PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF"

Transkripsi

1 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF (Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat) Oleh : AFRINA SARI P PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN Afrina Sari 2006, Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif, Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan Aida Vitayala Hubeis, sebagai Ketua, Budi Suharjo, sebagai Anggota). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif, (2) mengetahui faktor karakteristik personal (umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, pengalaman, motivasi) dan faktor karakteristik situasional (budaya patriarkhi, agama atau kepercayaan, kebijakan pemerintah, kebiasaan, kelompok rujukan) yang berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Pengumpulan data dilaksanakan di tiga kecamatan di Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Medan Satria sejak bulan Maret hingga Mei Penentuan sampel area dan sampel Individu dilakukan dengan metode disproportionate stratified random sampling, yakni Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 40 responden, Kecamatan Bekasi Barat 38 responden dan Kecamatan Medan Satria 22 responden. Kriteria sampel individu adalah: berusia diatas 21 tahun, berpendidikan minimal SLTA dan pernah terdaftar sebagai peserta pemilu Analisis data dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS versi 12 dengan menggunakan test statistik non parametrik chi-square test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden adalah: umur responden dominan berada diantara tahun yaitu 72persen dari total responden. Pekerjaan responden lebih banyak pada sektor swasta yaitu 59 persen dari total responden. Pendapatan responden berada antara 1,5 juta 2,5 juta sebanyak 33 persen dari total responden dan 3,5 juta 5 juta sebanyak 25 persen dari total responden. Pendidikan responden terendah adalah diploma dan tertinggi adalah strata dua (S-2). Pengalaman politik responden berada pada kategori rendah yaitu 53 persen dari total responden. Motivasi politik responden berada pada kategori cukup baik yaitu 55 persen dan baik yaitu 31 persen dari total responden. Budaya patriarkhi berpengaruh terhadap responden yaitu 67 persen dari total responden dan sangat berpengaruh sebanyak 7 persen dari total responden dan 26 persen merasa tidak berpengaruh. Agama atau kepercayaan responden lebih dominan Islam yaitu 79 persen dari total responden, 19 persen beragama Kristen dan 2 persen beragama Hindu/Budha. Kebijakan Pemerintah dalam UU.No12.tahun 2003 tentang pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, responden sebanyak 71 persen menyatakan mengerti dengan kebijakan tersebut. Kebiasaan responden berada dalam kategori baik yaitu 50 persen dari total responden menunjukkan mempunyai kebiasaan baik. 48 persen responden menunjukkan mempunyai kebiasaan sangat baik. Kelompok rujukan berpengaruh terhadap responden yaitu 74 persen responden menyatakan kelompok rujukan mempengaruhi aktivitas mereka. 18 persen responden menyatakan bahwa kelompok rujukan sangat mempengaruhi aktivitas mereka. Terpaan Media massa secara surat kabar terhadap responden berada pada kategori sedang yaitu 40 persen dari total responden dan 38 persen mengalami terpaan media surat kabar secara tinggi. Terpaan media massa majalah terhadap responden berada pada kategori rendah yaitu 65 persen dari total responden. 26 persen berada pada kategori sedang dan 9 persen pada kategori tinggi. Terpaan Media Televisi terhadap responden berada pada kategori rendah, sedang dan tinggi.

3 Faktor karakteristik personal dan karakteristik situasional yang berhubungan dengan persepsi responden terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif adalah: (1) Jenis kelamin mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (2) Umur mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (3) Pendidikan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (4) Pekerjaan responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (5) Pendapatan responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (6) Pengalaman politik responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (7) Motivasi politik mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (8) Budaya patriarkhi mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik, mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap partisipasi politik dan keterwakilan politik. (9) Agama atau kepercayaan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (10) Kebijakan pemerintah mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik keterwakilan politik. (11) Kebiasaan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (12) Kelompok rujukan mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (13) Terpaan Media Massa surat kabar mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (14) Terpaan Media majalah mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (15) Terpaan Televisi mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif menunjukkan hasil yang positif. Responden menilai positif dan bahkan sangat positif terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan.

4 i Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF. (Studi Kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat) : AFRINA SARI : P : KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN Menyetujui: 1.Komisi Pembimbing Dr.Ir. Aida Vitayala Hubeis,MS Ketua Dr.Ir. Budi Suharjo, MS Anggota 2. Ketua Program Studi 3. Deka n Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dr. Ir. Sumardjo, MS Dr. Ir. Khairil Notodipuro, MS

5 ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1968 di Kota Padang Sumatera Barat, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari Bapak Syamsul Bahri Chan (Alm) dan Ibu Mawarni. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1974 di Sekolah Dasar Negeri No 3 Bandar Buat padang, tamat tahun 1980; Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LB Begalung Padang, tamat tahun 1983; dan sekolah Menengah Atas Negeri No.4 Padang, tamat tahun Kemudian tahun 1987 penulis melanjutkan studi di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, tamat tahun Sejak tahun 1996, penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta hingga sekarang. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor.

6 iii SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar benarnya bahwa semua pernyataan dalam tesis dengan judul: PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF Merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan Ibu DR. Ir. AidaVitayala Hubeis,MS dan Bapak DR.Ir. Budi Suharjo,MS. Tesis ini belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar pada Program studi sejenis di Perguruan Tinggi lain. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Agustus 2006 AFRINA SARI P

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunianya jualah maka penulis dapat menyelesai thesis ini. Thesis ini berjudul Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif (Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat), dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Bekasi. Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis persepsi masyarakat aktivis politik dan masyarakat bukan aktivis politik terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Penelitian ini juga melihat faktor personal dan situasional yang mempengaruhi persepsi individu dari masyarakat tersebut. Thesis ini terwujud berkat bimbingan dan konsultasi yang diberikan oleh para dosen pembimbing, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berterimakasih kepada yang terhormat: 1. Ibu Dr.Ir.Aida Vitayala Hubeis,MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Bapak.Dr.Ir.Budi Suharjo,MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Soleh,MS, selaku Penguji Luar Komisi. 4. Ketua Program Studi KMP Bapak Dr.Ir. Sumardjo,MS 5. Rekan-rekan sesama mahasiswa/i KMP angkatan Suami dan anak-anak beserta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan do a, semangat dan materiel. Akhir kata, seperti kata pepatah Tak ada gading yang tak retak maka dengan kerendahan hati penulis-pun menyadari bahwa kritik dan saran yang kontruktif dari para pembaca merupakan masukan yang akan menyempurnakan karya tulis ini. Bogor,Agustus 2006 AFRINA SARI P

8 DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR....i DAFTAR ISI. iii DAFTAR TABEL. vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN. viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Pengertian Persepsi Proses Pembentukan Persepsi Faktor yang mempengaruhi Persepsi Terpaan Media Massa Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik. 25 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Hipotesis BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi Teknik pengambilan sampel Desain Penelitian Data dan Instrumentasi Definisi Operasional dan Pengukuran Validitas dan Realibilitas Instrumen Analisa Data.. 47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Geografis Keadaan Penduduk Karakteristik responden Persepsi Terhadap Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif Faktor faktor karakteristik yang berhubungan dengan Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan Di legislatif 80 KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan Saran. 114 DAFTAR PUSTAKA 115 LAMPIRAN LAMPIRAN.. 120

9 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Distribusi Perwakilan perempuan di lembaga Indonesia Distribusi Wilayah dan Jumlah penduduk Kota Bekasi Distribusi sampel Distribusi penduduk berdasarkan jenjang Pendidikan Umur Responden menurut Jenis kelamin Jenis Pekerjaan Responden Menurut Jenis Kelamin Pendapatan Responden Menurut Jenis Kelamin Pendidikan Responden Menurut Umu Pengalaman Politik Responden Motivasi Politik Responden Pengaruh Budaya Patriarkhi Terhadap Responden Agama ( Kepercayaan ) Responden Pengertian Responden Tentang Kebijakan Pemerintah Kebiasaan Responden Pengaruh Kelompok Rujukan Terpaan Surat Kabar berdasarkan pendidikan Terpaan Majalah Berdasarkan Pendidikan Terpaan Televisi Berdasarkan Pendidikan Distribusi Terpaan Media Surat Kabar di 9 Media Distribusi Terpaan Media Televisi di 14 Media Persepsi Tentang Akses Politik Perempuan Persepsi Tentang Partisipasi Perempuan Persepsi Tentang Keterwakilan Politik Perempuan Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Gender ( Jenis Kelamin) dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Umur Responden dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendidikan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendapatan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai.. 90

10 29 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pengalaman Politik dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Motivasi politik dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Budaya Patriarkhi dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Agama dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebijakan Pemerintah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebiasaan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kelompok Rujukan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Surat Kabar dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Majalah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Televisi dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai. 109

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen Keterwakilan perempuan di Legislatif.. 33

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner Pene litian. 120

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia pada tahun 2015 (UNDP,2003). Dengan terselenggaranya Sidang Istimewa Majelis Umum Beijing ke-5 yang menempatkan isu-isu kesetaraan sebagai prioritas utama. Bentuk usaha UNDP lainnya adalah mensponsori pertemuan yang dihadiri berbagai kalangan yang didasari oleh pengalaman dan keahlian seperti para menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah, tokoh nasional, masyarakat sipil di tingkat akar rumput. Acara tersebut diselenggarakan di New Delhi, India bulan Maret 1999, tema pertemuan tersebut adalah Partisipasi Politik Perempuan: Tantangan Abad 21. Pertemuan itu memfokuskan pada sejumlah masalah, antara lain; kemajuan yang dicapai pada partisipasi politik perempuan sejak program Aksi Beijing; Eksperimen India dengan amandemen konstitusinya yang mewajibkan sepertiga kursi wakil pemerintah lokal untuk perempuan dan kaitan yang lebih luas antar gender, kemiskinan dan tata pemerintahan. Pertemuan itu juga menyoroti Anggaran Perempuan Afrika Selatan, Pengalaman Uganda dengan aliansi baru bagi gender dan politik, serta mengkaji berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan yang berdasar gender. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tujuan tersebut, di antaranya, dengan membangun mekanisme baru yang memungkinkan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan politik dan ekonomi, terutama pada alokasi anggaran nasional. Di samping itu, kesempatan untuk membangun jaringan nasional, regional dan global tidak 1

14 boleh disia -siakan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet. UNDP mempunyai komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra lain. Cara-cara tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan inisiatif dalam menciptakan bentuk tata pemerintahan yang lebih inklusif dan efektif di semua tingkat masyarakat. Pendekatan gender dalam pembangunan yang dianut UNDP adalah mewadahi sepenuhnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pembangunan. Tujuan akhir adalah terciptanya pola hubungan gender yang lebih setara dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan manusia yang lebih luas. Program kesetaraan gender dan Pemberdayaan perempuan di Indonesia dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program UNDP sejalan dengan Program Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu implementasi pembangunan terhadap wanita Indonesia. Program UNDP telah membangkitkan semangat wanita Indonesia dan berbagai kalangan aktivis wanita serta LSM yang memperjuangkan peranan wanita pada tingkat tatanan pemerintahan serta pada kebijakan pengambilan keputusan. Kaukus perempuan di Parlemen mendukung adanya program pertemuan di India yang membicarakan Partisipasi politik perempuan dan tata Pemerintahan yang baik: Tantangan Abad 21. Sejalan dengan hal ini, Demokrasi di Indonesia yang terbuka setelah Orde baru runtuh, menimbulkan reformasi terhadap tata Pemerintahan yang diharapkan demokratis. Bersamaan dengan perjuangan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang mengarah kepada lebih adanya mekanisme yang menempatkan perempuan secara jelas dan luas dalam politik. Perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan berbagai pemerhati perempuan dengan keinginan sama yaitu berkeinginan mempengaruhi keputusan keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka, 2

15 perekonomian dan nasib masyarakat, negara serta struktur hubungan internasional. Perjuangan ini berdengung di mana-mana, yang menginginkan keterlibatan perempuan secara nyata dalam kancah politik. Keterlibatan yang dimaksud adalah terlibat secara platform pasti di dalam Parlemen. Perjuangan itu akhirnya melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 65 ayat (1) berbunyi setiap partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30 persen. Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen merupakan suatu langkah affirmative action, sebagaimana dikatakan oleh Chusnul Mar yah (Kompas, 2002). Mekanisme kuota sebagai Affirmative-action (tindakan afirmatif) secara efektif dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Kuota juga dapat meminimalkan anggapan bahwa perempuan kurang kualitas untuk terpilih dalam lembaga politik, atau tidak adanya keinginan perempuan untuk masuk ke dalam masyarakat yang sangat patriarkhis. Melihat Indonesia dengan berbagai budaya bangsa, di mana setiap budaya mempunyai adat istiadat yang kukuh dan hampir semua budaya menempatkan posisi wanita adalah di dalam rumah atau sifatnya domestik. Kuota 30 persen merupakan peluang cukup besar bagi wanita Indonesia berada di publik, dan dapat terlibat secara langsung dalam pengambila n keputusan. Peluang ini sebagai tantangan bagi wanita Indonesia. Keterwakilan perempuan yang sudah didengungkan dan sudah menjadi suatu keputusan yang di muat dalam UU.No.12 tahun 2003 dengan harapan dapat mewakili perempuan. Namun pada pemilu 2004 tidak terpenuhi, hal ini mungkin disebabkan oleh karena masih banyak partai politik yang tidak melakukan dan memberi peluang kepada perempuan 3

16 untuk mewakili partainya. Ada alasan yang berkembang bahwa terlalu sulit untuk mencari perempuan yang dijadikan Calon Legislatif (Caleg). Karena belum banyak perempuan Indonesia yang melibatkan dirinya ke dalam kancah politik. Sehingga asumsi yang berkembang adalah apakah perempuan Indonesia belum siap berkiprah dalam politik? Atau apakah kesempatan yang tidak terbuka bagi perempuan tersebut? Atau apakah adat istiadat yang tidak membolehkan mereka berkecimpung dalam politik? bahwa : Senada dengan hal tersebut, juga disampaikan oleh Hubeis( 2003), sebagai perempuan dimanakah kita harus dan perlu bersikap untuk memotivas i diri dan sekaligus mengembangkan militansi diri dan lingkungan kita kaum perempuan- untuk berpacu dengan waktu. Pertama, di kalangan perempuan diperlukan adanya keinginan untuk mengintrospeksi diri yaitu sanggupkah perempuan menjadi representasi rakyat (yang mau mendengar dan mengutarakan aspirasi rakyat secara benar). Kedua, apakah kita - kaum perempuan- sudah memiliki data base tentang perempuan potensial di republik ini? Ketiga, siapkah kita merebut dan memposisikan diri kita sebagai sumber daya intele ktual strategis dan potensial dalam pembangunan negeri dan bangsa ini? Keempat, seberapa jauh kita kaum perempuan tanpa harus terkotak-kotak dalam suatu partai atau kelompok? Kelima, siapakah yang harus merekrut dan direkrut? Banyak pertanyaan yang timbul yang dihubungkan dengan kemampuan dan kesiapan wanita untuk memanfaatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Masih ada kesanksian baik dari kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan Indonesia. 4

17 1.2. Perumusan Masalah Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun Sebagaimana dikatakan oleh Bari Azed.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Gerakan tersebut juga mengilhami pemerhati perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan di Parlemen agar diberi kuota. Berbagai kalangan ada yang mempertanyakan perlukah kuota bagi perempuan? Karena selama ini perempuan telah diberi kesempatan untuk berkiprah dalam politik. Dapat dilihat contoh; seperti Megawati Soekarno Putri, Aisyah Amini, Fatimah Ahmad dan lain sebagainya. Pertemuan di New Delhi, yang dihadiri oleh Negara-negara yang menjadi anggota, memutuskan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik di setiap negara diharapkan minimal persen. Keterwakilan tersebut menjadikan pemerhati perempuan di Indonesia memperjuangkan menjadi suatu hal nyata dengan harapan agar perempuan Indonesia dapat berpartisipasi untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam politik. Banyak pendapat yang menilai bahwa kuota merupakan jawaban bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup konsep-konsep yang dianggap gender neutral. Kuota juga memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan. 5

18 Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua ; melalui undang undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang undang pemilu juga dilaksanakan Di Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina (Kompas,2003). Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan disetujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun Undang-undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilu 2004 yang lalu sistem pemilu yang dilakukan adalah sistem Distrik yaitu sistem ini merupakan sistem pemilihan yang didasari atas kesatuan geografis. Artinya calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak itulah yang dianggap menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Bari Azed, (2005) mengatakan bahwa sistem single member constituency (sistem Distrik ) mempunyai beberapa kelemahan yaitu: a. sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. 6

19 b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan. Dari uraian tersebut diprediksi bahwa himbauan terhadap keterwakilan perempuan pada partai politik sebanyak 30 persen merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Karena posisi perempuan dalam calon legislatif pada setiap partai menempatkan pada posisi nomor yang jauh untuk menang, lebih tepatnya posisi tidak jadi (duduk menjadi anggota Dewan). Penelitian ini mengambil kasus Keterlibatan perempuan di legislatif DPRD kota Bekasi yang berjumlah lima orang wanita dari 45 orang anggota Dewan. Artinya baru 11 persen keterwakilan perempuan di legislatif tingkat Kota Bekasi. Dari lima orang perempuan anggota Legislatif tersebut mereka berasal dari Partai Golkar (3 orang), Partai PDI Perjuangan (1.orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1.orang). Ada dua partai pemenang Pemilu 2004 yang tidak memperoleh Keterwakilan perempuan yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Timbul asumsi awal pada peneliti, bahwa kuota 30 persen yang tercantum pada pasal 65 ayat 1 dalam Undang-Undang No.12 tahun 2003, dalam pelaksanaan pasal tersebut mungkin belum dipahami secara mendalam oleh sejumlah Partai pelaksana pemilu. Kuota tersebut hanya sebagai simbol bahwa kesetaraan gender dalam politik sudah ada di Indonesia hanya tinggal pelaksanaannya. Atau masing-masing individu yang terlibat di dalam partai pelaksana pemilu belum siap untuk menerima keterwakilan perempuan secara kuota yang telah ditentukan. 7

20 Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? Sehingga permasalahan ini di rinci sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? 2. Faktor-faktor karakteristik personal dan situasional apa yang berhubungan dengan persepsi tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui persepsi masya rakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. 2. Menganalisis faktor-faktor personal dan situasional yang berhubungan dengan persepsi masyarakat tersebut Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis yaitu : 1. Kegunaan Teoritis : a. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian Ilmu komunikasi, Terutama komunikasi politik dalam memperoleh persepsi masyarakat sehingga dijadikan rujukan untuk pengembangan penelitian komunikasi yang akan datang. b. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu psikologi Komunikasi yang menyangkut Persepsi Masyarakat. c. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu komunikasi. 8

21 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi Komisi Pemilihan Umum untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009 yang akan datang. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan terhadap perempuan di Indonesia, terutama untuk penentuan kuota bagi keterwakilan perempuan. 9

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Komunikasi adalah pengoperan lambang yang me ngandung arti dan bertujuan memberikan partisipasi (Susanto,1984), lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap pesan yang dilancarkan oleh komunikator kepada komunikan, bertujuan mempengaruhi komunikan ke arah sikap dan tindakan yang diinginkan oleh komunikator. Komunikasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain(devito, 1997). Lebih lanjut devito (1977) menyatakan bahwa komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim, dan menerima pesan yang terdistorsi oleh noise (gangguan), terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan tanggapan dari sipenerima pesan itu, pengirim pesan dapat menilai efektivitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dimengerti dan sejauhmana pesannya dimengerti oleh orang yang dikirim pesan itu (Hardjana, 2003). Komunikasi dapat menimbulkan terjadinya pertuka ran kata dengan arti dan makna tertentu. Dari sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. Komunikasi dapat terjadi tidak saja dengan orang lain atau 10

23 individu di luar kita, tetapi dapat juga terjadi dengan diri sendiri. Komunikasi jenis ini disebut komunikasi intrapersonal. Dalam Komunikasi intrapersonal, komunikator sekaligus komunikan terhadap suatu pesan. Komunikasi intrapersonal dimulai oleh sensasi terhadap sesuatu yang menarik perhatian seseorang, kemudian diikuti oleh persepsi, yaitu pemberian makna terhadap hal-hal yang dijadikan perhatian. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor personal individu dan faktor situasional individu. Untuk mengungkapkan suatu pendapat dari seorang individu, pengalaman dan pola pikir mempengaruhi, sehingga ungkapan pendapat satu individu dengan individu lain terhadap suatu objek akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional pada diri individu tersebut. Rakhmat (1992) menyatakan bahwa komunikasi intrapersonal adalah proses bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Proses informas i tersebut meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberikan makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons. Bentuk komunikasi intrapersonal yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah persepsi yaitu proses pemberian makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan. Persepsi yang dibahas adalah persepsi masyarakat di daerah Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan politik perempuan. 11

24 2.2. Pengertian Persepsi Secara sederhana persepsi diartikan sebagai suatu aktivitas pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991) Pengamatan tersebut dilakukan terhadap suatu objek yang ditangkap oleh indra dan kemudian diinterpretasikan pada bagian tertentu dalam otak (Sarwono,1992) Sarwono(1992) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan terhadap suatu objek melalui aktivitas sejumlah pengindraan yang disatukan dan dikordinasikan dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak). Proses pengamatan tersebut menurut Chaplin dalam Winkel (1996) berlangsung secara objektif, bahkan, lebih jelas dikatakan bahwa mempersepsikan sesuatu berarti memberikan penilaian penilaian terhadap suatu objek berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimiliki. Persepsi dengan demikian berarti pemberian makna, atau tafsiran dengan jalan menyusun atau mengorganisasikan informasi yang diterima (McMahon dan McMahon,1986), oleh karena itu dalam pembentukan persepsi tersebut menurut Desiderato (Rakhmat,1992) berlangsung proses pemberian kesimpulan dalam memberikan makna terhadap stimuli yang ada. (Sarwono,1992) secara lebih rinci mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi dan dalam proses kategorisasi tersebut organisme dirangsang ole h masukan tertentu (objek dari luar, peristiwa, dan lain-lain). Organisme tersebut kemudian merespons dengan menghubungkan masukan yang ada dengan salah satu kategorisasi (golongan) objek objek atau peristiwa yang ada dalam ingatan jangka panjang. Proses menghubungkan ini merupakan proses aktif yaitu ketika individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat hingga dapat mengenali dan memberi arti terhadap masukan tersebut, dan oleh sebab itulah persepsi juga dikatakan bersifat inferensial atau menarik kesimpulan. 12

25 2.3. Proses pembentukan Persepsi Proses pembentukan persepsi juga dijelaskan oleh Feigl (Yusuf, 1991) terjadi melalui 3 mekanisme pembentukan yaitu(1) selectivity, (2) Closure (3) Interpretation. Proses selectivity terjadi ketika ses eorang diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseleksian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan, sedangkan interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberikan tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Rakhmat (1992) melengkapi pernyataan tersebut dengan mengemukakan bahwa dalam mengorganisasikan stimuli tersebut akan melihat konteksnya, wala upun stimuli yang diterima seseorang tidak lengkap cenderung akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsinya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang yang mengalaminya. Berdasarkan uraian yang ada dan bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif maka tepatlah jika dikatakan bahwa persepsi merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam proses belajar menerima nilai-nilai dalam pelaksanaan politik dan adanya keterlibatan perempuan dalam publik secara politik. Paradigma selama ini yang memandang bahwa perempuan selalu lebih cocok di dalam dunia domestiknya yaitu keluarga dibandin g dengan publik. Langkah dengan adanya kuota 30 persen ini adanya proses belajar bagi perempuan untuk menerima sesuatu yang belum begitu lumrah dilaluinya. Selama ini masyarakat belum memberikan tempat lebih banyak bagi perempuan. Proses perubahan yang menunjukkan bahwa dalam diri orang yang bersangkutan telah berlangsung suatu proses belajar yang merupakan kegiatan mental dan tidak dapat disaksikan dari luar kecuali bila dinyatakan secara eksplisit oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini Winkel 13

26 (1996) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemaknaan (kognitif), kemampuan (sensorik motorik) dan sikap nilai (dinamik afektif). Rangsangan atau informasi yang diterima oleh indra, sebagai suatu aktivitas mental dalam proses belajar akan diproses di dalam alam berpikir sebagai suatu rangkaian kejadian atau peristiwa dalam otak mulai dari saat informasi diterima sampai dengan saat dilepas kembali. Peristiwa pemprosesan informasi (Information processing) tersebut dapat dibagi ke dalam berbagai urutan peristiwa sebagai berikut (Winkel, 1996): 1. Lingkungan akan mengeluarkan berbagai jenis rangsangan berupa energi phisik seperti bunyi, sinar maupun tekanan yang menjadi informasi bagi satuan struktural yang menangkapnya. 2. Informasi yang ditangkap oleh alat alat indera seperti mata, telinga, kulit dan lain lain, diubah/ditransformasikan menjadi pulsa-pulsa elektronik yang dikirim ke pusat-pusat tertentu dalam otak dan akhirnya masuk ke dalam sistem syaraf pusat. 3. Informasi yang ditampung tersebut disimpan selama waktu yang sangat singkat sekali. Sebagian kecil diteruskan keingatan jangka pendek atau Short Term Memory (STM) untuk diolah lebih lanjut, sedangkan sisanya hilang dan tidak ikut dalam pengolahan. Baik kuantitas maupun jenis informasi yang diolah menjadi berkurang. 4. Informasi yang telah diseleksi tersebut masuk ke dalam ingatan jangka pendek, dan pada saat ini individu yang bersangkutan menyadari ada sesuatu yang dihadapi, namun lamanya kesadaran tersebut sangat singkat kemudian informasi tersebut menghilang kembali kecuali bila diolah dan diberi makna. Mengingat daya tampung penyimpanan informasi dalam ingatan jangka pendek ini terbatas maka hanya sebagian informasi saja yang berhasil masuk 14

27 ke sana yakni informasi yang berhasil menarik perhatian individu yang bersangkutan. Dilanjutkan kemudian dengan terjadinya proses pengolahan dengan menghubungkan atau mengintegrasikan informasi baru tersebut dengan informasi lama yang digali kembali dari ingatan jangka panjang. Pengolahan ini merupakan proses transformasi yang dikenal dengan istilah coding dan encoding. 5. Hasil pengolahan tersebut menjadi masukan bagi ingatan jangka panjang atau Long Term Memory (LTM) dan akan tersimpan dalam jangka panjang waktu yang lama. 6. Informasi yang berasal dari ingatan jangka pendek ataupun jangka panjang akan ditransformasikan untuk menentukan bentuk dan wujud dari jawaban/reaksi serta urutan pelaksana annya. 7. Selanjutnya, mewujudkan jawaban/reaksi tersebut melalui otot dan kelenjar, misalnya lengan dan tangan untuk menulis, peralatan suara untuk berbicara. Berdasarkan ketujuh langkah di atas, mulai dari ketika indra menangkap rangsangan dan sebelum menjadi suatu tindakan atau jawaban/reaksi, maka informasi tersebut terlebih dahulu mengalami proses pembentukan persepsi yang berlangsung pada urutan ke 4 yang terjadi ketika organisme menangkap stimuli berupa objek, gejala maupun peristiwa dan menghubungkannya dengan salah satu kategori (golongan) objek-objek atau peristiwa yang terdapat dalam ingatan jangka panjang sebagai hasil pengalaman belajar pada masa yang lalu, dengan jalan menggali kembali atau me-recall hasil pengalaman tersebut. Aktivitas menghubungkan atau mengintegrasikan kedua informasi tersebut dilakukan dengan sengaja dengan tujuan agar dapat memberi arti atau makna terhadap masukan yang ada. Pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di le gislatif merupakan suatu ide 15

28 atau gagasan yang telah dituangkan ke dalam undang undang RI No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1, dan telah dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terdapat di seluruh tanah air yang terdiri dari berbagai lapisan terutama bagi partai politik. Diharapkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen membuka peluang besar bagi perempuan yang ada di Indonesia, sehingga membuat suatu persepsi terhadap pelaksanaan kuota 30 persen secara positif. Perilaku yang mendukung terhadap pelaksanaan kuota tersebut, dapat ditandai dengan seberapa jauh masyarakat memahami pelaksanaan kuota tersebut? sehingga mengarah kepada pembentukan sikap dan keputusan yang akan diambil sebagai jawaban atau reaksi terhadap masukan ide atau gaga san yang terdapat dalam UU RI.No.12 tahun Pengolahan informasi dalam pembentukan persepsi seperti telah disebutkan berlangsung dengan menghubungkan informasi yang ada dengan informasi hasil pengalaman belajar pada masa lampau. Pengalaman belajar menurut Walker (1973) merupakan akumulasi dari berbagai proses belajar. Proses belajar tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, nilai nilai adat istiadat atau kebiasaan, serta berbagai pengalaman hidup lainnya, yang dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam faktor personal dan situasional. Aktivitas menggali atau mengingat kembali pengalaman masa lalu ini menurut Bloom (Winkel, 1996) merupakan bagian dari wilayah kognitif yang disebut pengetahuan. Pengetahuan menurutnya merupakan aktivitas mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan, yang meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan tersebut digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan, mengingat (recall ) atau mengga li kembali (recognition). Mewujudkan menjadi suatu reaksi atau jawaban terhadap informasi yang diterima, sebelumnya akan terbentuk suatu persepsi dalam diri individu yang bersangkutan, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya 16

29 sikap. Penentuan sikap terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa menurut Winkel (1996) merupakan kecenderungan menerima atau menolak suatu objek, gejala, maupun peristiwa yang didasarkan pada penilaian terhadap objek, gejala maupun peristiwa tersebut berguna/berharga baginya atau tidak. Penilaian berdasarkan sikap ini bersifat selektif yakni bila objek tersebut baik untuk saya maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian positif. Sebaliknya bila tidak baik untuk saya maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian negatif. Second and Backman (Azwar, 1997) mengemukakan bahwa sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya. Reaksi atau Jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu informasi dapat dinyatakan dalam bentuk tindakan atau perilaku maupun pendapat (opini). Opini atau pandapat, menurut Philip L Harriman dalam (Muhibinsyah,1995) adalah ungkapan dari suatu kepercayaan atau keputusan yang terbuka untuk berubah. Antara opini dan sikap sangat erat kaitannya, bahkan Nasution (1990) mengatakan bahwa opini merupakan ekspresi dari sikap (attitude) akan tetapi opini lebih mudah berubah dibanding dengan attitude. Azwar (1997) mengatakan bahwa opini merupakan pernyataan sikap yang sangat spesifik. Opini terbentuk didasarkan sikap yang sudah mapan akan tetapi lebih bersifat situasional dan temporer. Carld I Hovland dalam (Rousydy, 1985) mengatakan bahwa sikap seseorang biasanya mencerminkan sekaligus pendapatnya akan tetapi belum tentu apa yang dinyatakan (opini) oleh seseorang akan menentukan attitude (sikap) yang sebenarnya. Berdasarkan uraian yang ada maka dapatlah disimpulkan bahwa pendapat (opini) adalah suatu pernyataan atau ungkapan baik lisan maupun tulisan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu ide/gagasan yang sifatnya lebih situasional dibanding persepsi maupun sikap. Opini akan mengambarkan posisi seseorang berada di pihak: setuju atau tidak setuju, 17

30 mendukung atau tidak mendukung dan sebagainya. Sikap merupakan penilaian yang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan pemikiran atau rasional (kognisi) semata akan tetapi yang terpenting dalam membuat penentuan sikap didasarkan pada pertimbangan perasaan atau hal-hal yang bersifat emosional. Wujud pernyataan sikap seseorang juga dapat dinyatakan seperti : sikap mendukung atau tidak mendukung, setuju atau tidak setuju terhadap suatu ide atau gagasan yang diperkenalkan. Berbeda halnya dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil proses bela jar yang berhasil tersimpan untuk jangka waktu yang lama dalam ingatan jangka panjang (LTM) individu yang sedang mengalami proses belajar. Pengetahuan memberikan kontribusi dalam terbentuknya persepsi, sikap maupun opini atau pendapat. Seseorang dapat mene ntukan persepsinya terhadap suatu ide atau gagasan didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya tentang hal-hal yang berhubungan dengan ide atau gagasan tersebut. Hal serupa juga terjadi saat pembentukan sikap. Sikap seseorang cenderung selaras dengan persepsi yang dimilikinya terhadap ide atau gagasan tersebut. Seseorang dapat menentukan pendapat atau opini apabila yang bersangkutan telah menentukan persepsi dan sikapnya terhadap ide atau gagasan tersebut. Mengacu pada uraian yang ada maka konsep persepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah suatu pandangan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan secara sengaja dengan cara menghubungkan objek, gejala atau peristiwa tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, sistem kepercayaan, adat istiadat yang dimiliki dan sebagainya. 18

31 2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Persepsi sebagai salah satu rangkaian dalam proses perubahan, sebelum diputuskan menjadi suatu pandangan terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, lebih dahulu mengalami suatu proses penilaian. Proses penilaian yang berlangsung dalam alam pikiran seseorang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dalam diri seseorang, menurut Krech dan Cruthfield dalam Sarwono (1976) adalah faktor pengalaman masa lampau, dan juga beberapa faktor lain yang membedakan persepsi antar individu seperti kebutuhan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup, kebudayaan dan faktor umur seseorang. Krech dan Cruthfield dalam Rakhmat (1992)mengemukakan empat dalil persepsi. Pertama; persepsi bersifat selektif secara fungsional. Berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, seperti dipengaruhi oleh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya. Dalil kedua dikatakan bahwa medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Dimaksudkan bahwa walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan. Dalil ketiga dikatakan bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Dalil keempat dikatakan bahwa objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. 19

32 Mar at (1984) menyebutkan bahwa persepsi merupakan hasil proses pengamatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu objek maupun peristiwa, mengemukakan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi persepsi adalah pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap yang dilihatnya, sedangkan cakrawala dan pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memberikan arti bagi objek psikologinya. Vandemark dan Leth dalam Yusuf (1991) juga mengemukakan hal yang hampir sama yaitu bahwa perbedaan persepsi individu yang satu dengan individu yang lainnya ditentukan antara lain oleh perbedaan pengalaman, motivasi, keadaan dan nilai serta kepercayaan. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi pemberian makna terhadap stimuli yang diterimanya, bahkan ia mengemukakan bahwa setiap orang cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan sikap, nilai dan kebutuhannya, yang ia sebut dengan selective perception. Dalam penelitian ini yang menjadi objek persepsi adalah kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang dilihat terhadap; akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. Sehingga dapat diartikan bahwa objek psikologi dalam persepsi adalah manusia yaitu; perempuan Indonesia. Dalam ilmu psikologi komunikasi, persepsi terhadap manusia disebut persepsi interpersonal yaitu terjadinya persepsi antara satu individu terhadap individu lainnya. (Rakhmat, 1992). Faktor Personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah: Pertama, Deskripsi verbal yaitu, adanya ucapan verbal yang dikemukakan seseorang atau kelompok kepada orang lain secara komunikasi interpersonal, sehingga rangkaian deskripsi verbal membuat pendengar/ komunikan yang mendengar membuat kesimpulan berdasarkan apa yang didengarnya. Kedua, petunjuk proksemik, yaitu penggunaan jarak yang 20

33 dilakukan dalam menunjukkan hubungan dengan orang lain dan dapat menunjukkan tingkat keakraban diantaranya. Ketiga, petunjuk paralinguistik yaitu; cara bagaimana orang mengucapkan lambang-lambang verbal, yang menunjukkan apa yang diucapkan, bagaimana mengucapkannya, tergantung tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek) dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Keempat, petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan pada seseorang. Sedangkan faktor personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah; pengalaman, motivasi dan kepribadian. Berdasarkan beberapa faktor yang telah dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa faktor yang diduga mempengaruhi persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan dari Masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif adalah: faktor individual Personal yaitu: (1) Usia/umur, (2) Pekerjaan, (3) Pendapatan, (4) Pendidikan, (5) Pengalaman, (6) Motivasi. Sedangkan faktor situasional yaitu: (1) Budaya Patriarkhi, (2) Agama, (3) Kebijakan Pemerintah, (4) Kebiasaan, (5) Kelompok rujukan Terpaan Media Massa Terpaan Media massa merupakan keterdedahan individu oleh media massa yang bersifat cetak maupun elektronik. Terpaan media merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari. Terpaan media secara surat kabar merupakan keterdedahan terhadap informasi yang disajikan surat kabar. Dapat juga dikatakan seberapa banyak individu mengunakan media surat kabar dalam mendapatkan informasi. Terpaan media majalah merupakan suatu keterdedahan terhadap informasi yang disajikan majalah. Dapat juga dikatakan seberapa sering atau digunakan individu dalam mendapatkan informasi untuk menambah pengetahuan atau wawasan. Terpaan media televisi merupakan terpaan 21

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF (Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat) Oleh : AFRINA SARI P 054040091 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF Oleh Afrina Sari (Dosen Ilmu komunikasi Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa) ABSTRACT This research to analyze people's

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. perumahan Kota Modern , tentunya tidak bisa lepas dari berbagai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. perumahan Kota Modern , tentunya tidak bisa lepas dari berbagai BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pemilihan media baru dalam dunia pendidikan di kalangan remaja di perumahan Kota Modern 2014-2015, tentunya tidak bisa lepas dari berbagai alasan rasional yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif

Lebih terperinci

Psikologi Komunikasi

Psikologi Komunikasi MODUL PERKULIAHAN Psikologi Komunikasi Proses Komunikasi Intra Personal I Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Fakultas Ilmu Markom & 85006 Wulansari Budiastuti,S.T.,M.Si. Komunikasi

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang dimulai sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di segala bidang, terutama

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK Sebagai para pemimpin partai politik, kami memiliki komitmen atas perkembangan demokratik yang bersemangat dan atas partai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASIWA TERHADAP IKLAN LUX VERSI BANDAR UDARA ATIQAH HASIHOLAN. Ayu Maiza Faradiba. Universitas Paramadina

PERSEPSI MAHASIWA TERHADAP IKLAN LUX VERSI BANDAR UDARA ATIQAH HASIHOLAN. Ayu Maiza Faradiba. Universitas Paramadina PERSEPSI MAHASIWA TERHADAP IKLAN LUX VERSI BANDAR UDARA ATIQAH HASIHOLAN Ayu Maiza Faradiba Universitas Paramadina ABSTRAK Tujuan Penelitian: untuk mengetahui sejauh mana persepsi mahasiswa Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra padahal banyak kemampuan kaum perempuan yang tidak dimiliki oleh laki - laki.

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

PSIKOLOGI KOMUNIKASI. Komunikasi Intra Personal. Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Public Relation

PSIKOLOGI KOMUNIKASI. Komunikasi Intra Personal. Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom. Modul ke: Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Public Relation PSIKOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: Komunikasi Intra Personal Fakultas Ilmu Komunikasi Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom Program Studi Public Relation www.mercubuana.ac.id Definisi: Komunikasi Intrapersonal Komunikasi

Lebih terperinci

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah

Lebih terperinci

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Jakarta, 14 Desember 2010 Mengapa Keterwakilan Perempuan di bidang politik harus ditingkatkan? 1. Perempuan perlu ikut

Lebih terperinci

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga Karya Tulis PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran dalam kemajuan bangsa. Pentingya peran generasi muda, didasari atau tidak, pemuda sejatinya memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan

I. PENDAHULUAN. dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep penting yang harus dipahami dalam membahas kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (Jenis Kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesta demokrasi dimulai, saat ini bangsa Indonesia sedang memeriahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesta demokrasi dimulai, saat ini bangsa Indonesia sedang memeriahkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah. Pesta demokrasi dimulai, saat ini bangsa Indonesia sedang memeriahkan pesta, yang di tunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2014. Pemilu

Lebih terperinci

Dermawan Zebua DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Dermawan Zebua DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 PENGARUH PERUBAHAN SISTIM PEMILU TERHADAP TINGKAT AKUNTABILITAS ANGGOTA LEGISLATIF TERPILIH PADA PEMILU 2009 (Studi pada Daerah Pemilihan IV, Kabupaten Nias) Dermawan Zebua 040906045 DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Sistem Suara Terbanyak dan Pengaruhnya Terhadap Keterpilihan Perempuan Oleh: Nurul Arifin Jakarta, 18 Maret 2010 Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Awalnya pemilu legislatif tahun 2009 menggunakan

Lebih terperinci

Kesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota

Kesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota K E S I M P U L A N Kesimpulan CECILIA BYLESJÖ DAN SAKUNTALA KADIRGAMAR-RAJASINGHAM DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota parlemen mencapai 8,1 persen. Pada tahun 2002

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI. (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh. Afrina Sari

PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI. (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh. Afrina Sari PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh Afrina Sari ABSTRACT This research to explain that women in Bekasi have low motivation in looking at politics

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena keberhasilan suatu perusahaan atau organisasi terletak pada kemampuan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman segala sesuatu aktifitas kerja dilakukan secara efektif dan efisien serta dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian didesain sebagai penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) desain penelitian survei adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Peran Berita Politik Dalam Surat Kabar Pikiran Rakyat Terhadap Pengetahuan Politik Mahasiswa Ilmu Sosial se-kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini, terutama teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N 10 BAB 1 BAB 1 P E N G A N T A R Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed methods). Metode penelitian kombinasi adalah metode penelitian yang menggabungkan antara metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ditetapkannya kuota 30 persen untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan terobosan besar

Lebih terperinci

KOMUNIKASI INTRAPERSONAL

KOMUNIKASI INTRAPERSONAL Modul ke: 2 KOMUNIKASI INTRAPERSONAL SENSASI DAN PERSEPSI Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Muhamad Rosit, M.Si. Program Studi Bab ini akan menguraikan bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya,

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

SEJARAH PEMILU DUNIA

SEJARAH PEMILU DUNIA SEJARAH PEMILU DUNIA PENGERTIAN PAKAR Secara etimologis kata Demokrasi terdiri dari dua kata Yunani yaitu damos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kedaulatan

Lebih terperinci

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekalahan jepang oleh sekutu memberikan kesempatan bagi kita untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kekalahan jepang oleh sekutu memberikan kesempatan bagi kita untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekalahan jepang oleh sekutu memberikan kesempatan bagi kita untuk menyatakan diri sebagai Negara yang berdaulat melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat (anggota) yang menjadi cikal bakal dari partisipasi politik. Dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Budiardjo dalam Dewi (2014: 1) menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Budiardjo dalam Dewi (2014: 1) menyatakan bahwa : 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Budiardjo dalam Dewi (2014: 1) menyatakan bahwa : Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem demokrasi memiliki pemikiran mendasar mengenai konsep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. UU Nomor 29 Tahun 2004 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan pemerintah Tanggal 6 Oktober Tahun 2004. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH PADA FORUM DISKUSI EVALUASI PILKADA SERENTAK 2015 Jakarta, 4 Mei 2016

KEYNOTE SPEECH PADA FORUM DISKUSI EVALUASI PILKADA SERENTAK 2015 Jakarta, 4 Mei 2016 KEYNOTE SPEECH PADA FORUM DISKUSI EVALUASI PILKADA SERENTAK 2015 Jakarta, 4 Mei 2016 Yang kami hormati Ibu Linda Amaliasari Gumelar, Ketua Umum Yayasan Gerakan Suara Perempuan Indonesia. Para Pejabat Eselon

Lebih terperinci

SAMBUTAN KETUA DPR RI PADA ACARA PELANTIKAN PENGURUS KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN REPUBLIK INDONESIA (KPP-RI) Periode

SAMBUTAN KETUA DPR RI PADA ACARA PELANTIKAN PENGURUS KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN REPUBLIK INDONESIA (KPP-RI) Periode KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN KETUA DPR RI PADA ACARA PELANTIKAN PENGURUS KAUKUS PEREMPUAN PARLEMEN REPUBLIK INDONESIA (KPP-RI) Periode 2009-2014 Assalamu alaikum Warahmatullahi

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu proses dalam pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjalankan

Lebih terperinci

Sensasi persepsi perhatian - berpikir - mengambil keputusan - memori motivasi

Sensasi persepsi perhatian - berpikir - mengambil keputusan - memori motivasi Proses Kognitif Proses kognitif dalam diri manusia terdiri dari : Sensasi persepsi perhatian - berpikir - mengambil keputusan - memori motivasi 1. Sensasi - Tahap paling awal dalam penerimaan informasi

Lebih terperinci

SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013

SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013 SAMBUTAN KUNCI MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN PADA PERTEMUAN BAKOHUMAS TINGKAT NASIONAL DAN ANUGERAH MEDIA HUMAS TAHUN 2013 Solo, 20 November 2013 Yth. Menteri Komunikasi dan Informatika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi. Hasil Pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia, masyarakat memiliki stigma bahwa organisasi sektor publik (pemerintahan) hanya sebagai sarang pemborosan keuangan negara saja (Mahmudi 2005). Hal ini mendorong

Lebih terperinci

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN KEMISKINAN, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2004 2009,

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 atas Pengujian Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy, 2006: 10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Dalam praktik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki pasangan akan selalu saling melengkapi satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki pasangan akan selalu saling melengkapi satu sama lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan selalu berpasangan, pria dengan wanita. Dengan tujuan bahwa dengan berpasangan, mereka dapat belajar berbagi mengenai kehidupan secara bersama.

Lebih terperinci

KOMUNIKASI EFEKTIF EFEK KOGNISI EFEK KONASI UMPAN BALIK

KOMUNIKASI EFEKTIF EFEK KOGNISI EFEK KONASI UMPAN BALIK KOMUNIKASI EFEKTIF EFEK KOGNISI KOMUNIKATOR PESAN SALURAN KOMUNIKATE EFEK EFEK AFEKSI EFEK KONASI UMPAN BALIK POSITIF NETRAL NEGATIF 1 KOMUNIKASI SUATU PROSES DI MANA SUATU GAGASAN DIALIHKAN DARI SUMBER

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang:

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Lebih mudah cara menghitung perolehan kursi bagi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 dan penetapan calon

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan Persetujuan Bersama www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah

Lebih terperinci

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU 1. Sistem Pemilu Rumusan naskah RUU: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 35/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didik dalam mengembangkan potensinya. Hal ini didasarkan pada UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. didik dalam mengembangkan potensinya. Hal ini didasarkan pada UU RI No BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Hal ini didasarkan pada UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Lebih terperinci

AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK. LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)

AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK. LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK TEMUAN SURVEI JULI 2007 LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) www.lsi.or.id IHTISAR TEMUAN Pada umumnya publik menilai bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diena San Fauzia, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diena San Fauzia, 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa merupakan salah satu modal utama dalam kehidupan. Oleh karena itulah, bahasa menjadi salah satu pelajaran yang wajib dipelajari di setiap jenjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikator kepada komunikan. Pesan tersebut dapat berupa pikiran, ide,

BAB I PENDAHULUAN. komunikator kepada komunikan. Pesan tersebut dapat berupa pikiran, ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia terjadi interaksi satu sama lain. Proses interaksi tersebut terjadi karena adanya komunikasi antar sesama anggota masyarakat. Komunikasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati sehingga perbincangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati sehingga perbincangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata demokrasi sudah dimengerti begitu saja dalam banyak perbincangan. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakekat substansi demokrasi mungkin belum

Lebih terperinci

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA SITUASI PEREMPUAN, KINI Data BPS per 2013, Rata-rata Lama Sekolah Anak Laki-laki 8 Th dan Perempuan 7 Th (tidak tamat SMP) Prosentase

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

Smile Indonesia LOBI LO DAN NEGO DAN SIASI NEGO

Smile Indonesia LOBI LO DAN NEGO DAN SIASI NEGO Smile Indonesia LOBI DAN NEGOSIASI PENGERTIAN LOBI Istilah Lobi = lobbying. berarti orang atau berarti orang atau kelompok yang mencari muka untuk mempengaruhi anggota parlemen KATA LOBI Lobby {kata benda}

Lebih terperinci

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD

Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada oleh DPRD September 2014 Publik Menilai SBY Sebagai Aktor Utama Kemunduran Demokrasi Jika Pilkada Oleh DPRD Bandul RUU Pilkada kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) yang terjadwal dan berkala. Amandemen UUD 1945 yakni Pasal 1 ayat (2), menyatakan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN AKTIVITAS KOMUNIKASI DENGAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN JAKARTA SELATAN USMIZA ASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR,

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2014 ini diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan Gubernur Provinsi Lampung. Sedangkan di bulan Juli 2014, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya masyarakat memegang peran utama dalam praktik pemilihan umum sebagai perwujudan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakat

Lebih terperinci