kerja Policy Analysis Matrix (PAM). Hasilnya memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani karena koefisien proteksi efektif (EPC) kedelai adalah 0,91 (Tabel 3); artinya nisbah (ratio) nilai tambah finansial terhadap nilai tambah sosial kurang dari satu. Temuan ini dipertegas oleh nilai proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan terhadap output (NPCO). Nilai NPCI yang sama dengan 1,12 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input tradable secara umum tidak menguntungkan usahatani kedelai karena petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga bayangannya. Dari segi harga output, pemerintah juga tidak memberikan proteksi kepada komoditas kedelai karena nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) ternyata kurang dari satu, yaitu 0,95. Ini berarti bahwa petani menerima harga kedelai yang sedikit lebih rendah dari harga bayangannya. Karena nilai NPCO pada waktu-waktu yang lalu lebih besar dari satu (lihat Purwoto dan Suryana, 1997; Rosegrant et al., 1987; dan Gonzales et al.,1993) maka dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan pemerintah telah berubah dari kebijakan protektif menjadi tidak protektif terhadap output kedelai. Kebijakan pemerintah yang protektif terhadap output kedelai pada waktu yang lalu itu dilaksanakan berupa kebijaksanaan harga dan penetapan jumlah impor kedelai yang dilakukan oleh BULOG. 10
13 Tabel 3. Koefisien PAM Usahatani Kedelai dan Analisis Sensitivitas, DAS Brantas, Analisis sensitivitas Yang Keterangan Berlaku Kurs $ terhadap Rp CIF (US$/Kg) Naik 10% Turun 10% Naik 10% Turun 10% Transfer Output (OT) (Rp000) Transfer Input (IT) (Rp000) Transfer Faktor (FT) (Rp000) Transfer Bersih (NT) (Rp000) Ratio Biaya Privat (PCR) 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 Biaya Sumberdaya Domestic (DRC) 0,968 0,868 1,093 0,864 1,100 Koefisien Proteksi Nominal (NPC) : a. Untuk Output (NPCO) 0,954 0,869 1,056 0,869 1,056 b. Untuk Input (NPCI) 1,117 1,092 1,144 1,117 1,117 Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0,915 0,821 1,034 0,817 1,040 Koefisien Keuntungan (PC) -2,246-0,496 0,887-0,477 0,829 Ratio Subsidi bagi Produsen. (SRP) -0,085-0,162 0,008-0,166 0,014 Sumber : Siregar dan Sumaryanto (2003) Tabel 3 memperlihatkan bahwa kalau nilai tukar dolar bayangan terhadap rupiah naik 10 persen, yaitu dari Rp.9.350/US$ menjadi Rp /US$, maka keunggulan komparatif kedelai juga meningkat yang ditunjukkan oleh nilai DRC yang menurun dari 0,968 menjadi 0,868. Sebaliknya, kalau nilai tukar dolar bayangan terhadap rupiah turun 10 persen, yaitu dari Rp.9.350/US$ menjadi Rp /US$, maka keunggulan komparatif kedelai juga menurun yang ditunjukkan oleh kenaikan nilai DRC dari 0,968 menjadi 1,093. Kedua nilai DRC yang terakhir ini masih berada disekitar satu. Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa dampak perubahan harga perbatasan kedelai terhadap nilai DRC juga hampir sama dengan dampak perubahan nilai tukar dolar. Dari simulasi ini dapat disimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai di pasar internasional kurang begitu sensitif terhadap perubahan nilai tukar dolar dan perubahan harga perbatasan kedelai. Titik Impas Produktivitas, Harga Dunia dan Kurs Dolar Di atas telah dikemukakan bahwa usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Pertanyaan selanjutnya adalah pada keadaan yang bagaimana komoditas kedelai masih memiliki daya saing dari segi finansial. Dari sekian banyak determinan, tiga faktor penting yang menentukan daya saing finansial komoditas kedelai adalah harga internasional, nilai tukar mata uang dan produktivitas kedelai. Harga kedelai internasional berpengaruh terhadap daya saing kedelai lokal karena hambatan non-tarif untuk komoditas kedelai sudah tidak ada. Hal ini terlihat dari hasil 11
14 penelitian terdahulu yang memperlihatkan bahwa elastisitas transmisi harga internasional terhadap harga pedagang besar dan harga pedagang besar terhadap harga produsen berturut-turut adalah 0,72 dan 0,88 (Erwidodo dan Hadi, 1999). Karena itu estimasi titik impas harga internasional yang masih memberikan daya saing terhadap kedelai lokal menjadi relevan. Hasil estimasi Siregar dan Sumaryanto (2003) yang disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa titik impas harga internasional (CIF) adalah US $ 244 / ton kedelai. Titik impas yang diperoleh ini sekitar 8,5 persen diatas CIF yang berlaku pada tahun Ini berarti bahwa komoditas kedelai lokal akan memiliki daya saing kalau harga internasional tersebut paling sedikit naik 8,5 persen dari harga CIF yang berlaku, ceteris paribus. Faktor lain yang turut menentukan daya saing finansial komoditas kedelai adalah nilai tukar dolar terhadap rupiah karena perhitungan harga paritas barang-barang tradable baik berupa input (seperti pupuk dan pestisida) maupun berupa output (komoditas kedelai) dimulai dengan mengkonversikan harga-harga CIF atau FOB kedalam rupiah. Estimasi yang dilakukan Siregar dan Sumaryanto (2003) yang hasilnya disajikan pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa komoditas kedelai akan mempunyai daya saing finansial kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen, ceteris paribus. Tabel 4. Titik Impas Produktivitas, Harga Batas (CIF), dan Nilai Tukar Usahatani Kedelai, DAS Brantas, Produktivitas Harga CIF Nilai tukar Uraian (kg/ha) (US$ / kg) (Rp. / US$) Titik Impas , Kenyataan , Toleransi (%) 27,4 8,5-9,2 Sumber: Siregar dan Sumaryanto (2003) Keunggulan finansial daya saing kedelai dapat pula ditingkatkan kalau produktivitas kedelai dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas tidak lain dari hasil bagi antara biaya total dengan harga. Dengan rumus ini, Siregar dan Sumaryanto (2003) memperoleh bahwa titik impas produktivitas kedelai adalah sekitar 1,5 ton per hektar (Tabel 4). Ini berarti bahwa kalau faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka produktivitas kedelai harus dapat ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen agar kedelai memiliki daya saing finansial. Sebenarnya tingkat kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk berimbang. Peningkatan daya saing kedelai dalam jangka yang relatif 12
15 panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi. KESIMPULAN Tujuan utama kebijakan perdagangan kedelai pada masa yang lalu adalah untuk menjaga kestabilan harga kedelai di dalam negeri pada tingkat yang cukup memberi insentif kepada petani dalam peningkatan produksi dan sekaligus memberi insentif kepada pengrajin tahu tempe. Dari keempat instrumen kebijakan (penetapan harga dasar, penetapan tarif impor, pengaturan volume impor, dan penetapan harga kedelai impor) ternyata hanya kebijakan pengaturan volume impor dan penetapan harga jual kedelai impor yang efektif dalam upaya mencapai tujuan tersebut. Berikut ini adalah penjelasan mengenai hal itu. Kebijakan harga dasar yang lalu tidak efektif karena cenderung menjauh dibawah harga produsen sehingga tidak mendorong peningkatan produksi kedelai. Pembelian kedelai lokal oleh BULOG juga tidak meningkatkan produksi karena jumlah yang dibeli kurang dari 1 persen produksi kedelai dalam negeri Karena jumlah kedelai impor hanya sekitar 6-9 persen dari produksi kedelai dalam negeri maka tarif impor tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga kedelai di dalam negeri sehingga tidak efektif sebagai instrumen yang dapat memberi insentif kepada produsen. Ini berarti bahwa peningkatan kesejahteraan yang diestimasi sebagai dampak dari deregulasi (kebijaksaan penghapusan tarif) tidak menjadi kenyataan. Ketidakefektifan tarif impor terlihat pula dari kenyataan bahwa ketika nisbah harga produsen terhadap harga konsumen naik, tarif impor menurun. Ini berarti bahwa tarif impor kedelai tidak memberi insentif kepada produsen. Efisiensi pemasaran kedelai dapat dikatakan efisien karena margin pemasaran kedelai relatif kecil. Ini berarti bahwa efisiensi pemasaran kedelai lokal hanya dapat ditingkatkan dengan perbaikan prasarana dan sarana transportasi dan bukan dengan melakukan campur tangan dalam pemasaran termasuk campur tangan dalam penetapam harga dasar. Setelah penghapusan subsidi pupuk dan pestisida pada tahun 1998, kebijakan pemerintah tidak lagi memihak kepada petani karena petani harus membayar input tradable lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga kedelai yang sedikit lebih rendah dari harga bayangannya. Dari segi finansial, komoditas kedelai akan mempunyai daya saing kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling sedikit 9,2 persen (dari Rp.8.500/US $), atau 13
16 harga perbatasan kedelai (CIF) naik sekitar 8,5 persen (dari US $ 244/ton), atau produktivitas kedelai ditingkatkan paling sedikit 27,4 persen (dari 1,5 ton per hektar), ceteris paribus. Sebenarnya tingkat kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit untuk dicapai melalui perbaikan teknologi, misalnya dengan penggunaan benih bermutu dan pupuk berimbang. Peningkatan daya saing kedelai dalam jangka yang relatif panjang dapat dilakukan melalui pengembangan varietas yang selama ini relatif mengalami stagnasi. DAFTAR PUSTAKA Amang, B. dan M.H. Sawit (1996). Ekonomi Kedelai: Rangkuman dalam: Amang, B., M.H. Sawit, dan A. Rachman (eds). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Erwidodo dan Prayogo U. Hadi, Effects of Trade on Agriculture in Indonesia: Commodity Aspects. Working Paper 48, October The CGPRT Centre, Bogor. Gonzales, Leonardo A., Faisal Kasryno, Nocostrato D. Perez, dan Mark W. Rosegrant, Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Research Report, International Food Policy Research Institute, Washington D.C. Hayami, Y., T. Kawagoe, Y. Morooka, and Masdjidin Siregar (1987). Agricultural Marketing and Processing in Upland Java: A Perspective from A Sunda Village. CGPRT No.8. The CGPRT Centre, Bogor. Hayami, Y., T. Kawagoe, Y. Morooka, H. Mayrowani and Mat Syukur (1989). Agricultural Marketing in a Transmigration Area in Sumatra. CGPRT No. 19. The CGPRT Centre, Bogor. Irawan, B. dan A. Purwoto, Kebijaksanaan Pengolahan Agro Industri dan Mekanisasi Pertanian. Analisis Ekonomi Industri Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di Propinsi Lampung dan Jawa Barat. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor. Purwoto, A. dan B. Sayaka (1992). Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Purwoto, A., B. Winarso, T. Sudaryanto, E. Yosa (1993). Penelitian Agribisnis (Buku I: Kedelai). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Purwoto, Adreng., dan Achmad Suryana, Keunggulan Komparatif dan Struktur Proteksi Produk Tanaman Pangan dan Peternakan. Pangan, 8(32). Rosegrant, Mark W., Faisal Kasryno, Leonardo A. Gonzales, Chairil Rasahan, dan Yusuf Saefudin, Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. IFPRI, Washington D.C., dan CASER, Bogor. 14
17 Rusastra, I.W.; Rusmiati Sayuti dan Chaerul Muslim, Telahan Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa Timur. Forum Agro Ekonomi, 9(2) & 10(1), July Rusastra. I.W. (1996). Keunggulan Komperative, Struktur Ptroteksi, dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. In Amang, B., dan M.H. Sawit (eds.): Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Siregar, M Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai. SOCA, Vol.2, No.3. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Siregar, M. dan Sumaryanto (2003). Analisis Daya Saing Usahatani Kedelai di DAS Brantas. Monograph. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sudaryanto, Tahlim., Hermanto, Erwidodo, Efendi Pasandaran, dan Mark Rosegrant, Food Situation and Outlook for Indonesia, CASER Bogor dan IFPRI Washington D.C. Sudaryanto, Tahlim.,!.W. Rusastra, A.Djauhari, K. Suradisastra, M. Rachmat, dan A.R. Nurmanaf (2000). Analisis dan Perumusan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Puslit Sosek Pertanian. Bogor. Timmer, C.P., W.P. Falcon dan S.R. Pearson, Food Policy Analysis. John Hopkins University Press. Baltimore, Maryland. Tomek, W.G. dan K.L. Robinson, Agricultural Product Prices. Second Edition. Cornell University Press. Zulham, A., N. Syafa at, Y. Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini (1993). Pola Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Petanian, Bogor. Zulham, A. dan M. Yumm (1996). Pemasaran dan Pembentukan Harga dalam Amang, B., dan M.H. Sawit (eds.): Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. 15
III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan
33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive
Lebih terperinciVI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI
VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam
Lebih terperinciVI. HASIL DAN PEMBAHASAN
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan
Lebih terperinciKEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2
KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Lebih terperinciVIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT
83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di
Lebih terperinciANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Lebih terperinciVI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM
VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis
Lebih terperinciDAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP
DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis
Lebih terperinciANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG
ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis terhadap tujuan
Lebih terperinciIV METODOLOGI PENELITIAN
IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian
Lebih terperinciJurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)
58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB
Lebih terperinciBAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari
Lebih terperinciIII METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen
III METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING USAHATANI KEDELAI DI DAS BRANTAS Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KEDELAI DI DAS BRANTAS Masdjidin Siregar dan Sumaryanto 49 ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KEDELAI DI DAS BRANTAS Masdjidin Siregar dan Sumaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciVII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG
VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani
Lebih terperinciKERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin
22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis
Lebih terperinciAnalisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri
Lebih terperinciANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang
Lebih terperinci4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL
4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun
Lebih terperinci3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukaresmi dan Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purpossive
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)
ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman
24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.
Lebih terperinciANALISIS SENSITIVITAS
VII ANALISIS SENSITIVITAS 7.1. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan kurs mata uang rupiah, harga jeruk siam dan harga pupuk bersubsidi
Lebih terperinciAdreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.
KORELASI HARGA DAN DERAJAT INTEGRASI SPASIAL ANTARA PASAR DUNIA DAN PASAR DOMESTIK UNTUK KOMODITAS PANGAN DALAM ERA LIBERALISASI PERDAGANGAN (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Adreng Purwoto, Handewi P.S.
Lebih terperinciPOLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian
PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional
Lebih terperinciDAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO
DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM
VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian
II. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif analitis. Menurut Nazir (2014) Metode deskriptif adalah suatu metode dalam
Lebih terperinciJurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe
Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA
ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA I Wayan Rusastra, Benny Rachman dan Supena Friyatno Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 7 Bogor 16161
Lebih terperinciICASERD WORKING PAPER No. 13
ICASERD WORKING PAPER No. 13 DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS Masdjidin Siregar dan Sumaryanto September 2003 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian
Lebih terperinciVolume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010
Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN
Lebih terperincisesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,
RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO
ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO COMPETITIVENESS ANALYSIS OF SHALLOTS AGRIBUSINESS IN PROBOLINGGO REGENCY Competitiveness analysis of shallot business in Probolinggo
Lebih terperinciII TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia
Lebih terperinciEFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI
EFISIENSI DAN DAYA SAING SISTEM USAHATANI PADI Beny Rachman, Pantjar Simatupang, dan Tahlim Sudaryanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan
Lebih terperinciVI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK
VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR Syahrul Ganda Sukmaya 1), Dwi Rachmina 2), dan Saptana 3) 1) Program
Lebih terperinciIV METODE PENELITIAN
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cilembu (Kecamatan Tanjungsari) dan Desa Nagarawangi (Kecamatan Rancakalong) Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
51 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat di Provinsi Bangka Belitung yaitu Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Barat, dan Kabupaten Belitung.
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR Dede Haryono 1, Soetriono 2, Rudi Hartadi 2, Joni Murti Mulyo Aji 2 1 Program Studi Agribisnis Program Magister
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang
Lebih terperinciJurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)
1 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PENGUSAHAAN KOMODITI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN A. Faroby Falatehan 1 dan Arif Wibowo 2 1 Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
28 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009, mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran rendah
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN SARAN
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung
Lebih terperinciDAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun
DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun 2012... 5 2. Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun 2010-2012... 6 3. Luas panen, produktivitas, dan produksi manggis
Lebih terperinciKEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.
KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya
Lebih terperinci.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih
1.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA Kustiawati Ningsih Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Madura, Kompleks Ponpes Miftahul Ulum Bettet, Pamekasan,
Lebih terperinciJIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013
DAYA SAINGJAGUNG DI KECAMATAN SEKAMPUNG UDIK KABUPATEN LAMPUNG TIMUR (Competitiveness of Corn in Sekampung Udik District of East Lampung Regency) Cahya Indah Franiawati, Wan Abbas Zakaria, Umi Kalsum Jurusan
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS
ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS Competitiveness Analysis of Tilapia Grower Business of Small Farmers in Musi Rawas Regency Verry Yarda Ningsih,
Lebih terperinciANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciICASERD WORKING PAPER No.38
ICASERD WORKING PAPER No.38 PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN : MASALAH DAN UPAYA MENGATASINYA SUPADI Maret 2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Indonesian Center for Agricultural
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas
Lebih terperinciDAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI
DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling
Lebih terperinciANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG DODY RADIANSAH 1), RADIAN 2), NURLIZA 3) 1) Alumni Magister Manajemen Agribisnis
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai berikut:
III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Batasan Operasional Agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda pada penelitian ini, maka peneliti menggunakan konsep dasar dan batasan oprasional sebagai
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING KEDELAI DI JAWA TIMUR
ANALISIS DAYA SAING KEDELAI DI JAWA TIMUR MUHAMMAD FIRDAUS *) *) Staf Pengajar pada STIE Mandala Jember Alamat. Jl Sumatera Jember 68121 ABSTRACT The objective of the study were (1) to know the trend of
Lebih terperinciEFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA
EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA Handewi P.S. Rachman, Supriyati, Saptana, Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan
Lebih terperinciVII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI
VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN FAKTOR LAINNYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF PADA USAHATANI JAMBU BIJI Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena analisis dalam metode
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)
Lebih terperinciLampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009
LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2009 Uraian Jumlah (Rp) Total Ekspor (Xt) 1,211,049,484,895,820.00 Total Impor (Mt) 1,006,479,967,445,610.00 Penerimaan
Lebih terperinciKEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU
Habitat Volume XXIV, No. 2, Bulan Agustus 2013 ISSN: 0853-5167 KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU COMPARATIVE ADVANTAGE
Lebih terperinciANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR
ANALISIS NILAI TAMBAH DAN DAYA SAING SERTA DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI TEMPE DI KABUPATEN BOGOR (Kasus : Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup) Oleh: MERIKA SONDANG SINAGA A14304029 PROGRAM
Lebih terperinciDAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini
DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI I Made Tamba Ni Luh Pastini ABSTRACT Rice is high-valued commodities since pre-independence era. The paper aims to analyze impact
Lebih terperinciLampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II. binatang
131 Lampiran 1. Syarat Mutu Lada Putih Mutu I dan Mutu II No Jenis Uji Satuan 1 Cemaran Binatang 2 Warna 3 Kadar Benda Asing (b/b) 4 Kadar Biji Enteng (b/b) 5 Kadar Cemaran Kapang 6 Kadar Warna Kehitam-hitaman
Lebih terperinciPROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI
PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan
Lebih terperinciMACAM-MACAM ANALISA USAHATANI
MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI Pendahuluan Sebelum melakukan analisis, data yang dipakai harus dikelompokkan dahulu : 1. Data Parametrik : data yang terukur dan dapat dibagi, contoh; analisis menggunakan
Lebih terperinciTabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam
Lebih terperinciKeunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol.10 (3): 185-199 ISSN 1410-5020 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif dalam Produksi Padi di Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung Comparative Advantage and Competitive
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey
Lebih terperinciANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR
350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai
Lebih terperinciPengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan
Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan Muhammad Husaini Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai
Lebih terperinciDAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG
DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG Jarek Putradi Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Badung, Bali jarek.putradi@gmail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan dalam pembangunan Indonesia, namun tidak selamanya sektor pertanian akan mampu menjadi
Lebih terperinciProspek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005
Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan
Lebih terperinciVII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output
VII. ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PADA USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN 7.1. Kerangka Skenario Perubahan Harga Input dan Output Perubahan-perubahan dalam faktor eksternal maupun kebijakan pemerintah
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi
Lebih terperinciDAYA SAING USAHATANI LADA DI LAMPUNG
DAYA SAING USAHATANI LADA DI LAMPUNG Abdul Muis Hasibuan dan Bedy Sudjarmoko Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kelayakan dan daya
Lebih terperinciOleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004)
PROFIL PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH (Tinjauan pada Pengembangan Komoditas Jagung) PROFILE OF POLICY AND AGRICULTURE DEVELOPMENT IN PURBALINGGA
Lebih terperinci