DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... i. DAFTAR TABEL... ii. DAFTAR GAMBAR... iii. KATA SAMBUTAN... iv KATA PENGANTAR... A. PENDAHULUAN... 1 B. METODOLOGI...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... i. DAFTAR TABEL... ii. DAFTAR GAMBAR... iii. KATA SAMBUTAN... iv KATA PENGANTAR... A. PENDAHULUAN... 1 B. METODOLOGI..."

Transkripsi

1

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii KATA SAMBUTAN... iv KATA PENGANTAR... v A. PENDAHULUAN... 1 B. METODOLOGI... 2 C. TELAPAK EKOLOGIS DI INDONESIA... 8 D. REKOMENDASI E. PENUTUP LAMPIRAN i

3 DAFTAR TABEL Tabel 1. Nilai Ecological Deficit (ED) atau Lebih... 7 Tabel 2. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Sumatera... 9 Tabel 3. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Sulawesi Tabel 4. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Bali Tabel 5. Perhitungan Telapak Ekologis & Kepulauan Nusa Tenggara Tabel 6. Perhitungan Telapak Ekologis & Kepulauan Maluku Tabel 7. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Papua Tabel 8. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi DKI Jakarta Tabel 9. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Banten Tabel 10. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Barat Tabel 11. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Tengah Tabel 12. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Timur Tabel 13. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi DI Yogyakarta.. 25 Tabel 14. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Barat Tabel 15. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Tengah Tabel 16. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Selatan Tabel 17. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Timur Tabel 18. Perhitungan Telapak Ekologis & Indonesia Tahun Tabel 19. Rekapitulasi Perhitungan Telapak Ekologis & per Kapita Pulau-pulau di Indonesia Tahun ii

4 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Pulau Sumatera... 9 Gambar 2. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Pulau Sulawesi Gambar 3. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Pulau Bali Gambar 4. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara Gambar 5. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Kepulauan Maluku Gambar 6. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Pulau Papua Gambar 7. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Komponen Indonesia Tahun LAMPIRAN Tabel Perhitungan Telapak Ekologis & per Provinsi se-indonesia iii

5 KATA SAMBUTAN Assalamu alaikum wr.wb. Seraya memanjat puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik penerbitan buku Kajian Telapak Ekologis di Indonesia ini. Kehadiran buku ini saya nilai tepat di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pertimbangan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan, dan semakin terbatasnya sumberdaya pembangunan. Sebagai sebuah konsep yang relatif baru, penyebarluasan pemahaman tentang konsep telapak ekologis perlu didorong sehingga dapat diterima oleh para pemangku kepentingan. Selanjutnya pemahaman tersebut diharapkan dapat menjadi bekal dalam merumuskan kebijakan dan strategi pembangunan yang lebih sensitif terhadap isu keberlanjutan. Dengan demikian, kekayaan sumber daya alam Indonesia dapat dimanfaatkan secara lebih optimal, tidak saja untuk generasi masa kini tetapi juga untuk generasi generasi yang akan datang. Kajian Telapak Ekologis di Indonesia ini merupakan langkah yang sangat baik dalam pengarusutamaan pemikiran terkait pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Saya berharap pembaca buku ini dapat memperoleh pengetahuan baru yang akan memberikan inspirasi dalam pelaksanaan tugas tugas pembangunan yang menjadi tanggung jawabnya. Wassalamu alaikum wr.wb. Jakarta, Juni 2010 Menteri Pekerjaan Umum, DJOKO KIRMANTO iv

6 KATA PENGANTAR Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, berbagai upaya telah dilakukan para pemangku kepentingan yang secara umum menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap isu isu lingkungan hidup. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim turut berperan dalam peningkatan kesadaran pemerintah dan masyarakat untuk lebih berhati hati dalam pengambilan keputusan yang memiliki potensi dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang kondisi saat ini dan kondisi masa depan yang diinginkan. Dalam rangka memperkaya pengetahuan tentang kondisi saat ini, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum melakukan pengkajian kondisi telapak ekologis (ecological footprint) yang terbentuk dari tatanan sosial ekonomi masyarakat saat ini. Telapak ekologis merupakan cerminan dari tingkat pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin tinggi tingkat kebutuhannya, semakin besar sumber daya alam yang dimanfaatkan, semakin tinggi pula telapak ekologis yang terbentuk. Selanjutnya bila dibandingkan dengan kapasitas lingkungan untuk menyediakan sumber daya (biokapasitas), dapat diketahui gambaran tingkat keberlanjutan suatu wilayah. Hasil kajian telapak ekologis Indonesia yang disajikan secara singkat dalam buku ini menunjukkan secara umum masyarakat Indonesia masih memanfaatkan sumber daya dalam jumlah yang lebih rendah dari kapasitas lingkungan untuk menyediakannya. Dengan kata lain, secara agregat biokapasitas Indonesia masih dalam kondisi surplus. Namun demikian, hasil kajian di wilayah dengan populasi penduduk yang tinggi (Pulau Jawa dan Pulau Bali) menunjukkan defisit sumber daya yang sudah cukup memprihatinkan. v

7 Kondisi telapak ekologis Indonesia yang nyaris menunjukkan defisit tersebut perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan dan strategi pembangunan. Apalagi dengan adanya perubahan pola konsumsi yang cenderung boros dalam pemanfaatan sumber daya, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bila tidak dikelola secara bijaksana, dikhawatirkan Indonesia akan memasuki era krisis sumber daya ketika kondisi telapak ekologis telah melampaui biokapasitas. Buku ini diharapkan dapat memberikan alternatif bekal pengetahuan kepada para pembaca dalam mengambil langkah langkah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dalam menyejahterakan masyarakatnya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup, khususnya melalui penyelenggaraan penataan ruang dan pengembangan wilayah yang berkelanjutan secara lebih efektif. Selamat membaca dan semoga dapat mengambil manfaat dari buku ini. Jakarta, Juni 2010 Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc vi

8 A. PENDAHULUAN Dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk keberlangsungan hidupnya, perlu diperhatikan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan untuk masa yang akan datang. Keberlanjutan dapat dicapai apabila dalam setiap pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga tercapai keharmonisan antara lingkungan alami dan lingkungan buatan. Untuk mewujudkan keberlanjutan, diperlukan suatu alat ukur yang dapat menghitung kapasitas sediaan (supply) dan permintaan (demand) sumber daya alam. Telapak ekologis merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan. Telapak ekologis adalah gambaran jumlah lahan produktif darat dan laut yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup suatu populasi dalam memproduksi dan mengkonsumsi semua sumber daya termasuk limbah yang dihasilkannya. Pendekatan telapak ekologis dimaksudkan untuk menunjukkan ketergantungan hidup manusia terhadap alam serta untuk mengamankan kapasitas sumber daya alam untuk keberadaan manusia di masa mendatang. Telapak ekologis terdiri dari 4 (empat) parameter penting yaitu populasi, area lahan dan laut, produktivitas (hasil/ha) dan indikator (ha/kapita), yang hasil perhitungannya akan menjadi bagian dalam perhitungan daya dukung suatu wilayah. Telapak ekologis suatu wilayah yang lebih rendah dibandingkan biokapasitasnya menunjukkan bahwa dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, masyarakat wilayah tersebut telah menggunakan sumber daya alamnya dengan memperhatikan daya dukung serta menjamin keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan untuk masa yang akan datang. Telapak Ekologis (Ecological Footprint) pertama kali diperkenalkan oleh William Rees pada tahun Konsep dan metoda perhitungan telapak ekologis ini dikembangkan dalam disertasi Phd Mathias Wackernagel dibawah supervisi William Rees di University of British Columbia, Vancouver, Canada, mulai tahun Pada awal tahun 1996, Wackernagel dan Rees mempublikasikan buku Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. 1

9 B. METODOLOGI A. Kerangka Berpikir Aktivitas manusia di muka bumi memerlukan konsumsi yang diambil dari alam (lingkungan). Seiring dengan kemajuan jaman yang merupakan fungsi ruang dan waktu, interaksi manusia dengan lingkungan alam tanpa disadari dapat atau telah menurunkan daya dukung alam tersebut. Menurut Khanna (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Telapak ekologis hanya mengukur lahan yang mampu berproduksi dan mengelola limbah secara alami, atau disebut lahan produktif biologis. Sesuai dengan prinsip dasar pehitungan yang mencerminkan jumlah barang, energi, dan ruang yang diperlukan oleh populasi lokal terhadap luasan lahan yang menyediakan. Dalam perhitungan telapak ekologis digunakan asumsi umum, antara lain: Semua sumber daya yang dikonsumsi dan limbah (termasuk emisi) yang dihasilkan dapat ditelusuri asal muasalnya (tracked). Sebagian besar aliran sumber daya dan buangan dapat diukur dengan menggunakan luasan bioproduktif untuk menjaga pasokan sumber daya dan absorpsi buangan. Luasan bioproduktif yang berbeda dapat dikonversi menjadi satu ukuran tunggal, yaitu hektar global. Setiap hektar global pada satu tahun mencerminkan bioproduktif yang sama dan semua dapat dijumlahkan. Permintaan terhadap sumber daya alam disebut telapak ekologis (ecological footprint/demand), dan dapat dibandingkan dengan biokapasitas (biocapacity/ supply ) dengan satuan hektar global. Luasan permintaan (area demanded) bisa lebih besar dari luasan pasokan (area supplied), jika permintaan suatu ekosistem melebihi kemampuan ekosistemnya untuk menyediakannya. 2

10 B. Komponen Perhitungan Telapak Ekologis Dalam melakukan perhitungan dan analisis telapak ekologis wilayah Indonesia digunakan metoda yang telah dikembangkan oleh Global Footprint Network (GFN USA) sebagaimana diuraikan dalam Guidebook to the National Footprint Accounts Luasan bioproduktif diartikan sebagai semua luasan lahan yang berkontribusi terhadap biokapasitas yang memberikan pasokan konsentrasi biomasa secara ekonomis. Luasan bioproduktif adalah luasan daratan dan perairan (perairan daratan dan perairan laut) yang mendukung proses fotosintesis secara signifikan kemudian mengakumulasi biomasa yang dimanfaatkan oleh manusia. Dalam perhitungan telapak ekologis (TE) dan perhitungan biokapasitas (BK), digunakan 2 (dua) faktor konversi yaitu: 1. Faktor penyama (equivalent factor) Faktor penyama merupakan faktor yang mengkonversi satuan lokal lahan tertentu menjadi satuan yang universal, yaitu hektar global. Faktor penyama telah ditentukan oleh Global Footprint Network (GFN) untuk 6 (enam) kategori lahan, yaitu: lahan pertanian (2,64), lahan perikanan (0,40), lahan peternakan (0,50), lahan kehutanan (1,33), lahan terbangun (2,64) dan lahan penyerapan karbon/lahan yang diperlukan untuk mengabsorsi CO2 yang bersumber dari bahan bakar fosil (1,33). 2. Faktor panen (yield factors) Faktor panen menggambarkan perbandingan antara luasan lahan bioproduktif di suatu wilayah dengan luasan lahan bioproduktif yang sama di wilayah yang lain untuk tiap komoditas yang sama. Faktor ini juga menggambarkan kemampuan suatu populasi untuk menyertakan penguasaan teknologi dan manajemen dalam pengelolaan lahan. Setiap wilayah memiliki faktor panen masing masing dan dihitung per tahun. 3

11 4 Dalam metoda yang dikembangkan oleh GFN, demand digambarkan dalam bentuk hasil akhir perhitungan telapak ekologis (ecological footprint) pada suatu wilayah. Sedangkan supply digambarkan dalam bentuk biokapasitasnya (biocapacity). Kondisi yang diharapkan adalah nilai total demand/telapak ekologisnya lebih rendah dibandingkan nilai supply/biokapasitasnya guna menjamin keberkelanjutan pemanfaatan sumber daya alam. C. Perhitungan Demand/Telapak Ekologis (TE)/Ecological Footprint (EF) Telapak ekologis menggambarkan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dari alam yang dicerminkan dalam konsumsi bersih (net consumption) dari produk produk yang dikategorikan seperti produk pertanian, produk peternakan, produk kehutanan, produk perikanan, keperluan ruang dan lahan, serta konsumsi energi. Konsumsi bersih merupakan konsumsi aktual yang dipengaruhi oleh kegiatan perdagangan (ekspor impor). Perhitungan konsumsi aktual akan menambahkan barang yang diimpor dan mengurangi barang yang diekspor yang dinyatakan dengan persamaan berikut: Konsumsi Bersih/Total (ton) = Produksi Lokal (ton) + Impor (ton) Ekspor (ton) Telapak Ekologis(TE/EF) untuk semua kategori lahan dihitung dengan menggunakan persamaan: : P EF = YF EQF YN EF = ecological footprint/telapak ekologis (TE); P = jumlah produk dipanen atau limbah yang dihasilkan; YN = produktivitas nasional rata rata untuk P; YF = yield factor (faktor panen); EQF = equivalence factor (faktor ekivalensi untuk kategori lahan dimaksud). Pada hasil perhitungan, untuk nilai TE Konsumsi=0 walaupun nilai (TE Produksi+TE Impor)<TE Ekspor dan bukan menghasilkan nilai minus, hal ini didasarkan pada konsepsi Telapak Ekologis yang ada. Pada data dengan tahun yang sama, jumlah produksi merupakan jumlah yang dihasilkan pada tahun tersebut (tahun 2007), sedangkan jumlah ekspor merupakan jumlah produk yang diproduksi tahun tersebut maupun stok/hasil produksi pada tahun tahun sebelumnya yang dijual/diekspor pada tahun tersebut (tahun 2007).

12 D. Perhitungan Supply/ (BK)/Biocapacity (BC) adalah kapasitas ekosistem untuk menghasilkan material material biologi yang berguna dan kapasitas untuk menyerap buangan material yang dihasilkan oleh kegiatan manusia dengan menggunakan cara pengelolaan dan teknologi yang dikuasai saat ini. Seperti halnya telapak ekologis, biokapasitas terdiri dari 6 (enam) kategori lahan, yaitu lahan pertanian, lahan peternakan, lahan kehutanan, lahan perikanan, lahan terbangun dan lahan penyerap karbon. Menurut ketentuan GFN USA dalam Guidebook to the National Footprint Accounts 2008, lahan penyerap karbon dianggap tidak memiliki nilai biokapasitas (ditunjukkan dalam seluruh tabel nilai biokapasitas lahan penyerap karbon adalah 0), berdasarkan asumsi bahwa seluruh penyerapan karbon dilakukan oleh lahan kehutanan sehingga nilai biokapasitas lahan penyerap karbon adalah 0 (nol) atau merupakan objek dari biokapasitas lahan kehutanan. Pada metoda perhitungan ini, nilai telapak ekologis dan biokapasitas lahan terbangun adalah sama. Permintaan akan lahan terbangun dan infrastruktur (TE lahan terbangun) terhadap persediaan lahan (BK lahan terbangun) akan berbanding lurus, dimana setiap pembukaan lahan baru akan selalu diiringi dengan tumbuhnya lahan terbangun. (BK/BC) untuk semua kategori lahan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: BC = A x YF x EQF : BC = biocapacity/biokapasitas (BK); A = luas lahan dari setiap kategori lahan; YF = yield factor (faktor panen); EQF = equivalence factor (faktor ekivalensi untuk kategori lahan dimaksud). 5

13 E. Perhitungan Defisit Ekologis/Ecological Footprint Deficit (ED) Nilai defisit ekologis menunjukkan apakah sebuah wilayah telah melampaui daya dukungnya atau belum. Sebuah wilayah dikatakan telah melampaui daya dukungnya apabila nilai telapak ekologisnya lebih besar dibandingkan dengan nilai biokapasitasnya. Nilai telapak ekologis yang lebih besar dibandingkan dengan nilai biokapasitas menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah tersebut telah menggunakan sumber daya alam lebih besar dari kapasitas alam untuk menyediakannya. Defisit Ekologis dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: ED = EF total BC total : ED = ecological deficit (defisit ekologis); EF total = ecological footprint total (telapak ekologis total); BC total = biocapacity total (biokapasitas total). Besaran tingkat defisit ekologis dapat diinterpretasikan dengan menggunakan acuan yang bersumber dari studi yang dilakukan oleh China Council for International Cooperation on Environment and Development World Wide Fund for Nature (CCICED WWF) tahun 2006, sebagaimana disajikan dalam tabel 1. 6

14 Tabel 1. Nilai Ecological Deficit (ED) atau Lebih Wilayah Defisit (Deficit Region) Very severe deficit (ED>2.0) Severe deficit (1.0<ED 2.0) Moderate deficit (0.5<ED 1.0) Minor deficit (0.1<ED 0.5) Wilayah Cadangan atau Seimbang (Reserve or Balanced Regions) Balanced regions ( 0.1<ED 0.1) Reserve regions (ED 0.1) Sumber: CCICED WWF, 2006 Bruntland Report, Our Common Future, menyisihkan 12% untuk keanekaragaman hayati (Bruntland Report mengasumsikan bahwa biokapasitas yang dapat dimanfaatkan hanya sebesar 88%, sementara yang 12% disisakan untuk keanekaragaman hayati). 7

15 C. TELAPAK EKOLOGIS DI INDONESIA A. Hasil Analisis Telapak Ekologis Pulau Sumatera Secara umum, daya dukung Pulau Sumatera sebagai penyedia sumber daya penghasil produk pertanian, peternakan, dan kehutanan masih dalam kondisi surplus, sedangkan sebagai penyedia sumber daya penghasil produk perikanan telah mengalami defisit. Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di Pulau Sumatera memiliki konsumsi yang besar terhadap produk pertanian. Hal ini dapat dilihat pada nilai telapak ekologis untuk penggunaan lahan pertanian memiliki nilai paling tinggi dibandingkan nilai telapak ekologis lainnya (Tabel 2). Meskipun nilai konsumsi telapak ekologis lahan pertanian paling tinggi, tetapi nilainya belum melebihi nilai biokapasitasnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya Pulau Sumatera untuk menghasilkan produk pertanian belum terlampaui. Meskipun demikian, pemanfaatan sumber daya alam di sektor pertanian harus tetap dilakukan secara bijaksana dengan tetap memperhatikan daya dukung wilayah serta melalui peningkatan biokapasitas wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk dapat terus mendukung kebutuhan produk pertanian bagi masyarakat di Pulau Sumatera dan masyarakat di luar Pulau Sumatera (ditunjukkan dengan nilai telapak ekologis ekspor komponen pertanian yang paling tinggi). Untuk biokapasitas lahan kehutanan mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya, salah satunya dikarenakan adanya Taman Nasional Gunung Leuser (terletak di Provinsi NAD dan Sumatera Utara) dan Taman Nasional Kerinci Seblat (terletak di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu) yang tetap dipertahankan keberadaannya. Hal ini ditunjukkan dengan diagram komponen lahan kehutanan di Provinsi NAD, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu (Gambar 1). Untuk komponen lahan perikanan, nilai biokapasitasnya jauh dibawah nilai telapak ekologisnya, hal ini menunjukkan tingkat konsumsi produk perikanan masyarakat di Pulau Sumatera yang relatif tinggi. 8

16 Tabel 2. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Sumatera TE TE Produksi TE Impor TE konsumsi Ekspor (TE total ) (BK) Pertanian Surplus Peternakan Surplus Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan Terbangun TOTAL Surplus Gambar 1. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Provinsi di Pulau Sumatera 9

17 B. Hasil Analisis Telapak Ekologis Pulau Sulawesi Dari hasil analisis perhitungan, menunjukkan bahwa daya dukung Pulau Sulawesi sebagai penyedia sumber daya penghasil produk pertanian, produk peternakan, dan produk kehutanan masih dalam keadaan surplus, sedangkan untuk penghasil produk perikanan telah mengalami defisit. Pada umumnya, masyarakat yang tinggal di Pulau Sulawesi memiliki konsumsi yang besar terhadap produk perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai telapak ekologis komponen lahan perikanan yang cukup tinggi yaitu gha. Dari Tabel 3 dapat diketahui, komponen lahan perikanan di Pulau Sulawesi memiliki nilai telapak ekologis yang jauh melebihi biokapasitasnya. Dapat diartikan bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan di Pulau Sulawesi sangat tinggi atau telah terjadi penangkapan ikan berlebih (over fishing) di wilayah perairan Pulau Sulawesi. Untuk komponen lahan kehutanan, perbandingan antara nilai biokapasitas dengan nilai telapak ekologis menunjukkan hasil yang paling tinggi bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Jika dilihat dari Gambar 2, biokapasitas komponen lahan kehutanan untuk seluruh provinsi di Pulau Sulawesi mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan telapak ekologisnya. Salah satu penyumbang tingginya biokapasitas komponen lahan kehutanan adalah nilai biokapasitas di Provinsi Sulawesi Tengah, hal ini dikarenakan keberadaan Taman Nasional Lore Lindu yang dijadikan sebagai lokasi perlindungan hayati dan pelestarian ekosistem di Pulau Sulawesi. Tingginya nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian berasal dari sumbangan nilai telapak ekologis produksi. Hal ini menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat Pulau Sulawesi yang tinggi terhadap produk pertanian. Meskipun demikian, nilai biokapasitas komponen lahan pertanian masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya, oleh karenanya sumber daya untuk menghasilkan produk pertanian masih dalam keadaan surplus. 10

18 Tabel 3. Perhitungan Telapak Ekologis & Pulau Sulawesi TE TE Produksi TE Impor TE konsumsi Ekspor (TE total ) (BK) Pertanian Surplus Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus TE TE BK BK TE TE BK BK TE TE BK BK TE TE BK BK TE TE BK BK TE TE BK BK Gambar 2. Perbandingan Telapak Ekologis & per Provinsi di Pulau Sulawesi 11

19 C. Hasil Analisis Perhitungan Telapak Ekologis Pulau Bali Secara umum, daya dukung Pulau Bali sebagai penyedia sumber daya telah mengalami defisit, hal ini ditunjukkan dengan nilai telapak ekologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai biokapasitas di seluruh kategori lahan. Pulau Bali merupakan daerah tujuan wisata, baik domestik maupun mancanegara. Banyaknya pendatang dan wisatawan menjadikan Pulau Bali sebagai daerah dengan konsumsi masyarakat yang cukup besar dibandingkan dengan konsumsi penduduk Indonesia pada umumnya. Nilai telapak ekologis terbesar adalah komponen lahan penyerap karbon sebesar gha, kemudiaan diikuti oleh lahan pertanian gha, dan lahan perikanan gha. Besarnya nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian tidak diimbangi dengan biokapasitasnya. Hal ini berarti bahwa tingkat konsumsi produk pertanian di Pulau Bali sangat besar dan daya dukung wilayah sebagai penyedia sumber dayanya telah terlampaui. Melalui hasil analisis ini, dapat diinformasikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam di Pulau Bali guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya telah melampaui daya dukung wilayahnya. Tabel 4. Perhitungan Telapak Ekologis dan Pulau Bali TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian Defisit Peternakan Defisit Kehutanan Defisit Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit 12

20 TE Bali BK Gambar 3. Perbandingan Telapak Ekologis & per Provinsi di Pulau Bali D. Hasil Analisis Perhitungan Telapak Ekologis Kepulauan Nusa Tenggara Secara umum, daya dukung Kepulauan Nusa Tenggara sebagai penyedia sumber daya penghasil produk pertanian dan perikanan telah mengalami defisit, sedangkan untuk penghasil produk peternakan dan kehutanan masih dalam kondisi surplus. Keadaan seperti kondisi tersebut di atas juga terjadi di kedua provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara yaitu provinsi Nusa Tenggara Barat dan provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepulauan Nusa Tenggara merupakan salah satu dari beberapa pulau di Indonesia yang memiliki potensi berupa hasil pertanian. Potensi tersebut dapat dilihat dari nilai telapak ekologis di Kepulauan Nusa Tenggara yang tertinggi ada pada komponen lahan pertanian. Nilai yang tinggi ini berasal dari sumbangan nilai telapak ekologis produksi yang ternyata paling tinggi dibandingkan komponen yang lain. Meskipun demikian, potensi sektor pertanian yang besar tidak diimbangi dengan kapasitas alamnya (nilai biokapasitas lebih rendah dibandingkan nilai telapak ekologis). Sama halnya dengan komponen lahan perikanan yang nilai biokapasitasnya lebih rendah dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya. Dalam hal ini, upaya pemanfaatan sumber daya alam sebagai penyedia produk pertanian dan produk perikanan perlu dilakukan secara bijaksana, sehingga upaya pemenuhan kebutuhan produk pertanian dan produk perikanan bagi masyarakat Kepulauan Nusa Tenggara dapat tercapai dan berkelanjutan untuk generasi yang akan datang. 13

21 Nilai biokapasitas yang paling tinggi terdapat pada komponen lahan peternakan. Hal ini menunjukkan bahwa Kepulauan Nusa Tenggara memiliki kapasitas alam yang tinggi sebagai penyedia produk peternakan (Tabel 5). Nilai biokapasitas komponen lahan peternakan ini, menunjukkan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan komponen lain untuk kedua provinsi (NTB dan NTT). Namun demikian, kapasitas alam (supply) sebagai penyedia produk peternakan di Provinsi NTT telah dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan permintaan (demand) masyarakatnya, sedangkan di Provinsi NTB ketersediaan kapasitas alamnya belum dimanfaatkan secara optimal atau tidak banyaknya permintaan masyarakat terhadap produk peternakan (ditunjukkan dengan nilai telapak ekologis komponen lahan peternakan pada Gambar 4). Begitu juga dengan komponen lahan kehutanan, nilai biokapasitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya. Hal ini menunjukkan bahwa Kepulauan Nusa Tenggara masih memiliki kapasitas alam untuk menghasilkan produk kehutanan. Tabel 5. Perhitungan Telapak Ekologis dan Kepulauan Nusa Tenggara TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian Defisit Peternakan Surplus Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus 14

22 TE BK TE BK NTB NTT Gambar 4. Perbandingan Telapak Ekologis & per Provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara E. Hasil Analisis Perhitungan Telapak Ekologis Kepulauan Maluku Dari hasil analisis perhitungan, menunjukkan bahwa daya dukung Kepulauan Maluku sebagai penyedia sumber daya penghasil produk pertanian dan perikanan telah mengalami defisit, sedangkan daya dukung sebagai penyedia sumber daya penghasil produk kehutanan masih surplus. Namun demikian, secara total nilai biokapasitas ( gha) dan nilai telapak ekologis ( gha) Kepulauan Maluku mempunyai nilai yang sudah tidak berbeda jauh (tidak signifikan). Ditinjau dari posisi geografis, Kepulauan Maluku yang terletak di tepian Pasifik memiliki posisi yang sangat strategis. Posisi strategis ini merupakan peluang untuk pengembangan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Pemanfaatan peluang pengembangan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara akan lebih berarti, karena kedua provinsi tersebut memiliki potensi sumber daya alam kelautan. 15

23 Produksi perikanan laut maupun perikanan darat yang melimpah menjadikan telapak ekologis konsumsi komponen lahan perikanan di Kepulauan Maluku mempunyai nilai paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai telapak ekologis produksi komponen lahan perikanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Namun demikian, nilai telapak ekologis komponen perikanan telah melebihi nilai biokapasitasnya, hal ini berarti pemanfaatan sumber dayanya telah melebihi kapasitas sumber daya perikanan yang ada. Kepulauan Maluku juga memiliki potensi sumber daya alam melimpah yang menjadi penyumbang perekonomian terbesar yaitu sumber daya pertanian. Hal ini juga diperlihatkan dengan nilai telapak ekologis produksi yang tinggi untuk komponen lahan pertanian. Sama halnya dengan komponen lahan perikanan, nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan nilai biokapasitasnya, meskipun nilainya sudah tidak berbeda jauh. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya pertanian telah melebihi kapasitas penyedianya. Surplusnya daya dukung Kepulauan Maluku terhadap penyedia sumber daya kehutanan, ditunjukkan dengan nilai biokapasitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya. Tingginya biokapasitas komponen lahan kehutanan berasal dari nilai biokapasitas di Provinsi Maluku Utara (Gambar 5). Dalam hal ini, sumber daya alam hutan di Kepulauan Maluku mempunyai potensi yang besar untuk menghasilkan produk kehutanan dan dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakatnya, namun dalam pemanfaatannya tetap harus memperhatikan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagai upaya untuk mencapai keberlanjutan. 16

24 Tabel 6. Perhitungan Telapak Ekologis dan Kepulauan Maluku TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus TE BK TE BK Maluku Maluku Utara Gambar 5. Perbandingan Telapak Ekologis & per Provinsi di Kepulauan Maluku 17

25 F. Hasil Analisis Perhitungan Telapak Ekologis Pulau Papua Jika dilihat pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa seluruh daya dukung sumber daya Pulau Papua sebagai penyedia produk pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih surplus, sehingga secara total daya dukung Pulau Papua masih dalam kondisi surplus yaitu gha. Meskipun demikian dalam pemanfaatannya tetap harus memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan lingkungan. Dari hasil perhitungan biokapasitas total Pulau Papua, dapat dilihat juga bahwa kemampuan daya dukung wilayah untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia tinggi, khususnya sumber daya pertanian dan sumber daya kehutanan. Pulau Papua secara umum mampu mendukung kebutuhan masyarakatnya sendiri, hal ini tercermin dari nilai telapak ekologis produksi di semua komponen yang tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologis impor, khususnya berasal dari komponen lahan pertanian yang mempunyai nilai telapak ekologis paling tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa konsumsi masyarakat di Pulau Papua dapat terpenuhi oleh produksi lokal. Salah satu penyebab tingginya nilai biokapasitas komponen lahan kehutanan adalah kondisi geografis Pulau Papua yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan. Hal ini menunjukkan, potensi yang besar pada sumber daya hutan. Selain nilai biokapasitas komponen lahan kehutanan yang tinggi, nilai biokapasitas untuk komponen lahan pertanian juga sangat tinggi. Besarnya biokapasitas lahan pertanian di Pulau Papua masih memungkinkan untuk meningkatkan produksi pertanian dengan berbagai teknologi, sehingga eksploitasi sumber daya alam tidak hanya di sektor kehutanan saja mengingat regenerasi tanaman hutan membutuhkan waktu yang cukup lama. 18

26 Tabel 7. Perhitungan Telapak Ekologis dan Pulau Papua TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian Surplus Peternakan Surplus Kehutanan Surplus Perikanan Surplus Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus TE BK TE BK Papua Barat Papua Gambar 6. Perbandingan Telapak Ekologis & per Provinsi di Pulau Papua 19

27 G. Hasil Analisis Telapak Ekologis Pulau Jawa Secara keseluruhan daya dukung masing masing provinsi di Pulau Jawa telah mengalami defisit (nilai biokapasitas lebih rendah dibandingkan nilai telapak ekologis). Sektor pertanian menjadi sektor andalan sekaligus menjadi kontribusi telapak ekologis terbesar diantara komponen lainnya. Nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian yang paling tinggi ada di Provinsi Jawa Tengah. Daya dukung Pulau Jawa sebagai penyedia sumber daya penghasil produk kehutanan yang masih surplus terdapat pada Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan untuk komponen lahan perikanan di seluruh Provinsi daya dukungnya telah mengalami defisit. Nilai telapak ekologis lahan penyerap karbon di Provinsi DKI Jakarta paling tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa, yang kemudian diikuti Provinsi Jawa Timur. Data perhitungan telapak ekologis dan biokapasitas Pulau Jawa disajikan dalam tabel per provinsi. Tabel 8. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi DKI Jakarta TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Defisit Peternakan Surplus Kehutanan Defisit Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit 20

28 Daya dukung Provinsi DKI Jakarta telah mengalami defisit, terlihat dari nilai telapak ekologisnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai biokapasitasnya. Ketergantungan konsumsi penduduk DKI Jakarta terhadap provinsi lain sangat tinggi, terutama pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Dari seluruh nilai telapak ekologis di Provinsi DKI Jakarta, nilai telapak ekologis komponen lahan penyerap karbon paling tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Hal ini dikarenakan pola konsumsi penggunaan energi yang tinggi oleh masyarakat Provinsi DKI Jakarta maupun sekitarnya, seperti pada sektor transportasi dan sektor industri. Tabel 9. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Banten TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Surplus Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit Berbeda dengan provinsi lainnya, nilai biokapasitas komponen lahan pertanian di Provinsi Banten masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya. Begitu juga dengan komponen lahan kehutanan, nilai biokapasitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya meskipun tidak terlalu signifikan perbedaannya. Hal ini menunjukkan pola konsumsi yang cenderung lebih hemat pada masyarakat di Provinsi Banten jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa dan Provinsi Banten memiliki potensi yang tinggi di sektor pertanian namun belum dimanfaatkan ataupun tidak termanfaatkan dengan baik. 21

29 Tabel 10. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Barat TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit Jika melihat Tabel 10, daya dukung Provinsi Jawa Barat yang masih mengalami surplus hanya terdapat pada sumber daya penyedia produk kehutanan. Hal ini dikarenakan dengan keberadaan kawasan hutan di beberapa dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat. Meskipun demikian, keberadaan kawasan hutan tersebut seharusnya dapat dipertahankan. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian khusus, karena posisi/letak Provinsi Jawa Barat yang menjadi daerah hulu di kawasan strategis Jabodetabekpunjur, sehingga menjadi daerah resapan air yang secara ekologis mempunyai fungsi untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif terjadinya banjir maupun tanah longsor. Untuk komponen lahan pertanian dan komponen lahan perikanan, daya dukung Provinsi Jawa Barat terhadap penyedia sumber daya penghasil produk pertanian dan produk perikanan telah mengalami defisit. Nilai telapak ekologis untuk komponen lahan pertanian Provinsi Jawa Barat terdapat di urutan kedua tertinggi di Pulau Jawa. 22

30 Tabel 11. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Tengah TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit Sama halnya dengan Provinsi Jawa Barat, daya dukung di Provinsi Jawa Tengah yang telah defisit adalah untuk komponen lahan pertanian dan lahan perikanan. Sedangkan yang masih surplus, terdapat pada komponen lahan peternakan dan lahan kehutanan. Nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian menjadi kontribusi terbesar untuk nilai telapak ekologis secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang cenderung masih relatif boros di Provinsi Jawa Tengah maupun di luar provinsi terhadap penggunaan produk pertanian, serta kurangnya pertimbangan terhadap kemampuan/kapasitas alam dalam menyediakannya. Untuk komponen lahan kehutanan yang masih surplus, ditunjukkan dengan nilai biokapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya, meskipun demikian nilainya tidak terlalu berbeda jauh (tidak signifikan). 23

31 Tabel 12. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Jawa Timur TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan , Defisit Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit Dalam Tabel 12 dapat diketahui bahwa hampir seluruh komponen penggunaan lahan di Provinsi Jawa Timur telah mengalami defisit. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai telapak ekologis dibandingkan dengan nilai biokapasitasnya. Berbeda dengan provinsi provinsi lain di Pulau Jawa dimana nilai telapak ekologis tertinggi pada komponen lahan pertanian, telapak ekologis di Provinsi Jawa Timur paling tinggi berasal dari komponen lahan penyerap karbon. Hal ini menggambarkan kota kota di Jawa Timur cenderung lebih boros dalam penggunaan energi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Begitu juga untuk komponen daya dukung wilayah lainnya, yaitu penggunaan lahan pertanian, lahan kehutanan, dan lahan perikanan telah mengalami defisit terhadap penyediaan sumber daya penghasil produk pada lahan tersebut. Hal ini menunjukkan pola konsumsi atau kebutuhan terhadap produk pertanian, produk kehutanan, dan produk perikanan masyarakat Provinsi Jawa Timur yang relatif tinggi dibandingkan dengan kemampuan/kapasitas alam menyediakannya. 24

32 Tabel 13. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi DI Yogyakarta TE Konsumsi (TE total ) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan Defisit Perikanan Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Defisit Sama halnya dengan Provinsi Jawa Timur, hampir seluruh daya dukung Provinsi DI Yogyakarta sebagai penyedia sumber daya telah mengalami defisit. Nilai telapak ekologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai biokapasitasnya pada lahan pertanian, lahan perikanan, dan lahan kehutanan, menggambarkan pola konsumsi/kebutuhan yang lebih tinggi pada penggunaan lahan lahan tersebut dibandingkan dengan ketersediannya. H. Hasil Analisis Telapak Ekologis di Pulau Kalimantan Secara keseluruhan, nilai biokapasitas seluruh provinsi di Pulau Kalimantan masih memiliki nilai yang tinggi dibandingkan nilai telapak ekologisnya. Hampir di semua provinsi, komponen penggunaan lahan kehutanan memiliki nilai biokapasitas yang tinggi, kecuali di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berada di posisi pertama dan kedua terbesar. Pulau Kalimantan adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang mempunyai kawasan hutan yang relatif cukup luas. Salah satu faktor penyebab tingginya nilai biokapasitas adalah masih luasnya kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya serta hutan produksi yang telah direboisasi, sehingga dapat menambah nilai produksi hasil kehutanan secara maksimal. 25

33 Untuk nilai biokapasitas komponen lahan pertanian yang tertinggi di Pulau Kalimantan berada di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini menunjukkan potensi sumber daya alam yang besar untuk sektor pertanian, meskipun demikian hasil perhitungan telapak ekologisnya relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya untuk menghasilkan produk pertanian belum dilakukan secara optimal. Data perhitungan telapak ekologis dan biokapasitas di Pulau Kalimantan disajikan dalam tabel per provinsi. Tabel 14. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Barat TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian , Peternakan Kehutanan Perikanan Surplus Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus Secara umum, daya dukung Provinsi Kalimantan Barat sebagai penyedia sumber daya untuk produk peternakan, produk kehutanan, dan produk perikanan masih dalam kondisi surplus. Dari semua komponen, nilai biokapasitas yang tertinggi terdapat pada komponen lahan peternakan. Hal ini menunjukkan kapasitas alam sebagai penghasil produk peternakan masih relatif tinggi. Untuk nilai telapak ekologis yang tertinggi berasal pada komponen lahan pertanian, dengan kontribusi terbesar berasal dari nilai telapak ekologis produksi. 26

34 Tabel 15. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Tengah TE TE Produksi TE Impor TE konsumsi Ekspor (TE total ) (BK) Pertanian Surplus Peternakan Surplus Kehutanan Perikanan ,019 Defisit Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus Secara total, daya dukung Provinsi Kalimantan Tengah sebagai penyedia sumber daya masih dalam kondisi surplus. Sementara untuk per komponen penggunaan lahan, kondisi surplus terdapat pada komponen pertanian, komponen peternakan, dan komponen kehutanan. Tingginya nilai biokapasitas komponen kehutanan dibandingkan komponen lain, salah satunya disebabkan oleh kawasan hutan yang dipertahankan keberadaannya, yang dianalisis sebagai penghasil produk kehutanan. Nilai biokapasitas komponen lahan pertanian berada di urutan kedua terbesar setelah komponen lahan kehutanan. Hal ini menggambarkan besarnya potensi di sektor pertanian. Meskipun demikian, masyarakatnya masih belum memanfaatkan secara optimal sumber daya penghasil produk pertanian atau minimnya permintaan masyarakat terhadap produk pertanian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai telapak ekologis yang sangat jauh di bawah kapasitas alam menyediakannya (Tabel 15). Untuk nilai telapak ekologis komponen lahan perikanan mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan komponen lainnya di Provinsi Kalimantan Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat terhadap produk perikanan yang relatif tinggi. 27

35 Tabel 16. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Selatan Pertanian Peternakan Kehutanan Perikanan Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Defisit Surplus Berbeda dengan Provinsi Kalimantan Tengah, nilai telapak ekologis komponen lahan pertanian di Kalimantan Selatan yang tinggi tidak diimbangi dengan nilai biokapasitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan masyarakat terhadap produk pertanian dan pola konsumsi masyarakatnya relatif besar. Jika dilihat secara total pada Tabel 16, daya dukung Provinsi Kalimantan Selatan masih dalam kondisi surplus. Sama halnya dengan Provinsi Kalimantan Tengah, nilai biokapasitas komponen lahan kehutanan lebih tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Nilai telapak ekologis lahan penyerap karbon yang besar di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu gha, dikarenakan sumbangan telapak ekologis impornya. Tingginya nilai ini dikarenakan pola konsumsi energi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan transportasi dalam mendatangkan produk pertanian (impor). Hal ini diindikasikan oleh tingginya nilai telapak ekologis impor untuk komponen lahan pertanian Provinsi Kalimantan Selatan. 28

36 Tabel 17. Perhitungan Telapak Ekologis & Provinsi Kalimantan Timur TE Produksi TE Impor TE Ekspor TE konsumsi (TE total ) (BK) Pertanian Defisit Peternakan Kehutanan Surplus Perikanan Penyerap Karbon Lahan terbangun TOTAL Surplus Sama halnya dengan provinsi lain di Pulau Kalimantan, daya dukung terhadap penyedia sumber daya adalah masih dalam kondisi surplus. Namun demikian, daya dukung Provinsi Kalimantan Timur sebagai penyedia sumber daya penghasil produk pertanian sudah mengalami defisit. Nilai telapak ekologis tertinggi pertama dan kedua berada pada komponen lahan pertanian dan komponen lahan peternakan. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan dan pola konsumsi masyarakat terhadap produk pertanian dan produk peternakan adalah relatif tinggi. Nilai biokapasitas tertinggi bila dibandingkan dengan komponen lahan lainnya adalah komponen lahan kehutanan. 29

37 I. Hasil Analisis Telapak Ekologis di Indonesia Tabel 18. Perhitungan Telapak Ekologis dan Indonesia Tahun 2007 Penggunaan Lahan [gha] TE Produksi TE Impor TE Ekspor [gha/ orang] [gha] [gha/ orang] [gha] [gha/ orang] [gha] TE konsumsi (TEtotal) [gha/ orang] [gha] [gha/ orang] Pertanian , , , , ,35 0,00 Peternakan 0 0, , , , ,07 0,07 Kehutanan , , , , ,21 0,16 Perikanan , , , , ,44 0,26 Penyerap Karbon , , , ,43 0 0,00-0,43 Lahan terbangun , , ,00-0,05 TOTAL , , , , ,12 0,05 Dari Tabel 18 yang menampilkan hasil perhitungan telapak ekologis dan biokapasitas Indonesia per komponen, dapat dilihat daya dukung wilayah Indonesia (selisih antara biokapasitas dan telapak ekologis) yang masih surplus adalah lahan peternakan, lahan kehutanan, dan lahan perikanan. Komponen yang menunjukkan nilai paling tinggi adalah lahan perikanan (0,26 gha/orang). Tingginya biokapasitas lahan perikanan dikarenakan secara geografis wilayah di Indonesia merupakan wilayah kepulauan dan memiliki perairan yang luas dengan potensi sumber daya perikanan yang melimpah dan beragam. Untuk komponen penggunaan lahan pertanian, perbandingan antara nilai telapak ekologis dan nilai biokapasitasnya memiliki nilai yang sama yaitu 0,35 gha/orang. Hal ini menunjukkan permintaan masyarakat terhadap produk pertanian dan kapasitas alam sebagai penyedia sumber daya untuk penghasil produk pertanian adalah sama. 30

38 Daya dukung wilayah Indonesia untuk penyedia sumber daya hutan berada pada urutan kedua, yaitu 0,16 gha/orang (setelah lahan perikanan). Sumber daya hutan di Indonesia merupakan kawasan yang mempunyai 2 (dua) fungsi yang saling bertolak belakang, selain menjadi lokasi pelestarian lingkungan dan perlindungan ekositem, sebagian kawasan hutan juga dijadikan lokasi berbagai macam bentuk kegiatan di luar non kehutanan, seperti: perkebunan, pertanian, permukiman, pertambangan, dan lain sebagainya. Hal ini yang nantinya menggambarkan bahwa kapasitas alam sumber daya hutan lambat laun semakin berkurang. Meskipun demikian, perbandingan antara nilai biokapasitas dan nilai telapak ekologis komponen ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Dapat dikatakan, dalam pemanfaatan sumber daya hutan, masyarakat Indonesia masih memperhatikan fungsi kawasan hutan sebagai kawasan untuk pelestarian lingkungan dan perlindungan ekosistem. (gha/orang) Telapak Ekologis Gambar 7. Perbandingan Telapak Ekologis dan per Komponen Indonesia Tahun

39 Sedangkan daya dukung yang telah mengalami defisit adalah pada lahan penyerap karbon dan lahan terbangun. Untuk kedua komponen tersebut, tingginya nilai telapak ekologis total dikarenakan sumbangan dari nilai telapak ekologis produksi. Salah satu penyebab tingginya telapak ekologis pada komponen penggunaan lahan untuk lahan penyerap karbon adalah nilai telapak ekologis produksi lahan penyerap karbon yang tinggi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Hal yang menjadi faktor penyebabnya antara lain: banyaknya penggunaan kendaraan pribadi yang beremisi tinggi, banyak pengelola perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet yang tidak mengelola limbahnya dengan baik, banyaknya alih fungsi lahan kawasan hutan (seperti: hutan rawa/hutan gambut dan hutan mangrove) untuk dijadikan penggunaan lahan lainnya seperti pertanian, perkebunan, maupun lahan terbangun, serta lahan untuk aktivitas industri. Tabel 19. Rekapitulasi Perhitungan Telapak Ekologis dan per Kapita Pulau pulau di Indonesia Tahun 2007 PULAU/ KEPULAUAN TE (gha/orang) BK (gha/orang) ED (gha/orang) Kategori Sumatera Surplus Jawa Defisit Bali Defisit Kalimantan Surplus Sulawesi Surplus Nusa Tenggara Surplus Maluku Surplus Papua Surplus Indonesia 1,07 1,12 0,05 Surplus 32

Arahan Optimasi Penggunaan Lahan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik

Arahan Optimasi Penggunaan Lahan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Arahan Optimasi Penggunaan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik Achmad Ghozali, Putu Gde Ariastita 2 Prodi

Lebih terperinci

Arahan Penggunaan Lahan di Kota Batu Berdasarkan Pendekatan Telapak Ekologis

Arahan Penggunaan Lahan di Kota Batu Berdasarkan Pendekatan Telapak Ekologis JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1 Aran Penggunaan Lan di Kota Batu Berdasarkan Pendekatan Telapak Ekologis Trilia Viska K., Putu Gde Ariastita Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

TATA RUANG LAHAN GAMBUT

TATA RUANG LAHAN GAMBUT TATA RUANG LAHAN GAMBUT STUDI KASUS : PERATURAN PRESIDEN TENTANG RENCANA TATA RUANG PULAU KALIMANTAN (Per pres No.3 Tahun 2012) Jakarta, 13 Februari 2012 Kementerian Pekerjaan Umum Bersama Menata 1 Ruang

Lebih terperinci

TATA LOKA VOLUME 19 NOMOR 1, FEBRUARI 2017, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP P ISSN E ISSN

TATA LOKA VOLUME 19 NOMOR 1, FEBRUARI 2017, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP P ISSN E ISSN TATA LOKA VOLUME 19 NOMOR 1, FEBRUARI 2017, 68-81 2017 BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP P ISSN 0852-7458- E ISSN 2356-0266 T A T A L O K A ANALISIS TAPAK EKOLOGI UNTUK ARAHAN PEMANFAATAN RUANG PULAU LOMBOK

Lebih terperinci

Trilia Viska Kusumawardani Nrp Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita ST. MT.

Trilia Viska Kusumawardani Nrp Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita ST. MT. Trilia Viska Kusumawardani Nrp. 36 08 100 047 Dosen Pembimbing Putu Gde Ariastita ST. MT. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Sasaran Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Kerangka Pemikiran Peran dan

Lebih terperinci

Arahan Optimasi Penggunaan Lahan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik

Arahan Optimasi Penggunaan Lahan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN Volume 1 Nomor 1, Juni 2013, 67-78 Arahan Optimasi Penggunaan Lahan Melalui Pendekatan Telapak Ekologis di Kabupaten Gresik Achmad Ghozali 1 Prodi Perencanaan Wilayah dan

Lebih terperinci

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK

OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN MELALUI PENDEKATAN TELAPAK EKOLOGIS DI KABUPATEN GRESIK Oleh : Achmad Ghozali 36 09 100 048 Dosen Pembimbing : Putu Gde Ariastita, ST., MT Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas

Lebih terperinci

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI

EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI PENERAPAN EVALUASI DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DI DAERAH ERNAN RUSTIADI Pengertian Daya Dukung Kemampuan dari suatu sistem untuk mendukung (support) suatu aktivitas sampai pada level tertentu Pengertian Daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional)

Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) Geo Image 7 () (08) Geo Image (Spatial-Ecological-Regional) http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage Kajian Jejak Ekologis Kecamatan Mijen Kota Semarang Tahun 06 Oktavia Dewi Nur Indah Sari, Apik

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen daya dukung lingkungan dalam optimasi penggunaan lahan berdasarkan pendekatan telapak ekologis di Kabupaten Gresik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan setiap individu. Pangan merupakan sumber energi untuk memulai segala aktivitas. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun

Lebih terperinci

RINGKASAN UNTUK MEDIA

RINGKASAN UNTUK MEDIA LIVING PLANET REPORT 2012 RINGKASAN UNTUK MEDIA Living Planet Report 2012 adalah laporan berbasis analisis Ilmiah tentang kesehatan planet Bumi serta dampaknya terhadap aktivitas manusia. Latar Belakang

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik No.1048, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion. Norma. Standar. Prosedur. Kriteria. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL

PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL PENDEKATAN ASPEK LINGKUNGAN DALAM KEBIJAKAN PENATAAN RUANG NASIONAL Ir. Iman Soedradjat, MPM DIREKTUR PENATAAN RUANG NASIONAL disampaikan pada acara: SEMINAR NASIONAL PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DALAM PENATAAN

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang tiga per empat luas wilayahnya merupakan perairan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Panjang garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF Apakah Rencana Tata Ruang Pulau sudah sesuai dengan koridor ekonomi?, demikian pertanyaan ini diutarakan oleh Menko Perekonomian dalam rapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN V.1 POTENSI SUMBER DAYA ALAM Potensi lokal yang dominan adalah pertanian dan perkebunan, baik untuk konsumsi maupun perekonomian. Dengan asumsi bahwa sekian puluh tahun ke

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 31/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010 TUMBUH MENINGKAT 5,7 PERSEN Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Buah-buahan Lokal Buah-buahan lokal merupakan buah yang varietas tanamannya asli dari Indonesia dan ditanam oleh petani Indonesia terlepas dari nama dan varietasnya.

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil ribuan ton BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 167.669

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sektor ini memiliki share sebesar 14,9 % pada

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

JEJAK EKOLOGIS WILAYAH ALIRAN SUNGAI ENIM (Sebuah Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup) TESIS

JEJAK EKOLOGIS WILAYAH ALIRAN SUNGAI ENIM (Sebuah Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup) TESIS JEJAK EKOLOGIS WILAYAH ALIRAN SUNGAI ENIM (Sebuah Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup) TESIS Karya tulis sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh ABDEL

Lebih terperinci

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Desa Hijau. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desa Hijau Untuk Indonesia Hijau dan Sehat Direktorat Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs

Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan Hutan Tetap Lestari untuk Mendukung Pencapaian SDGs Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Seminar dengan tema Penentuan Kebutuhan

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 72/Permentan/OT.140/10/2011 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai wilayah dan kondisi tanahnya yang

Lebih terperinci

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013 OUTLINE I. PENDAHULUAN II. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN: anggaran atau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan kategori bisnis berskala kecil menengah yang dipercaya mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia,

Lebih terperinci

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat.

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat. 37 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang menjabarkan pembangunan sesuai dengan kondisi, potensi dan kemampuan suatu daerah tersebut.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini dunia sedang dilanda krisis Energi terutama energi fosil seperti minyak, batubara dan lainnya yang sudah semakin habis tidak terkecuali Indonesia pun kena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS UNTUK EKOSISTEM TERPADU RIMBA ASISTEN DEPUTI KAJIAN KEBIJAKAN WILAYAH DAN SEKTOR KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU

IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV. INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU IV.1. Izin Usaha Industri Primer Hasil Kayu Industri Primer Hasil Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci