HASIL SURVEY PENILAIAN IKLIM USAHA DAN BDS
|
|
- Vera Lie
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL SURVEY PENILAIAN IKLIM USAHA DAN BDS 1. Penilaian Lingkungan Usaha Daerah 1.1 Survey Lingkungan Usaha UKM Tujuan utama Survey adalah untuk memperoleh informasi dasar tentang kondisi lingkungan usaha di empat kabupaten/kota sebagai masukan utama dalam rangka merencanakan beberapa kegiatan bantuan teknis utamanya dalam rangka mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif. Survey iklim usaha UKM di empat kabupaten/kota dilaksanakan selama bulan Januari/Februari 2003 dengan mengambil sampel 70 UKM per lokasi. Gambaran mengenai karakteristik geografi dan survey UKM di setiap daerah terdapat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut: Tabel 1: Data dasar di lokasi survey Indikator Ekonomi Daerah Sragen Pati Parepare Bulukumba Populasi per km ,028 1, Luas daerah 942 1, ,154 PDB per kapita (Rp) 827, ,002 1,629,952 1,011,020 Pertumbuhan PDB ( ) 2.26% 3% 5.17% 2.24% Sektor utama ekonomi Agri (38%) Agri (44%) Dagang (31%) Agri (56%) Tingkat simpanan domestik bruto 37% 76% 283% 50% Kontribusi pendapatan daerah terhadap total 331, , , ,000 Pertumbuhan pendapatan daerah 6.59% 7.43% 9.15% 4.98% Jumlah pejabat pemerintah per 1000 kapita Perubahan anggaran rutin ( ) 189% 165% 194% 30% Perubahan anggaran pembangunan ( ) 196% 206% -24% +25% Perubahan PERDA pasca desentralisasi 56% 70% 28% 200% Tabel 2. Data Dasar UKM Data dasar UKM Sragen Pati Parepare Bulukumba Status hukum usaha Tidak ada status hukum 33% 10% 7% 34% Milik pribadi (berstatus hukum) 99% 81% 96% 97% CV 0% 14% 3% 3% Perseroan terbatas 1% 2% 1% 0% Koperasi 0% 3% 0% 0% Operasi bisnis < 3 th 8% 5% 16% 17% 3 10 th 50% 24% 39% 54% > 10 th 42% 71% 45% 29% Ukuran bisnis < 5 pekerja tetap 55% 46% 81% 91% > 5 pekerja tetap 45% 54% 19% 9% Omzet < Rp 50jt/bl 23% 25% 55% 86% Omzet jt/bl 38% 9% 20% 10% Omzet > 100jt.bl 39% 66% 25% 4% Orientasi pasar % penjualan thd pembeli 21% 32% 57% 58% % penjualan thd pengepul 79% 68% 43% 42% Pasar local 37% 56% 68% 70% Pasar di propinsi 25% 32% 16% 20% Pasar di luar proppinsi 38% 12% 16% 10%
2 Kedua tabel data survey tersebut menunjukkan karakteristik yang berbeda diantara keempat daerah: Bulukumba (Sulawesi Selatan) menggambarkan suatu daerah khas pedesaan dengan kepadatan penduduk yang rendah dan pertanian sebagai sektor ekonomi utama. Namun demikian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita lebih tinggi dibandingkan dengan dua daerah lain yang berbasis pertanian di Jawa Tengah (Pati dan Sragen). Dinamika ekonomi adalah terendah dibandingkan dengan daerah lainnya dengan pertumbuhan PDRB 2.24% yang jelas berada di bawah pertumbuhan PDB nasional. Kontribusi pendapatan daerah terhadap total pendapatan adalah terendah diantara semua daerah. Pada umumnya ukuran usaha adalah usaha mikro dengan 5 pekerja tetap dan omzet bisnis kurang dari Rp 50juta per tahun. Walaupun kebanyakan perusahaan telah berdiri lebih dari 3 tahun, tetapi tingkat formalisasi usahanya rendah. Hal yang sangat menonjol adalah perubahan PERDA setelah penerapan desentralisasi. Parepare (Sulawesi Selatan) menggambarkan suatu ekonomi semi-urban dengan perdagangan sebagai sektor utama. Survey menunjukkan pertumbuhan PDRB per kapita tertinggi, dua kali lipat dibandingkan dengan dua daerah di Jawa Tengah, demikian pula pertumbuhan PDRB sebesar 5.17% adalah jauh diatas rata-rata. Parepare juga meraih peringkat tertinggi dalam tingkat simpanan domestik bruto, pendapatan pemerintah per kapita, dan kontribusi pendapatan lokal terhadap total pendapatan pemerintah. Hal yang mengejutkan adalah terdapat penurunan anggaran pembangunan padahal di daerah lainnya menunjukkan kenaikan yang postif. Di Parepare, kebanyakan usaha adalah juga usaha mikro tetapi dengan omzet per bulan relatif jauh lebih besar daripada di Bulukumba. Tingkat formalisasi usaha sangat tinggi, hanya 7% usaha yang tidak memiliki status badan hukum. Orientasi pasar serupa di kedua daerah di Sulawesi Selatan dengan kebanyakan perusahaan mempunyai orientasi pasar yang jelas. Pati dan Sragen (Jawa Tengah) menggambarkan daerah pedesaan di Jawa dengan pertanian sebagai sektor yang terpenting serta serupa dalam banyak hal, seperti kepadatan penduduk, PDRB per kapita dan laju PDRB yang hampir sama, hanya pendapatan pemerintah di Sragen jauh lebih tinggi daripada di Pati. Secara khusus, ukuran usaha di kedua daerah ini lebih besar daripada di Sulawesi Selatan, tetapi sekitar 50% masih merupakan usaha mikro dengan jumlah pekerja tetap kurang dari 5 orang. Namun demikian, omzet rata-ratanya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaanperusahaan di Sulawesi Selatan. Tingkat pertumbuhan perusahaan yang berdiri kurang dari tiga tahun dengan tingkat yang rendah menunjukkan pengembangan ekonomi yang lebih statis. Jaringan pasar bisnis di Jawa Tengah lebih banyak berorientasi ke pasar propinsi dan lintas propinsi dibandingkan dengan orientasi pasar di Sulawesi Selatan. 1.2 Ringkasan Temuan Survey Temuan utama dalam survey lingkungan usaha meliputi aspek sebagai berikut, yaitu: akses ke pasar (pasar input, output dan keuangan), infrastruktur, masalah yang berkaitan dengan birokrasi dan peraturan, formalisasi usaha (termasuk OSS) dan dampak desentralisasi.
3 Jawa Tengah Temuan utama survey di Jawa Tengah ialah: Akses bahan baku dan pemasaran merupakan masalah tertinggi diantara masalahmasalah lain yang dihadapi UKM. Masalah-masalah ini merupakan manifestasi hambatan-hambatan mendasar seperti: Infrastruktur: walaupun dari segi kuantitatif infrastruktur lebih baik dibandingkan dengan di Sulawesi Selatan (mis. sambungan telepon, jalan aspal) tetapi infrastruktur dari segi kualitatif masih rendah. Infrastruktur komunikasi yang terbatas dan jaringan informasi yang belum berkembang diantara UKM membatasi akses ke informasi (mis. internet) Peraturan menghambat akses terhadap bahan baku pada sektor tertentu mis. sektor kayu Gambar 1. Masalah yang Berkaitan dengan Bahan Baku Akses Keuangan dimana lebih dari 50% UKM telah mendapatkan kredit sangat tinggi. Namun demikian, masih terdapat 40% hingga 70% dari semua responden yang menyebut akses keuangan sebagai masalah sehingga menimbulkan pertanyaan apakah jasa keuangan yang telah ada memberikan solusi yang memadai untuk akses keuangan, mis. dari segi kredit investasi terhadap modal kerja. Diperlukan riset lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut.
4 Gambar 2. Infrastruktur Komunikasi dan Masalah yang terkait dengan Informasi Sulawesi Selatan Temuan utama survey di Sulawesi Selatan adalah: Akses bahan baku, pasar dan keuangan merupakan hambatan utama dari sudut pandang pemerintah maupun UKM. Masalah-masalah diatas merupakan manifestasi dari hambatan-hambatan yang lebih spesifik, yaitu: Tingkat formalisasi bisnis yang rendah berakibat pada hambatan akses terhadap kredit; prasyarat minimal akses terhadap kredit adalah kepemilikan ijin SIUP, sedangkan UKM mendapat hambatan untuk mendapatkan perijinan usaha. Peraturan dan retribusi yang berkaitan dengan bahan baku untuk sektor-sektor spesifik mengakibatkan hambatan akses input material, (mis. kayu) Infrastruktur komunikasi mengakibatkan hambatan pemasaran dan isolasi dari pasar Jaringan bisnis yang terbatas mengakibatkan hambatan informasi
5 Gambar 3. Hubungan antara Formalisasi Bisnis dan Akses Kredit Gambar 4. Isolasi pasar akibat kelangkaan Infrastruktur Komunikasi 2. Penilaian Rinci OSS Semua kabupaten/kota yang menjadi mitra TA di daerah telah memiliki One-Stop Services, kecuali Kabupaten Bulukumba. Pada setiap daerah OSS berbeda dari segi penyediaan jasa, pendirian kelembagaan dan prosedur kerja. Perbedaan tersebut menyebabkan perbandingan model-model OSS tidak dapat dilakukan, karena OSS tersebut tidak mempunyai sistem monitoring dengan indikator kinerja yang jelas.
6 Tim Konsultan TA telah mengembangkan suatu perangkat patokan indikator (benchmark indicators), agar dapat membuat perbandingan diantara OSS di kabupaten/kota tersebut serta dapat digunakan untuk OSS lainnya di Indonesia. Perangkat benchmark indicator dikembangkan berdasarkan dua pertimbangan dasar, yaitu: Bagaimana bentuk patokan yang dapat dipakai dan menarik bagi semua OSS serta dapat digunakan di masa mendatang Hal apa yang sering dilakukan oleh semua atau kebanyakan OSS yang seyogyanya dapat dibuat standarisasi atau perbandingan? Sistem benchmark yang diusulkan terdiri dari sebuah indikator yang meliputi aspek efisiensi jasa seperti jumlah perijinan yang disetujui per anggota staf OSS, biaya rata-rata per ijin usaha yang disetujui, atau rasio kemandirian finansial OSS, selain itu termasuk pula indikator yang meliputi aspek mutu jasa seperti waktu rata-rata aktual pemrosesan setiap perijinan dibandingkan dengan sasaran waktu proses atau rasio keluhan. Penilaian rinci OSS akan menjadi tes pertama sejauh mana informasi yang diperlukan untuk menghitung indikator dapat disediakan. Apabila ternyata benchmark indicator tersebut layak, maka Tim Konsultan TA akan melakukan promosi sistem tersebut kepada pemerintah daerah lainnya. Gambar 5. Benchmark OSS: Jasa Pelayanan dan Staf Efisiensi OSS: Gambar 7. berikut menggambarkan benchmark indicator efisiensi dari segi jumlah jasa pelayanan yang disediakan per staf/pegawai dan biaya rata-rata administratif per jasa pelayanan (biaya administratif bukan dari segi pembayaran nominal tetapi dari segi biaya administratif beban pemerintah)
7 Gambar 6. Benchmark OSS: Efisiensi Dampak OSS: biaya dan waktu untuk formalisasi usaha Suatu perbandingan dari segi biaya dan waktu untuk formalisasi usaha (lihat Gambar 8) antara keempat daerah jelas menunjukkan kenyataan bahwa hanya dengan mendirikan One-Stop Services saja tidak menjamin formalisasi usaha yang efisien. Gambar 7. Perbandingan Formalisasi Usaha dari Segi Biaya dan Waktu Kesimpulan Hasil penilaian rinci menunjukkan bahwa OSS hanya akan dapat memberikan dampak yang diharapkan dari segi efektivitas (kepatuhan pada formalisasi usaha) dan efisiensi (pengurangan biaya dan waktu untuk UKM dan pengurangan biaya administrasi pemerintah), jika lembaga OSS mendapat dukungan politik penuh, pendirian kelembagaan yang memadai dan adanya reformasi administratif yang diperlukan. Tanpa pendirian
8 kelembagaan yang wajar dan monitoring yang sesuai dengan benchmark yang jelas, OSS mungkin hanya menambah langkah birokrasi tanpa membuat damapak yang positif bagi dunia usaha dan pemerintah. Tim konsultan TA membuat identifikasi perbaikan yang potensial untuk ketiga OSS hasil survey, yaitu: Sragen: Meningkatkan efisiensi jasa pelayanan dan mengenalkan sistem monitoring Meningkatkan profesionalisme diantara pegawai/staf Mengenalkan administrasi dengan komputer Sosialisasi keberdaan OSS diantara pemakai potensial dan publikasi benchmark untuk jasa-jasa pelayanan Menguatkan dasar hukum OSS untuk perubahan dari unit administrasi menjadi kantor Pati: Membuat diversifikasi jumlah jasa pelayanan dengan prioritas jasa-jasa yang terkait dengan usaha Meningkatkan efisiensi jasa-jasa pelayanan Menyederhanakan prosedur administratif Mengenalkan administrasi dengan komputer Mengenalkan dan mempublikasikan benchmark untuk jasa pelayanan Memperluas tanggungjawab OSS Parepare Meningkatkan efisiensi jasa pelayanan Menguatkan tanggung-jawab OSS Mengkaji ulang prosedur yang berlaku Bulukumba Mendirikan OSS, termasuk persiapan dasar hukum, struktur organisasi, pertanggungjawaban dan jenis jasa pelayanan yang akan disediakan. 3. Business Development Services (BDS) Suatu titik awal untuk setiap intervensi dalam bidang BDS adalah dengan penggambaran komprehensif mengenai pasar BDS spesifik. Untuk itu Tim Konsultan TA akan melakukan penilaian (survey) pada sisi permintaan dan penawarannya. Tujuan survey BDS ini adalah untuk memfasilitasi pengembangan BDS yang kualified berdasarkan permintaan UKM, dengan melakukan analisa tentang pasar BDS di 4 kabupaten/kota. Hasil survey merupakan input penting bagi ADB ta BDS dan kelompok kerja dalam mendisain intervensi yang khusus untuk BDS. Bekerjasama dengan Pokja di empat kabupaten/kota, Tim Konsultan TA mengidentifikasi sektor-sektor yang menjadi sasaran utama untuk intervensi BDS, yaitu: Sragen : tekstil (batik) dan mebel Pati : bengkel-bangkel kuningan dan industri pengolahan tapioka Bulukumba: industri pengolahan makanan dan kerajinan
9 Parepare : mebel dan bengkel-bengkel pengolahan logam Focused Group Discussion (FGD) Penilaian spesifik sektor untuk BDS memerlukan informasi rinci tentang masalah relevan yang dihadapi BDS dari sektor tersebut. Agar mendapatkan gambaran masalahmasalah spesifik sector tersebut, maka dilaksanakan pra survey dan Focused Group Discussion di keempat kabupaten/kota. FGD memberikan informasi yang bernilai tentang sasaran sektor yang akan menjadi dasar pengembangan kuesioner spesifik sektor BDS. Berdasarkan hasil FGD, sejumlah bidang potensial untuk BDS telah diperoleh dari setiap sektor, contohnya di Kabupaten Sragen yang dipaparkan pada Tabel 3 berikut. Sektor Masalah Jasa Potensial Industri Akses pendanaan/finance Rencana usaha, hubungan ke bank Mebel Peralatan produksi Peralatan sewa-beli-leasing Pengeringan kayu Fasilitas pengeringan kayu Kurang informasi pasar tentang Jasa marketing harga dan pembeli Masalah bahasa dengan para Jasa penterjemahan, jasa kontak para konsumen asing konsumen Sektor Masalah Jasa Potensial Tekstil (Batik) Mutu dan harga bahan baku Jasa yang handal untuk pemasokan bahan baku, pembelian curah Modal kerja terbatas Rencana usaha, hubungan ke bank Desain baru Jasa desain dengan komputer Pasar terbatas Jasa perantara Batik Sragen ditiru oleh produsen Jasa untuk hak intelektual, branding, lainnya labeling Akses terbatas ke fasilitas telpon Jasa komunikasi dan fax Tabel 3. Bidang Potensial untuk BDS di Kabupaten Sragen Penilaian Sisi Permintaan BDS Penilaian sisi permintaan dilaksanakan melalui survey UKM secara kuantitatif. Karena keterbatasan anggaran, maka diputuskan untuk menggabung survey iklim usaha dan survey permintaan BDS. Namun demikian, gabungan kedua jenis survey tidak ideal, karena survey yang dibatasi untuk permintaan BDS akan berfokus pada pertanyaan spesifik kepada sektor sasaran saja sedangkan survey iklim usaha secara ideal meliputi semua sektor. Untuk mengatasi hal tersebut maka survey akan meliputi 4 sektor di setiap daerah termasuk dua sektor sasaran dan dua sektor UKM yang relevan per daerah. Implikasi dari konsep ini terhadap survey permintaan BDS ialah diperlukan kuesioner BDS yang generik untuk semua sektor dan kuesioner BDS spesifik untuk sektor sasaran. 3.1 BDS Generik
10 Secara mendasar survey UKM mencoba menjawab pertanyaan berikut: a) apa masalah utama UKM dalam menjalankan usahanya; b) kemana UKM bertanya apabila menghadapi masalah; c) apakah UKM menyadari keberadaan BDS dalam mengatasi masalah mereka, dan apakah UKM memanfaatkan jasa-jasa BDS tersebut. a) Masalah utama UKM Masalah utama dalam menjalankan usaha di Jawa Tengah ialah akses pasar (sekitar 70% untuk kedua lokasi), akses keuangan (terutama di Sragen sekitar 70%), akses bahan baku (sekitar 35%) dan akses terhadap jasa komunikasi (terutama Sragen 40%) Hasil survey di Sulawesi Selatan menyatakan masalah utama yang hampir serupa dengan di Jawa Tengah, yaitu akses pasar, keuangan dan bahan baku. Namun demikian, di Sulawesi Selatan masalah lainnya yang sering terjadi adalah akunting, manajemen produksi, manajemen bisnis, dsb. b) Kemana UKM bertanya Hasil survey untuk keempat lokasi hampir serupa; mula-mula pemilik usaha mencoba mengatasi masalah mereka sendiri atau bertanya kepada anggota keluarga, teman atau mitra bisnis. Jasa konsultan dari luar tidak pernah dipakai (kurang dari 5%) sebagai sumber informasi. c) Kesadaran dan pemakaian jasa-jasa Hasil survey menunjukkan kesadaran dan pemanfaatan jasa-jasa yang sangat rendah di semua lokasi, bahkan di Sulawesi Selatan tidak ada sama sekali. Angka yang sangat rendah di Sulawesi Selatan mungkin berkaitan dengan kenyataan bahwa responden di kedua lokasi merupakan usaha mikro yang secara umum tidak pernah menggunakan jasa BDS. Hal yang mungkin pula terjadi adalah para interviewer tidak berada dalam posisi untuk menjelaskan arti Business Development Services kepada responden. Gambar 9 dan 10 berikut menggambarkan kesadaran dan pemakaian jasajasa untuk masalah-masalah yang paling sering terjadi di Pati dan Sragen.
11 Gambar 8. Kesadaran dan Penggunaan Jasa-jasa di Pati, Jawa Tengah Gambar 9. Kesadaran dan Penggunaan Jasa-jasa di Sragen, Jawa Tengah 3.2 BDS Spesifik Berdasarkan hasil FGD, Tim Konsultan TA mengidentifikasi jasa-jasa potensial yang dapat mengatas masalah-masalah spesifik sektor. Jasa-jasa tersebut adalah: Bulukumba, sektor pengolahan makanan:
12 Oven pengeringan, jasa pengemasan, jasa pengawetan makanan, registrasi produk, sertifikasi halal Parepare, sektor mebel: Oven pengeringan kayu, jasa ukiran kayu, penyewaan peralatan proses kayu, teknologi knock down mebel, pameran produk, daur ulang limbah, akses bahan baku (kayu) Pati, sektor pengolahan logam: Spectrometer, jasa peningkatan kualitas Pati, sektor pengolahan tapioca: Peralatan pengupas ketela, oven pengeringan produk Sragen, sektor mebel: Oven pengeringan kayu, penyewaan peralatan pengolahan kayu, pameran produk, daur ulang limbah Sragen, sektor batik: Registrasi merk dan desain, peningkatan kualitas produk, pameran produk Gambar 10. Potensi Jasa-jasa Spesifik di Sulawesi Selatan
13 Gambar 11. Potensi Jasa-jasa Spesifik di Jawa Tengah: Sragen Gambar 12. Potensi Jasa-jasa Spesifik di Jawa Tengah: Pati Kesimpulan Hasil survey jelas menunjukkan minat UKM yang lebih tinggi terhadap BDS spesifik daripada BDS generik. Dengan demikian TA akan berfokus pada fasilitasi jasa-jasa spesifik. Penilaian Sisi Penawaran BDS Berdasarkan analisa sisi penawaran BDS dan pemikiran awal mengenai potensi BDS, maka Tim Konsultan TA akan mengundang penyedia BDS dengan maksud untuk
14 memotivasi mereka agar mengembangkan dan menawarkan jasa-jasa yang dapat mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi. Berdasarkan proposal yang disampaikan oleh para penyedia BDS, maka Tim Konsultan TA akan memberikan dukungan spesifik dalam pengembangan produk dan peningkatan kapasitas.
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 3 TAHUN
WALIKOTA PAREPARE PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BERBASIS KLASTER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperincikemudian diikuti oleh Kota Magelang dan Kota Salatiga. 20 Kabupaten dan Kota berada pada tingkat medium (menengah) hingga tinggi, sedangkan 15
B O KS : RIN G KA S A N EKS EKU TIF B U S IN ES S C L IM A TE S U RV EY (B C S ) TA H U N 2 0 0 7 D I P RO V IN S I JA W A TEN G A H Business Climate Survey (BCS) atau Survei Iklim Usaha tahun 2007 dilaksanakan
Lebih terperinciKESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu unit usaha yang memiliki peran penting dalam perkembangan dan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Lebih terperinciBAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM
BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai
Lebih terperinciVII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat
VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai
Lebih terperinci6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM
48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama
Lebih terperinciSTRATEGI PENINGKATAN KEMAMPUAN ADOPSI TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING UKM
STRATEGI PENINGKATAN KEMAMPUAN ADOPSI TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING UKM PENDAHULUAN UKM adalah salah satu sektor ekonomi yang sangat diperhitungkan di Indonesia karena kontribusinya
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS
BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat
Lebih terperinciBAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;
BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang
Lebih terperinciVIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal berikut ini. 1. Faktor-faktor penyebab deindustrialisasi dari sisi
Lebih terperinciAbstrak. Kata Kunci: tingkat upah, teknologi, produktivitas kerja, penyerapan tenaga kerja
Judul : Pengaruh Tingkat Upah dan Teknologi Terhadap Produktivitas Kerja dan Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Mebel Meja Kayu di Kota Denpasar Nama : Nashahta Ardhiaty Nurfiat NIM : 1306105077 Abstrak
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci : Produk unggulan, strategi pengembangan
ABSTRAK Tujuan studi ini adalah untuk membuat dokumen tentang identifikasi potensi dan masalah serta konsep dan strategi pengembangan sektor unggulan perekonomian yang dapat digunakan sebagai referensi
Lebih terperinciBAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Dari kegiatan pemetaan Perda dan pelaksanaan survey persepsi terhadap 900 UMKM yang dilakukan di 10 Kabupaten/Kota dapat disimpulkan hal-hal sebagai
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN dan SARAN
BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan A. Dari hasil Analisa Input Output 1. Dari analisa input output yang dilakukan, maka nilai Industri Kreatif di DKI Jakarta pada Tahun 2007 memberikan kontribusi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang
17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan
Lebih terperinciIDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO
RINGKASAN EKSEKUTIF WISHNU TIRTA, 2006. Analisis Strategi Penggunaan Bahan Baku Kayu Bersertifikat Ekolabel Di Indonesia. Di bawah bimbingan IDQAN FAHMI dan BUDI SUHARDJO Laju kerusakan hutan di Indonesia
Lebih terperinciBAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN
BAB II EKONOMI MAKRO DAN KEBIJAKAN KEUANGAN 2.1 EKONOMI MAKRO Secara umum selama kondisi makro ekonomi Jawa Tengah per triwulan III tahun 2016 relatif melambat apabila dibandingkan dengan triwulan yang
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL
- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/PER/M.KUKM/XI/2005 T E N T A N G
PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 23/PER/M.KUKM/XI/2005 T E N T A N G PERUBAHAN ATAS SURAT KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN
Lebih terperinciLAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016 DINAS PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOPERASI DAN UMKM KOTA PEKALONGAN 2016 DAFTAR ISI Prakata Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN
Lebih terperinciAnalisis Isu-Isu Strategis
Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN an dimana terjadi krisis ekonomi. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) demikian UKM tidak dapat dipandang sebelah mata.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah perekonomian indonesia, terutama pada era akhir 1990-an dimana terjadi krisis ekonomi. UKM (Usaha Kecil dan Menengah) pernah berperan sebagai penyelamat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Kawasan Cigondewah merupakan salah satu kawasan pemukiman, sekaligus dikenal sebagai kawasan industri tekstil sejak tahun 1990-an, yang tumbuh seiring
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan nasional dengan bertumpu pada pertumbuhan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang saat ini Indonesia telah mengupayakan pelaksanaan pembangunan nasional dengan bertumpu pada pertumbuhan perekenomian yang ada. Salah satu
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,
Lebih terperinciPeningkatan Daya Saing Industri Manufaktur
XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang
Lebih terperinciJenis Penanaman Modal : PMDN PMA. Skala Bisnis : Mikro Menengah (UU 20/2008) Kecil Besar
FORMULIR ISIAN PESERTA PENERIMA PENGHARGAAN PRIMANIYARTA TAHUN 2013 I. PROFIL PERUSAHAAN Nama Perusahaan : NPWP : SIUP : TDP : SITU atau ijin lainnya : Jenis Penanaman Modal : PMDN PMA Skala Bisnis : Mikro
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KOPERASI SKALA BESAR
PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA Nomor : 07 /Per/M.KUKM/IX/2011 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KOPERASI SKALA BESAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena
Lebih terperinciKAJIAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TAHAP LANJUT SENTRA BISNIS UKM PASCA DUKUNGAN PROGRAM PERKUATAN
KAJIAN STRATEGIS PENGEMBANGAN TAHAP LANJUT SENTRA BISNIS UKM PASCA DUKUNGAN PROGRAM PERKUATAN Abstract Strategic program to improve SMEs throught closing business centre that has been done since 2001,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga investasi pada hakekatnya merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman
Lebih terperinciBAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH A. KONDISI UMUM Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan bagian penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara, sehingga merupakan harapan bangsa dan memberikan
Lebih terperinciBAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap pembentukan klaster industri kecil tekstil dan produk tekstil pada Bab IV. Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap model
Lebih terperinciReview Naskah Akademik dan Raperda Kewirausahaan DI Yogyakarta
Review Naskah Akademik dan Raperda Kewirausahaan DI Yogyakarta Oleh. Dr. Rizal Yaya SE., M.Sc. Ak. CA Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Disampaikan pada FGD Raperda
Lebih terperinciVI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA
VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA Penurunan daya saing sektor industri agro Indonesia pada tahun 1995-2000, khususnya dibandingkan dengan Thailand dan China, perlu diantisipasi
Lebih terperinciBUPATI TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,
BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KOPERASI, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci9. URUSAN PENANAMAN MODAL
9. URUSAN PENANAMAN MODAL Peningkatan penanaman modal di daerah dapat menjadi tolok ukur adanya perkembangan perekonomian daerah, yang dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi
Lebih terperinciDINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN PENANAMAN MODAL KABUPATEN KUPANG. Bagian Pertama. Dinas. Pasal 102
DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN PENANAMAN MODAL KABUPATEN KUPANG Bagian Pertama Dinas Pasal 102 Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Penanaman Modal mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melakukan
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan
Lebih terperinciPENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI PASAR. Sekilas Mengenai Kondisi Perekonomian dan Pentingnya Usaha kecil dan Menengah
PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI PASAR Abstrak Pengembangan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi pasar harus di dasari pada upaya yang keras dan terus menerusdalam menjadikan
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO
BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciIV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian
6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciBAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN
BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN Dari hasil analisis kemitraan antar stakeholders pada ketiga sentra industri di Kabupaten Gunungkidul,
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN PENGELOLAAN PASAR KABUPATEN SUBANG
PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN DAN PENGELOLAAN PASAR KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG, Menimbang : a. bahwa Dinas Perindustrian,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menjadi semakin penting terutama setelah krisis melanda Indonesia. Kelompok usaha kecil pada saat krisis ekonomi dipandang
Lebih terperinciWALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA
SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal
Lebih terperinciBUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI
1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang isi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu Dengan Iman dan Taqwa Jawa
Lebih terperinci10. URUSAN KOPERASI DAN UKM
10. URUSAN KOPERASI DAN UKM Perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan
Lebih terperinciSTRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA
STRATEGI PENGEMBANGAN PENGUSAHA KECIL MELALUI CAPACITY BUILDING DI DAERAH TUJUAN WISATA Tim Peneliti: M. Azzam Manan, DTP Kusumawardhani, Ujud Tahajuddin, Hayaruddin Siahaan, Rochmawati LATAR BELAKANG
Lebih terperinciI. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan
Lebih terperinciBOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH
BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH Sejak UU Otonomi Daerah diberlakukan tahun 1999, pemerintah daerah
Lebih terperinciBAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN. 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional
BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016 yang mempunyai tema Memperkuat perekonomian domestik bagi peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode 2010-2015, secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi, dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan
Lebih terperinciPERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi
PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi Outline 1 Gambaran Umum Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 2 MEA dalam RKP 2014 3 Strategi Daerah dalam Menghadapi MEA 2015 MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 Masyarakat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia. Suatu usaha
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia. Suatu usaha dikatakan sebagai
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,
Lebih terperinciWALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan
Lebih terperinciSTRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH
STRATEGI DAN KEBIJAKAN INOVASI PENGEMBANAGAN AGROINDUSTRI ROTAN DI KALIMANTAN TENGAH Oleh Dr.Ir.H.Saputera,Msi (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Makanan Tradisional dan Tanaman Obatobatan Lemlit
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN BUPATI MADIUN,
BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015
1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan masalah Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia menjadi sebuah negara industri yang tangguh dalam jangka panjang. Hal ini mendukung Peraturan
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH BAB 19 PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MII(RO" KECIL, DAN MENENGAH A. KONDISI UMUM Pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciStudi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE
Studi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE 1. Persoalan apa yang akan diselesaikan? Pertumbuhan produktivitas di negara-negara
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun
Lebih terperinci3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan
VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi
Lebih terperinciALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.
Lebih terperinciBAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA
BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan
Lebih terperinciBAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH
BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana
Lebih terperinciRANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH
RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH TUGAS AKHIR DISUSUN OLEH: HENDRA YUDHO PRAKOSO L2D 004 318 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu
Lebih terperinciBUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BOYOLALI NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN ESELON PADA DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci- 1 - TUGAS DAN FUNGSI DALAM RANGKA REVITALISASI KOPERASI. Terwujudnya koperasi dengan kondisi kelembagaan yang
- 1 - DALAM RANGKA REVITALISASI KOPERASI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA MOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN REVITALISASI KOPERASI LEMBAGA/ GERAKAN
Lebih terperinciIV. TUJUAN DAN SASARAN
IV. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan kelapa ke depan adalah menumbuhkan minat investor untuk menanamkan modalnya di bidang agrisnis kelapa, di hilir, on farm dan di hulu.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengamanatkan bahwa agar perencanaan pembangunan daerah konsisten, sejalan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ides Sundari, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia menghadapi gelombang besar berupa meningkatnya tuntutan demokratisasi, desentralisasi,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL
PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Strategi bisnis APIP S Kerajinan Batik menggunakan aliansi strategis dengan sebagai
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Strategi bisnis APIP S Kerajinan Batik menggunakan aliansi strategis dengan sebagai strategi mencapai keunggulan bersaing. Tipe aliansi pada APIP S Kerajinan Batik adalah Nonequity
Lebih terperinciPERAN DAN ARAH PENGEMBANGAN INDUSTRI MEBEL DI JEPARA
PERAN DAN ARAH PENGEMBANGAN INDUSTRI MEBEL DI JEPARA PEMERINTAH KABUPATEN JEPARA Disampaikan pada Simposium Nasional Value Chain of Furniture, other Forest Products and Ecosystem Services Bogor, 14 Februari
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan dalam aliran-aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit) kepada
Lebih terperinciPROPOSAL PROGRAM PENGEMBANGAN PRODUK EKSPOR. Logo Perguruan Tinggi JUDUL PROGRAM* Oleh:
Format Sampul Proposal Program Pengembangan Produk Ekspor PROPOSAL PROGRAM PENGEMBANGAN PRODUK EKSPOR Logo Perguruan Tinggi JUDUL PROGRAM* Oleh: Nama Lengkap dan NIDN Ketua Tim Pengusul Nama Lengkap dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciPENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN
PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana
Lebih terperinciBAB VI PROFIL EKONOMI DAN KEUANGAN
BAB VI PROFIL EKONOMI DAN KEUANGAN 6.1. Industri dan Perdagangan Kegiatan sektor industri pengolahan di Sumba Barat terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Nilai tambah bruto yang diperoleh sektor
Lebih terperinci