KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH, GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH, GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH, GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten adalah karya saya sendiri dibawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2009 Rohmat Diyono NRP D

3 ABSTRACT ROHMAT DIYONO. Body Measurements Characteristic and Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Population in Banten. Supervised by CECE SUMANTRI and ACHMAD FARAJALLAH. The objectives of this study were to get information about body measurements characteristic and molecular polymorphisms of Banten buffalo population consisted of Pandeglang and Lebak subpopulations. Five variables of body measurement which were body length (BL), wither height (WH), chest circumference (CC), chest depth (CD) and hip height (HH) were analyzed on body measurement study. While, three loci of growth hormone genes (GH/MspI, GHRH/HaeIII and Pit-1/HinfI) were used on molecular polymorphism study. The results showed that body measurements of Pandeglang generally was not differ from Lebak subpopulation according to t-test analysis (P>0.05). Molecular analysis showed that GH/MspI and GHRH/HaeIII loci of Banten population were polymorphic, while Pit-1/HinfI locus was monomorphic. Genetic polymorphisms of GH/MspI locus was low showed by expected heterosigosity value (H e =0.0469). While, genetic polymorphisms of GHRH/HaeIII locus was higher (H e =0.4908). F IS index showed negative value indicated that there was a random mating system on Banten buffalo population. F IT value for GH/MspI locus near to 0 ( ) indicated that there was a balanced population according to Hardy-Weinberg principle. A bias of Hardy Weinberg principle was on GHRH/HaeIII locus showed with F IT value near to -1 ( ). Population differentiation indicator, F ST index showed a small value (0.0024) indicated that differentiation of Banten population to two subpopulations (Pandeglang and Lebak) only decreased a small number of genetic diversity (0.24%). Correlation analysis showed that GHRH/HaeIII genotypes was not significantly correlated with body measurements of Banten buffalo population (P>0.05). Keywords: body measurements, polymorphism, growth hormone genes, buffalo, Banten

4 RINGKASAN ROHMAT DIYONO. Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI dan ACHMAD FARAJALLAH. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendapatkan informasi mengenai karakteristik kuantitatif ukuran-ukuran tubuh kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak) meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam dada dan tinggi pinggul, 2) mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada populasi kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak), dan 3) menganalisis hubungan antara ukuran-ukuran tubuh kerbau dengan polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit- 1/HinfI. Penelitian dilakukan di dua Kabupaten di Banten yaitu Pandeglang dan Lebak. Data ukuran tubuh sampel ternak kerbau sebanyak 80 ekor dari Pandeglang dan 121 ekor dari Lebak diperoleh dengan pengukuran langsung dilapangan dari bulan September sampai November Identifikasi polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphisms (PCR-RFLP) dari bulan Desember 2008 sampai April 2009 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB. Karaktersitik ukuran tubuh kerbau dianalisis secara deskriptif meliputi nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman. Sampel darah ternak kerbau yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 77 sampel meliputi 44 sampel dari Pandeglang dan 33 sampel dari Lebak. Analisis polimorfisme meliputi frekuensi alel dan genotipe, heterosigositas pengamatan (H o ) dan heterosigositas harapan (H e ), keseimbangan Hardy-Weinberg, dan nilai-nilai indeks fiksasi meliputi F IS, F IT, dan F ST. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan antara genotipe dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau terkoreksi umur 4 sampai 5 tahun jenis kelamin betina. Analisis hubungan dilakukan dengan menggunakan uji-t. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa karakteristik kuantitatif ukuranukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak secara umum tidak berbeda (P>0.05). Lokus GH/MspI dan GHRH/HaeIII bersifat polimorfik, sedangkan lokus Pit- 1/HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Alel GH(-) pada lokus GH/MspI hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi Frekuensi genotipe GH(+/+) dan GH(+/-) pada subpopulasi Pandeglang adalah 0.92 dan Pada subpopulasi Lebak, lokus GH/MspI bersifat monomorfik dengan hanya ditemukanya alel GH(+). Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi alel A dan B lokus GHRH/HaeIII adalah 0.41 dan 0.59, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0.43 dan Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi genotipe AB dan BB lokus GHRH/HaeIII adalah 0.86 dan 0.14, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0.81 dan Pada populasi total Banten Lokus GH/MspI mempunyai keragaman yang rendah (H e = ) dan lokus GHRH/HaeIII mempunyai keragaman yang tinggi (H e = ). Nilai F IS pada populasi Banten untuk semua lokus bernilai negatif yang mengindikasikan adanya pola perkawinan acak. Nilai F IT untuk lokus GH/MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati nilai 0 ( ) mengindikasikan

5 bahwa distribusi genotipe gen tersebut memenuhi prinsip keseimbangan Hardy- Weinberg. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg terjadi pada lokus GHRH/HaeIII ditunjukkan dengan nilai F IT mendekati -1 ( ). Populasi kerbau Banten mempuyai nilai F ST rataan sebesar Nilai F ST yang kecil ini mengindikasikan bahwa pemisahan populasi Banten menjadi dua subpopulasi Pandeglang dan Lebak hanya akan menurunkan keragaman genetik yang tidak signifikan yaitu sebesar 0.24%. Analisis hubungan genotipe dengan ukuranukuran tubuh hanya memungkinkan dilakukan untuk lokus GHRH/HaeIII. Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa keragaman lokus GHRH/HaeIII tidak berhubungan (P>0.05) dengan ukuran-ukuran tubuh kerbau di Banten. Kata kunci: ukuran tubuh, polimorfisme, gen hormon pertumbuhan, kerbau, Banten

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusuan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH,GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO Tesis sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Judul Tesis Nama NRP Mayor : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten : Rohmat Diyono : D : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Ketua Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si Anggota Diketahui Ketua Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Rarah Ratih A.M., DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.S. Tanggal Ujian: 14 Agustus 2009 Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penulisan thesis ini dapat terselesaikan. Thesis ini berjudul Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 pada Populasi Kerbau di Banten. Pemilihan judul penelitian dilatarbelakangi oleh kondisi populasi kerbau di Indonesia yang jumlahnya semakin menurun dari tahun ketahun. Padahal pada masa mendatang, ternak kerbau mempunyai potensi dalam pemenuhan kebutuhan daging. Salah satu sifat ekonomis yang penting pada ternak kerbau adalah sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan dapat dikarakterisasi dengan mudah melalui pengukuran tubuh. Sifat pertumbuhan dikontrol oleh banyak gen beberapa diantaranya tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan (somatotropin). Harapan kedepan semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang diperlukan sebagai langkah awal untuk melakukan program pemuliaan kerbau. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir.Achmad Farajallah, M.Si selaku pembimbing anggota dan Prof.Dr.Ir.Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc selaku penguji luar komisi. Secara khusus ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku peneliti utama yang telah membantu biaya penelitian melalui kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI dalam program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Akhirnya, penghargaan dan ucapan terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada orang tua penulis, Bapak Brahim dan Ibu Wagini (Almh) yang telah memberikan doa, dukungan moral dan materil yang tidak ternilai besarnya. Bogor, Agustus 2009 Rohmat Diyono

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 11 Juli 1985 dari Bapak Brahim dan Ibu Wagini (almh). Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis terdaftar pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB dengan biaya sendiri. Minat keilmuan yang diambil yaitu Genetika dan Pemuliaan Ternak. Selama kuliah penulis aktif sebagai anggota sekaligus penggerak Kelompok Tani Ternak Ngudi Mandiri di Desa Prangkokan, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Domestikasi dan Tipe Kerbau... 3 Populasi Kerbau di Indonesia... 4 Produktivitas dan Karakteristik Ukuran Tubuh Kerbau... 5 MAS (Marker Assisted Selection)... 7 Kandidat Marker Sifat Pertumbuhan... 8 Gen Growth Hormone (GH)... 9 Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Gen Pituitary Transcription Factor-1 (Pit-1) Analisis Polimorfisme Gen MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Kondisi Umum Propinsi Banten Pengukuran Karakteristik Ukuran Tubuh.. 15 Materi. 15 Metode 15 Analisis Data Identifikasi Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit Materi.. 18 Metode 19 Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ukuran Tubuh.. 24

12 Koefisien Keragaman Ukuran-Ukuran Tubuh Terkait dengan Performa Produksi Pengaruh Lingkungan terhadap Ukuran Tubuh Kerbau Identifikasi Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI 31 Polimorfisme Lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI Heterosigositas dan Indeks Fiksasi Hubungan Genotipe dengan Ukuran Tubuh Upaya Pemuliaan Kerbau Banten KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 55

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Populasi kerbau berdasarkan provinsi tahun 2004 sampai Sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak Kriteria penentuan umur kerbau berdasarkan pergantian gigi seri Informasi sekuen primer yang digunakan dalam penelitian 18 5 Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau jantan Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Koefisien keragaman (%) ukuran-ukuran tubuh kerbau betina Pandeglang dan Lebak pada berbagai kelompok umur Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ 2 dan p) pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Nilai heterosigositas pengamatan (H o ) dan heterosigositas harapan (H e ) 40 9 Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten Rataan ukuran tubuh dan standar eror (x + s.e) pada setiap genotipe lokus GHRH/HaeIII yang berbeda pada kerbau Banten. 42

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta lokasi penelitian di Provinsi Banten 14 2 Skema pengukuran tubuh kerbau Perbandingan rataan panjang badan antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin Perbandingan rataan tinggi pundak antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin Perbandingan rataan lingkar dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin Perbandingan rataan dalam dada antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin Perbandingan rataan tinggi pinggul antara kerbau Pandeglang dan Lebak pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin Perkiraan sekuen gen GH target Pola pita pemotongan gen GH Sepanjang 327 pb pada gel poliakrilamid 6% Perkiraan sekuen gen GHRH target Produk PCR gen GHRH dengan panjang sekitar 451 pb, dan pola pita pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6% Perkiraan sekuen gen Pit-1 target Produk PCR gen Pit-1 sepanjang 600 pb dan pola pita RFLP dengan enzim restriksi HaeIII pada gel poliakrilamid 6% Struktur bibit dalam kawasan sumber bibit... 45

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 1 sampai 2 tahun Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 2 sampai 3 tahun Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 3 sampai 4 tahun Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur 4 sampai 5 tahun Rataan, standar eror (SE) dan koefisien keragaman (KK) ukuran-ukuran tubuh Kerbau Pandeglang dan Lebak kelompok umur lebih 5 tahun.. 6 Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 1 sampai 2 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 1 sampai 2 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 2 sampai 3 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 2 sampai 3 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin jantan kelompok umur 3 sampai 4 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 3 sampai 4 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur 4 sampai 5 tahun Perbandingan rataan dan standar eror ukuran-ukuran tubuh kerbau Pandeglang dan Lebak jenis kelamin betina kelompok umur lebih dari 5 tahun Hubungan genotipe lokus GHRH/HaeIII dengan ukuran tubuh kerbau 61 57

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan ternak ruminansia yang digunakan sebagai salah satu sumber mata pencaharian bagi sebagian masyarakat petani di pedesaan dan berpotensi sebagai salah satu sumber dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional. Kerbau mampu memanfaatkan pakan bermutu rendah dan beradaptasi pada lingkungan yang cukup keras, spesifik lokasi dan sudah menyatu dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Populasi kerbau di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada tahun 2004 populasi kerbau mencapai ekor dan pada tahun 2007 menurun 13.21% menjadi ekor (Ditjen Peternakan 2008). Penurunan populasi ini hampir terjadi di semua wilayah nusantara yang merupakan basis pengembangan populasi kerbau, termasuk di Provinsi Banten. Penurunan populasi yang tidak terkontrol dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya gen-gen penting yang terkait dengan daya hidup dan kemampuan reproduksi serta gen-gen yang mengontrol sifat ekonomis. Penurunan populasi kerbau disebabkan oleh semakin sempitnya lahan penggembalaan, penggunaan mesin untuk mengolah lahan pertanian dan penurunan preferensi peternak terhadap kerbau. Penurunan preferensi peternak terhadap kerbau disebabkan oleh rendahnya produktifitas kerbau dibandingkan ternak lain seperti sapi dan domba apabila dipelihara secara intensif. Upaya-upaya untuk untuk meningkatkan produktivitas kerbau oleh karenanya perlu dilakukan baik melalui perbaikan manajemen pemeliharaan maupun peningkatan mutu genetik ternak. Upaya peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu sifat ekonomis yang bernilai ekonomi tinggi yaitu sifat pertumbuhan. Upaya seleksi terhadap sifat pertumbuhan dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan ukuran-ukuran tubuh kerbau. Ukuran-ukuran tubuh mempunyai kegunaan yang dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot badan dan menentukan harga jual ternak. Namun demikian upaya seleksi berdasarkan ukuran tubuh akan menghasilkan respon seleksi yang lambat karena variasi lingkungan yang tinggi. Terobosan baru berupa penerapan marker molekuler untuk membantu seleksi (marker assisted selection) diperlukan

17 untuk mendapatkan respon seleksi yang lebih cepat. Metode seleksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi sifat unggul dari seekor ternak dalam waktu yang relatif lebih cepat. Kemajuan dalam bidang biologi molekuler berupa penerapan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism (RFLP), memungkinkan upaya seleksi dapat dilakukan dengan bantuan marker molekuler yang telah terbukti mengontrol sifat ekonomis. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui dua tahap yaitu identifikasi polimorfisme gen yang mengontrol sifat ekonomis dan pencarian tipe gen (alel) yang terkait dengan sifat unggul. Kandidat gen yang dapat digunakan yaitu gen yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan diantaranya gen growth hormone (GH), growth hormone releasing hormone (GHRH), dan pituitary transcription factor (Pit-1). Gen-gen ini merupakan pengontrol sifat pertumbuhan yang keberadaan dan polimorfismenya penting untuk mendukung seleksi terhadap sifat pertumbuhan. Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat polimorfisme pada ketiga ketiga gen tersebut khususnya pada sapi yaitu pada pada lokus GH/MspI (Zhang et al. 1992), GHRH/HaeIII (Moody et al. 1995) dan Pit-1/HinfI (Wollard et al. 1994). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan informasi mengenai karakteristik kuantitatif ukuran-ukuran tubuh kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak) meliputi panjang badan, tinggi pundak, lingkar dada, dalam dada dan tinggi pinggul, 2. Mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI pada populasi kerbau Banten (Pandeglang dan Lebak), 3. Menganalisis hubungan antara ukuran-ukuran tubuh kerbau dengan polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI.

18 TINJAUAN PUSTAKA Domestikasi dan Tipe Kerbau Kerbau termasuk dalam sub-famili Bovinae, genus Bubalus. Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Kerbau Asia dan Eropa termasuk dalam genus Bubalis sedangkan Kerbau Afrika termasuk dalam genus Syncerus. Terdapat beberapa jenis kerbau liar yang masih dapat dijumpai, yaitu Anoa, Kerbau Mindoro, Bubalus caffer dan Kerbau Merah. Kerbau Mindoro (Buballus mindorensis) terdapat di Filipina. Kerbau ini juga bertubuh kecil, menyerupai kerbau kerdil. Buballus caffer merupakan kerbau liar yang sangat kuat terdapat di Afrika Timur, dan beberapa di daerah Afrika Barat Daya, Transvaal dan Kongo. Sesuai dengan namanya, kerbau merah berwarna merah dengan ukuran tubuh kecil, tingginya 1.2 sampai 1.5 m dan terdapat di Afrika Barat, di daerah Tsad, Niger hilir, Kongo dan Maroko Selatan. Kerbau Afrika, atau disebut juga dengan kerbau liar, terdiri atas dua subspesies, yaitu Syncerus caffer caffer dan Syncerus caffer nanus. Kerbau Afrika belum pernah mengalami proses domestikasi dan masih berupa kerbau liar atau semi liar (Kikkawa et al. 1997). Kerbau domestik (Bubalus bubalus) terdiri atas dua tipe yaitu tipe sungai (river buffalo) dan tipe rawa (swamp buffalo). Kedua tipe kerbau ini dibedakan berdasarkan pada penampakan, tingkah laku, pemanfaatan dan habitatnya. Kerbau sungai mempunyai bentuk tanduk melingkar ke bawah dan kerbau rawa mempunyai tanduk melengkung ke belakang. Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih, sedangkan kerbau rawa suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air menggenang. Kerbau tipe rawa biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil daging dan tidak pernah sebagai penghasil susu, sedangkan kerbau sungai merupakan tipe penghasil susu (Kikkawa et al. 1997). Kerbau rawa mempunyai 24 pasang kromosom (48 kromosom), sedangkan kerbau sungai 25 pasang (50 kromosom). Menurut Chunchai (1981) selain adanya perbedaan dalam hal jumlah pasangan kromosom, ada pula perbedaan pada besarnya seks kromosom diantara kedua sub

19 grup kerbau tersebut. Pada kerbau lumpur, besar kromosom Y tidak melebihi 1/3 dari besar kromosom X, sedangkan pada kerbau sungai besar kromosom Y mencapai sekitar ½ dari kromosom X. Jenis kerbau yang ada di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya adalah jenis kerbau rawa (swamp buffalo) yang biasanya digunakan sebagai ternak kerja dan penghasil daging. Bobot dewasa kerbau rawa rata-rata 450 sampai 650 kg untuk kerbau jantan dan 350 sampai 450 kg untuk kerbau betina Umur dewasa berkisar antara 4 sampai 5 tahun (Chantalakhana & Skunmum 2002). Populasi Kerbau di Indonesia Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia. Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau lumpur dan hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturunan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Populasi kerbau di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2007 disajikan pada Tabel 1. Kerbau rawa yang berkembang dan dibentuk menurut agroekosistem memunculkan berbagai tipe kerbau. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga, di Kalimantan Selatan ada kerbau Kalang dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar. Potensi pengembangan ternak kerbau di Indonesia cukup besar, mengingat populasi pada tahun 2007 cukup banyak sebesar ekor dengan penyebaran yang tidak merata antar daerah. Populasi kerbau terbanyak ada di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Banten, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah, dengan jumalh mencapai 76.4% dari total populasi nasional (Ditjen Peternakan 2008).

20 Tabel 1 Populasi kerbau berdasarkan provinsi tahun 2004 sampai 2007 No. Provinsi Tahun NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Babel Banten Gorontalo Malut Kepri Irjabar Sulbar Total Sumber: Ditjen Peternakan (2008) Produktivitas dan Karakteristik Ukuran Tubuh Kerbau Ternak kerbau memiliki kemampuan dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan berprotein rendah dan serat kasar tinggi). Hal ini dimungkinkan karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau yang relatif besar. Ternak kerbau memiliki potensi yang relatif mudah dari kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behavior sehingga akan sesuai hidup pada

21 lingkungan yang bervariasi (Suhubdy 2007). Ternak kerbau tahan terhadap tekanan dan perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan temperatur (head load) atau perubahan fenologi padang rumput. Karakteristik kerbau terhadap lingkungan menunjukkan bahwa sifat produksi dan reproduksi kerbau sangat responsif apabila habitat dan manajemen pemeliharaanya diperbaiki (Suhubdy 2007). Salah satu sifat produksi kerbau yang mempunyai nilai ekonomis penting adalah sifat pertumbuhan yang dapat dikarakterisasikan dengan ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat digunakan sebagai penduga yang menyeluruh dari bentuk tubuh dan deskripsi khas dari berbagai gambaran tubuh (Wiley 1981). Selanjutnya Warwick et al. (1983), bahwa ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asal-usul dan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa dan tipe ternak yang berbeda. Karakter atau sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat aditif. Biasanya hubungan antar alel yang paling umum adalah kodominan atau dominan tidak penuh (Noor 2004). Ukuran-ukuran tubuh seperti panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada merupakan sifat kuantitatif. Karakter ini diperoleh dengan cara pengukuran. Martojo (1983) menyatakan bahwa ukuran tubuh secara kuantitatif menimbulkan perbedaan-perbedaan individu dalam populasi dan sering digunakan dalam seleksi dan sebagai petunjuk morfogenetik dari jenis ternak tertentu. Ukuran-ukuran tubuh kerbau bermanfaat untuk menduga sifat produksi misalnya bobot badan dan juga dapat digunakan sebagai parameter untuk kegiatan seleksi terhadap sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi pada ternak termasuk ternak kerbau salah satunya adalah bobot badan. Pengukuran bobot badan masih sangat sulit dilakukan secara langsung untuk ternak besar seperti kerbau di Indonesia. Oleh karena itu, ukuran-ukuran tubuh dapat digunakan untuk menduga bobot badan kerbau. Bhattacharya (1993) menyatakan bahwa ukuran lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan dapat digunakan untuk menduga bobot badan ternak kerbau dengan tepat. Selain untuk tujuan seleksi, informasi mengenai ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat praktis manajemen pemeliharaan kerbau di lapangan. Penggunaan ukuran-ukuran

22 tubuh untuk pendugaan bobot badan akan sangat bermanfaat untuk sistem usaha pengembangan ternak kerbau. Bila bobot badan kerbau telah diketahui maka pemberian pakan untuk kerbau dapat diberikan secara tepat sesuai kebutuhan. Bobot badan kerbau juga dapat digunakan sebagai standar dalam menentukan harga jual kerbau. Berdasarkan bobot badan, kerbau rawa memiliki karakteristik yang spesifik tergantung lokasi tempat berkembangnya. Kerbau rawa di Thailand mempunyai bobot badan dewasa 350 sampai 650 kg (Chantalakhana & Skunmum 2002), bobot badan kerbau rawa di Cina sekitar 250 kg, di Mianmar sekitar 300 kg dan di Laos sekitar 500 sampai 600 kg (Shackleton & Harestad 2003). Bobot badan kerbau dapat diduga melalui ukuran-ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh kerbau domestik yang ada sekarang mempunyai ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan pada awal domestikasinya. Kerbau liar dalam proses domestikasinya hanya digunakan sebagai hewan pekerja, hewan buruan serta dikebiri dan disembelih, tetapi tidak digunakan untuk tujuan pembibitan, sehingga berakibat menurunya ukuran-ukuran tubuh kerbau diberbagai negara seperti di Indonesia dan Thailand. Hal ini disebabkan oleh hilangnya gen-gen tertentu yang mempengaruhi sifat pertumbuhan (Shackleton & Harestad 2003). Oleh karena itu perlu adanya upaya seleksi untuk meningkatkan produktivitas kerbau khususnya sifat pertumbuhan. Upaya seleksi tersebut dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan fenotipe ukuran tubuh. Selain itu, seleksi dapat juga dilakukan dengan bantuan marker molekuler yang berhubungan dengan sifat kuantitatif ukuran tubuh. Upaya seleksi dengan bantuan marker molekuler disebut dengan marker assisted selection. MAS (Marker Assisted Selection) Metode seleksi sederhana dengan menggunakan informasi fenotipik telah berhasil dilakukan untuk perbaikan produktivitas ternak. Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan seperti perbedaan jenis kelamin dan sifat-sifat yang sulit atau mahal untuk diukur dan diamati (Vischer et al. 2000). Munculnya gagasan penggunaan MAS adalah terdapat gen yang memiliki hubungan nyata dan menjadi target secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf 2000). Penerapan

23 MAS adalah suatu harapan yang optimis, tetapi penerapan MAS akan lebih tepat dilakukan pada skala industri pemuliaan ternak atau industri peternakan sehingga keberhasilan penerapannya memerlukan strategi terpadu dan menyeluruh untuk skala usaha peternakan besar (Dekkers 2004). Penerapan MAS dapat dilakukan atau penting untuk kegiatan seleksi pada sifat yang mempunyai ketepatan seleksi dan heritabilitas rendah. Ketepatan seleksi diharapkan dapat lebih baik sejak periode anak bahkan pada fase embrional sekalipun (Meuwissen 2004). Penerapan MAS memerlukan sebuah marker atau penanda molekuler yang spesifik. Salah satu teknik yang telah dikembangkan dan secara luas digunakan untuk mencari marker molekuler tersebut adalah restriction fragment length polymorphisms (RFLP). Penggunaan teknik RFLP menjadi semakin intensif setelah dikembangkannya teknik amplifikasi fragmen DNA yaitu polymerase chain reaction (PCR). Kombinasi teknik PCR dan RFLP merupakan teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzymes) yang dapat memotong pada sekuen nukleotida spesifik (Montaldo & Herera 1998). Jumlah dan ukuran fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi, memiliki pola pita ada atau tidak ada tempat restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan (Meghen et al. 1995). Hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasikan melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada atau tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi (Nei & Kumar 2000). Kandidat Marker Sifat Pertumbuhan Prinsip dasar penerapan MAS adalah adanya hubungan yang kuat secara statistik antara tipe gen (alel) tertentu dengan sifat ekonomis unggul. Kebanyakan sifat-sifat ekonomis penting merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor 2004). Namun demikian, diprediksi terdapat beberapa gen utama yang memberikan kontribusi lebih pada variasi suatu sifat. Gen semacam ini disebut dengan gen mayor (major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif

24 atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor yang dapat digunakan sebagai kandidat dalam program MAS yaitu apabila gen tersebut mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif. Salah satu sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis pada ternak kerbau adalah sifat pertumbuhan. Sifat pertumbuhan merupakan sifat yang masih menjadi prioritas sebagai tujuan seleksi untuk ternak-ternak di Indonesia, khususnya ruminansia. Bila ditinjau dari sisi hormonal, hormon yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan (somatotropic axis) mempunyai peran yang sangat penting selama beragam fase pertumbuhan ruminasia (Owens et al. 1993). Beberapa gen yang berperan dalam proses pertumbuhan diantaranya gen growth hormone (GH), growth hormone releasing hormone (GHRH) dan pituitary transcription factor-1 (Pit-1). Gen Growth Hormone (GH) Hormon pertumbuhan sapi (bgh) merupakan sebuah polipetida yang terdiri dari 191 asam amino (Etherton & Bauman 1998). Gen GH ditranskripsikan dan diterjemahkan di kelenjar pituitari anterior. Proses transkripsi diregulasi oleh dua faktor pengikat, yaitu Pit-1 dan Prop-1. Sekresi GH oleh pituitari di stimulus oleh GH-releasing hormone yang terdapat di hipotalamus, tetapi juga dihambat oleh somatostatin yang juga disekresikan oleh hipotalamus (Giustina & Veldhuis 1998; Pfaffle et al. 1999; Fodor et al. 2006). Sintesis dan sekresi gen GH diregulasi oleh hypothalamic releasing factors dan somatotrophic transcription factors (Fodor et al. 2006). Seleksi genetik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas karkas telah dihubungkan dengan peningkatan sekresi GH oleh pituitari (Bunger & Hill 1999). Penyuntikan rekombinan hormon GH rekombinan juga mampu meningkatkan laktasi dan kualitas karkas (Etherton & Bauman 1998). Baik secara langsung ataupun tidak, gen GH melalui peran gen insulin growth factor-1 (IGF- 1) merupakan regulator utama dalam pertumbuhan sel somatic posnatal, stimulasi proses anabolis seperti pembelahan sel, pertumbuhan tulang dan sintesis protein. Gen GH telah digunakan sebagai kandidat gen dalam mencari keterkaitan antara genotipe dengan fenotipe pada beberapa spesies termasuk Bos taurus dan Bos indicus (Ge et al. 2003; Beauchemin et al. 2006). Pemilihan gen GH ini didasari

25 atas fungsinya dalam proses laktasi, metabolisme karbohidrat (Ohlsson et al.1998). Pada ternak sapi, gen GH terletak pada kromosom 19, Lagziel et al. (2000) mengungkapkan bahwa polimorfisme skuen pada intron 4 dapat digunakan untuk membedakan ada atau tidaknya punuk pada sapi, yaitu Bos indicus (berpunuk) dan Bos taurus (tidak berpunuk). Perbandingan lain bangsa sapi ini, sebagai contoh adalah sapi Brahman dan Angus mempunyai perbedaan mencolok pada sifat karkasnya (Morrison 2005). Sapi Brahman memiliki kadar lemak dan konsentrasi serum yang lebih rendah dibandingkan sapi Angus pada karkasnya (Lopez et al. 2006). Beberapa penelitian tentang penggunaan polimorfisme gen yang dihubungkan dengan sifat fenotipe menunjukkan adanya pengaruh yang bersifat aditif. Namun demikian pada populasi silangan Bos indicus dan Bos taurus, genotipe yang heterosigot cenderung menunjukkan performa yang lebih superior dalam pengukuran fisiologis dan sifat produksi (Pereira et al. 2005). Mutasi basa C-G ditemukan pada kodon ke-127 gen GH sapi (GH/AluI) yang berakibat pada perubahan asam amino leusin (alel L) menjadi valine (alel V) (Lucy et al. 1991). Perubahan asam amino ini telah dihubungkan dengan beberapa sifat produksi pada ternak sapi, seperti pertumbuhan, komposisi dan kualitas karkas (Regitano et al. 1999). Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Gen GHRH mengkodekan sebuah hormon dengan panjang sekitar asam amino. GHRH terekspresikan pada kelenjar hipotalamus, saluran gastrointestinal, gonad, jaringan kekebalan, dan Plasenta. Fungsi utama GHRH adalah menstimulasi sekresi gen GH. Selain itu, GHRH meningkatkan konsentrasi serum GH (Lovendal et al. 1991) dan meningkatkan produksi susu (Lapierre et al. 1988). Vanderkool et al. (1995) melaporkan bahwa GHRH menstimulasi sintesis susu melalui mekanisme yang sama dengan GH. Pada ternak sapi, gen GHRH terdiri dari 5 ekson (Frohman & Kineman 1999), terletak pada kromosom 13 dan terpaut dengan mikrosatelit CSSM30 (Barendse et al. 1994). Studi tentang keragaman gen GHRH telah dilakukan pada ternak sapi jantan FH (Moody et al. 1995) dengan menggunakan PCR-RFLP

26 HaeIII. Hasilnya menunjukkan bahwa frekuensi genotipe AA rendah (0.08) dan mampu meningkatkan persentase lemak karkas. Cheong et al. (2006) juga melaporkan keterkaitan antara polimirfisme gen GHRH dengan kualitas karkas pada sapi Korea. Hubungan polimorfisme gen GHRH/HaeIII pada produksi susu telah diteliti oleh Marek et al. (2007). Penelitian yang dilakukan pada populasi sapi perah di Polandia ini menghasilkan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BB dengan frekuensi masing-masing 0.10; 0.37 dan 0.53, dan frekuensi alel A dan B masing-masing 0.28 dan Sapi dengan genotipe AA mempunyai produksi susu lebih tinggi dibandingkan dengan kedua genotipe lainya. Pada Kerbau, Rajamurugan et al. (2007) melaporkan bahwa gen GHRH lokus HaeIII pada 60 ekor kerbau perah Murrah adalah monomorfik. Gen Pituitary Transcription Factor-1 (Pit-1) Gen Pit-1 yang juga dikenal dengan nama growth hormone factor 1 (GHF1) merupakan faktor transkripsi spesifik pituitari yang berperan untuk perkembangan pituitari dan ekspresi hormon pada mamalia (Cohen et al. 1997). Pit-1 merupakan anggota domain POU yang mengandung protein, yaitu kelompok regulator transkripsi yang mempunyai peran kunci dalam diferensiasi dan pembelahan sel (Mangalam et al. 1989). Secara in vivo, kebanyakan dari protein POU berperan penting dalam proses perkembangan yang terkait dengan system saraf. Pada hewan ternak, gen Pit-1 berfungsi dalam pengaturan transkripsi gen GH dan prolaktin (Bodner et al. 1988). Gen Pit-1 juga berfungsi sebagai aktivator gen-gen pituitary, termasuk gen Pit-1 itu sendiri (Chen et al. 1990) dan gen GHRH (Lin et al. 1992). Analisis Polimorfisme Gen Pemilihan gen yang akan digunakan sebagai kandidat marker untuk kegiatan seleksi, selain mempunyai hubungan biologis dan fisiologis dengan sifat kuantitatif juga disyaratkan adanya informasi polimorfisme pada gen kandidat tersebut. Teknik polymerase chain reaction (PCR) yang dikombinasikan dengan teknik restriction fragment length polymorphisms (RFLP) dapat digunakan untuk mendapatkan informasi ada atau tidaknya polimorfisme pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada coding region maupun pada non-coding region (Vasconcellos et al. 2003).

27 Ada atau tidaknya polimorfime pada gen atau lokus yang diamati dapat diketahui dari nilai frekuensi alel. Gen dikatakan bersifat polimorfik yaitu apabila salah satu alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei & Kumar 2000) atau 95% (Hartl 1988). Sebaliknya, gen dikatakan monomorfik apabila tidak memenuhi kriteria polimorfik diatas. Keragaman genetik digunakan untuk menginvestigasi hubungan genetik suatu spesies antar subpopulasi. Prinsipnya adalah kemungkinan adanya alel bersama yang dimiliki antar subpopulasi yang disebabkan oleh migrasi. Alel bersama ini juga mengindikasikan adanya asal-usul atau tetua yang sama (Hartl 1988). Keragaman genetik dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan nilai frekuensi alel. Frekuensi alel adalah proporsi jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam suatu populasi pada lokus yang sama (Nei & Kumar 2000). Berdasarkan nilai frekuensi alel, maka selanjutnya dapat dibandingkan perbedaan antar gen, baik didalam maupun antar populasi. Perhitungan frekuensi alel dapat dilakukan dengan mudah menurut petunjuk Nei (1987). Berdasarkan nilai frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat diduga nilai keragaman genetik yaitu frekuensi heterosigositas pengamatan (H o ) dan heterosigositas harapan (H e ) (Nei 1987). Pola perkawinan dan seleksi serta struktur populasi yang berlangsung pada populasi yang diamati dapat diduga dengan menggunakan nilai-nilai indeks fiksasi yang dikenal dengan uji-f statistic yang terdiri dari tiga parameter yaitu F IS, F IT dan F ST. Nilai Indeks fiksasi dapat digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan pola seleksi yang terjadi di dalam populasi. Nilai indeks fiksasi bisa positif atau negatif, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin yang tidak acak. F IS dan F IT adalah korelasi antara dua gamet secara acak pada sub populasi dan populasi total, sedangkan F ST adalah kolerasi antar gamet secara acak pada masing-masing subpopulasi dan digunakan untuk mengukur derajat diferensiasi genetik subpopulasi (Nei 1987). Nilai F ST berkisar dari 0 sampai 1. Wright (1978) mengelompokkan nilai-nilai F ST sebagai berikut: diferensiasi genetik kecil (F ST 0 sampai 0.05), diferensiasi genetik moderat (F ST 0.05 sampai 0.15), diferensiasi genetik besar (F ST 0.15 sampai 0.25), diferensiasi genetik sangat besar (F ST lebih besar dari 0.25).

28 MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu pengambilan data ukuran-ukuran tubuh di lapangan dilanjutkan dengan analisis molekuler di laboratorium. Lokasi penelitian lapangan ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Pengambilan data ukuran tubuh dilakukan dari Bulan September sampai November Identifikasi polimorfisme lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI dilakukan di Laboratorium Zoologi, Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB dari bulan Desember 2008 sampai April Kondisi Umum Propinsi Banten Propinsi Banten terletak pada 5 o o 1 11 Lintang Selatan (LS) dan 05 o o 12 Bujur Timur (BT). Luas wilayah propinsi Banten yaitu km 2. Posisi Banten sangat strategis yaitu sebagai penghubung jalur perdagangan Sumatera-Jawa. Secara geografis, batas-batas wilayah propinsi Banten adalah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa - Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda - Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia Iklim wilayah Banten dipengaruhi oleh Angin Monson dan gelombang La Nina atau El Nino. Pada saat musim penghujan (November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Samudera Hindia) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (April- Oktober), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama diwilayah bagian selatan (BPS Banten 2008). Kabupaten Pandeglang Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 o 21' 7 o 10' Lintang Selatan (LS) dan antara 104 o o 11' Bujur Timur (BT) dengan luas daerah sebesar ha atau km 2. Topografi wilayah Kabupaten

29 Pandeglang memiliki dataran yang sebagian besar merupakan dataran rendah, yaitu di daerah bagian tengah dan selatan, dengan variasi ketinggian antara 0 sampai m di atas permukaan laut (mdpl). Suhu udara minimum dan maksimum yang terjadi di wilayah Kabupaten Pandeglang berkisar antara 22.5 o C sampai 27.9 o C dengan suhu udara rata-rata untuk dataran rendah adalah 22.9 o C, dan untuk dataran tinggi adalah 22.5 o C (BPS Banten 2008). Lokasi Penelitian: Kecamatan Cisata Kab. Pandeglang Lokasi Penelitian: Kecamatan Cibadak Kab. Lebak Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak Kabupaten Lebak memiliki luas ha. Kondisi Topografi Kabupaten Lebak bervariasi antara dataran sampai pegunungan dengan ketinggian antara 0 sampai 200 mdpl di wilayah pantai selatan, ketinggian 201 sampai 500 mdpl di wilayah Lebak tengah, ketinggian 501 sampai 1000 mdpl lebih di wilayah Lebak timur dengan puncaknya Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun. Keadaan suhu rata-rata dataran rendah mencapai 27.9 o C dan di dataran tinggi 25 o C dengan kisaran suhu udara antara 24.5 o C sampai 29.9 o C. Rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir mm/tahun (BPS Banten 2008).

30 Pengukuran Karakteristik Ukuran Tubuh Materi Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau rawa (swamp buffalo). Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 201 ekor, masing-masing 80 ekor dari Pandeglang dan 121 ekor dari Lebak. Jumlah sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sampel ternak kerbau menurut umur, jenis kelamin dan asal ternak Umur Jenis Kelamin Pandeglang Lebak Jumlah ---(tahun) (ekor) Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina >5 Jantan 3-3 Betina Jumlah Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkat ukur dan pita ukur dalam satuan centimeter (cm). Metode Data ukuran tubuh diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan. Penentuan lokasi dan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling. Pada penelitian ini lokasi yang dituju yaitu Provinsi Banten, dengan pertimbangan bahwa wilayah ini telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan ternak kerbau. Sedangkan pemilihan dua lokasi yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak juga dilakukan secara purpossive sampling yaitu tertuju pada lokasi dengan kepadatan ternak kerbau tinggi. Kerbau dikelompokkan dalam 5 kelompok umur dan jenis kelamin. Penentuan umur kerbau berdasarkan informasi dari peternak dan berdasarkan pergantian gigi seri dengan kriteria menurut Lestari (1986) yang disajikan pada Tabel 3.

31 Tabel 3. Kriteria penentuan umur kerbau berdasarkan pergantian gigi seri Gigi Seri Umur (tahun) Belum ada gigi tetap (I 0 ) 1 Sepasang gigi tetap (I 1 ) 2 Dua pasang gigi tetap (I 3 ) 3 Tiga pasang gigi tetap (I 4 ) 4 Empat pasang gigi tetap (I 5 ) >5 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik fenotipe yang ada hubunganya dengan sifat kuantitatif, diantaranya adalah tinggi pundak (TP), panjang badan (PB), lingkar dada (LD), dalam dada (DD) dan tinggi pinggul (TPg). Gambar 2 Skema pengukuran tubuh kerbau, 1) panjang badan, 2) tinggi pundak, 3) lingkar dada, 4) dalam dada, dan 5) tinggi pinggul. Adapun metode pengukuran kelima kriteria tersebut adalah: 1. Tinggi pundak (TP) diukur dari permukaan tanah sampai titik tertinggi pundak (scapula) dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm. 2. Panjang badan (PB) diukur dari sendi bahu (humerus) sampai tulang duduk (Tuber ischii) dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm. 3. Lingkar dada (LD) diukur melingkar rongga dada dibelakang sendi bahu (Os scapula) menggunakan pita ukur dalam satuan cm.

32 4. Dalam dada (DD) diukur dari titik tertinggi pundak dan tulang dada, diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. 5. Tinggi pinggul (TPg) diukur dari titik tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, diukur dengan menggunakan tongkat ukur, satuan dalam cm. Analisis Data Analisis terhadap data ukuran-ukuran tubuh kerbau dilakukan secara statistik deskriptif, meliputi nilai rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel & Torrie 1993): x s = n i= = 1 n i= 1 n x x i 2 i ; n i= 1 x n 1 ; 2 i n KK s = x SE = s n Keterangan : x = nilai rataan, x i = ukuran ke-i dari peubah X, n = jumlah contoh ternak kerbau yang diamati dalam populasi, KK = koefisien keragaman, SE = standar eror, dan s = simpangan baku. Perbandingan ukuran-ukuran tubuh antar dan dalam populasi kerbau dianalisis dengan menggunakan uji-t dengan formula sebagai berikut: t h = s x x ( x x ) 1 1 n n 2

33 keterangan : t h = nilai hasil uji-t, x 1 = nilai rataan sampel dari populasi pertama, x 2 = nilai rataan sampel dari populasi kedua, = simpangan baku gabungan, n 1 = jumlah sampel dari populasi pertama, dan n 2 = jumlah sampel dari populasi kedua. sx 1 x 2 Analisis uji-t ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak MINITAB 14. Identifikasi Polimorfisme Gen GH, GHRH dan Pit-1 Materi Sampel Ternak Kerbau Sampel ternak kerbau yang digunakan untuk analisis keragaman lokus GH/MspI, GHRH/HaeIII dan Pit-1/HinfI sebanyak 77 ekor yang terdiri dari 44 ekor dari Pandeglang dan 33 ekor dari Lebak. Pengambilan sampel dilakukan secara purpossive sampling yaitu tertuju pada lokasi dengan kepadatan ternak kerbau tinggi. Primer Primer adalah DNA utas tunggal dengan ukuran pendek, biasanya 18 sampai 25 pb (pasang basa), yang akan menempel pada DNA cetakan pada tempat yang spesifik. Pasangan primer digunakan untuk mengapit sekuen DNA target pada reaksi PCR. Informasi primer yang digunakan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Informasi sekuen primer yang digunakan dalam penelitian No Lokus Sekuen primer sumber 1 GH/MspI F : 5 -CCCACGGGCAAGAATGAGGC-3 R : 5 -TGAGGAACTGCAGGGGCCCA-3 Mitra et al. (1995) 2 GHRH/ HaeIII 3 Pit1/ HinfI F : 5 -GTAAGGATGCCAGCTCTGGGT-3 R : 5 -TGCCTGCTCATGATGTCCTGGA-3 F : 5 -AAACCATCATCTCCCTTCTTCTT-3 R : 5 -AATGTACAATGTGCCTTCTTCTG-3 Moody et al (1995) Wollard et al (1994)

34 Metode Beberapa tahapan yang dilakukan meliputi pengambilan sampel darah, isolasi DNA, amplifikasi gen dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), genotiping dengan teknik restriction fragment lenght polymorphisms (RFLP), dan visualisasi pita DNA. Tahap 1. Pengambilan Sampel Darah Darah diambil dari vena jugularis sekitar 2 ml dengan menggunakan tabung vacutainer berheparin. Sampel darah tersebut selanjutnya direndam dalam etanol 95% untuk menghindari kerusakan sel-sel darah. Tahap 2. Isolasi DNA Total DNA diisolasi menggunakan metode fenol kloroform (Sambrook et al.1989). Sampel darah total yang disimpan dalam etanol 95% disentrifugasi 3500 rpm selama 5 menit. Endapan sel-sel darah yang diperoleh dicuci dengan buffer TE sebanyak 2 kali. Sekitar 100 µl sel-sel darah yang telah bebas dari etanol disuspensikan dengan 1xSTE sampai volume mencapai 350 µl. Sel-sel darah kemudian dilisis dengan 20 µl proteinase K (10 mg/ml) dan 40 µl 10% SDS. Campuran ini dikocok pelan-pelan selama 2 jam pada suhu 55 o C. Pemurnian DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 1/10 volume 5 M NaCl, 1 x volume larutan fenol, dan 1 x volume kloroform iso amil alkohol (24:1), kemudian dikocok pelan-pelan pada suhu ruang selama 2 jam. Fase DNA dipisahkan dari fase fenol dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Molekul DNA diendapkan dengan menambahkan 1/10 x volume 5 M NaCl dan 2 x volume etanol absolut. Endapan DNA yang dihasilkan selanjutnya dicuci dengan etanol 70% kemudian diendapkan lagi dengan kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Sisa etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum. DNA selanjutnya dilarutkan dengan 80 µl 80% bufer TE. Tahap 3. Amplifikasi Gen dengan Teknik PCR Teknik PCR dilakukan untuk memperbanyak (amplifikasi) fragmen gen menjadi 2 n copy (n yaitu jumlah siklus PCR yang biasanya siklus). Dengan

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH, GHRH, DAN PIT-1 PADA KERBAU DI PROVINSI BANTEN

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH, GHRH, DAN PIT-1 PADA KERBAU DI PROVINSI BANTEN IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH, GHRH, DAN PIT-1 PADA KERBAU DI PROVINSI BANTEN (Identification of GH, GHRH, and Pit-1 Genes Polymorphism in Buffalo at Banten Province) ROHMAT D 1, C. SUMANTRI 1 dan A. FARAJALLAH

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang ± 927,17 km, batas-batas Kecamatan XIII Koto Kampar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... v vi viii ix x xiii

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Sapi Bali Sapi bali (Bos Sondaicus) adalah sapi asli Indonesia hasil domestikasi banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1 Kromosom Meiosis Dan Mitosis Biokimia Sifat Keturunan Apakah Gen Itu? Regulasi Gen Mutasi Gen, Alel, dan Lokus Pewarisan Sederhana atau Mendel Keterpautan (Linkage) Inaktivasi

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati sangat melimpah. Salah satu dari keanekaragaman hayati di Indonesia adalah kerbau. Terdapat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Nopember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetik Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak,

Lebih terperinci

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT QUANTITATIVE CHARACTERISTICS OF PASUNDAN CATTLE IN VILLAGE FARMING Dandy Dharma Nugraha*, Endang Yuni Setyowati**, Nono Suwarno** Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN (Body Measurement Characteristics of Swamp Buffalo in Lebak and Pandeglang Districts, Banten Province) SAROJI, R.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA TESIS POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA NI LUH MADE IKA YULITA SARI HADIPRATA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS POLIMORFISME

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA THE QUANTITATIVE OF LOCAL GOAT FEMALE AS A SOURCE OF BREED AT KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN

Lebih terperinci

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang

TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Penemuan-penemuan arkeologi di India menyatakan bahwa kerbau di domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang lalu. Hampir tidak ada bangsa kerbau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo berasal

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging,

berkualitas rendah, toleran terhadap parasit lokal dan menyatu dengan kehidupan sosial petani di pedesaan. Sumber tenaga kerja, daging, APLIKASI GEN HORMON PERTUMBUHAN (GH, GHRH) SEBAGAI MARKA DALAM SELEKSI PENINGKATAN BOBOT POTONG DAN KUALITAS DAGING PADA KERBAU (Penelitian lanjutan Tahun III) Tim Peneliti: Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia Utara

Lebih terperinci

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN 1 SEMINAR MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS ANDALAS Nama : Yul Afni No. BP : 07161055 Jurusan : Produksi Ternak UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Kecamatan. Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat (Lampiran 1).

III. MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Kecamatan. Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat (Lampiran 1). III. MATERI DAN METODE 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian telah dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013 di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang Sumatera Barat (Lampiran 1). 1.2. Materi Materi penelitian ini

Lebih terperinci

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO BAB 7 Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO Beberapa kajian dilaporkan bahwa genotip Msp1+/+danMsp1+/- dapat digunakan sebagai gen kandidat dalam seleksi ternak sapi untuk program

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

Relationship Between Body Weight and Body Size Some Quantitative Properties Goat Kacang in Bone regency Bolango.

Relationship Between Body Weight and Body Size Some Quantitative Properties Goat Kacang in Bone regency Bolango. Relationship Between Body Weight and Body Size Some Quantitative Properties Goat Kacang in Bone regency Bolango. Oleh *APRIYANTO BAKARI, ** NIBRAS K. LAYA, *** FAHRUL ILHAM * Mahasiswa Progra Studi Peternakan

Lebih terperinci

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak

Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Abstrak Karakteristik Morfologi Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat Akhmad Sukri 1, Herdiyana Fitriyani 1, Supardi 2 1 Jurusan Biologi, FPMIPA IKIP Mataram; Jl. Pemuda No 59 A Mataram

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 BMKG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I DESEMBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN II FEBRUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, dan Monsun; Analisis OLR; Analisis dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. mengevaluasi performa dan produktivitas ternak. Ukuran-ukuran tubuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. mengevaluasi performa dan produktivitas ternak. Ukuran-ukuran tubuh IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bobot Badan Bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh dapat menjadi acuan untuk mengevaluasi performa dan produktivitas ternak. Ukuran-ukuran tubuh mempunyai kegunaan untuk menaksir

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan yang digunakan adalah kuda yang sudah dewasa kelamin 15 Tempat dan Waktu Penelitian BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Karo pada bulan Juli 2016 Bahan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN III APRIL 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun; Analisis OLR; Analisis

Lebih terperinci

KERAGAMAN FENOTIPIK MORFOMETRIK TUBUH DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU RAWA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA

KERAGAMAN FENOTIPIK MORFOMETRIK TUBUH DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU RAWA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA KERAGAMAN FENOTIPIK MORFOMETRIK TUBUH DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU RAWA DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI RIZKI KAMPAS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Lokal Ayam lokal di Indonesia telah lama dikembangkan oleh masyarakat Indonesia dan biasanya sering disebut dengan ayam buras. Ayam buras di Indonesia memiliki perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: mengukur diameter lingkar dada domba

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: mengukur diameter lingkar dada domba 14 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian 3.1.1 Bahan Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Domba Lokal betina dewasa sebanyak 26 ekor dengan ketentuan domba

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

PERFORMA TURUNAN DOMBA EKOR GEMUK PALU PRASAPIH DALAM UPAYA KONSERVASI PLASMA NUTFAH SULAWESI TENGAH. Yohan Rusiyantono, Awaludin dan Rusdin ABSTRAK

PERFORMA TURUNAN DOMBA EKOR GEMUK PALU PRASAPIH DALAM UPAYA KONSERVASI PLASMA NUTFAH SULAWESI TENGAH. Yohan Rusiyantono, Awaludin dan Rusdin ABSTRAK PERFORMA TURUNAN DOMBA EKOR GEMUK PALU PRASAPIH DALAM UPAYA KONSERVASI PLASMA NUTFAH SULAWESI TENGAH Yohan Rusiyantono, Awaludin dan Rusdin Program Studi Peterenakan Fakultas Peternakan Dan Perikanan Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Kumulatif Salako Pada Domba Lokal Betina Dewasa Di Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta

Evaluasi Indeks Kumulatif Salako Pada Domba Lokal Betina Dewasa Di Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta Evaluasi Indeks Kumulatif Salako Pada Domba Lokal Betina Dewasa Di Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta Evaluation Of Salako Cumulative Index On Local Ewes In Neglasari Darangdan District

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Tinjauan Umum Kerbau Kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3 5 m

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba lokal dapat didefinisikan sebagai domba hasil perkawinan murni atau silangan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan diketahui sangat produktif

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III NOVEMBER 2017 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, Monsun, Analisis OLR Analisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang strategis, mengingat dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa, sektor peternakan berperan penting melalui penyediaan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN No. 10/02/91 Th. VI, 6 Februari 2012 INDEKS TENDENSI KONSUMEN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi terkini yang dihasilkan Badan Pusat Statistik melalui

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Sapi Pasundan Sapi Pasundan sebagai sapi lokal Jawa Barat sering disebut sebagai sapi kacang. Istilah sapi kacang merupakan predikat atas karakter kuantitatif yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc. APLIKASI INDEKS MORFOLOGI DALAM PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN TIPE PADA DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS SKRIPSI HAFIZ PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir

Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir Standar Nasional Indonesia Bibit sapi potong Bagian 6: Pesisir ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

Lebih terperinci

Bibit kerbau Bagian 3 : Sumbawa

Bibit kerbau Bagian 3 : Sumbawa Standar Nasional Indonesia Bibit kerbau Bagian 3 : Sumbawa ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO BAB 6 Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO Dalam usaha pertenakan, sifat pertumbuhan selalu menjadi perhatian utama dalam pemuliaan sebagai penentu nilai ekonomi. Dengan perkembangan biologi

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017 109 DINAMIKA POPULASI TERNAK KERBAU DI LEMBAH NAPU POSO BERDASARKAN PENAMPILAN REPRODUKSI, OUTPUT DANNATURAL INCREASE Marsudi 1), Sulmiyati 1), Taufik Dunialam Khaliq 1), Deka Uli Fahrodi 1), Nur Saidah

Lebih terperinci