KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI"

Transkripsi

1 KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 ABSTRAK CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI. Kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L.). Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan PURWIYATNO HARIYADI. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terutama yang berdaging umbi warna oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi dan memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, adanya ikatan rangkap pada struktur kimia beta karoten menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara (O 2 ), cahaya, metal, peroksida, dan panas selama proses produksi maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi menjadi hilang percuma selama itu. Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa ubi jalar berdaging umbi warna oranye dan kuning. Penelitian dilakukan untuk mengendalikan stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar hingga diperoleh retensi beta karoten tertinggi. Nilai korelasi tertinggi antara pengukuran warna menggunakan kromameter dalam sistem tristimulus Hunter dengan pengukuran kadar beta karoten tepung ubi jalar menggunakan HPLC dicapai pada nilai C dan b, masingmasing sebesar 0,86 dan 0,85. Selain itu, dengan adanya faktor-faktor perusak struktur trans beta karoten berupa oksigen dan panas maka telah ditetapkan titiktitik kendali selama proses produksi tepung ubi jalar yaitu pada tahap blanching, pengeringan dan penepungan. Tepung ubi jalar yang dihasilkan memiliki kadar trans beta karoten pada kisaran 103,94-207,39 μg/g. Faktor yang paling berpengaruh terhadap stabilitas beta karoten selama penyimpanan adalah adanya oksigen pada headspace kemasan. Oleh karena itu, tepung ubi jalar kaya beta karoten perlu pengemasan vakum untuk mempertahankan kadar beta karotennya. Penurunan kadar trans beta karoten pada tepung ubi jalar oranye yang dikemas secara non vakum dan tidak tembus cahaya memiliki energi aktivasi yang tergolong rendah yaitu sebesar 5,4 x 10 3 kal/mol. Hal-hal yang berkaitan dengan kelayakan teknis produksi tepung ubi jalar kaya beta karoten adalah lamanya bahan kontak dengan oksigen dan panas, serta ukuran partikel tepung pada tahap penepungan. Aspek teknis lain adalah pada nilai sudut curah, densitas kamba dan densitas padat tepung perlakuan masing-masing sebesar 32,53, 0,6 g/ml dan 0,73 g/ml, sementara pada tepung komersial sebesar 37,68, 0,56 g/ml dan 0,76 g/ml, masing-masing nilai pada kedua tepung tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain, artinya karakter fisik tepung komersial dapat dicapai oleh karakter fisik tepung perlakuan

3 KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

4 Judul Tesis Nama NRP : Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) : Christina Mumpuni Erawati : F Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS Ketua Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc. Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal lulus :

5 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Juni 2006 Christina Mumpuni Erawati

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 26 Desember 1975 dari ayah Sukarjono (alm) dan ibu Ennatha Surtinah. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun Sejak tahun 2000 hingga 2001 bekerja di PT Riau Sakti United Plantation Industry pada Quality Assurance Department yang kemudian ditempatkan di Production Planning and Inventory Control (PPIC Department) untuk divisi Nanas Kaleng. Pada tahun 2001 hingga 2004 bekerja di PT Freyabadi Indotama pada Manufacturing Department untuk Production Planning and Inventory Control coklat olahan, yang bertanggungjawab membuat dan mengkoordinasikan rencana produksi dan rencana pengiriman. Pada awal tahun 2004 mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja paruh waktu di PT Mbrio Biotekindo sejak tahun 2004.

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala berkat dan anugerahnya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret 2005 hingga Maret 2006 ini berjudul Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS sebagai dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dorongan semangat kepada penulis. Serta kepada Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan komitmen, bimbingan dan semangat selama penelitian hingga penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan pula kepada Ir Budianto Wijaya, MAppSc. sebagai penguji luar komisi atas kesediaan, bimbingan dan wacananya untuk penulisan tesis ini, panitia Bogasari Nugraha 2004 yang telah memberikan bantuan dana penelitian ini, Central International Potato, Muara Bogor dan Dr. Jusuf di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang atas penyediaan bahan baku penelitian ini. Kepada teman-teman Ilmu Pangan 2002, 2003, 2004 dan 2005, pihakpihak di Laboratorium Seafast, ITP, Pasca panen, dan PT Mbrio Biotekindo yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu (mohon dimaafkan) serta mbak Mar dan Pak Ade, terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian. Akhirnya, terima kasih kepada keluarga, suami tercinta C. Perwira Jati Wicaksana, SE atas segala doa dan kesabarannya mendukung dan membantu penulis hingga dapat menyelesaikan studi ini. Kepada ayahanda (alm) dan ibunda atas segala doa dan dukungannya. Juga kepada papah (alm), mamah mertua, kakak-kakak dan adik-adik semua atas segala doa dan dorongannya, penulis ucapkan terima kasih. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2006 Christina Mumpuni Erawati

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.. vii DAFTAR GAMBAR.. viii DAFTAR LAMPIRAN.. ix PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian. 2 Kerangka Pemikiran. 3 Hipotesa 4 Manfaat Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 5 Ubi jalar 5 Tepung ubi jalar 9 Karotenoid dan Beta Karoten 11 Stabilitas Beta Karoten. 15 Hubungan Absorbansi Warna dengan Konsentrasi Pigmen. 19 METODOLOGI PENELITIAN 21 Tempat dan Waktu Penelitian 21 Bahan dan Alat 21 Metode Penelitian 21 Prosedur Analisis 25 HASIL DAN PEMBAHASAN 30 Karakterisasi Bahan Penelitian Pendahuluan. 30 Pemilihan pelarut untuk ekstraksi karotenoid ubijalar 30 Pemilihan fase gerak untuk analisis HPLC 35 Penelitian Inti 38 Analisa Efek O 2, Cahaya dan Panas Selama Proses Produksi Penetapan Alat Ukur in line Produksi 46 Perlakuan-perlakuan untuk pengendalian stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar. 48 Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Perbandingan fisik tepung perlakuan dan komersial

9 SIMPULAN.. 57 DAFTAR PUSTAKA.. 59 LAMPIRAN. 65

10 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Produksi dan distribusi panen ubi jalar per tahun. 5 Tabel 2. Komponen nutrisi utama ubi jalar Tabel 3. Polaritas relatif berbagai pelarut (Adnan 1997)...32 Tabel 4. Hasil perhitungan luas permukaan tepung dan beta karoten...34 Tabel 5. Tabel kendali proses.. 41 Tabel 6. Hasil perhitungan kadar beta karoten pada tahap blanching Tabel 7. Data pengukuran warna dari 2 alat pengering yang berbeda 43 Tabel 8. Hasil pengamatan warna menggunakan kromameter selama proses produksi tepung ubi jalar oranye tanpa perlakuan perendaman bahan pelindung Tabel 9. Kadar beta karoten dan pengukuran warna tepung perlakuan 47 Tabel 10. Perkiraan % degradasi beta karoten selama produksi Tabel 11. Perkiraan % degradasi beta karoten selama produksi Tabel 12. Kadar beta karoten selama penyimpanan Tabel 13. % penurunan kadar trans beta karoten selama penyimpanan Tabel 14. Hasil pengukuran sifat fisik tepung ubi jalar 53

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar.. 7 Gambar 2. Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol Gambar 3. Struktur beta karoten diantara jenis karotenoid lainnya 14 Gambar 4. Spektrum absorbsi 3 macam stereoisomer beta karoten.. 17 Gambar 5. Perubahan struktur trans menjadi cis beta karoten 18 Gambar 6. Proses produksi tepung ubijalar 23 Gambar 7. Tahap-tahap penelitian 24 Gambar 8. Uji sensitivitas 3 kombinasi fase gerak 38 Gambar 9. Kerusakan trans beta karoten 40 Gambar 10. Plot ln k vs 1/T selama penyimpanan tepung ubijalar 53

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Gambar pengamatan tepung berdasarkan warna dan teksturnya Lampiran 2. Rumus perhitungan beta karoten standar 66 Lampiran 3. Rumus perhitungan beta karoten sampel. 67 Lampiran 4. Data pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi. 68 Lampiran 5. Perhitungan ANOVA dengan SAS Lampiran 6. Analisis statistik korelasi antara 2 peubah Lampiran 7. Gambar pengamatan dengan mikroskop polarisasi 72 Lampiran 8. Penentuan nilai energi aktivasi 73 Lampiran 9. Perhitungan luas muka partikel tepung ubi jalar varietas sewu Lampiran 10. Contoh hasil kromatogram HPLC 75 Lampiran 11. Karakteristik pengeringan irisan ubi jalar menggunakan oven suhu 50 0 C. 76

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terutama yang berdaging umbi warna oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau provitamin A dalam ubi jalar diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada masa-masa berikutnya. Namun demikian, potensi ini akan menyusut selama pengolahan ubi jalar menjadi tepung karena sifat beta karoten yang sensitif terutama terhadap oksigen dan cahaya. Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia beta karoten, menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara (O 2 ), cahaya, metal, peroksida, dan panas selama proses produksi maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi menjadi hilang percuma selama itu. Penelitian yang dilakukan Dignos pada tahun 1992 terhadap ubijalar varietas VSP 1 menjelaskan bahwa ubi jalar yang dipanggang dalam oven mengalami penurunan kadar beta karoten sebesar 20 %, dan karena penjemuran sebesar 40 %, Yusianti (1999) menyebutkan bahwa aplikasi tepung ubi jalar untuk roti yang dipanggang dalam oven pada suhu diatas F (±149 0 C) selama 15 menit menyebabkan penurunan beta karoten sebesar %.

14 Oleh karena itu, dua pemikiran mendasar yang menjadi pertimbangan adalah apakah kandungan beta karoten ini perlu diekstraksi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi tepung atau apakah ada rekayasa proses pengolahan tepung ubi jalar yang dapat meminimalkan kerusakan beta karoten, sehingga produk jadinya memiliki daya guna yang tinggi (terutama dalam pemenuhan vitamin A di masyarakat). Proses ekstraksi beta karoten dari ubi jalar yang pernah dilakukan adalah supercritical CO 2 dengan hasil sebesar 98% beta karoten (Spanos et al. 1993). Meskipun demikian, secara komersial tidak banyak pihak yang berminat pada proses ini. Ubi jalar secara alami mengandung beta karoten bentuk trans dominan (Bauernfeind 1981; Gross 1991), isomerisasi cis-trans yang terjadi pada suhu tinggi akan menyebabkan perubahan posisi dari bentuk trans ke bentuk cis. Sedangkan beta karoten bentuk cis biasanya memiliki aktivitas vitamin A yang lebih rendah daripada bentuk trans (IVACG 1999). Penelitian ini berupaya untuk mempelajari dan mengendalikan stabilitas beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi jalar sehingga dapat diperoleh tepung ubi jalar yang kaya beta karoten dan pada tahap selanjutnya dapat diperoleh rekomendasi untuk perbaikan produksi tepung ubi jalar kaya beta karoten. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menghasilkan tepung ubi jalar kaya beta karoten dengan menguraikan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar, salah satunya dengan mempelajari isomerisasi struktur beta karoten yang terjadi, sehingga diperoleh titik-titik kontrol proses. 2. Menguji pengendalian stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar terhadap penyimpanan produk selama penyimpanan 3 bulan. 3. Menguji kelayakan teknis produksi tepung ubi jalar kaya beta karoten

15 Kerangka Pemikiran Beberapa sifat beta karoten, salah satu komponen unggulan ubi jalar, telah diketahui melalui beberapa penelitian. Namun demikian, telaah stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar belum banyak dilakukan. Hal ini penting dilakukan karena akan menjadi dasar pertimbangan pengembangan pengolahan selanjutnya, sehingga beta karoten akan mampu berdaya guna pada tahap pengembangan maupun aplikasinya. Adanya panas, oksigen dan cahaya selama proses produksi ubi jalar menjadi tepung belum mampu dihilangkan sepenuhnya sehingga terjadi proses isomerisasi atau rusaknya struktur beta karoten yang menyebabkan sebagian nutrisi yang berupa provitamin A (beta karoten) mengalami penurunan aktivitas. Isomerisasi struktur beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi jalar diharapkan mampu dikontrol secara in line pada proses pengolahan tepung ubi jalar berdasarkan telaah berbagai metode konversi warna dan absorbansi. Pengendalian secara in line disini dapat diartikan sebagai pengendalian yang dilakukan secara cepat, mengikuti alir produk secara industrial, mudah dan memiliki ketelitian pengukuran cukup akurat. Metode ini menjadi pilihan jika dibandingkan dengan analisa konvensional yang memerlukan analisa laboratorium yang sulit, lama dan mahal. Dengan demikian, beberapa titik kontrol selama proses pengolahan tepung ubijalar yang memiliki potensi dapat mempengaruhi stabilitas beta karoten dapat dikendalikan. Melalui rekayasa proses akan diperhitungkan kondisi fisik bahan selama pengeringan maupun upaya-upaya perlindungan struktur beta karoten dengan penyalutan beberapa bahan, yaitu natrium bisulfit, asam askorbat dan dekstrin-gum. Selain itu, uji kelayakan proses secara teknis dilakukan berdasarkan beberapa karakter fisik tepung ubijalar kaya beta karoten, seperti misalnya kadar air, densitas kamba, ukuran partikel maupun sudut curahnya. Hal ini terkait erat dengan kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi maupun proses aplikasi dari aspek fisik bahan tepung ubi jalar ini.

16 Hipotesa Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini menekankan pada perbaikan proses produksi, berupa tahap perendaman dengan salah satu bahan pelindung/antioksidan sebelum tahap pengeringan, akan mampu meminimalkan penurunan kadar beta karoten tepung ubi jalar secara signifikan dari kadar awal bahan bakunya. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan beta karoten sehingga mampu menjadi pertimbangan awal pada pengolahan tepung ubi jalar secara industri maupun industri rumah tangga dalam rangka pengembangan komoditas lokal.

17 TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubikayu (Suismono 1995). Tabel 1 memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan dan penurunan produksi setiap tahunnya akibat kenaikan maupun penurunan luas panen. Namun demikian hasil per hektar lahan tanam menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (periode ), artinya terjadi optimalisasi lahan yang mampu meningkatkan hasil per hektar luas tanam. Tabel 1. Produksi dan distribusi panen ubi jalar per tahun Periode tahun Produksi (ton) Luas panen (ha) Hasil/Ha (ku) , Sumber : Badan Pusat Statistik Peningkatan hasil ini mendorong pemanfaatan komoditi ubi jalar menjadi bahan baku berbagai produk pangan. Berbagai produk ubi jalar yang dapat dikembangkan antara lain adalah produk-produk hasil pengembangan ubi jalar segar (seperti ubi yang dipanggang dalam oven), produk ubi jalar siap santap, produk ubi jalar siap masak, dan produk ubi jalar setengah jadi untuk bahan baku makanan (Juanda & Cahyono 2000). Sebelum ubi jalar diolah menjadi beberapa produk turunannya tersebut perlu diketahui terlebih dahulu sifat-sifat morfologi, histologi maupun kandungan nutrisinya (Suismono 1995). Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk, warna kulit, dan warna daging bermacam-macam, tergantung varietasnya. Daging umbi tanaman ubi jalar ada yang berwarna putih, kuning, jingga dan ungu muda. Bentuk umbi tanaman ubi jalar ada yang bulat, oval, dan bulat panjang. Selanjutnya jika bentuk umbi diketahui maka lama pengupasan dan perancangan

18 alat pencucian dapat diperkirakan (Suismono 1995). Kulit umbi ada yang berwarna putih, kuning, ungu, jingga dan merah (Juanda & Cahyono 2000). Untuk kulit yang warnanya putih sampai kuning dapat diolah langsung sebab tanpa pengupasan tidak mempengaruhi produk, tetapi kulit umbi yang warnanya merah harus dilakukan pengupasan (Suismono 1995). Struktur kulit umbi tanaman ubi jalar juga bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah antara bergetah sedikit sampai bergetah banyak (Juanda & Cahyono 2000). Kulit ubi jalar dapat dibagi menjadi 4 bagian pokok yaitu kulit ari, lapisan getah, lapisan gabus, dan daging umbi (Gambar 1). Enzim polifenol oksidase, yang menyebabkan terjadinya pencoklatan atau browning bila ada luka pada umbi, terletak dalam phellogen (cork cambium), phelloderm dan getah ubi jalar. A B (Bauwkamp 1985) (reproduksi dari dokumentasi Hartana 1994) Keterangan gambar : ep = epidermis (kulit ari) co = cortex (lapisan kulit getah) lac = lacuna ca = cambium (lapisan gabus/kambium) par = parenkim en = endodermis xy, ph = xylem, phloem Gambar 1. Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar Sedangkan daging umbi terdiri dari parenchyme dan serat (Suismono 1995). Dengan mengetahui susunan kulit dan daging umbi akan dapat diketahui teknik pengupasan yang benar agar tidak terjadi pencoklatan (browning) dan berpengaruh pada rendemen tepung (Suismono 1995). Dari komposisi gizinya, ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang cukup tinggi (Juanda & Cahyono 2000). Ubi jalar

19 mengandung karbohidrat sebesar 27,9 gram dan menghasilkan kalori sekitar 123 kalori tiap 100 gram bahan (lihat Tabel 2). Vitamin yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A, vitamin C, vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), sedangkan mineral yang terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca), dan natrium (Na). Kandungan gizi lain yang terdapat dalam ubi jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori dan abu (Juanda & Cahyono 2000). Namun demikian, nilai gizi ubi jalar secara kualitatif maupun kuantitatif dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam (Suismono 1995). Produksi vitamin yang tinggi pada ubi jalar belum banyak dikembangkan. Tabel 2 menunjukkan bahwa ubi jalar memiliki potensi vitamin A cukup tinggi (ubi jalar merah memiliki kadar vitamin A 7700 SI, setara dengan 2312 RE, dan ubi jalar kuning memiliki kadar vitamin A 900 SI setara dengan 270 RE, sedangkan Angka Kecukupan Gizi pria dewasa sebesar 700 RE/hari, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI). Namun demikian, ubi jalar memiliki kadar protein rendah yaitu sekitar 1,8 gram sehingga perlu penambahan sumber protein nabati lain dalam pembuatan produk makanan dari bahan ubi jalar. Tabel 2. Komponen utama ubi jalar No Unsur gizi Kadar /100 g bahan Ubi putih Ubi merah Ubi kuning 1 Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Natrium (mg) Kalium (mg) Niasin (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian daging (%) Sumber : Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981

20 Selain kandungan gizi yang cukup lengkap, ubi jalar juga mengandung zat antigizi yaitu antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa. Antitripsin dan antikimotripsin mampu menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin dan kimotripsin (Djuanda 2003). Namun kerja zat antigizi ini tidak akan aktif setelah bahan menjadi matang akibat pengolahan/pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga mengandung senyawa-senyawa seperti ipomaemarone, furanoterpen, koumarin, dan polifenol yang menyebabkan rasa pahit. Senyawa-senyawa tersebut terbentuk dalam jaringan karena adanya luka serangan hama (Juanda & Cahyono 2000). Tepung Ubi jalar Salah satu pemanfaatan ubi jalar sebagai komoditas pangan adalah dalam bentuk tepung. Ubi jalar diubah menjadi tepung atau pati, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri alkohol, sirup, maltosa, glukosa, fruktosa, bahan perekat, biskuit, dan industri lainnya (Kadarisman 1985). Teknik pembuatan tepung ubi jalar merupakan salah satu jenis pengolahan yang penting, hal ini disebabkan tepung ubi jalar dapat disimpan lebih lama dan lebih luas penggunaannya dalam pembuatan berbagai jenis makanan (Santosa dkk. 1994). Tepung ubi jalar merupakan bentuk produk olahan setengah jadi dari umbi ubi jalar. Pembuatan tepung ubi jalar di tingkat petani dapat dilakukan dengan membuat chip ubi jalar kering. Pengertian chip kering dan tepung ubi jalar adalah produk ubi jalar yang berbentuk irisan umbi yang dikeringkan lalu ditepungkan. Secara umum, tahap pembuatan tepung ubi jalar adalah tahap pencucian, pengupasan, perlakuan blanching, pengirisan, perendaman, pengeringan dan penepungan (Suismono 1995). Perlakuan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah pengepresan untuk mengurangi kadar air sehingga dapat mempercepat pengeringan. Pencucian bertujuan untuk membersihkan umbi dari kotoran dan tanah. Proses ini disertai proses sortir terhadap hama ubi jalar yang biasanya ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil pada umbi maupun luka memar atau kepoyohan.

21 Pengupasan dilakukan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang benarbenar bagus, karena sebenarnya tanpa pengupasan pun masih dapat diterima oleh panelis pada uji organoleptik baik warna maupun aromanya. Namun demikian, kadar mikroba, kapang/khamir lebih banyak ditemukan pada produk yang tidak dikupas daripada yang dikupas (Suismono 1995). Jika dilakukan pengupasan akan terlihat jelas adanya penyimpangan mutu (biasanya berupa lubang atau warna daging yang berbeda) sehingga dapat diupayakan untuk di-trimming ataupun dibuang. Perlakuan blanching ( C) adalah pemanasan cepat untuk menginaktivasi enzim dan menstabilkan bahan pangan melawan perusakan selama penyimpanan jangka panjang. Blanching dapat dilakukan dalam air, uap, atau menggunakan energi mikrowave (Kidmose 2002). Pengirisan adalah proses pengecilan ukuran yang bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan mempermudah proses pengepresan serta penepungan. Pengirisan dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan alat seperti slicer, pencacah sawut dan lain-lain. Tahap berikutnya adalah persiapan pengeringan. Ada beberapa metode pengolahan ubi jalar yang melakukan tahap perendaman pada larutan sulfit sebelum pengeringan. Senyawa sulfit yang biasa digunakan adalah SO 2, SO 2-3, HSO - 3, atau S 2 O 2-5. Reaksi bisulfit dengan kelompok karbonil dari gula pereduksi serta komponen lain yang berperan dalam pencoklatan berlangsung secara dapat balik (reversible). Dengan demikian proses pencoklatan dapat dihambat. Tetapi hasil reaksi ini juga diduga mampu menghilangkan kromofor karbonil dalam struktur melanoidin sehingga menyebabkan efek bleaching pada pigmen. Proses pengikatan bisulfit dengan kelompok hidroksil juga dapat berlangsung secara tidak dapat balik (irreversible) membentuk sulfonat. Selain itu penggunaan sulfit atau metabisulfit dengan disemprot atau direndam memberi kontrol efektif terhadap enzim pencoklatan dalam hal ini enzim yang mengkatalis proses oksidasi senyawa fenolik (misal enzim fenolase atau polifenol oksidase) (Lindsay 1996). Tahap produksi berikutnya adalah pengeringan. Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan basah. Pengeringan adalah

22 operasi rumit yang melibatkan perpindahan massa dan panas sehingga menyebabkan perubahan mutu produk (Devahastin 2000). Dibandingkan pengering alami (dengan sinar matahari), pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan, misalnya bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, cepat prosesnya serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan, karena dapat dikontrol kondisi lingkungannya. Tepung ubi jalar merupakan hasil penepungan chip atau irisan ubi jalar kering. Penepungan yang dilakukan harus memperhatikan jenis dan teknologi mesin penepung berdasarkan tingkat kehalusan dan kapasitas produksi (Suismono 1995). Standar mutu tepung ubi jalar belum ada. Namun bila ditinjau dari komponen mutu tepung umbi-umbian seperti pada tepung ubi kayu (SII tepung kasava N ) meliputi : keadaan (bau, rasa, warna), benda asing, derajat putih, pati, cemaran logam (Pb, Cu, Zn, Hg dan As) serta cemaran mikroba (E.coli dan kapang), maka komponen mutu tepung di atas secara garis besar terdiri dari sifat fisik, kimia, dan mikrobiologis (Suismono 1995). Sementara kluster ubi jalar di Bogor Barat memiliki spesifikasi produk yaitu kadar air maksimal 6% dan total mikroba sebanyak 10 3 koloni/ml (Syah 2005). Karotenoid dan Beta Karoten Ubi jalar terutama yang berdaging umbi warna merah hingga kuning diketahui mengandung banyak karotenoid terutama beta karoten (Bauernfeind & Klaul 1981; Gross 1991). Purcell (1962) melakukan analisis karotenoid secara detail pada ubi jalar kuning jenis Goldrush dan ada 7 pigmen yang teridentifikasi yaitu phytoene (2,6%), phytofluene (0,8%), β-karoten (89,9%), ζ-karoten (1,2%), β-karoten 5,8-epoksi (2,5%), γ-karoten (0,7%) dan hidroksi ζ- karoten (0,5%). Pada tahun 1970, Sweeney dan Marsh menyatakan bahwa fraksi karoten dalam ubi jalar adalah campuran all trans β-karoten (96,7%), neo-β-karoten B (0,1%), dan neo β-karoten U (3,2%). Woolfe (1992) menyebutkan bahwa lebih dari 89% total karoten pada ubi jalar oranye adalah beta karoten. Disebutkannya pula bahwa

23 ubi jalar memiliki dasar genetis yang sangat luas dengan variabilitas yang luar biasa sehingga belum ada bukti atau cara yang akurat untuk menunjukkan varietas ubi jalar mana yang kaya beta karoten. Karrer dan Jucker (1950) dalam Muchtadi (1992) mendefinisikan karotenoid atas persetujuan Unit Internationale de Chimie, sebagai suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonjugasi. Menurut Association of Vitamin Chemistry, London dalam Method of Vitamin Assay, secara umum karotenoid mempunyai sifat fisik dan kimia sebagai berikut : Larut dalam lemak Larut dalam kloroform, pewarna, karbon disulfida, petroleum eter Sukar larut dalam alkohol Sensitif terhadap oksidasi Auto oksidasi Stabil terhadap panas di dalam udara bebas oksigen kecuali untuk beberapa perubahan stereo isometrik Punya spektrum serapan yang spesifik Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu : 1. Karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C 40 H 56, yaitu alfa, beta dan gamma karoten serta likopen 2. Xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil. Contoh : kriptoxantin dan lutein 3. Ester xantofil yaitu ester asam lemak. Contoh : Zeaxantin

24 4. Asam karotenoid, yaitu derivat karoten yang mengandung gugus karboksil Sedangkan Bielsen (1994) hanya menggolongkan pigmen karotenoid ini menjadi 2 kelompok besar saja yaitu hydrocarbon carotenes dan oxygenated xanthophylls. Dari suatu survey dasar diketahui bahwa vitamin A hanya ditemukan di makanan hewani berupa daging, hati, hingga telur. Vitamin A tidak ditemukan di makanan nabati, namun demikian tumbuhan mampu membentuk atau mensintesa senyawa karotenoid, yang merupakan prekursor vitamin A. Prekursor vitamin A ini merupakan pigmen warna kuning hingga merah yang dapat ditemukan pada daun atau buah dan sayuran. Karotenoid tersebut biasanya berupa beta karoten, alpha karoten, cryptoxanthin, lutein, zeaxanthin, dan likopen. Diantara jenis karotenoid yang ada, beta karoten memiliki aktivitas vitamin A (retinol) yang lebih besar ( Low et al. 1997). Hal ini akan tampak lebih jelas pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa beta karoten mampu membentuk 2 retinol di dalam mukosa usus, sedangkan jenis karotenoid yang lain (Gambar 3) hanya mampu membentuk paling tidak 1 retinol atau tidak sama sekali. Gambar 2. Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol (Hassan 1987, Muchtadi 1992)

25 Gambar 3. Struktur beta karoten diantara jenis karotenoid lain (Gross 1991)

26 Karakterisasi beta karoten menurut Bauernfeind & Klaul (1981) terutama adalah sifatnya yang tidak larut dalam air, ethanol, methanol namun larut dalam minyak sayur dan memiliki titik leleh dalam kisaran o C. Stabilitas Beta Karoten Beta karoten sebagaimana karotenoid lain di alam, sebagian besar berupa hidrokarbon yang larut dalam air dan lemak, serta berikatan dengan senyawa yang strukturnya menyerupai lemak. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul beta karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul beta karoten) menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Walfford (1980) oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid dikemukakan oleh Worker (1957) dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan karena pemanasan pada suhu 60 0 C, sedangkan Mc Weeny (1968) berpendapat bahwa reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan. Marty dan Berset (1990) melakukan penelitian dengan beta karoten all trans sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu C (pada kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini, namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati, lemak, air dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan kerusakan molekul beta karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar lagi. Perubahan struktur beta karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur, tergantung pada kondisi proses reaksinya.

27 Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi : 1. Kerusakan pada suhu tinggi Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi yaitu melalui degradasi thermal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna. Hal ini terjadi dalam kondisi oksidatif. 2. Oksidasi Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu oksidasi enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis oleh enzim lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini berupa hidroksi beta karoten, semi karoten, beta karotenon, aldehid, dan hidroksi beta neokaroten yang menyebabkan penyimpangan citarasa. 3. Isomerisasi Bentuk all trans memberikan warna kuat. Makin banyak ikatan cis, warna makin terang. Rantai poliene pada karoten bertanggung jawab akan ketidakstabilan karoten seperti kepekaannya terhadap oksidasi oleh oksigen dan peroksida, penambahan elektrofil (H + dan asam Lewis), isomerisasi E/Z oleh panas, cahaya dan bahan kimia (Britton, Jensen, & Pfander 1995) Khusus pada kerusakan beta karoten selama pengolahan dapat dinyatakan, salah satunya dengan persentase aktivitas provitamin A. Senyawa beta karoten dalam bentuk isomer trans mempunyai aktivitas provitamin A sebesar 100 persen. Kehilangan aktivitas provitamin A dapat terjadi selama sterilisasi anaerob dan bervariasi dari 5 sampai 50 persen tergantung pada suhu, waktu dan bentuk karotenoid (Andarwulan & Kuswara 1987). Karakteristik lain dari karotenoid adalah fenomena cis-trans. Secara teoritik, masing masing ikatan rangkap dalam beta karoten dapat membentuk 2 macam konfigurasi. Kurva absorpsi spektra dari karotenoid yang mengalami isomerisasi dari bentuk trans ke cis, menggambarkan puncak trans isomer pada

28 Gambar 4. Spektrum absorbsi 3 macam stereoisomer beta karoten, trans beta karoten T, neo beta karoten U, neo beta karoten B. (Bauernfeind & Klaul 1981) posisi terendah dibandingkan neo beta karoten B atau 13 mono cis beta karoten (pemasakan 400 menit) dan neo beta karoten U atau 9 mono cis beta karoten, kemudian dikenai cahaya yang makin besar panjang gelombangnya, menunjukkan perubahannya ke posisi puncak teratas (Gambar 4). Sementara itu, perubahan struktur kimia beta karoten dari bentuk trans ke bentuk cis dapat dilihat pada Gambar 5. Perubahan ini menyebabkan penurunan aktivitas vitamin A dari 100% ke 30% saja (Andarwulan & Koeswara 1990). Lebih lanjut, pemanfaatan antioksidan pangan akan mampu meningkatkan stabilitas beta karoten maupun karotenoid pada umumnya (Bauernfeind & Klaul 1981). Karotenoid yang digunakan sebagai bahan pewarna makanan biasanya distabilkan dengan tokoferol dan asam askorbat. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa antioksidan yang ditambahkan pada minyak mineral

29 Gambar 5. Perubahan struktur trans ke cis beta karoten (Mac Dougall 2002) menunjukkan penurunan kadar beta karoten sebesar 20% dengan waktu terlama yaitu dengan antioksidan turunan phenylenediamine dan diphenylamine. Secara umum, Bauernfeind & Klaul (1981) mencatat bahwa stabilitas karotenoid dapat ditingkatkan dengan antioksidan pada formulasi yang cocok dan melibatkan asam askorbat dan ester asam bebasnya, tokoferol, lecithin, butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT). Selain itu, menurut Chang dan Zhao (1995) penambahan pati jagung dan sulfit mampu memperlambat penurunan maupun rusaknya alpha, beta karoten dan total karoten pada wortel kering selama penyimpanan. Hingga penyimpanan bulan ke- 12 kadar beta karoten pada wortel kering yang dikenai perlakuan 2,5% pati jagung adalah sebesar 66% lebih baik dibanding kontrol sebesar 30,8%. Hubungan Absorbansi Warna dengan Konsentrasi Pigmen Beta karoten merupakan komponen penting dalam bahan pangan sebagai sumber vitamin A dan memberi warna kuning hingga oranye (Bauernfeind &

30 Klaul 1981). Intensitas warna beta karoten pada ubi jalar telah diperkirakan sebagai indikator nilai provitamin A bahan pangan tersebut (Takahata et al. 1993). Semakin rendah kadar beta karoten akan menurunkan warna dominan merah. Mac Dougall (2002) menyebutkan bahwa warna kuning, oranye, merah karotenoid adalah terkait dengan sistem konjugasi ikatan rangkap karbon-karbon. Semua struktur trans dapat diubah menjadi isomer cis. Isomerisasi cis-trans menghasilkan perubahan warna produk yang ditunjukkan oleh sifat spektral karotenoid cis yang berbeda dengan karotenoid trans. Hubungan antara absorbansi warna dengan konsentrasi dari pigmen warna yang diserap tersebut dinyatakan dalam hukum Beer (Nielsen 1998) yaitu : A = absorbansi a = absortivitas bahan A = abc b = tebal kuvet c = konsentrasi pigmen Makna yang dapat diambil dari hukum diatas adalah absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi pigmen. Penelitian akhir-akhir ini telah banyak menelaah berbagai pengukuran konsentrasi pigmen secara cepat dengan mengkonversikan pengukuran warna dengan konsentrasi pigmen karena selain cepat, metode tersebut juga dapat dilakukan tanpa merusak bahan uji, seperti wortel, tomat, cabai, jeruk, ubi jalar dan bahan berwarna lainnya (Schoels 2002). Fratianni, et al (2005) mendapatkan konfirmasi komponen utama pembentuk warna pada tepung durum yaitu lutein dan beta karoten dengan membandingkan pengukuran colorimeter, WSB (Water- Saturated Butanol) dan HPLC. Penelitian lain dalam review Schoels (2002) menunjukkan beberapa persamaan matematik untuk memperkirakan modifikasi pigmen yang terjadi selama proses produksi pangan. Beberapa peneliti menggunakan warna hue angle untuk mengkarakterisasi perubahan warna (Schoels 2002). Penelitian-penelitian dengan bahan uji ubi jalar salah satunya adalah hasil penelitian Liener dan Sistrunk (1979) yang menunjukkan bahwa ada hubungan warna dengan total kandungan beta karoten. Pengukuran warna merah dengan

31 Color Difference Meter (CDM) pada varietas ubi jalar Centinnial, varietas Jasper dan varietas George Jet mempunyai kadar beta karoten masing-masing sebesar 18,5 mg/100 g, 15,5 mg/100 g dan 8,5 mg/100g dihasilkan nilai warna (L value) masing-masing 53,3 dan 50,4 serta 48,5. Penelitian berikutnya adalah penelitian Takahata et al. (1993) dan Camire et al. (1994) yang menggunakan pengukuran warna untuk perkiraan cepat (rapid estimation) kadar total karoten ubi jalar. Ameny dan Wilson (1997) adalah peneliti berikutnya yang khusus mengamati hubungan antara nilai warna Hunter dan kadar beta karoten dalam ubi jalar Afrika berdaging umbi warna putih. Nilai warna Hunter tidak menunjukkan banyak perbedaan pada pengukuran melintang, membujur maupun diagonal ubi jalar mentah. Hubungan antara pengukuran warna dengan sistem Hunter dan pengukuran kadar beta karoten dengan HPLC dinyatakan dengan besarnya nilai korelasi linear dan nilai tertinggi diperoleh pada nilai b yaitu dengan nilai r sebesar Perubahan warna yang terjadi pada saat pengolahan ubi jalar seperti warna merah yang semakin berkurang, munculnya warna biru atau hijau dinyatakan sebagai suatu peristiwa isomerisasi trans-cis struktur karoten, karena adanya kompleks protein dengan karoten ataupun karena adanya kerusakan struktur karoten yaitu terbentuknya karoten struktur epoksi.

32 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan Seafast Centre, IPB dan Agricultural Products Processing Pilot Plant (AP4), IPB. Dimulai dari bulan Maret 2005 sampai dengan Maret Bahan dan Alat Bahan yang digunakan meliputi bahan baku utama, bahan tambahan dan bahan kimia untuk keperluan analisis. Bahan baku utama adalah ubi jalar berdaging umbi oranye dan kuning. Bahan baku tambahan adalah natrium metabisulfit, asam askorbat, dan maltodekstrin-gum arab. Bahan bahan kimia yang digunakan untuk analisa adalah kalium hidroksida, butilhidroksitoluen (BHT), natrium sulfat, heksan, asetonitril, kloroform, metanol, tetrahidrofuran, dietil eter, dan petroleum eter dengan grade pro analisis, serta larutan asam asetat 5%. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPLC dengan detektor ultraviolet-visible merek Shimatzu dan kolom Vydac reverse-phase C18 CAT #201 TP 54 (USA), kromameter CR300 merek Minolta, spektrofotometer ultraviolet-visible merek Shimatzu, oven menggunakan pemanas gas dan listrik, slicer, vorteks, kompor, loyang pengering, dan gelas-gelas analisa. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan penelitian inti, sebagai berikut :. Penelitian pendahuluan Tahap ini meliputi pemilihan pelarut untuk ekstraksi, pemilihan pelarut untuk fase gerak pada HPLC serta penetapan proses produksi yang akan dilakukan. Pemilihan pelarut untuk ektraksi dilakukan dengan uji lama

33 pengendapan dan absorbansi yang dihasilkan jika konsentrat hasil ekstraksi 2,5 gram sampel tepung dilarutkan dalam 5 ml heksan pada panjang gelombang 450 nm. Pemilihan pelarut untuk fase gerak HPLC dilakukan dengan uji sensitivitas antara konsentrasi beta karoten yang divariasikan (sebagai sumbu x) dan hasil luas area pada kromatogram (sebagai sumbu y). Penelitian inti Kajian stabilitas beta karoten selama proses produksi dilakukan dengan pengamatan warna menggunakan kromameter dan kadar beta karoten menggunakan HPLC sehingga diperoleh tahapan proses yang menjadi titik-titik kendali proses pada penelitian inti. Dengan adanya titik-titik kendali proses maka dilakukan beberapa perlakuan untuk melihat besarnya kadar beta karoten tanpa dan dengan tahapan proses tersebut. Pada tahap blanching dilakukan perlakuan proses dengan dan tanpa blanching. Pada tahap pengeringan dilakukan beberapa perlakuan sebelum pengeringan yaitu perendaman irisan ubi jalar dalam air, larutan sulfit 0,3% selama 30 menit tanpa air panas (modifikasi Santosa dkk 1994), larutan sulfit 0,3% dengan air panas 60 0 C (modifikasi Zhao & Chang 1995), asam askorbat 0,3%, dan perendaman menggunakan malto-dekstrin:gum arab = 1:1 (8%). Pada tahap ini, stabilitas beta karoten diamati dengan alat kromameter. Masing-masing perlakuan pada penelitian pendahuluan dan penelitian inti dilakukan dalam 2 kali ulangan. Produk yang dihasilkan dari penelitian inti bersama-sama dengan kontrol dan tepung ubi jalar komersial dilakukan analisa beta karoten dengan HPLC untuk mendapatkan hasil tepung terbaik yang akan digunakan pada tahap penelitian berikutnya. Tepung ubi jalar terbaik digunakan untuk uji kelayakan teknis produksi, dan uji stabilitas beta karoten selama penyimpanan akibat perlakuan pada masingmasing tepung dengan kemasan vakum dan non vakum pada penyimpanan suhu dingin (2 0 C), suhu ruang (25 0 C) dan suhu panas (35 0 C). Uji stabilitas beta karoten selama penyimpanan juga dilakukan untuk mendapatkan besar energi aktivasi kerusakan beta karoten jenis trans selama penyimpanan.

34 Proses produksi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini : Persiapan bahan baku Pencucian awal Pemeriksaan fisik Pencucian ulang Pengupasan di dalam rendaman air Blanching uap 70 0 C, 10 menit Pengirisan di dalam rendaman air Perendaman C, menit Pengeringan 50 0 C Penepungan Pengemasan kemasan vakum dan non vakum Penyimpanan Gambar 6. Proses produksi tepung ubi jalar (Modifikasi Suismono 1995) Sedangkan alur penelitian yang dilakukan mengikuti Gambar 7 berikut ini : Penelitian pendahuluan 1. Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi, persiapan analisa HPLC 2.Pemilihan pelarut untuk fase gerak HPLC

35 Penelitian inti Pemilihan tahapan proses sebagai titik-titik kendali proses. Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada tahap blanching adalah sebagai berikut : Perlakuan 1 : Produksi tepung dari ubi jalar Varietas Sewu dengan blanching Perlakuan 2 : Produksi tepung dari ubi jalar Varietas Sewu tanpa blanching Perlakuan 3 : Produksi tepung dari ubi jalar klon BB dengan blanching Perlakuan 4 : Produksi tepung dari ubi jalar klon BB tanpa blanching Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi Perlakuan-perlakuan sebelum tahap pengeringan adalah sebagai berikut : Perlakuan 1 : Perendaman pada sulfit 0,3% air biasa (S30) Perlakuan 2 : Perendaman pada sulfit 0,3%, 60 0 C (S10) Perlakuan 3 : Perendaman pada asam askorbat 0,3% air biasa (A30) Perlakuan 4 : Perendaman pada asam askorbat 0,3%, 60 0 C (A10) Perlakuan 5 : Perendaman pada maltodekstrin:gum arab (1:1),8% (Gum) Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi Perlakuan-perlakuan pada tahap pengeringan adalah sebagai berikut : Perlakuan 1 : lama pengeringan 4 jam (kadar air maksimal (12%) Perlakuan 2 : lama pengeringan 24 jam (kadar air maksimal 12%) Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi Penyimpanan bulan ke-0,1,2,3 Perlakuan 1 : Dikemas dalam alufo secara vakum Perlakuan 2 : Dikemas dalam alufo secara non vakum Gambar 7. Tahap-tahap penelitian

36 Prosedur Analisis Analisis beta karoten dengan HPLC, Modifikasi Parker (Sulaswatty 1998) Sampel diekstraksi lebih dahulu menggunakan pelarut atau kombinasi pelarut yang akan ditentukan dalam penelitian pendahuluan hingga 7-8 kali ekstraksi. Koleksi lapisan atas hasil ekstraksi lalu diuapkan dengan gas N 2. Ekstrak dicampur KOH 5% dalam metanol sebanyak 3-5 ml dan dipanaskan pada suhu 50 0 C selama 30 menit. Ditambah air destilasi sebanyak 3-5 ml kemudian diekstrak kembali dengan heksan, koleksi lapisan atasnya lalu dicuci berturutturut dengan asam asetat 5% sebanyak 3-5 ml dan air destilasi lalu diuapkan lagi menggunakan N 2 hingga diperoleh ekstrak beta karoten. Kondisi HPLC diset menggunakan kolom C 18, fase gerak, flow rate 1 ml/menit, suhu 25 0 C, dan detektor UV-Visible pada panjang gelombang 450 nm. HPLC di-conditioning terlebih dahulu menggunakan fase diam, dilanjutkan dengan fase gerak masingmasing selama sekitar 1 jam hingga didapatkan baseline yang lurus pada kromatogram. Sampel dilarutkan dalam 5 ml larutan fase gerak lalu sebanyak 25 μl diinjeksikan hingga 2 kali ulangan. Hasil analisis dibaca melalui kromatogram. Analisis kuantitatif dilakukan dengan rumus seperti yang tercantum pada Lampiran 3. Pembuatan larutan standar untuk pengukuran konsentrasi beta karoten menggunakan spektrofotometer, Metode Parker (Sulaswatty 1998) Larutan standar disiapkan dari kristal standar beta karoten all trans type 1 dari Sigma sebanyak 1 mg yang dilarutkan dalam 2 ml kloroform, dan 6 ml metanol (larutan ini disebut standar kualitatif). Konsentrasi beta karoten standar diperoleh dengan mengencerkannya pada pelarut metanol:asetonitril (1:1, v:v) dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 450 nm (Parker 1992). Konsentrasi beta karoten dapat dihitung berdasarkan nilai E 1% (1 cm), yaitu absorbansi dari 1 % larutan beta karoten atau sebesar 10 mg/ml pada panjang gelombang 450 nm menggunakan kuvet 1 cm, sebagai berikut : Konsentrasi larutan standar 2600 = Konsentrasi beta absorbansi pada karoten semu 450 nm

37 Nilai 2600 adalah nilai E 1% (1 cm) untuk 1% larutan beta karoten pada panjang gelombang 450 nm. Sebelum disuntikkan ke HPLC larutan standar disiapkan pada beberapa konsentrasi pada fase gerak untuk pembuatan kurva standar antara konsentrasi dan luas area. Pada kromatogram yang diperoleh dapat dilihat persen kemurnian dari beta karoten pada panjang gelombang 450 nm. Dari persen kemurnian tersebut dapat diperoleh konsentrasi beta karoten yang sebenarnya dengan cara mengalikan persen kemurnian dengan konsentrasi beta karoten semu tersebut. Perhitungan konsentrasi standar beta karoten adalah sebagai berikut : [beta karoten] mg/ml = A x 10 mg/ml x FP x % kemurnian puncak 2600 Keterangan : A = Nilai absorbansi standar FP = Faktor Pengenceran 2600 = nilai E 1% 1 cm beta karoten Pengukuran warna menggunakan kromameter Minolta CR300 Sampel berupa tepung kira-kira sebanyak 3 gram dipadatkan pada suatu wadah dengan diameter tertentu beralaskan kaca dari bahan tertentu (khusus untuk pengukuran sampel berupa tepung pada pengukuran kromameter). Nilai-nilai pengukuran kromameter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan plate kalibrasi berwarna putih setiap kali akan digunakan. Penentuan Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1984) Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan. Cawan dan sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu C, dikeringkan sampai diperoleh berat tetap. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar air (%) = Kehilangan berat (g) Berat sampel (g) x 100%

38 Penentuan luas permukaan partikel (Mc Cabe et al. 1999) Mc Cabe et al (1999) menyatakan bahwa dalam contoh yang ukurannya seragam dengan diameter D p, volume total partikel ialah m/ρ p, dimana m dan ρ p masing-masing adalah massa contoh dan densitas partikel. Oleh karena volume satu partikel adalah V p maka banyaknya partikel dalam contoh N ialah : N = m ρ pvp Luas permukaan total partikel ialah : A = Nsp = 6m D Φsρ p p Densitas kamba (Khalil 1999) Densitas kamba diukur dengan menimbang berat sampel pada volume tertentu. Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan yang berupa tepung atau biji-bijian yang dinyatakan dalam g/ml. Pada penelitian ini akan dibandingkan densitas kamba tepung dari masing-masing perlakuan pengeringan. serta tepung komersial yang sudah beredar umum di masyarakat. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari bahan, yaitu jumlah rongga yang terdapat antara partikel-partikel bahan. Densitas padat (Khalil 1999) Densitas padat diukur dengan cara yang sama dengan pengukuran densitas kamba, tetapi berat bahan dibaca setelah dilakukan pemadatan dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur dengan tangan sampai beratnya tidak berubah lagi. Satuannya sama dengan densitas kamba yaitu g/ml. Nilai densitas padat menunjukkan kapasitas maksimum yang dapat dicapai suatu proses atau wadah suatu proses yaitu dengan menghilangkan porositas dari bahan atau rongga antar partikel bahan.

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK CHRISTINA MUMPUNI

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan Seafast

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubikayu (Suismono 1995). Tabel 1 memperlihatkan bahwa terjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Proses pembuatan tepung ubi

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing sebesar ton dan hektar. Selama lima BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan sumber karbohidrat di Indonesia. Berdasarkan data statistik, produktivitas ubi jalar pada tahun 2015 mencapai

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Pengawetan pangan dengan pengeringan Pengawetan pangan dengan pengeringan Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengeringan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi selama pengeringan serta dampak pengeringan terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Bahan baku ubi jalar diperoleh dari balai penelitian CIP Muara, Bogor dan Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Ubi jalar yang diperoleh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh menjalar di dalam tanah dan menghasilkan umbi. Ubi jalar dapat di tanam pada lahan yang kurang subur, dengan catatan tanah tersebut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas) 1. Sejarah Singkat Ubi jalar (Ipomoea batatas) termasuk tanaman palawija penting yang diduga berasal dari Benua Amerika. Para

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN III. METODELOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang digunakan adalah kelopak kering bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang berasal dari petani di Dramaga dan kayu secang (Caesalpinia

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

Gambar 6. Kerangka penelitian

Gambar 6. Kerangka penelitian III. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan L) yang dibeli dari toko obat tradisional pasar Bogor sebagai sumber pigmen brazilein dan sinapic

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ubi jalar (Ipomea batatas L.) di Indonesia belum dianggap sebagai komoditas penting sebagai pemenuhan akan gizi karbohidrat. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa ubi jalar

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PEMBUATAN SAUS TOMAT Oleh: Masnun Balai Pelatihan Pertanian Jambi I. PENDAHULUAN

TEKNOLOGI PEMBUATAN SAUS TOMAT Oleh: Masnun Balai Pelatihan Pertanian Jambi I. PENDAHULUAN Page1 TEKNOLOGI PEMBUATAN SAUS TOMAT Oleh: Masnun Balai Pelatihan Pertanian Jambi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan salah satu komoditi sayuran buah yang sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 PENGOLAHAN TALAS Ir. Sutrisno Koswara, MSi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013 DISCLAIMER This presentation is made possible by the generous support of the American people

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekaya Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Pangan dan Gizi Jurusan Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian. 12 I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) termasuk famili dari Araceae yang dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang. Beberapa kultivarnya dapat beradaptasi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Pola Spektra Karotenoid dari Ekstrak Buah Sawit Segar dan Pasca-Perebusan Pola spektra karotenoid dari ekstrak buah sawit segar maupun buah sawit pascaperebusan menunjukkan

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI

PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI PEMBUATAN TEPUNG BENGKUANG DENGAN KAJIAN KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na 2 S 2 O 5 ) DAN LAMA PERENDAMAN SKRIPSI Oleh : Keny Damayanti NPM.0533010023 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dengan hasil pertanian yang melimpah. Pisang merupakan salah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENGGORENGAN VAKUM TERHADAP MUTU KERIPIK DURIAN Pada tahap ini, digunakan 4 (empat) tingkat suhu dan 4 (empat) tingkat waktu dalam proses penggorengan

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Persiapan Bahan Baku

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Persiapan Bahan Baku 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Februari 2010 yang merupakan bagian dari penelitian labu kuning yang dilaksanakan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Keripik wortel sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil produksi sendiri yang dilakukan di laboratorium proses Balai Besar Industri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Buah kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan endosperm), dan setelah di ekstraksi akan menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat

Lebih terperinci

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG Qanytah Tepung jagung merupakan butiran-butiran halus yang berasal dari jagung kering yang dihancurkan. Pengolahan jagung menjadi bentuk tepung lebih dianjurkan dibanding produk

Lebih terperinci

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN 1. Serealia ) Pengolahan jagung : a. Pembuatan tepung jagung (tradisional) Bahan/alat : - Jagung pipilan - Alat penggiling - Ember penampung

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Area Serapan β-karoten dari Ketiga Varietas Lokal Ubi Jalar Hasil pengujian kandungan β-karoten terhadap ketiga varietas lokal ubi jalar dengan menggunakan HPLC, dan setelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi 2 dikeringkan pada suhu 105 C. Setelah 6 jam, sampel diambil dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh bobot yang konstan (b). Kadar air sampel ditentukan

Lebih terperinci

Pengeringan Untuk Pengawetan

Pengeringan Untuk Pengawetan TBM ke-6 Pengeringan Untuk Pengawetan Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan

Lebih terperinci

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN Souvia Rahimah Jatinangor, 5 November 2009 Pengertian PENGERTIAN UMUM : PROSES PENGURANGAN AIR DARI SUATU BAHAN SAMPAI TINGKAT KEKERINGAN TERTENTU. Penerapan panas dalam

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pangan dan Gizi, Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan banyaknya iklan produk-produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satunya jenis komoditas pangan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu 4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu Sistem warna Hunter L a b merupakan pengukuran warna kolorimetri pada makanan. Dalam teori ini, terdapat tahap pengalihan sinyal-antara antara reseptor cahaya

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat 13 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Analisis makanan, Laboratorium pengolahan pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai masalah yang berkaitan dengan pangan dialami banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah gizi

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah permen jelly pepaya yang terbuat dari pepaya varietas IPB 1 dengan bahan tambahan sukrosa, ekstrak rumput

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) berasal dari Amerika Tengah, pada tahun 1960-an ubi jalar telah menyebar hampir di seluruh Indonesia (Rukmana, 2001). Ubi jalar (Ipomoea

Lebih terperinci

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas blackie) DENGAN VARIASI PROSES PENGERINGAN

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas blackie) DENGAN VARIASI PROSES PENGERINGAN KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas blackie) DENGAN VARIASI PROSES PENGERINGAN Bambang Sigit A 1), Windi Atmaka 1), Tina Apriliyanti 2) 1) Program Studi Ilmu dan

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah jambu biji (Psidium guajava) memiliki rasa yang enak dan segar serta memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan juga kecantikan manusia. Buah jambu biji telah lama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena itu memerlukan penanganan pascapanen yang serius

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kelapa sawit segar dan buah pascaperebusan (perebusan pada suhu 131 o C, tekanan uap 2 atmosfer, selama 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakso merupakan salah satu produk olahan daging khas Indonesia, yang banyak digemari oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai nilai gizi yang tinggi karena kaya akan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahun mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan akan komoditas pangan. Namun, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang

TINJAUAN PUSTAKA. berat kering beras adalah pati. Pati beras terbentuk oleh dua komponen yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Beras diperoleh dari butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (sekam), merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar butir beras

Lebih terperinci

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Diambil sampel dua telur pada setiap ulangan. Delapan belas sampel dianalisis kolesterolnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini kebutuhan masyarakat akan tepung terigu semakin meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan konsumsi tepung terigu perkapita oleh masyarakat di Indonesia dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein

I PENDAHULUAN. protein berkisar antara 20% sampai 30%. Kacang-kacangan selain sumber protein I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA PEMBUATAN TEPUNG TOMAT

PENGARUH SUHU TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA PEMBUATAN TEPUNG TOMAT PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 24 ISSN : 1411-4216 PENGARUH SUHU TERHADAP KADAR VITAMIN C PADA PEMBUATAN TEPUNG TOMAT C.Sri.Budiyati dan Kristinah Haryani Jurusan Teknik Kimia, FakultasTeknik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Konsentrasi KMnO 4 Terhadap Susut Berat Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap susut berat cabai merah berbeda nyata

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci