PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF"

Transkripsi

1 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF Oleh Afrina Sari (Dosen Ilmu komunikasi Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa) ABSTRACT This research to analyze people's perception of the quota of 30 percent women representation in legialatif. The method used is descriptive method that analyzed based on a statistical analysis of data kuantutatif. The results showed that there are differences in perceptions that distinguish between women activists and activists of men over 30 per cent quota of women representation in the legislature. Keyword: Perception, community, and the 30 percent quota of women representation. PENDAHULUAN Latar Belakang Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun Sebagaimana dikatakan oleh Azed.et al.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Banyak pendapat yang menilai bahwa kuota merupakan jawaban bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup konsep- konsep yang dianggap gender neutral. Kuota juga memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota di lakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan. Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua; melalui undang undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang undang pemilu juga dilaksanakan Di Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina. (Kompas,2003) Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan di setujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun Undang- undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten. Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.? Sehingga permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? METODE PENELITIAN Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat pada Kota Bekasi yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 2004,. dengan ciri populasi yaitu: (1) berusia diatas 21 tahun, (2) dapat menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia, (3) berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, (4) pernah terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu Masyarakat ini dibagi 2 (dua) kelompok yaitu kelompok aktivis partai politik dan kelompok bukan aktivis partai politik. Kemudian dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Teknik Pengambilan Sampel: Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini: yaitu Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Sehingga untuk menghindari adanya distorsi hasil penelitian, pengambilan sampel dikerjakan memakai teknik Disproportionate stratified random sampling yaitu : pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetap sebagian ada yang kurang proporsional pembagiannya. Teknik ini dilakukan apabila anggota populasi heterogen atau tidak sejenis (Riduwan, 2004). Dihitung berdasarkan rumus Taro Yamane, mendapatkan jumlah sampel sebanyak 100 orang. 16

2 Desain Penelitian Penelitian ini memakai desain penelitian survey dengan metode deskriptif analisis. Nazir (1988) menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia suatu objek, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Data Primer yakni data tentang karakteristik personal dan situasional serta persepsi tentang keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuesioner. Selain data Primer juga akan dikumpulkan data sekunder untuk memperkuat data yang ada yang diperoleh dari pemerintahan setempat serta instansi yang terkait. Instrumen yang dipergunakan adalah kuesioner yang dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama: terdiri dari pertanyaan pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor karakteristik personal dan situasional yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, kebutuhan, motivasi, kebudayaan, sistem kepercayaan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup dan kelompok rujukan. Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen di legislatif yang meliputi: akses politik perempuan, Partisipasi politik perempuan, Keterwakilan politik perempuan. Data yang diperoleh akan ditabulasi dalam bentuk tabel frekuensi dan dianalisa berdasarkan analisa deskriptif ekplanatoris. PEMBAHASAN Secara sederhana persepsi diartikan sebagai suatu aktivitas pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991) Pengamatan tersebut dilakukan terhadap suatu objek yang ditangkap oleh indra dan kemudian diinterpretasikan pada bagian tertentu dalam otak (Sarwono,1992) Proses pembentukan persepsi juga dijelaskan oleh Feigl (Yusuf, 1991) terjadi melalui 3 mekanisme pembentukan yaitu(1) selectivity, (2).Closure (3). Interpretation. Proses selectivity terjadi ketika seseorang diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseleksian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan, sedangkan interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberikan tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Rakhmat (1992) melengkapi pernyataan tersebut dengan mengemukakan bahwa dalam mengorganisasikan stimuli tersebut akan melihat konteksnya, walaupun stimuli yang diterima seseorang tidak lengkap cenderung akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsinya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang yang mengalaminya.. Berdasarkan uraian yang ada dan bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif maka tepatlah jika dikatakan bahwa persepsi merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam proses belajar menerima nilai-nilai dalam pelaksanaan politik dan adanya keterlibatan perempuan dalam publik secara politik. Paradigma selama ini yang memandang bahwa perempuan selalu lebih cocok di dalam dunia domestiknya yaitu keluarga dibanding dengan publik. Langkah dengan adanya kuota 30 persen ini adanya proses belajar bagi perempuan untuk menerima sesuatu yang belum begitu lumrah dilaluinya. Selama ini masyarakat belum memberikan tempat lebih banyak bagi perempuan. Proses perubahan yang menunjukkan bahwa dalam diri orang yang bersangkutan telah berlangsung suatu proses belajar yang merupakan kegiatan mental dan tidak dapat disaksikan dari luar kecuali bila dinyatakan secara eksplisit oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini Winkel (1996) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemaknaan (kognitif), kemampuan (sensorik motorik) dan sikap nilai (dinamik afektif). Pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif merupakan suatu ide atau gagasan yang telah dituangkan ke dalam undang undang RI No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1, dan telah dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terdapat di seluruh tanah air yang terdiri dari berbagai lapisan terutama bagi partai politik. Diharapkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen membuka peluang besar bagi perempuan yang ada di Indonesia, sehingga membuat suatu persepsi terhadap pelaksanaan kuota 30 persen secara positif. Perilaku yang mendukung terhadap pelaksanaan kuota tersebut, dapat ditandai dengan seberapa jauh masyarakat memahami pelaksanaan kuota tersebut? sehingga mengarah kepada pembentukan sikap dan keputusan yang akan diambil sebagai jawaban atau reaksi terhadap masukan ide atau gagasan yang terdapat dalam UU RI.No.12 tahun Pengolahan informasi dalam pembentukan persepsi seperti telah disebutkan berlangsung dengan menghubungkan informasi yang ada dengan informasi hasil pengalaman belajar pada masa lampau. Pengalaman belajar menurut Walker (1973) merupakan akumulasi dari berbagai proses belajar. Proses belajar tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, nilai nilai adat istiadat atau kebiasaan, serta berbagai pengalaman hidup lainnya, yang dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam faktor personal dan situasional. Aktivitas mengali atau mengingat kembali pengalaman masa lalu ini menurut Bloom (Winkel, 1996) merupakan bagian dari wilayah kognitif yang disebut pengetahuan. Pengetahuan menurutnya merupakan aktivitas mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan, yang meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan tersebut digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan, mengingat (recall) atau mengali kembali (recognition). 17

3 Mewujudkan menjadi suatu reaksi atau jawaban terhadap informasi yang diterima, sebelumnya akan terbentuk suatu persepsi dalam diri individu yang bersangkutan, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya sikap. Penentuan sikap terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa menurut Winkel (1996) merupakan kecenderungan menerima atau menolak suatu objek, gejala, maupun peristiwa yang didasarkan pada penilaian terhadap objek, gejala maupun peristiwa tersebut berguna/berharga baginya atau tidak. Penilaian berdasarkan sikap ini bersifat selektif yakni bila objek tersebut baik untuk saya maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian positif. Sebaliknya bila tidak baik untuk saya maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian negatif. Second and Backman (Azwar, 1997) mengemukakan bahwa sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya. HASIL PENELITIAN Sampel yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu sampel kelompok aktivis partai laki-laki dan perempuan serta sampel kelompok non aktivis partai laki-laki dan perempuan. Diketahui bahwa umur terendah dan tertinggi untuk responden penelitian ini adalah 21 tahun dan 60 tahun dengan rata-rata umur 40 tahun s/d 50 tahun. Berdasarkan pengkategorian yang ada, sebagian besar responden tersebut tergolong pada kategori umur Muda atau antara 21 tahun 30 tahun, umur tua 31 tahun 40 tahun, umur lebih tua 41 tahun 50 tahun, umur sangat tua 51 tahun 60 tahun. Persepsi Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di legislatif Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif merupakan pandangan yang diberikan responden tentang UU.No12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 yang berbunyi Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap Daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, dan keterwakilan politik perempuan. Persepsi Terhadap kuota 30 peresen keterwakilan perempuan tersebut dapat dilihat lebih rinci pada masing masing aspek sebagai berikut. Persepsi tentang akses politik perempuan Berdasarkan konsep yang tercantum dalam UU.No.12 tahun 2003 yang memberikan peluang kepada perempuan untuk ikut dalam calon legislatif yang dituangkan dalam pasal 65 ayat 1, menekankan keterwakilan perempuan dilegislatif sebesar 30 persen. Keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen merupakan suatu bentuk akses yang dibuka oleh pemerintah bagi perempuan Indonesia. Akses politik yang membuka jalan bagi perempuan berperan aktif dalam pengambilan keputusan, serta ikut berperan dalam mencari solusi untuk kepentingan kaum perempuan, anakanak dan bangsa. Berikut pernyataan responden tentang akses politik yang dihubungkan dengan kuota 30 peren keterwakilan perempuan di legislatif. Tabel 1 Persepsi tentang akses politik perempuan No Pernyataan N SS S CS KS TS Akses politik perempuan 1. Kuota 30% menjadi saluran politik bagi perempuan =19% 66=66% 5=5% 6=6% 4=4% 2. Saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi =15% 72=72% 4=4% 8=8% 1=1% 3. Perempuan Indonesia butuh kuota 30% u/keterwakilan pol =13% 67=67% 10=10% 8=8% 2=2% 4. Kuota 30% sudah sesuai dengan kebutuhan politik perempuan 100 2=2% 47=47% 25=25% 17=17% 9=9% 5. Partai politik memberi peluang sama antara laki2 & perempuan =10% 37=37% 23=23% 24=24% 6=6% 6. Peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sesuai prosedur 100 2=2% 40=40% 28=28% 26=26% 4=4% 7. Pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan 100 3=3% 28=28% 27=27% 33=33% 9=9% Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,s=setuju, Cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju Pada Tabel 1 menunjukkan pernyataan responden tentang persepsi mereka terhadap akses politik perempuan. Tampak pada tabel bahwa 19% responden sangat setuju dengan kuota sebagai saluran politik perempuan. 66% responden setuju bahwa kuota sebagai saluran politik perempuan. 15% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan 18

4 tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan responden 85% responden setuju dan bahkan sangat setuju bahwa kuota merupakan saluran politik perempuan. Pernyataan bahwa saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi, 15% responden menjawab sangat setuju, 72% responden menjawab setuju, 13% menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa 87% responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa saluran politik untuk perempuan dipelajari melalui sosialisasi. Pernyataan tentang perempuan Indonesia membutuhkan kuota 30% untuk keterwakilan politik, 79% responden menjawab setuju dan bahkan sangat setuju, 21% lainnya menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa responden menyetujui bahwa perempuan membutuhkan kuota 30% keterwakilan politik. Karena selama ini belum ada kepastian jumlah bagi perempuan dilegislatif. Pernyataan tentang kuota 30 persen sudah sesuai dengan kebutuhan politik perempuan Indonesia, 49% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 51% menjawab cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa masih ada keinginan dari responden untuk meningkatkan kuota 30% tersebut ketingkat kesetaraan yaitu 50% di legislatif. Adanya ragu-ragu pernyataan dari responden yang dinyatakan dengan pernyataan kadang-kadang karena mereka melihat bahwa hal itu belum bisa di harapkan karena kepedulian perempuan Indonesia terhadap politik belum banyak. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang sama antara laki-laki dan perempuan, 47% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 53% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju, hal ini dapat dikatakan karena sebagian responden melihat bahwa partai politik memilih antara perempuan dan laki-laki sebagai caleg, akan mendahulukan laki-laki. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia. Sehingga perempuan belum banyak yang terlibat secara langsung dalam politik. Pertimbangan selalu pada kesempatan yang dimiliki perempuan belum banyak. Dan partai juga belum memberikan peluang yang sama dalam pencalonan. Partai lebih sering berpihak kepada laki-laki. Pernyataan tentang Peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sudah sesuai prosedur, 42% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 58% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju, hal ini dapat dikatakan bahwa partai saat ini belum melakukan penyaluran politik yang sesuai prosedur Saat ini untuk dapat menjadi seorang calon legislatif, harus dapat membuat pernyataan kepada partai berapa kontribusi yang dapat diberikan oleh calon tersebut, agar dapat dijadikan calon legislatif. Sehingga penyaluran politik perempuan belum dapat disalurkan sesuai prosedur yang diinginkan undang-undang no.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1. Pernyataan tentang pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan. 31% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 69% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa responden menilai bahwa partai belum melakukan pengkaderan terhadap perempuan, partai masih berjalan sebagai garis komando dari dewan pemimpin pusat partai. Sehingga keputusan masih berdasarkan kepentingan misi partai. Sehingga perhatian terhadap peran politik perempuan belum terpikirkan oleh pemimpin partai. Yang terjadi adalah keterlibatan perempuan atas dasar perempuan tersebut mau dan mampu. Untuk saat ini perempuan Indonesia belum banyak yang mampu sehingga partai kesulitan mencari calon perempuan, dan peran partai politik dalam pengkaderan belum tampak.. Persepsi tentang Partisipasi Politik perempuan Sebagaimana yang di Canangkan oleh UNDP dalam Partisipastori tata pemerintahan abad 21 yang menganjurkan setiap negara memberikan kuota keterwakilan kepada perempuan sebesar 30%-33% pada setiap negara. Hal ini yang membuat partisipasi perempuan meningkat terhadap politik. Wujud di Indonesia dengan melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang pemilihan Umum dalam calon legislatif. Ada keterwakilan 30% yang dicantumkan dalam UU tersebut. Dalam UU.No12 tersebut pasal 65 ayat 2 menyatakan bahwa: setiap partai peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat 2 ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulasi angka untuk meloloskan calon legislatif yang diusulkan partai untuk menempati kursi di DPR.RI atau DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten /Kota. Dan pasal 65 ayat 2 ini bentuk peluang yang diberikan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini tergantung kepada mekanisme yang dibuat oleh partai politik. Dalam hal ini partai politik mempunyai wewenang khusus dalam menyalurkan aspirasi politik Tabel 2 Persepsi tentang Partisipasi politik perempuan No. Pernyataan N SS S CS KS TS Partisipasi politik perempuan 1. Perempuan dalam politik hanya sebagai pelengkap struktur 100 7=7% 23=23% 13=13% 35=35% 22=22% 2. Pengambilan keputusan tentang perempuan sebaiknya melibatkan perempaun =35% 49=49% 8=8% 6=6% 2=2% 3. Partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit =16% 60=60% 12=12% 9=9% 3=3% 4. Pemimpin perempuan di lembaga Indonesia msh sedikit =16% 58=58% 11=11% 8=8% 7=7% 19

5 5. Kuota 30% dapat wujudkan partisipasi perempuan dalam 100 5=5% 62=62% 15=15% 9=9% 9=9% politik 6. Peran perempuan muncul setelah ada kuota 30% =15% 52=52% 12=12% 13=13% 8=8% 7. Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan =13% 52=52% 14=14% 18=18% 3=3% 8. Perempuan parlemen harus membela kepentingan dan hak perempuan =33% 54=54% 8=8% 0=0% 5=5% 9. Perempuan berpolitik bukan kaderisasi =16% 52=52% 18=18% 9=9% 5=5% 10. Perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri =12% 31=31% 23=23% 25=25% 9=9% 11. Perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik 100 6=6% 30=30% 27=27% 23=23% 14=14% 12. Perempuan punya potensi besar dalam politik =14% 56=56% 19=19% 5=5% 6=6% 13. Kuota 30% dapat membantu 100 jumlah partisipasi politik 9=9% 69= 69% 14=14% 2=2% 6=6% perempuan Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,s=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju Pada Tabel 2 menunjukkan pernyataan responden tentang partisipasi politik perempuan. Pada pernyataan tentang perempuan dalam partai hanya sebagai pelengkap, 30% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 70% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa lebih dari sebagian responden menginginkan bahwa perempuan tidak sebagai pelengkap struktur. Karena kemampuan perempuan sudah setara dengan laki-laki. Sehingga ada harapan bahwa perempuan menjadi orang utama dalam suatu organisasi atau lembaga, bukan sebagai pelengkap. Selama ini kita melihat lebih banyak kedudukan perempuan dalam struktur sebagai Bendahara, atau sebagai sekretaris, terkadang sebagai utusan suatu partai. Dan selalu diembel-embelkan dengan konotasi yang negatif, lebih cenderung sebagai pelengkap dalam suatu pertemuan. Keinginan yang muncul adalah perempuan jangan dijadikan sebagai pelengkap saja, tetapi difungsikan sebagai struktur yang sesuai dengan proporsinya. Pernyataan tentang pengambilan keputusan tentang perempuan sebaiknya melibatkan perempuan, 84% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 16% menyatakan cukup setuju, kurang satuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa keinginan untuk terlibat secara nyata dalam politik dan pengambilan keputusan diharapkan oleh sebagian masyarakat. Karena masalah yang menyangkut perempuan,anak dan keluarga, lebih baik melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Untuk menghindarkan adanya keputusan yang tidak tepat. Perempuan dinilai mampu untuk menyelami masalah tentang kaumnya. Pernyataan tentang partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit, 76% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 24% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa kenyataannya bahwa perempuan terlibat secara politik masih sangat sedikit. Dapat kita contohkan DPRD kota Bekasi, keterlibatan perempuan dalam parlemen berjumlah 5 orang dari 45 orang anggota Dewan. Dapat diartikan bahwa baru 11% keterlibatan perempuan dalam politik. Jika dikaitkan dengan kuota 30% masih belum terpenuhi. Masih banyak peluang perempuan untuk aktif dalam politik. Pernyataan tentang pemimpin perempuan dilembaga Indonesia masih sedikit. 74% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 26% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemimpin perempuan di Indonesia saat ini masih dapat di hitung dengan jari tangan. Belum banyak kiprah perempuan Indonesia menuju jenjang kepemimpinan di Lembaga Nasional Indonesia. Saat ini hanya perempuanperempuan tertentu yang dapat menuju kursi kepemimpinan tersebut. Perempuan Indonesia yang telah mendapat akses dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Masih banyak kesempatan yang dapat diraih perempuan untuk menuju tampuk pimpinan di negeri ini. Pernyataan tentang kuota 30% dapat mewujudkan partisipasi perempuan dalam politik. 67% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 33% responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partisipasi politik perempuan dapat diwujudkan dengan melaksanakan kuota yang telah ditetapkan sebanyak 30 persen terhadap perempuan. Kuota yang diharapkan tersebut dilaksanakan dengan mekanisme yang betulbetul dirancang oleh lembaga yang terkait, dalam hal ini seperti partai politik, KPU Pusat,KPU Daerah, agar kuota betul-betul sebagai bentuk perwujudan partisipasi politik perempuan. Pernyataan tentang peran perempuan muncul setelah adanya kuota 30 persen, 67% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 33% menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia sejak dahulu telah menginginkan keterlibatan dalam politik. Dan telah banyak pula perempuan Indonesia yang berkecimpung dalam politik. Hanya saja keterlibatan perempuan dalam politik tidak berdasarkan keterwakilan yang pasti, tetapi berdasarkan adanya kesempatan dari partai untuk mencalonkan. Sering terjadi 20

6 perwakilan yang tetap. Sehingga banyak dari partai yang ada di Indonesia tidak mempunyai calon perempuan untuk di legislatif. Pernyataan tentang Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan. 65% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 35% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan yang ada diparlemen secara menyeluruh belum terasa perannya terhadap pengambilan keputusan. Belum banyak gebrakan perempuan dalam parlemen untuk memperjuangkan suatu keputusan untuk perempuan di Indonesia. Masih sedikit yang dapat diangkat oleh perempuan parlemen masalah perempuan. dapat dicontohkan tentang masalah TKW ( tenaga Kerja wanita) yang dikirim keluar negri seperti Arab Saudi. Merupakan masalah yang belum dapat dituntaskan sampai sekarang. Pernyataan tentang perempuan parlemen harus membela kepentingan dan hak perempuan. 87% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 13% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia selayaknya memang membela kepentingan dan hak perempuan Indonesia. Pernyataan tentang perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi. 68% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 32% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi, tetapi merupakan pilihan dari partai politik. Sehingga ada sebagian responden menyatakan bahwa sebenarnya perempuan dapat menjadi kader yang baik bagi sebuah partai politik. Pernyataan tentang perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri. 43% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 57% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan secara keseluruhan selama ini berada dalam partai bukan karena dirinya yang menginginkan tetapi lebih cenderung partai yang memilih. Selama ini keinginan perempuan dalam politik terbelengu dengan ketidak adanya kesempatan yang pasti. Pernyataan tentang perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik. 36% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 64% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan sangat jarang melakukan kampanye sendiri. Lebih seringnya dilakukan berkelompok. Sehingga pencekalan terjadi bukan terhadap perempuan itu sendiri tetapi terhadap kelompok dalam partai politik. Kalaupun ada perempuan yang dicekal dalam kampanye sifatnya adalah menyangkut izin suatu partai terhadap calon legislatif yang ditunjuk partai. Pernyataan tentang perempuan punya potensi besar dalam politik. 70% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 30% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara personal perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sehingga penilaian terhadap perempuan yang punya potensi besar dalam politik merupakan suatu ukuran yang sebagaimana mestinya. Pada saat sekarang ini perempuan Indonesia sudah mengalami kemajuan dalam pendidikan dan pengetahuan, sehingga setara dengan pendidikan dan pengetahuan yang didapat oleh laki-laki di Indonesia. Sudah banyak perempuan Indonesia yang mendapat pendidikan tinggi, bahkan sudah banyak perempuan Indonesia yang menjadi pakar pada suatu bidang keilmuan. Hal ini merupakan suatu potensi dalam melakukan suatu sikap politik. Pernyataan tentang Kuota 30% dapat membantu jumlah partisipasi politik perempuan. 78% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 22% responden menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kuota sebagai bentuk atau wujud keterwakilan bagi perempuan merupakan sesuatu yang ditunggutunggu oleh perempuan yang mencari kesempatan berpartisipasi dalam politik. Dengan adanya kuota sebanyak 30% keterwakilan dilegislatif, maka suatu kesempatan yang sangat pasti bagi perempuan Indonesia untuk melangkah kekancah politik. Persepsi tentang keterwakilan politik perempuan Keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan dibutuhkan adalah diharapkan perempuan dapat mengambil posisi dalam keikutsertaan sebagai pembuat keputusan politik. Hal ini diperlukan agar perempuan dapat mencegah adanya diskriminasi yang tercipta pada kaum perempuan secara umumnya. Selama ini telah banyak bentuk diskriminasi terjadi dalam masyarakat yang lebih kepada ketidaksetaraan gender. Penyelesaian dalam masalah diskriminasi dari jalur pemerintah adalah dengan melakukan pemberdayaan yang bertujuan mengajak partisipasi semua warga untuk memberdayakan semua masyarakatnya. Tabel 3 Persepsi tentang Keterwakilan politik perempuan No. Pernyataan N SS S CS KS TS Keterwakilan pol. Perempuan 1. Jumlah perempuan dilegislatif belum 30% 100 6= 6% 66=66% 11=11% 13=13% 4=4% 2. Perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR 100 3=3% 41=41% 17=17% 29=29% 10=10% 3. 30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan 100 3=3% 56=56% 18=18% 19=19% 4=4% 21

7 4. Partai politik memberi peluang bagi perempuan u/ memenuhi kuota 30% 100 7=7% 47=47% 17=17% 23=23% 6=6% 5. Syarat jadi calon legislatif tidak terlalu sulit 100 4=4% 51=51% 19=19% 15=15% 11=11% 6. Pelayanan partai sangat membantu calon legislatif 100 5=5% 58=58% 27=27% 8=8% 2=2% 7. Pelayanan partai tidak membedakan gender =12% 52=52% 18=18% 13=13% 2=2% 8. Pendapatan anggota parlemen sama =25% 56=56% 6=6% 7=7% 6=6% 9. Pemilu dengan sistem Distrik kurang menguntungkan 100 4=4% 34=34% 18=18% 25=25% 19=19% perempuan 10. Pemilu secara porposional membantu peningkatan jumlah kuota perempuan 100 9=9% 60=60% 16=16% 11=11% 4=4% Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,s=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju Pada Tabel 3 menunjukkan tentang persepsi responden terhadap keterwakilan perempuan di legislatif. Pernyataan tentang jumlah perempuan dilegislatif belum 30%. Responden menjawab setuju dan sangat setuju sebanyak 72% dan 28% menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dilegislatif belum mencapai 30 persen. Kedudukan perempuan di dewan baik pusat maupun daerah rata-rata antara 9%-11% dari total anggota Dewan. Pernyataan tentang perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR. 44% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 56% menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bukan harus menjadi ketua komisi. Keterwakilan dapat berada pada posisi mana saja, yang penting menunjukkan peran dalam pengambilan keputusan. Pernyataan tentang 30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan. 59% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 41% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keinginan perempuan untuk tampil dalam kancah politik sudah mendapat keterwakilan secara pasti. Kuota dengan 30% tersebut dianggap suatu yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Apabila dalam pelaksanaan pemilu berikutnya mencapai target 30% dan keinginan perempuan melebihi dari 30% tersebut, maka kuota untuk keterwakilan dapat diperjuangkan menjadi kesetaraan 50%. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang kepada perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen. 54% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 46% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih belum sepenuhnya berlaku seperti yang diinginkan UU.No.12 tahun 2003, yang meminta partai politik mengusahakan keterwakilan perempuan minimal 30% dan dapat melakukan spekulasi untuk memenuhi target tersebut. Hal ini belum dilakukan oleh partai politik sehingga peluang untuk memenuhi kuota tersebut masih sulit bagi perempuan. Pernyataan tentang syarat menjadi caleg tidak terlalu sulit. 55% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 45% responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian caleg (calon legislatif) menganggap persyaratan partai tidak terlalu sulit, sedangkan sebagian lainnya menjawab partai memberikan syarat yang cukup sulit seperti adanya kesanggupan dalam memberikan kontribusi kepada partai. Hal ini termasuk suatu persyaratan yang dinilai sulit bagi caleg (calon Legislatif) yang tidak mempunyai kemampuan secara material. Pernyataan tentang pelayanan partai sangat membantu calon legislatif. 63% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 37% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik selama ini ada yang membantu calon legislatif sampai tuntas menjadi anggota legislatif, dan ada partai politik yang mencoba mencari kesepakatan politik yang arahnya menguntungkan partai secara organisasi. Sehingga lebih banyak caleg patah ditengah jalan. Tidak berjuang secara maksimal untuk mendapatkan posisinya. Pernyataan tentang pelayanan partai tidak membedakan gender. 64% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 36% responden menjawab cukup setuju, kurang stuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih ada yang membedakan gender laki-laki dan gender perempuan. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat Indonesia masih sangat mempengaruhi pola pikir pengurus partai maupun masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan masih belum layak untuk aktif secara tuntas dalam politik. Kalau ada kesempatan bagi perempuan itu adalah sebagai kesempatan untuk mengisi waktu. Maka banyak perempuan tidak mendapat posisi secara struktural yang tepat dengan kemampuannya. Lebih cenderung di tempatkan pada posisi yang dianggap pantas dilakukan. Kecenderungan pekerjaan yang ringan-ringan. Pernyataan tentang pendapatan anggota parlemen sama. 81% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 11% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara peraturan 22

8 kenegaraan di Indonesia pendapatan anggota DPR, DPRD, diatur secara undang-undang. Sehingga pendapatan akan menjadi sama terhadap personal anggota legislatif. Kalau ada perbedaan adalah karena adanya peraturan partai politik yang diatur secara masing-masing partai untuk kontribusi anggota legislatif terhadap partai politik yang merekomendasikannya. Hal ini membuat tidak sama pendapatan antara satu personal anggota legislatif dengan anggota legislatif lainnya. Pernyataan tentang pemilu dengan sistem distrik tidak menguntungkan perempuan. 38% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 62% menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sistem distrik secara keseluruhan adalah menyelenggarakan pemilu secara langsung yang dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga perempuan yang ingin terlibat dalam politik harus betul-betul mempersiapkan diri secara maksimal. Karena rakyat akan memilih figur dari perempuan yang tangguh dan terutama yang membela kepentingan masyarakat banyak. Responden melihat bahwa bukan keuntungan yang harus dilihat perempuan tetapi kesempatan yang harus ditunjukkannya. Sistem distrik merupakan kompetensi langsung antara perempuan dan laki-laki. Pernyataan tentang pemilu secara proporsional sangat membantu jumlah kuota perempuan. 69% responden menyatakan setuju dan sangat setuaju, 31% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa Pemilu secara proporsional merupakan sistem pemilu yang mencari wakil berdasarkan jumlah suara yang dimiliki pada suatu daerah pemilihan. Keikutsertaan perempuan dalam politik secara konseptual akan terbantu dengan sistem proporsional. Karena suara politik dapat diarahkan kepada calon pada daerah yang direkomendasikan, sehingga perempuan yang dijadikan calon kemungkinan akan berhasil menduduki posisi yang direncanakan. Sedangkan sistem distrik belum tentu mendapatkan suara sebagaimana yang direncanakan partai, karena suara bisa dibulatkan kepada calon yang ditentukan partai. Responden mengerti bahwa sistem proporsional dapat membantu perempuan dalam pencalonan pasti. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap data penelitian yang ada dapatlah dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Terdapat perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan yang di kelompokkan dalam aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen yang meliputi: akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, keterwakilan politik perempuan.. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan: Sistem Distrik yang digabung dengan sistem proporsional lebih membantu proses mengwujudkan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di legislatif. DAFTAR PUSTAKA Azwar. 1997, Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bari Azed,2005, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Pusat studi hukum Tata negara,fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta Kompas 2003, Harapan Perempuan pada kuota, kompas, senin 24 Februari 2003.Jakarta. Nazir, Moh,1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. Rakhmat J Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Riduwan Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta Bandung. Sarwono, S.W, Psikologi: Pengantar Umum. Bulan Bintang. Jakarta. UNDP,2003, Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik:tantangan Abad 21, diterjemahkan oleh, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),Jakarta. Winkel,W.s,1996. Psikologi Pengajaran. Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta. Yusuf. Y.1991.Psikologi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya.Bandung 23

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF (Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat) Oleh : AFRINA SARI P 054040091 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI. (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh. Afrina Sari

PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI. (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh. Afrina Sari PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh Afrina Sari ABSTRACT This research to explain that women in Bekasi have low motivation in looking at politics

Lebih terperinci

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1 Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya masyarakat memegang peran utama dalam praktik pemilihan umum sebagai perwujudan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakat

Lebih terperinci

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Jakarta, 14 Desember 2010 Mengapa Keterwakilan Perempuan di bidang politik harus ditingkatkan? 1. Perempuan perlu ikut

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF (Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat) Oleh : AFRINA SARI P 054040091 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. ini yaitu untuk mengetahui dampak kebijakan affirmative action kuota 30%

METODE PENELITIAN. ini yaitu untuk mengetahui dampak kebijakan affirmative action kuota 30% III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Data serta argumentasi yang dibangun dalam penelitian ini, menggunakan tipe penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Sesuai dengan tujuan penelitian ini

Lebih terperinci

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra padahal banyak kemampuan kaum perempuan yang tidak dimiliki oleh laki - laki.

Lebih terperinci

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam keluarga, dan pola pemikiran yang berbeda. Hal inilah yang secara tidak langsung

BAB I PENDAHULUAN. dalam keluarga, dan pola pemikiran yang berbeda. Hal inilah yang secara tidak langsung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sebagaian masyarakat beranggapan bahwa masalah status laki-laki dan perempuan mempunyai tempat berbeda. Mulai dari kemampuan fisik, penempatan kerja

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1482, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Partisipasi Politik. Perempuan. Legislatif. Peningkatan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pemilu merupakan salah satu arena ekspresi demokrasi yang dapat berfungsi sebagai medium untuk meraih kekuasaan politik. Karenanya, berbagai partai politik

Lebih terperinci

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU

SEKILAS PEMILU PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU SEKILAS PEMILU 2004 Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed

METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kombinasi ( mixed methods). Metode penelitian kombinasi adalah metode penelitian yang menggabungkan antara metode

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMBERHENTIAN, DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK Disampaikan oleh : Ir. Apri Hananto Sukandar, M.Div Nomor Anggota : A- 419 Yang terhormat Pimpinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun

Lebih terperinci

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Sistem Suara Terbanyak dan Pengaruhnya Terhadap Keterpilihan Perempuan Oleh: Nurul Arifin Jakarta, 18 Maret 2010 Kronologi perubahan sistem suara terbanyak Awalnya pemilu legislatif tahun 2009 menggunakan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA PANITIA PENGAWAS PEMILIHAN UMUM PROVINSI, PANITIA PENGAWAS

Lebih terperinci

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1) Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Caleg Terpilih (1) Oleh MIFTAKHUL HUDA* Lebih mudah cara menghitung perolehan kursi bagi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 dan penetapan calon

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN POIN NO.DIM RUU FRAKSI USULAN PERUBAHAN FUNGSI PARTAI POLITIK 70 Pasal 8: Partai politik berfungsi sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN POIN NO.DIM RUU FRAKSI USULAN PERUBAHAN SISTEM PEMILU 59 (1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Tipe dan Manfaat Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Metode deskriptif sebagai metode

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. angka-angka analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2012:7). Penelitian

III. METODE PENELITIAN. angka-angka analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2012:7). Penelitian 31 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif karena data penelitian barupa angka-angka analisis menggunakan statistik (Sugiyono, 01:7). Penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

MATERI TES TERTULIS DAN WAWANCARA PPK Materi test tulis : Pancasila dan UUD

MATERI TES TERTULIS DAN WAWANCARA PPK Materi test tulis : Pancasila dan UUD MATERI TES TERTULIS DAN WAWANCARA PPK Materi test tulis : Pancasila dan UUD 1945 yang diamandemen Hukum, terdiri dari: Pemahaman Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Pemahaman

Lebih terperinci

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA SITUASI PEREMPUAN, KINI Data BPS per 2013, Rata-rata Lama Sekolah Anak Laki-laki 8 Th dan Perempuan 7 Th (tidak tamat SMP) Prosentase

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik di era reformasi ini memiliki kekuasaan yang sangat besar, sesuatu yang wajar di negara demokrasi. Dengan kewenanangannya yang demikian besar itu, seharusnnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode campuran (Mixed Method), yaitu metode

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode campuran (Mixed Method), yaitu metode 29 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode campuran (Mixed Method), yaitu metode yang memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam hal metodologi (seperti dalam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari

BAB I PENDAHULUAN. Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Simbol manifestasi negara demokrasi adalah gagasan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi bagian utama dari gagasan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian didesain sebagai penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) desain penelitian survei adalah penelitian

Lebih terperinci

2017, No Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerinta

2017, No Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerinta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1296, 2017 KPU. Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta PEMILU Anggota DPR dan DPRD. PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi

Lebih terperinci

MASYARAKAT MUSI BANYUASIN : KECENDERUNGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMILIH PADA PEMILU PRESIDEN SERTA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014.

MASYARAKAT MUSI BANYUASIN : KECENDERUNGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMILIH PADA PEMILU PRESIDEN SERTA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014. MASYARAKAT MUSI BANYUASIN : KECENDERUNGAN SIKAP DAN PERILAKU PEMILIH PADA PEMILU PRESIDEN SERTA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014. HASIL RISET PARTISIPASI MASYARAKAT OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN MUSI

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembara n Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor

Lebih terperinci

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Rudy (2007 : 87)

Lebih terperinci

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan RZF / Kompas Images Selasa, 6 Januari 2009 03:00 WIB J KRISTIADI Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Menurut Azwar (1999:6) metode

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Menurut Azwar (1999:6) metode III. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Menurut Azwar (1999:6) metode kuantitatif merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap paling

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis strategi pemberdayaan perempuan dalam kampanye pemilu oleh DPD Partai Demokrat Provinsi Lampung, maka

Lebih terperinci

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN LENA MARYANA MUKTI Anggota DPR/MPR RI 2004-2009 Jakarta, 21 Mei 2015 1 PEREMPUAN DI LEMBAGA PEMBUAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang dimulai sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998, telah menghantarkan rakyat Indonesia kepada perubahan di segala bidang, terutama

Lebih terperinci

PERSEPSI TENTANG CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KALANGAN IBU RUMAH TANGGA. (Yudi Irawan, Adelina Hasyim, Yunisca Nurmalisa) ABSTRAK

PERSEPSI TENTANG CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KALANGAN IBU RUMAH TANGGA. (Yudi Irawan, Adelina Hasyim, Yunisca Nurmalisa) ABSTRAK PERSEPSI TENTANG CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KALANGAN IBU RUMAH TANGGA (Yudi Irawan, Adelina Hasyim, Yunisca Nurmalisa) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persepsi masyarakat

Lebih terperinci

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Ketentuan Pasal 18 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 18 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut: - 2-2. Undang-Undang 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246); 3. Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Disampaikan oleh : Drs. AL MUZZAMIL YUSUF Nomor anggota A-249. Dibacakan pada Raker Pansus PEMILU dengan Pemerintah Kamis, 12 Juli 2007

Disampaikan oleh : Drs. AL MUZZAMIL YUSUF Nomor anggota A-249. Dibacakan pada Raker Pansus PEMILU dengan Pemerintah Kamis, 12 Juli 2007 TANGGAPAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DPR RI TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Masyarakat. Jakarta: CV Multiguna. Utama. Rustan, Surianto. (2009). Mendesain Logo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR PUSTAKA. Masyarakat. Jakarta: CV Multiguna. Utama. Rustan, Surianto. (2009). Mendesain Logo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. PENGUAT KONSEP Pada tahun 1971-an salah seorang aktivis yang bernama Arief Budiman mengkampanyekan agar masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu) tidak memilih salah satu partai politik. Gerakan yang lebih

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan Tujuan Indonesia Merdeka 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan

Lebih terperinci

3 METODE Rancangan Penelitian

3 METODE Rancangan Penelitian Peningkatan kesadaran perusahaan terhadap perlunya perilaku tanggung jawab sosial terjadi secara global. Para pengambil kebijakan di perusahaan semakin menyadari bahwa tujuan tanggung jawab sosial adalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN.

RINGKASAN PUTUSAN. RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 atas Pengujian Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dan juga sebagai cerminan. menyampaikan hak nya sebagai warganegara. Pemilihan umum merupakan

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dan juga sebagai cerminan. menyampaikan hak nya sebagai warganegara. Pemilihan umum merupakan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dan juga sebagai cerminan masyarakat yang memiliki kebebasan berekspresi dan berkehendak, serta menyampaikan hak nya sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan memiliki metode penelitian yang jelas. Metode penelitian pada dasarnya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dan memiliki metode penelitian yang jelas. Metode penelitian pada dasarnya 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ilmiah adalah penelitian yang dilakukan dengan prosedur ilmiah dan memiliki metode penelitian yang jelas. Metode penelitian pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. diharapkan untuk meningkatkan kualitas politik dan kehidupan demokrasi bangsa Indonesia.

BAB IV KESIMPULAN. diharapkan untuk meningkatkan kualitas politik dan kehidupan demokrasi bangsa Indonesia. BAB IV KESIMPULAN Pelaksanaan pemilu 2009 yang berpedoman pada UU No. 10 Tahun 2008 membuat perubahan aturan main dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Melalui UU tersebut diharapkan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan BAB III PROSEDUR PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode survey. Menurut Singarimbun (1987:3) Metode penelitian survey adalah penelitian

Lebih terperinci

TANTANGAN DAN PELUANG PEREMPUAN DI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014

TANTANGAN DAN PELUANG PEREMPUAN DI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 TANTANGAN DAN PELUANG PEREMPUAN DI PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 Nurhamidah Gajah Universitas Muhammadiyahh Tapanuli Selatan, Jl.St.Mohd.Arief No.32 Padangsidimpuan Email : m_nurhamidah@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Memasuki abad 21, hampir seluruh negara diberbagai belahan dunia (termasuk Indonesia) menghadapi tantangan besar dalam upaya meningkatkan sistem demokrasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan Partai Politik tidak akan lepas dari kesadaran politik masyarakat (anggota) yang menjadi cikal bakal dari partisipasi politik. Dalam meningkatkan

Lebih terperinci

- 3 - Pemilihan Umum Tahun 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 138);

- 3 - Pemilihan Umum Tahun 2019 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 138); - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

Pembaruan Parpol Lewat UU

Pembaruan Parpol Lewat UU Pembaruan Parpol Lewat UU Persepsi berbagai unsur masyarakat terhadap partai politik adalah lebih banyak tampil sebagai sumber masalah daripada solusi atas permasalahan bangsa. Salah satu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ditetapkannya kuota 30 persen untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan terobosan besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter

Lebih terperinci

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN TERPAAN PROGRAM PENDIDIKAN DEMOKRASI PEMILOS TVKU, INTENSITAS KETERLIBATAN PEMILIH DAN SOSIALISASI KPU KOTA SEMARANG TERHADAP

BAB III HASIL PENELITIAN TERPAAN PROGRAM PENDIDIKAN DEMOKRASI PEMILOS TVKU, INTENSITAS KETERLIBATAN PEMILIH DAN SOSIALISASI KPU KOTA SEMARANG TERHADAP BAB III HASIL PENELITIAN TERPAAN PROGRAM PENDIDIKAN DEMOKRASI PEMILOS TVKU, INTENSITAS KETERLIBATAN PEMILIH DAN SOSIALISASI KPU KOTA SEMARANG TERHADAP PARTISIPASI PEMILIH PEMULA 3.1 Validitas dan Reliabilitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk

BAB I PENDAHULUAN. mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman telah banyak mengubah pandangan tentang perempuan, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa perempuan hanya berhak mengurus rumah dan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang signifikan. Terbukanya arus kebebasan sebagai fondasi dasar dari bangunan demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. yang signifikan. Terbukanya arus kebebasan sebagai fondasi dasar dari bangunan demokrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perjalanan demokrasi di Indonesia secara bertahap terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Terbukanya arus kebebasan sebagai fondasi dasar dari bangunan

Lebih terperinci

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA NO NO. PUTUSAN TANGGAL ISI PUTUSAN 1 011-017/PUU-I/2003 LARANGAN MENJADI ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI, DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Teuku May Rudy (2007

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan politik di landasi oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan politik di landasi oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan politik di landasi oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik pasal 11 huruf a,b,c,d, dan e. Partai politik berfungsi sebagai, a) sarana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 5 TAHUN 2009 dan PERATURAN PEMERINTAH NO. 83 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan BAB I I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.

III. METODE PENELITIAN. untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. 37 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, artinya penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan informasi

Lebih terperinci