II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam Teologi merupakan istilah yang lekat kaitannya dengan agama dan ketuhanan. Dalam Kamus Filsafat Istilah teologi berasal dari kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti wacana atau ilmu. Dalam pengertian lebih luas teologi berarti ilmu tentang hubungan dunia ilahi atau ideal atau kekal tak berubah dengan dunia fisik (Bagus, 1996). Teologi tersebut sangat erat kaitannya dengan dasar-dasar agama sehingga dapat memberikan pemahaman dan keyakinan mendasar tentang agama yang dianut. Dalam Islam istilah teologi lebih dikenal dengan Usul ad Din dengan ajaran dasar berupa aqa id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi ini dalam islam juga dikenal dengan sebutan ilm al-tauhid (Nasution, 1986). Dimensi teologi yang selama ini dikenal kemudian semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya pertautan antara Islam dengan hal lain sehingga teologi tidak lagi hanya membincangkan tentang ketuhanan akan tetapi semua hal yang berkaitan dengan-nya (Fakhry dalam Hermansyah, 2003). Dalam kaitan dengan lingkungan, teologi ini kemudian diturunkan pada wilayah yang lebih praksis yaitu melihat bagaimana kaitan antara lingkungan dengan sang pencipta. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sekedar lingkungan yang bersifat biofisik tetapi termasuk juga manusia dan makhluk hidup lainnya. Upaya penggalian nilai spiritual ekologi Islami ini merupakan pengayaan khazanah ekologi profetis Islam untuk menawarkan konsep ekologi alternatif atau ekologi transformatif. Teologi lingkungan secara definisi adalah teologi yang obyek material kajiannya bidang lingkungan dan perumusannya didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam. Sehingga teologi lingkungan merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar Islam mengenai lingkungan (Abdillah, 2001). Ini merupakan jawaban atas semakin berkembangnya peradaban umat manusia serta jawaban atas semakin kompleksnya permasalah yang dihadapi dan salah satunya adalah munculnya berbagai masalah lingkungan. Islam secara transenden mengakui keberadaan seluruh makhluk dimuka bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan sang khalik sehingga kerusakan yang

2 diakibatkan oleh salah satu makhluk merupakan pengingkaran terhadap ciptaan Allah (Izzi Deen, 1990; Qardhawi, 2001). Lebih lanjut, Islam sendiri memiliki prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut adalah Tauhid, Amanah, Khalifah, Halal, Haram, Adil, Tawasshur (Kesederhanaan), Ishlah (Pemeliharaan), dan Tawazun (keseimbangan dan harmoni) (Sardar 2006; Chirzin, 2003). Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip ideal yang coba ditawarkan oleh Islam sebagai upaya menjawab persoalan lingkungan tersebut. Inti permasalahan lingkungan hidup menurut Soemarwoto adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Dalam pandangannya Soemarwoto menyebutkan hubungan timbal balik tersebut adalah ekologi. Lebih lanjut Soemarwoto menjelaskan bahwa konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam memandang ekosistem, maka harus di lihat unsur-unsur dalam lingkungan hidup kita tidak secara tersendiri, melainkan terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Pendekatan ini dalam Soemarwoto disebut dengan pendekatan ekosistem atau pendekatan holistik (Soemarwoto, 2004). Dalam konsep ekologi manusia, terdapat berbagai macam pandangan dalam memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Varian teori tersebut antara lain adalah (a) teori determinisme lingkungan (Jabariyah) yang menempatkan aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan. (b) posibilisme lingkungan (Tahammuliyyah) dimana lingkungan memiliki peran penting dalam menjelaskan hubungan antara budaya tertentu dengan lingkungan tertentu. (c) teori ekologi budaya (bi ah al-hudriy) yang menjelaskan bahwa budaya dan lingkungan adalah suatu kesatuan dengan suatu budaya yang menjadi intinya. (d) teori sistem yang merupakan teori ekosistem yang melihat hubungan antara manusia dengan lingkungan biotik dan abiotik dilihat secara sistem meskipun pada tingkatan yang lebih kecil yaitu ekosistem lokal. Selain itu peran ritual juga dimasukkan dalam inti budaya dan memiliki peran besar dalam pola adaptasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat teori tersebut kemudian mendapat tanggapan dengan munculnya teori alternatif yaitu 9

3 (e) teori dialektika ekologis Islam yang merupakan proses dialektis antara nilainilai spiritual religius Islam dengan nilai-nilai ekologis. Proses dialektika yang terjadi dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap internalisasi, tahap obyektivikasi, dan tahap eksternalisasi (Rambo, 1983; Abdillah, 2001). Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa Islam sebagai suatu sistem kepercayaan memiliki dasar teologi lingkungan yang mengakar. Akan tetapi, konteks yang dicoba dikedepankan pada penelitian ini tidak pada domain teologis murni atau hanya mencari nilai-nilai ekologi dalam diktum keagamaan melainkan mencoba melihat pada aras yang lebih praksis. Meminjam konsepsi Hermansyah (2003) dalam melihat proses arus balik dari semangat mencari kebenaran dalam tauhid (tawhid) melalui berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah (a) faktor biologis dan faktor psikologis karena dalam setiap individu terdapat keterkaitan biologis seperti keturunan, perkawinan, kekerabatan dan lainnya. (b) faktor ekonomi karena sesungguhnya faktor ini terkadang menjadi dominan dari pada faktor sosial. (c) faktor sosiologis-antropologis yang terkait dengan sosiobudaya, struktur dan hubungan sosial yang terbangun dan terakhir (e) faktor teologis yang merupakan dasar aktivitas yang transenden dalam diri manusia itu sendiri Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial Salah satu teoritikus yang banyak menitikberatkan penelitiannya pada etos kerja adalah Max Weber. Damsar (2002) menjelaskan bahwa Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis barat yang didorong oleh perkembangan etika protestan yang muncul pada abad keenambelas dan digerakkan oleh dokrin Calvinisme yaitu doktrin tentang takdir. Senada dengan Damsar, Mintarti (2001) juga menjelaskan bahwa pandangan Weber diatas berawal dari keganjilan, penyimpangan yang jelas terlihat dan identifikasinya serta penjelasnya merupakan orisinalitas sebenarnya dari The Protestan Ethic. Biasanya, mereka yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama karena kegiatan mereka tertuju 10

4 kepada dunia materil. Akan tetapi agama Protestan bukannya mengendurkan pengawasan gereja atas kegiatan sehari-hari, malahan menuntut penganutnya disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik. Tulisan Weber tersebut menurut Sobary (2007) menyebutkan peran yang dimainkan oleh agama, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan tertentu terutama dalam perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya, kontribusi penting Weber adalah memahami sepenuhnya asal usul kapitalisme modern. Weber mencoba menjelaskan hakikat dan kemunculan suatu mentalitas baru, yang disebutnya semangat kapitalisme yang menggantikan tradisionalisme dalam kehidupan ekonomi. Selain itu, semangat kapitalisme dalam pandangan weber merupakan aspek sentral dari kapitalisme modern. Weber membedakan empat aliran utama agama Protestan ascetic: Calvinisme, Metodisme, Peitisme, dan sekte Baptis. Akan tetapi analisisnya tentang etika Protestan terpusat pada salah satu dari keempat aliran tersebut, yaitu Calvinisme. Di dalam Calvinisme terdapat tiga kepercayaan pokok yaitu (1) semesta diciptakan untuk menunjukkan keagungan Tuhan yang Mahabesar dan bahwa semua itu harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan, (2) maksud dan kehendak Tuhan tidak selalu bisa dipahami oleh manusia, dan (3) kepercayaan kepada takdir, yakni hanya sejumlah kecil manusia akan terpilih untuk diangkat ke surga (Giddens, 1986). Tesis utama Weber seperti yang disebutkan oleh Morrison (1995) terletak pada dua hal yaitu bahwa banyak pusat-pusat komersial di Eropa ketika itu telah menunjukkan aktivitas komersial yang sangat intens bersamaan dengan berkembangnya ajaran Protestanisme. Tesis kedua dari Weber adalah bahwa kapitalisme barat di motivasi atas dua hal yang menurutnya sangat kontradiksi. Disatu sisi bahwa perilaku menimbun kekayaan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan individu, akan tetapi disisi lain justru masyarakat eropa menghindari penggunaan kekayaan mereka untuk tujuan berfoya-foya dan bersenang-senang. Weber kemudian menyimpulkan bahwa yang mendasari perilaku tersebut adalah etika agama yang dalam hal ini etika protestan. Johnson (1986) juga menjelaskan bahwa akar motivasi individu jauh lebih dalam daripada keputusan rasional yang disengaja mengenai alat dan tujuan atau 11

5 konformitas terhadap tuntutan dari mereka yang berotoritas. Analisa Weber mengenai etika Protestan serta pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan kapitalisme menurutnya menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk pola motivasional individu serta tindakan ekonominya. Pengaruh agama terhadap pola perilaku individu serta bentuk-bentuk organisasi sosial juga dapat dilihat dalam analisa perbandingannya mengenai agama-agama dunia yang besar. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur yaitu (1) bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002). Weber juga menjelaskan bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari inidivud-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Weber melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber harus didasari oleh raisonalitas sehingga rasionalitas ini menjadi kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986). Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan sedangkan tindakan irasional adalah sebaliknya (Johnson, 1986). Dalam Johnson (1986) dijelaskan bahwa Weber membagi tindakan menjadi empat tipe. Tipe pertama adalah tindakan rasional instrumental. Tipe ini merupakan tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macammacam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. 12

6 Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat impersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia Barat modern. Tipe kedua adalah rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai individu yang bersifat absolute atau merupakan nilai akhir baginya. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Tipe ketiga adalah tindakan tradisional. Tindakan ini merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non-rasional. Tindakan ini lebih dikarenakan kebiasaan kemudian diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini telah hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Tipe keempat adalah tindakan afektif. Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren merupakan model pendidikan khas yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu, pesantren juga tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Kondisi ini dikarenakan pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terutama dalam melakukan proses transformasi, sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sistem pendidikan khas yang sarat dengan nilai transformatif yang sebelumnya berada pada wilayah keagamaan kemudian meluas dalam bentuk pengabdian sosial (A la, 2006). 13

7 Secara terminologis pesantren yang biasa disebut sebagai pondok atau surau (Azra, 1985) merupakan suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Qomar, 2005). Meskipun demikian, dalam khazanah pendidikan Islam sendiri pesantren bukanlah satu-satunya model pendidikan yang lekat dengan Islam. Terdapat berbagai varian model seperti madrasah, pengajian dan lainnya. Yang menjadi kekhasan pesantren adalah adanya pondok atau asrama yang menjadi tempat tinggal para santri dalam batas teritorial tertentu serta pemimpin yang disebut dengan Kyai. Terdapat berbagai macam kategorisasi pesantren. Kategorisasi ini bisa berdasarkan keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yaitu pesantren salafi dan khalafi. Ada juga yang melakukan kategorisasi berdasarkan kelengkapan komponennya yaitu (a) hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; (b) masjid, rumah kyai dan asrama; (c) masjid, rumah kyai, asrama dan pendidikan formal; (d) masjid, rumah kyai, asrama, pendidikan formal dan pendidikan keterampilan; (e) masjid, rumah kyai, asrama, madrasah dan bangunan fisik lainnya (Qomar, 2005). Pesantren setidaknya memiliki elemen-elemen dasar seperti pondok atau asrama, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai (Dhofier dalam Hadimulyo, 1985). Kesemuanya menjadi satu entitas yang saling melengkapi dan terintegrasi dalam suatu teritori. Meskipun demikian, elemen dasar tersebut memiliki keterbatasan seiring dengan semakin berkembangnya model pesantren kekinian. Ini disebabkan banyaknya pesantren-pesantren yang bermunculan dengan tidak lagi menempatkan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai tujuan utamanya. Selain itu sistem pengajaran yang bersifat sorogan 1, bandongan 2 tidak lagi dianut oleh seluruh pesantren. Beberapa pesantren tidak lagi menggunakan sistem tersebut tetapi lebih menggunakan sistem yang lebih modern seperti 1 Sorogan merupakan sistem pengajaran konvensional yang dimiliki oleh pesantren. Sistem sorogan merupakan sistem pengajaran satu arah yang menempatkan kyai sebagai guru yang menjelaskan maksud dari kitab tersebut. Santri dalam hal ini diharuskan mengajukan kitab apa yang akan dipelajari kemudian secara mendalam dan dihafal. 2 Bandongan atau juga disebut wetonan merupakan sistem pengajaran yang lain yang dimiliki oleh pesantren. Sistem ini juga tergolong konvensional dimana Kyai menjelaskan isi kita secara sistematis perkata yang kemudian menjelaskan arti dan maksud dari kitab tersebut sementara santri dituntut untut memperhatikan secara seksama. 14

8 pendidikan fomal. Oleh karena itu kategori lain yang muncul adalah kategori pesantren tradisional dan pesantren modern. Secara lebih terperinci akan dicoba dijelaskan elemen-elemen dasar yang terdapat di pesantren yaitu: 1. Pondok atau asrama. Pondok atau asrama ini merupakan tempat tinggal santri dimana seluruh aktivitas keseharian santri berada disini. Interaksi sosial antar santri juga terjalin secara apik di pondok. Tujuan dari adanya asrama ini adalah selain menjadi tempat tinggal juga dapat memudahkan kyai dalam mendidik dan mengajarkan segala jenis ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Selain itu juga difungsikan untuk mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz (Fadhillah, 2005; Qomar, 2005). 2. Masjid. Masjid ini merupakan pusat aktivitas utama santri yaitu ibadah. Fungsi lain yang dimiliki adalah juga fungsi pendidikan dimana masjid terkadang digunakan sebagai tempat pengajian baik formal maupun informal. Secara umum seluruh aktivitas santri ditandai oleh masjid terutama waktu shalat. 3. Kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik merupakan salah satu identitas pesantren terutama pesantren tradisional dimana dikenal dengan kitab kuning. Kitab ini merupakan karya klasik pemikir Islam pada abad pertengahan. Secara akademis kitab tersebut memiliki bobot yang cukup serta komprehensif akan tetapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat sederhana (Mas udi, 1985). Pada pesantren yang tergolong modern, kitabkitab klasik juga digunakan dan disandingkan dengan sistem pendidikan yang lebih modern serta literatur dari negara dan kontemporer lainnya. 4. Santri. Santri merupakan individu atau murid yang belajar dan tinggal dalam lingkungan pesantren. Kata-kata santri ini juga menjadi salah satu varian yang digunakan oleh Geertz dalam bukunya Religion of Java sebagai orang yang selalu mengaitkan hidupnya dengan aktivitas beragama dan perdagangan. Geertz kemudian menempatkan santri pada posisi struktur ditengah diatas abangan dan dibawah priyayi. Santri sendiri merupakan individu yang memusatkan perhatiannya pada doktrin agama Islam, 15

9 khususnya penafsiran moral dan sosialnya (Effendy, 1985). Selain itu, nilai pokok yang dianut oleh santri adalah bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah. Konsep ini merupakan perluasan Bachtiar Effendy dari apa yang dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid bahwa santri merupakan individu yang memiliki ciri dan watak tersendiri yang disebut subkultural. Santri juga dibedakan menjadi santri mukim yang bertempat tinggal di pondok atau asrama serta santri kalong yang tidak tinggal didalam asrama dan biasanya merupakan masyarakat sekitar pesantren (Ghazali, 2003). Dalam hubungan dengan kyai, santri juga memiliki variasi yang sangat terkait dengan tipe pesantren dimana dia bermukim. Fadhillah (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan patrimonial antara kyai dengan santri dan hubungan formal. Kedua hubungan ini sangat terkait dengan sistem pesantren serta kedudukan kyai menurut pandangan santri tersebut. 5. Kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren dan menjadi figur sentral dari pesantren. Kehadiran kyai sangat menentukan arah gerak kemajuan pesantren. Istilah kyai ini lebih banyak dikenal di wilayah Jawa. Di Sumatera misalnya lebih dikenal dengan sebutan Buya dan di Sulawesi lebih dikenal dengan sebutan Gurutta. Dalam kondisi yang lebih maju kedudukan seorang kyai dalam pondok pesantren tetap sebagai tokoh primer dimana kyai tetap sebagai pemimpin, pemilik dan guru utama (Ghazali, 2003). Dalam beberapa hal juga kekuasaan kyai dan mitos wali disakralkan dan memiliki kekuasan yang mutlak sehingga terkadang menimbulkan status quo (Romas, 2003). Selain itu Geertz juga menempatkan kyai sebagai cultural broker atau makelar budaya (Geertz, 1960) yang berfungsi menjadi intermediasi baik dalam pesantren maupun luar pesantren. Pendapat ini kemudian mendapat tanggapan dan koreksi dari Hiroko Horikoshi yang mencoba menempatkan Kyai bukan hanya sebagai broker tetapi lebih sebagai transformator yang dapat mendorong perubahan signifikan baik diinternal pesantren maupun masyarakat sekitar (Horikoshi, 1986). Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika dalam masyarakat serta tuntutan perubahan yang selalu menyeruak, pesantren dihadapkan pada keharusan 16

10 melakukan transformasi kearah yang lebih luas. Transformasi ini mengejawantah dalam bentuk pengabdian sosial sebagai perluasan dari sistem yang selama ini dianut oleh pesantren kebanyakan. Usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh pesantren secara garis besar dapat dibedakan atas pelayanan kepada para santri dan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan usaha memajukan desa dimana pesantren tersebut berdomisili. Pola ini digunakan sebagai ajang para santri dan komponen pesantren lainnya memperoleh pengalaman berharga bagi kehidupannya kelak. Usaha ini bukan berarti menghilangkan corak keagamaan yang selama ini melekat pada pesantren, tetapi lebih pada upaya membawa persoalan nyata yang selama ini berada di masyarakat kedalam pesantren, mencoba memahami persoalan tersebut untuk memudian bersama mencari pemecahan dan jawaban dari berbagai persoalan tersebut (Suyata, 1985). Berbagai jawaban yang secara empirik dilakukan adalah seperti yang dilakukan oleh beberapa pesantren seperti Pesantren Pabelan yang mentransformasi menjadi learning society (Hidayat, 1985; Arifin dan Hasanah, 2003). Pesantren An-Nuqayah dengan mendirikan BPM sebagai solusi dan intermediasi antara masyarakat dengan pesantren (Basyuni, 1985; Effendy, 1990; Ghazali, 2003) dan Pesantren Hidayatullah di Kalimantan (Yacub, 1984) serta banyak lagi pesantren lainnya yang baik secara langsung bersentuhan dengan masyarakat maupun yang tidak secara langsung Pesantren dan Gerakan Ekologi Sebagai salah satu respon terhadap berbagai permasalahan yang muncul terutama permasalahan lingkungan adalah dengan munculnya gerakan ekologi (environmental movement). Pengertian gerakan ekologi ini lebih banyak didominasi oleh gerakan lingkungan seperti lembaga swadaya masyarakat atau lembaga intermediasi lintas negara serta partai politik. Aras gerakan ini juga berada pada semua level baik lokal, nasional maupun internasional. Gerakan lingkungan dalam pengertiannya adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring yang luas antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar 17

11 keuntungan-keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Aksi bersama ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kesamaan ide antar aktor didalamnya. Dalam konteks Pesantren, nilai teologi yang melekat atau dalam istilah Max Weber verstehen dapat menjadi dasar bergerak yang nantinya dapat dimanifestasikan melalui struktur yang terdapat dipesantren tersebut. Gerakan ekologi dapat dibedakan menjadi tiga variasi yaitu pertama, gerakan ekologi yang sebagai produk dari faktor-faktor budaya dan struktural yang muncul secara independen sebagai jawaban atas kondisi lingkungan sekitar. Kedua, gerakan ekologi yang menempatkan pola dan pengaruh mediasi dalam lobi-lobi lingkungan, peranan media serta ilmuwan. Ketiga, gerakan ekologi yang muncul sebagai respon dan meletakkan fokusnya pada semakin memburuknya kondisi lingkungan dan menjadikannya sebagai fokus utama gerakannya (Garner, 1996). Selain itu, dalam mengidentifikasi gerakan ekologi tersebut perlu dilihat dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah melihat dari sisi perhatian (interests) dan sebab (causes) yang melatar belakangi gerakan tersebut. Lowe dan Goyder dalam Garner (1996) membuat tipologi menjadi dua yaitu gerakan yang bersifat menekan (emphasis) dan gerakan yang bersifat promosional (promotional). Gerakan menekan merupakan gerakan yang telah mendapatkan kesuksesan atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan selama ini telah berbuahkan hasil sedangkan gerakan yang bersifat promosi adalah gerakan yang secara signifikan melakukan upaya promosi dan menyuarakan perubahan. Selain itu, identifikasi juga bisa dilakukan dengan menempatkan apakah fokus gerakan tersebut menempatkan gerakannya sebagai gerakan utama (primary) atau hanya gerakan kedua (secondary). Identifikasi juga bisa dilakukan berdasarkan pengaruh geografis yang dilakukan apakah bersifat lokal, nasional atau internasional. Identifikasi terakhir adalah identifikasi pada isu-isu yang diperjuangkan. Varian isu tersebut dapat berupa isu konservasi (conservation), rekreasi (recreation), kenyamanan (amenity) dan sumberdaya (resources). Selain paparan diatas, dalam konsepsi etika lingkungan juga dikenal istilah Deep Ecology yang merupakan pandangan filosofis yang mendasarkan pada hubungan yang suci antara bumi dengan makluk lainnya. Deep ecology atau 18

12 ekologi dalam merupakan gerakan internasional yang mendorong agar kelangsungan masa depan dapat terjaga dan juga ekologi dalam menjadi penuntun atau penunjuk arah bagi aktivitas keseharian manusia dan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan ekosistem. Ekologi dalam mendorong terus dilakukannya penyelidikan dan penelitian tentang peran manusia di bumi ini dan juga mendorong untuk menganalisa praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan, mendorong untuk menurunkan tingkat konsumsi manusia, upaya konservasi dan pemulihan ekosistem. Istilah deep ecology ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970an yang merupakan reaksi atas terbatasnya konsepsi operasional dan politik yang dipaksakan oleh ideologi liberal dan institusi konservatif ketika melakukan reformasi lingkungan. Paradigma baru ini memandang dunia secara holistik yaitu mengatakan bahwa dunia secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan dan bukan merupakan satuan-satuan yang terpisah. Aliran filosofis ini didirikan oleh filsuf Norwegia Arne Naess di awal tahun tujuh puluhan bersama pembedaan yang ia lakukan antara ekologi yang dangkal (shallow environment) dengan yang dalam (deep ecology). Sekarang perbedaan ini diterima secara luas sebagai istilah yang sangat berguna untuk merujuk pada pembagian utama dalam pemikiran kontemporer atas lingkungan. Devall dan Sessions dalam Luke (2002) mencoba mengadaptasi dua norma yang diusulkan oleh Naess yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan biocentric equality (persamaan atau kesetaraan biosentris). Devall dan Sessions menempatkan self-realization sebagai visi dari kerja yang sesungguhnya atau berkerja keras untuk menjadi individu yang penuh daripada menjadi individu yang terisolasi oleh ego materialistik semata. Bentuk praktis ini mendorong munculnya etika baru yaitu menjadi atau melakukan dan bukan lagi mencoba atau memiliki. Norma yang kedua adalah norma biosentrime yang menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang dan mencapai bentuk individual mereka. Keraf (2002) menyebutkan beberapa prinsip gerakan lingkungan yaitu biospheric egalitarianism-in principle yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan 19

13 yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Prinsip kedua adalah ninantroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Ketiga yaitu realisasi diri (self-realization). Maksudnya adalah bahwa manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi diri. Keempat adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis dan kelima adalah perlunya perubahan dalam politik menuju eco-politics. Platform Deep Ecology tahun 1984 memberi kekhasan pada Deep Ecology sebagai gerakan politis-sosial-ekofilosofis internasional kontemporer. Platform itu secara esensial merupakan suatu pernyataan ekosentrisme normatif dan filosofis bersama dengan suatu seruan bagi aktivis lingkungan (Keraf, 2002). Pernyataan flatform Deep Ecology yang dimaksud adalah sebagai berikut; 1. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia diatas bumi mempunyai nilai dalam diri mereka sendiri, atau dengan kata lain mempunyai nilai intrinsik (inheren). Nilai-nilai ini terlepas dari kegunaan dunia non-manusia bagi tujuan-tujuan manusia. 2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan memberikan kesadaran akan nilai-nilai ini dan juga merupakan nilai-nilai dalam kehidupan mereka sendiri. 3. Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman itu kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok. 4. Perkembangan hidup dan kebudayaan manusia sesuai dengan pengurangan subtansial dari populasi manusia. Perkembangan kehidupan non-manusia menuntut pengurangan seperti itu. 5. Campur tangan manusia sekarang terhadap dunia non-manusia bersifat berlebihan dan situasinya menjadi memburuk dengan cepat. 6. Kebijakan-kebijakan harus diubah. Kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi tata susunan ekonomi, teknologi dan idiologi dasar. 7. Perubahan idiologis terutama adalah perubahan mengenai penghargaan terhadap kualitas hidup yang berada didalam situasi-situasi yang inheren dari pada mempertahankan standar hidup (materilistis) yang semakin tinggi. 20

14 Dalam kaitan pesantren dengan gerakan ekologi, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya terdapat gerakan-gerakan ekologi yang berasal dari komunitas pesantren sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul kekinian. Gerakan yang muncul dipesantren tersebut tidak terlepas dari narasi yang berkembang baik pada aras lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga fokus isu yang berkembang memiliki hubungan dengan fenomena yang terjadi di dalam tubuh pesantren itu sendiri dan juga nilai teologi keislaman yang lama mengakar didalamnya Kerangka Pemikiran Pesantren merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya karena maju maupun tidaknya pesantren sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu peran kyai sebagai figur sentral di pesantren serta perannya dalam menjembatani perubahan baik internal pesantren maupun eksternal pesantren. Hal lain adalah perkembangan masyarakat sekitarnya, termasuk bagaimana pesantren mampu menjawab berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Transformasi pesantren yang sebelumnya hanya berkutat pada diktum keagamaan dan menekankan hanya pada dakwah bil aqwal melalui metode-metode tradisional seperti mengajar, pidato dan lainnya dan berkutat hanya pada isu keagamaan, kemudian meluas menjadi dakwah bil hal yang lebih menekankan pada mencari langkah kongkrit menjawab permasalahan kontemporer. Transformasi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari semakin meluasnya cakupan teologi yang termanifestasi oleh komponen pesantren tersebut. Ini dikarenakan pesantren yang selama ini dikenal sebagai institusi religius tidak pernah bisa dilepaskan dari narasi keagamaan dan menjadi sebuah lompatan besar bagi pesantren apabila dapat menjembatani dikotomi yang selama ini terpatri dan mengakar. Tentu perluasan ini selaras dengan akar sejarah pesantren itu sendiri. Pesantren yang selama ini dikenal juga berangkat dan tumbuh dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Transformasi teologi tersebut juga kemudian meluas menjadi teologi lingkungan dan berkembang dikalangan pesantren. Kyai sebagai pemimpin spiritual maupun struktural dalam pesantren tentu memiliki peran yang sangat 21

15 signifikan dalam proses perubahan tersebut. Kondisi ini memungkinkan karena kedudukan kyai di mata santri maupun masyarakat begitu amat agung dan kharismatik sehingga apabila secara teologis sang kyai mengalami transformasi dan meluaskan cakupan teologinya menjadi teologi lingkungan kemudian di transformasikan kepada santri dan masyarakat yang kemudian menjadi dorongan untuk melakukan berbagai gerakan pada level praktisnya. Kondisi ini dilatari oleh semangat ibadah dan integritas terhadap kyai sebagai representasi Nabi dan sang Khalik. Struktur sosial yang telah terbangun di pesantren juga menjadi salah satu faktor bagaimana proses transformasi tersebut dapat berjalan serta bagaimana penerimaan santri dan masyarakat terhadap pembaruan pemikiran teologis tersebut. Akan tetapi, kondisi geografis tentunya dapat mempengaruhi proses transformasi tersebut terutama perbedaan yang cukup mendasar antara pesantren yang berada di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Budaya yang relatif homogen di pedesaan dapat menjadi stimulus perubahan tersebut sedangkan budaya yang relatif heterogen justru dapat menghambat proses perubahan yang sedang diupayakan oleh pesantren tersebut. Proses perubahan dalam Pesantren dalam memandang problematika lingkungan menjadi suatu hal yang unik. Meskipun demikian, dalam literatur ekologi terdapat istilah yang membedakan mereka yang memiliki perhatian terhadap lingkungan hanya untuk kepentingan manusia saja yang disebut sebagai ekologi dangkal, serta mereka yang secara kongkrit merubah cara pandang dengan menempatkan semua makhluk dalam kesetaraan seperti ekologi dalam. Islam sendiri memiliki berbagai macam prinsip yang dapat menjadi dasar seluruh aktivitas keseharian pemeluknya, tidak terkecuali kesadaran dalam menginisiasi konservasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pesantren tersebut. Tahapan ini yang disebut sebagai tahapan internalisasi. Kesadaran ini tentunya melalui proses sublimasi nilai-nilai keagamaan menjadi suatu landasan eco-spiritualitas dalam gerakan lingkungan. Nilai-nilai eco-spritualitas maupun eco-teologi tersebut kemudian bergerak tertransformasikan secara individual melalui proses pemaknaan dalam diri masing-masing individu. Ini merupakan langkah awal dan sejatinya merupakan 22

16 langkah terpenting karena proses pengendapan nilai dalam diri yang melibatkan interaksi, baik dalam pribadi individu tersebut maupun keterlibatan aktor luar dalam memaknai prinsip-prinsip tersebut. Santri maupun masyarakat yang memiliki keterlibatan baik secara personal maupun masif, dalam proses memaknai nilai keislaman tersebut dapat melalui edukasi dari Kyai sehingga bukan tidak mungkin, kesalahan pemahaman oleh Kyai dapat menyebabkan kesalahan mereka dalam memahami fenomena sosial yang menyeruak di masyarakat. Proses yang terbentuk dalam tahapan ini selaras dengan proses obyektifikasi. Langkah akhir yang kemudian terbangun adalah bentuk aplikasi pragmatis dari pemahaman mereka terhadap nilai dan transendensi nilai dalam bentuk gerakan ekologi. Munculnya gerakan ekologi ini dapat disebabkan adanya pengetahuan dari aktor luar (eksternal) maupun aktor dalam (internal) yang bermain dalam ruang kontestasi ekologi yang sebagai perwujudan tahapan eksternalisasi menjadi sebuah gerakan ekologi. Gerakan ini yang nantinya diidentifikasi menjadi gerakan ekologi dalam yang mengedepankan etika dan perubahan cara pandang dalam melihat alam dan manusia, atau justru menjadi gerakan ekologi dangkal yang meskipun aktivitas ekologi atau lingkungan dilakukan oleh pesantren, tetapi terbatas hanya pada upaya pencegahan yang didasari oleh kepentingan pragmatis saja. Individu juga tidak mengalami perubahan cara pandang dan masih menempatkan manusia menjadi khalifah yang menguasai seluruh sumberdaya di muka bumi. Meskipun demikian, ketiga proses diatas dapat berjalan secara evolutif maupun parsial. Gerakan lingkungan seperti konservasi di Pesantren dan sekitarnya dapat diidentifikasi dalam area dua kontinum gerakan tersebut. Permasalahan yang muncul adalah, apakah ketiga tahapan tersebut merupakan proses yang utuh, yang dilalui oleh pesantren sehingga sejatinya gerakan tersebut memiliki landasan spiritual dan gerakan tersebut merupakan buah dari proses evolusi individual dalam memaknai prinsip, kemudian mengendap dalam diri dan termanifestasikan dalam aktivitas. Gerakan lingkungan juga dapat bersifat parsial ketika individu melakukan aktivitas yang terputus satu sama lain. Individu dapat mengetahui dan memahami prinsip ekologi tersebut, tetapi tidak kemudian termanifestasi dalam bentuk 23

17 gerakan. Individu juga dalam terlibat dalam gerakan, tetapi sesungguhnya tidak dilandasi oleh pemahaman atas prinsip ekologi tersebut. Kondisi ini yang kemudian dapat menempatkan mereka dalam kontinum gerakan yang paling awal yaitu kontinum gerakan ekologi dangkal. Selebihnya, ketika proses evolusi itu dilalui dan berujung pada manifestasi gerakan, mereka sejatinya berada dalam kontinum akhir yaitu gerakan ekologi dalam. Proses sedemikian rupa yang digambarkan diatas, sejalan dengan argumentasi yang diberikan oleh Engineer (2007) bahwa sejatinya manifestasi merupakan bentuk lain dari hikmah (kebijaksanaan) yang merupakan ekstraksi dan sublimasi dari ilm (pengetahuan). Kedua hal tersebut bersumber pada aql (akal) dan fikr (pemikiran) yang terbentuk dari pembacaan terhadap fenomena yang muncul disekitar yang dalam hal ini berbagai problema lingkungan dengan pemahaman terhadap sumber teologi dalam Islam seperti Al-Quran dan Hadist. Berdasarkan pemikiran diatas maka secara ringkas dan memperjelas kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1): Konstruksi Gerakan Terbentuk Karena Refleksi Pribadi Aktor-Aktor Internal Yang Bermain Kerangka Dasar dan Nilai-nilai Ekologi Dalam Islam Refleksi Nilai Dalam Sistem Pesantren (Formal dan Informal) Kontinum Gerakan Ekologi Ekologi Dangkal Ekologi Dalam Konstruksi Gerakan Terbentuk Karena induksi Dari Aktor Luar Aktor-Aktor Eksternal Yang Bermain Tahap Internalisasi Tahap Obyektifikasi Tahap Eksternalisasi Kontinum Manifestasi - Aksi Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 24

