Metode Penilaian Hasil Verifikasi. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Metode Penilaian Hasil Verifikasi. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB"

Transkripsi

1 Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB 2012

2 KATA PENGANTAR Buku III ( Lapangan) ini merupakan lanjutan dari Buku II. Secara umum, buku ini menguraikan aspek kerangka pemikiran penilaian akhir kinerja dan metode penilaian akhir kinerja pengelolaan kawasan lindung. Pada bagian akhir disajikan teknik mengukur kinerja pengelolaan kawasan lindung. Penilaian hasil verifikasi lapangan merupakan sintesa dari nilai setiap indikator. Hasil penilaian akan menjadi landasan dalam evaluasi serta bahan bagi rekomendasi yang akan disusun untuk perbaikan dan peningkatan pencapaian kawasan lindung di Jawa Barat. Penyusunan metode penilaian akhir didasarkan pada berbagai metodologi penilaian akhir dari suatu sistem auditor. Problematika utama dalam penyusunan metode penilaian akhir adalah keberagaman tinggi dari tipologi kawasan lindung. Perbedaan tipologi akan membawa konsekwensi terhadap perbedaan upaya yang dilakukan untuk mencapai nilai kualitatif dari indikator. Perbedaan tipologi juga dapat menyebabkan perbedaan perspektif terhadap kematangan indikator. Metode penilaian yang baik harus mudah dipahami dan dioperasionalkan oleh verifikator di lapangan. Metode penilaian yang baik juga harus dapat dikoreksi berdasarkan hasil pengujian lapangan. Oleh karena itu, metode yang disusun saat ini harus terus diperbaikai dan disesuaikan dengan hasil evaluasi pelaksanaan di lapangan untuk memperoleh metode yang lebih baik lagi. Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penilaian ini. Bandung, Agustus 2012 Tim PENYUSUN i

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v ii

4 DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Arahan pemberian bobot indikator pada Aspek Biofisik... 8 Tabel 3.2. Arahan pemberian bobot indikator pada Aspek Kebijakan Tabel 3.3. Arahan pemberian bobot indikator pada Aspek Sosial Tabel 3.4. Arahan pemberian bobot indikator pada Aspek Ekonomi Tabel 3.5. Kriteria predikat Tabel 3.6. Contoh penentuan peringkat iii

5 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penilaian akhir kinerja... 5 iv

6 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Simulasi penilaian Aspek Biofisik Lampiran 2. Arahan bobot kabupaten berdasarkan rasio luas kawasan lindung dengan total kawasan lindung Lampiran 3. Arahan bobot kabupaten berdasarkan rasio luas kawasan lindung dengan total kawasan lindung v

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penilaian indikator pada berbagai kriteria dan aspek hasil verifikasi pada dasarnya dilakukan untuk mengukur/menilai kinerja. Ukuran kinerja, sesungguhnya harus berbasiskan indikator input, proses dan output. Input yang baik merupakan komponen yang mendukung proses yang di jalankan dan sebagai faktor penting dalam menjalankan proses untuk mencapai tujuan yang diharapkan/diinginkan. Demikian juga, proses yang didukung oleh input yang baik akan diperoleh output yang sesuai dengan harapan/keingnan. Output yang dihasilkan sebaiknya berasal dari proses yang dijalankan, sehingga output tersebut dapat dijadikan gambaran dari input dan proses yang berlangsung. Namun, adakalanya output yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan. Hal ini disebabkan baik karena input yang tidak sesuai ataupun proses yang tidak berjalan. Kondisi demikian dapat terjadi apabila faktor eksternal tidak diprediksi dan berpengaruh terhadap input dan proses. Akibatnya, output menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Indikator sebagai tools pengelolaan kawasan lindung dalam rangka perwujudan green province Jawa Barat telah disusun berdasarkan input, proses dan output. Demikian pula aspek dan kriteria yang melingkupi indikator didalamnya telah dapat mengambarkan input, proses dan output. Gambaran tersebut dapat dijelaskan pada Aspek Biofisik yang menitikberatkan pada aspek output, meskipun didalamnya masih terdapat indikator indikator yang mengkaji aspek input dan proses. Aspek kebijakan, ekonomi dan sosial lebih menitikberatkan pada aspek input dan proses, meskipun masih terdapat juga indikator yang menggambarkan output serta outcome dalam bentuk dampak pengelolaan kawasan lindung. Hasil penilaian verifikasi lapangan didasarkan pada hasil kualitatif menurut kematangan indikator. Nilai kualitatif dinyatakan dalam kategori baik, sedang 1

8 dan buruk. Meskipun hasil penilaian dapat mencerminkan kinerja pencapaian suatu indikator, akan tetapi belum dapat menggambarkan kinerja yang bersifar relatif dari satu kabupaten terhadap kabupaten lainnya. Hal ini dikarenakan, pencapaian kinerja yang sama pada suatu indikator dari dua kabupaten yang berbeda bisa berasal dari upaya yang tidak sama. Hal ini disebabkan oleh keberadaan kawasan lindung masing-masing kabupaten tidak sama (baik luas, jenis, letak maupun kondisinya pada saat ditetapkan sebagai kawasan lindung). Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan beban kinerja yang berbedabeda pada tiap kabupaten/kota. Upaya pencapaian suatu kinerja tertentu akan bertambah seiring dengan adanya hambatan-hambatan yang terjadi. Adanya hambatan-hambatan ini memerlukan upaya tersendiri untuk mengatasinya. Energi/effort tambahan diperlukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut sebelum memuwujudkan kinerja yang sesungguhnya dalam mencapai kinerja pengelolaan kawasan lindung. Energi/effort tambahan untuk mengatasi hambatan seringkali mengurangi upaya yang seharusnya digunakan untuk mewujudkan kinerja sesungguhnya dalam mencapai kinerja pengelolaan kawasan lindung. Kualitas hambatan pencapaian kinerja kawasan lindung dapat bervariasi dari hambatan untuk pencapaian kinerja hingga yang dapat menghancurkan kinerja yang sudah diwujudkan. Hambatan hambatan ini banyak tercermin dari aspek sosial dan ekonomi. Upaya yang dilakukan untuk mencapai kinerja kawasan lindung dipengaruhi juga oleh sumberdaya yang dipunyai oleh suatu kabupaten atau kota. Sumberdaya yang tinggi akan meringankan upaya yang dilakukan dan memudahkan tercapai kinerja pencapaian kawasan lindung. Sebaliknya sumberdaya yang rendah akan meningkatkan upaya yang dilakukan dan menyulitkan pencapaian kinerja pencapaian kawasan lindung. Sumberdaya yang penting yang mempengaruhi upaya dan kinerja pencapaian kawasan lindung adalah besarnya anggaran yang dipunyai oleh suatu kabupaten/kota dan sumberdaya manusia baik secara kualitas dan kuantitas. Kekurangan dari salah satu sumberdaya harus dipenuhi atau ditutupi oleh sumberdaya lain. Upaya dan kinerja yang dipengaruhi dari sumberdaya dapat berupa pengorbanan aspek lain diluar aspek kawasan lindung yang tidak memperoleh alokasi sumber dana dan sumberdaya manusia ataupun alokasi yang diperolehnya tidak memadai. Dukungan parapihak (stakeholder) dapat menunjang kinerja pencapaian kawasan lindung dan meringkankan upaya yang dilakukan. Dukungan parapihak dapat bersifat aktif ataupun pasif. Dukungan aktif menjadi input dan proses yang mendukung pencapaian kinerja kawasan lindung. Dukungan pasif dari parapihak adalah tidak menjadi penghambat dari pencapaian kawasan lindung atau tidak memberikan unsur negatif yang merugikan kawasan lindung. 2

9 Upaya dan kinerja yang dicurahkan akibat beban kerja, hambatan, sumberdaya, dan dukungan akan tercermin dari tipologi suatu kabupaten/kota. Tipologi yang ada pada suatu kabupaten dapat bersifat given atau hasil dari interaksiinteraksi berbagi faktor ataupun gabungan dari keduanya. Untuk memberikan penghargaan pada Upaya dan kinerja yang dicurahkan akibat beban kerja, hambatan, sumberdaya, dan dukungan stakeholder maka diperlukan penilain tambahan. Penyusunan teknis penilaian akhir mempunyai tujuan yang berbeda-beda atau pun multitujuan. Tujuan penilaian akhir pada dasarnya adalah sintesis akhir dari keselurahan indikator yang menjadi bahan pengambilan keputusan. Penilaian akhir dapat pula untuk tujuan evaluasi dan monitoring. Tujuan dari penilan akhir akan menentukan metode perhitungan dan penilaiannya Maksud dan Tujuan Maksud dilaksanakannya kegiatan Penyusunan Buku Metode Penilaian Hasil Verifikasi Lapangan adalah tersusunnya suatu metode penilaian akhir yang bisa memberikan gambaran sesungguhnya dari kinerja pengelolaan kawasan lindung dan dapat menunjang kegiatan evaluasi pencapaian kawasan lindung. 3

10 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN PENILAIAN AKHIR KINERJA Penilaian kinerja tidak hanya menilai output yang ada tetapi juga menilai kinerja dan upaya yang dilakukan dibalik dari output tersebut. Penilaian indikator dimulai dengan penilaian kualitatif sesuai dengan parameter baik, sedang dan buruk. Kuantifikasi indikator dilakukan dengan identifikasi nilai (skor). Penilaian yang lebih adil juga harus menentukan kelayakan suatu indikator untuk diterapkan atau tidak diterapkan pada suatu kabupaten Untuk memberikan penilaian yang lebih mendetail terutama dalam penilaian upaya yang dicurahkan untuk mencapai skor tertentu dari setiap indikator maka dilakukan pembobotan suatu indikator berdasarkan tipologi dari suatu kabupaten/kota. Penilaian besarnya bobot ditentukan berdasarkan kondisi obyektif tipologi suatu kabupaten berdasarkan beban kerja, hambatan, sumberdaya dan dukungan. Nilai atau angka bobot yang besar menggambarkan besarnya upaya yang dilakukan sesuai dengan tipologi suatu kabupaten. Pemberian bobot indikator pada suatu kabupaten dilakukan dengan memberikan bobot secara dan menentukan bobot maksimal dari suatu indikator. Penentuan bobot maksimal ini akan menjadi pembanding/kontrol dari bobot. Nilai kinerja dari setiap indikator suatu kabupaten adalah operasi perkalian dari nilai skor dan nilai bobot. Nilai kinerja suatu indikator diberi istilah Nilai Mutu Indikator. Penghitungan Nilai mutu indikator dilakukan untuk Nilai Mutu Indikator, Nilai Mutu Indikator Maksimal dan Nilai Mutu Indikator pada skor sedang. Nilai Mutu Indikator Maksimal dan Nilai Mutu Indikator pada skor sedang berfungsi sebagai pembanding dari Nilai Mutu Aktual. Penghitungan akumulatif dilakukan pada indikator-indikator pada masing-masing bidang. Penghitungan akumulatif dilakukan dengan menggunakan pola perhitungan (rumus) rata-rata. Teknik penghitungan rata-rata lebih mencerminkan kinerja umum masing-masing indikator yang layak diterapkan pada suatu kabupaten. Hasil penghitungan akumulatif per aspek diberi istilah Indeks Pencapaian Kumulatif (IPK). 4

11 Nilai Indeks Pencapaian Kumulatif dari masing-masing aspek akan digunakan dalam pemberian predikat suatu kabupaten. Sebelum diberikan predikat, maka dilakukan terlebih dahulu penentuan prosentase IPK dari IPK maksimum dan penetuan standar kelulusan IPK suatu aspek kajian. Standar kelulusan kajian didasarkan pada skor sedang pada bobot indikator dan bobot indikator maksimal. Predikat suatu kabupaten didasarkan pada kombinasi dari kelulusan masingmasing bidang. Prioritas kelulusan suatu aspek akan menjadi kriteria utama dalam penetuan predikat. Aspek biofisik yang didominasi oleh indikator output menjadi prioritas dalam penentuan predikat ini. Penetuan predikat suatu kabupaten berdasarkan kelulusan peraspek agar dapat memberikan gambar yang lebih jelas dari kekurangan-dan kelebihan indikator. Proses selanjutnya adalah penentuan peringkat kinerja suatu kabupaten. Peringkat kinerja suatu kabupaten didasarkan pada predikat dan nilai Indeks predikat seluruh bidang. Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penilaian akhir kinerja 5

12 BAB III METODE PENILAIAN AKHIR KINERJA 3.1. Skor Indikator Skor suatu indikator merupakan bobot kematangan indikator dengan nilai kuantitatif dan kualitatifnya sebagai berikut : 3 untuk baik 2 untuk Sedang 1 untuk buruk Kosong (bukan nol) tidak ada penilaian Skor kosong digunakan pada indikator yang tidak layak digunakan pada suatu kabupaten. Pemberian skor kosong untuk memudahkan penghitungan jika menggunakan program spread sheet seperti program Excell Indikator Pembobotan indikator diterapkan dalam rangka memberikan nilai lebih terhadap kinerja yang dilakukan pada beban kegiatan ataupun pada curahan daya upaya yang dilakukan dalam mengelola kawasan lindung berfungsi dengan baik. Pemberian bobot diberikan dengan mempertimbangkan : a. Keberadaan obyek kajian b. Luas areal kawasan lindung 6

13 c. Proporsi atau rasio kawasan lindung terhadap luas kabupaten d. Bentukan pemerintahan kotamadya atau kabupaten e. Jumlah penduduk dan tekanan penduduk, jumlah penduduk miskin f. Besarnya APBD atau PAD g. Kepentingan indikator Besarnya bobot indikator berkisar dari 1, 2 dan 3. Semakin besar nilai bobot menggambarkan semakin tinggi nilai pembobotan atas indikator tersebut. dengan nilai kosong (bukan nol) digunakan apabila obyek penilaian pada suatu indikator tidak ada pada wilayah penilaian. Misalnya : obyek kawasan cagar budaya tidak ada, maka bobot untuk indikator pengelolaan cagar budaya dinilai kosong. kosong digunakan pada indikator yang tidak layak diterapkan pada suatu kabupaten. Pemberian bobot kosong untuk memudahkan penghitungan jika menggunakan program spread sheet seperti program Excell. Penetapan bobot indikator pada suatu kabupaten dilakukan dengan cara memberikan bobot dan menentukan bobot maksimum dari suatu indikator. maksimum adalah bobot tertinggi yang dapat capai oleh suatu indikator. Penentuan bobot maksimum ini akan menjadi pembanding/kontrol dari bobot. Arahan pembobotan tiap kabupaten tertera pada Tabel 3.1 hingga Tabel Nilai Mutu Indikator () Nilai Mutu Indikator () diperoleh dari hasil perkalian skor indikator dengan bobot indikator. Penentuan sebagai berikut : Nilai mutu = S x B dengan : S = nilai skor B = nilai bobot 7

14 Tabel 3.1. Arahan penetapan bobot indikator pada Aspek Biofisik No Kode Indikator uraian Kosong F.1.1 Penataan batas kawasan lindung pada kawasan hutan negara tidak ada kawasan lindung pada kawasan hutan negara Indikator ini merupakan kinerja dari Instansi Pusat 2 F.1.2 Penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan tidak ada kawasan lindung tipe I dan tipe 2 Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 3 F.2.1 Kesesuaian peruntukan kawasan lindung tidak ada kawasan lindung tipe I dan tipe 2 Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 4 F.3.1 Penutupan vegetasi di tipe kawasan lindung dengan Tipe I (Sempadan pantai; Sempadan sungai; Kawasan sekitar waduk/danau; Kawasan sekitar mata air; Kawasan mangrove; Taman nasional; Tahura ; Taman Wisata Alam;Kawasan Rawan Tanah Longsor; Kawasan Rawan Gelombang pasang; Kawasan rawan banjir; Kawasan yang sesuai untuk hutan lindung tidak ada kawasan lindung tipe I Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 8

15 No Kode Indikator uraian Kosong F.3.2 Penutupan vegetasi di tipe kawasan lindung dengan Tipe II (Kawasan resapan air; Ruang Terbuka Hijau; Kawasan yang memberi perlindungan air tanah; Konservasi Plasma Nutfah eksitu; Kawasan koridor bagi satwa) tidak ada kawasan lindung tipe II Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 6 F.3.3 Keberadaan RTH di kawasan perkotaan atau kawasan budidaya yang berfungsi lindung Kabupaten dengan Rasio KL> 5% Kabupaten dengan Rasio KL< 5% kota madya 7 F.3.4 Debit air sungai yang dipengaruhi oleh kawasan lindung. tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 8 F.3.5 Keanekaragaman jenis pohon pada kawasan lindung non hutan Atau keaneragaman hayati kunci pada kawasan lindung non hutan tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 9 F.3.6 Pengelolaan keanekaragaman hayati pada seluruh tipe kawasan lindung Jenis KL <5 JENIS kl LEBIH 5 10 F.4.1 Aktivitas penanaman, pemeliharaaan, perlindungan dan pengamanan pada kawasan lindung tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 9

16 No Kode Indikator uraian Kosong F.4.2 Pengurangan lahan kritis pada berbagai tipe kawasan lindung tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 12 F.4.3 Ketersediaan bibit untuk mendukung upaya penanaman di kawasan lindung Kondisi kab sama 13 F.4.4 Perlindungan terhadap spesies flora dan fauna jarang, langka dan terancam punah serta flora dan atau fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat di kawasan lindung non hutan tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% Tabel 3.2. Arahan penetapan bobot indikator pada Aspek Kebijakan No Kode Indikator uraian Kosong K.1.1 Kebijakan, program dan alokasi dana dalam menumbuhkembangkan budaya menanam pohon di masyarakat Semua kabupaten memiliki kondisi sama 10

17 No Kode Indikator uraian Kosong K.1.2 Ketersediaan kebijakan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di tingkat TK, SD, SMP dan SMA/SMK Semua kabupaten memiliki kondisi sama 3 K.2.1 RTRW Kab/Kota telah memenuhi legal aspek Semua kabupaten memiliki kondisi sama 4 K.2.2 Ketersediaan program dan alokasi APBD dalam penataan batas kawasan lindung hutan dan penandaan batas kawasan lindung di luar kawasan Semua kabupaten memiliki kondisi sama 5 K.3.1 Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota yang melindungi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan yang menjadi tanggungjawab provinsi/ pusat Semua kabupaten memiliki kondisi sama 6 K.3.2 Ketersediaan Program dan alokasi APBD dalam perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya perlindungan kawasan lindung yang menjadi tanggung jawab pusat/provinsi Semua kabupaten memiliki kondisi sama 11

18 No Kode Indikator 7 K.4.1 uraian Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang Izin Pemanfaatan Kawasan Lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan memfasilitasi masyarakat untuk memperoleh Izin Pemanfaatan di Zona Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam dari Pemerintah Pusat yang menjadi tanggungjawab pusat Kosong Semua kabupaten memiliki kondisi sama 8 K K K K.6.2 Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tekait pengaturan pola dan budidaya tanaman di kawasan lindung lahan milik (privat) Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang menjaga dan meningkatkanfungsi kawasan lindung yang menjadi tanggungjawabnya dan mendukung upaya menjaga dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dilakukan Pemerintah Pusat/Provinsi Ketersediaan Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati atau Instruksi Bupati atau bentuk kebijakan lain Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian monumen/gedung yang memiliki nilai warisan budaya dan atau sejarah Ketersediaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang perlindungan dan pelestarian komunitas budaya asli lokal, kesenian asli dan lingkungan yang mendukungnya Semua kabupaten memiliki kondisi sama Semua kabupaten memiliki kondisi sama Semua kabupaten memiliki kondisi sama Semua kabupaten memiliki kondisi sama 12

19 Tabel 3.3. Arahan Penetapan bobot indikator pada Aspek Sosial No Kode Indikator Uraian Kosong S.1.1 Batas-batas yang jelas antara kawasan masyarakat hukum adat/masyarakat setempat dengan kawasan lindung Tidak memiliki masyarakat adat Memiliki masyarakat adat 2 S.1.2 Mekanisme resolusi konflik penguasaan lahan yang efektif <10% buruh tani (penduduk miskin) >10% buruh tani (penduduk miskin) 3 S S.2.2 Ketersediaan organisasi masyarakat yang mengelola kawasan lindung Keseimbangan hak dan kewajiban stakeholder dalam pemanfaatan kawasan lindung Semua kabupaten memiliki kondisi sama Semua kabupaten memiliki kondisi sama 5 S.2.3 Ketersediaan tata cara pemanfaatan kawasan lindung 6 S.3.1 Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KL Semua kabupaten memiliki kondisi sama Semua kabupaten memiliki 13

20 No Kode Indikator Uraian Kosong kondisi sama 7 S.3.2 Praktek pelestarian kawasan lindung secara tradisional di lahan adat Tidak memiliki masyarakat adat Memiliki masyarakat adat 8 S.3.3 Praktek budaya lokal dalam pelestarian kawasan lindung KL di perdesaan KL di perkotaan Tabel 3.4. Arahan penetapan bobot indikator pada Aspek Ekonomi No Kode Indikator Uraian E.1.1 Pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pengelolaan dan pemanfaatan objek wisata alam dan wisata budaya dengan tidak merusak fungsinya sebagai kawasan lindung tidak ada obyek wisata alam Jumlah obyek wisata alam di Kl sebanyak 1 Jumlah obyek wisata alam di KL sebanyak 2-4 obyek Jumlah obyek wisata alam di KL lebih dari 5 obyek 2 E.1.2 Peluang kerja dan peluang usaha di sekitar objek wisata alam dan wisata budaya/zona pemanfaatan di kawasan lindung tidak ada obyek wisata alam Jumlah obyek wisata alam di Kl sebanyak 1 Jumlah obyek wisata alam di KL sebanyak 2-4 obyek Jumlah obyek wisata alam di KL lebih dari 5 obyek 14

21 No Kode Indikator Uraian E.2.1 Terukur secara ekonomi nilai kawasan lindung sebagai pencipta kestabilan iklim mikro, dengan mengukur biaya penanganan dampaknya (outcome) terhadap kesehatan masyarakat dan pengadaan gerakan penanaman pohon secara massal Semua kabupaten memiliki kondisi sama 4 E.2.2 Penurunan tingkat produktivitas sektor pertanian dan sektor perikanan akibat kondisi kawasan lindung yang buruk tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 5 E.3.1 Perubahan biaya untuk konsumsi yang harus dikeluarkan oleh PDAM dan industri tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 6 E.4.1 Terukurnya nilai manfaat kawasan lindung sebagai pencegah dan mengurangi besaran bencana dengan mengukur tingkat kerugian baik moril maupun material akibat terjadinya longsor, banjir dan tsunami tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 7 E.5.1 Jumlah produksi dari jenis-jenis yang telah dibudidayakan yang bersumber dari kawasan lindung tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 8 E.6.1 Jumlah masyarakat di dalam dan sekitar kawasan lindung yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 (PPP) / hari tidak ada kawasan lindung Rasio KL <1% Rasio KL 1-5% Rasio KL> 5% 15

22 Penghitungan dilakukan untuk memperoleh nilai-nilai: 1. Nilai Mutu Indikatar Aktual (NIM A), yaitu skor dikalikan dengan bobot 2. Nilai Mutu Indikator maksimal ( M) adalah skor maksimal (nilai 3) dikalikan dengan bobot maksimal 3. Nilai Mutu Indikator standar bobot ( SA) adalah skor sedang (nilai 2) dikalikan bobot 4. Nilai Mutu Indikator standar bobot maksimal ( SM) adalah bobot sedang (skor 2) dikalikan bobot maksimal 3.4. Indeks Pencapaian Kumulatif (IPK) Indeks Pencapai Kumulatif adalah rata-rata Nilai Mutu Indikator atau diperoleh dengan rumus : IPK = ( ) dengan : S = nilai skor B = nilai bobot I = indikator yang layak Penghitungan IPK dilakukan pada masing masing aspek. Proses penentuan IPK dilakukan untuk mencari, maksimal, standar dan standar bobot maksimal Persentase IPK Persentase IPK diperoleh dari pembagian nilai IPK dengan IPK maksimum. Rumus untuk menentukan persentase IPK adalah : 16

23 % IPK = 3.5. Nilai Kelulusan Aspek Kelulusan suatu aspek ditentukan dari % IPK skor sedang pada bobot ( % IPK pada Aktual) (Lihat Tabel Simulasi). Alternatif lain standar keluluasan adalah % IPK pada skor sedang dan bobot sedang. Pada kondisi ini besar IPK standar adalah 4. Penentuan % IPK ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut : % IPK Standar kelulusan = (4x100 %)/IPK maksimum Apabila bilai nilai % IPK lebih besar dari % IPK standar kelulusan, maka aspek yang dianalisis dikatakan dikatakan lulus Predikat Predikat merupakan tahap akhir dalam proses penilaian hasil verifikasi lapangan. Hasil penilaian selanjutnya diklasifikasikan menjadi 4 (empat) grade, yakni : A B C D = HIJAU STABIL = HIJAU RENTAN = POTENSIAL HIJAU = SULIT HIJAU Kriteria peringkat tercantum pada Tabel

24 Tabel Kriteria predikat kinerja pengelolaan kawasan lindung No Predikat Aspek Biofisik Sosial Kebijakan ekonomi 1 Hijau Stabil L L L L 2 Hijau Rentan L L L TL 3 Hijau Rentan L TL L L 4 Hijau Rentan L L TL L 5 Hijau Rentan L TL L TL 6 Hijau Rentan L TL TL L 7 Hijau Rentan L L TL TL 8 Hijau Rentan L TL TL TL 9 Potensial Hijau TL L L L 10 Potensial Hijau TL L L TL 11 Sulit hijau TL TL L L 12 Sulit hijau TL TL L TL 13 Sulit hijau TL L TL L 14 Sulit hijau TL TL TL L 15 Sulit hijau TL L TL TL 16 Sulit hijau TL TL TL TL Keterangan : L = lulus; TL = tidak lulus 18

25 3.6. Peringkat Penentuan peringkat dilakukan dengan terlebih dahulu merangking kabupaten abupaten dalam suatu predikat. Perangkingan berikutnya adalah perangkingan dalam predikat berdasarkan nilai IPK nya. Tabel 3.6. Contoh penetuan peringkat RANGKING PREDIKAT PREDIKAT IPK TOTAL RANGKING KABUPATEN I HIJAU STABIL I HIJAU STABIL II HIJAU RENTAN II HIJAU RENTAN III POTENSI HIJAU III POTENSI HIJAU IV SULIT HIJAU IV SULIT HIJAU

26 PENUTUP Penilaian akhir kinerja yang didasarkan pada skor dan bobot serta nilai kelulusan per aspek yang selanjutnya disusun dalam suatu predikat diharapkan dapat menjadi landasan evaluasi yang lebih komprehensif. Evaluasi yang komprehensif diharapkan dapat berkontribusi terhadap rekomendasi yang lebih mendetail dengan pendekatan yang lebih terintegrasi baik antar indikator, antar kriteria dan antar aspek secara komprehensif. Akhirnya penyusun metode penilaian akhir hasil verifikasi lapangan dari seluruh indikator yang mencerminkan capaian kinerja pengelolaan kawasan lindung ini masih dapat diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan dinamika kebutuhan (atau bersifat dinamis). SITH Institut Teknologi Bandung sebagai sebuah institusi pendidikan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang terlibat. Terutama kepada pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang telah memberikan kesempatan dalam penyusunan kriteria dan indikator ini. 20

27

28 Lampiran 1. Simulasi penilaian Aspek Biofisik No No Indikator Skor Aktual maksimum maksimum Standar bobot Standar bobot maksimum Jumlah IPK (rata-rata) % IPK % IPK Standar Kelulusan Kelulusan Tidak lulus Proses penghitungan di atas : % IPK = IPK x 100 % = 3,33 x 100 % = 40,40 % IPK maksimal 8,25 % IPK standar = IPKstandar x 100 % = 2,83 x 100 % = 34,34 % bobot IPK maksimal 8,25 % IPK standar = IPKstandar maksimal x 100 % = 5,50 x 100 % = 66,67% bobot maksimal IPK maksimal 8,25 21

29 % IPK Standar kelulusan = rata-rata dari IPK standar dan % IPK standar maksimum = 34,3 %+ 66,67% = 50,51% 2 Simpulan : Kelulusan dikategorikan tidak lulus, karena % IPK actual < % IPK Standar kelulusan. 22

30 Lampiran 2. Arahan bobot kabupaten berdasarkan rasio luas kawasan lindung dengan total kawasan lindung No Kab/kota Luas Kawasan Lindung (ha) Rasio Kawasan Lindung (%) Berdasarkan Luas RTH 1 SUKABUMI 277, GARUT 246, CIANJUR 215, TASIKMALAYA 173, CIAMIS 118, BOGOR 111, BANDUNG 106, SUMEDANG 90, BANDUNG BARAT 64, KUNINGAN 61, SUBANG 48, MAJALENGKA 45, PURWAKARTA 39, KARAWANG 23, BEKASI 14, Kota TASIKMALAYA 7, INDRAMAYU 6, CIREBON 1, Kota SUKABUMI 1, Kota BANDUNG Kota BOGOR Kota DEPOK Kota BANJAR Kota BEKASI Kota CIMAHI Kota CIREBON ,654,

31 Lampiran 3. Arahan bobot kabupaten berdasarkan rasio luas kawasan lindung dengan total kawasan lindung A. Aspek Biofisik No Kode Indikator Skoor maksimal maksimum Standar bobot Standar bobot maksimum 1 F F F F F F F F F F F F F Jumlah IPK (ratarata 2,08 2,00 2,77 4,00 8,31 4,00 5,54 % IPK 48,15 100,00 48,15 66,67 Standar Kelulusan Kelulusan 48,15 lulus 24

32 B. Aspek Kebijakan No Kode Indikator Skoor maksimal maksimum Standar bobot Standar bobot maksimum 1 K K K K K K K K K K K Jumlah IPK (ratarata 1,64 2,00 2,00 3,27 6,00 4,00 4,00 % IPK 54,55 100,00 66,67 66,67 Standar Kelulusan Kelulusan 66,67 tidak lulus 25

33 C. Aspek Sosial No Kode Indikator Skoor maksimal maksimum Standar bobot Standar bobot maksimum 1 S S S S S S S S Jumlah IPK (ratarata 1,71 2,14 2,43 3,71 7,29 4,29 4,86 % IPK 50,98 100,00 58,82 66,67 Standar Kelulusan Kelulusan 58,82 tidak lulus 26

34 D.Aspek Ekonomi No Kode Indikator Skoor maksimal maksimum Standar bobot Standar bobot maksimum 1 E E E E E E E E ,63 2,25 2,88 3,63 8,63 4,50 5,75 42,03 100,00 52,17 66,67 52,17 tidak lulus 27

35 D. Predikat No Predikat Biofisik Kebijakan Sosial Ekonomi Rangking 1 Hijau Stabil Hijau Rentan Hijau Rentan Hijau Rentan Hijau Rentan Hijau Rentan Hijau Rentan Hijau Rentan Potensial Hijau Potensial Hijau Sulit hijau Sulit hijau Sulit hijau Sulit hijau Sulit hijau Sulit hijau = lulus 0 = tidal lulus Predikat kabupaten ini adalah HIJAU RENTAN 28

36 INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI Jalan Ganesha 10 Bandung Telp , , Fax sith@itb.ac.id

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT, Draft 18/02/2014 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN UNTUK KEGIATAN FASILITASI DAN IMPLEMENTASI GREEN PROVINCE

Lebih terperinci

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan 24. LINGKUNGAN HIDUP 184 Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun 2010 No Nama Jumlah Titik Sampling Frekuensi Sampling Kisaran Status Mutu Air Sungai Berdasarkan KMA PP 82/2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah Indonesia yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN PANAS BUMI TAHUN ANGGARAN 2006, TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005 Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat s/d 2005 Luas (Ha) No Kabupaten/Kota 2005 1 Bogor 20.042,60 12.140,00 26.349,46 2 Sukabumi 37.155,48

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 30 Juni 30 Juni 2008 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) yang didapatkan dari perhitungan setiap kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahu 2015 dibawah ini

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

Metode Verifikasi Lapangan. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB

Metode Verifikasi Lapangan. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Sekolah Ilmu Dan Teknologi Hayati ITB 2012 KATA PENGANTAR Buku II () berisi uraian tentang metode meverifikasi data di lapangan. Buku ini diperlukan bagi assessor dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu sektor penting yang bisa menunjang pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, mendorong pemerataan pembangunan nasional dan mempercepat

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Alokasi. Dana. SDA. Pertambangan. Panas Bumi. TA 2012. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PMK.07/2012 TENTANG PERKIRAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan gaya hidup dan tatanan dalam masyarakat saat kini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang memacu perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014 TOTAL BAES01 JAWA BARAT 129,401,372,000.00 BELANJA PEGAWAI 100,974,521,000.00 BELANJA BARANG OPERASIONAL 8,203,990,000.00 BELANJA BARANG NON OPERASIONAL 2,838,361,000.00 BELANJA MODAL 17,384,500,000.00

Lebih terperinci

UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh : Epi Syahadat. Ringkasan

UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh : Epi Syahadat. Ringkasan UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh : Epi Syahadat Ringkasan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GERHAN) merupakan gerakan moral secara nasional untuk menanam pohon di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan merupakan pemanfaatan segala potensi yang ada di masingmasing daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga pelaksanaannya

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id). Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id). Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rata-rata laju pertumbuhan populasi ternak unggas selama enam tahun dari tahun 2004 hingga 2010 menunjukkan peningkatan, diantaranya ternak ayam ras petelur dan pedaging

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk DAFTAR PUSTAKA 1. Andries, Benjamin. 2007. Pengembangan Metode Penilaina Tanah dengan Mempertimbangkan Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan untuk Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Fungsi

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 15/02/32/Th.XVII, 16 Februari 2014 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 48 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN/KOTA UNTUK KEGIATAN PENANAMAN MASSAL DALAM RANGKA PROGRAM GREEN SCHOOL

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT Disampaikan oleh : Prof. DR. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Disampaikan pada : Rapat Koordinasi Pemantauan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 No. 02/11/Th. XIV, 12 November 2014 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kota Bekasi Tahun 2013 A. Penjelasan Umum IPG merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Penjelasan PP Nomor 63 Tahun 2002 Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No. 38/07/32/Th. XVIII, 1 Juli 2016 Pembangunan manusia di Jawa Barat pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat

Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat 2016 Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat Daftar Isi I. Latar Belakang Masalah... 4 II. Maksud

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Organisme Pengangganggu an (OPT) utama yang menyerang padi ada 9 jenis, yaitu : Tikus, Penggerek Batang, Wereng Batang Coklat,

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

Penelitian Strategis Unggulan IPB

Penelitian Strategis Unggulan IPB Penelitian Strategis Unggulan IPB PENGEMBANGAN KONSEP ALOKASI LAHAN UNTUK MENDUKUNG REFORMA AGRARIA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI SPASIAL Oleh : Baba Barus Dyah Retno Panuju Diar Shiddiq Pusat Pengkajian

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penerapan otonomi daerah di Indonesia hingga saat ini merupakan wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otonomi daerah ini selaras dengan diberlakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia menempati peringkat kedua dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati. Sebanyak 5.131.100 keanekaragaman

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan

5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan 5. Antisipasi Gangguan Bencana Alam dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Organisme Pengangganggu Tanaman (OPT) utama yang menyerang padi ada 9 jenis, yaitu : Tikus, Penggerek Batang, Wereng Batang

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

Perkembangan Jumlah Pegawai Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Status Kepegawaian Tahun Dinas Kehutanan Propinsi

Perkembangan Jumlah Pegawai Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Status Kepegawaian Tahun Dinas Kehutanan Propinsi Tabel 5.1. Perkembangan Jumlah Pegawai Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Status Kepegawaian Tahun 2005 No Status Pegawai Dinas Kehutanan Propinsi BP3HH Cirebon Balai Tahura Ir. H. Djuanda

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kabupaten Kuningan berada di provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, dan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa guna menciptakan kesinambungan dan keserasian lingkungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d Tahun 2003 (Ha)

Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d Tahun 2003 (Ha) Tabel 1.1. Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d 2005 No Fungsi Kawasan Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Keterangan I Kawasan Produksi & Lindung 627.499,78

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 46/08/32/Th. XVII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 TAHUN 2014, PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 253.296 TON, CABAI

Lebih terperinci

MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT

MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT MATERI TEKNIS RTRW PROVINSI JAWA BARAT 2009-2029 BAB V RENCANA KAWASAN STRATEGIS PROVINSI 5.1. Lokasi dan Jenis Kawasan Strategis Provinsi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) memuat penetapan Kawasan

Lebih terperinci