UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh : Epi Syahadat. Ringkasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh : Epi Syahadat. Ringkasan"

Transkripsi

1 UPAYA PENANGANAN LAHAN KRITIS DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh : Epi Syahadat Ringkasan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (GERHAN) merupakan gerakan moral secara nasional untuk menanam pohon di setiap kawasan hutan dan lahan kosong. Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) merupakan penjabaran dari GERHAN yang lebih dikhususkan pada gerakan rehabilitasi lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat dan diprioritaskan untuk lahan kritis milik negara maupun milik masyarakat. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah : a) terehabilitasinya lahan-lahan kritis baik milik negara maupun milik masyarakat, b) terlaksananya alih profesi eks para perambah hutan di hutan negara maupun dizona inti hutan negara, c) lancarnya operasional pembinaan dan pengendalian dalam rangka menunjang keberhasilan gerakan rehabilitasi lahan kritis (GRLK), d) pulihnya daya dukung dan daya tampung linkungan di seluruh wilayah Jawa Barat. Kegiatan tersebut dicapai melalui berbagai upaya diantaranya; penyediaan bantuan bibit tanaman buah-buahan untuk per Kabupaten / Kota; penyediaan bantuan bibit tanaman perkebunan untuk per Kabupaten / Kota; penyediaan bantuan bibit tanaman siap tanam khusus untuk Kota Bandung dan penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi eks perambah hutan negara maupun perambah hutan di zona inti hutan negara. Biaya yang diperlukan untuk kegiatan GRLK ini sebesar Rp 11 Milyar. Kata kunci : lahan kritis, rehabilitasi lahan, pengendalian dan pembinaan masyarakat. I. PENDAHULUAN Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) adalah gerakan moral secara nasional untuk menanam pohon di setiap kawasan hutan dan lahan kosong sebagai wujud komitmen bangsa untuk meningkatkan kualitas lingkungan, kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat. Target yang akan dicapai dalam GERHAN adalah merehabilitasi hutan dan lahan baik didalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. Gerakan ini dicanangkan mengingat tingkat kerusakan hutan dan lahan kritis telah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan, ini ditunjukan oleh semakin meningkatnya frekuensi tanah longsor dan banjir setiap tahun di hampir seluruh wilayah Indonesia dalam skala yang besar. Menyadari akan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat yang begitu besar, pemerintah berusaha dengan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Program GERHAN memiliki tujuan ganda, selain bertujuan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat luas untuk menanam pohon, juga menimbulkan efek berantai (multiplier effect) dalam perekonomian, terutama perekonomian pedesaan. Dalam keadaan perekonomian Indonesia yang belum pulih diharapkan GERHAN dapat mendorong bangkitnya perekonomian terutama di sektor terkait. Sejalan dengan GERHAN yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menindak lanjuti dengan mencanangkan program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri

2 Kehutanan No 419/Kpts-II/1999, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, luas daratan, kawasan hutan dan perairan di Propinsi Jawa Barat seluas Ha, sedangkan lahan kritis di Propinsi Jawa Barat seluas Ha terdiri dari lahan kritis hutan negara seluas Ha dan lahan kritis milik masyarakat seluas Ha (Anonim, 2004). GRLK ini merupakan gerakan rehabilitasi lahan yang diprioritaskan di lahan kritis milik negara maupun lahan kritis milik rakyat dengan sasaran : 1. Terehabilitasinya lahan-lahan kritis di Propinsi Jawa Barat, baik lahan kritis pada hutan negara maupun lahan milik masyarakat 2. Terlaksananya alih profesi eks perambah hutan negara Gn. Geulis Kabupaten Sumedang dan sebagian eks perambah hutan negara Gn. Wayang Windu Kabupaten Bandung 3. Lancarnya operasional pembinaan dan pengendalian dalam rangka menunjang keberhasilan GRLK 4. Pulihnya daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan di Propinsi Jawa Barat Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam menangani lahan kritis. 2. Mengindentifikasi jenis bantuan / insentif yang diberikan kepada masyarakat oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam menangani permasalahan lahan kritis di daerahnya. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data Primer dan Sekunder. Data primer diperoleh melalui pencatatan hasil wawancara dengan pejabat atau pegawai di Dinas Kehutanan Tingkat Propinsi dan Instansi terkait. Sedangkan data sekunder meliputi Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Rencana Kegiatan Pembangunan Daerah Tingkat Propinsi, Kota dan Kabupaten. B. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian di analisa secara kuantitatif dan ditabulasikan kedalam bentuk tabel, kemudian metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sektor Kehutanan di Propinsi Jawa Barat Luas kawasan hutan dan perairan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 419/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini : Tabel 1 Luas Daratan, Kawasan Hutan Dan Perairan Di Propinsi Jawa Barat No Uraian Jumlah Luas Daratan, Kawasan Hutan dan Perairan (Ha) % Luas Daratan, Kawasan Hutan dan Perairan 1 Luas Daratan ,00 80,51 2 Hutan Lindung (HL) ,00 4,48 3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) ,00 3,98

3 4 Hutan Produksi Tetap (HP) ,00 6,31 5 Hutan Produksi yang di konversi (HPK) KSA dan KPA : Perairan ,35 0,86 Daratan ,65 3,85 Jumlah , Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia, Badan Planologi Kehutanan (data diolah) Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat luas daratan di Propinsi Jawa Barat seluas Ha atau 80,51 %, Hutan Lindung seluas Ha atau 4,48 %, Hutan Produksi Terbatas seluas Ha atau 3,98 %, Hutan Produksi Tetap seluas Ha atau 6,31 % dan untuk Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) di perairan seluas ,35 Ha atau 0,86 % dan daratan seluas ,65 Ha atau 3,85 % dari luas daratan, kawasan hutan dan perairan yang ada. Luas lahan kritis di Propinsi Jawa Barat seluas Ha, yang terdiri dari lahan milik hutan negara maupun lahan milik masyarakat (Anonim, 2004), seperti terlihat pada Tabel 2 di bawah ini : Tabel 2 Luas Lahan Kritis di Hutan Negara dan di Lahan Masyarakat Per Kota / Kabupaten di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002 No Kabupaten / Kota (Ha) Lahan Di Hutan Negara (Ha) (%) Lahan Terhadap Luas Lahan Kritis di Jawa Barat Lahan Kritis Milik Masyarakat (Ha) (% ) Lahan Terhadap Luas Lahan Kritis di Jawa Barat Jumlah Lahan Kritis di Jawa Barat (Ha) (%) Lahan Kritis per Kab/Kota 1 Kab Bogor , , ,19 2 Kab Sukabumi , , ,57 3 Kab Cianjur , , ,39 4 Kab Kuningan , , ,52 5 Kab Indramayu , , ,51 6 Kab Majalengka , , ,16 7 Kab Karawang , , ,42 8 Kab Purwakarta 200 0, , ,83 9 Kab Subang , , ,06 10 Kab Bandung , , ,93 11 Kab Sumedang , , ,98 12 Kab Garut , , ,15 13 Kab , , ,32 Tasikmalaya 14 Kab Ciamis , , ,80 15 Kab Cirebon , ,32 16 Kab Bekasi , ,49 17 Kota Bogor , ,02 18 Kota Depok , ,30 19 Kota Sukabumi , ,19 20 Kota Cirebon , ,04 21 Kota Bekasi , ,49 22 Kota Bandung , ,06 23 Kota Cimahi , ,05 24 Kota Tasikmalaya , ,81 25 Kota Banjar , ,41 Jumlah , , Rata-rata 6330,96 1, ,56 2, ,52 4,00

4 Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata kerusakan lahan kritis per Kabupaten di hutan negara adalah 6.330,96 Ha atau 1,04 %, sedangkan luas lahan kritis yang paling besar adalah Kabupaten Bandung seluas Ha atau sebesar 3,37 %. Rata-rata lahan kritis milik masyarakat per Kabupaten seluas ,56 Ha atau 2,96 % dan lahan kritis milik masyarakat yang paling parah adalah Kabupaten Garut seluas Ha atau 14,55 %. Jadi secara umum kerusakan atau lahan kritis yang terparah di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Garut seluas Ha atau 17,15 %. Apabila kita bandingkan luas daratan, kawasan hutan dan perairan (Tabel 1) dengan kerusakan lahan / lahan kritis di Propinsi Jawa Barat (Tabel 2), maka persentase kerusakan lahan / lahan kritis di Propinsi Jawa Barat sebesar 11,35 %, ini merupakan angka persentase yang cukup tinggi dan ini perlu dicermati dan diwaspadai, karena ada kecenderungan tingkat kerusakan lahan semakin lama semakin miningkat sejalan dengan perkembangan penduduk yang semakin lama semakin bertambah, keadaan demikian akan berdampak atau mengakibatkan tingkat kebutuhan masyarakat akan sandang, pangan dan papan atau tingkat kebutuhan sosial ekonomi masyarakat semangkin meningkat juga, sementara lahan yang tersedia tidak bertambah. B. Upaya Penanganan Lahan Kritis Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat untuk mensukseskan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) yaitu : 1. Penyediaan Bantuan bibit tanaman buah-buahan (tanaman holtikultura) 2. Penyediaan bibit tanaman perkebunan 3. Penyediaan bibit tanaman tahunan siap tanam khusus untuk Kota Bandung 4. Penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi eks perambah hutan negara Gn. Geulis di Kabupaten Sumedang 5. Penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi perambah zona inti hutan negara Gn. Wayang Windu di Kabupaten Bandung 6. Biaya Operasional Pembinaan dan Pengendalian Dana yang disediakan untuk program tersebut bersumber dari APBD Murni tahun 2004, Mata Anggaran Belanja Tak Terduga, Kode Rekening 2.4 (Anonim, 2004) sebesar Rp 11 milyar. Dengan rincian alokasi dana yang disediakan untuk GRLK dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Adapun Dana APBD Murni untuk Ptopinsi Jawa Barat sebesar Rp juta (Anonim, 2004) jadi persentase untuk kegiatan GRLK tersebut sebesar 0,77 %. Tabel 3 Rincian Alokasi Dana Untuk Menunjang Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis Tahun 2004 No Uraian Besarnya Dana (RP) (%) Besarnya Dana 1 Penyediaan bibit tanaman buah-buahan ,39 (holtikultura) 2 Penyediaan bibit tanaman per-kebunan ,29 3 Penyediaan bibit tanaman tahun-an siap ,19 tanam 4 Penyediaan bantuan ternak domba eks ,65 perambah hutan negara Gn. Geulis Kabupaten Sumedang

5 5 Penyediaan bantuan ternak domba eks perambah hutan negara Gn. Wayang Windu Kabupaten Bandung ,63 6 Biaya operasional Pembinaan dan ,85 Pengendalian Jumlah Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa pengalokasian dana yang terbesar yaitu penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi eks perambah hutan Gn Geulis Kabupaten Sumedang yang paling besar mendapat bantuan sebesar Rp ,- atau 38,65 %, sedangkan untuk penyediaan bantuan bibit tanaman perkebunan per Kota / Kabupaten seluruh wilayah Propinsi Jawa Barat sebesar Rp ,- atau 17,29 %. Untuk memperjelas peruntukan pengalokasian dana bantuan dalam GRLK, adalah sebagai berikut : 1. Penyediaan bantuan bibit tanaman buah-buahan (holtikultura) pesifikasi kualitas bibit tanaman buah-buahan (holtikultura) yaitu: a. Bibit tanaman harus merupakan hasil okulasi, kecuali pohon nangka berasal dari biji b. Tinggi bibit minimal 1 (satu) sampai dengan 1,5 (satu setengah) meter c. Berkualitas baik d. Bebas hama penyakit Adapun jenis komoditas bibit dan dana yang dialokasikan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah : Tabel 4 Jenis Dan Harga Bibit Tanaman Buah-buahan (Holtikultura) No Jenis Komoditas Jumlah Bibit (Pohon) Harga (Rp) Jumlah (Rp) (%) 1 Alpukat ,16 2 Durian ,46 3 Mangga ,03 4 Nangka ,12 5 Rambutan ,22 6 Sukun ,02 Jumlah Pada Tabel 4 di atas dapat diilihat bahwa jenis komoditas yang diprioritaskan adalah pohon Mangga sebanyak pohon dan dana yang dicadangkan sebesar Rp ,- atau 29,03 % dari alokasi dana yang disediakan untuk pembelian bibit tanaman buah-buahan (holtikultura). 2. Penyediaan bantuan bibit tanaman perkebunan Spesifikasi kualitas bibit tanaman perkebunan adalah sebagai berikut : a. Bibit tanaman dapat berasal dari biji, kecuali komoditas karet dari hasil okulasi, adapun tinggi bibit adalah : 1) Melinjo antara 1 (satu) meter 2) Kemiri antara 1 (satu) meter

6 3) Karet minimal 40 Cm 4) Karet dalam minimal 70 Cm 5) Kelapa Salak minimal 70 Cm 6) Kopi minimal 60 Cm 7) Nimba minimal 40 Cm 8) Pala minimal 30 Cm 9) Aren minimal 30 Cm b. Berkualitas baik c. Bebas hama / penyakit Untuk mengetahui Jenis komoditas pohon dan jumlah dana yang dialokasikan dapat di lihat pada Tabel 5 di bawah : Tabel 5 Jenis Dan Harga Bibit Tanaman Perkebunan No Jenis Komoditas Jumlah Bibit (Pohon) Harga (Rp) Jumlah (Rp) (%) 1 Aren ,81 2 Kelapa ,41 3 Kemiri ,41 4 Melinjo ,29 5 Pala ,10 6 Karet ,89 7 Kelapa Salak ,26 8 Kopi ,91 9 Nimba ,92 Jumlah Alokasi dana untuk jenis bibit tanaman perkebunan yang paling besar adalah bibit tanaman melinjo sebesar Rp ,-atau 30,29 %, atau sebanyak pohon ini dapat dilihat pada Tabel 5 di atas, sedangkan untuk bibit tanaman karet hanya Rp ,- atau 7,89 % dari jumlah alokasi dana yang disediakan untuk pembelian bibit tanaman perkebunan. 3. Penyediaan bantuan bibit tanaman tahunan siap tanam khusus untuk Kota Bandung. Khusus untuk wilayah Kota bandung dan sekitarnya jenis komoditas bibit tanaman yang disediakan oleh Pemerintah Daerah setempat adalah jenis tanaman kehutanan, adapun spesifikasi tanaman tahunan siap tanam tersebut ialah : a. Tinggi tanaman, yaitu : 1) Damar minimal 2 (dua) meter 2) Bungur minimal 3 (tiga) meter 3) Tanjung minimal 2,5 (dua setengah) meter 4) Glodogan Tiang minimal 3 (tiga) meter 5) Angsana minimal 3(tiga) meter 6) Mahoni minimal 3 (tiga) meter b. Berkualitas baik c. Bebas hama / penyakit

7 Alokasi dana yang disediakan untuk setiap jenis komoditas dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini Tabel 6 Alokasi Penyediaan Bibit Tanaman Tahunan Siap Tanam (Khusus Kota Bandung ) No Jenis Komoditas Jumlah Bibit (Pohon) Kebutuhan Biaya (Rp) % 1 Mahoni ,45 2 Tanjung ,69 3 Damar ,93 4 Bungur ,76 5 Angsana ,51 6 Glodogan Tiang ,65 Jumlah Alokasi dana untuk penyediaan bibit tanaman tahunan siap tanam, pada Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa bibit tanaman Angsana yang paling besar yaitu sebesar Rp ,- atau sebanyak pohon atau 26,51 % dari jumlah dana yang tersedia. 4. Penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi eks perambah hutan negara Gn Geulis Kabupaten Sumedang Pada Tabel 7 di bawah alokasi dana yang disiapkan untuk pembelian bibit ternak domba alih profesi eks perambah hutan negara Gn. Geulis adalah sebagai berikut : Tabel 7 Alokasi Penyediaan Dana Untuk Pembelian Bibit Ternak Domba Dalam Rangka Alih Profesi Eks Perambah Hutan Negara Gn, Geulis Kabupaten Sumedang No Jenis Kebutuhan Rincian Satuan Harga Satuan (Rp) Jumlah Dana Yang Dialokasikan (Rp) 1 Domba Betina Ekor ,01 2 Domba Jantan 570 Ekor ,04 3 Stimulasi pembuatan kandang Unit ,12 4 Stimulan Ekor ,82 konsentrat Jumlah Pada Tabel 7 di atas Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat mengalokasikan dana untuk membantu para petani eks perambah hutan negara Gn. Geulis Kabupaten Sumedang sebesar Rp ,- dan pengalokasian dana adalah untuk pembelian %

8 bibit ternak domba betina sebesar Rp ,- atau sebanyak ekor, atau 67,01 % dari jumlah dana yang dialokasikan. Adapun spesifikasi kualitas bibit ternak tersebuat adlah sebagai berikut : a. Domba betina 1) Bobot badan minimal 25 Kg 2) Umur sekitar 1,5 tahun 3) Alat reproduksi normal 4) Sehat dan tidak cacat b. Domba Jantan 1) Bobot minimal 30 Kg 2) Umur sekitar 2 tahun 3) Testis normal 4) Sehat dan tidak cacat 5. Penyediaan bantuan ternak domba untuk alih profesi eks perambah zona inti hutan negara Gn Wayang Windu Kabupaten Bandung. Pengalokasian dana untuk pembelian bantuan bibit ternak domba dalam rangka alih profesi petani perambah zona inti hutan negara Gn. Wayang Windu di Kabupaten Bandung sebesar Rp ,- dimana alokasi dana yang terbanyak untuk pembelian bibit ternaka domba betina sebanyak 90 ekor atau sebesar Rp ,-atau 64,66 % dari dana yang tersedia (lihat Tabel 8 ). Tabel 8 Alokasi Penyediaan Dana Untuk Pembelian Bibit Ternak Domba Dalam Rangka Alih Profesi Eks Perambah Hutan Negara Zona Inti Gn, Wayang Windu Kabupaten Bandung No Jenis Kebutuhan Rincian Satuan Harga Satuan (Rp) Jumlah Dana Yang Dialokasikan (Rp) 1 Domba Betina 90 ekor ,66 2 Domba Jantan 9 Ekor ,76 3 Stimulasi pembuatan 54 Unit ,28 kandang 4 Stimulan konsentrat 99 Ekor ,31 Jumlah Adapun spesifikasi kualitas bibit ternak tersebuat adlah sebagai berikut : a. Domba betina 1) Bobot badan minimal 25 Kg 2) Umur sekitar 1,5 tahun 3) Alat reproduksi normal %

9 4) Sehat dan tidak cacat b. Domba Jantan 1) Bobot minimal 30 Kg 2) Umur sekitar 2 tahun 3) Testis normal 4) Sehat dan tidak cacat 6. Biaya Operasional Pembinaan dan Pengendalian Untuk kegiatan biaya operasional pembinaan dan pengendalian Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat mengalokasikan dana sebesar Rp ,- yang terdiri dari 14 kegiatan, alokasi dana yang terbesar untuk kegiatan ini adalah Biaya koordinasi kepada Tim Pembina GRLK Kabupaten / Kota dengan Mitra Kerja terkait tingkat Propinsi sebesar Rp ,- atau 20,08 % dari dana yang disediakan /dialokasikan (lihat Tabel 9). Tabel 9 Alokasi Biaya Operasional Pembinaan Dan Pengendalian No Jenis Kegiatan Jumlah (RP) % 1 Biaya publikasi / dokumentasi ,01 2 Biaya konsumsi dan penanaman ber-sama ,58 masyarakat dan anggota KORPRI di Gn Geulis 3 Stimulan biaya aparat pemerintah Kabupaten ,30 Sumedang, Camat, Kades 4 Biaya administrasi perjanjian pengelola-an ternak ,73 domba 5 Stimulan biaya kepada Ketua Kelompok Tani ,38 dalam rangka pengembangan dan pelatihan teknis usaha tani domba Gn Geulis 6 Stimulan biaya kepada UNPAD, UNWIM dan ,29 SPP / SPMA Tanjung sari dalam rangka penanaman bersama di Gn Geulis 7 Stimulan biaya untuk Organisasi Masyarakat Peduli Lingkungan ,46 8 Stimulan biaya pengembangan pembibitan ,29 tanaman tahunan produktif kepada SPP / SPMA Tanjungsari 9 Biaya koordinasi kepada Tim Pembina GRLK ,08 Kabupaten / Kota dengan Mitra Kerja terkait tingkat Propinsi 10 Biaya seleksi tanaman tahunan dan ternak domba ,30 11 Biaya pembinaan teknis pengembangan tanaman ,61 tahunan dan berternak domba 12 Biaya operasional pembinaan dan pengendalian ,91 oleh Satgas Tim Pembina GRLK Propinsi Jawa Barat 13 Pembuatan peta lokasi lahan kritis di Jawa Barat ,47 14 Biaya keskretariatan ,59 Jumlah C. Tata Cara Pencairan Dana GRLK Ada beberapa persyaratan yang harus ditempuh dalam mencairkan dana Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) tersebut, ialah :

10 1. Permohonan pencairan dana GRLK diajukan oleh Ketua Harian Tim Pembina Propinsi kepa Gubernur. 2. Atas dasar surat permohonan Ketua Harian Tim Pembina Propinsi, dana tersebut disalurkan kepada Dinas dan Pemerintahan Kota Bandung yang dilaksanakan oleh Biro Keuangan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Barat melalui transfer Rekening Khusus Dinas yang bersangkutan dan Pemerintahan Kota Bandung.. 3. Atas dasar usulan Kepala Dinas / Unit Kerja yang bersangkutan, Tim Pembina Propinsi mengadakan pengkajian dan memberikan persetujuannya. 4. Sesuai dengan persetujuan Ketua Harian Tim Pembina Propinsi, selanjutnya Kepala Dinas / Unit Kerja yang bersangkutan menyelesaikan pekerjaannya masing-masing, sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. 5. Dana untuk biaya operasional pembinaan dan pengendalian, atas permintaan dari Ketua Harian Tim Pembina Propinsi dan di transfer oleh Biro Keuangan Sekretariad Daerah Propinsi Jawa Barat ke rekening Bendahara Tim Pembina Propinsi. D. Tata Cara Penyelesaian Pekerjaan Penyelesaian pekerjaan yang dibiayai oleh dana GRLK dikoordinasikan dengan Tim Pembina Propinsi dan berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku. Jenis pekerjaan yang secara teknis harus ditangani oleh Dinas / Unit Kerja terkait di Tingkat Propinsi dan Pemerintah Kota Bandung, dana tersebut diajukan oleh Kepala Dinas / Unit Kerja yang bersangkutan atau oleh Walikota Bandung kepada Gubernur melalui Ketua Harian Tim Pembina Propinsi dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pengadaan bibit tanaman buah-buahan dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat 2. Pengadaan bibit tanaman perkebunan dilaksanakan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat 3. Pengadaan bibit tanaman tahunan produktif untuk Kota Bandung dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandung 4. Pengadaan ternak domba dilaksanakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat 5. Biaya operasional pembinaan dan pengendalian dikelola oleh Tim Pembina Propinsi IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Gerakan Reboisasi Lahan Kritis (GRLK) di Propinsi Jawa Barat merupakan gerakan rehabilitasi lahan yang diprioritaskan untuk lahan kritis milik negara maupun lahan kritis milik rakyat. Dana GRLK bersumber pada pada dana APBD Murni tahun 2004 Mata Anggaran Belanja Tak Tersangka (Kode Rekening 2,4) sebesar RP 11 Milyar. 2. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat memfokuskan dana tersebut ke dalam 6 (enam) kegiatan, secara beurutan yaitu : Penyediaan bibit tanaman buah-buahan, Penyediaan bibit tanaman perkebunan, Penyediaan bibit tanaman tahunan siap tanam khusus untuk Kota Bandung, Penyediaan bibit ternak domba untuk eks perambah hutan di hutan negara maupun di zona inti yang terletak di Gn. Geulis Kabupaten Sumedang dan Gn. Wayang windu Kabupaten Bandung dan biaya operasional, Besarnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan tersebut secara berturut-turut adalah

11 sebagai berikut : Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- Rp ,- dan Rp ,- B. SARAN 1. Dalam realisasi pelaksanaan kegitan GRLK diharapkan adanya kontrol dan pembinaan yang ketat, karena kegiatan tersebut memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan baik berupa dana maupun teknis pekerjaannya 2. Adanya koordinasi yang kondusif antara Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Daerah di Kabupaten / Kota setempat baik secara tertib administrasi maupun teknis, agar kegiatan GRLK tersebut berjalan sesuai dengan yang direncanakan. 3. Dalam pengerjaan pelaksanaan kegiatan GRLK ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan harus tepat waktu, untuk menghindari kebocoran dana pelaksanaan. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia Pusat Inventarisasi Dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Anonim, Majalah Berita Fokus Edisi 13, Mei Bandung Dinas Kehutanan, Laporan Tahunan Propinsi Jawa Barat Tahun Bandung Badan Perencanaan Daerah, Rencana Pembangunan Daerah Tingkat Propinsi, Kota dan Kabupaten Tahun Bandung. Astana. S Dampak Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Terhadap Perekonomian Pedesaan. Rencana Penelitian Kebijakan tahun Bogor..

12

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT, Draft 18/02/2014 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN UNTUK KEGIATAN FASILITASI DAN IMPLEMENTASI GREEN PROVINCE

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005

Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 s/d 2005 Tabel 4.1. Perkembangan Luas Lahan Kritis di Luar Kawasan Hutan Per Kabupaten di Provinsi Jawa Barat s/d 2005 Luas (Ha) No Kabupaten/Kota 2005 1 Bogor 20.042,60 12.140,00 26.349,46 2 Sukabumi 37.155,48

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 TAHUN 2009 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN UNTUK GERAKAN REHABILITASI LAHAN KRITIS (GRLK) TAHUN ANGGARAN 2009 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 06/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN PANAS BUMI TAHUN ANGGARAN 2006, TAHUN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Alokasi. Dana. SDA. Pertambangan. Panas Bumi. TA 2012. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PMK.07/2012 TENTANG PERKIRAAN

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 84 Tahun 2009 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2009

Gubernur Jawa Barat. PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 84 Tahun 2009 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2009 Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 84 Tahun 2009 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian

Lebih terperinci

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014 TOTAL BAES01 JAWA BARAT 129,401,372,000.00 BELANJA PEGAWAI 100,974,521,000.00 BELANJA BARANG OPERASIONAL 8,203,990,000.00 BELANJA BARANG NON OPERASIONAL 2,838,361,000.00 BELANJA MODAL 17,384,500,000.00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah Indonesia yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 106 Tahun 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BANTUAN KEUANGAN KHUSUS UNTUK GERAKAN REHABILITASI LAHAN KRITIS TAHUN 2009 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu sektor penting yang bisa menunjang pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, mendorong pemerataan pembangunan nasional dan mempercepat

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT Disampaikan oleh : Prof. DR. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Disampaikan pada : Rapat Koordinasi Pemantauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT KAJIAN POTENSI KAYU PERTUKANGAN DARI HUTAN RAKYAT PADA BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA BARAT Oleh: Ridwan A. Pasaribu & Han Roliadi 1) ABSTRAK Departemen Kehutanan telah menetapkan salah satu kebijakan yaitu

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah

Lebih terperinci

Perkembangan Ekonomi Makro

Perkembangan Ekonomi Makro Boks 1.2. Pemetaan Sektor Pertanian di Jawa Barat* Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB (harga berlaku) tahun 2006 sebesar sekitar 11,5%, sementara pada tahun 2000 sebesar 14,7% atau dalam kurun waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penerapan otonomi daerah di Indonesia hingga saat ini merupakan wujud dari diberlakukannya desentralisasi. Otonomi daerah ini selaras dengan diberlakukannya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III). KATA PENGANTAR Kegiatan SL-PTT merupakan fokus utama program yang dilaksanakan dalam upaya mendorong terjadinya peningkatan produktivitas padi. Kegiatan ini dilaksanakan secara serempak secara nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR ISI...... i 1. GEOGRAFI Tabel : 1.01 Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat Dan Kabupaten/Kota... 1 Tabel : 1.02 Jumlah Kecamatan Dan Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2011... 2 2. KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 2 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI Tanggal : 8 Pebruari 2010 Nomor : 2 Tahun 2010 Tentang : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI NOMOR 10 TAHUN 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010 PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah) UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 214 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 5 MAHKAMAH AGUNG : 2 JAWA BARAT SEMULA SETELAH 1 I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA 1 RUPIAH MURNI 3 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 4 PERADILAN

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 48 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BANTUAN KEUANGAN KEPADA KABUPATEN/KOTA UNTUK KEGIATAN PENANAMAN MASSAL DALAM RANGKA PROGRAM GREEN SCHOOL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 46/08/32/Th. XVII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014 TAHUN 2014, PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 253.296 TON, CABAI

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah) UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 213 KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA : 5 MAHKAMAH AGUNG : 2 PROP. JAWA BARAT SEMULA SETELAH 1 I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA 1 RUPIAH MURNI 3 KETERTIBAN DAN KEAMANAN 4

Lebih terperinci

Tabel IV.C.3.1 Program, Alokasi dan Realisasi Anggaran Urusan Kehutanan Tahun No. Program Alokasi (Rp) Realisasi (Rp)

Tabel IV.C.3.1 Program, Alokasi dan Realisasi Anggaran Urusan Kehutanan Tahun No. Program Alokasi (Rp) Realisasi (Rp) 3. URUSAN KEHUTANAN Kawasan hutan negara di wilayah Wonosobo secara administratif dikelola oleh KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu Utara. Hutan yang ada di Wonosobo saat ini menjadi penyangga 13 kabupaten yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan keuangan sektor publik khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia dilandasi

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI BUNGA KEPADA USAHA MIKRO DAN KECIL TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LAPORAN PEMENUHAN KEWAJIBAN Satlak dan Tim Monev PPK IPM Kabupaten/Kota

LAPORAN PEMENUHAN KEWAJIBAN Satlak dan Tim Monev PPK IPM Kabupaten/Kota Rapat Koordinasi Monev dan Satlak Program Pendanaan Kompetisi Akselerasi Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Bulan April 2008 Kamis, 17 April 2008 Aula Soehoed Warnaen Lt. 3 Bapeda Provinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya dibentuk berdasarkan pada Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya nomor 8 tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena

Lebih terperinci

LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG

LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG LEMBARAN BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO. 31 2011 SERI. E PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 31 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BANTUAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PEMERINTAH KABUPATEN KARAWANG

Lebih terperinci

Tabel 16. Data Produksi Benih Yang Dihasilkan Oleh UPTD/Balai Lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014

Tabel 16. Data Produksi Benih Yang Dihasilkan Oleh UPTD/Balai Lingkup Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 5.1 Penyediaan Benih Unggul Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah proses produksi usaha tani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul bermutu, produsen benih,

Lebih terperinci

Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan Satu Data Pembangunan Jawa Barat

Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan Satu Data Pembangunan Jawa Barat Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan Satu Data Pembangunan Jawa Barat Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat Pada acara Workshop Aplikasi Sistem Informasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id). Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011.

PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id). Populasi Ternak (000) Ekor Diakses Tanggal 3 Oktober 2011. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rata-rata laju pertumbuhan populasi ternak unggas selama enam tahun dari tahun 2004 hingga 2010 menunjukkan peningkatan, diantaranya ternak ayam ras petelur dan pedaging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan merupakan pemanfaatan segala potensi yang ada di masingmasing daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga pelaksanaannya

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 15/02/32/Th.XVII, 16 Februari 2014 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Lampiran 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 5/ Permentan/OT. 140/1/2007

Lampiran 1. Lampiran 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 5/ Permentan/OT. 140/1/2007 LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 5/ Permentan/OT. 140/1/2007 LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 05/Permentan/OT.140/1/2007 TANGGAL : 16 Januari 2007 DAFTAR

Lebih terperinci

Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d Tahun 2003 (Ha)

Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d Tahun 2003 (Ha) Tabel 1.1. Perkembangan Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat Berdasarkan Fungsinya Tahun 2003 s/d 2005 No Fungsi Kawasan Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Keterangan I Kawasan Produksi & Lindung 627.499,78

Lebih terperinci

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana

Seuntai Kata. Bandung, Mei 2014 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Gema Purwana Seuntai Kata ensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik S(BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan 24. LINGKUNGAN HIDUP 184 Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun 2010 No Nama Jumlah Titik Sampling Frekuensi Sampling Kisaran Status Mutu Air Sungai Berdasarkan KMA PP 82/2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance) merupakan isu aktual dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Praktik kepemerintahan yang baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Provinsi Jawa Barat Kabupaten dan kota provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota dengan 625 kecamatan dan 5.877 desa/kelurahan. Jawa

Lebih terperinci

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan adalah kebutuhan primer yang harus terpenuhi. Salah satu kebutuhan pangan yang paling banyak di konsumsi adalah kebutuhan pokok beruapa karbohidrat.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, 30 Juni 30 Juni 2008 2008 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa pengaturan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan gaya hidup dan tatanan dalam masyarakat saat kini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi yang memacu perkembangan

Lebih terperinci

Nomor : 638/SM.510/J.3.7/08/ Agustus 2014 Lampiran : Satu Berkas Perihal : Permintaan Calon Peserta Diklat

Nomor : 638/SM.510/J.3.7/08/ Agustus 2014 Lampiran : Satu Berkas Perihal : Permintaan Calon Peserta Diklat Nomor : 638/SM.510/J.3.7/08/2014 4 Agustus 2014 Lampiran : Satu Berkas Perihal : Permintaan Calon Peserta Diklat Yang terhormat, ( Terlampir ) Dalam mendukung program Kementerian Pertanian terutama dalam

Lebih terperinci

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun Sekapur Sirih Sebagai pengemban amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TENTANG BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1979/1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TENTANG BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1979/1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TENTANG BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1979/1980 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan

Lebih terperinci

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. D

NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 19 2008 SERI. D PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 20 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH DAN SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang :

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian harga guna tercapainya

Lebih terperinci

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON KKI WARSI LATAR BELAKANG 1. Hutan Indonesia seluas + 132,9

Lebih terperinci

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I No.2023, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN LHK. Pelimpahan. Urusan. Pemerintahan. (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan. Tahun 2015 Kepada 34 Gubernur. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 9PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2017

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG GERAKAN MENANAM DAN MEMELIHARA POHON DI JAWA TIMUR UNTUK PENYELAMATAN BUMI GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Katalog BPS

Katalog BPS Katalog BPS. 5214.32 PRODUKSI TANAMAN PADI DAN PALAWIJA JAWA BARAT TAHUN 2010-2014 ISSN: - Nomor Publikasi: 32.530.15.01 Katalog BPS: 5214.32 Ukuran Buku: 19 cm x 28 cm Jumlah Halaman: vii + 71 halaman

Lebih terperinci

Inventarisasi dan Pemetaan Lokasi Budidaya dan Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong (Inventory and Mapping of Cattle and Feed Resources)

Inventarisasi dan Pemetaan Lokasi Budidaya dan Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong (Inventory and Mapping of Cattle and Feed Resources) Inventarisasi dan Pemetaan Lokasi Budidaya dan Lumbung Pakan Ternak Sapi Potong (Inventory and Mapping of Cattle and Feed Resources) Hasni Arief, Achmad Firman, Lizah Khaerani, dan Romi Zamhir Islami Fakultas

Lebih terperinci

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan 3. URUSAN KEHUTANAN Sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo terdiri dari kawasan hutan negara seluas + 20.300 Ha serta hutan rakyat seluas ± 19.481.581 Ha. Kawasan hutan negara di wilayah Wonosobo secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Sejarah Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat Dinas perkebunan propinsi jawa barat merupakan Dinas dilingkungan pemerintah Daerah Jawa barat yang didirikan pada tahun

Lebih terperinci

PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2013

PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jawa Barat 2012 BKKBN PROVINSI JAWA BARAT INDIKATOR KKP SASARAN 2012

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2014

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2014 PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN POKOK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, RINCIAN TUGAS UNIT DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS DI LINGKUNGAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011

Lebih terperinci

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TANGGAL 4 Juni PEDOMAN PELAKSANAAN 1/5

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TANGGAL 4 Juni PEDOMAN PELAKSANAAN 1/5 LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1979 TANGGAL 4 Juni 1979. PEDOMAN PELAKSANAAN 1/5 BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1979/1980 BAB I UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir tahun anggaran, Kepala daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN KOSONG MENJADI LAHAN PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

Lebih terperinci

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 EVALUASI KETERSEDIAAN DAN DISTRIBUSI PANGAN RONI KASTAMAN DISAMPAIKAN PADA ACARA DISEMINASI LITBANG BAPEDA KOTA BANDUNG 29 NOPEMBER 2016 ISSUE PEMBANGUNAN KOTA PERTUMBUHAN EKONOMI INFLASI PENGANGGURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah.

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya pembinaan dan pengembangan bahasa daerah di Jawa Barat terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah. Cara seperti ini termasuk

Lebih terperinci

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER LAMPIRAN I : PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 30 Tahun 2010 TANGGAL : 31 Desember 2010 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci