SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum"

Transkripsi

1 No. 7 / 14 / DPNP Jakarta, 18 April 2005 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum Sehubungan dengan telah dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4472), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia sebagai berikut: I. UMUM A. Salah satu penyebab kegagalan Bank adalah Penyediaan Dana yang tidak didukung oleh kemampuan Bank mengelola konsentrasi portofolio Penyediaan Dana. Konsentrasi tersebut selain ditimbulkan oleh eksposur kredit, juga dapat ditimbulkan oleh eksposur yang berlebihan terhadap faktor pasar tertentu atau eksposur yang timbul dari kegiatan pendanaan dimana suatu Bank secara khusus bergantung pada segmen peminjam atau sumber pendanaan tertentu. B. Seiring

2 B. Seiring dengan pesatnya inovasi dan perkembangan jenis produk perbankan, Bank harus mengembangkan teknik pengukuran terhadap beberapa bentuk risiko konsentrasi yang timbul dari Penyediaan Dana. Hal ini khususnya terdapat pada bentuk Penyediaan Dana tidak langsung ataupun Penyediaan Dana yang dikaitkan dengan tagihan yang diperkuat dengan jaminan ataupun agunan dalam berbagai bentuk. C. Dengan semakin kompleksnya hubungan antara perseorangan dengan suatu perusahaan, dan atau suatu perusahaan dengan perusahaan lain maka Bank harus dapat secara akurat mengidentifikasi dan menentukan pihak lawan transaksi (counterparty) dalam kaitannya dengan pengukuran eksposur risiko konsentrasi tersebut. II. MANAJEMEN RISIKO A. Dalam melakukan Penyediaan Dana, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian serta mengelola risiko yang timbul sebagai akibat Penyediaan Dana tersebut. Penerapan prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko ini antara lain dilakukan dengan menetapkan batas (limit) Penyediaan Dana. Penetapan batas (limit) Penyediaan Dana tersebut harus dilakukan berdasarkan analisis dampak Penyediaan Dana terhadap struktur neraca dan profil risiko Bank, yaitu dengan mempertimbangkan besaran, jenis, jangka waktu Penyediaan Dana maupun dampak Penyediaan Dana terhadap kebijakan dan strategi diversifikasi portofolio Bank secara menyeluruh. Selain penetapan limit terhadap eksposur kepada pihak tertentu, maka untuk keperluan internal, Bank dapat menetapkan limit berdasarkan area geografis (geographic limits) dan sektor industri tertentu (certain industries). B. Analisa

3 B. Analisa dampak Penyediaan Dana terhadap struktur neraca dan profil risiko tersebut dilakukan antara lain dengan cara mengukur risiko kredit terhadap sekumpulan Penyediaan Dana (pools of provision of funds) yang memiliki karakteristik yang serupa, dari sisi besaran, jenis, dan atau jangka waktu. Risiko kredit tersebut diukur antara lain berdasarkan data historis tingkat kegagalan (historical default rate) dan perpindahan kualitas Penyediaan Dana (credit rating migration) selama periode tertentu. C. Analisa terhadap risiko konsentrasi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam suatu batas (limit) maksimum Penyediaan Dana yang dapat diberikan untuk Peminjam. Batas (limit) maksimum Penyediaan Dana tersebut pada umumnya ditentukan berdasarkan kerugian maksimum dari Penyediaan Dana yang dapat ditolerir oleh permodalan Bank (maximum loss rate as percentage of capital). D. Selain melakukan analisa terhadap konsentrasi Penyediaan Dana kepada Peminjam dan sekumpulan Penyediaan Dana sebagaimana dijelaskan diatas, Bank juga harus melakukan analisa terhadap alokasi yang ditetapkan untuk masing-masing komponen portofolio Penyediaan Dana. Hal ini dimaksudkan agar Bank dapat memiliki komposisi portofolio yang optimum dari struktur neraca Bank secara keseluruhan. Dalam menentukan alokasi tersebut, Bank harus mempertimbangkan korelasi risiko antara komponen portofolio Penyediaan Dana maupun tingkat volatilitas dari masing-masing komponen portofolio. III. PIHAK

4 III. PIHAK TERKAIT DAN KELOMPOK PEMINJAM Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dengan berkembangnya struktur kelompok usaha, konsepsi dasar dalam menentukan pihak lawan transaksi (counterparty) untuk pengukuran eksposur risiko konsentrasi juga mengalami perubahan yang cukup signifikan. Oleh karena itu sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 12 PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, dilakukan penyempurnaan terhadap konsepsi dasar penentuan Pihak Terkait dan kelompok Peminjam dengan menggunakan unsur pengendalian baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai faktor penentu. Unsur pengendalian dapat dianalisa berdasarkan hubungan kepemilikan, kepengurusan dan atau keuangan. Adapun cara-cara perseorangan atau perusahaan/badan melakukan pengendalian dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengendalian tersebut antara lain melalui kepemilikan saham secara langsung, hak opsi, maupun acting in concert. Walaupun tidak memiliki saham, pengendalian juga dapat dilakukan melalui kemampuan dalam penentuan kepengurusan maupun kemampuan dalam menentukan kebijakan operasional atau kebijakan keuangan Bank. A. Kepemilikan Saham. Hubungan pengendalian antara lain dapat timbul sebagai akibat kepemilikan saham suatu pihak, baik itu berbentuk perseorangan atau perusahaan/badan terhadap suatu perusahaan/badan. Kepemilikan ini dijabarkan dalam bentuk kepemilikan saham yang memiliki hak suara pada suatu perusahaan/badan. Dalam menentukan kepemilikan saham, termasuk didalamnya kepemilikan saham secara bersama-sama atau melalui

5 melalui pihak lain, seperti saham dari Pihak Terkait/anggota kelompok lainnya ataupun saham dari keluarganya. 1. Pihak Terkait dengan Bank a. Pengendali Bank Berdasarkan Kepemilikan Saham Suatu pihak dianggap mempunyai hubungan pengendalian dengan Bank apabila pihak tersebut memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Bank. Apabila pihak yang menjadi pengendali Bank dikendalikan oleh pihak lain, baik berbentuk perseorangan atau perusahaan/badan, maka pengendali dari pengendali ditetapkan pula sebagai pengendali Bank. Dalam menentukan pengendali dari pengendali tersebut tidak ada batas jenjang tertentu, sehingga penentuan pengendali dari pengendali hendaknya ditelusuri sampai dengan pengendali akhir. Apabila pengendali Bank adalah perorangan, maka pihak yang mempunyai hubungan keluarga baik vertikal maupun horisontal dari perseorangan tersebut juga merupakan pengendali Bank. Adapun pihak-pihak yang mempunyai hubungan keluarga dimaksud termasuk suami atau istri dari saudara kandung/tiri/angkat perseorangan yang bersangkutan. Pengendalian terhadap Bank sebagaimana dijelaskan diatas dapat dicontohkan dengan struktur kepemilikan sebagaimana digambarkan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2. b. Perusahaan/Badan Dimana Bank Bertindak Sebagai Pengendali Sesuai

6 Sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf b PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, antara lain diatur bahwa suatu perusahaan/badan dianggap dibawah pengendalian Bank apabila Bank memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham perusahaan/badan tersebut. Sebagaimana dalam menentukan pengendali dari pengendali Bank, tidak ada batas jenjang tertentu untuk menentukan perusahaan/badan yang berada dibawah pengendalian Bank. Penelusuran perusahaan/badan yang berada dibawah pengendalian Bank dilakukan sampai dengan perusahaan/badan terakhir (ultimate subsidiary). Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran 3. c. Pengendali Lain Dari Perusahaan/Badan Yang Dibawah Pengendalian Bank Sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf c PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, antara lain diatur bahwa pengendali lain dari perusahaan/badan yang dibawah pengendalian Bank dengan kepemilikian 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham, dianggap sebagai Pihak Terkait. Hal ini antara lain dicontohkan pada Lampiran 4. d. Perusahaan/Badan Dibawah Pengendalian Pihak-Pihak Dalam Huruf a dan Huruf c Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) huruf d PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank

7 Bank Umum, perusahaan/badan lain yang dikendalikan oleh pengendali Bank serta perusahaan/badan yang dikendalikan oleh pengendali lain dari anak perusahaan Bank juga ditetapkan sebagai Pihak Terkait. Dalam menentukan parameter pengendalian dari sisi kepemilikan saham, persentase yang digunakan adalah sebesar: 1) 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dan porsi kepemilikan tersebut merupakan porsi terbesar; atau 2) 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih kepemilikan atas saham perusahaan/badan tersebut. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran 5. e. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Kontrak investasi kolektif secara umum didefinisikan sebagai suatu kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian yang mengikat pemegang efek dimana manajer investasi diberi wewenang untuk mengelola portfolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Dalam konteks BMPK, manajer investasi KIK ditetapkan sebagai subjek untuk menentukan hubungan pengendalian. Apabila Bank dan atau Pihak Terkait dengan Bank memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham pada suatu manajer investasi KIK maka penanaman dana pada KIK yang dikelola manajer investasi tersebut dan atau Penyediaan Dana kepada manajer investasi tersebut ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran Kelompok

8 2. Kelompok Peminjam Bukan Pihak Terkait. Dari sisi kepemilikan saham, untuk menentukan hubungan pengendalian antara 1 (satu) Peminjam dengan Peminjam lain adalah sebagai berikut: a. Peminjam, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki saham sebesar 10% (sepuluh perseratus) atau lebih saham Peminjam lain dan porsi kepemilikan tersebut adalah porsi terbesar; atau b. Peminjam, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) atau lebih saham Peminjam lain. Apabila 1 (satu) Peminjam memiliki saham Peminjam lain dengan persentase sebagaimana dijelaskan pada huruf a atau huruf b, maka kedua Peminjam tersebut digolongkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. Penggolongan kelompok Peminjam berlaku pula apabila 1 (satu) pihak yang sama menjadi pengendali beberapa Peminjam, yaitu apabila pihak tersebut memiliki saham di beberapa Peminjam dengan persentase sebagaimana dijelaskan pada huruf a dan atau huruf b. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran 7. B. Kepengurusan Hubungan pengendalian dapat timbul sebagai akibat hubungan kepengurusan. 1. Pihak

9 1. Pihak Terkait. a. Sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf e dan Pasal 8 ayat (1) huruf f angka 2) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Komisaris, Direksi dan atau Pejabat Eksekutif Bank beserta keluarganya ditetapkan sebagai Pihak Terkait. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini termasuk suami/istri dari saudara kandung/tiri/angkatnya. Hal ini antara lain dapat dicontohkan dalam Lampiran 8 dalam bentuk garis putus-putus yang melingkari Bank. b. Komisaris, Direksi dan atau Pejabat Eksekutif dari pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai Pihak Terkait termasuk juga sebagai Pihak Terkait dengan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran 8 dalam bentuk garis putusputus yang melingkari pengendali Bank dan pihak-pihak yang dikendalikan oleh Bank. c. Pasal 8 ayat (1) huruf i PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum lebih lanjut menyatakan bahwa perusahaan/badan dimana Komisaris, Direksi dan atau Pejabat Eksekutif yang telah ditetapkan sebagai Pihak Terkait memiliki pengendalian, maka perusahaan/badan tersebut ditetapkan sebagai Pihak Terkait. Hal ini dapat dicontohkan dalam Lampiran 8. d. Pasal

10 d. Pasal 8 ayat (1) huruf h PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum menyatakan pula bahwa apabila Komisaris, Direksi dan atau Pejabat Eksekutif yang telah ditetapkan sebagai Pihak Terkait merangkap jabatan pada suatu perusahaan/badan lain, maka perusahaan/badan tersebut ditetapkan pula sebagai Pihak Terkait. e. Selain dari pengaturan yang terdapat dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, hubungan kepengurusan diatur pula dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut antara lain diatur pula bahwa perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari keluarga Dewan Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank termasuk dalam pengertian Pihak Terkait. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan dimana keluarga dari Dewan Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif Bank bertindak sebagai Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif ditetapkan sebagai Pihak Terkait dengan Bank. Selain itu, keluarga dari pengendali perseorangan Bank merupakan Pihak Terkait dengan Bank. Dengan demikian, perusahaanperusahaan dimana keluarga dari pengendali tersebut bertindak sebagai Dewan Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutif juga merupakan Pihak Terkait dengan Bank. Hal-hal tersebut diatas antara lain dicontohkan dalam Lampiran Kelompok

11 2. Kelompok Peminjam Bukan Pihak terkait Unsur dasar penentu hubungan pengendalian melalui kepengurusan antara beberapa Peminjam bukan Pihak Terkait, secara umum sama dengan Pihak Terkait. Dalam hal Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam juga mendapatkan Penyediaan Dana dari Bank, maka eksposur Penyediaan Dana baik kepada Peminjam serta kepada Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam tersebut diperhitungkan sebagai satu kesatuan dan Peminjam beserta Direksi, Komisaris, dan atau Pejabat Eksekutif Peminjam ditetapkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. Sebagaimana halnya dengan perlakuan untuk Pihak Terkait apabila terdapat beberapa perusahaan yang Komisaris, Direksi, dan atau Pejabat Eksekutifnya merupakan pihak yang sama, maka perusahaan-perusahaan tersebut ditetapkan sebagai 1 (satu) kelompok Peminjam. C. Keuangan. Hubungan pengendalian dapat pula diakibatkan melalui hubungan keuangan. Hubungan keuangan itu sendiri ditetapkan berdasarkan beberapa unsur sebagai berikut: 1. Ketergantungan keuangan (financial interdependence) Salah satu faktor yang digunakan untuk menentukan adanya ketergantungan keuangan antara 2 (dua) pihak adalah dengan melihat nilai transaksi antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal terdapat transaksi yang materiil antara 1 (satu) pihak dengan pihak lain

12 lain yang mengakibatkan kesehatan keuangan pihak tersebut dipengaruhi secara langsung oleh pihak lain lain, maka antara pihakpihak tersebut ditetapkan memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence). Beberapa faktor yang dapat digunakan dalam menganalisa hubungan transaksi antar pihak yang dapat menyebabkan ketergantungan keuangan antara lain adalah ketergantungan penjualan pada pihak tertentu dan atau ketergantungan terhadap pinjaman maupun sumber dana dari pihak tertentu. Analisa ketergantungan keuangan sebagaimana dijelaskan diatas dititikberatkan hanya kepada hubungan transaksional antara 1 (satu) pihak secara langsung dengan pihak lain. Pihak-pihak tersebut dapat digolongkan kedalam satu kelompok Peminjam apabila cash flow dari satu pihak akan terganggu secara signifikan akibat gangguan cash flow dari pihak lain, sehingga secara signifikan mempengaruhi kemampuan masing-masing pihak dalam membayar kewajibannya kepada Bank. 2. Pengalihan Risiko Melalui Penjaminan Faktor lain yang digunakan untuk menentukan adanya ketergantungan keuangan antara 2 (dua) pihak adalah adanya pengalihan risiko kredit melalui penjaminan dimana pihak yang menjamin akan mengambil alih sebagian atau keseluruhan risiko keuangan dari pihak yang dijamin. Bentuk penjaminan yang diberikan dalam menentukan hubungan keuangan dapat terdiri dari berbagai bentuk seperti: personal guarantee, corporate guarantee, dan atau aval. Hubungan

13 Hubungan keuangan sebagaimana dijelaskan diatas berlaku baik untuk Pihak Terkait dengan Bank maupun bukan. Dalam penentuan Pihak Terkait, apabila diantara pihak-pihak yang mempunyai hubungan keuangan merupakan Pihak Terkait dengan Bank maka keseluruhan pihak yang mempunyai hubungan keuangan tersebut ditetapkan sebagai Pihak Terkait dengan Bank. Hubungan keuangan sebagaimana dijelaskan diatas tidak berlaku untuk fasilitas Penyediaan Dana yang diberikan Bank kepada debiturnya dalam rangka kegiatan usaha Bank pada umumnya seperti pinjaman dan atau penjaminan yang diberikan dalam berbagai bentuk seperti; performance bond, bid bonds, atau akseptasi. Tidak termasuk pula dalam pengertian hubungan keuangan sebagaimana dijelaskan diatas adalah hubungan penjaminan karena kegiatan perasuransian oleh perusahaan asuransi dan jaminan yang diberikan oleh pemerintah, baik itu Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah negara lain. IV. PERHITUNGAN BMPK Bank dinyatakan melakukan pelanggaran BMPK, apabila terdapat selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank yang terjadi pada saat pemberian Penyediaan Dana. Bank dinyatakan melakukan pelampauan BMPK apabila terdapat selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank yang terjadi pada tanggal laporan. A. Batas

14 A. Batas (limit) Penyediaan Dana 1. Pihak Terkait dengan Bank Sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, seluruh portofolio Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dengan Bank ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank. Hal ini berarti setiap Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang ditetapkan sebagai Pihak Terkait dan total Penyediaan Dana kepada pihak-pihak yang ditetapkan sebagai Pihak Terkait ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari Modal Bank. 2. Peminjam Bukan Pihak Terkait Dengan Bank. PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum mengatur Penyediaan Dana untuk Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait dengan Bank sebagai berikut: a. 1 (satu) Peminjam secara individu ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari Modal Bank; dan b. 1 (satu) kelompok Peminjam ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dari Modal Bank. Dalam hal pada satu kelompok Peminjam terdapat pelanggaran terhadap BMPK kelompok Peminjam serta pelanggaran terhadap salah satu Peminjam yang merupakan anggota kelompok Peminjam tersebut, maka perhitungan pelanggaran hanya terhadap kelompok Peminjam, namun action plan penyelesaian pelanggaran hendaknya dilakukan untuk kedua pelanggaran BMPK tersebut. Contoh perhitungan BMPK untuk kelompok Peminjam dapat digambarkan dalam Lampiran 9. B. Modal

15 B. Modal Sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, yang dimaksud dengan Modal Bank adalah: 1. untuk Bank yang berkantor pusat di Indonesia adalah modal inti dan modal pelengkap; 2. untuk Unit Usaha Syariah dari Bank yang melakukan kegiatan usaha konvensional adalah modal inti dan modal pelengkap yang dihitung secara konsolidasi dari unit yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan unit usaha syariah Bank. 3. untuk kantor cabang bank asing adalah dana bersih kantor pusat dan kantor-kantor cabang lainnya di luar negeri atau yang dikenal dengan Net Head Office Funds. Modal sebagaimana dimaksud diatas tidak termasuk modal pelengkap tambahan dan tidak dikurangi penyertaan. Penempatan yang dilakukan kantor cabang bank asing pada kantorkantor cabang dan kantor pusatnya di luar negeri merupakan komponen pengurang Net Head Office Funds. Oleh karena itu sesuai Pasal 9 PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, bagi kantor cabang bank asing, penempatan pada kantor-kantor cabang dan kantor pusatnya diluar negeri tidak termasuk Penyediaan Dana dalam perhitungan BMPK. Adapun Penyediaan Dana dari kantor cabang bank asing kepada Pihak Terkait dengan kantor pusat dari kantor cabang bank asing tersebut, termasuk Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait. Untuk

16 Untuk menentukan jumlah modal dalam perhitungan pelanggaran BMPK, modal yang digunakan adalah posisi modal bulan terakhir sebelum realisasi Penyediaan Dana. C. Penyediaan Dana 1. Kredit Sesuai PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Termasuk dalam pengertian Kredit adalah: a. Cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain. Penyediaan Dana berupa Kredit ditetapkan sebagai eksposur terhadap Peminjam atau debitur Kredit tersebut. Sementara itu untuk menghitung BMPK, Penyediaan Dana berupa Kredit dihitung berdasarkan baki debet. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran Surat Berharga Penyediaan Dana berupa Surat Berharga ditetapkan sebagai eksposur terhadap penerbit Surat Berharga tersebut. Sementara itu untuk menghitung BMPK, Penyediaan Dana berupa Surat Berharga dihitung

17 dihitung berdasarkan harga beli Surat Berharga. Kecuali ditetapkan tersendiri kedua pengaturan diatas berlaku untuk Surat Berharga secara umum. a. Surat Berharga Yang Dibeli Dengan Janji Dijual Kembali (reverse repurchase agreement). Pembelian Surat Berharga secara repo bagi reverse party, ditetapkan sebagai Penyediaan Dana terhadap pemilik Surat Berharga yang dijual secara repo (repo party). Sementara itu, bagi repo party, Surat Berharga yang direpokan tetap diperhitungkan sebagai Penyediaan Dana kepada penerbit Surat Berharga (issuer). Lampiran 11 merupakan contoh umum mekanisme transaksi Surat Berharga secara repo. b. Surat Berharga Yang Dihubungkan/Dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset). Yang dimaksud dengan Surat Berharga yang dihubungkan/dijamin dengan aset tertentu yang mendasari (underlying reference asset) adalah bentuk Surat Berharga dimana harga/nilai dari Surat Berharga tersebut ditentukan antara lain berdasarkan harga/nilai dari suatu instrumen tertentu yang ditetapkan sebagai instrumen dasar seperti reksadana atau efek beragun aset. Pengaturan untuk Surat Berharga sebagaimana dimaksud diatas dapat dibagi 2 sebagai berikut: 1) Pass-Through dan Non-Redemption Yang dimaksud dengan pass-through adalah apabila pembayaran kewajiban Surat Berharga sepenuhnya terkait

18 terkait langsung dengan aset/instrumen yang mendasari penerbitan Surat Berharga, yaitu apabila pembayaran pokok dan bunga Surat Berharga tersebut sepenuhnya berasal dan merupakan penerusan dari pembayaran pokok dan bunga aset/instrumen yang mendasari. Sementara itu yang dimaksud dengan non-redemption adalah apabila: a) Surat Berharga tersebut tidak dapat dicairkan kepada penerbit sebelum Surat Berharga jatuh tempo; b) pada saat jatuh tempo, pembayaran/pencairan Surat Berharga tersebut sepenuhnya bergantung pada kualitas aset/instrumen yang mendasari Surat Berharga tersebut. Risiko atas terjadinya wanprestasi pembayaran dari aset/instrumen yang mendasari yang menyebabkan terjadinya wanprestasi pembayaran Surat Berharga, sepenuhnya diambil alih oleh pembeli Surat Berharga tersebut; dan c) tidak dapat dibeli kembali oleh Penerbit Surat Berharga. Pembelian Surat Berharga yang dihubungkan/ dijamin dengan aset/instrumen tertentu yang mendasari (underlying reference asset) dan memenuhi kriteria pass-through dan non-redemption sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada

19 kepada Reference Entity. Sementara itu, BMPK untuk masing-masing Reference Entity tersebut dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi aset/instrumen dasar dari masing-masing Reference Entity terhadap Surat Berharga secara keseluruhan. Lampiran 12 merupakan contoh transaksi efek beragun aset. 2) Non-Pass Through dan atau Redemption Pembelian Surat Berharga yang dihubungkan/ dijamin dengan aset/instrumen tertentu yang mendasari (underlying reference asset) dan tidak memenuhi kriteria pass-through dan non-redemption sebagaimana dijelaskan pada angka 1) diatas ditetapkan sebagai Penyediaan Dana baik kepada Reference Entity maupun kepada penerbit dari Surat Berharga tersebut. Lampiran 13 merupakan contoh transaksi reksadana. 3. Derivatif Kredit BMPK untuk derivatif kredit ditetapkan sesuai dengan risiko kredit yang melekat pada masing-masing instrumen derivatif kredit. Berikut adalah contoh-contoh transaksi derivatif kredit. a. Credit Default Swap Dalam credit default swap, pihak yang mengambil alih risiko/investor (protection seller) hanya memberikan pembayaran kepada pihak yang mengalihkan risiko (protection buyer) apabila terjadi suatu credit event pada reference asset. Sementara itu, protection buyer hanya melakukan

20 melakukan pembayaran terhadap jaminan yang diberikan protection seller dalam bentuk premi. Mekanisme transaksi credit default swap sebagaimana dijelaskan diatas antara lain dapat dicontohkan dalam Lampiran 14. Pembayaran oleh protection seller pada saat terjadi credit event dapat dilakukan sebagai berikut: 1) sebesar nilai par (par value) yang ditukarkan dengan pengiriman fisik (physical delivery) dari reference asset; 2) dalam bentuk kompensasi sebesar selisih antara nilai par (par value) dan nilai pengembalian (recovery value) dari reference asset pada saat terjadi credit event; atau 3) jumlah tetap yang telah diperjanjikan sebelumnya. Bagi protection seller, yaitu pihak yang mengambil alih risiko reference asset, jaminan yang diberikan atas reference asset merupakan subjek BMPK dan ditetapkan sebagai eksposur kepada reference entity. Adapun nilai dari jaminan yang diberikan tersebut diperhitungkan dalam BMPK sebesar jumlah maksimum kerugian yang mungkin ditanggung oleh protection seller dalam hal terjadi credit event pada reference asset, sebagaimana telah ditetapkan dalam kontrak/perjanjian transaksi credit default swap dimaksud. b. Total (rate of) Return Swap Lampiran 15 merupakan contoh transaksi total (rate of) return swap. Dalam contoh tersebut diatas, protection buyer menukarkan (swap) pendapatan (return) yang diterima dari reference

21 reference aset ditambah dengan margin tertentu (termasuk kenaikan nilai reference asset), kepada protection seller. Sebagai gantinya, protection seller akan memberi pembayaran dalam jumlah tertentu kepada protection buyer ditambah dengan kompensasi atas turunnya nilai dari reference asset. Dengan pola transaksi total (rate of) return swap sebagaimana dijelaskan diatas, maka protection seller mengambil alih keseluruhan risiko kredit (dan risiko pasar) dari reference asset selama periode transaksi. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka bagi protection seller, yaitu pihak yang mengambil alih risiko reference asset, jaminan yang diberikan atas kerugian nilai dari reference asset merupakan subjek BMPK dan ditetapkan sebagai eksposur kepada reference entity. Adapun nilai dari jaminan yang diberikan tersebut diperhitungkan dalam BMPK sebesar jumlah maksimum kerugian yang mungkin ditanggung oleh protection seller, sebagaimana telah ditetapkan dalam kontrak/perjanjian transaksi total (rate of) return) swap dimaksud. c. Credit Linked Notes Credit linked notes atau CLN merupakan Surat Berharga yang diterbitkan oleh protection buyer yang akan dibayarkan sebesar nilai par pada saat jatuh tempo dengan persyaratan tidak terjadi credit event terhadap reference aset sampai dengan Surat Berharga tersebut jatuh tempo. Dalam hal terjadi credit

22 credit event maka pemegang CLN mencairkan CLN tersebut kepada penerbit CLN (dengan nilai antara lain sebesar selisih antara nilai par (par value) dan nilai pengembalian (recovery value) dari reference asset pada saat terjadi credit event). Berdasarkan karakteristiknya CLN merupakan kombinasi antara obligasi dan credit default swap, sehingga sebagaimana halnya credit default swap, hanya risiko kredit dari reference asset yang dijamin. Namun terdapat perbedaan antara CLN dan credit default swap atau total (rate of) return swap yaitu dalam hal CLN, pihak pembeli CLN atau protection seller membeli/melakukan pembayaran dimuka sebesar nilai reference asset yang mendasari CLN. Berdasarkan hal tersebut diatas maka eksposur yang timbul dari pembelian CLN ditetapkan sebagai eksposur kepada 2 (dua) pihak, yaitu: 1) sebagai eksposur kepada penerbit CLN; dan 2) sebagai eksposur kepada reference entity, dan masing-masing eksposur tersebut ditetapkan sebagai subjek BMPK. BMPK kepada penerbit untuk pembelian CLN dihitung sebagaimana halnya pembelian Surat Berharga pada umumnya, yaitu sebesar harga beli. Sementara itu, BMPK terhadap reference entity diperlakukan sebagaimana halnya jaminan yang diberikan kepada reference entity dan dihitung secara proporsional berdasarkan proporsi aset yang mendasari. d. Lainnya

23 d. Lainnya Untuk derivatif kredit yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan ketiga bentuk yang telah dijelaskan pada huruf a. sampai dengan huruf c., maka BMPK untuk derivatif kredit tersebut ditetapkan berdasarkan risiko kredit yang melekat serta besarnya risiko yang dialihkan/diambil alih dari instrumen derivatif kredit tersebut. Dalam hal Bank akan melakukan Penyediaan Dana dalam bentuk pembelian derivatif kredit, Bank hendaknya mengacu pula pada PBI Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bank Umum, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan risiko produk dan aktivitas baru. Sehubungan dengan itu, sepanjang Penyediaan Dana dalam bentuk derivatif kredit cukup signifikan dan mempengaruhi profil risiko Bank, Bank harus melaporkannya kepada Bank Indonesia. 4. Tagihan Akseptasi Sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Penyediaan Dana berupa Tagihan Akseptasi ditetapkan sebagai eksposur kepada pihak yang wajib melunasi Tagihan Akseptasi tersebut. Untuk Tagihan Akseptasi yang telah diaksep bank lain without recourse, pihak yang berkewajiban melunasi Tagihan Akseptasi tersebut adalah bank yang mengaksep tagihan tersebut. Sementara itu, untuk Tagihan Akseptasi yang telah diaksep bank lain dengan syarat with recourse atau tagihan akseptasi yang tidak diaksep oleh bank

24 bank, maka pihak yang berkewajiban melunasi Tagihan Akseptasi dalam kaitannya dengan perhitungan BMPK adalah nasabah tersebut atau pihak lain yang wajib melunasi Tagihan Akseptasi. Adapun BMPK, untuk Tagihan Akseptasi tersebut dihitung sebesar nilai wesel yang diaksep yaitu sebesar nilai bruto tagihan terhadap pihak yang menjamin. 5. Jaminan yang diterbitkan, letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC) Penyediaan Dana berupa jaminan yang diterbitkan, letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC) atau instrumen serupa lainnya, yang tercatat pada rekening administratif ditetapkan sebagai Penyediaan Dana kepada pemohon (applicant) yaitu pihak yang memperoleh fasilitas jaminan, letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), dan atau fasilitas pengganti kredit (credit substitute) lainnya. Sementara itu, BMPK untuk transaksi-transaksi diatas dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan (outstanding). 6. Transaksi Derivatif a. Penyediaan Dana berupa transaksi derivatif yang didasari oleh suku bunga atau valuta asing ditetapkan sebagai eksposur kepada pihak lawan transaksi (counterparty). Contoh transaksi derivatif tersebut di atas antara lain seperti single currency interest rate swap, forward rate agreements, cross currency swap, cross currency interest rate swap, forward foreign exchange contracts atau instrumen serupa lainnya. Tidak termasuk dalam pengertian transaksi derivatif disini adalah transaksi derivatif berupa derivatif kredit. b. BMPK

25 b. BMPK untuk transaksi derivatif sebagaimana tersebut diatas dihitung berdasarkan risiko kredit transaksi derivatif tersebut. Risiko kredit transaksi derivatif adalah penjumlahan dari: 1) Tagihan derivatif yaitu jumlah positif potensi keuntungan suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif yang diperoleh dari proses mark to market dari perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif); dan 2) Potential Future Credit Exposure yaitu seluruh potensi keuntungan suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif selama umur perjanjian/kontrak transaksi derivatif yang ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai nosional perjanjian/kontrak transaksi derivatif tersebut. Besarnya persentase tertentu yang ditetapkan sebagai faktor konversi untuk menentukan jumlah Potential Future Credit Exposure ditentukan berdasarkan jangka waktu dan faktor yang mendasari perjanjian/kontrak transaksi derivatif sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut ini. MATRIKS FAKTOR KONVERSI JANGKA WAKTU (MATURITY) FAKTOR YANG MENDASARI TRANSAKSI suku bunga nilai tukar (interest rate contracts) (foreign exchange contracts) 0-1 Tahun 0.0 % 1,0 % >1-5 Tahun 0,5 % 5,0 % > 5 Tahun 1,5 % 7,5 % Sementara

26 Sementara itu, yang dimaksud dengan nilai nosional dari suatu perjanjian/kontrak adalah nilai nosional efektif yang digunakan/ditetapkan untuk menentukan jumlah arus pembayaran antara para pihak yang terlibat dalam transaksi. c. Jangka waktu untuk menghitung Potential Future Credit Exposure adalah jangka waktu perjanjian/kontrak transaksi derivatif, kecuali ditetapkan tersendiri sebagai berikut: 1) Untuk perjanjian/kontrak transaksi derivatif yang secara otomatis kembali menjadi 0 (nol) (automatically reset to zero) setelah pembayaran, jangka waktu yang digunakan adalah sisa jangka waktu sampai dengan pembayaran berikutnya. Dalam hal perjanjian/kontrak transaksi derivatif berdasarkan suku bunga memiliki jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka persentase konversi yang ditetapkan serendah-rendahnya 0.5% (nol koma lima perseratus) walaupun periode reset kurang dari 1 (satu) tahun; 2) Untuk perjanjian/kontrak transaksi derivatif yang melakukan penyesuaian tingkat bunga (interest rate adjustment), jangka waktu yang digunakan adalah sisa jangka waktu sampai dengan penyesuaian tingkat bunga berikutnya. Dalam hal perjanjian/kontrak transaksi derivatif berdasarkan suku bunga memiliki jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka persentase konversi yang ditetapkan serendah-rendahnya 0.5% (nol koma lima perseratus) walaupun periode penyesuaian tingkat bunga kurang dari 1 (satu) tahun; 3) Untuk

27 3) Untuk perjanjian/kontrak transaksi derivatif yang didasarkan pada suatu instrumen referensi yang mempunyai jangka waktu, jangka waktu yang digunakan adalah jangka waktu dari instrumen referensi tersebut. d. Dalam hal transaksi derivatif merupakan transaksi yang berbasis nilai tukar, maka Potential Future Credit Exposure dihitung dengan menggunakan kurs yang telah diperjanjikan dalam transaksi. Lampiran 16 merupakan contoh perhitungan Potential Future Credit Exposure. e. Perhitungan risiko kredit beberapa transaksi derivatif yang dilengkapi dengan perjanjian saling hapus antara pihak yang melakukan transaksi (bilateral netting agreement), dilakukan dengan menghitung eksposur bersih (net exposures) dari masing-masing transaksi tersebut, baik untuk komponen Potential Future Credit Exposure maupun komponen tagihan derivatif. Perhitungan eksposur bersih untuk komponen Potential Future Credit Exposure dalam menentukan risiko kredit transaksi derivatif dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: A net = [0,4 x A gross + (0,6 x NGR x A gross )], dimana: 1) A net adalah eksposur bersih (net exposure) Potential Future Credit Exposure (adjusted sum Potential Future Credit Exposure); 2) A gross

28 2) A gross adalah jumlah seluruh eksposur kotor (gross exposure) Potential Future Credit Exposure dari masingmasing transaksi derivatif; dan 3) NGR adalah rasio eksposur bersih terhadap eksposur kotor (net to gross ratio) Sementara itu, untuk menghitung eksposur bersih tagihan derivatif untuk transaksi yang dilengkapi perjanjian saling hapus dilakukan dengan menjumlahkan jumlah positif dan jumlah negatif nilai mark to market dari transaksi-transaki yang dilengkapi dengan perjanjian saling hapus tersebut. Apabila hasil penjumlahan tersebut adalah negatif, maka nilai yang digunakan adalah 0 (nol). Lampiran 17 merupakan contoh perhitungan Potential Credit Exposure untuk transaksi yang dilengkapi perjanjian saling hapus. 7. Penyertaan Modal Penyediaan Dana berupa Penyertaan Modal ditetapkan sebagai eksposur kepada perusahaan tempat Bank melakukan Penyertaan (investee). Sesuai PBI, definisi Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada bank atau perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan yang berlaku seperti perusahaan sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, termasuk penanaman dalam bentuk surat konversi utang (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options

29 options) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada bank dan atau perusahaan yang bergerak di bidang keuangan lainnya. Adapun jumlah Penyediaan Dana dalam bentuk penyertaan saham adalah sebesar harga perolehan, yakni seluruh biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyertaan. Untuk penanaman dalam bentuk surat konversi utang (convertible bonds) dengan opsi saham (equity options), yang diperhitungkan adalah sebesar nilai saham atau penyertaan yang akan diperoleh Bank apabila surat konversi utang (convertible bonds) dikonversi menjadi saham. Untuk jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham seperti transaksi opsi saham, Penyediaan Dana yang diperhitungkan dalam BMPK adalah sebesar nilai keseluruhan saham yang akan dimiliki apabila opsi tersebut di-exercise. Adapun transaksi opsi saham yang termasuk dalam Penyertaan adalah opsi saham dimana Bank memiliki pengendalian berdasarkan 2 faktor sebagai berikut: a. Faktor Potential Voting Rights yakni yang dilihat berdasarkan 1) hak atas keuntungan/laba yang diperoleh investee, 2) risiko dalam menanggung kerugian investee dan atau 3) hak untuk menggunakan hak suara atau mengurangi hak suara pemegang saham lain; serta b. Faktor waktu kepemilikan (presently exercisable) atas Potential Voting Rights yakni apakah hak ataupun risiko sebagaimana dijelaskan pada huruf a telah berada/dapat digunakan investor pada saat transaksi opsi saham dilakukan. Dalam

30 Dalam hal ini perlu diperhatikan apakah opsi saham dapat diexercise sewaktu-waktu (exercise at any time); atau apakah transaksi opsi saham distruktur sedemikian rupa sehingga opsi tersebut wajib di-exercise (mandatory exercise), misalnya penetapan strike price opsi yang sedemikian rupa sehingga mengharuskan opsi di-exercise pada saat jatuh tempo atau perpanjangan terus menerus dari opsi yang mengindikasikan keinginan dari pihak pemegang opsi untuk meng-exercise opsi tersebut. Adapun kemampuan keuangan (financial capability) dari Bank untuk dapat menggunakan hak tersebut tidak mempengaruhi penilaian faktor waktu kepemilikan sebagaimana dijelaskan diatas. Dalam melakukan transaksi opsi saham, Bank hendaknya mengacu pula pada SK DIR Bank Indonesia Nomor 28/119/KEP/DIR Tanggal 29 Desember 1995 tentang Transaksi Derivatif. Sesuai ketentuan tersebut, transaksi derivatif yang diperkenankan adalah transaksi derivatif yang didasarkan atas suku bunga dan nilai tukar. Sementara itu, transaksi derivatif atas dasar saham hanya diperkenankan apabila transaksi tersebut memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan BMPK dan ketentuan prinsip kehatihatian dalam kegiatan penyertaan modal. Adapun transaksi derivatif atas dasar saham yang diperuntukan untuk jual beli saham, yaitu transaksi yang tidak memenuhi persyaratan dalam kedua ketentuan diatas, tidak diperkenankan. V. PELAMPAUAN

31 V. PELAMPAUAN BMPK Sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Penyediaan Dana oleh Bank dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK apabila terdapat selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana terhadap Modal Bank dengan persentase BMPK yang diperkenankan yang disebabkan oleh penurunan Modal Bank, perubahan nilai tukar, perubahan nilai wajar, penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam, dan atau perubahan ketentuan. Perhitungan Pelampauan BMPK didasarkan pada nilai tercatat pada tanggal laporan (carrying value) dari penyediaan dana yang dicatat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Untuk transaksi derivatif, nilai tercatat pada tanggal laporan termasuk Potential Future Credit Exposure yang telah ditetapkan untuk transaksi tersebut. A. Penurunan Modal Bank Yang dimaksud dengan penurunan Modal Bank dalam kaitannya dengan Pelampauan BMPK adalah penurunan modal inti dan atau modal pelengkap atau NHOF, yang mengakibatkan Modal Bank, sebagai faktor penyebut untuk perhitungan BMPK, menjadi lebih kecil. B. Perubahan Nilai Tukar dan atau Nilai Wajar. Perubahan nilai tukar dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai tercatat Penyediaan Dana dalam bentuk valuta asing, sehingga dapat mengakibatkan Pelampauan BMPK. Sesuai standar akuntansi keuangan, penyesuaian atas nilai tukar hanya dilakukan untuk akun-akun dalam bentuk monetary asset, sehingga penyertaan modal dalam valuta asing tidak disesuaikan dengan kurs pada tanggal laporan. Yang

32 Yang dimaksud dengan perubahan nilai wajar adalah perubahan nilai sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, misalnya pencatatan Surat Berharga sesuai nilai pasar dan pencatatan penyertaan dengan menggunakan equity method. Sesuai PBI Nomor 5/10/PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal, peningkatan jumlah penyertaan akibat equity method yang belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun, tidak diperhitungkan sebagai pelampauan BMPK. Penyertaan yang dikonsolidasi dan menghasilkan goodwill, dapat diamortisasi dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan itu, maka nilai penyertaan dalam laporan keuangan bank secara individual juga dianggap mengalami penurunan nilai (impairement) sebesar amortisasi goodwill tersebut. Penurunan nilai tersebut diakui sebagai kerugian atas penurunan nilai penyertaan dan mengurangi nilai tercatat pada laporan keuangan bank secara individual. Untuk transaksi derivatif yang dinilai kembali (repricing), komponen Potential Future Credit Exposure dihitung kembali pada waktu dilakukannya penilaian kembali. C. Penggabungan Usaha dan atau Perubahan Struktur Kepengurusan Penggabungan usaha, baik dalam bentuk akuisisi, merger, atau perubahan struktur kepemilikan lainnya, dan atau perubahan struktur kepengurusan baik yang dilakukan oleh Bank penyedia dana maupun oleh Peminjam dapat mengakibatkan berubahnya pihak-pihak yang ditetapkan sebagai Pihak Terkait atau kelompok Peminjam. Sehubungan dengan itu, sebagai akibat terjadinya penggabungan usaha dan atau perubahan struktur kepengurusan tersebut, Bank harus mengevaluasi ulang

33 ulang jumlah eksposur yang dimilikinya atas Peminjam berkaitan dengan batasan (limit) yang ditetapkan PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum untuk Pihak Terkait dan atau kelompok Peminjam. VI. PENGECUALIAN A. Penyediaan Dana yang dijamin Agunan Tunai Sesuai Pasal 27 ayat (1) huruf c angka 1) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh agunan tunai dikecualikan dari ketentuan BMPK. Latar belakang penggunaan agunan tunai sebagai agunan yang dapat digunakan dalam pengecualian BMPK adalah bahwa agunan tunai bersifat sangat likuid, mudah dicairkan, dan mempunyai nilai yang relatif tetap. Oleh karena itu, risiko Penyediaan Dana yang dijamin agunan tunai tersebut dapat dimitigasi secara menyeluruh. Apabila fungsi mitigasi tersebut tidak dapat dipenuhi oleh agunan tunai yang diberikan, antara lain disebabkan bahwa agunan tunai berasal dari Penyediaan Dana yang diberikan Bank penyedia dana, maka agunan tunai tersebut tidak dapat diakui sebagai agunan yang dapat digunakan dalam pengecualian BMPK. Agunan yang memenuhi syarat agunan tunai sesuai ketentuan tersebut diatas adalah agunan tunai yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam ketentuan termasuk jangka waktu pemblokiran yang paling kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana serta jangka waktu pengajuan klaim. Sehubungan dengan itu agunan tunai tersebut

34 tersebut adalah agunan yang digunakan untuk menjamin Penyediaan Dana yang bersifat sebagai utang piutang dan tidak termasuk Penyediaan Dana dalam bentuk Penyertaan. B. Penyediaan Dana yang dijamin Prime Bank serta Penempatan kepada Prime Bank. Sesuai Pasal 33 PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, bagian Penyediaan Dana kepada Peminjam yang dijamin Standby Letter of Credit (SBLC) yang diterbitkan prime bank dikecualikan dari perhitungan BMPK sepanjang SBLC tersebut memenuhi persyaratan tertentu. Pengecualian tersebut ditetapkan paling tinggi: 1. 90% (sembilan puluh perseratus) dari modal Bank, untuk Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait; 2. 80% (delapan puluh perseratus) dari modal Bank, untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait; 3. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari modal Bank, untuk Penyediaan Dana kepada 1 (satu) kelompok Peminjam yang bukan merupakan Pihak Terkait. Sementara itu, Pasal 34 PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum mengatur pula bahwa Penempatan kepada setiap prime bank tidak diperhitungkan dalam BMPK dengan jumlah paling tinggi masing-masing sebesar Modal Bank. Hal ini antara lain dicontohkan dalam Lampiran 18. C. Penempatan

35 C. Penempatan Sesuai Pasal 30 ayat (2) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, diatur bahwa dalam hal Penempatan tidak merupakan cakupan program penjaminan Pemerintah, maka bagian dari Penempatan berupa Penempatan kepada Bank lain di Indonesia melalui Pasar Uang Antar Bank (PUAB) untuk tujuan manajemen likuiditas dengan jangka waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari dikecualikan dari BMPK. Pengaturan ini berlaku untuk counterparty Bank yang merupakan Bank lain di Indonesia baik yang merupakan peserta program penjaminan Pemerintah ataupun tidak. Disamping itu, pengaturan dalam Pasal 30 ayat (2) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum berlaku pula untuk counterparty Bank yang merupakan Bank lain di Indonesia dan tergolong Pihak Terkait dengan Bank. Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang dimaksud dalam pengaturan ini adalah PUAB di Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. D. Penyertaan Modal. Sebagaimana diatur dalam Pasal 31 PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Penyertaan Modal kepada bank lain di Indonesia dapat dikecualikan dari BMPK sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk pengecualian Penyertaan Modal tersebut adalah Bank dan investee bersedia memberikan komitmen secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk menerapkan pengawasan Bank dan investee Secara

36 secara individual maupun konsolidasi. Adapun penerapan pengawasan secara konsolidasi tersebut meliputi penerapan ketentuan kehati-hatian yaitu kewajiban penyediaan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, dan posisi devisa neto serta tindak lanjut pengawasan dan penetapan status Bank. Rasio-rasio yang diperhatikan dalam penetapan pengawasan khusus dan pengawasan intensif, antara lain mencakup giro wajib minimum, rasio kredit bermasalah terhadap total kredit, dan penilaian tingkat kesehatan. Penerapan pengawasan secara individual maupun secara konsolidasi sebagaimana dimaksud diatas diilustrasikan dalam Lampiran 19 dan Lampiran 20. E. Penyediaan Dana kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sesuai Pasal 40 ayat (1) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum diatur bahwa Penyediaan Dana Bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh perseratus) dari Modal Bank. Berkaitan dengan ketentuan tersebut di atas, yang dimaksud dengan Penyediaan Dana untuk pembangunan dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak adalah pembiayaan untuk: 1. sektor pertanian yang berkaitan dengan pengadaan pangan oleh Badan Usaha Logistik; 2. pengadaan rumah sangat sederhana antara lain oleh Perum Perumnas; 3. pengadaan/penyediaan/pengelolaan bahan baku mentah minyak dan gas bumi oleh PT. Pertamina dan Perusahaan Gas Negara; 4. pengadaan

37 4. pengadaan/penyediaan/pengelolaan air minum oleh Perusahaan Air Minum (PT. PAM); 5. pengadaan/penyediaan/pengelolaan listrik oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN); dan atau 6. pengadaan infrastruktur penunjang transportasi darat, laut dan/atau udara berupa pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api, pelabuhan laut dan bandar udara, oleh PT.Jasa Marga, PT. Angkasa Pura, PT. Pelabuhan Indonesia, dan PT. Kereta Api Indonesia. Perhitungan Penyediaan Dana kepada 1 (satu) BUMN didasarkan pada keseluruhan Penyediaan Dana yang telah diterima BUMN tersebut, baik untuk tujuan sebagaimana dicantumkan pada angka 1 sampai dengan angka 6 diatas, maupun untuk tujuan lainnya. Selain itu Penyediaan Dana yang diperhitungkan selain Penyediaan Dana secara langsung kepada BUMN yang bersangkutan, maupun kepada kelompok BUMN tersebut. Hal ini dapat diilustrasikan pada Lampiran 21. Batasan 30% (tiga puluh perseratus) sebagaimana dimaksud dalam PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum diberlakukan apabila antara Bank dengan BUMN yang menerima Penyediaan Dana tidak mempunyai hubungan pengendalian. Dalam hal terdapat hubungan pengendalian, selain karena adanya kepemilikan pemerintah, maka BMPK untuk BUMN tersebut mengikuti BMPK untuk Pihak Terkait dengan Bank. F. Keterkaitan Bank-Bank yang dimiliki Pemerintah dengan Peminjam Berbentuk BUMN dan BUMD. Dalam Pasal 40 ayat (2) PBI Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, hubungan antara Bank yang berbentuk BUMN dan atau BUMD dengan Peminjam yang berbentuk BUMN dan atau BUMD dikecualikan dari pengertian Pihak Terkait. Pengecualian

Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/14/ DPNP tanggal 18 April 2005

Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/14/ DPNP tanggal 18 April 2005 Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/4/ DPNP tanggal 8 April 2005 Pengendali Bank Pengendali Akhir > 0% saham PT. A > 0% saham PT. A > 0% saham BANK Diagram di atas merupakan contoh dari Bank yang

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA Nomor: 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa konsentrasi penyediaan dana bank kepada peminjam atau suatu

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/13/PBI/2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/3/PBI/2005 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan, alat penggerak pertumbuhan dan penggerak ekonomi yang fungsinya tidak dapat dipisahkan dari pembangunan. Kegiatan perkreditan

Lebih terperinci

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Aset. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Aset. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia Aset Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal Kodifikasi Peraturan Perbankan Indonesia Aset Batas Maksimum Pemberian

Lebih terperinci

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Aset. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Aset. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia Aset Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Prinsip Kehati-Hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal Kodifikasi Peraturan Perbankan Indonesia Aset Batas Maksimum Pemberian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengendali Bank. Pengendali Akhir. > 10% saham. > 10% saham BANK PT. A. PT. A1 > 10% saham

Lampiran 1. Pengendali Bank. Pengendali Akhir. > 10% saham. > 10% saham BANK PT. A. PT. A1 > 10% saham Lampiran 1 Pengendali Bank Pengendali Akhir > 10% saham PT. A > 10% saham PT. A1 > 10% saham BANK Diagram di atas merupakan contoh dari Bank yang dimiliki secara langsung oleh PT A1. Adapun pengendali

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM DIREKSI BANK INDONESIA,

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM DIREKSI BANK INDONESIA, No.31/177/KEP/DIR SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK UMUM DIREKSI BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemberian kredit yang melebihi batas yang wajar kepada

Lebih terperinci

Sistem Informasi Debitur. Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/ Januari 2005 MDC

Sistem Informasi Debitur. Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/ Januari 2005 MDC Sistem Informasi Debitur Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/2005 24 Januari 2005 MDC PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.195, 2016 PERBANKAN. BI. Debitur. Sistem Informasi. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5933). PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/4/PBI/2005 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM AKTIVITAS SEKURITISASI ASET BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank juga tergantung

Lebih terperinci

-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/21/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR

-1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/21/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR -1- PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/21/PBI/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 1/ 7 /PBI/1999 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyediaan informasi guna menunjang kelancaran kegiatan usaha

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 15 /PBI/2012 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 15 /PBI/2012 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 15 /PBI/2012 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa sejalan dengan perkembangan

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA Yth. Direksi Perusahaan Modal Ventura di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA Sesuai dengan amanat ketentuan Pasal

Lebih terperinci

TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN METODE STANDAR DALAM PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR

TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN METODE STANDAR DALAM PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN METODE STANDAR DALAM PERHITUNGAN KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN

Lebih terperinci

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/21/PBI/2001 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/21/PBI/2001 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/21/PBI/2001 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa dalam menjalankan dan mengembangkan

Lebih terperinci

NERACA TRIWULANAN Tanggal : 30 Juni 2013 dan 31 Desember 2012

NERACA TRIWULANAN Tanggal : 30 Juni 2013 dan 31 Desember 2012 No. NERACA TRIWULANAN Tanggal : 30 Juni 2013 dan 31 Desember 2012 POS POS (dalam jutaan rupiah) Posisi 31 Desember Th. ASET 1. Kas 11.925 11.327 2. Penempatan pada Bank Indonesia 215.761 264.622 3. Penempatan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 15 /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undan

2017, No menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undan No.142, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Penyertaan Modal. Prinsip Kehatihatian. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6085) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/7/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/17/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK ASING DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan usaha bank antara lain tergantung dari kemampuan dan efektifitas

Lebih terperinci

NERACA P.T.BANK MASPION INDONESIA PER 30 JUNI 2011 DAN 2010

NERACA P.T.BANK MASPION INDONESIA PER 30 JUNI 2011 DAN 2010 NERACA P.T.BANK MASPION INDONESIA No. POS-POS 30-Jun-11 30-Jun-10 ASET 1. Kas 64,675 45,693 2. Penempatan pada Bank Indonesia 592,565 215,130 3. Penempatan pada bank lain 31,328 28,543 4. Tagihan spot

Lebih terperinci

NERACA TRIWULANAN Tanggal : 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012

NERACA TRIWULANAN Tanggal : 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012 No. NERACA TRIWULANAN Tanggal : 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012 POS POS (dalam jutaan rupiah) Posisi 31 Desember Th. ASET 1. Kas 10,117 11,327 2. Penempatan pada Bank Indonesia 226,726 264,622 3. Penempatan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA ITAS JASA K OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN INDONESIA SA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentan

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentan No.197, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Kehati-hatian. Perekonomian Nasional. Bank Umum. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5734). PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal: Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum

S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Perihal: Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum No. 7/ 48 /DPNP Jakarta, 14 Oktober 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/15/PBI/2005

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/6/PBI/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA NOMOR 31/147/KEP/DIR TANGGAL 12 NOVEMBER 1998 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF GUBERNUR BANK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/14/PBI/2007 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 7 /PBI/2003 TENTANG GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 7 /PBI/2003 TENTANG GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 7 /PBI/2003 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kinerja dan kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;

Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; Kamus Pasar Modal Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; 2 hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris

Lebih terperinci

2 bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi lindung nilai; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huru

2 bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi lindung nilai; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huru No.117, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Valuta Asing. Rupiah. Bank. Asing. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5702). PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH

PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH LAMPIRAN II SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /SEOJK.03/2015 TENTANG PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR BAGI BANK UMUM SYARIAH

Lebih terperinci

No. 15/6/DPNP Jakarta, 8 Maret 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 15/6/DPNP Jakarta, 8 Maret 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 15/6/DPNP Jakarta, 8 Maret 2013 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Modal Inti Sehubungan

Lebih terperinci

PEDOMAN PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR

PEDOMAN PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 42 /SEOJK.03/2016 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG MENURUT RISIKO UNTUK RISIKO KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STANDAR - 1 - PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/13/PBI/2009 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/13/PBI/2009 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/13/PBI/2009 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT I. UMUM Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan usaha BPR sebagai

Lebih terperinci

N E R A C A Per 31 Maret 2010 Dan 2009 (Dalam Jutaan Rupiah)

N E R A C A Per 31 Maret 2010 Dan 2009 (Dalam Jutaan Rupiah) N E R A C A No. Per 31 Maret 2010 Dan 2009 Pos - Pos A S E T 1. K a s 15,537 15,837 2. Penempatan pada Bank Indonesia 172,038 119,680 3. Penempatan pada bank lain 1,601 2,076 4. Tagihan spot dan derivatif

Lebih terperinci

Kamus Pasar Modal Indonesia. Kamus Pasar Modal Indonesia

Kamus Pasar Modal Indonesia. Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal A Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; 2

Lebih terperinci

MATRIKS RANCANGAN POJK KPMM BPRS

MATRIKS RANCANGAN POJK KPMM BPRS MATRIKS RANCANGAN POJK KPMM BPRS BATANG TUBUH PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.03/... TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DIREKSI BANK INDONESIA,

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DIREKSI BANK INDONESIA, DIREKSI No. 31 / 147 / KEP / DIR SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DIREKSI BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kelangsungan usaha bank tergantung pada kesiapan untuk

Lebih terperinci

N E R A C A Per 30 Juni 2010 Dan 2009 (Dalam Jutaan Rupiah) Pos - Pos A S E T 1 K a s 19,237 21,544 2 Penempatan pada Bank Indonesia

N E R A C A Per 30 Juni 2010 Dan 2009 (Dalam Jutaan Rupiah) Pos - Pos A S E T 1 K a s 19,237 21,544 2 Penempatan pada Bank Indonesia N E R A C A No. Pos - Pos 2010 2009 A S E T 1 K a s 19,237 21,544 2 Penempatan pada Bank Indonesia 262,255 113,412 3 Penempatan pada bank lain 1,112 1,307 4 Tagihan spot dan derivatif 5 Surat berharga

Lebih terperinci

-2- sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan mekanisme tindak lanjut penanganan permasalahan Ban

-2- sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan mekanisme tindak lanjut penanganan permasalahan Ban TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN OJK. Bank Umum. Pengawasan. Tindak Lanjut. Penetapan Status. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 65) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

No.8/27/DPNP Jakarta, 27 November 2006 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No.8/27/DPNP Jakarta, 27 November 2006 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No.8/27/DPNP Jakarta, 27 November 2006 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal: Prinsip Kehati-hatian dan Laporan dalam rangka Penerapan Manajemen Risiko secara Konsolidasi bagi

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kondisi makro ekonomi

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/2/PBI/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/2/PBI/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL - 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/2/PBI/2013 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI PT. BANK MEGA Tbk. PER 30 JUNI 2010 dan 30 JUNI 2009 NERACA

LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI PT. BANK MEGA Tbk. PER 30 JUNI 2010 dan 30 JUNI 2009 NERACA No. LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI POS - POS NERACA 30-Jun-10 30-Jun-09 Aset 1 Kas 677,722 758,248 2 Penempatan pada Bank Indonesia 3,419,512 3,275,170 3 Penempatan pada bank lain 482,595 350,735 4 Tagihan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2014 dan 2013

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2014 dan 2013 LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2014 dan 2013 No. Pos-pos Posisi 31 Maret 2014 Posisi 31 Maret 2013 L DPK KL D M Jumlah L DPK KL D M Jumlah I. PIHAK TERKAIT 1. Penempatan

Lebih terperinci

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2015 dan 2014 #VALUE! #VALUE! #VALUE! #VALUE!

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2015 dan 2014 #VALUE! #VALUE! #VALUE! #VALUE! LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 31 Maret 2015 dan 2014 #VALUE! #VALUE! #VALUE! #VALUE! No. Pos-pos Posisi 31 Maret 2015 Posisi 31 Maret 2014 L DPK KL D M Jumlah L DPK KL D

Lebih terperinci

OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA

OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7 / 14 / PBI / 2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7 / 14 / PBI / 2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7 / 14 / PBI / 2005 TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI RUPIAH DAN PEMBERIAN KREDIT VALUTA ASING OLEH BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Bank Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2015, No.73 2 e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d diatas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan M

2015, No.73 2 e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d diatas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan M No.73, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Modal Minimum. Modal Inti Minimum. Bank. Perkreditan Rakyat. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5686) PERATURAN

Lebih terperinci

Kamus Istilah Pasar Modal

Kamus Istilah Pasar Modal Sumber : www.bapepam.go.id Kamus Istilah Pasar Modal Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; 2 hubungan antara Pihak dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN DAN INVESTASI DANA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN DAN INVESTASI DANA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN DAN INVESTASI DANA PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengelolaan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN POJK PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM

RANCANGAN POJK PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM RANCANGAN POJK PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM Batang Tubuh PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.03/2017 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK UMUM

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kelangsungan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/6/PBI/2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/2/PBI/2005 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 7/ 51 /DPNP Jakarta, 9 November 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum Sesuai dengan Peraturan

Lebih terperinci

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo)

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo) LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Maret 2014 dan 31 Desember 2013 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS 31 Mar 2014 31 Des 2013 ASET 1. Kas 9.988 8.204 2. Penempatan pada Bank Indonesia 385.826 281.605 3. Penempatan

Lebih terperinci

LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS. 31 Mar Dec 2012

LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS. 31 Mar Dec 2012 LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Maret 2013 dan 31 Desember 2012 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS 31 Mar 2013 31 Dec 2012 ASET 1. Kas 5,416 5,177 2. Penempatan pada Bank Indonesia 229,426 331,111 3. Penempatan

Lebih terperinci

LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Desember 2012 dan 2011 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS. 31 Dec Dec 2011

LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Desember 2012 dan 2011 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS. 31 Dec Dec 2011 LAPORAN POSISI KEUANGAN (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS ASET 1. Kas 5,177 4,547 2. Penempatan pada Bank Indonesia 331,111 576,314 3. Penempatan pada bank lain 501,231 192,880 4. Tagihan spot dan derivatif

Lebih terperinci

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo)

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo) LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 31 Desember 2014 dan 31 Desember 2013 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS ASET 1. Kas 10,443 8,204 2. Penempatan pada Bank Indonesia 1,473,201 281,605 3. Penempatan pada bank

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /SEOJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /SEOJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT Yth. Direksi Bank Perkreditan Rakyat di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /SEOJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT Sehubungan dengan Peraturan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/6/PBI/2006 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 37 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 37 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 37 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo)

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo) LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 30 September 2014 dan 31 Desember 2013 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS 30 Sep 2014 31 Des 2013 ASET 1. Kas 10.521 8.204 2. Penempatan pada Bank Indonesia 317.299 281.605

Lebih terperinci

Bab 11 Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

Bab 11 Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) www.bankbtpn.co.id TUJUAN PENGAJARAN: Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu untuk: 1. Menjelaskan cakupan dan dasar penghitungan BMPK 2. Mengidentifikasi pos-pos pengecualian dalam perhitungan

Lebih terperinci

No. 10/ 48 /DPD Jakarta, 24 Desember 2008 S U R A T E D A R A N. kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA

No. 10/ 48 /DPD Jakarta, 24 Desember 2008 S U R A T E D A R A N. kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA No. 10/ 48 /DPD Jakarta, 24 Desember 2008 S U R A T E D A R A N kepada SEMUA BANK UMUM DEVISA DI INDONESIA Perihal : Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5626 KEUANGAN. OJK. Manajemen. Resiko. Terintegerasi. Konglomerasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 348) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung telah

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/1/PBI/2005 TENTANG PINJAMAN LUAR NEGERI BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pinjaman luar negeri merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

Lebih terperinci

NERACA PER 31 MARET 2005 & 2004 (Dalam Jutaan Rupiah) NO POS - POS

NERACA PER 31 MARET 2005 & 2004 (Dalam Jutaan Rupiah) NO POS - POS NERACA PER 31 MARET 2005 & 2004 NO POS - POS AKTIVA 1 Kas 68.597 55.437 2 Penempatan pada Bank Indonesia a. Giro Bank Indonesia 1.410.533 982.799 b. Sertifikat Bank Indonesia 743.202 800.000 c. Lainnya

Lebih terperinci

No. 3/31/DPNP Jakarta, 14 Desember Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 3/31/DPNP Jakarta, 14 Desember Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA No. 3/31/DPNP Jakarta, 14 Desember 2001 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang disampaikan kepada Bank Indonesia

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 37 /PBI/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo)

Tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo) LAPORAN POSISI KEUANGAN Per 30 September 2013 dan 31 Desember 2012 (dalam jutaan Rupiah) No. POS - POS 30 Sep 2013 31 Dec 2012 ASET 1. Kas 6,776 5,177 2. Penempatan pada Bank Indonesia 230,159 331,111

Lebih terperinci

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 30 September 2014 dan 2013

BANK METRO EXPRESS LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 30 September 2014 dan 2013 LAPORAN KUALITAS ASET PRODUKTIF DAN INFORMASI LAINNYA Tanggal 30 September 2014 dan 2013 No. Pos-pos Posisi 30 September 2014 Posisi 30 September 2013 L DPK KL D M Jumlah L DPK KL D M Jumlah I. PIHAK TERKAIT

Lebih terperinci

N E R A C A PT. BANK SINAR HARAPAN BALI Tanggal : 31 Maret 2011 dan 2010 ( Dalam Jutaan Rupiah )

N E R A C A PT. BANK SINAR HARAPAN BALI Tanggal : 31 Maret 2011 dan 2010 ( Dalam Jutaan Rupiah ) N E R A C A Tanggal : 31 Maret 2011 dan 2010 ( Dalam Jutaan Rupiah ) NO POS - POS B A N K 31 Maret 2011 31 Maret 2010 A S E T 1 Kas 23.345 18.589 2 Penempatan pada Bank Indonesia 87.831 82.917 3 Penempatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/6/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/16/PBI/2014 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/13 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/13 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/13 /PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

2 meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan

2 meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan No.198, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. Kehati-hatian. Perekonomian Nasional. Bank Umum Syariah. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5735). PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung

Lebih terperinci

LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL

LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL LAMPIRAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL - 1 - PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PUBLIKASI BANK UMUM KONVENSIONAL OTORITAS

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/13/PBI/2005 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan sistem

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/12/PBI/2006 TENTANG LAPORAN BERKALA BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka penetapan kebijakan moneter, pemantauan stabilitas sistem keuangan,

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/20/PBI/2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 5/13/PBI/2003 TENTANG POSISI DEVISA NETO BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 66 /POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT

Lebih terperinci

- 2 - b. kualitas piutang pembiayaan; c. rentabilitas; dan d. likuiditas.

- 2 - b. kualitas piutang pembiayaan; c. rentabilitas; dan d. likuiditas. Yth. Direksi Perusahaan Pembiayaan di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /SEOJK.05/2016 TENTANG TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN Sesuai dengan amanat ketentuan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/11/PBI/2013 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/11/PBI/2013 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/11/PBI/2013 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci