VII. SUMBER DAYA WADUK DAN ARENA KONTESTASI KEPENTINGAN
|
|
- Irwan Tan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 VII. SUMBER DAYA WADUK DAN ARENA KONTESTASI KEPENTINGAN 7.1. Pendahuluan Buat saya, waduk itu bukan cuma air sama ikan, tapi tempat hidup dan kehidupan saya. Hampir semua harta saya ada di situ (diinvestasikan). Saya bakalan bertahan biar pake cara apapun, kalo saya mau diusir dari sini. (AA, pembudidaya KJA skala kecil dan penduduk setempat, 2010). Petikan wawancara di atas tidak hanya mengindikasikan adanya ketergantungan terhadap sumber daya, namun memiliki makna lain. Bagi sebagian orang, bahkan semua orang, baik secara sadar ataupun tidak sadar memandang dan memperlakukan sumber daya waduk lebih dari sekedar benda fisik saja. Sumber daya waduk tidak hanya menjadi tempat mengektraksi manfaat dan keuntungan, namun juga menjadi sebuah tempat pertaruhan hidup. Para aktor akan berusaha dengan berbagai cara, mengembangkan berbagai strategi, untuk mengamankan posisi mereka dalam hubungannya dengan akses terhadap sumber daya waduk. Meminjam istilah Bourdieu (1992), sumber daya waduk dapat dipandang sebagai sebuah field (arena). Bourdieu (1992) mendefinisikan field atau arena sebagai berikut, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determination they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the spesific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc). Dalam pengertian lain, arena merupakan a system of social position, structured internally in terms of power relation: every field (is) the locus of power relation (Wallace and Wolf, 1999). Arena pun juga dipahami sebagai, a social arena in which, just as in a game,
2 79 people maneuver, develop strategies, and struggle over desirable resources (Wallace dan Wolf, 1999). Sumber daya Waduk Djuanda Jatiluhur juga dapat dipandang sebagai sebuah arena, tempat para aktor saling berinteraksi, bernegosiasi dan mengembangkan strategi dengan tujuan memiliki dan mempertahankan akses serta aliran manfaat dan keuntungan dari sumber daya waduk. Arena kontestasi kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan di Waduk Djuanda, Jatiluhur setidaknya teridentifikasi terjadi di 3 (tiga) tempat, yaitu diskursus, kebijakan dan operasional (pemanfaatan sumber daya keseharian) Diskursus dan Arena Kontestasi Kepentingan Kontestasi kepentingan di lapisan diskursus terjadi dalam 2 (dua) hal, yaitu diskursus pengetahuan terkait daya dukung lingkungan dan diskursus pakan. Kontestasi diskursus yang pertama adalah diskursus pengetahuan terkait daya dukung lingkungan perairan ini bersumber dari perbedaan mendasar terkait pendekatan dan cara perhitungan daya dukung lingkungan perairan. Pertama adalah kelompok ilmuwan yang mengasumsikan perairan waduk tidak ubahnya seperti kolam besar, sehingga dasar penentuan daya dukung lingkungannya mengacu pada kebutuhan oksigen terlarut. Sementara, kedua adalah kelompok yang mengasumsikan perairan waduk bukan sebagai kolam besar, sehingga penentuan daya dukung lingkungannya mengacu atas total nitrogen dan pospor. Kedua pendekatan ini menghasilkan perhitungan yang berbeda, dengan pendekatan kebutuhan oksigen terlarut mendapatkan jumlah KJA jauh lebih besar dibanding pendekatan total nitrogen dan fosfor. Perbedaan dasar pengetahuan ini akhirnya berdampak terhadap penentuan jumlah batas maksimal keberadaan kegiatan KJA di Waduk Djuanda, Jatiluhur. Masing-masing instansi mengeluarkan batasan yang berbeda-beda (Tabel 21).
3 80 Tabel 21. Perbedaan Batasan Jumlah dan Luas Areal Budidaya KJA Kriteria Satuan POKJA 1996 Balitkanwar 1996 SK Bupati 06/2000 PJT II 2004 Luas waduk Ha Elevasi air min. M dpl 90,00 92,45 87,65 Jarak antar unit M Luas desain/petak KJA M Jumlah KJA Petak Luas Perairan KJA Ha 209,5 27, Luas perairan KJA % 2,52 0,45 1,58 1 Sumber : Sudjana (2004) Kontestasi kepentingan kedua diskursus ini pada gilirannya menyebabkan terpolarisasinya kepentingan, yaitu pihak yang menginginkan jumlah KJA diperbesar dan pihak yang menginginkan jumlah KJA diperkecil. Pemerintah daerah cenderung memilih diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan oksigen terlarut, demikian juga pengusaha KJA dan agen pakan. Sementara pihak PJT II cenderung memilih diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan total nitrogen dan fosfor yang semakin membatasi jumlah KJA. Dampak dari perbedaan pendekatan ini berimplikasi atas kebijakan yang diambil pemerintah melalui Disnakkan Kabupaten Purwakarta dan PJT II sebagai pilihan strategi kebijakan. Hal mendasar dari perbedaan kedua lembaga otorita ini adalah terkait cara pandang sumber penyebab degradasi perairan. Pihak pendukung diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan kebutuhan oksigen terlarut menganggap degradasi lingkungan perairan akibat dampak ikutan dari proses eutrofikasi perairan. Eutrofikasi terjadi melalui berbagai jenis bahan cemaran yang masuk ke perairan. Proses eutrofikasi ini menyebabkan menurunnya total kadar oksigen terlarut di dalam perairan. Akibat dari menurunnya total kadar oksigen terlarut menyebabkan kemampuan daya dukung lingkungan perairan menjadi terbatas. Implikasi strategi dan arah kebijakan yang diambil adalah tidak dengan mengurangi jumlah keberadaan KJA tetapi dengan mengurangi dampak eutrofikasi. Salah satu strateginya adalah dengan penebaran ikan berjenis plankton feeder yang bertujuan mengurangi algae. Strategi ini berasumsi bahwa algae sebagai sumber eutrofikasi juga sekaligus sebagai sumber pakan bagi beberapa jenis ikan plankton feeder.
4 81 Perkembangan jenis ikan plankton feeder di perairan waduk secara otomatis akan menyebabkan kadar oksigen terlarut dapat ditingkatkan dan jumlah KJA dapat terus bertambah. Sumber permasalahan degradasi perairan waduk bagi pendukung diskursus daya dukung lingkungan perairan berdasarkan biomassa dan total nitrogen dan fosfor adalah keberadaan KJA dan limbah sisa pakan. Intensifnya kegiatan usaha KJA berbanding lurus dengan intensifnya material loading yang masuk ke dalam perairan. Hal ini terutama dari hasil sisa pemberian pakan yang diklaim lebih banyak terbuang ke perairan dibandingkan dengan dimanfaatkan oleh ikan di KJA. Sisa pakan terbagi menjadi dua, yaitu sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh ikan dan sisa kotoran ikan yang terbuang di perairan. Ditambah lagi dengan sifat usaha KJA yang lebih banyak menghabiskan waktu di tengah perairan menyebabkan timbul juga keberadaan kegiatan sehari-hari oleh para operator atau pekerja KJA. Hal ini menyebabkan bertambahnya daftar material loading ke perairan melalui limbah domestik KJA. Total limbah yang masuk ini mengotori perairan yang menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan perairan dan bersifat racun serta korosif. Memburuknya kualitas lingkungan perairan menyebabkan terganggunya operasional usaha dari pihak PJT II yaitu dengan menambah biaya pemeliharaan dan penggantian instalasi yang rusak dari unit-unit instalasi bahan baku air bersih dan listrik. Oleh karena itu, walaupun tidak menutup kemungkinan sumber bahan cemaran perairan berasal dari faktor lain tetapi tetap saja pihak PJT II menganggap bahwa keberadaan KJA sebagai sumber utama terjadinya degradasi lingkungan perairan waduk. Kedua diskursus pengetahuan ini seringkali bertemu di berbagai forum, baik forum ilmiah maupun forum kebijakan. Kedua diskursus pengetahuan ini uniknya bersumber dari satu institusi perguruan tinggi yang sama. Kelompok yang mendukung diskursus nitrogen dan fosfor berasal dari latar belakang kelompok ilmu manajemen sumber daya air, sementara kelompok yang mendukung diskursus oksigen terlarut berasal dari latar belakang kelompok ilmu manajemen budidaya ikan. Dengan adanya dua latar belakang ilmu pengetahuan yang berbeda ini maka masing-masing aktor otorita memilih satu diantaranya yang dapat digunakan sebagai justifikasi kebijakannya. Justifikasi kebijakan yang diperkuat klaim ilmu
5 82 pengetahuan ini sebenarnya digunakan sebagai alat untuk membuat justifikasi yang dapat melindungi kepentingan masing-masing aktor otorita. Kedua belah pihak masing-masing memegang pendapatnya dan menjadi dasar pengambilan kebijakan. Dalam konteks arena penguasaan dan pengelolaan sumber daya, diskursus pengetahuan ini menjadi alat bagi kontestasi kepentingan masing-masing aktor otorita. Dengan pengertian lain, diskursus pengetahuan dipilih menjadi alat justifikasi untuk memperjuangkan dan meligitimasi kepentingan para aktor. Tabel 22 menunjukkan resume kontestasi diskursus pengetahuan daya dukung sumber daya perairan waduk. Tabel 22. Kontestasi Diskursus Pengetahuan Daya Dukung Sumber Daya Perairan Waduk Aktor Disnakkan Kab PJT II Penyebab Degradasi SDA Asumsi Karakteristik SDA Dasar Penentuan Daya Dukung SDA Strategi Kebijakan Akumulasi material loading karena kegiatan KJA Waduk Kolam Besar Jumlah Total Nitrogen dan Fosfor - Jumlah KJA harus dikurangi - Pengerukan dasar perairan untuk membuang akumulasi material loading Purwakarta Eutrofikasi karena akumulasi bahan cemaran Waduk = Kolam Besar Kebutuhan Oksigen Terlarut - Jumlah KJA tetap atau dinamis sesuai ketersediaan oksigen terlarut di perairan - Restocking atau introduksi jenis ikan plankton feeder untuk mengurangi masalah blooming algae Kontestasi diskursus kedua adalah diskursus tentang pakan yang melibatkan dua hal, yaitu (1) diskursus pakan komersial yang diakui memberikan hasil produksi yang terbaik; (2) diskursus jumlah pakan yang diberikan berbanding lurus dengan jumlah total hasil panen yang diperoleh. Berbeda halnya dengan diskursus pertama yang berada pada kelompok elit masyarakat di tingkat otorita, maka diskursus ini lebih berada di tingkat kelompok masyarakat pengguna. Dampak
6 83 kedua diskursus tersebut sangatlah besar di dalam pemahaman dan kegiatan pemanfaatan sumber daya sehari-hari. Diskursus pakan yang pertama tentang keunggulan pakan komersial berdampak hingga masuknya pemahaman tersebut ke dalam materi-materi penyuluhan dan juga panduan pelaksanaan budidaya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dampak lainnya adalah adanya larangan membuat pakan sendiri. Alasannya adalah pakan lain tersebut lebih berpeluang hanya mengotori lingkungan perairan. Hampir keseluruhan pembudidaya memiliki konstruksi pemahaman pengetahuan yang sama tentang pakan komersial ini. Penggunaan pakan komersial bisa dikatakan menjadi satu-satunya cara. Pengecualian dalam hal ini adalah pembudidaya KJA skala kecil. Namun hal ini juga bukan karena adanya konstruksi pemahaman yang berbeda, tetapi lebih didasarkan dari keterbatasan modal yang ada. Pembudidaya KJA skala kecil umumnya secara sembunyi-sembunyi menggunakan pakan alternatif seperti dari sisa-sisa makanan, dedaunan dan lainnya selain menggunakan pakan komersial. Penggunaan pakan alternatif ini bertujuan mengurangi beban biaya pakan dalam struktur biaya produksi. Perbandingan penggunaan pakan komersial dan non-komersial di tingkat pembudidaya KJA skala kecil berdasarkan informasi selama penelitian adalah berkisar antara 70:30 %. Sementara di tingkat pembudidaya KJA skala menengah dan besar secara keseluruhan menggunakan pakan komersial dengan mengkombinasikan berbagai produk pakan komersial. Diskursus pakan yang kedua adalah tentang rasio pakan dan hasil panen yang membuat berkembangnya pengetahuan sistem pompa dalam pemberian pakan. Sistem pompa adalah cara pemberian pakan dengan frekuensi dan jumlah yang sangat intensif dan masif. Tujuannya adalah mengejar target produksi dan waktu panen. Secara sederhana sistem pompa dipahami dengan anggapan bahwa jika pertumbuhan ikan diinginkan akan terjadi secara cepat maka hal tersebut harus diimbangi dengan pemberian pakan yang sebanyak dan sesering mungkin. Pembudidaya juga biasanya menghitung dan memprediksi hasil panen menggunakan batasan jumlah pakan yang akan diberikan. Diskursus ini mengalahkan diskursus pengetahuan kemampuan penyerapan ikan dan sisa pakan yang terbuang ke perairan. Pembudidaya KJA tidak pernah mempertimbangkan
7 84 permasalahan limbah sisa pakan yang terbuang ke dalam perairan. Hal yang menarik adalah proses reproduksi diskursus pengetahuan ini terjadi di semua lapisan aktor pengguna. Berdasarkan informasi selama penelitian, diperoleh keterangan bahwa bagi siapapun yang memiliki keinginan untuk membuka usaha KJA, maka yang bersangkutan akan mendapatkan saran yang sama baik dari sesama pembudidaya, bandar ikan, maupun pedagang pakan. Pihak yang diuntungkan dari adanya kedua diskursus tentang pakan ini adalah pedagang pakan dan juga tentunya pabrik pakan. Hal ini disebabkan karena sama halnya dengan petani yang sangat bergantung dengan pupuk, demikian halnya dengan pembudidaya yang sangat bergantung dengan pakan. Meningkatnya jumlah pembudidaya secara otomatis meningkatkan permintaan akan pakan, dan harga pakan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara keuntungan yang diterima pembudidaya dari tahun ke tahun sebenarnya semakin mengecil, karena meningkatnya persentase biaya pakan dalam perhitungan biaya produksi. Permasalahan degradasi lingkungan perairan waduk yang ditandai oleh semakin seringnya kematian massal ikan dan juga semakin bertambahnya waktu pemeliharaan ikan justru menjadi hal yang menguntungkan bagi hal perdagangan pakan. Pembudidaya justru semakin terpacu mengintensifkan pemberian pakan karena anggapan bahwa pemberian pakan yang lebih banyak lagi akan dapat memperpendek waktu pemeliharaan sebelum terjadinya siklus tahunan kematian massal ikan yang dipicu di saat musim penghujan. Sementara siklus tahunan kematian massal ikan tersebut justru salah satunya adalah akibat proses blooming algae yang dipicu dari kondisi perairan yang eutrof sebagai akibat terjadinya upwelling perairan. Proses upwelling perairan ini dengan sendirinya mengangkat dan mengaduk limbah sisa pakan di bagian dasar perairan yang bersifat racun di dasar perairan. Tabel 23 menunjukkan resume arena kontestasi kepentingan di tingkat diskursus.
8 85 Tabel 23. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Diskursus Arena Diskursus Daya Dukung Pakan Otorita Aktor (PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta) Kontestasi Basis Kepentingan Pihak yang kuat Pihak yang lemah Daya dukung berbasis oksigen terlarut VS total nitrogen dan fosfor Pengurangan jumlah KJA VS Mempertahankan jumlah KJA Otorita (PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta) Pengguna Pabrik pakan, Pedagang pakan, pengusaha KJA a. Pakan komersial VS nonkomersial b. Teknik pemberian pakan sistem pompa VS non-sistem pompa Keuntungan usaha VS kualitas lingkungan sumber daya perairan Pabrik pakan dan pedagang pakan Pengusaha KJA skala kecil 7.3. Kebijakan dan Arena Kontestasi Kepentingan Kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya Waduk Djuanda, Jatiluhur dibentuk oleh berbagai faktor, namun kesemuanya tidak terlepas dari masalah kepentingan pihak-pihak yang menyusunnya. Berdasarkan analisis teori hak kepemilikan sumber daya di bab sebelumnya diperoleh informasi bahwa terdapat ketimpangan distribusi hak antara aktor otorita dan pengguna. Hal yang paling mendasar adalah terakumulasinya hak-hak yang terkait dengan pengambilan keputusan kolektif pada kelompok aktor otorita. Hak ini terdiri dari hak management, exclusion dan alienation. Ketiga hak ini memiliki peranan penting di dalam hal menentukan segala aturan tentang tata cara pemanfaatan dan pengelolaan. Dengan terakumulasinya hak-hak tersebut pada kelompok aktor otorita, maka dengan sendirinya hanya kepentingan kelompok aktor otorita saja yang terakomodasi. Kelompok aktor pengguna yang terputus aksesnya terhadap hak-hak ini secara otomatis tidak memiliki tempat untuk memperjuangkan kepentingannya secara legal. Dengan demikian bisa dikatakan distribusi hak kepemilikan sumber daya bias terhadap kelompok aktor otorita.
9 86 Sementara itu, kontestasi kepentingan yang terjadi di lapisan kebijakan sebenarnya juga terkait erat dengan kepentingan core business dari 2 (dua) aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. PJT II sebagai sebuah badan usaha memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dari core business nya, yaitu penyedia bahan baku air bersih dan juga penyedia listrik. Dengan demikian, segala hal yang merusak dan menurunkan kualitas lingkungan perairan dianggap sebagai sebuah ancaman usaha bagi mereka. PJT II menganggap kegiatan perikanan budidaya justru menjadi beban bagi usahanya. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari kegiatan perikanan budidaya yang semakin tidak terkendali jumlahnya. Kerugian usaha yang dialami oleh PJT II termasuk di dalamnya adalah biaya perawatan instalasi yang mereka miliki, baik instalasi air maupun instalasi listrik. Meskipun PJT II mendapatkan keuntungan dari dikenakannya biaya sewa lahan dalam bentuk izin lokasi KJA, namun dianggap tidak sebanding dengan keseluruhan biaya operasional perawatan unit-unit instalasi tersebut. PJT II berupaya melindungi kepentingan bisnisnya dengan mengambil strategi cenderung untuk membatasi dan mengurangi kegiatan budidaya KJA. Legitimasi ilmu pengetahuan juga ditempuh dengan melakukan serangkaian kegiatan penelitian terkait dampak dari kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan. Penguatan dan pengembangan diskursus pengetahuan seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan salah satu strategi yang ditempuh oleh PJT II. Dalam berbagai forum yang mempertemukan kelompok elit masyarakat, seperti ilmuwan dan pemerintah, permasalahan dampak kegiatan KJA terhadap lingkungan perairan selalu menjadi sorotan utama dari pihak PJT II. Namun demikian, proses-proses dialog dengan kelompok aktor pengguna minim dilakukan. Jika pun ada, maka proses dialog tersebut hanya lebih berkisar tentang sosialisasi peraturan dan himbauan mentaati peraturan. Disnakkan, di lain pihak, memiliki kepentingan PAD dari sektor perikanan. Hal ini mengingat manfaat sumber daya yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pihak Disnakkan lebih banyak kepada kegiatan pengawasan. Sayangnya, berdasarkan informasi selama
10 87 penelitian diperoleh bahwa kegiatan pengawasan ini menjadi sempit maknanya menjadi pemeriksaan dan penagihan perizinan. Kegiatan penyuluhan juga sangatlah minim dilakukan. Pembentukan kelompok-kelompok pembudidaya KJA berdasarkan lokasi zonasi memang telah dilakukan dengan inisiasi dari Disnakkan dan juga PJT II. Namun sekali lagi, kelompok-kelompok ini juga lebih banyak berperan sebagai tempat penagihan dan pengurusan kolektif retribusi dan perizinan. Kelompok-kelompok ini tidak berkembang menjadi sebuah tempat bernegosiasi kepentingan antara pihak otorita dan pengguna dalam penyusunan aturan-aturan pengelolaan sumber daya. Kepentingan terhadap sumber PAD melalui retribusi dan perizinan membuat Disnakkan tidak berkeinginan hilangnya kegiatan KJA dari Waduk Djuanda, Jatiluhur. Namun demikian, Disnakkan juga tidak menutup mata bahwa kegiatan KJA yang tidak terkontrol juga merupakan sebuah sumber masalah bagi lingkungan perairan. Strategi yang ditempuh oleh Disnakkan dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan. Sayangnya strategi ini tidak diimbangi dengan ketersediaan penyuluhan dan aturan serta sanksi terkait teknik-teknik usaha yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, meskipun pihak Disnakkan mengetahui penggunaan sistem pompa dalam pemberian pakan akan lebih cepat mengotori lingkungan perairan, tetapi tidak dilakukan pengaturan tentang hal tersebut. Perbedaan kepentingan diantara kedua lembaga otorita ini membuat kebijakan pengelolaan sumber daya waduk yang ada menjadi tidak utuh. Seakanakan kedua lembaga otorita ini hanya berkutat dengan permasalahan KJA saja dan melupakan faktor-faktor lainnya. Sementara kedua lembaga otorita ini disibukkan dengan berkontestasi di dalam penyusunan kebijakan tentang perlu tidaknya pengurangan KJA, permasalahan seperti pengaturan jumlah pakan yang masuk, teknik budidaya yang ramah lingkungan, akses permodalan, keadilan kesempatan usaha bagi masyarakat, proses penangkapan ikan dan lainnya luput di dalam pembahasan penyusunan peraturan pengelolaan. Tabel 24 menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan.
11 88 Tabel 24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan Aktor PJT II Disnakkan Kab. Purwakarta Basis Kepentingan - Penyedia bahan baku - PAD (retribusi) air bersih - Penyedia listrik Kontestasi KJA sumber permasalahan degradasi lingkungan perairan Pengelolaan usaha KJA yang kurang tepat merupakan penyebab permasalahan Strategi Kebijakan Pengurangan jumlah KJA degradasi lingkungan perairan Mempertahankan jumlah KJA dan pengetatan perizinan serta penarikan retribusi 7.4. Pemanfaatan Sumber Daya (Operasional) dan Arena Kontestasi Kepentingan Kontestasi kepentingan di lapisan operasional terjadi dalam bentuk kegiatan ekstraksi manfaat sumber daya oleh kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di lapisan ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara mengontrol akses, mempertahankan akses dan juga memperoleh akses. Hubungan antara mereka yang mengontrol akses pihak lain dengan pihak yang harus mempertahankan akses, paralel dengan hubungan antara pemilik modal dengan buruh dalam konsep Marx. Untuk mempertahankan akses, pihak subordinat seringkali harus membagi manfaat yang mereka peroleh kepada pihak yang memiliki kontrol terhadap akses. Pihak subordinat mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki demi menjaga relasi dengan pihak yang memiliki kontrol (Ribot dan Peluso, 2003). Hanya dengan membagi manfaat saja maka dapat memperoleh manfaat bagi dirinya. Kekuasaan memainkan peranan penting dalam setiap posisi aktor pada relasi akses. Seorang aktor bisa memiliki kekuasan yang lebih dibanding yang lain pada saat tertentu atau pada suatu relasi tertentu. Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa pintu akses bagi masyarakat bisa melalui beberapa hal, seperti penguasaan akan teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Namun demikian, dalam kenyataannya di lokasi penelitian, faktor penguasaan akan kapital tetap menjadi hal yang paling menentukan. Hubungan antara alam dan manusia bisa juga dipahami dalam konteks konfigurasi kapital. Hal ini disebabkan karena alam tidak
12 89 serta merta menjadi sumber daya, tanpa adanya interaksi dengan manusia. Proses perubahan alam menjadi sumber daya, bahkan kemudian menjadi komoditas, terkait erat dengan pola relasi yang terjadi diantara manusia dengan alam, dan manusia dengan manusia. Pola relasi ini tidaklah bersifat statis, namun bersifat dinamis. Karakteristik relasi alam dan manusia itu sendiri mewarnai berbagai tujuan dan kepentingan yang dimiliki oleh setiap individu. Karakteristik tersebut juga mewarnai tata cara pengorganisasian sosial dalam hal mengekstraksi sumber daya. Hanna dan Jentoft (1996) menyebutkan, When people use nature s goods and services, they transform nature into a resource As nature enters the human sphere as resouces, it takes on attributes of capital and is influenced by goals, values, and uncertainty. Dalam konteks ini, sumber daya alam dipandang sebagai sebuah kapital (modal) yang penguasaan dan penggunaannya dipengaruhi oleh tujuan, sistem nilai dan ketidakpastian. Ekosistem dipandang sebagai modal alam karena ekosistem memproduksi aliran barang dan jasa lingkungan (Hanna dan Jentoft, 1996). Namun demikian, modal alam ini tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan jenis kapital (modal) lainnya. Kompleksitas relasi sosial terletak di konfigurasi berbagai jenis kapital yang berinteraksi dengan modal alam tersebut. Hanna dan Jentoft (1996), mencatat setidaknya ada empat jenis kapital lainnya yang terkait erat dengan relasi sosial, yaitu modal fisik berupa peralatan dan teknologi untuk mengekstrak sumber daya; modal finansial yang diakumulasi untuk menyediakan modal fisik; modal kultural berupa norma, sistem nilai dan aturan yang mendorong adaptasi dan modifikasi lingkungan sumber daya sebagai arena sosial tempat interaksi manusia dan alam (Berkes dan Folke, 1994); dan modal kelembagaan, bagian dari modal kultural, sebagai tempat perangkat aturan dan menentukan kemampuan pengorganisasian yang mengkoordinasikan tindakan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam (Hanna, 1996). Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan pola relasi akses selalu melibatkan pihak yang menguasai dan mengkontrol akses dan pihak yang harus mempertahankan aksesnya. Pola relasi akses tersebut juga erat kaitannya dengan faktor kekuasaan. Sementara kekuasaan yang ada di lokasi penelitian jelas terbentuk utamanya dari penguasaan akan kapital. Secara umum pola relasi yang
13 90 terjadi tidaklah mengerucut kepada dua polar seperti halnya tradisi Marx, yaitu kelompok pihak dominan berlawanan dengan kelompok pihak sub ordinat. Kenyataannya kontestasi terjadi diantara kelompok-kelompok vertikal satu dengan lainnya. Setiap pihak yang menguasai akses kapital (pembudidaya skala besar, pedagang pakan, pemodal) akan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang membutuhkan akses kapital tersebut (nelayan dan pembudidaya KJA skala kecil) dan membentuk satu front sendiri serta saling berhadapan dengan front sejenis lainnya. Dalam kerangka analisis Marx, hal ini muncul akibat tidak terjadinya kesadaran kelas (class in it self). Aliansi dan kolaborasi diantara dua kelas yang berbeda ini dapat dipandang dari dua sisi dan menjadikan kepentingan (interest) sebagai basis dari pola hubungan tersebut. Eksploitasi tetap terjadi di dalam pola aliansi antar kelas ini. Kelas pemegang kontrol atas sumber daya mempertahankan aliansi dengan kelas sub ordinatnya dengan kepentingan mempertahankan tambahan akumulasi aliran manfaat sumber daya. Sementara kelas sub ordinat mempertahankan aliansi dengan tujuan tetap memperoleh manfaat sumber daya melalui terjaganya akses. Hal ini lebih sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wright (1987), yang menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingan-kepentingan. Hal yang berbeda dari tradisi Marx lainnya adalah kelas sub ordinat tetap dapat memproduksi dan memiliki beberapa tingkat kekuasaan yang terbatas dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan alat produksi milik sendiri, berbeda halnya dengan kelas buruh dalam konsep Marx yang tidak dimungkinkan untuk berproduksi untuk kepentingan dirinya sendiri. Gambar 5 menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional.
14 91 Klien 1 Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya Klien 2 Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya Patron 1 Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan : mengontrol aliran manfaat sumber daya Patron 2 Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan : mengontrol aliran manfaat sumber daya SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK Kontestasi : Kepentingan usaha Patron 3 Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan : mengontrol aliran manfaat sumber daya Keterangan : Aliansi Kontestasi Ekstraksi Patron - n Aktor : pengusaha KJA skala menengah dan besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan Kepentingan : mengontrol aliran manfaat sumber daya Klien - n Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya Klien 3 Aktor : pengusaha KJA skala kecil dan nelayan Kepentingan : mempertahankan aliran manfaat sumber daya Gambar 5. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Operasional
15 Ikhtisar Sumber daya perairan waduk tidak hanya dimaknai secara fisik saja, namun juga merupakan arena berbagai aktor bertemu dan berkontestasi satu dengan lainnya. Arena kontestasi ini terkait dengan arena kontestasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk. Setiap aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya memiliki kepentingan masing-masing dan saling bertarung untuk menjaga dan mempertahankan kepentingannya tersebut. Kepentingan yang dimaksud dalam hal ini tidak lain adalah aliran manfaat yang diperoleh dari sumber daya perairan waduk. Arena kontestasi kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk terjadi di 3 (tiga) tingkat, yaitu diskursus, kebijakan dan operasional. Tidak semua aktor terlibat di dalam ketiga tingkat arena kontestasi kepentingan tersebut. Arena kontestasi kepentingan di tingkat diskursus terjadi di dalam 2 (dua) hal, yaitu diskursus pengetahuan daya dukung sumber daya perairan dan diskursus pakan. Kontestasi diskursus pengetahuan daya dukung terjadi pada kelompok aktor otorita saja. Kontestasi diskursus pengetahuan terjadi akibat perbedaan dasar penentuan jumlah KJA berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan. Kontestasi terjadi antara pihak yang menganggap daya dukung dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen terlarut dan pihak yang menganggap daya dukung dihitung berdasarkan total nitrogen dan fosfor. Diskursus pengetahuan kebutuhan oksigen terlarut menganggap sumber masalah degradasi sumber daya perairan waduk akibat melimpahnya akumulasi sumber bahan cemaran yang mengurangi ketersediaan oksigen terlarut di perairan. Strategi yang digunakan adalah mengatasi permasalahan kelimpahan jumlah oksigen terlarut agar jumlah dan usaha KJA tetap dapat berlangsung. Sementara diskursus pengetahuan total nitrogen dan fosfor menganggap sumber masalah degradasi sumber daya perairan waduk adalah akibat akumulasi material loading yang utamanya berasal dari kegiatan KJA (limbah sisa pakan). Strategi yang digunakan adalah mengatasi permasalahan akumulasi material loading (limbah sisa pakan) dengan cara membatasi dan mengurangi jumlah dan usaha KJA. Sementara kontestasi diskursus pakan terjadi di kelompok aktor pengguna. Kontestasi diskursus pakan terjadi dalam 2 (dua) hal, yaitu pakan komersial serta
16 93 non komersial, dan teknik pemberian pakan sistem pompa dan non-sistem pompa. Pihak yang diuntungkan adalah pedagang pakan dan juga pabrik pakan. Meningkatnya jumlah pembudidaya secara otomatis meningkatkan permintaan akan pakan, dan harga pakan pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara keuntungan yang diterima pembudidaya dari tahun ke tahun sebenarnya semakin mengecil, karena meningkatnya persentase biaya pakan dalam perhitungan biaya produksi. Arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan melibatkan kelompok aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan ini terkait erat dengan kepentingan core business yang berbeda dari kelompok aktor otorita. PJT II memperoleh manfaat sumber daya perairan waduk melalui penyediaan bahan baku air bersih dan listrik, sementara Disnakkan Kabupaten Purwakarta memperoleh manfaat sumber daya perairan waduk melalui retribusi dan perizinan. Kerusakan dan degradasi kualitas perairan salah satunya dituding sebagai dampak dari kegiatan perikanan budidaya KJA yang semakin tidak terkendali jumlahnya. PJT II mengambil strategi cenderung membatasi dan mengurangi kegiatan budidaya. Hal yang berbeda terjadi dengan Disnakkan, mengingat manfaat yang diperoleh berasal dari alur kegiatan perikanan, baik budidaya maupun penangkapan, melalui retribusi dan perizinan sebagai sumber PAD. Strategi yang ditempuh dengan cenderung mempertahankan jumlah pembudidaya dan perbaikan teknik-teknik usaha yang lebih ramah lingkungan. Arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional melibatkan kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di tingkat operasional ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara memperoleh, mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk. Ketiga hal tersebut menyebabkan terjadinya proses-proses aliansi dan kolaborasi diantara kelompok aktor pengguna. Proses aliansi dan kolaborasi terjadi dalam bentuk pola hubungan patron-klien antara pihak yang mengontrol akses dan pihak yang mempertahankan akses manfaat sumber daya perairan waduk. Akumulasi dan aliran manfaat sumber daya terjadi dari pihak yang mempertahankan akses kepada pihak yang mengontrol akses atas sumber
17 94 daya. Tabel 25 memperlihatkan arena kontestasi kepentingan di Waduk Djuanda, Jatiluhur. Tabel 25. Arena Kontestasi Kepentingan di Waduk Djuanda, Jatiluhur Arena Kontestasi Aktor Kuat Lemah Pengetahuan daya Otorita dukung sumber daya (PJT II dan Disnakkan Otorita Pengguna perairan waduk Kab. Purwakarta) Diskursus Kebijakan Operasional Pakan Jumlah KJA Mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk Pengguna (pengusaha KJA, pedagang pakan, pabrik pakan) Otorita (PJT II dan Disnakkan Kab. Purwakarta) Pengguna (pengusaha KJA, nelayan, Bandar ikan, pedagang pakan dan pemilik modal) Pedagang pakan dan pabrik pakan Otorita Pengusaha KJA skala besar, pemilik modal, bandar ikan, pedagang pakan) Pengusaha KJA skala kecil Pengguna Pengusaha KJA skala kecil dan nelayan
II. PENDEKATAN TEORITIS
II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama
Lebih terperinciVI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR
VI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR 6.1. Pendahuluan Kalo ngomongnya soal surat-surat (dokumen resmi, perizinan), yah sayasaya ini ga punya hak buat usaha di sini. Tapi saya ini keturunan asli orang
Lebih terperinciBUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN
BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman
Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari
Lebih terperinciBab V Hasil dan Pembahasan
biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan
Lebih terperinciAKSES DAN STRATEGI AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA WADUK DJUANDA Access and Strategy of Actors in Utilizing the Djuanda Reservoir Resource
AKSES DAN STRATEGI AKTOR-AKTOR DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA WADUK DJUANDA Access and Strategy of Actors in Utilizing the Djuanda Reservoir Resource Fatriyandi Nur Priyatna 1, Rilus A. Kinseng 2 dan Arif
Lebih terperinciKONTESTASI KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK DJUANDA, JATILUHUR. Fatriyandi Nur Priyatna
KONTESTASI KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK DJUANDA, JATILUHUR Fatriyandi Nur Priyatna PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 PERNYATAAN
Lebih terperinciBAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data dan analisis yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul ekonomi politik pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waduk Cengklik merupakan salah satu waduk di Kabupaten Boyolali yang memiliki luas 240 ha. Pemanfaatan lahan di sekitar Waduk Cengklik sebagian besar adalah
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK
SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG DAYA TAMPUNG BEBAN PENCEMARAN AIR DANAU DAN/ATAU WADUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciVIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG
126 VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG 8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung Berdasarkan data dan informasi yang didapatkan
Lebih terperinciIr. H. Djuanda di bagian hilir DAS (luas permukaan air ha) selesai dibangun tahun
.. Latar belakang Waduk merupakan danau buatan dengan membendung aliran sungai, yang pada urnumnya ditujukan sebagai tempat penampungan air yang dipergunakan untuk berbagai macam keperluan seperti Pembangkt
Lebih terperinci2014 KAJIAN KUALITAS AIR TANAH DI SEKITAR KAWASAN BUDIDAYA IKAN PADA KERAMBA JARING APUNG DI WADUK JATILUHUR KABUPATEN PURWAKARTA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen pokok dan mendasar dalam memenuhi kebutuhan seluruh makhluk hidup di bumi. Menurut Indarto (2012) : Air adalah substansi yang paling melimpah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).
Lebih terperinci8 KESIMPULAN DAN SARAN
8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat
Lebih terperinciDAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN KELEMBAGAAN USAHA KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI WADUK JATILUHUR
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 3 No. 3, Desember 2016: 248-261 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 http://dx.doi.org/10.20957/jkebijakan.v3i3.16257 DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN KELEMBAGAAN
Lebih terperinciLAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
LAPORAN TEKNIS JUDUL PENELITIAN EVALUASI DAMPAK INDUSTRIALISASI PERIKANAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN (Perairan Umum Daratan) Tim Penelitian : Zahri Nasution
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya pembangunan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik, yang tercermin dalam peningkatan pendapatan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Corporate Social Responsibility (CSR) telah lama diadakan di dunia usaha perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development. CSR PT TIA Danone telah dirilis
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPencemaran air merupakan persoalan yang terjadi di. sungai dari badan air di Indonesia. Sumber pencemaran air
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran air merupakan persoalan yang terjadi di sungai dari badan air di Indonesia. Sumber pencemaran air terutama disebabkan oleh aktivitas manusia dan dipicu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Waduk adalah genangan air dalam suatu cekungan permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai kepentingan, yang airnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budidaya ikan merupakan kegiatan pemeliharaan ikan dalam lingkungan yang terkontrol. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah pemberian pakan.manajemen
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa termasuk Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar (228.523.300
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMen LH No 28 Tahun 2009). Waduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia. Budidaya ikan lele
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia. Budidaya ikan lele dumbo berkembang pesat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan umum untuk aktivitas budidaya ikan air tawar menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya pembangunan waduk di Indonesia. Pembangunan
Lebih terperincicair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN
ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pengelolaan sumber daya alam. Sub sistem ekologi,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perikanan Kabupaten Bandung Secara astronomi Kabupaten Bandung terletak pada 107 22-108 50 Bujur Timur dan 6 41-7 19 Lintang Selatan. Berdasarkan tofografi, wilayah
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA
5 8 BUPATI PENAJAM PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, Menimbang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa irigasi
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN
27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pantai mencapai km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki panjang garis pantai mencapai 104.000 km dengan luas wilayah laut sebesar 7,7 juta km 2 (Pusat Data, Statistik dan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2007 TENTANG
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2007 TENTANG KEADAAN KRITIS YANG MEMBAHAYAKAN ATAU DAPAT MEMBAHAYAKAN SEDIAAN IKAN, SPESIES IKAN ATAU LAHAN PEMBUDIDAYAAN MENTERI
Lebih terperinciBAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial
BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores dengan orang kampung merupakan sebuah intrumen agar dualitas para pendatang dan orang kampung kemudian menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ( Jamilah, 2009 ). Menurut Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2006) bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan manusia terhadap kayu sebagai konstruksi, bangunan atau furniture terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, sementara ketersediaan
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang
Lebih terperincikuantitas sungai sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan iklim komponen tersebut mengalami gangguan maka akan terjadi perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sungai merupakan sumber air yang sangat penting untuk menunjang kehidupan manusia. Sungai juga menjadi jalan air alami untuk dapat mengalir dari mata air melewati
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI
1 / 70 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41
Lebih terperinciPENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
S A L I N A N PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 22 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada LS dan BT.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebuah waduk atau bendungan memiliki fungsi untuk meninggikan muka air sungai dan mengalirkan sebagian aliran air sungai yang ada ke arah sungai. Air sungai yang ditampung
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa
Lebih terperinciplembaran DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA
plembaran DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 6 TAHUN 2010 SERI C ------------------------------------------------------------------ PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 6 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI
Lebih terperinci2 KERANGKA PEMIKIRAN
2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Dewa K. S. Swastika Herman Supriadi Kurnia Suci Indraningsih Juni Hestina Roosgandha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan
Lebih terperinciKAJIAN LAPANG BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN NILA MANDIRI DI WADUK CIRATA DAN JATILUHUR
KAJIAN LAPANG BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN NILA MANDIRI DI WADUK CIRATA DAN JATILUHUR Estu Nugroho Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Sempur No. 1, Bogor 16154 E-mail: engroho@yahoo.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan pangan yang semakin meningkat memicu peningkatan penggunaan pupuk untuk pertanian setiap tahunnya. Menurut perkiraan Departemen Pertanian, kebutuhan pupuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya ikan lele merupakan salah satu jenis usaha budidaya perikanan yang semakin berkembang. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan teknologi budidaya yang relatif
Lebih terperincidan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan
KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman
Lebih terperinci7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN
78 7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN 7.1 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkait sistem bagi hasil nelayan dan pelelangan Menurut
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu spesies yang cukup banyak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu spesies yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Ikan nila dari Indonesia sudah mulai banyak di ekspor ke beberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai mahluk hidup, tidak lepas dari lingkungan sebagai sumber kehidupan. Untuk melangsungkan kehidupannya itu, manusia banyak melakukan caranya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 Undang-
Lebih terperinciKONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH
Kondisi terkini budidaya ikan bandeng di Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Septyan Andriyanto) KONDISI TERKINI BUDIDAYA IKAN BANDENG DI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH Septyan Andriyanto Pusat Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan
Lebih terperinciIX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan mempengaruhi kualitas
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan mempengaruhi kualitas lingkungan. Aktivitas manusia yang semakin banyak akan menimbulkan peningkatan konsumsi dan dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam struktur ekonomi nasional. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya berperan dalam pembentukan
Lebih terperinciBAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar
BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pembangunan di Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar terhadap perubahan dalam perekonomian Indonesia.
Lebih terperinciV. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA
57 V. PENGUKURAN KINERJA PELAKU RANTAI PASOK KOPI ORGANIK DENGAN PENDEKATAN DEA 5.1. Parameter Pengukuran Kinerja Pelaku Rantai Pasok Pengukuran kinerja dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA)
Lebih terperinciVII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL
VII. ANALISIS ASPEK FINANSIAL Analisis aspek finansial digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu proyek atau usaha dari segi keuangan. Analisis aspek finansial dapat memberikan perhitungan secara kuantatif
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya air merupakan salah satu sumberdaya alam yang menjadi prioritas dari lima area kunci hasil Konferensi Sedunia Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on
Lebih terperinciBAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI III.1 LETAK DAN KONDISI WADUK CIRATA Waduk Cirata merupakan salah satu waduk dari kaskade tiga waduk DAS Citarum. Waduk Cirata terletak diantara dua waduk lainnya, yaitu
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit),
Lebih terperinciTujuan. Keluaran. Hasil. Manfaat
SUMBER DAYA AIR Latar Belakang P ermasalahan banjir di Kota Semarang telah menyebabkan dampak yang memprihatinkan, yaitu terhambatnya berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Sebagai contoh, banjir yang sering
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat
Lebih terperinciBab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung
Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Desa Tiohu terletak di sebelah Timur Ibukota Kecamatan Asparaga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Tiohu terletak di sebelah Timur Ibukota Kecamatan Asparaga dengan luas wilayah 566 Km2. Jika dilihat dari pemanfaatan wilayah pertanian, Desa Tiohu terdiri dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya
Lebih terperinciBUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEMBUATAN LUBANG RESAPAN BIOPORI DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN,
1 PERATURAN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PEMBUATAN LUBANG RESAPAN BIOPORI DI KABUPATEN MADIUN, Menimbang : a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau
Lebih terperinciIII KERANGKA PEMIKIRAN
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep Ekonomi 3.1.1. Fungsi Produksi Dalam proses produksi terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.
17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian
Lebih terperinciPERIZINAN USAHA PERIKANAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2002 T E N T A N G PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT Menimbang : a. bahwa, dalam rangka menunjang
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah 1. Persiapan kolam Di Desa Sendangtirto, seluruh petani pembudidaya ikan menggunakan kolam tanah biasa. Jenis kolam ini memiliki
Lebih terperinci