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Wilayah Analisis Penelitian ini dilakukan pada beberapa wilayah kajian analisis. Kajian utama yang dilakukan adalah mencoba melihat bagaimana respon pesantren terhadap berbagai

Lebih terperinci

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI. (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor) HUSNUL KHITAM

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI. (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor) HUSNUL KHITAM MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI (Studi Kasus di Pesantren Al Amin Sukabumi dan Pesantren Daarul Ulum Lido Bogor) HUSNUL KHITAM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren

I. PENDAHULUAN. 1 Pendidikan sosial yang dimaksud adalah pendidikan bagi berbagai komponen dalam pesantren I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pondok pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan yang menjadi model khas yang dimiliki oleh Indonesia. Kekhasan yang dimiliki ini menjadi salah satu nilai sosial

Lebih terperinci

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman. 1. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan deep ecology? 2. Bagaimana menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari? 3. Apa peran pemerintah dalam konsep

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam khas Indonesia merupakan pendidikan alternatif dari pendidikan formal yang dikelola oleh pemerintah. Pertama, karena pesantren

Lebih terperinci

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI

MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI MANIFESTASI NILAI TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI Husnul Khitam Program Studi Sosiologi, FISIP, UIN Jakarta Jalan Ir. H. Juanda 95, Ciputat 15412 husnul.khitam@gmail.com Abstract Pesantren is an indigenous

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus diberikan terhadap seorang anak. Pendidikan terbagi menjadi tiga yaitu pendidikan formal seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tidak diragukan lagi peranannya dan kiprahnya dalam membangun kemajuan bangsa Indonesia. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. baik produktivitasnya serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Kegiatan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. baik produktivitasnya serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi. Kegiatan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Konversi tanaman adalah kegiatan menggantikan tanaman yang sudah rendah produktivitasnya dan tidak ekonomis lagi dengan tanaman baru yang lebih baik produktivitasnya serta memiliki

Lebih terperinci

ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V)

ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V) ETIKA LINGKUNGAN (Kuliah V) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 Etika Kebiasaan, cara hidup yang baik Dibakukan menjadi Kaidah, norma, aturan Nilai-nilai & prinsip moral Pedoman hidup: Man-Manusia Man-Masyarakt

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam,

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam, 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan, bahwa penelitian ini akan diarahkan guna menjawab rumusan masalah yang telah penulis angkat dalam mengkaji pendidikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pendidikan nasional pada hakikatnya mencari nilai tambah melalui pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia atau kualitas manusia utuh jasmaniah rohaniah,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga variatif seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan dunia telah melahirkan suatu perubahan dalam semua aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak tertutup kemungkinan

Lebih terperinci

BAB VI P E N U T U P

BAB VI P E N U T U P 188 BAB VI P E N U T U P A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan antara lain: Pertama, peran kiai pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dalam dinamika politik ada beberapa bentuk, yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Quran menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang

BAB I PENDAHULUAN. Quran menjelaskan bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai dua fungsi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mempunyai suatu tujuan, membentuk pribadi muslim seutuhnya, yang mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER Max Weber (1864-1920), ia dilahirkan di Jerman dan merupakan anak dari seorang penganut protestan Liberal berhaluan sayap kanan. Weber berpendidikan ekonomi, sejarah,

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan memiliki peran yang penting dalam suatu negara yakni sebagai saran untuk menciptakan manusia yang unggul. Pendidikan tidak bisa terlepas dari kondisi

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

Matakuliah : CB142 Tahun : 2008

Matakuliah : CB142 Tahun : 2008 Matakuliah : CB142 Tahun : 2008 Pertemuan 2 MANUSIA DAN LINGKUNGAN HIDUP Learning outcome Mahasiswa mempu membedakan beberapa teori etika lingkungan dan konsekwensinya terhadap lingkungan hidup Teori Etika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para

BAB I PENDAHULUAN. hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ulama menduduki tempat yang sangat penting dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslimin. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ingin berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan selain karena manusia tercipta sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup berdampingan dengan manusia yang lain. Mereka terikat oleh norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat yang diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pondok pesantren adalah suatu wadah pendidikan keagamaan yang mempunyai ciri khas tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan yang ada di

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6 SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, musik merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan peribadatan. Pada masa sekarang ini sangat jarang dijumpai ada suatu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri 198 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada bab terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri Pondok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesantren memiliki peranan yang penting dalam sejarah pembangunan pendidikan di indonesia. Di antara lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, pendidikan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi hasil penelitian yang telah disajikan pada Bab IV, dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi penelitian sebagai berikut: A. Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

ETIKA LINGKUNGAN. Dosen: Dr. Tien Aminatun

ETIKA LINGKUNGAN. Dosen: Dr. Tien Aminatun ETIKA LINGKUNGAN Dosen: Dr. Tien Aminatun DEFINISI ETIKA: Sebuah refleksi kritis tentang norma dan nilai, atau prinsip moral yg dikenal umum selama ini, dalam kaitan dg lingkungan, cara pandang manusia

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat. Pendidikan merupakan usaha melestarikan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjalanan umat Islam dari periode Nabi Muhammad Saw. diutus sampai pada periode modern, mengalami pasang surut antara kemajuan dan kemunduran yang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai satu atau. lebih, sehingga terjadi interaksi antar individu.

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai satu atau. lebih, sehingga terjadi interaksi antar individu. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Organisasi adalah sekumpulan orang yang saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan kata lain organisasi adalah suatu unit sosial yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dalam mempelajari suatu agama, aspek yang pertama dipertimbangkan sekaligus harus dikaji ialah konsep ketuhanannya. Dari konsep ketuhanan, akan diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern. Globalisasi

Lebih terperinci

POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG

POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG A. Latar Belakang Masalah Pada setiap kajian tentang Islam tradisional di

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etos Kerja Etos Kerja merupakan perilaku sikap khas suatu komunitas atau organisasi mencakup sisi spiritual, motivasi, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN. ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan penelitian yang berjudul PENDIDIKAN ISLAM INTEGRATIF (Konsep Keilmuan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan bagi kepentingan hidup manusia, bukan hanya untuk kepentingan hidup pada masa

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER A.Kajian Teori Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan dengan temapembahasan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori tindakan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai bangsa Indonesia, kita tentu mengetahui dasar negara kita. Dan di dalam Pancasila ini terkandung banyak nilai di mana dari keseluruhan nilai tersebut terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa guru merupakan pendidik profesional. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, tugas utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. non-formal, dan informal (ayat 3) (Kresnawan, 2010:20).

BAB I PENDAHULUAN. non-formal, dan informal (ayat 3) (Kresnawan, 2010:20). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pondok pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal

BAB V PEMBAHASAN. A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal BAB V PEMBAHASAN A. Bentuk-Bentuk Hukuman di Pondok Pesantren Al-Mursyid Ngetal Pogalan Trenggalek Segala sesuatu yang ditetapkan dalam lembaga pendidikan khususnya pada pondok pesantren, mulai dari tata

Lebih terperinci

manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia jejak langkah hidup manusia selalu membutuhkan komunikasi.

manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia jejak langkah hidup manusia selalu membutuhkan komunikasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh aktivitas manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Identitas manusia sebagai

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Handout 4 Pendidikan PANCASILA SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PANCASILA sebagai Sistem Filsafat Kita simak Pengakuan Bung Karno tentang Pancasila Pancasila memuat nilai-nilai universal Nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemikiran Yoga dapat dilihat sebagai suatu konstelasi pemikiran filsafat, bukan hanya seperangkat hukum religi karena ia bekerja juga mencapai ranah-ranah

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang dan akan mengalami perubahan

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II. BAB III ANALISIS Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada Tugas Akhir ini, maka dilakukan analisis pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Analisis komunitas belajar. 2. Analisis penerapan prinsip psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan manusia yang cerdas dan berkarakter. Pendidikan sebagai proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar mengoptimalkan bakat dan potensi anak untuk memperoleh keunggulan dalam hidupnya. Unggul dalam bidang intelektual, memiliki

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan Agama Katolik Modul ke: 14Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik MENJAGA KEUTUHAN CIPTAAN Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro, M.M PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM REFLEKSI IMAN KRISTIANI Untuk apa kita diciptakan?

Lebih terperinci

PANDANGAN HIDUP SISTEM

PANDANGAN HIDUP SISTEM PANDANGAN HIDUP SISTEM SEPERTI APA REALITAS YANG EKOLOGIS? Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi FE UPN Veteran Jatim) Pemahaman Hidup Sistem Visi atau pandangan hidup akan realitas

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Keseluruhan deskripsi dan pembahasan dalam penelitian ini merupakan upaya untuk memberikan jawaban terhadap rumusan masalah yang telah diajukan pada bab pertama.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, BAB V PENUTUP Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis akan menyimpulkan fenomena-fenomena sosial mengenai pemahaman Komunitas Bupolo di Buru

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ISLAM DAN GLOBALISASI

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ISLAM DAN GLOBALISASI Modul ke: 14Fakultas Didin EKONOMI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ISLAM DAN GLOBALISASI Hikmah P, SE, MM Program Studi MANAJEMEN Pengantar: Muslim dan Fenomena Globalisasi Era globalisasi ditandai dengan kemajuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI 69 BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI A. Santri dan Budaya Politik Berdasarkan paparan hasil penelitian dari beberapa informan mulai dari para pengasuh pondok putra dan putri serta

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus 195 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai bagian akhir tesis ini, peneliti memberikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak. langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan

I. PENDAHULUAN. Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak. langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan industri ekstraksi secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan masyarakat yang berada di sekitar

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economists and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

Sistem Politik Gabriel Almond. Pertemuan III

Sistem Politik Gabriel Almond. Pertemuan III Sistem Politik Gabriel Almond Pertemuan III Teori Fungsionalisme Lahir sebagai kritik terhadap teori evolusi, yang dikembangkan oleh Robert Merton dantalcott Parsons. Teori fungsional memandang masyarakat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

LANDASAN DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM.

LANDASAN DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM. LANDASAN DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM Nama : Suhada Tawang NIM : 15105241018 Prodi Dosen Pembimbing : Teknologi Pendidikan B : Prof. Dr. Anik Ghufron http://suhadatawang@blogs.uny.ac.id/ Dalam pengembangan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang dimunculkan dalam bab ini berisi

BAB VII PENUTUP. dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang dimunculkan dalam bab ini berisi BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Paparan pada bab-bab sebelumnya merupakan rangkaian alur penelitian yang ditujukan untuk menjelaskan permasalahan seperti yang telah dirumuskan sebelumnya. Kesimpulan yang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi

BAB V ANALISIS. melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi BAB V ANALISIS Adanya sekolah dan madrasah di tanah air sebagai institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan

Lebih terperinci

RINGKASAN DAN SUMMARY

RINGKASAN DAN SUMMARY RINGKASAN DAN SUMMARY Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta-fakta ilmiah (scientific finding) berkaitan dengan peran sosio-kultural perempuan Nahdlatul Ulama, melalui studi Komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Pada awalnya komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Pada awalnya komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Pada awalnya komunikasi digunakan untuk mengungkapkan kebutuhan organisasi. Manusia berkomunikasi untuk membagi pengetahuan dan pengalaman dengan menggunakan bentuk-bentuk

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang berfalsafah Pancasila, memiliki tujuan pendidikan nasional pada khususnya dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya.

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci