BAB I PENDAHULUAN. erupsi gunung Merapi. Bencana menurut United Nations (1992) dan Asian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. erupsi gunung Merapi. Bencana menurut United Nations (1992) dan Asian"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Selang 4 tahun setelah peristiwa bencana gempa bumi, masyarakat di provinsi Yogyakarta kembali diterpa peristiwa bencana alam yaitu erupsi gunung Merapi. Bencana menurut United Nations (1992) dan Asian Disaster Reduction Centre (2003) adalah suatu gangguan serius terhadap fungsi masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, material atau lingkungan yang luas melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak dan harus mereka hadapi menggunakan sumber daya yang ada pada mereka (Bevaola, 2014). Gunung Merapi merupakan salah satu gunung yang termasuk dalam proyek Decade Volcanoes. Yaitu, sebutan yang diberikan Asosiasi Internasional Vulkanologi dan Kimia Interior Bumi untuk 16 gunung berapi yang dianggap bernilai untuk diteliti berdasarkan pertimbangan sejarah erupsi berskala besar dan merusak, serta lokasinya yang dekat permukiman penduduk (Liputan 6, 2012). Pada erupsi Merapi 2010, bukaan kawah gunung Merapi mengarah ke selatan dan tenggara. Bukaan kawah gunung Merapi merupakan indikator utama untuk menentukan kemana arah letusan Merapi besert 1

2 a ancaman ancaman yang dibawanya. Ancaman ancaman tersebut antara lainawan panas, aliran lava, dan lontaran batu. Apabila ancaman ancaman itu sampai di daerah hunian tetap ataupun perkebunan milik warga maka akan menimbulkan kerusakan dan kerugian. Jika sebelumnya kawah membuka ke arah barat, pascaerupsi tahun 2010 terlihat bukaan kawah gunung Merapi mengarah ke selatan dan tenggara, dengan aliran material mengarah ke Kali Gendol, Kali Opak, dan Kali Kuning di wilayah DI Yogyakarta (Kompas, 2012). Kawasan daerah selatan gunung Merapi yaitu terletak di Kabupaten Sleman. Dengan begitu seyogyanya masyarakat di lereng selatan gunung Merapi mempunyai peran untuk terlibat mengerahkan kemampuannya dalam rangka menanggulangi bencana erupsi Merapi dengan meminimalisir atas segala risiko. Dampak kerusakan dan kerugian di provinsi DIY paling banyak dirasakan oleh kabupaten Sleman mengingat kabupaten Sleman secara letak wilayah administratif berada paling dekat dengan gunung Merapi dibandingkan dengan kabupaten kabupaten lain. Berikut merupakan hasil analisa dari BPBD Sleman mengenai kerusakan dan kerugian yang diterima masyarakat kabupaten Sleman akibat dari erupsi Gunung Merapi 2010: 2

3 Tabel 1.1 Kerusakan dan Kerugian Masyarakat Kabupaten Sleman Sektor Nilai Kerugian (Rupiah) Perumahan 477,684,984,000 Infrastruktur 224,426,945,088 Sosial 49,639,528,731 Ekonomi 1,261,330,945,178 lintas sector 3,392,686,800,897 Total 5,405,681,153,844 Sumber: Dokumen Kontijensi BPBD Sleman 2012 Masyarakat dusun termasuk korban yang terkena dampak di kabupaten Sleman dari bencana gunung Merapi 2010 di bidang perumahan, mengingat lokasinya yang hanya berjarak 5 kilometer secara vertikal dari puncak gunung Merapi. Secara administrasi wilayah dusun terletak di kelurahan Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam rangka program penanggulangan bencana erupsi Merapi, pemerintah kabupaten Sleman melakukan suatu instruksi aturan berupa peta Kawasan Rawan Bencana. Penyusunan peta KRB dilandaskan atas dampak erupsi yang terjadi setiap 100 tahun secara kumulatif menurut BPPTK. Semisal daerah tertentu pernah terkena dampak erupsi dalam 100 tahun terakhir maka daerah tersebut dapat terbilang sebagai kawasan rawan karena potensi datangnya 3

4 ancaman ulangan lebih besar. Berikut peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Daftar Gambar 1.1 Peta Kawasan Rawan Bencana G. Merapi (BAPPEDA Sleman) Wilayah hunian masyarakat sebelum bencana ditetapkan dalam kawasan rawan bencana (KRB) III. Daerah yang termasuk dalam KRB III dihimbau oleh Pemerintah untuk tidak diperbolehkan dijadikan tempat tinggal oleh warga. Bagi komunitas yang terpapar oleh bencana sebelumnya, mereka disuntik dengan berbagai program pemulihan, pemberdayaan ekonomi, revitalisasi ruang budaya local yang khas, 4

5 termasuk membangun kembali permukiman yang dianggap aman terhadap bencana (Lubabun, 2014). Akan tetapi masyarakat justru yang memberi tekanan kepada pemerintah dan pihak lain melalui kesadaran yang berbuah kerja sama mereka lakukan untuk selanjutnya dapat membantu mewujudkan hal yang memang mereka butuhkan dalam pemulihan kehidupan pasca bencana yaitu relokasi. Secara tersirat, masyarakat yang mempunyai tempat tinggal di KRB III dipaksa untuk menaati aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah untuk selanjutnya melakukan relokasi. Selain daerah terdapat daerah lain yang termasuk dalam KRB III, daerah itu antara lain Pangukrejo dan Glagaharjo. Tidak semua warga menyetujui aturan dari Pemerintah tersebut antara lain desa Glagaharjo. Menurut Kepala Desa Glagaharjo, mereka memilih tetap bertahan di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Merapi, meskipun tidak mendapatkan insentif Rp30 juta karena telah merasa nyaman tinggal di tanah sendiri, jika kelak Merapi dalam bahaya mereka siap mengungsi (Republika, 2011). Sikap seperti itu dapat terbangun dengan sebab apabila mereka melakukan relokasi maka mereka diharuskan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat mempunyai sikap yang berseberangan dalam menghadapi problematika tersebut. Menililik kerusakan dan 5

6 kerugian yang mereka dapatkan di aspek perumahan, mereka dituntut untuk sadar dan peduli akan hal itu. Menurut Bates (2002) bencana bertindak sebagai faktor pendorong keputusan penduduk untuk bermigrasi, memaksa mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (Bevaola, 2014).Warga dusun desa Umbulharjo kecamatan Cangkringan merupakan salah satu dusun yang menjadi korban erupsi Merapi tahun 2010 berencana melakukan relokasi secara mandiri (Slemankab, 2011). Menurut Maria SW Sumardjono, relokasi merupakan salah satu alternatif dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menata kembali kehidupan mereka di tempat yang baru (Muhammad, 2012). Dari hal itu menjelaskan bahwa masyarakat dalam melakukan tahap perencanaan penataan kembali kehidupan mereka di daerah yang baru dapat berdiri sendiri artinya tanpa perlu mendapatkan bantuan dari pihak lain. Keputusan masyarakat untuk memilih relokasi mandiri secara kolektif merupakan suatu bentuk upaya keterlibatan aktif masyarakat dalam rangka penanggulangan bencana. Berdasar penanggulangan bencana di era modern ini erat kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. Risiko adalah dinamika penggerak masyarakat yang cenderung berubah, yang ingin menentukan masa depannya sendiri ketimbang menyerahkannya pada agama, tradisi, atau 6

7 perlakuan alam (Giddens, 2001). Untuk diketahui bahwa tercatat dalam sejarah, masyarakat sebelumnya tidak pernah melakukan relokasi. Maka secara dengan sadar mereka memiliki keberanian untuk menghilangkan tradisi kebudayaan secara turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Kesepakatan yang telah mereka memiliki untuk melakukan relokasi mandiri kolektif niscaya dilalui serangkaian proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi. Pengambilan keputusan didapatkan melalui proses pemilihan dari beberapa pilihan untuk selanjutnya memutuskan pilihan yang paling dianggap baik oleh masyarakat. Proses pengambilan keputusan masyarakat terkait perannya dalam kegiatan relokasi mandiri kolektif terdiri dari penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian dampak, penilaian kebutuhan, dan penentuan tujuan. Sedangkan pemetaan proses tahapan relokasi mandiri kolektif masyarakat terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam kegiatan perencanaan relokasi secara mandiri yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat disangsikan bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak mungkin hanya dilakukan oleh atas dasar kepentingan pribadi semata mengingat hal itu mencakup pemulihan kehidupan semua warga. Dengan begitu pasti antar masyarakat 7

8 saling bekerja sama dalam kegiatan kolektif karena tidak bergantung terhadap pihak lain. Sehingga diharapkan permasalahan mengenai keberlangsungan kehidupan mereka dapat teratasi dengan sesuai yang mereka inginkan. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat diyakini oleh peneliti mempunyai peran yang cukup vital dalam pelaksanaan proses itu. Menimbang bahwa modal sosial merupakan sumberdaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Modal sosial terdiri dari tiga aspek yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan. Basis kerja sama adalah kepercayaan bahwa orang lain bisa bekerjasama dengannya (Robert, 2005). Di dalam penelitian ini kepercayaan dikaji secara mendalam. Kepercayaan terbangun melalui tiga aspek yaitu harapan, hubungan, dan tindakan atau interaksi sosial. Akan tetapi ternyata modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ternyata tidak berhasil menopang untuk mewujudkan relokasi mandiri secara kolektif. Relokasi yang dilakukan oleh masyarakat akhirnya memerlukan bantuan dari pihak lain yaitu Pemerintah. Berarti bisa dikatakan bahwa modal sosial milik masyarakat mempunyai keterbatasan hingga akhirnya hal itu tidak dapat terlaksana. Tentunya tidak hanya terlepas modal sosial yang menjadi sorotan akan kegagalan itu, modal barang kapital, modal finansial dan modal manusia 8

9 masyarakat juga turut diperhatikan agar dapat mengidentifikasi kegagalan itu secara jelas. II. Rumusan Masalah Untuk mendapatkan data mengenai identifikasi keterlibatan masyarakat dalam upaya melangsungkan kegiatan relokasi mandiri kolektif pasca bencana erupsi gunung Merapi tahun 2010, kepercayaan di dalam teori modal sosial merupakan objek kajian yang dipakai peneliti untuk menjelaskan hal itu, maka rumusan masalah penelitian yang saya ambil adalah : Bagaimana manfaat dan keterbatasan modal sosial masyarakat dalam proses relokasi mandiri pasca bencana? III. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi proses pengambilan keputusan dan tahapan kegiatan relokasi mandiri kolektif yang dilakukan masyarakat. 2. Mengetahui peran dan keterbatasan modal sosial masyarakat dalam mewujudkan kegiatan relokasi mandiri kolektif. 9

10 IV. Tinjauan Pustaka Berikut merupakan karya ilmiah yang berkaitan dengan tema penelitian ini: 1. Tesis yang ditulis oleh Aviyanti N (2015) yang berjudul Modal Sosial Di Dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana Merapi Sister Village (Studi Kasus Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun Dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan). Tesis ini memiliki fokus untuk meneliti mengenai peranan dimensi modal sosial di dalam pengurangan risiko bencana letusan gunung Merapi di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung Kecamatan Muntilan serta ingin mengetahui faktor faktor yang mendukung dimensi modal sosial. Studi kasus dipilih menjadi alat analisis di dalam penelitian ini. Beberapa dimensi modal sosial yang menjadi temuan dari penelitian ini dan mempunyai peran dalam Sister Village adalah kelompok dan jaringan, kepercayaan dan solidaritas, tindakan bersama dan kerjasama, informasi dan komunikasi, kohesi sosial dan inklusi, serta pemberdayaan dan tindakan politik. Penelitian ini juga mendapatkan temuan mengenai faktor yang mendukung dimensi modal sosial di Sister Villageyaitu kepemimpinan baik di sektor pemerintah daerah maupun pimpinan 10

11 kedua desa itu. Tesis ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu memiliki harapan untuk memberikan informasi terkait penanggulangan bencana dan modal sosial (kepercayaan). 2. Skripsi yang ditulis oleh Alfian Ahmad Akbar (2014) yang berjudul Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Pemulihan Kondisi Sosial Dan Ekonomi Pasca Bencana, Studi Kasus Kisah Perempuan Pelaku Usaha Di Desa Wukirsari Bantul. Skripsi ini dilakukan untuk mengetahui bentuk pemanfaatan modal sosial oleh perempuan pelaku usaha di Desa Wukirsari dalam melakukan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi pasca bencana gempa bumi yang melanda Kabupaten Bantul tahun Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga parameter modal sosial untuk melakukan kajian analisa. Ketiga paramaeter modal sosial itu terwujud dalam bentuk modal sosial bounding, bridging, dan linking. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga parameter modal sosial mampu membantu memulihkan kondisi sosial dan ekonomi pelaku usaha perempuan di Desa Wukirsari Bantul. Skripsi ini mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai pemanfaatan modal sosial (kepercayaaan) dalam rangka penanggulangan bencana. 11

12 V. Kerangka Konseptual 1. Pengambilan Keputusan Dalam rangka mengetahui keputusan relokasi mandiri kolektif yang dilakukan masyarakat perlu mengetahui asal keputusan itu terbentuk. Keputusan mempunyai peran yang penting dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh manusia. Keputusan didefinisikan sebagai suatu pengakhiran atau pemutusan daripada suatu proses pemikiran untuk menjawab suatu pertanyaan, khususnya suatu masalah atau problema (Prajudi, 1976). Jadi, barang siapa menghendaki adanya aktivitas aktivitas tertentu, maka dia harus mampu dan berani mengambil keputusan keputusannya yang bersangkutan dengan itu, setepat tepatnya (Prajudi, 1976). Di dalam keputusan yang telah diambil terdapat proses pengambilan keputusan yang membantu kelancaran keputusan itu terbentuk. Teori dasar pengambilan keputusan berkisar pada pengambilan tujuh langkah pemecahan apabila seseorang menghadapi situasi problematika, yaitu: a) Mengidentifikasikan masalah dan membuat definisi b) Mengumpulkan dan mengolah data sehingga tersedia informasi yang mutakhir, lengkap, dapat dipercaya, dan tersimpan dengan baik sehingga mudah untuk ditelusuri kembali apabila diperlukan 12

13 c) Mengidentifikasi berbagai alternatif yang mungkin ditempuh d) Menganalisa dan mengkaji setiap alternatif yang telah diidentifikasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya e) Menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif yang tampaknya terbaik dalam arti mendatangkan manfaat paling besar, sesuai dengan asas maksimasi, atau mengakibatkan kerugian yang paling besar dengan asas minimisasi f) Melaksanakan keputusan yang diambil g) Menilai apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan dan rencana atau tidak (Sondang, 1990). Untuk dapat mengetahui bahwa keputusan itu merupakan keputusan yang berdasar suatu pengalaman atau tidak berikut penjelasan mengenai jenis keputusan. Salah satu teori yang telah dikembangkan ialah mengklasifikasikan keputusan kepada dua jenis utama, yaitu, keputusan terprogram, dan keputusan yang tidak terprogram: a) Keputusan Terprogram Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali, dan diambil secara rutin dalam organisasi. b) Keputusan Yang Tidak Terprogram 13

14 Berbeda dengan keputusan terprogram, keputusan yang tidak terprogram biasanya diambil dalam usaha memecahkan masalah masalah yang belum pernah dialami sebelumnya, tidak bersifat repetitif, tidak terstruktur, dan sukar mengenali bentuk, hakikat dan dampaknya (Sondang, 1990). 2. Relokasi Menurut KBBI, relokasi adalah pemindahan tempat. Supaya dapat memaparkan data mengenai sejauh mana keterlibatan masyarakat berperan serta dalam proses relokasi mandiri diperlukan pengkajian mengenai prinsip prinsip dalam relokasi. Prinsip prinsip relokasi menurut Maria SW Sumardjono adalah sebagai berikut: 1. Perlunya koordinasi semenjak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Alternatif bagi masyarakat yang tanahnya musnah sebagian atau seluruhnya untuk menentukan pilihannya. 2. Berkenaan dengan status hukum dari tanah yang akan dijadikan areal relokasi, prioritas adalah tanah Negara. 3. Pendataan jumlah kepala keluarga yang akan mengikuti relokasi, 4. Hak masyarakat yang akan dipindahkan, 5. Kelengkapan fisik lokasi pemukiman kembali, 14

15 6. Bentuk rumah dan bangunan lain yang relevan, 7. Status hak atas tanah, terhadap tanah dan bangunan yang telah diserahterimakan kepada masyarakat, diberikan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak milik. 8. Dukungan terhadap pemulihan tingkat kehidupan masyarakat, 9. Mengantisipasi dan meminimalkan dampak bencana di kemudian hari (Muhammad, 2012). Selain perpindahan lokasi tempat tinggal, yang diperlukan masyarakat untuk mewujudkan relokasi adalah pembangunan permukiman. Untuk mengetahui kebenaran mengenai perencanaan relokasi mandiri yang dilakukan masyarakat dapat diidentifikasi melalui bentuk pembangunan permukiman pasca bencana mereka. Menurut US AID, ada tiga bentuk pembangunan permukiman pasca bencana, yaitu: 1. Rekonstruksi oleh pemilik rumah, model ini popular dan sudah banyak diimplementasikan di seluruh penjuru dunia. Model ini telah sukses dalam pembangunan kembali permukiman pasca gempa di beberapa Negara seperti China, Indonesia, India, dan Haiti. Model ini sering dipakai karena biaya yang lebih sedikit, dampak yang lebih luas daripada pembangunan kembali oleh donor, dan dapat menciptakan 15

16 rumah yang aman, memuaskan pemilik rumah, dan perubahan yang berkelanjutan pada praktik pembangunannya. 2. Rekonstruksi oleh masyarakat, model ini juga telah banyak dilakukan untuk merekonstruksi permukiman pasca gempa bumi di berbagai belahan dunia. Rekonstruksi oleh masyarakat biasanya perencanaan dilakukan oleh beberapa orang sebagai perwakilan dari seluruh masyarakat. Masyarakat juga tidak bisa mengkontrol pendanaan dan pembangunan biasanya dilakukan oleh kontraktor dan melibatkan sebagian kecil pekerja masyarakat. 3. Rekonstruksi oleh lembaga donor, dalam model ini keterlibatan masyarakat dalam perancangan dan pembangunan sangat sedikit. Rumah didesain oleh lembaga donor atau konsultannya dan dibangun oleh kontraktor yang dipekerjakan oleh lembaga donor (Bagus, 2013). 3. Permukiman Relokasi sangat identik dengan permukiman, kedua hal itu tidak bisa dipisahkan karena saling berkaitan. Dalam proses relokasi berarti disitu masyarakat turut pula melakukan perpindahan permukiman. Permukiman adalah suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional, ekonomi dan fisik tata ruang yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana secara umum dan fasilitas sosial sebagai 16

17 suatu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumber daya dan dana, mengelola lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan peningkatan mutu kehidupan manusia, memberi rasa aman, tentram dan nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keserasian dan keseimbangan agar berfungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara (Blaang, 1986). Bermukim merupakan proses kegiatan di dalam permukiman. Bermukim pada hakekatnya adalah hidup bersama, dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan manusia adalah sebagai tempat tinggal yang diperlukan oleh manusia untuk memasyarakatan dirinya (Blaang, 1986:5). Kebijakan Pemerintah dalam mengatur mentgenai permukiman dan perumahan tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ditegaskan bahwa penataan perumahandan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil, dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, ketergantungan, dan kelestarian lingkungan hidup. Penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk : a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. 17

18 b. Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan sehat, aman, serasidan teratur. c. Memberi arah pada pertumbuhan wilayah persebaran penduduk yang rasional. d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang bidang lain. Menurut Fema (2009) ada dua jenis permukiman pasca bencana, yaitu : 1. Interim Housing (hunian sementara) Hunian sementara merupakan hunian bagi korban bencana karena ancaman bahaya di rumah mereka terdahulu sampai kondisi pasca bencana belum stabil. Bagi sebagian besar jenis bencana, hunian sementara merupakan satu satunya alternatif permukiman saat bencana dan pada akhirnya para korban dapat kembali ke permukiman mereka. Bagi bencana yang lebih serius dimana banyak permukiman yang rusak dan hancur, opsi hunian lain dapat ditambahkan. Secara umum periode hunian sementara sekitar 18 bulan, dan bagi bencana besar yang ada di kawasan pedesaan, waktu berada di hunian sementara akan semakin lama karena kurang tersedianya hunian sewa di pedesaan 2. Permanent Housing(Hunian Tetap) Hunian tetap merupakan hunian yang akan ditinggali korban bencana untuk jangka waktu permanen setelah mereka tinggal di hunian 18

19 sementara. Salah satu keberhasilan dalam membangun hunian tetap adalah dapat secepatnya memindahkan korban bencana ke hunian tetap. Hunian tetap ini dapat berupa rumah yang dahulu ditinggali oleh korban bencana namun rusak dan memerlukan perbaikan, atau dapat pula permukiman relokasi yang berada di tempat lain dari rumah korban bencana terdahulu (Bagus, 2013). 4. Modal Sosial Modal sosial merupakan teori kontemporer yang menjelaskan mengenai hubungan antar individu dengan kepentingan tertentu yang tercermin dari sikap suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan tujuan bersama (Field, 2014). Setiap individu mempunyai peran dan fungsinya masing masing dengan melakukan interaksi di dalam tatanan kehidupan sosial kelompok masyarakatnya. Terdapat tiga elemen penting yang perlu diperhatikan dalam teori modal sosial menurut Putnam yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan. Kepercayaan diperlukan tiap anggota di dalam suatu kelompok masyarakat untuk membangun kerja sama di dalam kelompok masyarakat dalam mencapai suatu tujuan. Semakin tinggi saling 19

20 percaya antara mereka yang bekerjasama, semakin kurang risiko yang ditanggung, dan semakin kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan (Robert, 2005). A. Aspek Kepercayaan Terdapat tiga aspek yang merupakan inti dari konsep modal sosial kepercayaan. Ketiga aspek itu antara lain hubungan, harapan dan tindakan atau interaksi sosial. Antar satu aspek dengan aspek yang lainnya memiliki keterikatan yang cukup mendalam. Apabila terdapat suatu aspek yang tidak tercapai maka kepercayaan tidak dapat terwujud. Sehingga dapat berakibat kepercayaan memberikan dampak kurang baik bagi komponen modal sosial yang lain untuk menjadi kesatuan dalam membentuk sumber daya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu hubungan dapat terselenggara disebabkan oleh kepentingan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat. Tentunya kepentingan itu muncul dari adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi. Pada umumnya manusia pasti tidak akan pernah merasa puas atas apa yang telah mereka dapatkan. Oleh karena itu kebutuhan manusia tidak akan pernah berkurang dan akan terus bertambah. Manusia merupakan makhluk sosial, mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat memenuhi 20

21 kebutuhannya. Kualitas hubungan sosial yang terbilang kuat sejalan lurus dengan kebutuhan yang sangat perlu untuk segera dipenuhi. Terdapat harapan di dalam suatu kepercayaan antar hubungan sosial dua orang atau lebih. Harapan lahir dalam rangka memenuhi kebutuhan yang ingin digapai oleh pihak pihak yang bersangkutan. Harapan menunjuk pada sesuatu yang masih akan terjadi di masa yang akan datang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan malah ada harapan yang berhubungan dengan keselamatan sesudah mati (atau sesudah hidup di dunia ini) (Robert, 2005). Di suatu hubungan sosial, kedua belah pihak seharusnya saling mengetahui dan berusaha untuk mewujudkan harapan masing masing pihak yang ingin dicapai. Agar kelak tidak ada pihak yang dirugikan karena harapannya tidak tercapai yang disebabkan oleh hal itu. Perwujudan nyata dari hubungan dan harapan adalah interaksi atau tindakan sosial. Konsep tindakan dan interaksi sosial merupakan dua konsep yang berbeda. Tindakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh individu dalam mewujudkan kepercayaan dan harapannya itu (Robert, 2005). Sedangkan interaksi sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak bersama sama secara sadar dalam mewujudkan harapan dari masing masing pihak terhadap pihak lain (Robert, 2005). Hubungan timbal balik tercipta di dalam interaksi sosial 21

22 demi keberlangsungan selanjutnya hubungan sosial antar kedua belah pihak. Perbedaan mendasar mengenai kedua konsep itu merujuk pada tindakan sosial yang bisa mewujudkan kepercayaan bersifat unilateral sedangkan interaksi sosial tidak. B. Bentuk Kepercayaan Menurut Uslaner (2002) terdapat dua bentuk kepercayaan (Robert, 2005). Antara lain kepercayaan strategik dan kepercayaan moralistik. Kedua bentuk kepercayaan yang dikemukakan oleh Uslaner (2002) menekankan pada sebab kepercayaan dari suatu hubungan dapat terbentuk (Robert, 2005). Terciptanya suatu bentuk dari kepercayaan menitikberatkan pada cara salah satu pihak yang percaya melakukan penilaian terhadap pihak lain begitupun sebaliknya. Dasar dari kepercayaan strategik menekankan pada pengetahuan. Disebut strategik karena pengetahuan, pengalaman, informasi, yang ada pada A merupakan dasar baginya untuk menilai B, dan mengambil keputusan, apakah dia percaya B atau tidak (Robert, 2005). Dapat disimpulkan bahwa suatu pihak (si pemberi kepercayaan) menjatuhkan kepercayaannya kepada pihak lain acuan utamanya pada pengetahuan yang dimiliki pihak lain. Sehingga diperlukan cara yang efektif dari si 22

23 pemberi kepercayaan untuk lebih mengenal pihak lain. Proses mengenal pihak lain, tentunya lebih baik juga melihat dari sudut pandang orang lain yang mengenal pihak lain itu. Untuk selanjutnya si pemberi penilaian dapat memberi penilaian kepada pihak lain dengan lebih objektif. Kepercayaan moralistik juga seperti kepercayaan strategik yaitu membutuhkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu pihak (pemberi kepercayaan) kepada pihak lain. Akan tetapi jumlah kadar pengetahuan yang dimiliki oleh pemberi kepercayaan kepada pihak lain lebih sedikit dibandingkan dengan kepercayaan strategik. Di dalam bentuk kepercayaan moralistik, si pemberi kepercayaan percaya kepada pihak lain yang sebenarnya merupakan orang asing di dalam kehidupan sosialnya. Apabila seseorang dapat mempercayai seseorang yang sebenarnya tidak begitu mempunyai banyak pengetahuan mengenai orang itu, maka tingkat kepercayaanmu paling tinggi. Tingkat kepercayaan moralistik lebih tinggi dibandingkan tingkat kepercayaan strategik. C. Sifat Kepercayaan Terdapat enam bentuk kepercayaan untuk melakukan pemahaman terhadap hubungan kepercayaan yang telah terjalin. Antara lain kepercayaan antar personal, kepercayaan simbiotik unilateral, kepercayaan 23

24 egoistik, kepercayaan particular, kepercayaan umum, kepercayaan interpersonal. Kepercayaan antar personal bersifat altruistik. Sehingga menitikberatkan untuk membantu orang lain. Dalam rumusan singkatnya: A percaya B, untuk kepentingan B saja (Robert, 2005). Sehingga pihak A tidak mempunyai tendensi untuk mendapatkan keuntungan dari hubungan itu. Kepercayaan simbolik unilateral menunjuk pada kepercayaan yang diberikan kepada seseorang dengan perhitungan keuntungan bagi kedua belah pihak menurut perhitungan yang memberi kepercayaan (Robert, 2005). Pada intinya pihak A mendapatkan keuntungan dengan hubungan yang terjalin dengan pihak B tanpa sepengetahuan dari pihak B walaupun pihak B juga memperoleh keuntungan dari hubungan itu. Sedangkan kepercayaan simbolik bilateral merujuk pada sebaliknya. Kepercayaan simbolik bilateral menekankan pada hubungan yang terbentuk oleh beberapa pihak dengan keuntungan yang diperoleh masing masing pihak melalui sepengetahuan masing masing pihak. Kepercayaan egoistik menitikberatkan pada salah satu pihak yang hanya ingin mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan pihak lain. Dalam rumusan singkatnya : A percaya B 24

25 untuk melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan A semata mata (Robert, 2005). Sehingga pihak B tidak mengetahui bahwa pihak A mendapatkan keuntungan dari hubungan itu. Dengan arti lain, seluruh keuntungan dari hubungan itu paling banyak didapatkan oleh pihak B. Kepercayaan partikular menunjuk pada kepercayaan yang ditujukan pada kelompok sendiri saja (Robert, 2005). Hubungan yang terjadi antara beberapa pihak dilakukan karena atas dasar mereka memiliki kesamaan keberadaan di suatu kelompok. Kepentingan kelompok sangat diutamakan dibandingkan kepentingan umum. Sehingga keuntungan yang diperoleh dalam hubungan itu dalam rangka untuk memajukan kelompok itu. Kepercayaan umum menitikberatkan pada kepercayaan suatu pihak terhadap semua orang. Dalam rumusan singkatnya: A percaya semua orang (Robert, 2005). Kepercayaan yang dilakukan suatu pihak tanpa membeda bedakan siapapun dan hal apapun. Pihak A berpandangan bahwa semua orang itu sama dan layak untuk diberikan kepercayaan dan memberikan kepercayaan dalam menjalin hubungan terhadap pihak A. Kepercayaan interpersonal menunjuk pada kepercayaan satu sama lain yang terbentuk melalui interaksi sosial (Robert, 2005). Pihak A mempunyai hubungan dengan pihak B untuk saling mempercayai pihak A 25

26 dan B. Sifat kepercayaan ini memiliki kegunaan dalam hal kegiatan kerja voluntir dan amal. Sehingga nantinya diharapkan dapat mendapatkan solusi dalam rangka memecahkan masalah bersama demi kepentingan umum. VI. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pendekatan dalam penelitian sosial ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Pendekatan kualitatif memandang bahwa makna adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman seseorang dalam kehidupan sosialnya bersama orang lain (Bungin, 2008). Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai tujuan agar memperoleh makna dalam hal ini yaitu modal sosial kepercayaan yang dimiliki masyarakat dusun untuk mewujudkan relokasi mandiri kolektif. Untuk memperoleh makna itu, peneliti mempunyai upaya dengan mencari data mengenai pengalaman di dalam kehidupan sosial yang dipunya oleh masyarakat dusun terkait proses relokasi mandiri kolektif. Format desain pendekatan kualitatif dalam penelitian sosial ini menggunakan format deskriptif. Penelitian sosial menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan 26

27 berbagai kondisi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2008). Dalam penelitian ini sangat menonjolkan tentang penggambaran mengenai fenomena kondisi kehidupan sosial masyarakat dusun yang terbagi - bagi dalam peran dan fungsinya untuk melakukan upaya dalam proses relokasi mandiri. Studi kasus merupakan metode yang digunakan di dalam penelitian kualitatif ini. Terdapat tiga kondisi yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode dalam suatu penelitian (Yin, 2002), yaitu: a) Tipe pertanyaan yang diajukan b) Luas kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa perilaku yang akan diteliti c) Fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari peristiwa historis. Penelitian kualitatif dengan metode studi kasus condong membahas isu pokok pertanyaan mengenai bagaimana atau mengapa. Dalam rumusan masalah penelitian sosial ini peneliti memilih pertanyaan bagaimana karena sesuai dengan pandangan peneliti mengenai pemikiran 27

28 topik yang diangkat. Metode studi kasus tidak membutuhkan kontrol terhadap peristiwa. Di dalam penelitian ini sudah terjelaskan bahwa tidak terlalu menggunakan luas kontrol atas peristiwa perilaku yang akan diteliti karena semua tujuan penelitian yang ingin diteliti telah selesai dilakukan oleh objek penelitian. Metode studi kasus mempunyai fokus untuk menggali secara mendalam informasi pada peristiwa kontemporer. Pada penelitian ini, peristiwa yang masih terbilang peristiwa terkini karena memiliki rentang waktu yang relatif agak dekat antara proses penelitian ini dengan proses relokasi mandiri masyarakat yang baru dimulai semenjak bulan Juli Metode Pengumpulan Data Terdapat dua jenis sumber data yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan sekunder. Berikut penjelasan mengenai sumber data primer dan sumber data sekunder: 1. Sumber Data Primer Sumber data primer didapatkan melalui informasi yang diberikan secara langsung oleh informan penelitian atau lingkungan penelitian. Teknik pengumpulan data wawancara dan observasi memiliki daya 28

29 guna untuk memberikan informasi dalam sumber data primer. Berikut tabel yang menjelaskan sumber data primer. Tabel 1.2 Jenis Data dan Daftar Informan No Data Sumber Informan Metode Instrument 1. *. Kondisi Masyarakat *. Struktur Sosial Masyarakat *.Masyarakat *. Pemerintah Desa Umbulharjo *. Warga *. Kepala Dusun *. Perangkat Desa Umbulharjo Wawancara Interview Guide 2. *. Kondisi Kerawanan Bencana *. Masyarakat *. Bappeda Kab. Sleman *. BPBD Kab. Sleman *. Kliping Koran *. Museum Gunung Merapi Ketep *. Museum Gunung Merapi Kaliurang *. Warga *. ASN Bappeda Kab. Sleman *. ASN BPBD Kab. Sleman *. Wawancara *. Studi Literatur Interview Guide 29

30 3. *.Penerimaan Relokasi Masyarakat 4. *. Tahap Relokasi Mandiri Masyarakat 5. *. Peran Modal Sosial Masyarakat 6. *. Keterbatasan Modal Sosial Masyarakat *. Masyarakat *. Yayasan Loka - Loka *. Kliping Koran *. Masyarakat *. Yayasan Loka - Loka *. BPBD Kab. Sleman *. Masyarakat *. Yayasan Loka Loka *. Masyarakat *. Yayasan Loka Loka *. Warga *. Pengurus Yayasan Loka Loka *. Warga *. Pengurus Yayasan Loka - Loka *. ASN BPBD Kab. Sleman *. Warga *. Pengurus Yayasan Loka Loka *. Warga *. Pengurus Yayasan Loka Loka *. Wawancara *. Studi Literatur *. Wawancara *. Wawancara *. Wawancara Interview Guide Interview Guide Interview Guide Interview Guide 2. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder didapatkan melalui informasi berupa tulisan tulisan media cetak maupun online dan gambaran foto serta video dokumentasi milik masyarakat dan dokumen milik Pemerintah. 30

31 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 4 teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dokumentasi, dan rekaman arsip. Lama pengumpulan data penelitian di lapangan yaitu lima bulan dari bulan November 2015 hingga bulan Maret Berikut penjelasan mengenai 4 teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan sumber data primer dan sekunder di dalam penelitian ini: 1. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi melalui proses tanya jawab dengan cara bertatap muka langsung antara peneliti dengan informan penelitian. Pada saat tahap penelitian telah dilaksanakan, peneliti melakukan wawancara terhadap masyarakat, pengurus yayasan Loka Loka, dan ASN Bappeda serta BPBD Sleman, untuk menggali secara mendalam mengenai proses relokasi mandiri dan modal sosial masyarakat dalam mewujudkan hal itu. 2. Observasi Langsung Observasi adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi dengan cara menjumpai ke lapangan penelitian guna melakukan pengamatan objek penelitian secara langsung. Pada saat tahap penelitian peneliti melakukan observasi langsung ke dusun secara intensif guna mendapatkan informasi lebih jelas dan 31

32 terperinci mengenai tujuan penelitian ini dengan menghadiri pertemuan warga demi menjalin relasi sosial yang lebih dekat, yang terangkum dalam upacara kenduren, pemberian pakan untuk ternak sapi, kerja bakti pada saat membersihkan lingkungan rumah, pos jaga malam, dan pertemuan karang taruna. 3. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi dengan cara memanfaatkan dokumen dokumen atau catatan catatan yang sesuai topik penelitian. Pada saat penelitian, guna memperoleh informasi demi menunjang penelitian ini didapatkan melalui media massa cetak seperti dokumen kontijensi milik BPBD Sleman, beberapa media massa onlinedan cetak seperti Kompas, Bernas, Republika, dan Kedaulatan Rakyat serta arsip museum gunung Merapi dan undang undang berkaitan penanggulangan bencana. 4. Rekaman arsip adalah teknik pengumpulan data untuk menunjang penyimpanan rekaman wawancara. Pada saat penelitian, peneliti melakukan pengarsipan terhadap setiap kali wawancara yang dilakukan terhadap informan untuk memudahkan peneliti dalam pengolahan data penelitian. 32

33 3. Pemilihan Informan Pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian ini berfokus menggunakan key person atau informan kunci. Informan kunci dalam rangka menggali informasi secara mendalam penelitian ini antara lain yaitu panitia relokasi mandiri masyarakat dan warga. Pada awal mulanya peneliti melakukan wawancara terhadap ketua relokasi mandiri yaitu Pak Badiman. Dari informasi beliau, peneliti mendapatkan informasi mengenai tokoh tokoh lain yang cukup berperan pada saat keberlangsungan relokasi mandiri. Untuk mendapatkan keabsahan data yang akuntabel, peneliti juga melakukan wawancara terhadap warga yang tidak ikut terlibat secara penuh pada saat proses kegiatan relokasi mandiri. Selain itu, pengurus yayasan Loka Loka yang turut terlibat pada saat pendampingan kala kegiatan itu berlangsung dan ASN BPBD Sleman di bidang Rekonstruksi juga turut dimintai informasinya demi menunjang data yang reliabel. 4. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah peran dan keterbatasan modal sosial masyarakat dalam menyelenggarakan relokasi mandiri kolektif. Kepercayaan sebagai modal sosial yang dimiliki 33

34 masyarakat dusun diyakini oleh peneliti mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi. Konsep mengenai kepercayaan terbagi dalam 3 fokus utama yang dikaji dalam penelitian ini antara lain hubungan, harapan, dan tindakan atau interaksi sosial yang dimiliki masyarakat. 5. Teknik Analisa Data Penelitian ini menggunakan analisa data penelitian kualitatif studi kasus umum dengan berdasarkan pada proposisi teoritis. Tujuan dari desain asal dari studi kasus diperkirakan berdasar atas proposisi semacam itu, yang selanjutnya mencerminkan serangkaian pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, dan pemahaman pemahaman baru (Yin, 2002). Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini mengungkapkan mengenai hubungan sebab akibat. Sehingga proposisi- proposisi dalam teori menjadi orientasi memberikan pedoman dalam pembuatan analisis studi kasus. Dalam penelitian ini, teori mengenai kepercayaan dalam modal sosial membimbing peneliti untuk dapat melakukan penggalian informai secara mendalam mengenai fokus penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisa data penelitian kualitatif studi kasus khusus dengan pembuatan eksplanasi. Tujuan dari analisa data ini 34

35 untuk membuat penjelasan mengenai proses fenomena sosial. Penelitian ini membahas fenomena sosial mengenai peran dan keterbatasan masyarakat terkait proses pengambilan keputusan dan tahapan relokasi mandiri. Analisa data studi kasus khusus pembuatan eksplanasi merupakan penyederhanaan dari analisia data studi kasus umum berdasarkan pada proposisi teoritis. Menilik dari kesamaan pencerminan beberapa proposisi secara teoritis yang digunakan dalam melakukan kajian dalam suatu fenomena sosial. Eksplanasi akhir tersebut merupakan hasil dari serangkaian perulangan sebagai berikut: 1. membuat suatu pernyataan teoritis awal atau proposisi awal tentang kebijakan atau perilaku sosial; 2. membandingkan temuan temuan kasus awal dengan pernyataan atau proposisi tadi; 3. memperbaiki pernyataan atau proposisi; 4. Membandingkan rincian rincian kasus lainnya dalam rangka perbaikan tersebut: 5. Memperbaiki lagi pernyataan atau proposisi; 6. Membandingkan perbaikan tersebut dengan fakta fakta dari kasus kedua, ketiga, atau lebih; dan 35

36 7. Mengulangi proses ini sebanyak mungkin sebagaimana diperlukan (Yin, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan teori tentang kepercayaan dalam modal sosial menurut Putnam. Teori tentang modal sosial menurut Putnam akan membimbing peneliti dalam melakukan analisa data kualitatif studi kasus. 6. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah hunian tetap Karangkendal yaitu huntap yang diperuntukkan bagi masyarakat bertempat tinggal secara permanen pasca bencana. Huntap Karangkendal secara administratif wilayah terletak di Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Huntap Karangkendal termasuk dalam kawasan rawan bencana II dari erupsi gunung Merapi. Secara geografis, jarak vertikal antara puncak gunung Merapi dengan dusun balong sejumlah 9 kilometer. 36

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letusan Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober sampai 5 Nopember 2010 tercatat sebagai bencana terbesar selama periode 100 tahun terakhir siklus gunung berapi teraktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua daerah tidak pernah terhindar dari terjadinya suatu bencana. Bencana bisa terjadi kapan dan dimana saja pada waktu yang tidak diprediksi. Hal ini membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. untuk dijadikan permukiman sehingga muncul larangan bermukim. Merapi terletak antara dua provinsi yakni Daerah Istimewa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat terelakkan. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin banyak kebutuhan lahan yang harus disiapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 merupakan salah satu letusan besar dalam catatan sejarah terjadinya erupsi Gunung Merapi. Letusan eksplosif yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara yang kaya akan gunung api dan merupakan salah satu negara yang terpenting dalam menghadapi masalah gunung api. Tidak kurang dari 30

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara periodik setiap tiga tahun, empat tahun atau lima tahun. Krisis Merapi yang berlangsung lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7 32 31 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Ancaman Bencana Gunung Api Di Indonesia (Sumber : BNPB dalam Website,  2011) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gunung Merapi secara geografis terletak pada posisi 7º 32.5 Lintang Selatan dan 110º 26.5 Bujur Timur, dan secara administrasi terletak pada 4 (empat) wilayah kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanyaan penelitian; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; (5) batasan

BAB I PENDAHULUAN. pertanyaan penelitian; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; (5) batasan BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini, dimaksudkan untuk menjelaskan urgensi permasalahan penelitian yang diuraikan dengan sistematika (1) latar belakang; (2) pertanyaan penelitian; (3) tujuan penelitian;

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. atas kehilangan-kehilangan yang mereka alami, mulai dari anggota keluarga,

BAB V PENUTUP. atas kehilangan-kehilangan yang mereka alami, mulai dari anggota keluarga, BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober dan 5 November 2010 telah membuat dampak kerusakan diberbagai sektor. Dari segi fisik, bencana tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Lokasi Huntap Komunal Di Kecamatan Cangkringan, Sleman 2. Peta Persil Huntap Banjarsari, Desa Glagahharjo, Kecamatan Cangkringan 3. Peta Persil Huntap Batur, Desa Kepuhharjo, Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan kepulauan Indonesia merupakan daerah pertemuan lempeng bumi dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan curah hujan yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Menurut Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2011:14), Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan dalam suatu Negara wajib menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup warga negaranya. Peran aktif pemerintah diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skripsi ini menganalisis tentang partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Terjadinya bencana alam di suatu wilayah merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena bencana alam merupakan suatu gejala alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan

BAB VI PENUTUP. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, Pemerintah Pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan kebijakan relokasi atas dasar pertimbangan Peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkaran gunung api (ring of fire). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkaran gunung api (ring of fire). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan alamnya, tetapi merupakan salah satu Negara yang rawan bencana karena berada dipertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Indo Australia,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Penelitian bertujuan untuk menganalisis tingkat risiko kesehatan masyarakat di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunungapi Merapi dengan menggunakan variabel dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT - 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai suatu negara kepulauan yang mempunyai banyak sekali gunungapi yang berderet sepanjang 7000 kilometer, mulai dari Sumatera, Jawa,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Ringkasan Temuan Penahapan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud terdapat lima tahap, yaitu tahap perencanaan penanggulangan bencana erupsi Gunung Kelud 2014, tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi oleh jalur api (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Australia. Letak wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana alam. Indonesia berada diantara dua lempeng tektonik yaitu lempeng eurasia dan lempeng India- Australiayang setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lereng Gunungapi Merapi merupakan daerah yang dipenuhi oleh berbagai aktivitas manusia meskipun daerah ini rawan terhadap bencana. Wilayah permukiman, pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

BAB I PENDAHULUAN. dengan lebih dari pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Wilayah Indonesia terbentang

Lebih terperinci

Anonim, 2006, Dokumen RPJM Desa Umbulharjo tahun , Pemerintah Desa Umbulharjo.

Anonim, 2006, Dokumen RPJM Desa Umbulharjo tahun , Pemerintah Desa Umbulharjo. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA BUKU Anonim, 2006, Dokumen RPJM Desa Umbulharjo tahun 2006 2011, Pemerintah Desa Umbulharjo. Anonim, 2011, Dokumen RPJM Desa Umbulharjo tahun 2011 2016, Pemerintah Desa Umbulharjo.

Lebih terperinci

Perencanaan Partisipatif Kelompok 7

Perencanaan Partisipatif Kelompok 7 Perencanaan Partisipatif Kelompok 7 Anastasia Ratna Wijayanti 154 08 013 Rizqi Luthfiana Khairu Nisa 154 08 015 Fernando Situngkir 154 08 018 Adila Isfandiary 154 08 059 Latar Belakang Tujuan Studi Kasus

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya penyelamatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi Kapasitas Kelembagaan Program Sister Village sebagai Bentuk Pengurangan Risiko Bencana ini berusaha menguraikan bagaimana kondisi kapasitas kelembagaan dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian penilaian kelayakan sistem Kawasan Rawan Bencana (KRB) letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Dalam pengamatan

Lebih terperinci

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman 2013 1 Kebijakan Teknis Evakuasi Kebijakan teknis evakuasi merupakan bagian dari Skenario Rencana Penanggulangan Bencana Erupsi Gunungapi Merapi Menyusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan wilayah seyogyanya dilakukan dengan mengacu pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada di suatu lokasi tertentu. Di samping itu, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dilewati oleh dua jalur pegunungan muda dunia sekaligus, yakni pegunungan muda Sirkum Pasifik dan pegunungan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. koorditat 07 º 40 42,7 LS 07 º 28 51,4 LS dan 110º 27 59,9 BT - 110º 28

KEADAAN UMUM WILAYAH. koorditat 07 º 40 42,7 LS 07 º 28 51,4 LS dan 110º 27 59,9 BT - 110º 28 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH A. Keadaan Geografi 1. Letak dan Luas Wilayah Desa Desa Kepuharjo terletak di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Desa Kepuharjo secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki kurang lebih 17.504 buah pulau, 9.634 pulau belum diberi nama dan 6.000 pulau tidak berpenghuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebahagiaan adalah hal yang sangat diinginkan oleh semua orang. Setiap orang memiliki harapan-harapan yang ingin dicapai guna memenuhi kepuasan dalam kehidupannya. Kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan gunungapi aktif yang dipadati

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424,021-5228371

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424,021-5228371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Gunungapi Merapi dikenal sebagai gunungapi teraktif dan unik di dunia, karena periode ulang letusannya relatif pendek dan sering menimbulkan bencana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Eurasia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan berbagai lempeng tektonik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan gunung yang aktif, memiliki bentuk tipe stripe strato yang erupsinya telah mengalami perbedaan jenis erupsi, yaitu erupsi letusan dan leleran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu subsektor yang potensial dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu subsektor yang potensial dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pariwisata merupakan salah satu subsektor yang potensial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan devisa melalui upaya pengembangan dan pengelolaan dari berbagai

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembasahan yang telah dijelaskan, dapat dijelaskan proses konsensus Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo lebih mengarah pada proses konsensus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bencana geologi yang sangat besar, fakta bahwa besarnya potensi bencana geologi di Indonesia dapat dilihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian Selatan dan Timur Indonesia terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUNTAP PAGERJURANG

PERENCANAAN HUNTAP PAGERJURANG MAKALAH KELOMPOK PERENCANAAN HUNTAP PAGERJURANG Diajukan sebagai tugas mata kuliah Evaluasi Infrastrukur Pasca Bencana Disusun oleh : Irfan Faris Abdurrahman 12511313 Ilhamius Hamit 12511432 Fitra Mabrur

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks BAB III METODE PERANCANGAN Metode perancangan Rumah Susun pekerja ini menggunakan metode secara kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks permasalahan yang ada secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI

BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia

Lebih terperinci

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Koordinasi merupakan suatu tindakan untuk mengintegrasikan unit-unit pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam hal penanggulangan bencana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 Tahun 2008, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi bencana sangat tinggi dan bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter diatas permukaan laut. secara geografis terletak pada posisi 7 32.5 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi

BAB I PENGANTAR. Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi atau ring of fire yang dimulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara hingga

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Merapi. Ada 8 Desa yang termasuk ke dalam KRB III. Penelitian ini bertujuan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Merapi. Ada 8 Desa yang termasuk ke dalam KRB III. Penelitian ini bertujuan BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Kecamatan Dukun adalah salah satu Kecamatan di Kabupaten Magelang yang letak geografisnya sangat rentan terhadap ancaman bencana erupsi Gunung Merapi. Ada 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan berhadapan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian utara

Lebih terperinci

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana

Vulnerability. (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Vulnerability (Kerentanan) Praktikum Lapangan Gunung Merapi Mata Kuliah Mitigasi Bencana Aria Gumilar Rachmat Arie Prabowo M. Kurniawan Rama Irawan Program Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Program

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembentukan,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Parker (1992), bencana ialah sebuah kejadian yang tidak biasa terjadi disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, termasuk pula di dalamnya merupakan imbas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Salah satu fase penting dalam penanggulangan bencana adalah fase respon atau fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat membutuhkan suatu sistem yang terintegritas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai dan banjir. Bencana tersebut datang hampir setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dalam kegiatan penanggulangan bencana. Penetapan Undang-Undang tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 oleh Pemerintah Pusat merupakan suatu upaya untuk memperkuat keterlibatan Pemerintah Daerah dalam kegiatan penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 129 gunungapi yang tersebar luas mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Kepulauan Halmahera dan Sulawesi

Lebih terperinci

NEWS READER : data korban gempa bumi di DIY 01 mei 2006 sampai pukul 11.00

NEWS READER : data korban gempa bumi di DIY 01 mei 2006 sampai pukul 11.00 NEWS READER : data korban gempa bumi di DIY 01 mei 2006 sampai pukul 11.00 GEMPA BUMI BERSKALA 5,9 RICHTER / SABTU PAGI KEMARIN / TELAH MEMPORAK-PORANDAKAN BERBAGAI BANGUNAN / RUMAH / DAN PERKANTORAN /

Lebih terperinci

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006 Tiny Mananoma tmananoma@yahoo.com Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu 9 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu masih menyisakan pilu bagi banyak pihak, terutama bagi orang yang terkena dampak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan menimbulkan banyaknya kerugian baik secara materil maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah menenggelamkan 19 kampung, memutus 11 jembatan, menghancurkan lima dam atau bendungan penahan banjir, serta lebih

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Bencana (disaster) adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. dengan objek perancangan. Kerangka rancangan yang digunakan dalam proses

BAB III METODE PERANCANGAN. dengan objek perancangan. Kerangka rancangan yang digunakan dalam proses BAB III METODE PERANCANGAN Secara umum kajian perancangan dalam tugas ini, merupakan paparan dari langkah-langkah dalam proses merancang. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode berdasarkan logika,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Indonesia rawan akan bencana yang diakibatkan oleh aktivitas gunungapi. Salah satu gunungapi aktif yang ada di Indonesia yaitu Gunungapi Merapi dengan ketinggian 2968

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 9 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2000 sekitar 500 juta jiwa penduduk dunia bermukim pada jarak kurang dari 100 m dari gunungapi dan diperkirakan akan terus bertambah (Chester dkk., 2000). Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai kota metropolitan, menjadikan DKI Jakarta sebagai kota tujuan kaum urban untuk bermukim. Richard L Forstall (dalam Ismawan 2008) menempatkan Jakarta di urutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta dan Perencanaan Partisipatif Dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Tingkat Kampung A. Kondisi Kebencanaan Kota Yogyakarta

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk meminimalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan jenis gunungapi tipe strato dengan ketinggian 2.980 mdpal. Gunungapi ini merupakan salah satu gunungapi yang masih aktif di Indonesia. Aktivitas

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1 1. Serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan yang mendatangkan kerugian harta benda sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. No.1602, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas. Menurut Center of Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), bencana didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Efektivitas implementasi program pada ketiga kegiatan dalam program REKOMPAK dibagi menjadi efektivitas proses dan efektivitas output. Pada kegiatan penyusunan

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN

Lebih terperinci