BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deksametason Rumus Bangun Sifat Fisikokimia Gambar 1. Struktur kimia Deksametason Rumus molekul : C 22 H 29 FO 5 Berat molekul : 392,47 Nama kimia : 9-Fluoro-11β,17,21-trihidroksi-16αmetilpregna-1,4-diena-3,20-dion Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih, tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada suhu lebih kurang 250º disertai peruraian Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan dan dalam methanol; sukar larut dalam kloroform ; sangat sukar larut dalam eter (Ditjen POM, 1995).

2 Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine (Anonim 1,2009). Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi arthritis rheumatoid, systemik lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma, leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing. Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia, osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain ( Suherman, 2007). Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan suatu fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi dipertimbangkan untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses penyakit tersebut (Katzung, 2002). Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan ( Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan imunsupresiv, bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan.

3 Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologik steroid ( Suherman, 2007). Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar ( Suherman, 2007). Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling penting adalah kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis dan untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan penghambatan limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase A 2 secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek, 2001). Glukokortikoid memiliki efek antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban terakhir untuk pengobatan artritis yang

4 beradang (Daniel dan Tino, 2002). Deksametason (dexamethasone) merupakan glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi, antialergi, antirematik, dan antishock yang sangat kuat (Anonim 2, 2010). Menurut Suherman (2007), penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan disebut sering disebut life saving drugs, tetapi juga mungkin menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. 2.2 Nasib Obat Dalam Badan Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Zunilda,.dkk, 1995).

5 2.3 Farmakokinetika Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002). Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi secara bolak-balik (reversible), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah (Aiache, 1993). Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskular yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005). Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa mengabaikan masalah ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus

6 membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat (Aiache, 1993). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat, dan mengalami metabolisme dihati menjadi bentuk inaktif (Anonim 2, 2010). Menurut Widodo (1993), ikatan protein plasma deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin (afinitas rendah, kapasitas besar). Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap (kira-kira 2 jam setelah dosis oral) (Holford, 1998). Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses-proses tersebut sebanmding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut (Setiawati, 2005). Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke daerah target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk mencapai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain).

7 Obat harus dapat melewati berbagai membran sel (misalnya sel usus halus, pembuluh darah, dan sel saraf ) (Shargel, 2005). Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam jumlah yang diserap maupun laju penyerapannya (Aiache, 1993). Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi jaringan) obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel (cairan intrasel), yaitu organ atau otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik karena obat hanya dapat melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya cukup tinggi selama waktu yang cukup lama ( Tjay dan Rahardja, 2002). Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta keadaaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif (Aiache, 1993). Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung,

8 paru-paru, dan jaringan lainnnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005). Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya, maka secara teoretis intensitas efek obat baik efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma/serum yang umum dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (Setiawati, 2005). Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik pada titik tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan lempeng berputar dari perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika, ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan hayati dan selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993). Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa

9 lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi (glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul lain. Metabolit umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005). Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain itu, inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005). Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di ekskresi berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002). Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetki. Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya

10 efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat dengan konsentrasi plasma (Waldon, 2008). Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half life eliminasi (waktu paruh = t 1/2 ) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuihnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t 1/2 -nya tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami boitransformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya t 1/2 -nya panjang (Waldon, 2008). Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika Hal-hal yang penting dalam rangka penelitian farmakokinetika untuk parameterparameter tertentu adalah : a. Bioavailability (BA, Ketersediaan Hayati) Bioavailability dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang secara utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama proses absorpsi dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat misalnya tidak dibebaskannya dari sediaan pemberiannya. Atau karena penguraian didalam usus atau dindingnya dan dalam hati selama peredaran pertama di system porta, sebelum tiba di peredaran umum. Karena firs pass effect (FPE) ini, maka BA obat menjadi rendah dari pada persentase yang sebenarnya di absorpsi (Tjay dan Rahardja, 2002).

11 b. Volume distribusi (Vd) Volume distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2005). V d = jumlah obat didalam tubuh C Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma (Holford, 1998). c. Tetapan laju eliminasi dan waktu paruh dalam plasma Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam darah (plasma) menurun hingga separuh nilai seharusnya. Pengukuran t½ memungkinkan perhitungan konstanta laju eliminasi dengan rumus : K el = 0,693 t½ Waktu paruh eliminasi sering digunakan sinonim dengan waktu paruh dalam

12 plasma. Waktu paruh merupakan besaran farmakkokinetika yang sangat penting. Waktu paruh memberi dasar untuk perhitungan dosis pada pemakaian ulang bahan obat, pada setiap terapi jangka panjang (Mutschler, 1991). d. Konsentrasi maksimum (C maks ) Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma. Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik obat (Shargel, 2005). e. Area Under Curve (AUC) Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Tjay dan Rahardja, 2002). f. Waktu konsentrasi plasma puncak (t maks ) Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada t maks absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah t maks tercapai, tetapi pada laju

13 yang lebih lambat. Harga t maks menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel, 2005). g. Klirens Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya jaringan tubuh atau organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005). 2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen (Depkes RI, 1995). Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi

14 operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007). Metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan kadar senyawa obat baik dalam beuntuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini disebabkan KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifitas yang tinggi (Rohman, 2007). Banyak senyawa yang dapat dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa organik makromolekul. Untuk analisis dan pemisahan obat/bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase pemisahan kiral (Chirale Trennphasen) yang mampu menentukan rasemis dan isomer aktif (Putra, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diklofenak 2.1.1 Rumus Bangun Gambar 1. Struktur kimia Diklofenak Natrium 2.1.2 Sifat Fisikokimia Rumus Molekul : C 14 H 10 Cl 2 NO 2 Na Berat Molekul : 318,3 Nama Kimia Pemerian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Farmakokinetika Farmakokinetika dapat didefenisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam arti

Lebih terperinci

TUGAS FARMAKOKINETIKA

TUGAS FARMAKOKINETIKA TUGAS FARMAKOKINETIKA Model Kompartemen, Orde Reaksi & Parameter Farmakokinetik OLEH : NURIA ACIS (F1F1 1O O26) EKY PUTRI PRAMESHWARI (F1F1 10 046) YUNITA DWI PRATIWI (F1F1 10 090) SITI NURNITA SALEH (F1F1

Lebih terperinci

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi Farmakokinetik - 2 Mempelajari cara tubuh menangani obat Mempelajari perjalanan

Lebih terperinci

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: FARMAKOKINETIK Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh: Absorpsi (diserap ke dalam darah) Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh) Metabolisme (diubah

Lebih terperinci

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini FARMAKOKINETIKA Oleh Isnaini Definisi: Farmakologi: Kajian bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul regulator dan pengaktifan atau

Lebih terperinci

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika)

Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika) Nasib Obat dalam Tubuh (Farmakokinetika) Apa yang terjadi pada obat setelah masuk ke tubuh kita? Pharmacokinetics: science that studies routes of administration, absorption* and distribution*, bioavailability,

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Obat Tradisional Menurut peraturan menteri kesehatan nomor 007 tahun 2012 obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA PERCOBAAN 1 SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIK PEMBERIAN INTRAVASKULAR (INTRAVENA) Disusun oleh : Kelompok 2

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA PERCOBAAN 1 SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIK PEMBERIAN INTRAVASKULAR (INTRAVENA) Disusun oleh : Kelompok 2 LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA PERCOBAAN 1 SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIK PEMBERIAN INTRAVASKULAR (INTRAVENA) Disusun oleh : Kelompok 2 Suci Baitul Sodiqomah Feby Fitria Noor Diyana Puspa Rini

Lebih terperinci

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR AKADEMI FARMASI TADULAKO FARMA PALU 2015 SEMESTER II Khusnul Diana, S.Far., M.Sc., Apt. Obat Farmakodinamis : bekerja terhadap fungsi organ dengan jalan mempercepat/memperlambat

Lebih terperinci

PENGANTAR FARMAKOLOGI

PENGANTAR FARMAKOLOGI PENGANTAR FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI : PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - DIAGNOSIS - PENGOBATAN GEJALA PENYAKIT FARMAKOTERAPI : CABANG ILMU PENGGUNAAN OBAT - PREVENTIV - PENGOBATAN FARMAKOLOGI KLINIK : CABANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jambu Biji ( Psidium guajava L. ) a. Sistematika tanaman : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga :

Lebih terperinci

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH OBAT : setiap molekul yang bisa merubah fungsi tubuh secara molekuler. NASIB OBAT DALAM TUBUH Obat Absorbsi (1) Distribusi (2) Respon farmakologis Interaksi dg reseptor

Lebih terperinci

PENGARUH SEDUHAN TEH HIJAU ( Camellia sinensis ) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

PENGARUH SEDUHAN TEH HIJAU ( Camellia sinensis ) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI PENGARUH SEDUHAN TEH HIJAU ( Camellia sinensis ) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI Oleh : RIRIN WULAN OKTAVIA K. 100 040 134 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS

II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS A. Interaksi Senyawa Kimia dengan Organisme Ilmu yang mempelajari tentang interaksi senyawa kimia dengan organisme hidup disebut farmakologi, dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut : BAB II TIJAUA PUSTAKA 2.1 Uraian Umum 2.1.1 Simetidin 2.1.1.1 Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut : Rumus struktur H 3 C H CH 2 S H 2 C C H 2 H C C H CH

Lebih terperinci

SISTEMATIKA STUDI FARMAKOKINETIK Y E N I F A R I D A S. F A R M., M. S C., A P T

SISTEMATIKA STUDI FARMAKOKINETIK Y E N I F A R I D A S. F A R M., M. S C., A P T SISTEMATIKA STUDI FARMAKOKINETIK Y E N I F A R I D A S. F A R M., M. S C., A P T Studi farmakokinetik Profil ADME obat baru Bentuk sediaan, besar dosis, interval pemberian dan rute pemberian HEWAN UJI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, semakin banyak bentuk sediaan obat yang beredar di pasaran, salah satunya adalah sediaan tablet. Tablet merupakan sediaan yang paling umum digunakan oleh

Lebih terperinci

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi dr H M Bakhriansyah, M.Kes., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses kimia, terutama terikat pada molekul

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi Keperawatan

Pengantar Farmakologi Keperawatan Pengantar Farmakologi Keperawatan dr H M Bakhriansyah, M.Kes.,., M.Med.Ed Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM Farmakologi Substansi yang berinteraksi dengan suatu sistem yang hidup melalui proses

Lebih terperinci

Toksikokinetik racun

Toksikokinetik racun Toksikokinetik racun Mekanisme kerja suatu racun zat terhadap suatu organ sasaran pada umumnya melewati suatu rantai reaksi yang dapat dibedakan menjadi 3 fase utama : Fase Toksikokinetik Fase Eksposisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian eksperimental quasi yang telah dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya pengaruh obat anti ansietas

Lebih terperinci

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt KEGUNAAN FARMAKOKINETIKA 1. Bidang farmakologi Farmakokinetika dapat menerangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya

Lebih terperinci

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Pengantar Farmakologi Kuntarti, S.Kp, M.Biomed 1 PDF Created with deskpdf PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com 4 Istilah Dasar Obat Farmakologi Farmakologi klinik Terapeutik farmakoterapeutik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI Oleh Nina Puspitasari NIM I1A003009 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU 2005 Halaman Pengesahan ABSORBSI

Lebih terperinci

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II UJI PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETIKA SUATU OBAT SETELAH PEMBERIAN DOSIS TUNGGAL MENGGUNAKAN DATA URIN DAN DARAH Disusun oleh : Kelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache,

Lebih terperinci

PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN YANG DIBERIKAN SECARA BERSAMAAN DENGAN JUS JAMBU BIJI (Psidium Guajava L.) PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN YANG DIBERIKAN SECARA BERSAMAAN DENGAN JUS JAMBU BIJI (Psidium Guajava L.) PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN YANG DIBERIKAN SECARA BERSAMAAN DENGAN JUS JAMBU BIJI (Psidium Guajava L.) PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI Oleh: RETNO WULANDARI K 100050119 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Dalam penelitian ini akan memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian terdahulu tentang analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH Disusun: Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Kortikosteroid bukan merupakan obat baru bagi masyarakat. Di dunia kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat kortikosteroid mulai berkembang

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Obat Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat

Lebih terperinci

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pendahuluan Interaksi Obat : Hubungan/ikatan obat dengan senyawa/bahan lain Diantara berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA DESKRIPSI MATA KULIAH Bab ini menguraikan secara singkat tentang ilmu farmakokinetik dasar yang meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa PENDAHULUAN Latar Belakang Industri perunggasan di Indonesia, terutama broiler saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa pemeliharaan broiler untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral Obat Diabetes Farmakologi Terapi Insulin dan Hipoglikemik Oral. Pengertian farmakologi sendiri adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik

BAB I PENDAHULUAN. Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik dengan kerja lama. Deksametason (16 alpha methyl, 9 alpha fluoro-prednisolone) dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Puskesmas Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai dilakukan secara rutin dengan metode yang sistematis. Hal ini juga didukung oleh perkembangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kembali pada awal tahun 1920-an. Pada tahun 1995-an, metode kromatografi

BAB I PENDAHULUAN. kembali pada awal tahun 1920-an. Pada tahun 1995-an, metode kromatografi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis senyawa obat baik dalam bahan ruahan (bulk), dalam sediaan farmasi, maupun dalam cairan biologis dengan metode kromatografi dapat dilihat kembali pada awal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih terdapat dalam produk ruahan (Siregar,2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih terdapat dalam produk ruahan (Siregar,2010). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Baku Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun tidak berkhasiat (zat Nonaktif/eksipien), yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metoclopramidi Hydrochloridum 2.1.1 Tinjauan umum Gambar 2. Rumus bangun Metoclopramidi Hydrochloridum Rumus molekul: C 14 H 22 ClN 3 O 2. HCl.H 2 O Nama kimia: 4-Amino-5-kloro-N-[2-(dietilamino)etil-o-anisamida

Lebih terperinci

FARMAKOKINETIKA. Farmakologi. Oleh: Isnaini

FARMAKOKINETIKA. Farmakologi. Oleh: Isnaini FARMAKOKINETIKA Oleh: Isnaini Farmakologi Interaksi bahan dgn sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul regulator dan pengaktifan atau penghambatan proses tubuh yang normal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan

BAB I PENDAHULUAN. derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme. ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi non steroid derivat asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme ibuprofen adalah menghambat isoenzim

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN JUS PISANG AMBON (Musa paradisiaca L.) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN JUS PISANG AMBON (Musa paradisiaca L.) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN JUS PISANG AMBON (Musa paradisiaca L.) TERHADAP PROFIL FARMAKOKINETIK TEOFILIN PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI Oleh : LISA YULIANA HANDAYANI K 100.050.136 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif

Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif Sebelum PCT Fenasetin (anti piretik jaman dulu) banyak anak2 mati, orang dewasa Prodrug Hasil metabolismenya yg aktif Dlm tubuh dimetabolisme menjadi PCT (zat aktif) + metaboliknya Yg sebenarnya antipiretik

Lebih terperinci

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT Pendahuluan Obat adalah zat yang dapat memberikan perubahan dalam fungsi-fungsi biologis melalui aksi kimiawinya. Pada umumnya molekul-molekul obat berinteraksi dengan molekul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS. goreng terbagi menjadi Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS. goreng terbagi menjadi Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acids) BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan pustaka 2.1.1 Minyak goreng Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol. Berdasarkan ada atau tidak

Lebih terperinci

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006). BAB 1 PENDAHULUAN Demam dapat disebabkan gangguan pusat pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus dari kerusakan atau ketidakmampuan untuk menghilangkan peningkatan produksi panas. Keadaan suhu tubuh di atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Parasetamol Parasetamol atau asetaminophen, N-asetil-4Aminofenol (C 8 H 9 NO 2 ), dengan BM 151,16 dan mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C 8 H 9

Lebih terperinci

2/20/2012. Oleh: Joharman

2/20/2012. Oleh: Joharman PENGANTAR FARMAKOLOGI Oleh: Joharman Farmakologi Interaksi bahan dgn sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul regulator dan pengaktifan atau penghambatan proses tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache,

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

PENGARUH PERASAN BUAH MANGGA TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI

PENGARUH PERASAN BUAH MANGGA TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI PENGARUH PERASAN BUAH MANGGA TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI oleh : AMINARY WAHYU PAKARTI K 100 040 118 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menunjukkan hanya 5-10% saja yang dinyatakan positif. Masyrakat di negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menunjukkan hanya 5-10% saja yang dinyatakan positif. Masyrakat di negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Dari populasi di berbagai negara Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin sekitar 80%

Lebih terperinci

bioavailabilitasnya meningkat hingga mencapai F relsl = 63 ± 22 %

bioavailabilitasnya meningkat hingga mencapai F relsl = 63 ± 22 % BAB 1 PENDAHULUAN Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim. Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak variabel lain. Hipertensi arteri yang berkepanjangan

Lebih terperinci

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Hal ini, menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian KLT dapat memberikan informasi mengenai kemurnian dan konsentrasi lipid. Jika senyawa tersebut murni maka hasil running akan berupa bercak tunggal. Phospholipid

Lebih terperinci

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2

Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat. Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 Pengaruh umum Pengaruh faktor genetik Reaksi idiosinkrasi Interaksi obat Faktor yang mempengaruhi khasiat obat - 2 1 Rute pemberian obat Untuk memperoleh efek yang cepat obat biasanya diberikan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING...

PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING... ii LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI... iii LEMBAR PERNYATAAN... iv LEMBAR PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR

Lebih terperinci

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM Annisa Sekar 1210221051 PEMBIMBING : dr.daris H.SP, An PETIDIN Merupakan obat agonis opioid sintetik yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor,

Lebih terperinci

Interpolasi Polinom pada Farmakokinetik dengan Model Kompartemen Ganda

Interpolasi Polinom pada Farmakokinetik dengan Model Kompartemen Ganda Interpolasi Polinom pada Farmakokinetik dengan Model Kompartemen Ganda Teuku Reza Auliandra Isma (13507035) 1 Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi

Lebih terperinci

SKRIPSI. oleh : MARLIA NURITA K

SKRIPSI. oleh : MARLIA NURITA K PENGARUH SEDIAAN MADU BUNGA KELENGKENG (Nephelium longata L) TERHADAP FARMAKOKINETIKA PARASETAMOL YANG DIBERIKAN BERSAMA SECARA ORAL PADA KELINCI JANTAN SKRIPSI oleh : MARLIA NURITA K 100 040 117 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rokok 1. Pengertian Rokok Rokok merupakan gulungan tembakau yang dirajang dan diberi cengkeh kemudian dibungkus dengan kertas rokok berukuran panjang 70 120 mm dengan diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk sediaan yang sudah banyak dikenal masyarakat untuk pengobatan adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tan dan Rahardja, 2007). Rasa nyeri merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme yang patogen bersifat merugikan karena dapat menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Definisi Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin; tetapi dapat juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentagamavunon-0 (PGV-0) atau 2,5-bis-(4ʹ hidroksi-3ʹ metoksibenzilidin) siklopentanon adalah salah satu senyawa analog kurkumin yang telah dikembangkan oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Bhavar (2008), melaporkan metode High Performance Thin Layer Chromatography (HPTLC) telah dikembangkan untuk determinasi propranolol hidroklorid dari

Lebih terperinci

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1 Melibatkan berbagai investigasi bahan obat mendapatkan informasi yang berguna Data preformulasi formulasi sediaan yang secara fisikokimia stabil dan secara biofarmasi

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved.

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved. Prinsip-prinsip Farmakologi Prinsip-prinsip Farmakologi Obat Zat kimia yang mempengaruhi proses dalam organisme hidup. Prinsip-prinsip Farmakologi Farmakologi Studi atau ilmu tentang obat Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan

relatif kecil sehingga memudahkan dalam proses pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan. Beberapa bentuk sediaan padat dirancang untuk melepaskan BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat terutama dalam bidang industri farmasi memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan berbagai macam sediaan obat. Dengan didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging puyuh merupakan produk yang sedang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Meskipun populasinya belum terlalu besar, akan tetapi banyak peternakan

Lebih terperinci

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( ) DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI (12330713) PENDAHULUAN Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, perkembangan di dunia farmasi pun tidak ketinggalan. Semakin hari semakin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lipid 2.1.1 Pengertian lipid Lipid adalah golongan senyawa organik yang sangat heterogen yang menyusun jaringan tumbuhan dan hewan. Lipid merupakan golongan senyawa organik

Lebih terperinci

LAPORAN FARMAKOLOGI KELOMPOK

LAPORAN FARMAKOLOGI KELOMPOK LAPORAN FARMAKOLOGI KELOMPOK 9 RR. Septifa Dite H.S ( 8753) Kunthi Putri (8754) Lilis Setyowati (8761) Yovita Dini A.F (8762) Aryati Oktaviani (8763) Eli Alpiyana (8764) Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT KONTRAK BELAJAR Mahasiswa 4S (Senyum Semangat Sopan SAntun) Pakaian sopan dan rapi, kemeja berkerah, dan bersepatu HP silent, tidak diperkenankan smsan ato OL saat kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat Nama Generik 2.1.1. Pengertian Obat Generik Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apabila kita lihat pengertian aslinya, sebenarnya apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti penyimpanan. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut

Lebih terperinci