BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR"

Transkripsi

1 7 BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR Bagian pertama dari sistem LIDAR adalah Global Positioning System (GPS). Fungsi dari GPS adalah untuk menentukan posisi (X,Y,Z atau L,B,h) wahana terbang terhadap sistem referensi tertentu ketika melakukan survey LIDAR. Untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang relatif tinggi (hingga level centimeter) penentuan posisi dengan GPS dilakukan secara diferesial dengan menggunakan data fase. 2.1 Global Positioning System Global Positioning System (GPS) adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS, singkatan dari Navigation Satellite Timing dan Ranging Global Positioning System. Sistem ini dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca. Sistem ini didisain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia. GPS terdiri atas 3 segmen utama, yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol (control-system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS. Ilutrasi 2.1 berikut menggambarkan tiga segmen utama GPS.

2 8 Download (L-band) Space Segment GPS Signal Upload (S-band) Control Segment User Segment Gambar 2.1 Tiga Segmen GPS [Abidin, 2007] Konfigurasi standar dari satelit GPS terdiri dari 24 satelit yang menempati 6 bidang orbit yang bentuknya sangat mendekati lingkaran, dengan eksentisitas orbit umumnya lebih kecil dari 0,02. Keenam bidang orbit satelit GPS mempunyai spasi sudut yang sama antar sesamanya. Meskipun demikian setiap orbit ditempati oleh 4 satelit dengan interval antaranya yang tidak sama. Jarak antar satelit diatur sedemikian rupa untuk memaksimalkan probabilitas kenampakan setidaknya empat buah satelit yang bergeometri, baik dari setiap tempat di permukaan bumi pada setiap saat. Orbit satelit GPS berinklinasi 55 derajat terhadap bidang ekuator dengan ketinggian ratarata dari permukaan bumi sekitar km. Satelit GPS bergerak dalam orbitnya dengan kecepatan kira-kira 3,87 km/ detik den mempunyai periode 11 jam dan 18 menit. Dengan adanya 24 satelit GPS yang mengangkasa tersebut, 4 sampai 10 satelit GPS akan selalu dapat diamati pada setiap waktu dari tempat manapun di permukaan bumi. 2.2 Data Pengamatan GPS Satelit GPS memancarkan sinyal-sinyal yang dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu:

3 9 informasi jarak (kode), informasi posisi satelit (navigation message), dan gelombang pembawa (carrier wave). Pada prinsipnya sinyal-sinyal GPS tersebut bertujuan untuk mengirimkan data tentang posisi satelit yang bersangkutan, jaraknya dari titik pengamat, serta informasi waktu. Sinyal GPS juga digunakan untuk menginformasikan kelaikgunaan satelit kepada pengamat, serta informasi-informasi pendukung lainnya seperti parameter untuk perhitungan koreksi jam satelit, parameter model ionosfer satu frekuensi, transformasi waktu GPS ke UTC, dan status konstelasi satelit. Penentuan jarak dari satelit ke receiver GPS dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: jarak kode (pseudorange) dan jarak fase (phase) dari gelombang pembawa. Masingmasing cara tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda Pseudorange Pseudorange adalah jarak semu antara satelit dengan receiver. Dinamakan jarak semu karena jarak yang didapatkan dari data kode ini masih dipengaruhi oleh kesalahan waktu (selisih waktu antara jam satelit dengan jam receiver). Prinsip pengamatan jarak pseudorange ini adalah mengukur beda waktu antara sinyal yang datang dari satelit dengan sinyal yang dibangkitkan dalam receiver. Perbedaan waktu tersebut dikalikan dengan kecepatan cahaya pada ruang hampa sehingga diperoleh jarak antara satelit dan receiver.

4 10 KODE YANG DATANG DARI SATELIT SATELIT RECEIVER REPLIKA KODE YANG DIBANGUN DI DALAM RECEIVER dt Gambar 2.2 Prinsip Penentuan Jarak Pseudorange [Abidin, 2007] Pada gambar 2.2 di atas terlihat bahwa terdapat ketidaksamaan antara kode yang datang dari satelit dengan kode yang dibangkitkan oleh receiver. Besarnya ketidaksamaan tersebut merupakan perbedaan waktu (t) antara sinyal yang datang dari satelit dengan sinyal yang dibangkitkan oleh receiver. Beda waktu tersebut merupakan waktu yang diperlukan oleh sinyal GPS untuk merambat dari satelit menuju receiver. Persamaan pengamatan matematik untuk pengamatan pseudorange (Abidin, 2007) adalah sebagai berikut : Δt = t r t s = (t r (gps) δ r ) (t s (gps) δ s ) (2.1) sehingga Δt = Δt (gps) + Δδ (2.2) dengan Δt (gps) = t r (gps) - t s (gps) dan Δδ = δ r δ s (2.3) Di mana: t r = waktu dari jam receiver

5 11 t s t r (gps) = waktu dari jam satelit = waktu GPS untuk jam receiver t s (gps) = waktu GPS untuk jam satelit δ r δ s Δt = bias waktu jam receiver terhadap waktu GPS = bias waktu jam satelit terhadap waktu GPS = selisih waktu dari jam receiver dan jam satelit Sehingga diperoleh persamaan jarak pseudorange sebagai berikut: R = c Δt = c Δt (gps) + c Δδ = ρ + c Δδ (2.4) Di mana ρ merupakan jarak geometrik antara satelit dengan receiver. Ada dua kode pseudo-random (PRN) noise yang digunakan sebagai pemberi informasi jarak, yaitu kode P (precise atau private) dan kode C/A (coarse acquisition atau clear access). Kode-kode ini merupakan suatu rangkaian kombinasi kode biner yang acak, sehingga dinamakan pseudo-random, seperti yang ditunjukkan pada gambar Kode-kode tersebut mempunyai struktur yang unik dan tertentu yang dibangun menggunakan suatu algoritma matematik tertentu. Pada dua kode PRN yang sama, susunan struktur hanya akan berimpit sekali saja. Suatu satelit GPS mempunyai struktur kode yang unik dan berbeda dengan satelit-satelit lainnya. Hal ini menyebabkan receiver GPS mampu mengenali dan membedakan sinyal-sinyal yang datang dari satelit-satelit yang berbeda.

6 Gelombang Pembawa (Fase) Setiap satelit GPS secara kontinyu memancarkan sinyal-sinyal gelombang pada dua frekuensi L-Band yang dinamakan L1dan L2. Sinyal L1 berfrekuensi mhz dengan panjang gelombang 19 cm, dan sinyal L2 berfrekuensi mhz dengan panjang gelombang 24.4 cm. Gelombang dua frekuensi disebut gelombang pembawa karena penjalarannya memodulasi kode-kode PRN. Gelombang L1 dimodulasi dengan kode P dan kode C/A serta pesan navigasi, sedangkan gelombang L2 dimodulasi dengan kode P dan pesan navigasi. Pada mulanya, gelombang pembawa hanya didesain untuk membawa data kode dan pesan navigasi dari satelit ke receiver. Tetapi data fase dari gelombang pembawa dapat digunakan untuk menentukan jarak geometrik dari pengamat ke satelit. Bahkan untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang tinggi (orde cm hingga mm) data fase harus digunakan karena pada dasarnya jarak fase akan jauh lebih teliti dibandingkan dengan pseudorange. Prinsip penggunaan data fase dari gelombang pembawa pada dasarnya adalah mengukur beda fase antara fase gelombang pembawa yang dipancarkan oleh satelit dengan fase dari sinyal yang dibangkitkan oleh oscilator receiver. Proses penentuan jarak dengan data ukuran fase ditunjukkan oleh gambar 2.3.

7 13 t 1 Ukuran fase pada epok t 1 (fraksi gelombang) t 0 Satelit pengamat jumlah gelombang penuhyang diamati hasil ukuran fase total ( o ) pada epok t 1 jumlah gelombang penuh (N) yang tidak teramati (tidak diketahui). Disebut juga cycle ambiguity. Jarak dari pengamat ke satelit = panjang gelombang. ( o + N ) Gambar 2.3 Penentuan Jarak dari Pengamat ke Satelit dengan Data Fase [Abidin, 2007] Jika fase gelombang pembawa yang dipancarkan satelit adalah φ s (t) dengan frekuensi fs, serta fase gelombang yang dibangkitkan di receiver adalah φ r (t) dengan frekuensi f r, di mana t merupakan epok dalam sistem waktu GPS yang dihitung sejak epok awal T 0 = 0, maka akan didapatkan persamaan untuk masing-masing fase adalah (Hofmann- Wollenhof, 1992): φ s (t) = f s t f s (ρ/c) φ 0 s (2.5) φ r (t) = f r t f 0r Adanya fase awal φ 0 s dan φ 0r yang tidak sama dengan nol disebabkan oleh karena adanya bias waktu pada receiver dan satelit yang besarnya adalah: φ 0 s = f s δ s (2.6) φ 0r = f r δ r Maka fase beat φ s r (t) antara kedua fase pada persamaan (2.5) tersebut memberikan hasil sebagai berikut: φ s r (t) = φ s (t) - φ r (t) φ s r (t) = (f s f r )t - f s (ρ/c) f s δ s + f r δ r (2.7)

8 14 Besar simpangan yang ada pada frekuensi fs dan fr dari frekuensi dasar f hanya dalam skala kecil saja sehingga: f s f r f (2.8) dengan demikian persamaan (2.7) dapat ditulis menjadi: φ s r (t) = - f s (ρ/c) fδδ (2.9) dimana seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Δδ = δ s - δ r Ketika receiver mengamati sinyal pada epok t 0, sejak saat itu dilakukan pengukuran terhadap fase beat fraksional (perbedaan antara gelombang yang dipancarkan oleh satelit dengan replika gelombang yang dibangkitkan oleh receiver), dan pada pengamatan awal tersebut bilangan bulat N (yang merupakan kelipatan gelombang) antara satelit dengan receiver tidaklah dapat ditentukan nilainya. Tetapi jika sepanjang receiver dapat mengamati sinyal secara kontinyu, nilai dari bilangan bulat N tersebut, yang dikenal sebagai ambiguitas fase, harganya tetap sehingga dapat ditentukan sebagai salah satu parameter pada saat dilakukan pengolahan data. Maka selanjutnya fase beat pada epok t dapat dituliskan sebagai berikut: φ s r (t) = Δ φ s r t t0 + N (2.10) Di mana φ s r merupakan fraksi gelombang yang diukur pada epok t ditambah dengan jumlah gelombang penuh yang diamati sejak epok t 0.

9 ΔФ 1 ΔФ 2 15 t 1 t 2 ΔФ i =Fr(Ф(t i ) + Int (Ф;t o,t i ) GPS Orbit t 3 ΔФ 3 N(t o ) N(t o ) N(t o ) GPS Receiver Hasil ukuran fase pada setiap epok : Ф(t i ) = Fr(Ф(t i )) + Int (Ф;t o,t i ) + N (t o ) = N(t o ) + Δ Ф Gambar 2.4 Interpretasi Geometrik Jarak Fase [Abidin, 2007] Interpretasi geometrik dari persamaan (2.10) dapat dilihat pada Gambar 2.6 dimana Δ φ r s t t0 diwakili oleh notasi Δ φi (i = 1,2) dan untuk penyederhanaan Δ φ0 diasumsikan bernilai nol. Dengan melakukan substitusi persamaan (2.10) pada persamaan (2.9) serta menyatakan Ф = Δφ r s, maka dihasilkan jarak fase pseudorange dalam satuan cycle sebagai berikut: ρ c Φ = + δ + N λ λ (2.11) Jika persamaan (2.11) dikalikan dengan panjang gelombang λ, maka akan didapatkan persamaan dalam satuan panjang. Di mana ρ merupakan jarak antara satelit pada saat dipancarkan sinyal (t), dan receiver pada saat penerimaan (t + Δt).

10 Penentuan posisi dengan GPS Survey dengan GPS menurut cara penentuan posisinya terbagi menjadi dua, yaitu: penentuan posisi titik tunggal (absolute positioning), dan penentuan posisi secara diferensial (differential positioning). Penentuan posisi tunggal adalah penentuan posisi dengan menggunakan satu buat receiver GPS, di mana posisi tersebut relatif terhadap posisi satelit. Sedangkan penentuan posisi secara diferensial adalah penentuan posisi suatu titik yang ditentukan berdasarkan titik lain yang telah diketahui koordinatnya. Oleh karena itu penentuan posisi diferensial membutuhkan setidaknya dua buah receiver GPS. Penentuan posisi secara diferensial akan memberikan ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penentuan posisi secara absolut, karena pada pengamatan diferensial beberapa kesalahan pengamatan akan tereliminir. Berdasarkan keadaan titik yang akan diamati, survey GPS dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: statik dan kinematik. Dalam survey statik, titik yang diamati berada dalam keadaan diam (statik), sedangkan pada survey kinematik, titik yang akan diamati dalam keadaan bergerak secara kontinyu. Berdasarkan aplikasinya, penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi berdasarkan dua kategori, yaitu survey dan navigasi, seperti yang terlihat pada gambar 2.5 di bawah ini.

11 17 PENENTUAN POSISI DENGAN GPS SURVEY NAVIGASI ABSOLUT DIFERENSIAL DIFERENSIAL ABSOLUT POST-PROCESSING REAL-TIME STATIK STOP AND GO JARAK FASE (RTK) PSEUDORANGE (DGPS) PSEUDO-KINEMATIC STATIK SINGKAT KINEMATIK Gambar 2.5 Metode Penentuan Posisi dengan GPS [Abidin, 2007] Pada pengamatan dengan GPS, ketelitian posisi yang didapatkan memiliki selang yang cukup luas, dari orde milimeter hingga orde meter, seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.6 berikut ini. ABSOLUTE POSITIONING Standart Positioning Service (for civilians) Precise Positioning Service (for military and authorized users) 5 m 10 m DIFFERENTIAL POSITIONING 1 m 3 m Differential code Carrier-smoothed code 5 cm Ambiguity-resolved carrier phase 3 mm Static survey (carrier phase) 1 mm 1 cm 1 m 10 m Gambar 2.6 Spektrum ketelitian posisi GPS [ Abidin, 2007]

12 18 Ketelitian posisi yang didapat dari pengukuran GPS bergantung pada empat faktor yaitu : metode penentuan posisi yang digunakan, geometri dan distribusi satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan, serta strategi pengolahan data yang diterapkan. Pada survey airborne LIDAR, metode penenetuan posisi dengan GPS yang digunakan adalah metode differensial kinematik dengan menggunakan data fase. Sehingga ketelitian yang diharapkan adalah pada level centimeter. 2.4 Kesalahan dan Bias pada Pengamatan GPS Dalam pengamatan GPS akan selalu dihinggapi oleh beberapa kesalahan dan bias yang mengakibatkan kurang baiknya hasil ukuran jarak geometrik antara pengamat dengan GPS. Berikut ini adalah beberapa kesalahan dan bias yang mempengaruhi pengamatan GPS Kesalahan Ephemeris Kesalahan ephemeris (orbit satelit) adalah kesalahan di mana orbit satelit yang dilaporkan oleh ephemeris satelit tidak sama dengan orbit satelit yang sebenarnya. Kesalahan orbit satelit umumnya disebabkan oleh tiga faktor sebagai berikut [Abidin, 1993]: 1. Kekurangtelitian proses perhitungan orbit satelit oleh stasiun kontrol. 2. Kesalahan dalam prediksi orbit untuk periode waktu setelah uploading data ke satelit. 3. Penerapan kesalahan orbit yang disengaja (selective availability) yang diaplikasikan untuk memproteksi ketelitian yang tinggi.

13 19 Kesalahan ephemeris ini akan mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang ditentukan. Dalam penentuan posisi secara diferensial, semakin panjang garis basis yang diamati, maka akan semakin besar efek dari bias ephemeris terhadap jarak ukuran. Kesalahan orbit satelit tidak berkorelasi secara spasial yang dipisahkan oleh jarak yang panjang. Dengan kata lain, nilai pseudorange yang dipengaruhi oleh kesalahan ephemeris pada suatu daerah tidak akan sama dengan daerah lainnya. Kesalahan tersebut tergantung pada orientasi vektor kesalahan orbit satelit dalam ruang dan relatif terhadap vektor jarak setiap satelit terhadap dua daerah Kesalahan jam Satelit dan Jam receiver Prinsip pengamatan GPS yang menggunakan data pengamatan fase dalam penentuan jarak geometrik antara satelit dan receiver adalah mengamati beda waktu atau beda fase antara epok pemancaran sinyal dan satelit dengan penerimaan sinyal oleh receiver. Pengamatan ini tentunya memakai dua pengukur waktu yaitu jam pada satelit dan jam pada receiver. Jarak geometrik yang diperoleh pada pengamatan ini akan benar jika kedua jam tersebut mempunyai waktu yang sinkron. Tetapi sinkronisasi dari kedua pengukur waktu tersebut sangat sulit sehingga akan terjadi kesalahan pada jarak geometrik yang dihasilkan. Untuk mengatasinya maka ditentukan sistem waktu yang menjadi referensi untuk kedua waktu tersebut yaitu GPS Time (GPST).

14 20 Meskipun menggunakan sistem waktu GPS Time, kesalahan waktu masih tetap akan ada baik pada satelit maupun receiver. Pada satelit akan terjadi penyimpangan waktu terhadap GPS Time yang diakibatkan oleh kebijakan Selective Availability yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Kesalahan jam satelit dapat ditentukan melalui pendekatan deret polinomial dan bersifat sistematik. Sedangkan pada receiver akan terjadi penyimpangan terhadap GPS Time yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti berikut [Rizoz, 1993]: 1. Kestabilan skala waktu yang dihasilkan masih bergantung pada kualitas osilator receiver yang digunakan, serta seberapa sering waktu yang ada dibandingkan kembali dengan GPS Time. 2. Sinkronisasi waktu receiver ke waktu waktu GPS Time dengan keakuratan 0.1 sangat rentan untuk menimbulkan kesalahan. Oleh karena itu kesalahan residual dalam orde deka meter (puluhan meter) harus tetap diperhitungkan Bias Ionosfer Ionosfer adalah bagian dari lapisan atmosfer yang berada pada ketinggian 60 hingga 1000 kilometer di atas permukaan bumi. Pada lapisan ionosfer ini terdapat sejumlah elektron dan ion bebas yang mempengaruhi perambatan gelombang radio. Sehingga sinyal dari satelit GPS yang terletak kira-kira km di atas permukaan bumi harus melalui lapisan ionosfer untuk dapat sampai pada antena receiver di permukaan bumi Ion-ion bebas (elektron) dalam lapisan ionosfer akan mempengaruhi propagasi sinyal GPS. Lapisan ionosfer akan mempengaruhi kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan

15 21 sinyal GPS yang melaluinya. Dalam hal ini lapisan ionosfer akan mempercepat fase pembawa dan memperlambat kode sehingga akan mempengaruhi ukuran jarak geometrik dari satelit ke pengamat. Bias yang ditimbulkan oleh lapisan ionosfer ini merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam penentuan nilai ambiguitas fase yang bernilai integer. Untuk garis basis pendek, efek dari ionosfer dapat diabaikan karena apabila dilakukan kombinasi liner bebas ionosfer untuk mengeliminasi efek ini, hanya akan meningkatkan noise level Bias Troposfer Sinyal dari satelit sampai pada receiver melalui lapisan troposfer. Troposfer merupakan lapisan atmosfer netral yang berbatasan dengan permukaan bumi, dengan ketebalan 9-16 km, bergantung pada tempat dan waktu. Pada saat sinyal GPS melalui lapisan troposfer, sinyal akan mengalami refraksi yang mengakibatkan perubahan pada kecepatan dan arah dari sinyal GPS. Akibat efek dari lapisan troposfer, carrier phase dan kode akan diperlambat sehingga berpengaruh terhadap jarak hasil ukuran. Pengaruh ini merupakan fungsi dari kelembaban, suhu, dan tekanan. Lapisan troposfer bukan merupakan lapisan yang bersifat dipersif terhadap gelombang dengan frekuensi di bawah 30 GHz, sehingga refraksi yang dialami gelombang elekromagnetik dari GPS yang melalui lapisan ini tidak bergantung pada frekuensinya.

16 22 Cara paling mudah dalam mengeliminasi bisa troposfer ini adalah dengan cara melakukan kombinasi linier pengamatan (differencing). Selain itu efek bias troposfer dapat juga dikoreksi dengan menggunakan model Hopfield, Saastamoinen, Marini, Goad, dan Godman Efek Multipath Multipath adalah fenomena di mana sinyal satelit tiba pada receiver melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda. Terdapat sinyal yang tiba pada antena receiver setelah memantul pada objek lain terlebih dahulu, seperti jalan raya, gedung, kendaraan, dll. Sinyal yang berasal dari satelit yang mempunyai sudut eleasi rendah sangat rentan terkena efek multipath. Satelit Efek Multipath = resultan (L+P) - L L = Sinyal Langsung P = Sinyal Pantulan Gambar 2.7 Efek Multipath [Abidin, 2007] Efek multipath akan berpengaruh pada data pengamatan fase maupun pseudorange. Besarnya efek dari multipath bergantung pada jenis dan posisi objek pemantul, posisi relatif satelit, jarak bidang pemantul ke antena receiver, panjang gelombang sinyal, dan

17 23 kekuatan sinyal. Efek multipath pada pseudorange lebih besar dibandingkan pada carrier phase. Kesalahan akibat multipath ini bersifat sistematik tetapi tidak dapat dimodelkan secara umum karena sifat geometrinya yang tidak teratur [Hofmann-Wollenhof, 1992]. Karena itu pendekatan secara matematis untuk pengeliminiran efek multipath bukanlah pekerjaan yang mudah. Maka tindakan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi efek multipath adalah dengan cara: 1. Menghindari lingkungan yang bersifat reflektif 2. Menggunakan antena GPS yang dapat beroperasi dalam keadaan baik 3. Menghindari penggunaan satelit yang bersudut elevasi rendah Ambiguitas Fase Ambiguitas fase dari pengamatan fase sinyal adalah jumlah gelombang penuh yang tidak teramati dalam pengamatan oleh receiver GPS. Untuk dapat merekonstruksi jarak ukuran antara satelit dan receiver, maka harga ambiguitas fase harus ditentukan terlebih dahulu. Ambiguitas fase merupakan bilangan bulat kelipatan panjang gelombang. Setiap data pengamatan one-way fase yang terkait dengan satelit tertentu akan memiliki harga ambiguitas tersendiri, dan sepanjang receiver mengamati sinyal secara kontinyu (tidak terjadi cycle slip), maka nilai ambiguitas fase akan selalu sama untuk setiap epok. Pada pengamatan one-way dan single-difference, ambiguitas fase sulit dipisahkan dengan efek kesalahan jam pada receiver atau satelit, oleh karena itu sifat kebulatan harganya

18 24 sulit dieksploitasi. Sedangkan pada pengamatan double-difference, efek kesalahan jam pada receiver atau satelit sudah tereliminasi, sehingga sifat kebulatan harganya dapat dieksploitasi. Oleh karena itu, penentuan harga ambiguitas fase biasanya dilakukan dengan pengamatan double-difference. Secara umum ada tiga aspek yang harus diperhitungkan dalam proses resolusi ambiguitas, yaitu: eliminasi kesalahan dan bias dari data, geometri satelit, serta teknik resolusi ambiguitas itu sendiri Cycle Slip Cycle slip adalah ketidak-kontinyuan adalam jumlah gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati, karena receiver yang terputus dalam pengamatan sinyal. Fenomena cycle slip dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut: 1. Mematikan dan menghidupkan receiver secara sengaja 2. Terhalangnya sinyal GPS untuk masuk ke antena oleh objek-objek seperti bangunan, pohon, dll 3. Rendahnya rasio signal-to-noise, yang bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti dinamika receiver yang tinggi, aktivitas ionosfer yang tinggi, atau efek multipath 4. Adanya kerusakan komponen dalam receiver.

19 25 Terdapat beberapa metode pendeteksian cycle slip yang umum diterapkan, yaitu antara lain: Penggunaan polinomial berorde rendah yang dicocokkan (fitting) ke time series dari variabel yang diuji. Penggunaan model dinamik untuk memprediksi data ukuran dengan menggunakan Kalman Filtering. Perbandingan antara data ukuran hasil prediksi dengan hasil ukuran sebenarnya, digunakan sebagai basis pendeteksian cycle slip. Penggunaan skema pengurangan (differencing) data ukuran antar epok yang berorde dua, tiga, dan empat. 2.5 Penentuan Posisi Differensial Kinematik dengan Data Fase Posisi wahana terbang saat melakukan survey airborne LIDAR selalu berubah, dan memerlukan ketelitian yang relatif tinggi (level centimeter). Oleh karena itu metode penentuan posisi dengan GPS yang digunakan adalah metode diferensial kinematik dengan data fase Prinsip Penentuan Posisi Penentuan posisi secara kinematik adalah penentuan posisi dari titik-titik yang bergerak dan receiver GPS tidak dapat atau tidak punya kesempatan untuk berhenti pada titik-titik tersebut [Abidin, 1995]. Posisi yang ditentukan adalah setiap epok pengamatan. Dengan demikian setiap posisi titik yang bergerak hanya dapat diamati tidak lebih dari satu epok.

20 26 Data fase dari gelombang pembawa digunakan karena dapat memberikan ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan data kode. Penggunaan data fase membutuhkan pemecahan nilai ambiguitas fase, dan pada survey kinematik pemecahan nilai ambiguitas fase tersebut dilakukan secara on-the-fly, yaitu penentuan nilai ambiguitas fase pada saat receiver sedang bergerak dalam waktu yang sesingkat mungkin Ketelitian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ketelitian penentuan posisi dengan metode differensial kinematik dengan data fase, antara lain : 1. Jumlah satelit 2. Lokasi dan distribusi satelit 3. Lama pengamatan 4. Kualitas receiver 5. Jarak dari receiver ke stasiun referensi 6. Keadaan cuaca pada saat pengamatan Sedangkan ketelitian yang dapat dihasilkan dari survey differensial kinematik dengan data fase adalah pada orde centimeter On-The-Fly Ambiguity Resolution Penentuan posisi dengan GPS menggunakan metoda kinematik dengan data fase memerlukan penyelesaian masalah ambiguitas fase secara on-the-fly. Secara umum,

21 27 metoda penentuan ambiguitas fase secara on-the-fly dapat dilihat pada gambar Ambiguitas atau posisi awal 2 Ruang pencarian ambiguitas 3 Kriteria penolakan dan validasi tidak Proses pencarian (identifiaksi) ya tidak 4 Kriteria pemasti ya 5 PENETAPAN AMBIGUITAS Gambar 2.8 Strategi umum penentuan ambiguitas fase secara on-the-fly [abidin, 1992] Dalam hal ini penentuan ambiguitas dilakukan dengan menguji sejumlah kombinasi dari set ambiguitas dalam suatu ruang pencarian (searching space) yang dikonstruksi sebelumnya. Pengujian juga dapat dilakukan terhadap sejumlah posisi, di mana suatu posisi mewakili suatu set ambiguitas tertentu. Dalam hal ini, ruang pencarian yang berisikan kombinasi dari set-set ambiguitas dinamakan ruang matematik (mathematical space) dan ruang pencarian yang berisikan posisi-posisi yang mewakili set-set ambiguitas dinamakan ruang fisik (physical space). Ruang matematik umumnya dipusatkan pada harga pendekatan awal dari ambiguitas, sedangkan ruang fisik dipusatkan pada posisi pendekatan awal.

22 28 Proses pencarian set ambiguitas yang benar dilakukan dengan menerapkan beberapa kriteria penolakan dan validasi (KPV) terhadap set-set ambiguitas ataupun posisi-posisi yang diuji. Proses pencarian ini akan dihentikan dan set ambiguitas yang benar akan ditetapkan bila kriteria pemasti (KP) telah dipenuhi. Penentuan ambiguitas fase secara on-the-fly merupakan gabungan dari beberapa teknik penentuan ambiguitas fase, yaitu: teknik extrawidelaning, teknik ambiguity mapping function, dan teknik kuadrat terkecil (Abidin, 1992). a. Teknik Extrawidelanning Teknik extrawidelaning biasanya digunakan untuk data GPS dua frekuensi. Teknik penentuan ambiguitas fase ini tidak dipengaruhi oleh kesalahan jam satelit, kesalahan jam receiver, efek troposfer, dan kesalahan ephemeris, tetapi sangat sensitif terhadap efek ionosfer, multipath, dan noise pengamatan. Teknik extrawidelaning ini tidak secara langsung menggunakan data pengamatan GPS, tetapi menggunakan beberapa kombinasi linear dari gelombang fase wide-lane dan narrow-lane beserta data pengamatan ionosfer. Penentuan ambiguitas fase dengan teknik extrawidelaning ini melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah smoothing data pseudorange oleh gelombang pembawa [Hatch, 1982] untuk mereduksi kesalahan noise dan efek multipath yang mengkontaminasi data pseudorange. Selanjutnya dilakukan pencarian nilai apriori dari ambiguitas gelombang wide-lane yang kemudian bilangan ambiguitas fase wide-lane tersebut diestimasi untuk

23 29 memudahkan perhitungan. Di bawah ini adalah model matematis untuk menentukan nilai apriori dari ambiguitas fase gelombang wide-lane tersebut (Abidin, 1992): ( PΣ L ) + ( MC MPΣ) + ( υ C υpσ) N = (2.12) λ di mana: PΣ LΔ MCΔ, MPΣ υcδ, υpσ λδ = pseudorange yang telah smooth pada gelombang narrow-lane = kombinasi gelombang pembawa wide-lane = efek multipath yang telah direduksi = gangguan (noise) yang telah direduksi = panjang gelombang dari sinyal b. Teknik Ambiguity Mapping Function Penentuan ambiguitas fase dengan teknik ambiguity mapping function adalah dengan menggunakan model matematis sebagai berikut (Abidin, 1992): ϖ AMF( r) = ne Σ ns nf Σ Σ exp{ i[ Φ j 1 k = 1 l= 1 j, k, l obs Φ j, k, l calc ϖ ( r)]} = (2.13) di mana: r ω Ф obs Ф calc ne ns nf = posisi vektor dalam koordinat kartesian atau ellipsoid = pengamatan single-difference atau double-difference pada posisi r ω (rad) = hitungan single-difference atau double-difference pada posisi r ω (rad) = jumlah epok pengamatan = jumlah satelit = jumlah frekuensi

24 30 c. Teknik Kuadrat Terkecil Penentuan ambiguitas fase dengan menggunakan teknik kuadrat terkecil didasari atas hitungan perataan kuadrat terkecil. Tujuan hitung perataan kuadrat terkecil dalam metoda ini digunakan untuk menentukan faktor variansi aposteriori yang diestimasi guna memisahkan nilai ambiguitas fase yang benar dari ambiguitas fase yang salah. Dengan uji statistik ditentukan apakah nilai faktor variansi aposteriori yang diestimasi itu dapat diterima atau ditolak dengan cara menguji kesesuaian antara nilai variansi aposteriori setelah hitung perataan (σ^0 2 2 ) dengan nilai variansi apriori sebelum hitung perataan (σ 0 ). Nilai faktor variansi aposteriori akan diterima apabila nilainya konsisten terhadap faktor variansi apriori. Sedangkan beberapa penyebab kegagalan dalam penentuan nilai ambiguitas fase yang benar adalah karena model matematik dan model stokastik yang tidak sesuai, kesalahan dan bias pengamatan yang tidak dapat dimodelkan, serta bobot data pengamatan yang tidak realistis Deviasi Spasial dan Temporal Dalam sistem airborne LIDAR, GPS dan laser scanner merupakan dua komponen yang dioperasikan secara terpisah. Terdapat perbedaan spasial dan temporal di antara kedua alat tersebut. a. Deviasi Spasial Deviasi spasial adalah perbedaan posisi antara lokasi antena GPS dengan lokasi laser scanner pada wahana terbang, seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.8. Sistem

25 31 koordinat wahana terbang (x, y, dan z) menjadi acuan perbedaan posisi tersebut (Δx, Δy, Δz). Nilai dari Δx, Δy, Δz ini harus ditentukan/diukur terlebih dahulu. WAHANA TERBANG Antena GPS z y x Δz Laser Scanner Δx Δy Gambar 2.9 Deviasi Spasial antara Antena GPS dan Laser Scanner b. Deviasi temporal Komponen-komponen pada sistem airborne LIDAR, yaitu GPS, INS, dan Laser scanner melakukan pengukuran secara terpisah, sehingga terdapat kemungkinan ketiga alat tersebut tidak bekerja secara bersama. Selisih waktu antara ketiga alat tersebut ketika melakukan pengukuran disebut deviasi temporal. Solusi untuk mengatasi deviasi temporal adalah dengan cara menggunakan sistem pengontrol waktu pengamatan tunggal. GPS INS Laser Scanner (detik) Gambar 2.10 Deviasi temporal antara GPS, INS dan Laser Scanner

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

Penentuan Posisi dengan GPS

Penentuan Posisi dengan GPS Penentuan Posisi dengan GPS Dadan Ramdani Penggunaan GPS sekarang ini semaikin meluas. GPS di disain untuk menghasilkan posisi tiga dimensi secara cepat dan akurat tanpa tergantung waktu dan cuaca. Beberapa

Lebih terperinci

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE ABSOLUT Metode Point Positioning Posisi ditentukan dalam sistem WGS 84 Pronsip penentuan posisi adalah reseksi dengan jarak ke beberapa satelit secara simultan

Lebih terperinci

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc www.pelagis.net 1 Materi Apa itu GPS? Prinsip dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penggunaan GPS Sistem GPS Metoda Penentuan Posisi dengan GPS Sumber Kesalahan

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Disampaikan Dalam Acara Workshop Geospasial Untuk Guru Oleh Ir.Endang,M.Pd, Widyaiswara BIG BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jln. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit GPS beredar mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 20.200 km. Satelit GPS tersebut berada di atas atmosfer bumi yang terdiri dari beberapa lapisan dan ditandai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Input Data Setelah dilakukan pengolahan data, ada beberapa hal yang dianggap berpengaruh terhadap hasil pengolahan data, yaitu penggunaan data observasi GPS dengan interval

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi BAB II DASAR TEORI 2.1 Gunungapi Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) Pembahasan dasar teori GPS pada subbab ini merupakan intisari dari buku Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya oleh [Abidin, 2007] dan SURVEI

Lebih terperinci

BAB II GPS DAN ATMOSFER

BAB II GPS DAN ATMOSFER BAB II GPS DAN ATMOSFER 2.1 Sistem Global Positioning System (GPS) NAVSTAR GPS (NAVigation Satellite Timing and Ranging Global Postioning System) atau yang lebih dikenal dengan nama GPS adalah suatu sistem

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) Direktorat Pengukuran Dasar Deputi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2011 MODUL

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan

B A B I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. bab 1 pendahuluan B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit-satelit GPS beredar mengelilingi bumi jauh di atas permukaan bumi yaitu pada ketinggian sekitar 20.200 km dimana satelit tersebut berputar mengelilingi bumi

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA 1. SISTIM GPS 2. PENGANTAR TANTANG PETA 3. PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang boleh dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG Winardi Puslit Oseanografi - LIPI Sekilas GPS dan Kegunaannya GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang) Jl. Raden Saleh, 43 jakarta 10330 Phone : 62.021.3143080 Fax. 62.021.327958 E-mail : Coremap@indosat.net.id

Lebih terperinci

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA SISTIM GPS SISTEM KOORDINAT PENGGUNAAN GPS SISTIM GPS GPS Apakah itu? Singkatan : Global Positioning System Dikembangkan oleh DEPHAN A.S. yang

Lebih terperinci

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY

BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY BAB III PENENTUAN ZENITH TROPOSPHERIC DELAY 3.1 Akuisisi Data Data yang dibutuhkan dalam pengolahan data dikategorikan menjadi data observasi dan data meteorologi. Setiap data yang diambil berpengaruh

Lebih terperinci

B A B II ATMOSFER DAN GPS

B A B II ATMOSFER DAN GPS B A B II ATMOSFER DAN GPS 2.1 Lapisan Atmosfer Atmosfer adalah campuran gas yang menyelubungi permukaan bumi. Campuran gas ini mengitari bumi karena ditarik oleh gaya gravitasi yang ada pada bumi, campuran

Lebih terperinci

MODUL 3 GEODESI SATELIT

MODUL 3 GEODESI SATELIT MODUL 3 GEODESI SATELIT A. Deskripsi Singkat Geodesi Satelit merupakan cabang ilmu Geodesi yang dengan bantuan teknologi Satelite dapat menjawab persoalan-persoalan Geodesi seperti Penentuan Posisi, Jarak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada era yang semakin modern ini mengakibatkan pesatnya perkembangan teknologi. Salah satunya adalah teknologi untuk penentuan posisi, yaitu seperti Global Navigation

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 3.1 Data yang Digunakan Data GPS yang digunakan dalam kajian kemampuan kinerja perangkat lunak pengolah data GPS ini (LGO 8.1), yaitu merupakan data GPS yang memiliki panjang

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Salah satu kegiatan eksplorasi seismic di darat adalah kegiatan topografi seismik. Kegiatan ini bertujuan

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI Oleh: Andri Oktriansyah JURUSAN SURVEI DAN PEMETAAN UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG 2017 Pengukuran Detil Situasi dan Garis Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu alat yang dapat kita sebut canggih adalah GPS, yaitu Global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka berkembang pula alat-alat canggih yang dapat membantu kita dalam mengerti perkembangan tersebut. Sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007) BAB 2 DASAR TEORI Bab ini berisi rangkuman referensi dari studi literatur untuk pengerjaan penelitian ini. Menjelaskan tentang GPS, metode penetuan posisi, Precise Point Positioning, koreksi-koreksi yang

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Kelompok Kepakaran Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Penentuan Posisi Dengan GPS Posisi yang diberikan adalah posisi 3-D, yaitu

Lebih terperinci

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq Kelompok Keahlian Geodesi, Institut Teknologi Bandung Labtek IX-C, Jalan Ganeca 10,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Struktur Bumi BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Struktur Bumi Bumi yang kita tinggali ini memiliki jari-jari yang dihitung dari inti bumi ke permukaan terluarnya yaitu sekitar 6.357 km [NASA]. Dengan jari-jari sebesar itu, bumi

Lebih terperinci

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI Muh. Altin Massinai Lab. Fisika Bumi dan Lautan Program Studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar Abstract A research have been done about topography

Lebih terperinci

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS

PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS PENGARUH GEOMETRI SATELIT DAN IONOSFER DALAM KESALAHAN PENENTUAN POSISI GPS Sri Ekawati Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusfatsainsa, LAPAN ekawa_srie@bdg.lapan.go.id, cie_demes@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada BAB III ini akan dibahas mengenai pengukuran kombinasi metode GPS dan Total Station beserta data yang dihasilkan dari pengukuran GPS dan pengukuran Total Station pada

Lebih terperinci

MENGENAL GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) SEJARAH, CARA KERJA DAN PERKEMBANGANNYA. Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi yang

MENGENAL GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) SEJARAH, CARA KERJA DAN PERKEMBANGANNYA. Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi yang MENGENAL GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) SEJARAH, CARA KERJA DAN PERKEMBANGANNYA A. Pengertian Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem navigasi yang memanfaatkan satelit. Penerima GPS memperoleh

Lebih terperinci

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1 Umum elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik seperti yang diilustrasikan pada

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Pada bab ini akan dijelaskan berbagai macam teori yang digunakan dalam percobaan yang dilakukan. Teori-teori yang didapatkan merupakan hasil studi dari beragai macam referensi. Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. 1 BB I PENDHULUN I.1. Latar Belakang Pada zaman sekarang teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali teknologi dalam bidang survei dan pemetaan. Salah satu teknologi yang sedang

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

Location Based Service Mobile Computing Universitas Darma Persada 2012

Location Based Service Mobile Computing Universitas Darma Persada 2012 Location Based Service Mobile Computing Universitas Darma Persada 2012 Sub materi: Pengenalan GPS Pengenalan koneksi Android GPS Koneksi Android dengan google map Aktivasi Map API Google (windows dan Linux)

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661 A369 Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech I Gede Brawiswa Putra, Mokhamad Nur Cahyadi Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis BAB I KONSEP SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel BAB II PEMODELAN PROPAGASI 2.1 Umum Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel ke sel yang lain. Secara umum terdapat 3 komponen propagasi yang menggambarkan kondisi dari

Lebih terperinci

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT

ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT ANALISA NILAI TEC PADA LAPISAN IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGAMATAN GPS DUA FREKUENSI MOCHAMMAD RIZAL 3504 100 045 PEMBIMBING EKO YULI HANDOKO, ST, MT PENDAHULUAN Ionosfer adalah bagian dari lapisan

Lebih terperinci

Dalam sistem komunikasi saat ini bila ditinjau dari jenis sinyal pemodulasinya. Modulasi terdiri dari 2 jenis, yaitu:

Dalam sistem komunikasi saat ini bila ditinjau dari jenis sinyal pemodulasinya. Modulasi terdiri dari 2 jenis, yaitu: BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Realisasi PLL (Phase Locked Loop) sebagai modul praktikum demodulator FM sebelumnya telah pernah dibuat oleh Rizal Septianda mahasiswa Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

PEMROGRAMAN PERANGKAT LUNAK APLIKASI SISTEM PENJEJAKAN POSISI DENGAN GPS MELALUI JARINGAN GSM-CSD BERBASIS VISUAL BASIC TUGAS AKHIR

PEMROGRAMAN PERANGKAT LUNAK APLIKASI SISTEM PENJEJAKAN POSISI DENGAN GPS MELALUI JARINGAN GSM-CSD BERBASIS VISUAL BASIC TUGAS AKHIR PEMROGRAMAN PERANGKAT LUNAK APLIKASI SISTEM PENJEJAKAN POSISI DENGAN GPS MELALUI JARINGAN GSM-CSD BERBASIS VISUAL BASIC TUGAS AKHIR Oleh YULIANTO SETIAWAN 0405230515 TUGAS AKHIR INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENGERTIAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Gobal Positioning System adalah sistem untuk menetukan posis dan navigasi secara global dengan menggunakan satelit. Sistem yang pertama

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]: BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasang Surut Laut Pasut laut adalah perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa dan luar

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENGOLAHAN DATA & ANALISIS

BAB 4 HASIL PENGOLAHAN DATA & ANALISIS BAB 4 HASIL PENGOLAHAN DATA & ANALISIS 4.1 Analisis Perbandingan Secara Keseluruhan Antara Pengolahan Baseline Pengamatan GPS Dengan RTKLIB dan TTC 4.1.1 Kualitas Pengolahan Baseline GPS Dengan RTKLIB

Lebih terperinci

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB 3 PEMBAHASAN DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Data Pengamatan GPS Kontinyu yang Digunakan Dalam mencapai target penelitian pada tugas akhir ini, yaitu pengujian terhadap perangkat lunak RTKLIB yang nantinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan suatu Lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Continuously Operating Reference Station (CORS) adalah sistem jaringan kontrol yang beroperasi secara berkelanjutan untuk acuan penentuan posisi Global Navigation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER

B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER B A B III GPS REALTIME UNTUK PENGAMATAN TROPOSFER DAN IONOSFER 3.1 Pengembangan Sistem GPS Realtime Karakteristik dari lapisan troposfer dan ionosfer bervariasi secara spasial dan temporal, oleh karena

Lebih terperinci

AKUISISI DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN JARINGAN GSM

AKUISISI DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN JARINGAN GSM AKUISISI DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN JARINGAN GSM Dandy Firdaus 1, Damar Widjaja 2 1,2 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma Kampus III, Paingan, Maguwoharjo, Depok,

Lebih terperinci

EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT

EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT Sri Ekawati Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusfatsainsa, LAPAN e-mail: ekawa_srie@bdg.lapan.go.id, cie_demes@yahoo.com RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH. GELOMBANG MENENGAH Berdasarkan spektrum frekuensi radio, pita frekuensi menengah adalah gelombang dengan rentang frekuensi yang terletak antara 300 khz sampai 3 MHz

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengecekan Kualitas Data Observasi Dengan TEQC Kualitas dari data observasi dapat ditunjukkan dengan melihat besar kecilnya nilai moving average dari multipath untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan membahas mengenai pustaka yang digunakan oleh penulis sebagai acuan dalam membangun sistem, dimana peneliti akan mengulas beberapa pemanfaatan sensor dan GPS yang

Lebih terperinci

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS

BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS BAB II KANAL WIRELESS DAN DIVERSITAS.1 Karakteristik Kanal Nirkabel Perambatan sinyal pada kanal yang dipakai dalam komunikasi terjadi di atmosfer dan dekat dengan permukaan tanah, sehingga model perambatan

Lebih terperinci

Sinkronisasi Sinyal RADAR Sekunder Untuk Multi Stasiun Penerima Pada Sistem Tracking 3 Dimensi Roket

Sinkronisasi Sinyal RADAR Sekunder Untuk Multi Stasiun Penerima Pada Sistem Tracking 3 Dimensi Roket Sinkronisasi Sinyal RADAR Sekunder Untuk Multi Stasiun Penerima Pada Sistem Tracking 3 Dimensi Roket Wahyu Widada dan Sri Kliwati Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jln. Raya LAPAN Rumpin Bogor

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Global Navigation Satellite System (GNSS) merupakan salah satu teknologi yang digunakan dalam penentuan posisi. Keunggulan dari sistem GNSS adalah dapat digunakan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1].

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Pemancar dan Penerima Sistem MC-CDMA [1]. BAB II DASAR TEORI 2.1. Sistem Multicarrier Code Divison Multiple Access (MC-CDMA) MC-CDMA merupakan teknik meletakkan isyarat yang akan dikirimkan dengan menggunakan beberapa frekuensi pembawa (subpembawa).

Lebih terperinci

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS

Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 Komputasi TEC Ionosfer Mendekati Real Time Dari Data GPS Buldan Muslim dan

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN METODA

BAB 2 DATA DAN METODA BAB 2 DATA DAN METODA 2.1 Pasut Laut Peristiwa pasang surut laut (pasut laut) adalah fenomena alami naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi bendabenda-benda

Lebih terperinci

Dasar Sistem Transmisi

Dasar Sistem Transmisi Dasar Sistem Transmisi Dasar Sistem Transmisi Sistem transmisi merupakan usaha untuk mengirimkan suatu bentuk informasi dari suatu tempat yang merupakan sumber ke tempat lain yang menjadi tujuan. Pada

Lebih terperinci

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). Satelit GRACE (Gravity Recovery And Climate Experiment), adalah sistem satelit gravimetri hasil

Lebih terperinci

RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL

RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 305 hal. 305-310 RANCANGAN PEMANFAATAN DATA TEC PADA SISTEM PPP NEAR REAL TIME DENGAN GPS FREKUENSI TUNGGAL Buldan Muslim Peneliti

Lebih terperinci

GLOBAL POSITION SYSTEM (GPS)

GLOBAL POSITION SYSTEM (GPS) MAKALAH GLOBAL POSITION SYSTEM (GPS) Diajukan Untuk Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Radar dan Navigasi Nama : Djatnika Permana Tingal NIM : 086712251011 Jurusan : Teknik Elektro SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Memantau apa saja dengan GPS

Memantau apa saja dengan GPS Memantau apa saja dengan GPS (Global Positioning System) Dalam film Enemy of The State, tokoh pengacara Robert Clayton Dean (diperankan oleh Will Smith) tiba-tiba saja hidupnya jadi kacau-balau. Ke mana

Lebih terperinci

BAB II PROPAGASI SINYAL. kondisi dari komunikasi seluler yaitu path loss, shadowing dan multipath fading.

BAB II PROPAGASI SINYAL. kondisi dari komunikasi seluler yaitu path loss, shadowing dan multipath fading. BAB II PROPAGASI SINYAL 2.1 Umum Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel ke sel yang lain. Secara umum terdapat 3 komponen propagasi yang menggambarkan kondisi dari komunikasi

Lebih terperinci

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA BAB III PENGAMATAN GPS EPISODIK DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengamatan Data Salah satu cara dalam memahami gempa bumi Pangandaran 2006 adalah dengan mempelajari deformasi yang mengiringi terjadinya gempa bumi

Lebih terperinci

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan

Lebih terperinci

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK Lysa Dora Ayu Nugraini, Eko Yuli Handoko, ST, MT Program Studi Teknik Geomatika, FTSP ITS-Sukolilo, Surabaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENELITIAN TERDAHULU Sebelumnya penelitian ini di kembangkan oleh mustofa, dkk. (2010). Penelitian terdahulu dilakukan untuk mencoba membuat alat komunikasi bawah air dengan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang BAB II TEORI DASAR 2.1. PROPAGASI GELOMBANG Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang didesain untuk memancarkan sinyal

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri Pengukuran pada satelit altimetri adalah pengukuran jarak dari altimeter satelit ke permukaan laut. Pengukuran jarak dilakukan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS Jurnal Reka Geomatika Jurusan Teknik Geodesi No. 1 Vol. 1 ISSN 2338-350X Juni 2013 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS RINA ROSTIKA

Lebih terperinci

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME 3.1 Pendahuluan Survei batimetri merupakan survei pemeruman yaitu suatu proses pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh gambaran

Lebih terperinci

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup

Latar Belakang STUDI POST-SEISMIC SEISMIC GEMPA ACEH 2004 MENGGUNAKAN DATA GPS KONTINYU. Maksud & Tujuan. Ruang Lingkup STUDI POST-SISMIC SISMIC GMPA ACH 2004 MGGUAKA DATA GPS KOTIYU Ole : Imron Malra Setyawan 15103027 Latar Belakang Interseismik Gempa Bumi artquake Cycle Pre-seismik Co-seismik Post-seismik Pemantauan Potensi

Lebih terperinci

LINTASAN TERPENDEK DALAM GLOBAL POSITIONING SYSTEM

LINTASAN TERPENDEK DALAM GLOBAL POSITIONING SYSTEM LINTASAN TERPENDEK DALAM GLOBAL POSITIONING SYSTEM Nur Cahya Pribadi NIM : 13505062 Program Studi Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail : if15062@students.if.itb.ac.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; - Hal. 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; a. Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik b.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sekarang ini teknologi GNSS berkembang dengan pesat baik dari segi metode pengamatan, efisiensi, ketelitian maupun jangkauannya. Berawal dari metode statik yang proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Pemetaan situasi skala besar pada umumnya dilakukan secara teristris yang memerlukan kerangka peta biasanya berupa poligon. Persebaran titik-titik poligon diusahakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini telepon selular sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Penggunaan telepon selular sudah melingkupi masyarakat

Lebih terperinci

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS (Sigit Irfantono*, L. M. Sabri, ST., MT.**, M. Awaluddin, ST., MT.***) *Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro. **Dosen Pembimbing I Teknik Geodesi Universitas

Lebih terperinci

PERANGKAT LUNAK UNTUK PERHITUNGAN SUDUT ELEVASI DAN AZIMUTH ANTENA STASIUN BUMI BERGERAK DALAM SISTEM KOMUNIKASI SATELIT GEOSTASIONER

PERANGKAT LUNAK UNTUK PERHITUNGAN SUDUT ELEVASI DAN AZIMUTH ANTENA STASIUN BUMI BERGERAK DALAM SISTEM KOMUNIKASI SATELIT GEOSTASIONER PERANGKAT LUNAK UNTUK PERHITUNGAN SUDUT ELEVASI DAN AZIMUTH ANTENA STASIUN BUMI BERGERAK DALAM SISTEM KOMUNIKASI SATELIT GEOSTASIONER Veni Prasetiati Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci