IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT)"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT) DWI RATNAWATI CHRISTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Lahan Potensial untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011 Dwi Ratnawati Christina NRP. A i

3 ABSTRACT DWI RATNAWATI CHRISTINA. Identificaton of Potential Land for Supporting Proposed of The Planning of Sustainable Food Farming Land (Case Study in West Java Province). Under direction of ERNAN RUSTIADI and BABA BARUS. The passing of Law 41, 2009 on the Protection of Sustainable Food Farming Land (PSFFL) is expected to control the pace of agricultural land use change in particular fields. This law is still new so that many of its implementation have not been done, including the planning and establishment of regions, prime land and reserve land. West Java Province is the province's second-largest contributor to the national rice with the support of a potential wetland. Spatial analysis can be used to determine the potential of component sustainable food farming in province based on data and supporting information. The purposes of this study are (1) To analyze the projection needs of wetland at the provincial and district levels, (2) To identify potential land for prime sustainable food farming land and reserve sustainable food farming land at the provincial and district levels, (3) To define potential locations for the proposed as the sustainable food farming region at the provincial and district levels. The results show that the availability of land is the main deciding factor, otherwise suitability of land has not influence in deciding of sustainable food farming area. At the provincial level, the result shows that more general planning area proposed, including assemblage of some small regions, and indication of prime and reserve land. The proposed planning at the provincial level is a reference in the preparation of the proposed planning district, with more a detail data for regions, prime and reserve land along with prediction size of area. Keywords: potential land for food farming, sustainable food farming, sustainable food farming region, prime and reserve land

4 RINGKASAN DWI RATNAWATI CHRISTINA. Identifikasi Lahan Potensial untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan BABA BARUS. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang beras terbesar kedua nasional dengan dukungan lahan sawah yang potensial. Permasalahan yang dihadapi oleh provinsi ini adalah potensi alih fungsi lahan yang tinggi. Dengan disahkannya UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) diharapkan mampu mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah. UU ini masih baru sehingga banyak implementasi di lapangan belum pernah dilakukan termasuk perencanaan dan penetapan kawasan, lahan dan lahan cadangan. Analisis spasial dapat digunakan untuk mengetahui potensi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B), dan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) yang ada di provinsi ini berdasarkan data dan informasi pendukung. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di tingkat provinsi dan kabupaten, 2) Melakukan identifikasi lahan pertanian pangan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten, dan 3) Menetapkan lokasi-lokasi potensial untuk diusulkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten. Penelitian ini dibatasi pada tahap usulan perencanaan dan penetapan lokasi yang berpotensi ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten dari aspek spasial. Lokasi penelitian tingkat provinsi berada di Provinsi Jawa Barat sementara tingkat kabupaten di Kabupaten Garut dengan wilayah di DAS Cimanuk Hulu. Penelitian menggunakan data sekunder yang terdiri dari data spasial dan data tabular. Data spasial antara lain peta penggunaan lahan, peta kesesuaian lahan basah, peta status irigasi dan peta intensitas pertanaman. Data tabular antara lain produksi, produktivitas, luas panen, luas tanam padi di wilayah penelitian. Analisis yang digunakan adalah analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah, identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dan identifikasi dan pemetaan kawasan potensial untuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Analisis kebutuhan lahan sawah dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan metode pembobotan pada 2 model spasial. Model 1 yaitu dengan melakukan pembobotan terhadap lahan sawah dan lahan bukan sawah. Model 2 yaitu melakukan pembobotan hanya pada lahan sawah saja. Identifikasi dan pemetaan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan dengan mendelineasi secara visual lahan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan berdasarkan spatial contiguity. Berdasarkan analisis kebutuhan lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah Provinsi Jawa Barat selama 20 tahun yang akan datang untuk

5 pemenuhan kebutuhan pangannya sendiri berada di bawah ketersediaan lahan sawah yang ada namun ada kecenderungan terjadinya defisit lahan sawah setelah 20 tahun tersebut. Untuk berkontribusi pada tingkat yang lebih tinggi, kebutuhan lahan sawah berada di atas ketersediaan lahan dimulai pada tahun 2019 terjadi defisit lahan sawah. Ketersediaan lahan sawah di Kabupaten Garut masih cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri dan berkontribusi terhadap provinsi untuk 20 tahun yang akan datang namun ada kemungkinan terjadi defisit lahan sawah setelah 20 tahun tersebut. Perbaikan faktor pembatas yaitu drainase berupa pembangunan jaringan irigasi mampu menaikkan nilai total skor sehingga lahan dengan kesesuaian lahan rendah mempunyai nilai total skor tinggi. Dengan nilai total skor tinggi tersebut, lahan yang mempunyai kesesuaian lahan N termasuk sebagai lahan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kriteria kesesuaian lahan tidak efektif digunakan untuk penggunaan lahan sawah, kriteria ini lebih efektif jika digunakan untuk lahan-lahan bukan sawah. Dari identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan, diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki lahan potensial untuk Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Ha sementara Kabupaten Garut seluas Ha. Identifikasi dan pemetaan lahan pertanian pangan potensial dilakukan dengan menggunakan pembobotan dan dilakukan pada dua model. Dengan menggunakan model 1, teridentifikasi di Jawa Barat memiliki lahan pertanian pangan potensial Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Ha sementara di Kabupaten Garut terdapat lahan potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Ha. Model 2 mengidentifikasi di Jawa Barat memiliki lahan potensial Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Ha sementara di Kabupaten Garut memiliki lahan potensial Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan seluas Ha. Dari hasil identifikasi dan pemetaan kawasan potensial untuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dengan model 1 menggunakan pendekatan delineasi visual berdasar spatial contiguity dan luas hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat terdapat 8 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi dan 8 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kabupaten dengan total luas kawasan Ha yang berada di 20 kabupaten/kota sedangkan di Kabupaten Garut teridentifikasi 4 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kabupaten dengan luas Ha dan berada di 23 kecamatan. Dengan model 2 menggunakan pendekatan delineasi visual berdasar spatial contiguity dan luas hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, teridentifikasi di Provinsi Jawa Barat terdapat 11 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi dan 10 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kabupaten dengan total luas kawasan Ha yang berada di 21 kabupaten/kota sementara di Kabupaten Garut dengan kawasan seluas Ha yang terdiri atas 3 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kabupaten yang tersebar pada 23 kecamatan. Kata Kunci: Lahan Potensial Pertanian Pangan, Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS DI PROVINSI JAWA BARAT) DWI RATNAWATI CHRISTINA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc

9 Judul Tesis : Identifikasi Lahan Potensial untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat) Nama : Dwi Ratnawati Christina NRP : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 09 April 2011 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas segala anugerah dan berkat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dalam rangka penyelesaian studi S2 Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan saran-saran yang bermanfaat dalam masa studi, penelitian dan penulisan tesis ini. 3. Dr. Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 4. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) sebagai pemberi beasiswa tugas belajar. 5. Segenap pimpinan dan staf Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis. 6. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB. 7. Bapak dan Ibu yang telah memberikan dukungan dan doa yang luar biasa selama penulis melanjutkan studi. 8. Kakak dan adik tercinta, Marya, Mas Jefri, Agustin, Catur dan The Sastro s atas dorongan dan dukungannya sehingga penulisan tesis ini dapat selesai. 9. Teman-teman kelas khusus dan reguler Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah angkatan 2009, sahabat untuk selamanya atas kebersamaan, kekompakan, semangat, dan rasa kekeluargaannya selama studi hingga selesainya tesis ini. 10. Para Sahabat atas waktu, dorongan, dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. 11. Semua pihak yang berperan pada masa studi dan penulisan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini berguna dan membawa manfaat bagi kita. Tuhan memberkati kita. Bogor, April 2011 Dwi Ratnawati Christina

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 15 Maret Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Panut dan Ibu Sri Haryuti. Tahun 1997 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Klaten. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada dan lulus dengan gelar S.TP pada tahun Tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana IPB atas biaya dari Pusbindiklatren Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Tahun 2005 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Pertanian dan ditempatkan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air sampai Desember Mulai Januari 2011, penulis ditugaskan di Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN iii v vii PENDAHULUAN Latar Belakang.. 1 Ruang Lingkup 5 Perumusan Masalah. 7 Kerangka Pemikiran 8 Tujuan dan Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Perlindungan Lahan Pertanian Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Multi Criteria Analysis Lahan Pertanian di Jawa Barat METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian.. 29 Bahan dan Alat.. 31 Cara Pengumpulan Data 31 Analisis Data Analisis Kebutuhan Lahan Sawah Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan i

13 Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Potensial untuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Karakteristik Provinsi Jawa Barat 53 Lokasi dan Administrasi.. 53 Kondisi Biofisik 53 Kependudukan 55 Penggunaan Lahan. 56 Karakteristik DAS Cimanuk Hulu. 58 Lokasi dan Administrasi Iklim dan Curah Hujan.. 59 Kependudukan Penggunaan Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebutuhan Lahan Sawah Inventarisasi Data dan Informasi Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Potensial untuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 107 DAFTAR PUSTAKA. 109 LAMPIRAN. 113 ii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Data Produksi dan Impor Beras Tahun Perbandingan Pelaksanaan Perlindungan Lahan Pertanian di Berbagai Negara Jenis Data yang Dibutuhkan Perbedaan Kedetilan Informasi di Tingkat Provinsi dan Kabupaten Kriteria Penilaian Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Kriteria Penilaian Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Pembobot LP2B Provinsi 1a Pembobot LP2B Provinsi 1b Pembobotan LP2B Provinsi 2a Pembobotan LP2B Provinsi 2b Pembobotan LP2B Provinsi 2c Pembobotan LP2B Kabupaten Pembobotan LP2B Kabupaten 2a Pembobotan LP2B Kabupaten 2b Sebaran Jenis Tanah dan Arahan Penggunaan Perkembangan Penggunaan Lahan Tahun Kecamatan dan Luas Wilayah Daerah Penelitian Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Garut Kawasan Hutan Provinsi Jawa Barat Tahun Penutupan/Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Barat Tahun Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun Indikasi Luas Lahan Potensial untuk LCP2B DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Hasil Skoring LP2B Provinsi Hasil Skoring LP2B Provinsi Spesifikasi Kriteria Teknis Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten iii

15 Halaman 28. Hasil Pembobotan LP2B Kabupaten Lokasi Penyebaran Kawasan Potensial untuk KP2B Perbandingan KP2B Provinsi 1 dan Provinsi Lokasi Kawasan Potensial di Kabupaten Garut Perbandingan Kabupaten 1 dan Kabupaten iv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pikir Penelitian Grafik Perkembangan Produksi Padi Sawah Selama Grafik Perkembangan Luas Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Tahun Lokasi Penelitian Tingkat Provinsi di Provinsi Jawa Barat Lokasi Penelitian Tingkat Kabupaten di DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Diagram Alir Penelitian Tingkat Provinsi Diagram Alir Penelitian Tingkat Kabupaten Diagram Alir Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Diagram Alir Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LCP2B Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten Konsep Pemetaan Kawasan Potensial untuk KP2B Ilustrasi Pendelineasian KP2BP Ilustrasi Pendelineasian KP2BK Peta Guna Lahan Provinsi Jawa Barat Tahun Perkembangan Luas Lahan Sawah ( ) Kebutuhan Lahan Sawah Nasional Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Garut Kelas Kesesuaian Lahan untuk Lahan Basah di Provinsi Jawa Barat Kelas Kesesuaian Lahan untuk Lahan Basah di DAS Cimanuk Hulu Status Irigasi DAS Cimanuk Hulu Intensitas Pertanaman DAS Cimanuk Hulu Luas Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Jawa Barat v

17 Halaman 28. Peta Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Jawa Barat Peta Lahan Potensial untuk LCP2B DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Peta Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi Persentase Luas Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi Peta Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi Luas Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten Peta Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten Peta Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten Persentase Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Peta Kawasan Potensial untuk KP2B Provinsi Peta Kawasan Potensial untuk KP2B Provinsi Peta Kawasan Potensial untuk KP2B Kabupaten Peta Kawasan Potensial untuk KP2B Kabupaten Delineasi Kawasan yang Terfragmentasi vi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Jawa Barat Tahun Peta Kesesuaian Lahan Basah Provinsi Jawa Barat Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Barat Peta Intensitas Pertanaman Provinsi Jawa Barat Peta Status Irigasi Provinsi Jawa Barat Peta Status Irigasi DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Tahun Peta Kesesuaian Lahan untuk Padi DAS Cimanuk Hulu Kab. Garut Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Tahun Peta Intensitas Pertanaman DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Tahun Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Skenario Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Skenario Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Skenario Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Skenario Optimis vii

19 PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang beras nasional nomor dua setelah Provinsi Jawa Timur. Kontribusi beras pada tahun 2008 sebesar 16,76% dari total nasional. Produksi beras ini didukung oleh luas lahan sawah yang ada di daerah ini. Berdasarkan data Bappeda Provinsi Jawa Barat (2010) pada tahun 2005, luas baku sawah sebesar hektar (Ha) sebagian besar merupakan lahan irigasi teknis (41%), tadah hujan (18,8%), irigasi perdesaan (17,1%), irigasi setengah teknis (12,6%), sisanya irigasi sederhana (1,0%) dan sawah pasang surut (0,4%). Permasalahan yang dihadapi provinsi ini adalah besarnya laju konversi lahan pertanian menjadi peruntukan lain. Selama tahun telah terjadi perubahan lahan sawah ke peruntukan lain seluas Ha. Potensi hilangnya lahan produktif di wilayah ini sangat besar apabila dilihat dari jumlah penduduknya. Berdasarkan data Sensus Penduduk (SP) 2010, provinsi ini berpenduduk sebanyak jiwa atau terbesar di Indonesia (18,11 %), dan merupakan salah satu pusat kegiatan industri manufaktur dan strategis nasional. Selain itu, Jawa Barat merupakan lintasan utama arus regional barang dan penumpang Sumatera-Jawa-Bali. Lahan sawah yang beralih fungsi tersebut biasanya terletak di dekat kota baik kota besar maupun kota yang sedang berkembang dimana industri, perdagangan dan perumahan berkembang pesat dan umumnya pada lahan sawah produktif dengan irigasi yang baik. Penambahan areal sawah melalui optimasi lahan terlantar memang dilakukan namun belum menutup potensi lahan sawah yang hilang. Hilangnya lahan pertanian produktif ini apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelangsungan dan produksi yang akhirnya bisa menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, baik itu ketahanan pangan daerah maupun nasional. Selain fungsi pasokan produksi, lahan pertanian juga mempunyai berbagai fungsi lain yaitu sebagai penyedia dan pembuka lapangan kerja, fungsi lingkungan dan fungsi wilayah tangkapan air (water catchment area). Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ini menyebabkan hilangnya fungsi fungsi lain tersebut.

20 2 Konversi lahan pertanian pangan ke nonpertanian, secara umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan akibat dari pertumbuhan kebutuhan lahan untuk keperluan nonpertanian akibat perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, serta perpajakan lahan (PBB) yang mengakibatkan pergeseran penggunaan lahan dari fungsi pertanian menjadi fungsi nonpertanian, karena dinilai lebih menguntungkan. Faktor internal adalah kemiskinan. Salah satu penyebab kemiskinan petani ini adalah kepemilikan lahan yang sempit. Dengan peningkatan jumlah penduduk yang masih sekitar 1,34 persen per tahun, sementara luas lahan yang ada relatif tetap, telah menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air terutama di Jawa (Departemen Pertanian, 2006). Dengan rata-rata penguasaan lahan yang sangat sempit, maka terjadi persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan nonpertanian. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan pertaniannya, karena merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu. Dua faktor tersebut berakibat pada kurangnya kemampuan menaikkan kapasitas produksi, dan secara psikologis semakin memojokkan citra produktivitas petani dan sektor pertanian pangan (Departemen Pertanian, 2006). Penataan ruang merupakan salah satu kebijakan yang diharapkan mampu mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian. Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang diamanatkan peraturan mengenai lahan pertanian abadi. Amanat tersebut telah dilaksanakan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Dengan terbitnya UU ini, diharapkan dapat menekan tingginya laju alih fungsi lahan pertanian sawah. Apabila laju alih fungsi lahan pertanian dapat dikendalikan diharapkan fungsi lain seperti fungsi ekologi dapat dipertahankan dan dijaga keberadaannya. Implementasi UU Nomor 41 Tahun 2009 berupa peraturan terkait seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri ataupun peraturan daerah saat ini masih dalam proses penyusunan. Peraturan yang baru saja disahkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan ini antara lain berisi mengenai kriteria dan persyaratan serta tata cara penetapan ketiga komponen PLP2B

21 3 tersebut yaitu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disusun baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan nasional menjadi acuan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi dan kabupaten/kota sementara Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi menjadi acuan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota. Adanya perencanaan dan penetapan ketiga komponen PLP2B dalam suatu wilayah akan mempermudah pemerintah dalam pembuatan rencana, kebijakan, dan program. Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam rencana tata ruang kabupaten. Penetapan LP2B dan LCP2B merupakan bagian dari penetapan dalam bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota. Penetapan ketiga komponen PLP2B tersebut merupakan dasar peraturan zonasi. Di tingkat provinsi, KP2B merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi. Pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, jangka waktu masa berlaku rencana tata ruang wilayah (RTRW) telah disesuaikan dengan jangka waktu rencana pembangunan yaitu 20 tahun dengan peninjauan kembali setiap 5 tahun. Dengan terintegrasinya perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam dokumen rencana tata ruang wilayah tersebut diharapkan rencana pembangunan bersinergi dan tidak akan bertolak belakang. KP2B secara hierarki terdiri atas Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan nasional (KP2BN), Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan provinsi (KP2BP), dan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan kabupaten/kota (KP2BK). KP2BN meliputi KP2B lintas provinsi, sementara KP2BP meliputi KP2B lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sedangkan KP2BK meliputi KP2B dalam 1 kabupaten/kota. Perencanaan PLP2B yang dilakukan dalam berbagai tingkatan ini membawa konsekuensi adanya beberapa tingkatan spasial. Permasalahan dalam perencanaan wilayah adalah bagaimana membuat perencanaan wilayah perdesaan tersebut berbeda namun masih dalam satu kerangka kerja yang sama. Tingkatan tertinggi harus bersifat lebih umum dan menjadi acuan bagi

22 4 rencana pembangunan tingkatan dibawahnya. Metode yang dimodifikasi perlu digunakan dalam perencanaan regional dan lokal agar mampu memperlihatkan konsekuensi dari perbedaan tingkatan tersebut. Sistem Informasi Geografi (SIG) dan pendekatan model sangat efisien untuk digunakan dalam permasalahan tersebut (Hermann dan Osinski, 1999). Tahapan pertama penyelenggaraan perlindungan LP2B ini adalah menentukan dan menetapkan lahan pertanian menjadi suatu kawasan, lahan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Perencanaan ini diawali dengan penyusunan usulan perencanaan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Kesulitan utama yang ditemui dalam melakukan penyusunan usulan ketiga komponen perlindungan lahan pertanian pangan tersebut adalah ketentuan terkait dengan kriteria teknisnya yang belum ada. Pedoman kriteria teknis dan persyaratan ketiga komponen tersebut akan diatur dengan Peraturan Menteri yang sampai saat sekarang belum selesai disusun. Pada tahun 2007, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41 tahun 2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya yang salah satunya menjelaskan kriteria teknis kawasan budi daya pertanian untuk lahan basah namun hanya mencakup pola tanam dan tindakan konservasinya saja. Pada pedoman tersebut tidak disebutkan mengenai luasan yang bisa dikatakan sebagai kawasan dan lahan pertaniannya, kondisi infrastruktur yang mendukung, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan. Berdasarkan penelitian Ceballos-Silva dan Lo pez-blanco (2003), SIG dan pendekatan model dapat digunakan untuk melakukan delineasi lahan-lahan pertanian yang sesuai dengan komoditas tertentu. Pengaplikasian pendekatan Multi Criteria Evaluation mampu digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang sesuai untuk komoditas tertentu. Faktor-faktor yang berpengaruh seperti iklim, topografi, kesesuaian lahan diintegrasikan dalam SIG. Informasi ini diperlukan untuk mendapatkan kriteria yang optimal yang akan digunakan sebagai input dalam MCE algoritm. Hasilnya akan dioverlay dengan peta penggunaan lahan terbaru sehingga akan dihasilkan lahan-lahan potensial dengan komoditas tertentu. Perencanaan dan penetapan ketiga komponen PLP2B ini membutuhkan data dan informasi lahan pertanian. Kekurangan informasi sering menyebabkan

23 5 model model tidak efektif atau tidak dapat dioperasikan sehingga akan menimbulkan kasalahpahaman mekanisme sistem dan terhadap keputusan yang tidak konsisten yang pada nantinya dapat menimbulkan beragam konflik. Permasalahan data dan informasi lahan pertanian adalah ketersediaannya masih terbatas dalam kondisi yang diuraikan secara deskriptif sehingga identifikasi wilayah dan pengelompokan lahan produktif secara geografis mengalami kesulitan. Permasalahan tersebut dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknologi pengolahan dan penyajian informasi spasial. Informasi ini selanjutnya memberikan dukungan informasi lebih tepat untuk analisis kuantitatif ketersediaan pangan. Informasi lainnya adalah letak geografis lahan produktif, luasannya, kondisi topografi dan keterkaitannya dengan informasi infrastruktur termasuk akses untuk dukungan budidaya pertanian (sumber air, tata distribusi air, dan akses pengolahan pasca panen) perlu ditingkatkan secara meluas, dan jaringan sarana perhubungan (jalan raya antar wilayah dan kota, jalan penghubung daerah perdesaan) antara sentra produksi dengan pasar untuk meningkatkan kelancaran bagi distribusi pangan (Praptomosunu, 2007). Ketersediaan peta sangat terbatas, khususnya peta dasar seperti peta tanah, terlebih bila untuk perencanaan yang sifatnya rinci. Koleksi nasional untuk peta provinsi skala 1: , peta kabupaten/kota skala 1: dan 1: , belum mencakup wilayah semua provinsi dan kabupaten/kota. Sementara ini, peta pendukung lainnya masih terbatas cakupan wilayah, tingkat kerincian dan jumlahnya, misalnya : peta potensi lahan, peta iklim, peta liputan lahan. Dari aspek ketersediaan data dasar untuk inventarisasi yang mencakup data citra satelit masih terbatas karena kendala cuaca di wilayah tropis maupun tingkat kerincian datanya, disamping belum lengkapnya data kontur serta terbatasnya sebaran data curah hujan sehingga mengurangi tingkat akurasi data potensi lahan yang dihasilkan. Untuk Provinsi Jawa Barat, peta yang tersedia bermacam-macam tingkat kerinciannya, antara lain: skala Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) adalah 1: sementara peta geologi berskala 1: , sedangkan peta tanah lebih bervariasi. Ruang Lingkup Lahan pertanian pangan merupakan lahan pertanian tanaman pokok yang terdiri atas sagu, ubi, jagung, padi, ketela pohon dan lain-lain. Untuk penelitian ini, lahan yang dimaksud adalah lahan sawah karena makanan pokok di wilayah

24 6 penelitian adalah beras dan lahan sawah merupakan andalan utama produksi padi. Berdasarkan data produksi padi, beras tidak hanya dihasilkan pada lahan sawah tetapi juga di lahan kering. Padi ladang baik dari segi luas panen, produksi maupun produktivitas jauh lebih rendah dibanding padi sawah. Produksi padi ladang di provinsi ini hanya 3,49% terhadap total produksi padi Jawa Barat. Dengan produksi padi sawah yang tinggi dibanding padi ladang, maka lahan yang dipilih untuk penelitian adalah lahan sawah. Penelitian ini hanya pada penyusunan usulan perencanaan LP2B dan merekomendasikan satuan hamparan lahan yang dapat ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B) dari aspek spasial di tingkat provinsi dan kabupaten. Beberapa pengertian yang dijadikan referensi sebagai konsepsi dari pelaksanaan penelitian ini bersumber dari UU No. 41 Tahun 2009 yaitu: 1) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 2) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) pada masa yang akan datang. 3) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 4) Kawasan Perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 5) Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.

25 7 Perumusan Masalah Perencanaan LP2B diawali dengan penyusunan usulan perencanaan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Penyusunan usulan perencanaan LP2B dilakukan berdasarkan inventarisasi, identifikasi, dan penelitian. Hasil usulan perencanaan ini kemudian disebarkan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dan saran perbaikan. Inventarisasi merupakan pendataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, atau pengelolaan hak atas tanah pertanian pangan sementara identifikasi dilakukan untuk mengetahui lahan pertanian yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan LP2B. Ketidakadaan pedoman teknis ketiga komponen menyebabkan pemerintah daerah yang saat ini sedang melakukan penyusunan revisi RTRW mengalami kesulitan untuk merencanakan dan menetapkan ketiga komponen tersebut dalam dokumen RTRW. Sangat mungkin terjadi, RTRW selesai disusun ketiga komponen tersebut belum dimuat dalam dokumen yang telah sah. Saat ini beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah menyelesaikan RTRW dan belum mencantumkan muatan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Namun ada juga yang telah memasukkan muatan LP2B walaupun belum menggunakan istilah LP2B tetapi kawasan budi daya pertanian sesuai dengan UU Penataan Ruang. Untuk memasukkan muatan LP2B maka harus dilakukan revisi RTRW lagi. Hal ini pasti memakan waktu yang lama sehingga untuk tetap memberlakukan ketentuan UU ini maka LP2B ini perlu ditetapkan dalam suatu peraturan daerah. Perencanaan usulan ini belum pernah dilakukan sehingga sehingga belum diketahui bagaimana implementasinya di lapangan apakah dapat dilaksanakan atau tidak. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui metode dan kriteria teknis untuk identifikasi lahan pertanian potensial yang dapat diusulkan dalam perencanaan LP2B berdasarkan kriteria yang tersedia. Untuk mempermudah penelitian, maka perlu dirumuskan permasalahan yang terjadi pada Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut, yaitu : 1. Berapa luas lahan sawah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, provinsi dan kabupaten? 2. Kriteria teknis apa yang sesuai digunakan untuk identifikasi lahan potensial LP2B di tingkat provinsi dan kabupaten? 3. Bagaimana ketersediaan data dan informasi yang mendukung kriteria teknis tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten?

26 8 4. Bagaimana melakukan identifikasi lahan potensial dengan menggunakan kriteria teknis tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten? Kerangka Pemikiran Padi adalah salah satu tanaman budi daya terpenting dalam peradaban. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia termasuk penduduk Indonesia. Beras sebagai hasil pengolahan padi akan tetap menjadi komoditas penting dan strategis selama masih menjadi makanan pokok utama hampir seluruh penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa. Proses konversi lahan sawah menjadi penggunaan lahan nonpertanian seperti pemukiman dan industri merupakan kondisi yang sulit dihindari sebagai akibat dari pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan sektor ekonomi yang pesat. Ketersediaan lahan yang terbatas sementara permintaan terhadap lahan terus meningkat menuntut realokasi penggunaan lahan ke arah yang paling menguntungkan. Sebagian lahan sawah yang terkonversi tersebut beralih fungsi menjadi lahan pertanian lahan kering, dan sebagian lainnya beralih fungsi ke peruntukan nonpertanian untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, pengembangan industri, jasa, dan lain-lain. Penyebab utama konversi tersebut adalah kelayakan ekonomi. Pertimbangan kelayakan ekonomi menjadi persyaratan yang diperlukan dalam pengelolaan suatu penggunaan lahan. Budi daya pertanian pada lahan yang sesuai akan memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding pada lahan yang tidak sesuai. Aksesibilitas dan atau jarak ke tempat pemasaran juga sangat menentukan harga barang input dan harga barang produksinya. Aksesibilitas juga terkait dengan harga jual dan nilai rente lahan. Harga jual dan rente dari lahan-lahan dengan aksesibilitas yang baik akan lebih besar dibandingkan dengan jenis lahan sejenis dengan aksesibilitas lahan buruk. Selanjutnya, untuk mendapatkan keuntungan yang memadai maka kenaikan harga jual dan rente tersebut harus diikuti oleh kenaikan produk lahan. Apabila harga jual lebih rendah maka pemilik lahan akan mengubah pemanfaatan lahannya ke kepenggunaan lain yang produknya bermilai lebih tinggi. Hal ini terjadi ketika petani mengkonversi lahan sawahnya karena penggunaan lahan

27 9 untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan sawah. Munculnya fenomena konversi (alih fungsi) lahan sawah ke nonsawah ataupun nonpertanian di Pulau Jawa menimbulkan kekhawatiran akan terancamnya ketahanan pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar sawah yang terkonversi tersebut merupakan lahan sawah yang beririgasi baik teknis maupun semi teknis. Konversi ini mengakibatkan hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja pada usaha tani. Selain itu, dampak negatif konversi ini adalah hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha tani tersebut seperti usaha traktor, dan penggilingan padi. Kerugian tidak langsung adalah meningkatnya pencemaran, banjir, jumlah petani berlahan sempit meningkat, dan tingkat kriminalitas. Penurunan luas lahan ini tidak sebanding dengan luas pencetakan sawah baru sehingga terjadilah defisit lahan. Untuk Provinsi Jawa Barat tidak mungkin lagi dilakukan penambahan lahan baku sawah, yang bisa dilakukan apabila laju alih fungsi tidak bisa dikendalikan adalah dengan menzonasi lahan pertanian sawah produktif. Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2009 ini diharapkan mampu mengendalikan laju alih fungsi lahan tersebut. UU ini menyebutkan bahwa perencanaan ketiga komponen LP2B dilakukan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Perencanaan ini diintegrasikan dengan RTRW baik nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pedoman teknis perencanaan dan penetapan KP2B, LP2B, dan LCP2B belum ada, dan uji coba pelaksanaannya pun belum pernah dilakukan sehingga belum diketahui bagaimana implementasinya di lapangan, apakah bisa dilaksanakan ataukah tidak bisa dilaksanakan. Dari hal tersebut, maka dapat diidentifikasi dan dirumuskan permasalahannya yaitu bagaimana melakukan identifikasi ketiga komponen tersebut di tingkat kabupaten dan provinsi. Untuk tingkat provinsi, perencanaan harus bersifat umum karena tingkat ini hanya sebagai acuan saja bagi kabupaten. Operasional PLP2B berada di kabupaten sehingga perencanaan LP2B harus lebih rinci. Pada tingkat provinsi, hasil yang ingin diperoleh adalah arahan usulan perencanaan kawasan potensial untuk KP2B. Kawasan potensial yang dapat didentifikasikan terdiri dari kawasan

28 10 potensial untuk KP2B provinsi (KP2BP) dan kawasan potensial untuk KP2B kabupaten (KP2BK). Kawasan ini akan masuk dalam kawasan budi daya pada RTRW provinsi. Pada tingkat kabupaten, hasil yang ingin diperoleh adalah arahan usulan kawasan potensial untuk KP2B kabupaten (KP2BK). Kawasan ini akan digunakan untuk penyusunan revisi RTRW kabupaten dan masuk dalam kawasan budi daya pertanian pada RTRW kabupaten tersebut. Masing-masing tingkat menggunakan skala yang berbeda disesuaikan dengan skala pada penyusunan RTRW. Untuk provinsi menggunakan skala 1: , sedangkan kabupaten menggunakan skala 1: Kerangka pikir penelitian sebagaimana pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

29 11 Tujuan dan Manfaat Penelitian Wilayah yang menjadi obyek penelitian adalah Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan uraian dalam latar belakang, perumusan masalah dan kerangka pemikiran maka dibuat tujuan penelitian ini yaitu: 1. Menganalisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di tingkat provinsi dan kabupaten. 2. Melakukan identifikasi lahan pertanian pangan potensial untuk LP2B dan LCP2B di tingkat provinsi dan kabupaten. 3. Menetapkan lokasi-lokasi potensial untuk diusulkan sebagai KP2B di tingkat provinsi dan kabupaten. Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan untuk penyusunan usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan pendukung bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan mengenai perencanaan dan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 3. Sebagai bahan masukan untuk revisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten terkait kawasan budi daya pertanian. Hipotesis 1. Lahan sawah yang tersedia saat ini di Provinsi Jawa Barat tidak akan mampu memenuhi kebutuhan lahan baku sawah untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri apalagi berkontribusi terhadap nasional dalam waktu 20 tahun yang akan datang karena tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk yang tinggi. Kabupaten Garut memiliki lahan sawah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun untuk berkontribusi terhadap provinsi dalam waktu 20 tahun ke depan. 2. Faktor ada tidaknya jaringan irigasi sangat penting dalam menentukan lahan potensial untuk LP2B di tingkat provinsi sementara di tingkat kabupaten faktor yang menentukan lahan yang sesuai sebagai LP2B adalah jenis irigasi (teknis, semi teknis, sederhana, nonirigasi) dan

30 12 intensitas pertanaman. Faktor kelas kesesuaian lahan pada kedua tingkatan tidak mempunyai pengaruh yang nyata. 3. Identifikasi dan pemetaan kawasan potensial untuk KP2B dapat dilakukan dengan delineasi visual berdasarkan spatial contiguity, maximum coverage, dan batas administrasi. Faktor yang paling berpengaruh pada pendelineasian berdasarkan spatial contiguity dan maximum coverage adalah luas hamparan, dan adanya jaringan penunjang seperti irigasi, dan jalan. Untuk pendelineasian berdasar batas administrasi, kawasan potensial tersebut berada dalam 1 (satu) wilayah administrasi.

31 TINJAUAN PUSTAKA Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Persoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan telah menjadi perhatian sejak dulu. Pada tahun 1798, Thomas Robert Malthus telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan penyediaan pangan memadai. Teori Malthus menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan. Jumlah penduduk dunia terus bertambah. US Census Bureau memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific mencapai 4 milyar. Pertumbuhan penduduk yang pesat ini menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2010 (Subejo, 2011). Persoalan krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan di pasar internasional tahun 2008, salah satunya disebabkan oleh membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk masing-masing 1 milyar jiwa, rendahnya stok pangan dunia, dan banyaknya kejadian bencana alam seperti banjir, kekeringan dan badai yang terkait dengan adanya perubahan iklim global (Fatkhuri, 2008). Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia termasuk pesat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1900 jumlah penduduk sekitar 40 juta, tahun 1970 menjadi 120 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 147 juta jiwa, tahun 1990 menjadi 179 juta jiwa, tahun 2000 menjadi 206 juta, dan sensus penduduk terakhir tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa. Selama kurun waktu 40 tahun telah terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 117 juta jiwa Pertambahan penduduk ini menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan pangan. Badan Ketahanan Pangan (BKP) menyebutkan 27,5% penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sekitar 130 kilogram dan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, dibutuhkan sedikitnya 34 juta ton beras per tahun. Produksi dalam negeri sekitar 38 juta ton, sehingga hanya surplus 4 juta ton beras atau kurang untuk kebutuhan dua bulan.

32 14 Apabila tingkat kegagalan panen meluas dan produksi menurun, maka kebutuhan pangan tersebut tidak akan terpenuhi. Indonesia akan menjadi negara pengimpor beras paling besar di dunia. Rata-rata impor beras Indonesia selama tahun adalah 2,6 ribu ton (Departemen Pertanian, 2009). Produksi beras Indonesia dari Tahun mengalami peningkatan namun masih juga diikuti dengan impor beras sebagaimana Tabel 1. Tabel 1. Data Produksi dan Impor Beras Tahun Tahun Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (ton.ha -1 ) Produksi Gabah (000 ton) Produksi Beras a) (000 ton) Impor Beras b) (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Catatan :a) Faktor konversi adalah 0,63 sebelum tahun 1998 dan 0,61 setelah tahun 1998 b) Data beras impor Bulog dan Swasta (Bulog, 2006) Sumber : Mustafril (2010) Kebutuhan beras ini dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan penduduk. Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator sosial ekonomi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Konsumsi beras terdiri atas dua yaitu konsumsi beras rumah tangga dan konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan atas konsumsi makanan maupun bukan makanan tanpa memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja, tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Konsumsi di luar rumah tangga adalah konsumsi makanan yang berbahan baku beras yang diperoleh/dibeil di luar rumah tangga. Di tingkat rumah tangga, berdasarkan hasil Susenas konsumsi beras cenderung menurun dengan laju penurunan selama sebesar 2% per

33 15 tahun. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dimana konsumsi beras rumah tangga turun sebesar 5,4% yaitu dari 96,41 kg/kapita/tahun turun menjadi 91,2 kg/kapita/tahun. Pada tahun tersebut, terjadi kenaikan peningkatan konsumsi tepung terigu. Diduga penyebab penurunan konsumsi beras adalah tepung terigu dan olahannya seperti mie instan, roti, mie basah dan makanan berbasis tepung terigu (Departemen Pertanian, 2009). Konsumsi beras per kapita per tahun Indonesia meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980), 149 kg (1990), 114 kg (2000), dan 135 kg (2007) bahkan berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, konsumsi beras mencapai 140 kg/kapita/tahun atau mendekati konsumsi beras nasional 139,15 kg/kapita/tahun adalah sangat besar jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia. Konsumsi beras di Jepang hanya 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Malaysia konsumsi beras hanya 80 kg/kapita/tahun (Nurwadjedi, 2011). Beberapa negara berkembang selama tahun 1970an melakukan impor untuk mensubstitusi produksi pangannya dalam mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mencapai kecukupan pangan biasanya dilakukan dengan memperluas luas areal panen sehingga produksi panennya meningkat. Meskipun demikian, permasalahan peningkatan produksi untuk kecukupan pangan menjadi kontroversial, dan kecukupan pangan ini sering disebut sebagai salah satu varian dari konsep ketahanan pangan yang implikasinya pada aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap kebutuhan pangan pokok. Kecukupan pangan sebagai tujuan pembangunan didasari pada berbagai persepsi termasuk keinginan untuk memperoleh dan mengontrol penyediaan pangannya sendiri, mencegah eksploitasi pasar internasional, dan mencegah kemerosotan perdagangan hasil panen. Lebih dari itu, kecukupan pangan mungkin berpengaruh pada inefisiensi alokasi sumber daya pertanian yang produktif jika produksi pangan domestik tidak selaras dengan keunggulan komparatif suatu negara (Hassan et al., 2000). Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Hak atas pangan merupakan bagian penting dari hak asasi manusia seperti yang dituangkan dalam Universal Declaration of Human Right. Pada KTT 1996 di Roma, para pemimpin negara dan pemerintah telah mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai ketahanan pangan dan melanjutkan upaya penghapusan kelaparan di semua negara anggota.

34 16 Ketahanan pangan (food security) adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Suryana dalam Riadi (2007) menggambarkan ketahanan pangan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang aling berinteraksi yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi, dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan kualitas, agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan tersebut berarti rumah tangga harus memiliki akses memperoleh pangan baik dari produksi sendiri maupun membeli dari pasar (Riadi, 2007). Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan mulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan, dan fasilitas pemerintahan, sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor, dan cadangan pangan; sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat merupakan bidang kerja berbagai sektor. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan ketahanan pangan. Secara konsep kedaulatan pangan (food sovereignity) lebih luas cakupannya dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan (food security). Dalam konsep ketahanan pangan yang pertama kali diperkenalkan oleh FAO tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi pangan, dari mana produksi pangan tersedia. Dari sisi umur, konsep kedaulatan pangan (sovereignity of food) masih relatif baru. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh organisasi petani internasional bernama La Via Campesina pada World Food Summit (WFS), November 1996 di Roma. Menurut La Via Campesina, konsep ketahanan pangan FAO dan lembaga internasional lain itu merugikan negara berkembang. Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah,

35 17 menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, kaum nelayan dan bentuk-bentuk alat produksi pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan. Jadi, kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari sebuah keamanan pangan (food security). Keamanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk bisa memiliki hak dan menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah (Pasaribu, 2007). Perlindungan Lahan Pertanian Perlindungan terhadap lahan pertanian merupakan hal yang akan terus dibicarakan selama laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian tinggi. Kebijakan untuk merencanakan kebutuhan lahan pertanian untuk tahun yang akan datang harus segera dilakukan walaupun ketersediaan lahan pertanian di waktu sekarang masih mencukupi. Menurut Passour (1982) ada beberapa alasan perlunya perlindungan lahan pertanian antara lain: a) Lahan pertanian harus dilindungi untuk memastikan kecukupan pangan sesuai dengan tingkat permintaan akibat pertumbuhan penduduk nasional dan dunia, b) Fungsi lingkungan, lahan pertanian menjadi ruang terbuka hijau, c) Menata perkembangan wilayah urban, zoning disarankan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dengan memproteksi kegiatan pertanian dari pembangunan pemukiman dan industri, d) Fungsi ekonomi yaitu menjaga agar ekonomi lokal yang berasal dari industri pertanian dapat terjaga. Perlindungan lahan pertanian telah dilakukan oleh beberapa dunia sejak lama bahkan di negara Eropa Barat telah dilakukan setelah Perang Dunia II berakhir. Berikut ini beberapa negara yang telah sukses dalam pelaksanaan perlindungan lahan pertaniannya (Jacobs, 1997). a. Canada Ontario Di Provinsi Ontario, alat yang digunakan dalam melindungi lahan pertaniannya adalah Pedoman Lahan Pangan. Peraturan ini dikeluarkan oleh legislatif tingkat provinsi tahun Pedoman ini diterjemahkan dengan zoning yang dilakukan bersamaan dengan sistem yang berhirarki. Lokal zoning dan

36 18 regulasi lahan harus dapat diterapkan pada perencanaan lokal, dan rencana lokal tersebut harus sesuai dengan rencana regional. Berdasarkan Pedoman Lahan Pangan tersebut, maka dipilihlah lahan pertanian potensial untuk diidentifikasi sebagai penggunaan lahan pertanian. Ekspansi perkotaan untuk pemukiman di kota dan desa dipisahkan pada katagori yang berbeda. Kriteria lahan pertanian potensial adalah: 1) Seluruh lahan yang mempunyai kemampuan berproduksi tinggi berdasarkan pada tanah atau iklim, 2) Seluruh lahan pada kelas tanah 1, 2, 3 dan 4 menurut Kelas Kemampuan Lahan Kanada, 3) Wilayah tambahan yang memiliki karakteristik untuk budi daya pertanian dalam waktu yang lama, 4) Wilayah yang memiliki pasar lokal yang berpengaruh pada kelangsungan budi daya pertanian. b. Amerika Serikat Oregon Perlindungan lahan di Oregon menggunakan tiga cara yaitu (1) perencanaan lokal (2) zoning, dan (3) pembatasan perkembangan perkotaan. Pembatasan ini menahan penggunaan lahan untuk perkotaan pada batas tertentu. Hasilnya adalah mengurangi tekanan pasar pada lahan pertanian sehingga pembatasan perkembangan kota ini secara tidak langsung memproteksi lahan pertanian semantara perencanaan lokal dan zoning melindungi lahan secara langsung. Pada kedua cara tersebut diketahui lokasi lahan pertanian, dan aturan-aturan untuk menjaga lahan tersebut agar selalu digunakan sebagai lahan pertanian. c. Jepang Perlindungan dilakukan pada harga beras. Pembatasan pada beras impor dan harga jual yang tinggi untuk produk beras lokal sehingga menyebabkan harga tanah yang tinggi untuk lahan pertanian padi. Jepang mempunyai sejarah yang panjang dalam perencanaan. Berawal dari diterbitkannya UU Perencanaan Kota pada tahun 1919 yang bertujuan untuk mencegah urban sprawl atau inflasi harga tanah pada saat ledakan ekonomi pada tahun Pada tahun harga tanah nonpertanian membumbung tinggi, namun mulai tahun 1960an harga tanah pertanian mendekati harga tanah nonpertanian. Ini terjadi sejak dikeluarkannya peraturan tentang pembangunan pemukiman, harga tanah, dan tata ruang nasional. Negara diatas hanya sebagian kecil dari negara-negara yang telah melaksanakan perlindungan terhadap lahan pertaniannya. Pada Tabel 2 berisi perbandingan pelaksanaan perlindungan lahan pertanian di berbagai negara (Jacobs, 1997).

37 19 Negara Canada- British Columbia Sistem Perencanaan Komprehensif Alat Perlindungan Cadangan Lahan Pertanian Tabel 2. Perbandingan Pelaksanaan Perlindungan Lahan Pertanian di Berbagai Negara Harga Tanah=Harga Penggunaan Tidak diketahui Kompensasi Pendapatan, dan pensiun bagi pekerja pertanian Alasan Perlindungan Produksi pangan dan estetika Canada- Ontario Komprehensif Zoning Tidak dipakai Tidak dipakai Konservasi Lahan Pangan Canada-PEI Berdiri sendiri Membeli lahan Tidak Tidak diketahui Proteksi Industri umum Pertanian Canada Berdiri sendiri Zoning Pertanian Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan Quebec Eksklusif pangan Perancis Sistem Bank Tanah Ya Tidak diketahui Menjaga sistem Independen Pertanian, dan produksi pertanian (beberapa) Zoning Jepang Komprehensif Larangan impor (menjaga harga pertanian lokal) Belanda Komprehensif Zoning dan bank tanah kota Swedia Komprehensif Zoning dan bank tanah kota UK Komprehensif Ijin pembangunan dan pengembangan Amerika Serikat New York Amerika Serikat Oregon Amerika Serikat Wisconsin Berdiri sendiri Komprehensif Berdiri sendiri Bottom up distrik pertanian Tujuan negara- Perencanaan Lokal Keuntungan Pajak Tanah Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan pangan Ya Ya Kecukupan pangan Tidak diketahui Tidak diketahui Kecukupan pangan dan estetika Tidak dipakai Tidak dipakai Kecukupan pangan dan memelihara bentang perdesaan Tingkat Implementasi Integrasi provinsi/lokal zoning dan review Lokal ke provinsi Struktur Administrasi Zoning oleh pemerintah lokal, review oleh provinsi Desentralisasi zoning Sukses Jangka Panjang Tidak ada penelitian. Jangka pendek sukses Insubstansi Provinsi Korporasi Sangat sukses Regional/Provinsi Komisi pertanian independen Sukses dalam kontrol pembangunan pedesaan, dan mencegah spekulasi Regional Komplek Kelihatan sukses dalam spekulasi dan proteksi lahan pertanian Kebijakan impor nasional, kontrol di regional Kebijakan nasional, pelaksanaan di tingkat regional dan lokal Regional Lokal Pada 3 tingkatan, namun kekuasaan di tingkat regional Nasional/regional/l okal. Top down 3 tingkatan, kekuasaan di level tengah Panduan dari atas, kekuasaan pada lokal Kelihatannya sukses dalam mempromosikan pertanian, tapi tidak jelas untuk mengontrol urban sprawl Sangat sukses melindungi lahan pertanian dan meningkatkan produksi pangan Sangat sukses melindungi lahan pertanian dan meningkatkan produksi pangan Sangat sukses Tidak dipakai Tidak dipakai Urban sprawl Lokal Distrik pertanian Hasil bermacam-macam Tidak dipakai Tidak dipakai Urban sprawl Kerjasama Komisi dan rencana lokal Tidak dipakai Tidak dipakai Memelihara pertanian dan memperlambat urban sprawl Insentif negara, rencana lokal Insentif negara Sangat sukses Sedikit berdampak pada konversi lahan Sumber: Jacobs (1997)

38 20 Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Indonesia Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah di Indonesia. Pada UU tersebut disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan pertanian itu bukan dalam artian statis pada satu kawasan namun lebih pada pemahaman dinamis yang dilihat dari kebutuhan dan kemampuan dalam menjamin dan mencukupi ketahanan pangan rumah tangga, wilayah dan nasional, serta kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya. Dari batasan tersebut, terlihat bahwa suatu hamparan lahan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, atau lahan yang tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian, merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak terkait, terutama menyangkut ketahanan pangan pada berbagai tingkatan dan kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya, serta kesepakatan mengenai satuan waktu tertentu lahan tersebut dipertahankan sebagai lahan pertanian. Pewilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah perencanaan/pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Suatu pewilayahan komoditas pertanian harus didasarkan pada kehomogenan faktor alamiah dan non alamiah. Konsep pewilayahan komoditas pertanian diawali oleh kegiatan evaluasi sumber daya alam seperti evaluasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan. pemilihan komoditas yang akan diproduksi selanjutnya didasarkan atas sifat-sifat nonalamiah, seperti jumlah penduduk, pengetahuan, keterampilan, kelembagaan petani, pasar dan lain-lain (Rustiadi et al., 2009). Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dapat dilakukan dengan delineasi visual. Ada 3 cara dalam melakukan delineasi yaitu berdasarkan batas administrasi, spatial contiguity, dan maximun coverage. Masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syamson (2011) di Kabupaten Barru, identifikasi

39 21 dan pemetaan yang paling memungkinkan untuk kawasan adalah berdasarkan spatial contiguity. Dengan pendelineasian menggunakan spatial contiguity ini, kawasan potensial yang terbentuk tidak sebanyak berdasarkan batas administrasi, dan luasan hamparan tidak terlalu luas dibandingkan maximum coverage sehingga pembangunan infrastruktur pendukung pertanian seperti jaringan irigasi dan jaringan jalan dapat lebih optimal. Dari skala luasan, secara ekonomi lebih layak untuk diusahakan. Kekurangan model ini adalah pengelolaan kawasan cukup sulit karena berada dalam 2-3 wilayah administrasi kecamatan, sehingga membutuhkan koordinasi yang baik antar wilayah. Sifat spatial contiguity (kontiguitas spasial), memiliki pengertian bahwa tiaptiap wilayah yang didefinisikan satu sama lainnya cenderung bersifat bersebelahan secara kontinyu sehingga secara agregat menjadi suatu kesatuan yang kontigus (contigous) atau saling mempengaruhi. Kontigus merupakan karakter yang melekat dari wilayah karena pada dasarnya tidak ada wilayah yang bersifat bebas atau independen, terbebas dari pengaruh wilayah lainnya. Oleh karenanya, aspek interaksi spasial atau keterkaitan spasial antarwilayah merupakan bahasan sangat penting dalam ilmu wilayah. Di dalam proses-proses pewilayahan, kesatuan atau kesinambungan hamparan yang sangat dikehendaki. Wilayah-wilayah yang berkesinambungan secara spasial akan mempermudah pengelolaan, sebaliknya wilayah yang terfragmentasi akan menciptakan berbagai bentuk inefisiensi (Rustiadi et al., 2009). Kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dalam merencanakan dan menetapkan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan maka lahan tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Kesesuaian Lahan LP2B yang ditetapkan adalah lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan agak sesuai (S3). Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan ini akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi akan diperoleh (Djaenuddin et al., 2003). Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Ritung et al., 2007). Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini, dalam keadaan alami tanpa

40 22 ada perbaikan (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif, tergantung dari kelengkapan data yang tersedia. Kerangka sistem klasifikasi dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo menunjukkan kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas menunjukkan tingkat kesesuaian lahan suatu lahan, pada klasifikasi ini digolongkan menjadi Kelas S1 (Highly Suitable), S2 (Moderately Suitable), S3 (Marginally Suitable), N1 (Currently Not Suitable) dan N2 (Permanently Not Suitable) (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kelas S1 : Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 : Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Kelas S3 : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N, lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Sub kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas sementara unit menunjukkan perbedaan perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub kelas. Menurut Ritung (2007) berdasarkan tingkat detil data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1: :50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1: : ) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).

41 23 b. Ketersediaan infrastruktur Infrastruktur pendukung yang dibutuhkan oleh pertanian khususnya tanaman pangan adalah prasarana jaringan irigasi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Tahun 2005 dari total luas lahan irigasi fungsional yang ada jaringan utama seluas 5,7 juta ha, sawah yang sudah optimal seluas 4,8 juta ha dan sawah yang belum optimal seluas 0,36 juta ha. Jumlah jaringan irigasi dalam kondisi tidak berfungsi penuh diperkirakan mencapai 70%. Kondisi ini mengakibatkan permanfaatan lahan sawah menjadi berkurang atau menurunkan indeks pertanaman dan bahkan dibeberapa tempat menjadi pendorong untuk alih fungsi lahan sawah menjadi lahan nonsawah, baik untuk pertanian bukan sawah maupun untuk lahan nonpertanian (Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, 2007). Jaringan irigasi yang tidak berfungsi penuh tersebut diakibatkan oleh rusaknya jaringan irigasi. Kerusakan ini terutama diakibatkan banjir dan erosi, kerusakan sumberdaya alam di daerah aliran sungai, bencana alam serta kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani. Prasarana lain yang dibutuhkan adalah jalan khususnya jalan usahatani, dan jalan produksi. Mobilitas perekonomian sangat bertumpu pada kehandalan dan tingkat jaringan transportasi jalan, karena lalu lintas orang dan muatan barang sebagian besar masih diangkut melalui jaringan prasarana jalan (Bappenas, 2003). Lokasi pertanian yang dekat dengan jalan menunjukkan kemudahan aksessibilitas sehingga akan mempermudah petani untuk mengelola lahan pertaniannya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang handal akan meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi, serta kualitas hidup masyarakat (Sekretariat BKTRN, 2008). Menurut data dari Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah, panjang jalan nasional pada tahun 2002 mencapai km, namun sekitar 40% ( km) berada dalam keadaan rusak. Jalan nasional dan provinsi hanya 24,6% ( km) yang rusak, sementara jalan kabupaten 47% ( km) (Bappenas, 2003). c. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan setiap campur bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan dalam rangka memenuhi hidupnya, baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang

42 24 terdapat di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan nonpertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy) (Arsyad, 2006). Klasifikasi penutup/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutuppenggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup/penggunaan lahan (Sitorus et al., 2006). d. Potensi teknis lahan Pertanian terkait pemanfaatan dan perbaikan genetik serta pertumbuhan tanaman dan hewani dalam menghasilkan produk akhir guna memenuhi konsumsi manusia. Landasan utama dari sistem pertanian adalah interaksi yang kompleks antara iklim, tanah, dan topografi. Ketiganya sangat berpengaruh pada pola spasial produksi pertanian, dimana ketersediaan sumberdaya pertanian dibatasi oleh toleransi iklim yang berbeda-beda dalam satuan ruang (Rustiadi et al., 2009). Potensi teknis ini digunakan sebagai data dan informasi dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan. Topografi yang dipertimbangkan adalah bentuk wilayah (relief) atau lereng dan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Relief erat hubungannya dengan faktor pengelolaan lahan dan bahaya erosi, sedangkan faktor elevasi atau ketinggian berkaitan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang berhubungan dengan temperatur udara dan radiasi matahari serta peluang untuk pengairan. Unsur-unsur iklim seperti hujan, penyinaran matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan ketersediaan air dan energi sehingga secara langsung mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanam (Gandasasmita,

43 ). Faktor tanah ditentukan oleh beberapa sifat atau karakteristik tanah di antaranya drainase tanah, tekstur, kedalaman tanah dan retensi hara (ph, KTK), serta beberapa sifat lainnya diantaranya alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan. Drainase tanah menunjukkan kecepatan meresapnya air dari tanah atau keadaan tanah yang menunjukkan lamanya dan seringnya jenuh air. e. Luasan Kesatuan Hamparan Lahan Luasan yang akan ditetapkan sebagai lahan dan lahan cadangan harus mempertimbangkan sebaran dan luasan hamparan lahan yang menjadi satu kesatuan sistem produksi pertanian yang terkait sehingga tercapai skala ekonomi dan sosial budaya yang mendukung produktivitas dan efisiensi produk. Pada penelitian Nurwadjedi (2011), indeks keberlanjutan lahan sawah di Pulau Jawa dipetakan berdasarkan zona agroekologi. Penerapan konsep ini dilatarbelakangi oleh sifatnya yang multidimensional dan zona agroekologi yang didefinisikan dapat dipetakan pada tingkat skala yang berbeda-beda. Zona agroekologi lahan sawah dapat disintesa dari berbagai data lingkungan biofisik, ekonomi, dan sosial budaya. Data lingkungan biofisik yang diperlukan mencakup sistem lahan, penutup lahan, status kawasan hutan, agroklimat, dan kondisi irigasi sedangkan data ekonomi dan sosial budaya mencakup semua aspek yang mempengaruhi petani secara langsung dalam melakukan budi daya padi sawah. Kriteria yang digunakan dalam penilaian zona agroekologi adalah kesesuaian lahan, ketersediaan lahan, intensitas pertanaman yang merupakan hasil perpaduaan antara basisdata agroklimat Oldeman, kondisi irigasi, dan sosial budaya petani padi sawah di suatu wilayah. Basisdata agroklimat Oldeman dan kondisi irigasi digunakan untuk menentukan ketersediaan air, sedangkan kondisi sosial budaya digunakan untuk mengetahui kebiasaan para petani padi sawah dalam melakukan pola tanam dalam satu tahun. Basisdata tersebut kemudian dipadukan dengan basisdata kesesuaian lahan dan kawasan budi daya sehingga dihasilkan 10 kelas zona agroekologi yaitu A (S1/IP 300), B (S1/IP200), C (S1/IP100), D (S2/ IP 300), E (S2/IP200), F (S2/IP100), G (S3/ IP 300), H (S3/IP200), I (S3/IP100), dan J (N/IP100). Multi Criteria Analysis Dalam menentukan lahan yang sesuai untuk ditetapkan sebagai LP2B, banyak kriteria yang digunakan seperti kesesuaian lahan, penggunaan lahan, dukungan infrastruktur dan lain-lain. Untuk mengetahui lokasi yang sesuai dengan berbagai kriteria tersebut, maka perlu suatu analisis yang mampu

44 26 mengevaluasi berbagai kombinasi gambaran dan penilaian sehingga dapat diketahui hasil evaluasi terbaik. Model analisis multi kriteria dapat membantu dalam setiap langkah untuk merepresentasikan dan menilai, dan bukan hanya sebagai alat untuk memperoleh penyelesaian yang optimal saja. Multi Criteria Analysis merupakan salah satu analisis pengambilan keputusan sederhana yang mengintegrasikan penilaian dengan satu pendekatan untuk memenuhi persyaratan dan kriteria yang telah ditentukan. MCA khususnya membuat beberapa skenario alternatif, dengan kriteria dan indikator yang berbeda, dan membuat matrik yang berisi pelaksanaan dari setiap skenario yang dinilai. Pendekatan MCA dilakukan dengan memberi pembobotan pada berbagai macam kriteria/indikator. Skor hasil pembobotan tersebut akan diagregatkan pada setiap skenario sehingga diperoleh nilai skor terbesar. Proses ini akan berulang sesuai dengan skenario yang digunakan (Sheppard, 2005). Teori dasar MCA adalah menginvestigasi angka yang mungkin dari berbagai kriteria dan berbagai tujuan, melakukan perangkingan untuk masingmasing pilihan. Analisis ini bukan saja digunakan untuk permasalahan spasial saja tetapi juga dapat digunakan untuk berbagai permasalahan sosial. Seperti yang dilakukan oleh Munda (2006) yaitu untuk mengetahui pendekatan apa saja yang dapat dilakukan untuk membuat kebijakan keberlanjutan di wilayah perkotaan. Kriterianya adalah ekologi, seperti daya dukung, tapak kaki ekologi, dan kriteria ekonomi seperti keuntungan, dan efektivitas analisis. MCE yang digunakan pada bidang sosial ini sering disebut sebagai Social Multi-Criteria Evaluation (SMCE). Lahan Pertanian di Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara umum memiliki potensi di sektor pertanian yang besar dan variatif, yang didukung oleh kondisi agroekosistem yang cocok untuk pengembangan komoditas pertanian dalam arti luas (tanaman pangan, ternak, ikan, dan hutan). Jawa Barat sebagai produsen 40 (empat puluh) komoditas agribisnis terbesar di Indonesia, khususnya komoditas padi yang memberikan kontribusi sebesar 17 % terhadap produksi padi nasional. Rata-rata produksi padi sawah dalam rentang waktu sebesar ton GKG per tahun atau setara dengan ton beras per tahun. Produksi ini memberikan kontribusi sekitar 17 % per tahun kepada kebutuhan beras nasional. Dari gambar 2 dibawah ini terlihat kecenderungan peningkatan produksi beras setiap tahunnya. Penurunan yang relatif tajam terjadi pada tahun

45 dan Penurunan pada tahun 2003 dan 2006 disebabkan oleh penurunan luas panen yang tidak bisa diimbangi oleh kenaikan produktivitas. Untuk tahun 2003, luas panen menurun sebesar 10,23 % sementara tahun 2006 sebesar 5,1% walaupun produktivitas meningkat sekitar 3%. 10,000,000 9,500,000 Produksi 9,000,000 8,500,000 8,000,000 7,500, Sumber : Diolah, Bappeda Provinsi Jawa Barat Gambar 2. Grafik Perkembangan Produksi Padi Sawah Selama Ton 8,89 8,87 8,25 9,29 9,48 9,10 9,56 9,75 Produksi padi tersebut didukung dengan lahan sawah yang ada di wilayah ini. Luas lahan sawah di Provinsi Jawa Barat menunjukkan tren yang cenderung menurun dari tahun Luas lahan sawah irigasi jauh lebih besar dibandingkan luas lahan sawah nonirigasi. Luas lahan sawah bukan irigasi meskipun tidak berfluktuasi terlalu tajam, tetapi cenderung mempunyai pola yang serupa dengan pola lahan sawah irigasi. 1,400,000 1,200,000 1,000, , , , , Total Sawah Sawah Irigasi Sawah Non Irigasi Sumber : Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 2009 Gambar 3. Grafik Perkembangan Luas Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Tahun (Ha)

46 28 Provinsi Jawa Barat memiliki luas lahan sawah 11,62 % dari total luas lahan sawah di Indonesia. Pertumbuhan luas lahan sawah selama tahun adalah -1,16 %. Ini menunjukkan bahwa terjadi pengurangan 1,16% dari total lahan sawah di Jawa Barat. Apabila dilihat dari sistem pengairannya, lebih dari 80% sawah di Jawa Barat merupakan sawah beririgasi sehingga mempunyai prospek yang masih baik untuk meningkatkan produksi padi. Tingginya laju hilangnya lahan sawah disebabkan oleh pengaruh kegiatan ekonomi, perkembangan penduduk maupun kondisi sosial budaya. Alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun bukan saja terjadi pada lahan sawah produktif saja tetapi juga pada kawasan lindung. Selama kurun waktu terjadi penurunan luas lahan hutan sebesar Ha (28,48 %) dan sawah sebesar Ha (27,13 %) (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010). Perkembangan alih fungsi lahan produktif untuk kegiatan investasi industri, jasa maupun pemukiman yang tidak sejalan dengan pola perencanaan yang telah ditetapkan menimbulkan dampak berupa kerusakan lingkungan, penurunan daya dukung lingkungan serta mengancam ketahanan pangan Jawa Barat. Alih fungsi lahan di Jawa Barat terutama terjadi pada berubahnya fungsi hutan baik primer maupun sekunder menjadi fungsi perkebunan bahkan semak belukar, berubahnya fungsi sawah menjadi fungsi permukiman dan budidaya lainnya serta mendorong berkurangnya kawasan resapan air, perambahan daerah/kawasan hulu sungai. Hal tersebut antara lain terjadi karena belum berfungsinya aspek pengendalian dalam pelaksanaan penataan ruang, serta terkait dengan kewenangan perijinan pemanfaatan ruang yang sepenuhnya berada di tingkat Kabupaten dan Kota dan masih sering dilaksanakan sebagai bagian dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu keserasian RTRW Kabupaten dan Kota dengan RTRW Provinsi Jawa Barat masih perlu ditingkatkan (Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010).

47 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan padi sawah dengan lokasi penelitian mencakup Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini terletak pada koordinat BT BT dan LS LS dengan ibukota di Bandung. Luas wilayah Ha dan jumlah penduduk sebanyak jiwa pada tahun Saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kabupaten/kota yang terdiri dari 592 Kecamatan, Desa dan 609 Kelurahan. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi lahan pertanian yang berpotensi menjadi KP2B, LP2B, dan LCP2B di lokasi penelitian menggunakan kriteria yang tersedia. Hasil identifikasi adalah sebaran kawasan potensial untuk KP2B dan indikasi luas lahan potensial untuk LP2B dan LCP2B di Provinsi Jawa Barat. Peta sebaran kawasan potensial untuk KP2B ini merupakan salah satu komponen dalam RTRW provinsi. Untuk wilayah provinsi, skala yang digunakan adalah 1: sesuai dengan RTRW provinsi. Dengan skala peta yang kecil tersebut, maka data dan informasi yang ditampilkan tidak detil. Kawasan P2B provinsi yang dipetakan ini merupakan delineasi untuk LP2B dan LCP2B. Untuk kedua komponen P2B yang diluar kawasan, tidak dirincikan dalam peta tersebut. LP2B dan LCP2B yang berada di luar KP2B masuk dalam kawasan budi daya. Peta KP2B tingkat provinsi ini memang digunakan sebagai acuan bagi kabupaten untuk menyusun peta kawasan yang detil. Untuk skala detil, dilakukan penelitian di Kabupaten Garut. Skala yang digunakan adalah 1: Namun karena data-data spasial dengan skala 1: sangat terbatas maka sebagai penelitian skala detil dilakukan di DAS Cimanuk Hulu yang wilayahnya berada di Kabupaten Garut. DAS ini diasumsikan mampu menyediakan lahan sawah untuk pemenuhan kebutuhan pangan kabupaten tersebut. Penelitian pada skala detil dilakukan untuk mengetahui sebaran kawasan potensial untuk KP2B Kabupaten, dan indikasi luas ketiga komponen LP2B. Implementasi PLP2B ini dilakukan di tingkat kabupaten sehingga data dan informasi yang dibutuhkan akan lebih detil. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu bulan September Desember 2010.

48 30 Gambar 4. Lokasi Penelitian Tingkat Provinsi di Provinsi Jawa Barat Gambar 5. Lokasi Penelitian Tingkat Kabupaten di DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut

49 31 Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa data sekunder yaitu data tabular dan data spasial. Secara umum data spasial yang digunakan adalah Peta Penutup/Penggunaan Lahan, Peta Kesesuaian Lahan Basah, Peta Status Irigasi, Peta Intensitas Pertanaman untuk Provinsi Jawa Barat dan DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut. Peralatan yang digunakan adalah Personal Computer (PC) yang dilengkapi perangkat lunak MS Window Vista, pengolah data spasial dan tabular. Cara Pengumpulan Data Data sekunder dikumpulkan dari instansi-instansi terkait sebagaimana pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Jenis Data yang Dibutuhkan Tingkat Jenis Data Skala Tahun Bentuk Sumber Data Data Provinsi Peta Penutup/Penggunaan 1: Digital Kemenhut Lahan Peta Kesesuaian Lahan 1: Digital RePPProT Peta Status Irigasi 1: Digital KemenPU Peta Kawasan Hutan dan 1: Digital Kemenhut Perairan Provinsi Jawa Barat Peta Intensitas Pertanaman 1: Digital Kementan Jumlah Penduduk, Produksi, Produktivitas, Luas Panen dan Luas Tanam Tabular Kementan, BPS Kabupaten Peta Penutup/Penggunaan 1: Digital Firdian (2011) Lahan Peta Status Irigasi 1: Digital KemenPU Peta Intensitas Pertanaman 1: Digital Kementan Peta Kesesuaian Lahan 1: Digital IPB Jumlah Penduduk, Produksi, Tabular BPS, Distan Produktivitas, Luas Panen, Luas Tanam 2009 Kab. Garut Data dan informasi yang digunakan berbeda untuk masing-masing tingkatan wilayah. Perbedaaan data dan informasi yang digunakan di tingkat provinsi dan kabupaten adalah kedetilan data dan informasi tersebut. Data yang digunakan untuk tingkat provinsi antara lain kesesuaian lahan (S, V, N), kawasan hutan dan bukan hutan, ada tidaknya jaringan irigasi, intensitas pertanaman (IP), produksi, produktivitas, jumlah penduduk per kabupaten. Di

50 32 tingkat kabupaten, data dan informasi yang lebih detil seperti kesesuaian lahan (S1, S2, S3, N1, N2), jaringan irigasi berisi status irigasi yaitu irigasi teknis, semi teknis, sederhana. Kedetilan data yang digunakan sebagaimana Tabel 4. Tabel 4. Perbedaan Kedetilan Informasi di Tingkat Provinsi dan Kabupaten Jenis Data Provinsi Kabupaten Ketersediaan Lahan (A) - Lahan Tersedia (A 1) - Lahan Tidak Tersedia (A 2) - Lahan Tersedia (A 1) - Lahan Tidak Tersedia (A 2) Kesesuaian Lahan (S) - Sesuai/S (S 1) - Sesuai Bersyarat/V (S 2) - Tidak Sesuai/N (S 3) - S1 (S 1) - S2 (S 2) - S3 (S 3) - N1 (S 4) - N2 (S 5) Status Irigasi (I) - Irigasi (I 1) - Non Irigasi (I 2) - Irigasi Teknis (I 1) - Irigasi Semi Teknis (I 2) - Irigasi Sederhana (I 3) - Non Irigasi (I 4) Intensitas Pertanaman - > 1 kali tanam/tahun (CI 1) - 2 kali tanam/tahun (CI) - 1 kali tanam/tahun (CI 2) (CI 1) - 1 kali tanam/tahun (CI 2) - 0 (CI 3) Analisis Data Analisis data meliputi a) Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah, b) Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B dan LCP2B, dan c) Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Potensial untuk KP2B. Analisis ini dilakukan untuk tingkat provinsi dengan skala 1: dan kabupaten dengan skala 1: Diagram alir penelitian di tingkat provinsi disajikan di Gambar 6 sementara Gambar 7 menunjukkan diagram alir penelitian di tingkat kabupaten.

51 33 TAHAP 1: PROYEKSI KEBUTUHAN LAHAN SAWAH TAHAP 2: IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK LCP2B Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pertumbuhan Penduduk Nasional Kebutuhan Kebutuhan Pangan Nasional Pangan Nasional Pesimis (140 kg/ Optimis (139,15 kapita/thn) kg/kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Sufficient Jabar Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Kebutuhan Pangan Sufficient Optimis (105,65 kg/kapita/thn) Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Kesesuaian Lahan Basah Intersect Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Rata-rata Produksi Jabar terhadap Nasional Kebutuhan Luas Panen Kontribusi terhadap Nasional Optimis Kebutuhan Luas Panen Sufficient Pesimis Kebutuhan Luas Panen Sufficientl Optimis TAHAP 4: IDENTIFIKASI KAWASAN POTENSIAL UNTUK KP2B Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Jabar terhadap Nasional Optimis Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Optimis TAHAP 3: IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK LP2B LP2B Provinsi 1 Penutupan/ Kawasan penggunaan Hutan lahan KP2B Provinsi 1 Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Kebutuhan Lahan Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Sawah Sufficient Jabar terhadap Pesimis Nasional Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Optimis Intersect Ketersediaan Lahan (A) Kesesuaian Lahan Basah (S) Status Irigasi (I) Intersect Nilai Bobot Sama (1a) Pembobotan Pengkelasan 1a Sorting 1a Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1 Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1 Lahan Potensial untuk LCP2B Lahan Sawah Nonpotensial LP2B Penggunaan Lahan lain Union Spatial Contiguity Delineasi Visual Kawasan Potensial untuk KP2B Provinsi 1 Intensitas Pertanaman (CI) Biaya Pengkelasan Rehabilitasi/ 1b Pembangunan (1b) Sorting 1b LP2B Provinsi 2 KP2B Provinsi 2 LP2B Kesesuaian Provinsi 2 Lahan Basah (S) Penutupan/ penggunaan lahan Intersect Kawasan Hutan Status Irigasi (I) Intersect Ketersediaan Lahan (A) Intensitas Pertanam an (CI) Pembobotan Nilai Bobot Sama (2a) Biaya Rehabilitasi/ Pembangunan (2b) Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Pengkelasan Sorting 2a 2a Pengkelasan Sorting 2b 2b Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 2 Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 2 Lahan Potensial untuk LCP2B Lahan Sawah Nonpotensial LP2B Penggunaan Lahan lain Union Spatial Contiguity Delineasi Visual Kawasan Potensial untuk KP2B Provinsi 2 Data empirik (2c) Pengkelasan 2c Sorting 2c Gambar 6. Diagram Alir Penelitian Tingkat Provinsi

52 34 TAHAP 1: PROYEKSI KEBUTUHAN LAHAN SAWAH TAHAP 2: IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK LCP2B Kontribusi Garut terhadap Provinsi Pertumbuhan Penduduk Jabar Kebutuhan Kebutuhan Pangan Jabar Pangan Jabar Pesimis (140 kg/ Optimis (105,65 kapita/thn) kg/kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Sufficient Jabar Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Kebutuhan Pangan Sufficient Optimis (105,65 kg/kapita/thn) Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Kesesuaian Lahan Basah Intersect Lahan Potensial untuk LCP2B Kabupaten Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Garut terhadap Provinsi Pesimis Rata-rata Produksi Garut terhadap Provinsi Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Garut terhadap Provinsi Optimis Kebutuhan Luas Panen Sufficient Pesimis Kebutuhan Luas Panen Sufficientl Optimis TAHAP 4: IDENTIFIKASI KAWASAN POTENSIAL UNTUK KP2B Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Garut terhadap Provinsi Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Garut terhadap Provinsi Optimis Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Optimis TAHAP 3: IDENTIFIKASI LAHAN POTENSIAL UNTUK LP2B LP2B Kabupaten 1 Penutupan/ Kawasan penggunaan Hutan lahan KP2B Kabupaten 1 Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Garut terhadap Provinsil Pesimis Kebutuhan Lahan Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Sawah Sufficient Garut terhadap Pesimis Provinsi Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Optimis Intersect Ketersediaan Lahan (A) Kesesuaian Lahan Basah (S) Status Irigasi (I) Intersect Nilai Bobot Sama Pembobotan Pengkelasan Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Sorting Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Lahan Potensial untuk LCP2B Lahan Sawah Nonpotensial LP2B Penggunaan Lahan lain Union Spatial Contiguity Delineasi Visual Kawasan Potensial untuk KP2B Kabupaten 1 Intensitas Pertanaman (CI) LP2B Kabupaten 2 KP2B Kabupaten 2 LP2B Kesesuaian Provinsi 2 Lahan Basah (S) Penutupan/ penggunaan lahan Intersect Kawasan Hutan Status Irigasi (I) Intersect Ketersediaan Lahan (A) Intensitas Pertanam an (CI) Nilai Bobot Sama (2a) Data empirik (2b) Pembobotan Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Pengkelasan Sorting 2a 2a Pengkelasan Sorting 2b 2b Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 Lahan Potensial untuk LCP2B Lahan Sawah Nonpotensial LP2B Penggunaan Lahan lain Union Spatial Contiguity Delineasi Visual Kawasan Potensial untuk KP2B Kabupaten 2 Gambar 7. Diagram Alir Penelitian Tingkat Kabupaten

53 1) Analisis Kebutuhan Lahan Sawah Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah digunakan untuk mengetahui kebutuhan lahan sawah dalam jangka waktu tertentu di wilayah tertentu juga. kebutuhan lahan sawah ini akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan usulan perencanaan LP2B. Jangka waktu yang digunakan pada penelitian ini adalah tahunan, menengah dan panjang. Untuk rentang waktunya jangka menengah adalah 5 tahun sementara panjang adalah 20 tahun sesuai dengan penyusunan RTRW. Dalam penelitian ini, perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan didasarkan pada: a. Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk. b. Pertumbuhan produktivitas. c. Kebutuhan pangan nasional. d. Kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan. Keempat dasar perencanaan ini digunakan untuk menghitung kebutuhan luas sawah di Kabupaten Garut, dan Provinsi Jawa Barat. Kebutuhan lahan sawah ini dihitung selain untuk memenuhi kebutuhan pangan wilayahnya sendiri maupun kontribusi wilayah tersebut terhadap wilayah yang lebih luas, untuk provinsi kebutuhan harus dihitung kontribusi terhadap penyediaan beras nasional sementara bagi Kabupaten Garut dihitung untuk kontribusi terhadap provinsi. Diagram alir proyeksi kebutuhan lahan sawah tingkat provinsi sebagaimana Gambar 8 dan tingkat kabupaten Gambar 9. Perhitungan kebutuhan lahan ini menggunakan 2 skenario yaitu skenario pesimis dan optimis. Asumsi yang digunakan adalah : a. Skenario Pesimis - Konsumsi beras per kapita yang digunakan adalah 140 kg/kapita per tahun. Angka ini didasarkan kepada standar kebutuhan kalori kkal/orang/hari. - Produktivitas tetap - Intensitas pertanaman tetap

54 36 b. Skenario Optimis - Konsumsi beras nasional menggunakan kelayakan tingkat konsumsi beras standar nasional saat ini yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu 139,15 kg/kapita/tahun sementara Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut 105,65 kg/kapita/tahun sesuai dengan data yang digunakan oleh Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat. - Produktivitas naik sesuai rata-rata kenaikan 10 tahun terakhir. - Intensitas pertanaman naik 1% per tahun Kontribusi Jabar terhadap Nasional Sufficient Jabar Pertumbuhan Penduduk Nasional Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Kebutuhan Pangan Nasional Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Kebutuhan Pangan Nasional Optimis (139,15 kg/kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Optimis (105,65 kg/kapita/thn) Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Rata-rata Produksi Jabar terhadap Nasional Kebutuhan Luas Panen Kontribusi terhadap Nasional Optimis Kebutuhan Luas Panen Sufficient Pesimis Kebutuhan Luas Panen Sufficientl Optimis Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Jabar terhadap Nasional Optimis Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Jabar terhadap Nasional Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Jabar terhadap Nasional Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Gambar 8. Diagram Alir Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi

55 37 Kontribusi Garut terhadap Provinsi Sufficient Jabar Pertumbuhan Penduduk Jabar Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Kebutuhan Pangan Jabar Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Kebutuhan Pangan Jabar Optimis (105,65 kg/kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Pesimis (140 kg/ kapita/thn) Kebutuhan Pangan Sufficient Optimis (105,65 kg/kapita/thn) Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Garut terhadap Provinsi Pesimis Rata-rata Produksi Garut terhadap Provinsi Kebutuhan Luas Panen Kontribusi Garut terhadap Provinsi Optimis Kebutuhan Luas Panen Sufficient Pesimis Kebutuhan Luas Panen Sufficientl Optimis Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Garut terhadap Provinsi Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Kontribusi Garut terhadap Provinsi Optimis Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Pesimis Luas Gagal Panen Kebutuhan Luas Tanam Sufficient Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Garut terhadap Provinsil Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Kontribusi Garut terhadap Provinsi Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Pesimis Kebutuhan Lahan Sawah Sufficient Optimis Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Gambar 9. Diagram Alir Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Jumlah Penduduk (y) Penghitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan model saturasi yaitu: w* exp( b * x) y...(1) (1 exp( b * x) Dimana: y = prediksi jumlah penduduk (jiwa) x = jumlah penduduk tahun dasar (2010) (jiwa) w= jumlah maksimal penduduk (jiwa) b = laju pertumbuhan penduduk (%) Data yang digunakan untuk proyeksi pertumbuhan penduduk tingkat nasional adalah data jumlah penduduk selama tahun yang berasal dari World Bank dan BPS. Untuk provinsi, data yang digunakan berasal dari BPS Provinsi Jawa Barat tahun sedangkan Kabupaten Garut data berasal

56 38 dari BPS Kabupaten Garut Tahun dasar perhitungan (x) untuk tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten adalah jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun Penghitungan dengan rumus ini dibantu dengan perangkat lunak Statistica 8 sehingga didapat nilai masing-masing komponen. Kebutuhan Pangan (Kp) Kebutuhan pangan adalah perkalian dari konsumsi beras per kapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu. Persamaannya sebagai berikut: Kp = Kb*y t *62,74%... (2) Dimana : Kp = kebutuhan pangan dalam GKG (kg) Kb = konsumsi beras (kg/kapita/tahun) y t = jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa) Kb atau konsumsi beras per kapita untuk skenario pesimis menggunakan nilai 140 kg/kapita/tahun didasarkan kepada kebutuhan energi sebesar kkal/hari sementara skenario optimis untuk tingkat nasional menggunakan standar yang ditetapkan yaitu 139,15 kg/kapita/tahun dan 105,65 kg/kapita/tahun untuk provinsi dan kabupaten sesuai standar yang digunakan oleh Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. Nilai 62,74% adalah faktor konversi beras ke GKG berdasarkan pada hasil survei susut panen dan pasca panen gabah beras kerjasama BPS dan Kementan (2009). Kebutuhan Luas Panen (Klp) Kebutuhan luas panen adalah kebutuhan pangan dibagi dengan produktivitas. Persamaannya sebagai berikut: Klp = Kp/p...(3) Dimana : p = produktivitas (ton/ha) Produktivitas berasal dari produktivitas tahun 2010 sementara pertumbuhan produktivitas per tahun untuk provinsi berdasar pada rata-rata pertumbuhan produktivitas sedangkan kabupaten berdasar rata-rata pertumbuhan produktivitas

57 39 Kebutuhan Luas Tanam (Kt) Kebutuhan luas tanam adalah kebutuhan luas panen ditambah dengan luas resiko gagal panen. Persamaannya sebagai berikut: Kt = Klp + Lgp...(4) Dimana : Klp = Kebutuhan luas panen (Ha) Lgp = Luas resiko gagal panen (Ha) Luas gagal panen (puso) didasarkan kepada luas gagal panen nasional pada tahun yaitu 1% dari luas panen. Data ini digunakan karena data luas gagal panen provinsi dan kabupaten tidak tersedia. Kebutuhan Lahan Baku Sawah (Ks) Kebutuhan lahan baku sawah adalah luas tanam dibagi intensitas pertanaman. Persamaannya sebagai berikut: Ks= Kt/IP * (5) Dimana: Ks = kebutuhan lahan (Ha) Kt = kebutuhan luas tanam (Ha) IP = Intensitas Pertanaman (%) Untuk menghitung kontribusi yang harus diberikan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut terhadap nasional dan provinsi dilakukan dengan menghitung kontribusi produksi GKG masing-masing wilayah selama 10 tahun terakhir. Hal ini dilakukan agar kontribusi yang harus diberikan tidak membebani wilayah lumbung padi. Kontribusi produksi ini kemudian dijadikan dasar dalam menghitung kebutuhan lahan sawah dengan kondisi seperti produktivitas, IP yang disesuaikan dengan kondisi wilayah penelitian. kebutuhan lahan sawah ini menggunakan beberapa asumsi: (1) luas sawah yang didelineasi tidak mengalami perubahan; (2) tidak terjadi degradasi lahan dan lingkungan; dan (3) luas gagal panen (puso) adalah 1 % dari luas panen. 2) Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk LCP2B dan LP2B Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) didefinisikan sebagai lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Pemetaan LCP2B potensial ini juga menggunakan basis model SIG (Gambar 10). Model SIG ini

58 40 dibangun melalui proses overlay dalam perangkat lunak ArcGIS dari layer penutup/penggunaan lahan, kawasan hutan, dan kesesuaian lahan basah/padi sawah. Untuk skala kecil setiap layer menggunakan skala 1: sementara skala besar/detil setiap layernya menggunakan skala 1: Kriteria yang digunakan untuk pemilihan lahan potensial untuk LCP2B sesuai dengan Tabel 5 (provinsi) dan Tabel 6 (kabupaten). Pada tingkat kabupaten penutup/penggunaan lahan yang sesuai sebagai lahan potensial untuk LCP2B sudah berada di luar kawasan hutan. LCP2B Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Intersect Lahan Potensial untuk LCP2B Kesesuaian Lahan Basah Gambar 10. Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LCP2B Tabel 5. Kriteria Penilaian Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Penutup/Penggunaan Lahan Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan Kering Campur, dan Tanah Terbuka Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan Kering Campur, dan Tanah Terbuka Semak Belukar, Pertanian Lahan Kering, Pertanian Lahan Kering Campur, dan Tanah Terbuka Sawah, Pemukiman, Hutan, Tubuh Air, Tambak Kesesuaian Lahan Status Kawasan Hasil Penilaian S, V Bukan Hutan Lahan Potensial S, V Hutan Tidak N Hutan, dan bukan hutan Tidak S, V, N Hutan, dan bukan hutan Tidak Tabel 6. Kriteria Penilaian Lahan Potensial untuk LCP2B Kabupaten Penutup/Penggunaan Lahan Kesesuaian Lahan Hasil Penilaian Padang Rumput, Pertanian Lahan Kering, Tanah Terbuka S1, S2, S3 Lahan potensial Padang Rumput, Pertanian Lahan N1, N2 Tidak Kering, Tanah Terbuka Permukiman, Hutan, Pertambangan, Sawah, Tubuh Air S1, S2, S3, N1, N2 Tidak Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B menggunakan basis model SIG. Model SIG ini dibangun melalui proses overlay dalam

59 41 perangkat lunak ArcGIS. Pada proses analisis selanjutnya dilakukan proses pembobotan untuk mengetahui metode identifikasi terbaik pada kriteria teknis yang tersedia. Berdasar UU No. 41 tahun 2009, LP2B harus memiliki kriteria yaitu kesesuaian lahan, ketersediaan infrastruktur, penggunaan lahan, potensi teknis lahan dan/atau luasan kesatuan hamparan lahan. Untuk kesesuaian lahan, LP2B harus memilki kelas kesesuaian lahan sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan agak sesuai (S3). Pada penelitian ini penentuan lokasi lahan potensial untuk LP2B dilakukan dengan 4 (empat) kriteria yaitu ketersediaan lahan, kesesuaian lahan, status irigasi, dan intensitas pertanaman. Hanya ada empat kriteria yang digunakan disebabkan oleh ketersediaan data spasial dan skala data yang terbatas, serta data spasial yang tersebar di berbagai instansi sehingga sulit untuk mengumpulkannya. Namun empat kriteria diatas dianggap mampu memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam UU tersebut. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) model SIG sementara untuk menentukan metode identifikasi terbaik menggunakan metode pembobotan. Pemetaan dan pembobotan ini berlaku untuk tingkat provinsi dan kabupaten. Metode pembobotan untuk model 1 menggunakan persamaan berikut: TS = (A*A i ) + (S*S i ) + (I*I i ) + (CI*CI i )...(6) A+S+I+CI=1 Metode pembobotan untuk model 2 menggunakan persamaan berikut: TS = (S*S i ) + (I*I i ) + (CI*CI i )...(7) S+I+CI=1 Dimana A 1 + A 2 +A A i = A S 1 + S 2 +S S i = S I 1 + I 2 +I I i = I CI 1 + CI 2 + CI CI i = CI TS = Total Skor A = Bobot Lahan Tersedia (Availability) S = Bobot Kesesuaian Lahan (Suitability) I = Bobot Irigasi (Irrigation) CI = Bobot Intensitas Pertanaman (Crop Intensity) A i = Skor Lahan Tersedia

60 42 S i = Skor Kesesuaian Lahan I i = Skor Irigasi CI i = Skor Intensitas Pertanaman - Tingkat Provinsi Kriteria teknis yang digunakan pada tingkat ini adalah penutup/penggunaan lahan, kesesuaian lahan basah/padi sawah, status irigasi dan kawasan hutan. Peta penutup/penggunaan lahan menggunakan peta dari Kementerian Kehutanan tahun 2009 yang telah diperbaiki dengan hasil ground check dan citra Landsat. Basis data penutup/penggunaan lahan memiliki atribut ketersediaan lahan aktual yang diklasifikasikan sebagai lahan sawah aktual, dan lahan bukan sawah. Lahan sawah aktual adalah sawah yang ada. Lahan bukan sawah terdiri dari semak/belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, dan tanah kosong permukiman, hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, bandara, hutan mangrove sekunder dan tubuh air. Layer ini kemudian dioverlay dengan kawasan hutan untuk mengetahui lahan tersedia yaitu lahan sawah yang tidak terletak dalam kawasan hutan. Hasil overlay ini menghasilkan peta ketersediaan lahan yang berisi lahan tersedia dan tidak tersedia. Peta kesesuaian lahan basah menggunakan data RePPProT yang kelas kesesuaiannya S (Sesuai), V (Sesuai Bersyarat) dan N (Tidak Sesuai). Basis data status irigasi terdapat data status irigasi teknis, semi teknis, sederhana, dan tidak ada irigasi. Untuk tingkat provinsi data tersebut terlalu detil karena operasional perlindungan LP2B ini di tingkat kabupaten. Data yang detil untuk skala kecil akan menyulitkan penyusunan rencana selanjutnya pada skala yang lebih besar. Untuk itu, pada skala 1: ini data status irigasi dibuat lebih umum lagi dengan mengekstrak atribut menjadi daerah yang ada irigasi dan tidak ada irigasi. Hal tersebut juga dilakukan untuk peta intensitas pertanaman, atribut yang ada pada peta tersebut dibuat lebih umum dengan mengekstrak atribut >1 kali tanam/tahun dan 1 kali tanam/tahun. Rata-rata intensitas pertanaman di Indonesia masih 189 % sehingga hanya pada daerah tertentu saja yang memiliki IP > 200. Analisis ini menggunakan basis model SIG. Model SIG ini dibangun melalui proses overlay dalam perangkat lunak ArcGIS dari layer penutup/penggunaan lahan, kesesuaian lahan basah/padi sawah, status irigasi, IP, kawasan hutan, dan batas administrasi.

61 43 Ada dua model SIG yang digunakan dan masing-masing model mempunyai nilai pembobot sendiri. Pembobotan model provinsi 1 berdasarkan kepada: 1) nilai pembobot berimbang/sama, dan 2) berdasarkan biaya pembangunan/rehabilitasi sedangkan model provinsi 2 berdasarkan kepada: 1) nilai pembobot berimbang/sama, 2) berdasarkan biaya pembangunan/rehabilitasi, dan 3) berdasarkan beberapa data empirik. Model SIG tersebut adalah provinsi 1 (Gambar 11) dan provinsi 2 (Gambar 12). LP2B Provinsi 1 Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Intersect Ketersediaan Lahan (A) Kesesuaian Lahan Basah (S) Status Irigasi (I) Intersect Nilai Bobot Sama (1a) Pembobotan Pengkelasan 1a Sorting 1a Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1 Intensitas Pertanaman (CI) Biaya Rehabilitasi/ Pembangunan (1b) Pengkelasan 1b Sorting 1b Gambar 11. Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1 Pembobotan dilakukan dengan menggunakan 2 nilai pembobot yaitu: a) nilai pembobot sama atau A=S=I=CI=0,250 Tabel 7. Pembobot LP2B Provinsi 1a Kriteria Pembobot Dasar Bobot Ketersediaan Lahan (A) 1 0,250 Skor - Tersedia (A 1) 1 0,250 - Tidak Tersedia (A 2) 0 0,000 Kesesuaian Lahan (S) 1 0,250 - Sesuai/S (S 1) 2 0,167 - Sesuai Bersyarat/V (S 2) 1 0,083 - Tidak Sesuai/N (S 3) 0 0,000 Status Irigasi (I) 1 0,250 - Irigasi (I 1) 1 0,250 - NonIrigasi (I 2) 0 0,000 Intensitas Pertanaman (CI) 1 0,250 - > 1 kali tanam/thn(ci 1) 1 0,250-1 kali tanam/thn(ci 2) 0 0,000 Jumlah 4 1,000

62 44 b) berdasarkan biaya pembangunan/rehabilitasi atau A=0,092; S=0,104; I=0,432; CI=0,372. Tabel 8. Pembobot LP2B Provinsi 1b Kriteria Biaya (Rp) Bobot Skor Keterangan Ketersediaan Lahan (A) ,092 Cetak Sawah Wilayah Barat - Tersedia (A 1) ,092 - Tidak Tersedia (A 2) 0 0,000 Kesesuaian Lahan (S) ,104 Resiko kehilangan terbesar - Sesuai/S (S 1) ,068 Optimasi dan Konservasi Lahan - Sesuai Bersyarat/V (S 2) ,036 Optimasi Lahan - Tidak Sesuai/N (S 3) 0 0,000 Status Irigasi (I) ,432 Biaya pembangunan irigasi dan - Irigasi (I 1) ,432 Biaya operasional dan pemeli- - NonIrigasi (I 2) 0 0,000 haraan DI Cimandiri Sukabumi Intensitas Pertanaman (CI) ,372 Resiko kehilangan terbesar - > 1 kali tanam/thn (CI 2) ,248 apabila terjadi gagal panen - 1 kali tanam/thn (CI 2) ,124 HPP x produktivitas rata-rata Jumlah 81,798,933 1,000 LP2B Provinsi 2 LP2B Kesesuaian Provinsi 2 Lahan Basah (S) Status Irigasi (I) Intensitas Pertanam an (CI) Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Intersect Intersect Ketersediaan Lahan (A) Nilai Bobot Sama (2a) Biaya Rehabilitasi/ Pembangunan (2b) Pembobotan Pengkelasan 2a Pengkelasan 2b Sorting 2a Sorting 2b Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 2 Data empirik (2c) Pengkelasan 2c Sorting 2c Gambar 12. Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 2

63 45 a) nilai bobot berimbang/sama yaitu S=I=CI=0,333 Kriteria Tabel 9. Pembobotan LP2B Provinsi 2a Pembobot Dasar Bobot Skor Kesesuaian Lahan (S) 1 0,333 - Sesuai/S (S 1) 2 0,222 - Sesuai Bersyarat/V (S 2) 1 0,111 - Tidak Sesuai/N (S 3) 0 0,000 Status Irigasi (I) 1 0,333 - Irigasi (I 1) 1 0,333 - NonIrigasi (I 2) 0 0,000 Intensitas Pertanaman (CI) 1 0,333 - > 1 kali tanam/thn (CI 1) 1 0,333-1 kali tanam/thn (CI 2) 0 0,000 Jumlah 3 1,000 b) berdasarkan biaya pembangunan/rehabilitasi yaitu S=0,114; I=0,476; CI=0,410. Tabel 10. Pembobotan LP2B Provinsi 2b Kriteria Biaya (Rp) Bobot Skor Keterangan Kesesuaian Lahan (S) ,114 Resiko kehilangan terbesar - Sesuai/S (S 1) ,075 Optimasi dan Konservasi Lahan - Sesuai Bersyarat/V (S 2) ,039 Optimasi Lahan - Tidak Sesuai/N (S 3) 0 0,000 Status Irigasi (I) ,476 - Irigasi (I 1) ,476 - NonIrigasi (I 2) 0 0,000 Intensitas Pertanaman (CI) ,410 Resiko kehilangan terbesar - > 1 kali tanam/thn (CI 1) ,273 apabila terjadi gagal panen - 1 kali tanam/thn (CI 2) ,137 HPP x produktivitas rata-rata Jumlah ,000 c) berdasarkan beberapa data empirik atau S=0,280; I=0,360; CI=0,360 Penelitian pemilihan prioritas kriteria penetapan LP2B belum pernah dilakukan, termasuk perbandingan kriteria teknis seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk itu, dalam penyusunan pembobotan ini, dibuat dasar pembandingnya yaitu pengaruh masing-masing kriteria terhadap produktivitas lahan. Data pengaruh kriteria yang digunakan pada penelitian ini berasal dari berbagai sumber. Hal ini disebabkan penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada terhadap produktivitas lahan dilakukan secara terpisah oleh peneliti yang berbeda dan lokasi yang berbeda.

64 46 Pada model 1 tidak ada nilai pembobot karena penelitian mengenai pengaruh penambahan areal garapan terhadap produktivitas belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Widayat (1992) pada daerah proyek irigasi desa baru menyebutkan bahwa penambahan 1% luas lahan dapat meningkatkan produksi sebesar 0,6089% namun tidak menyatakan kenaikan atau penurunan produktivitas lahan. Penelitian Hendra (2006) juga menyatakan bahwa penambahan areal seluas 30% akan menaikkan produksi sebesar 49,56% tetapi tidak menyebutkan mengenai produktivitas. Faktor produksi yang berpengaruh dalam menentukan tingkat produksi padi adalah air, pupuk, bibit padi unggul dan obat-obatan. Tabel 11. Pembobotan LP2B Provinsi 2c Kriteria Produktivitas Bobot Skor Keterangan Kesesuaian Lahan (S) 0,206 0,280 Kontribusi pupuk 0,7 ton/ha (total 3,4 ton/ha) atau 0,206% - Sesuai/S (S 1) 0,900 0,140 (% S1+%S2)/2 - Sesuai Bersyarat/V (S 2) 0,500 0,093 (% S3+%N1)/2 - Tidak Sesuai/N (S 3) 0,100 0,047 (%N2)/2 Status Irigasi (I) 0,265 0,360 Kontribusi pupuk 0,7 ton/ha (total 3,4 ton/ha) atau 0,265% - Irigasi (I 1) 4,840 0,219 - NonIrigasi (I 2) 3,110 0,141 Intensitas Pertanaman (CI) 0,265 0,360 Irigasi meningkatkan IP 100% - > 1 kali tanam/thn (CI 1) 4,840 0,219 sehingga kontribusi IP=Air=0,265% - 1 kali tanam/thn (CI 2) 3,110 0,141 Jumlah 0,735 1,000 Untuk irigasi dan intensitas pertanaman, nilai pembobot didasarkan pada Pasandaran (1991) dalam Asmuti (1995) yang menyatakan data tahun 1985 di Indonesia menunjukkan sawah beririgasi mempunyai intensitas tanam rata-rata 1,7 dan produktivitas lahan 4,84 ton/ha sedangkan sawah tadah hujan mempunyai intensitas rata-rata 1,11 dan produktivitas lahan 3,11 ton/ha. Beberapa parameter efektifitas dan efisiensi dalam pemanfaatan irigasi baru dinilai dari perbedaan nilai produktivitas, pendapatan, dan serapan tenaga kerja antara lahan sawah dan lahan kering. Untuk intensitas pertanaman dan status irigasi dianggap mempunyai dampak yang sama terhadap peningkatan produktivitas lahan. Berdasar pada hasil penelitian Lidya (1983) di pembangunan proyek irigasi Bah Balon Kabupaten Asahan menunjukkan dengan pembangunan irigasi telah mendorong

65 47 peningkatan intensitas pola tanam dari satu kali setahun menjadi dua kali setahun serta terjadi peningkatan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dibandingkan usaha tani yang tidak menggunakan irigasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Hutagaol (1985) yang menunjukkan bahwa proyek irigasi pompa pada sawah tadah hujan di Kabupaten Subang, Jawa Barat telah mengubah pola tanam dari padi-bera menjadi padi-kedele-kedele dan berhasil meningkatkan intensitas tanam sebesar 100 persen. Berdasarkan percobaan yang dilakukan tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Padi Internasional (IRRI) dalam Hendra (2006) menunjukkan rata-rata produksi padi sebesar 3,4 ton gabah/ha air memberikan kontribusi sebesar 0,9 ton/ha, pupuk sebesar 0,7 ton/ha dan faktor lainnya seperti bibit, pestisida, tenaga kerja memberikan kontribusi sebesar 1,8 ton/ha. Berdasarkan Sutaatmadja (2005), kisaran produksi tanaman ditetapkan dari masing-masing tipe penggunaan lahan untuk setiap kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan indeks produksi yang mengacu kepada FAO (1983) dan Wood dan Dent (1983). Kelas kesesesuaian lahan terbagi dalam 5 kelas yang dihubungkan dengan indeks produksi yaitu sangat sesuai (S1, >80% dari produksi optimal), cukup sesuai (S2, 60-80%), agak sesuai (S3, 40-59%), tidak sesuai saat ini (N1, 20-39%) dan tidak sesuai permanen (N1, <20%). Pada penelitian ini untuk lebih mempermudah pengitungan maka untuk S1 diasumsikan berproduksi optimal atau 100%. - Tingkat Kabupaten Kriteria teknis yang digunakan pada tingkat ini adalah penutup/penggunaan lahan, kesesuaian padi sawah, dan status irigasi. Peta penutup/penggunaan lahan tahun 2009 menggunakan peta hasil penelitian Firdian (2011). Basis data penutup/penggunaan lahan memiliki atribut ketersediaan lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan tersedia, dan lahan tidak tersedia. Lahan tersedia adalah lahan sawah yang berada di luar kawasan hutan. Lahan tidak tersedia terdiri dari lahan dengan penutup lahan Padang Rumput, Pertanian Lahan Kering, Tanah Terbuka, Permukiman, Hutan, Pertambangan, dan Tubuh Air. Peta kesesuaian lahan untuk Padi menggunakan peta kesesuaian lahan hasil Studi Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu, Proyek Konservasi dan Pengelolaan DAS oleh Tim Studi LP IPB tahun Hasil penelitian kesesuaian lahan tersebut menunjukkan hampir separuh dari daerah penelitian tidak sesuai

66 48 untuk budidaya padi sawah, terutama karena lerengnya yang terlalu curam (s), temperatur yang terlalu rendah (t), dan media perakaran yang tidak menunjang (r). Dari lahan-lahan yang tergolong sesuai, tidak dijumpai yang tergolong sangat sesuai (S1) dan hanya sebagian kecil saja yang tergolong sebagai cukup sesuai (S2), sedangkan sebagian besar adalah sesuai marjinal (S3). Pada pemetaan ini, layer status irigasi dan intensitas penanaman skala 1: Hal ini disebabkan oleh keterbatasan data spasial yang ada. Penggunaan layer ini dengan beberapa modifikasi yaitu dengan menambah data dan informasi pada atribut. Untuk status irigasi, ditambahkan atribut jenis irigasinya yaitu irigasi teknis, irigasi setengah teknis, dan irigasi sederhana sementara untuk layer intensitas pertanaman atributnya menjadi 2 kali/tahun, 1 kali/tahun dan 0 kali/tahun. Ada dua model SIG yang digunakan dan masingmasing model mempunyai nilai pembobot sendiri. Untuk Kabupaten 1 (Gambar 13) hanya menggunakan 1 nilai pembobot yaitu nilai bobot sama sementara Kabupaten 2 (Gambar 14) menggunakan 2 nilai pembobot yaitu bobot nilai sama dan bobot nilai berdasarkan beberapa data empirik. Nilai bobot berdasarkan biaya pembangunan/rehabilitasi tidak digunakan pada tingkat kabupaten. Ini disebabkan oleh biaya rehabilitasi kelas kesesuaian lahan N2, N1, S3, S2 tidak ada nilai standarnya demikian pula pembangunan irigasi teknis, semi teknis, sederhana. Biaya-biaya tersebut didasarkan pada kondisi lahan yang akan diolah/dibangun.

67 49 LP2B Kabupaten 1 Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Intersect Ketersediaan Lahan (A) Kesesuaian Lahan Basah (S) Status Irigasi (I) Intersect Nilai Bobot Sama Pembobotan Pengkelasan Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Sorting Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Intensitas Pertanaman (CI) Gambar 13. Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Pembobotan yang digunakan dalam model ini adalah bilai bobot sama yaitu nilai pembobot sama atau A=S=I=CI=0,250. Tabel 12. Pembobotan LP2B Kabupaten 1 Kriteria Pembobot Dasar Bobot Skor Ketersediaan Lahan (A) 1 0,250 - Tersedia (A 1) 1 0,250 - Tidak Tersedia (A 2) 0 0,000 Kesesuaian Lahan (S) 1 0,250 - S1 (S 1) 4 0,100 - S2 (S 2) 3 0,075 - S3 (S 3) 2 0,050 - N1 (S 4) 1 0,025 - N2 (S 5) 0 0,000 Status Irigasi (I) 1 0,250 - Teknis (I 1) 3 0,125 - Semi Teknis (I 2) 2 0,083 - Sederhana (I 3) 1 0,042 - NonIrigasi (I 4) 0 0,000 Intensitas Pertanaman (CI) 1 0,250-2 kali tanam/thn (CI 1) 2 0,167-1 kali tanam/thn (CI 2) 1 0,083-0 kali tanam/thn (CI 3) 0 0,000 Jumlah 4 1,000

68 50 LP2B Kabupaten 2 LP2B Kesesuaian Provinsi 2 Lahan Basah (S) Penutupan/ penggunaan lahan Kawasan Hutan Intersect Status Irigasi (I) Intersect Ketersediaan Lahan (A) Intensitas Pertanam an (CI) Nilai Bobot Sama (2a) Data empirik (2b) Pembobotan Pengkelasan 2a Pengkelasan 2b Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Sorting 2a Sorting 2b Pemilihan Lahan Terbaik Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 Gambar 14. Konsep Pemetaan Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 Pada kabupaten 2 nilai-nilai bobotnya yaitu: a) nilai bobot berimbang/sama yaitu S=I=CI=0,333 Tabel 13. Pembobotan LP2B Kabupaten 2a Kriteria Pembobot Dasar Bobot Skor Kesesuaian Lahan (S) 1 0,333 - S1 (S 1) 4 0,133 - S2 (S 2) 3 0,100 - S3 (S 3) 2 0,067 - N1 (S 4) 1 0,033 - N2 (S 5) 0 0,000 Status Irigasi (I) 1 0,333 - Teknis (I 1) 3 0,167 - Semi Teknis (I 2) 2 0,111 - Sederhana (I 3) 1 0,056 - NonIrigasi (I 4) 0 0,000 Intensitas Pertanaman (CI) 1 0,333-2 kali tanam/thn (CI 1) 2 0,222-1 kali tanam/thn (CI 2) 1 0,111-0 kali tanam/thn (CI 3) Jumlah 3 1,000

69 51 b) berdasarkan beberapa data empirik yaitu S=0,280; I=0,360; CI=0,360 Tabel 14. Pembobotan LP2B Kabupaten 2b Kriteria Produktivitas Bobot Skor Keterangan Kontribusi pupuk 0,7 ton/ha Kesesuaian Lahan (S) 0,206 0,280 (total 3,4 ton/ha) atau 0,206% - S1 (S 1) 1,000 0, % produksi optimal - S2 (S 2) 0,800 0,075 80% - S3 (S 3) 0,600 0,056 60% - N1 (S 4) 0,400 0,037 40% - N2 (S 5) 0,200 0,067 20% Kontribusi pupuk 0,7 ton/ha Status Irigasi (I) 0,265 0,360 (total 3,4 ton/ha) - Teknis (I 1) 5,150 0,105 atau 0,265% - Semi Teknis (I 2) 4,870 0,099 - Sederhana (I 3) 4,500 0,092 - NonIrigasi (I 4) 3,110 0,176 Intensitas Pertanaman (CI) 0,265 0,360 Irigasi meningkatkan IP 100% sehingga kontribusi - 2 kali tanam/thn (CI 1) 4,840 0,219 IP=Air=0,265% - 1 kali tanam/thn (CI 2) 3,110 0,141-0 kali tanam/thn (CI 3) 0,000 0,000 Jumlah 0,735 1,000 Dasar pembobotan adalah produktivitas masing-masing kriteria teknis. Berdasarkan Pasandaran (1991) dalam Asmuti (1995), sawah irigasi teknis mempunyai intensitas pertanaman 1,82 dan produktivitas lahan 5,15 ton/ha, sawah irigasi semi teknis mempunyai IP 1,69 dan produktivitas lahan 4,87 ton/ha, sawah berigasi sederhana mempunyai IP 1,59 dan produktivitas lahan 4,5 ton/ha, sedangkan sawah yang digolongkan beririgasi desa mempunyai IP 1,59 dan produktivitas 4,37 ton/ha. Intesitas pertanaman menggunakan produktivitas lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan bukan sawah yaitu 4,84 ton/ha, 3,11 ton/ha dan 0. 3) Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Potensial untuk KP2B Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan kawasan potensial untuk KP2B (Gambar 15) dilakukan berdasarkan

70 52 hasil proses sebelumnya dan prosesnya sama untuk tingkat kabupaten dan provinsi. Ilustrasi teknis pendelineasian KP2B tingkat provinsi dan kabupaten disajikan dalam Gambar 16 dan Gambar 17. KP2B Spatial Contiguity Lahan Potensial untuk LP2B Lahan Potensial untuk LCP2B Lahan Sawah Nonpotensial LP2B Penggunaan Lahan lain Union Delineasi Visual Kawasan Potensial untuk KP2B Gambar 15. Konsep Pemetaan Kawasan Potensial untuk KP2B Gambar 16. Ilustrasi Pendelineasian KP2BP Gambar 17. Ilustrasi Pendelineasian KP2BK

71 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Karakteristik Provinsi Jawa Barat Lokasi dan Administrasi Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara BT BT dan LS LS dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut : - Sebelah Utara, berbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya dan Laut Jawa; - Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; - Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia; dan - Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten. Luas wilayah daratan seluas Ha dan wilayah pesisir dan laut sepanjang 12 (dua belas) mil dari garis pantai seluas km 2. Secara administratif pada tahun 2008, Provinsi Jawa Barat terdiri atas 26 kabupaten dan kota, yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota, yaitu : Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar. Sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat berbatasan dengan laut, sehingga wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai yang cukup panjang, yaitu 760 km. Kondisi Biofisik Provinsi Jawa Barat memiliki iklim tropis, tercatat suhu terendah 9 C yaitu di Puncak Gunung Pangrango dan suhu tertinggi tercatat 34 C di daerah pantai utara. Namun pada bulan Oktober 2008, suhu di Jawa Barat sempat mencapai 35 C selama 3 4 pekan lamanya dan hampir merata dialami oleh seluruh daerah di Jawa Barat. Curah hujan rata-rata tahunan di Jawa Barat mencapai mm/tahun, namun di beberapa daerah pegunungan bisa mencapai mm/tahun. Pada daerah Selatan dan Tengah, intensitas hujan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Utara.

72 54 Proses geologi yang terjadi jutaan tahun lalu menyebabkan Provinsi Jawa Barat terbagi menjadi daerah pegunungan dan dataran. Sekitar 60 % wilayah merupakan daerah bergunung dengan ketinggian antara mdpl sementara 40 % nya merupakan daerah dataran yang memiliki variasi tinggi antara mdpl. Wilayah pegunungan umumnya menempati bagian tengah dan selatan Jawa Barat. Secara geologis daratan Jawa Barat merupakan bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Pada bagian tengah dapat ditemukan gunung berapi aktif seperti Gunung. Salak (2.211 m), Gede-Pangrango (3.019 m), Ciremai (3.078 m) dan Tangkuban Perahu (2.076) berpadu dengan deretan pegunungan yang sudah tidak aktif seperti Gunung Halimun (1.744 m), Gunung Ciparabakti (1.525 m) dan Gunung Cakrabuana (1.721 m). Demikian pula halnya di wilayah selatan, gunung-gunung berapi masih umum dijumpai seperti Gunung Galunggung (2.168 m), Gunung Papandayan (2.622 m), dan Gunung Guntur (2.249 m), berpadu dengan deretan pegunungan yang sudah tidak aktif seperti pegunungan selatan Jawa. Keadaan sebaliknya dijumpai di wilayah utara Jawa Barat yang merupakan daerah dataran sedang hingga rendah dengan didominasi oleh dataran aluvial. Daerah daratan Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi beberapa karakter sebagai berikut: a. daerah pegunungan curam di bagian selatan dengan ketinggian > m dpl, b. daerah lereng bukit landai di bagian tengah dengan ketinggian mdpl. c. daerah dataran rendah yang luas di bagian utara dengan ketinggian 0-10 m dpl. Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian didukung dengan iklim Jawa Barat yang tropis. Tanah di Jawa Barat dibagi menjadi 9 (sembilan) jenis tanah sebagai berikut:

73 55 Tabel 15. Sebaran Jenis Tanah dan Arahan Penggunaan Jenis Tanah Penggunaan Latosol Padi, Palawija, Kopi, Coklat, Lada, buah-buahan, Sayuran, Ubi kayu. Podsolik Merah Kuning Ladang, Hutan, Karet Aluvial Padi, Palawija, Perikanan Darat Andosol Sayuran, bunga, teh, kina, kopi tropis, baik untuk obyek turisme Regosol Kedelai, Kacang tanah, Kentang, Tebu, Kapas, Sisal, Karet, Kina, Kelapa, Kelapa sawit, Coklat, Teh dan Kina. Glei Padi, Lada, Ubi jalar Grumusol Perkebunan, padi, kedelai, tebu, kacangkacangan, Tembakau, Hujan jati. Mediteran Padi, Jagung, Kapas Organosol Palawija, Padi, Karet Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat Kependudukan Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sementara adalah orang, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Penyebaran penduduk Provinsi Jawa Barat masih bertumpu di Kabupaten Bogor yakni sebesar 11,1%, kemudian diikuti oleh Kabupaten Bandung sebesar 7,3%, Kabupaten Bekasi sebesar 6,1% dan kabupaten/kota lainnya di bawah 6 persen. Banjar, Cirebon, dan Sukabumi adalah 3 kota dengan urutan terbawah yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah orang, orang, dan orang, sedangkan Kota Bandung dan Kota Bekasi merupakan kota-kota yang paling banyak penduduknya untuk wilayah di perkotaan, yakni masing-masing sebanyak orang dan orang. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat per tahun selama sepuluh tahun terakhir ( ) sebesar 1,91%. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi sebesar 4,81% di Kota Cimahi sedangkan yang terendah di Kota Tasikmalaya sebesar 0,14%. Kabupaten Bogor yang berpenduduk terbanyak laju pertumbuhannya sebesar 4,23% sementara Kabupaten Bandung urutan kedua terbesar penduduknya laju pertumbuhannya hanya sebesar 0,61%. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak orang/km 2. Kabupaten dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi adalah

74 56 Kota Bandung sebanyak orang/km 2 sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Ciamis yakni sebanyak 675 orang/km 2. Penggunaan Lahan Pada tahun 2005 penggunaan lahan terdiri dari hutan primer Ha, hutan sekunder Ha, kawasan dan zona industri Ha, kawasan pertambangan/galian Ha, kebun campuran Ha, ladang/tegalan Ha, padang rumput/ilalang Ha, perkebunan Ha, permukiman Ha, sawah Ha, semak belukar Ha, sungai/tubuh air/danau/waduk/situ ha, tambak ha dan tanah kosong/terbuka Ha. Guna lahan Provinsi Jawa Barat berdasarkan Citra Landsat 2005 dapat dilihat pada Gambar 18. Sumber : Bappeda Provinsi Jawa Barat, 2010 Gambar 18. Peta Guna Lahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 Perubahan guna lahan dari tahun didominasi oleh penggunaan lahan berupa sawah dan kebun campuran. Beberapa fungsi lahan mengalami penurunan, sementara yang lainnya meningkat. Penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas paling tinggi adalah hutan sekunder, yang mencapai rata-rata 3,2%/tahun. Permukiman mengalami peningkatan sangat pesat, mencapai rata-rata pertumbuhan 3,8% per tahun dalam rentang waktu yang sama.

75 57 Tabel 16. Perkembangan Penggunaan Lahan Tahun Tahun Pergeseran Guna Lahan Guna Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Semak Belukar Kawasan dan Zona Industri Kawasan Pertambangan / Galian Ladang / Tegalan Padang Rumput/Ilalang Perkebunan Permukiman Sawah Tambak Tanah Kosong / Terbuka Kebun Campuran Sungai/Tubuh Air/Danau/ Waduk/ Situ Jumlah Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2010 Penurunan luas hutan primer yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Bogor ( Ha), diikuti oleh Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, yaitu seluas Ha dan Ha. Sementara itu, untuk luas hutan sekunder, penurunan yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Garut yaitu Ha dan Kabupaten Bandung yang mencapai Ha. Luasan hutan primer maupun sekunder mengalami penurunan sebesar Ha (0,6%), untuk luasan hutan primer terjadi penurunan luasan sebesar Ha (0,1%). Penurunan luas kawasan pertanian lahan basah beririgasi teknis pada tahun 2004 seluas Ha, tahun 2005 menjadi Ha dan tahun 2006 menjadi Ha. Secara agregat, luas lahan sawah di Jawa Barat mengalami penurunan antara tahun , namun meningkat kembali di tahun 2006 menjadi Ha, terutama disebabkan oleh peningkatan luas lahan tadah hujan dan irigasi sederhana. Ditinjau dari pergeseran luas lahan sawah menurut kabupaten/kota selama rentang tahun , memperlihatkan penurunan sebesar Ha (18,4%), dimana Kabupaten Tasikmalaya mencapai Ha (15,8%).

76 58 Karakteristik DAS Cimanuk Hulu Lokasi dan Administrasi DAS Cimanuk Hulu terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat antara LS dan BT dengan luas areal ha. Secara administrasi terletak pada 3 wilayah kabupaten, yaitu Bandung, Sumedang, dan Garut. Obyek penelitian ini adalah DAS Cimanuk Hulu yang berada di Kabupaten Garut. Tabel 17. Kecamatan dan Luas Wilayah Daerah Penelitian Kecamatan Luas (Ha) Banjarwangi 541 Banyuresmi Bayongbong Blubur Limbangan Cibatu Cibiuk Cigedug Cikajang Cilawu Cisurupan Garut Kota Kadungora Karang Tengah Karangpawitan Kersamanah Leles Leuwigoong Malangbong Pakenjeng 14 Pamulihan 61 Pangatikan Pasirwangi Samarang Selaawi Sucinagara Sukaresmi Sukawening Tarogong Kaler Tarogong Kidung Wanaraja Jumlah

77 59 Iklim dan Curah Hujan Iklim di daerah penelitian, menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah tipe B, C, dan D. Tipe B menunjukkan daerah yang relatif basah umumnya dijumpai di bagian selatan, tipe C merupakan daerah agak basah berada di bagian tengah sementara tipe D berupa daerah sedang berada di bagian utara. Sementara berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah penelitian ini terbagi menajadi 2 (dua) tipe yaitu tipe D2, dan E3. Tipe D2 menunjukkan daerah yang memiliki bulan basah yaitu bulan dengan curah hujan bulanan > 200 mm, 3-4 bulan dan bulan kering yaitu bulan dengan curah hujan bulanan < 200 mm, 2-3 bulan. Tipe ini dijumpai di bagian selatan sementara itu tipe E3 adalah daerah yang memiliki bulan basah <3 bulan dan bulan kering 4-6 bulan berada di daerah utara. Dari curah hujan tersebut terlihat bahwa di bagian selatan, cadangan air permukaan relatif berlimpah sehingga tipe iklim berdampak relatif kecil terhadap pola tanam petani. Kependudukan Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Garut (angka sementara) adalah jiwa, yang terdiri dari laki laki dan perempuan. Dari angka sementara tersebut dapat diketahui Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,59 persen setiap tahunnya. Sesuai dengan karakteristik wilayah Kabupaten Garut, peran sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) masih merupakan sektor andalan. Hal ini tercermin dari mata pencaharian masyarakat Garut sampai tahun 2008 sebesar 32,57% bertumpu pada sektor pertanian, meningkat dari sebesar 31,45% pada tahun 2007, serta dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB pada tahun 2008 sebesar 48,36% paling tinggi bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Pada tahun 2009, sektor pertanian walaupun mengalami penurunan sebesar 0,35% tetap memberikan sumbangan terbesar yaitu sebesar Rp ,- atau 48,13 %. Subsektor ini telah berperan besar dalam pembangunan Kabupaten Garut, baik peran langsung terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDRB), penyediaan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, dan penciptaan ketahanan pangan, maupun peran tidak langsung melalui penciptaan kondisi yang

78 60 kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan subsektor dan sektor lain. Penggunaan Lahan Sebagai daerah agraris, penggunaan lahan di Kab. Garut didominasi oleh kegiatan pertanian lahan basah maupun lahan kering. Dilihat dari perkembangan lahan sawah selama 6 (enam) tahun terakhir ada kecenderungan pertambahan lahan sawah tiap tahunnya. Penurunan terjadi pada tahun Penambahan luas areal sawah terbesar terjadi pada tahun 2009 sebesar 146 Ha. 50,300 50,250 50,200 50,150 50,100 50,050 50,000 49,950 49, Ha 50,037 50,194 50,227 50,154 50,127 50,273 Sumber : Diolah, Dinas Pertanian dan Hortikultura Kab. Garut, 2009 Gambar 19. Perkembangan Luas Lahan Sawah Kabupaten Garut ( ) Pada tahun 2009 luas areal lahan pertanian sawah bertambah seluas 146 ha, penambahan ini bukan karena adanya pencetakan sawah melainkan mutasi hasil revisi/pemutahiran data dari lahan bukan pertanian. Lahan pertanian bukan sawah juga mengalami penambahan areal seluas ha sebagai mutasi dari lahan bukan pertanian.

79 61 Tabel 18. Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2009 Jenis Penggunaan Lahan 2009 (Ha) LAHAN PERTANIAN Lahan Sawah a. Irigasi Teknis b. Irigasi Setengah Teknis c. Irigasi Sederhana d. Irigasi Desa/Non PU e. Tadah Hujan Jumlah Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah a. Tegal/Kebun b. Ladang/Huma c. Perkebunan d. Ditanami pohon/hutan rakyat e. Tambak 25 f. Kolam/Empang g. Padang rumput/ Penggembalaan h. Sementara tidak diusahakan 20 i. Lainnya (pekarangan yang ditanami tanaman pertanian) Jumlah Lahan Bukan Sawah LAHAN BUKAN PERTANIAN Rumah, bangunan, dan halaman sekitar Hutan negara Lainnya (jalan, sungai, danau dll) Jumlah Lahan Bukan Pertanian Luas Wilayah Kabupaten Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Kabupaten Garut, 2010

80 62 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebutuhan Lahan Sawah Tahapan pertama dalam perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah penyusunan usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Usulan perencanaan meliputi usulan perencanaan terhadap luas lahan baku sawah, luas kesatuan hamparan, lokasi, produksi, produktivitas dan lain-lain. Dasar yang digunakan dalam usulan perencanaan ini adalah pertumbuhan penduduk, kebutuhan konsumsi pangan (beras), produktivitas lahan, kontribusi produksi padi sawah terhadap kebutuhan pangan nasional atau provinsi, dan kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil usulan perencanaan ini adalah proyeksi kebutuhan lahan sawah pada jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang digunakan untuk perencanaan adalah tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, rentang waktu yang digunakan didasarkan pada rentang waktu penyusunan dan revisi RTRW yaitu 5 tahun dan 20 tahun. Untuk skala nasional diketahui ketersediaan lahan baku sawah selama 20 tahun ke depan mengkhawatirkan. Berdasarkan skenario pesimis terlihat adanya kenaikan kebutuhan lahan sawah yang cukup tinggi. Slope tersebut masih berada di bawah slope ketersediaan lahan sawah, akan tetapi dengan kecenderungan slope kebutuhan lahan sawah yang terus menaik maka terjadinya defisit lahan sangat mungkin terjadi seperti disajikan pada Gambar 20. Luas Lahan (Ha) 9,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, Indonesia Pesimis Indonesia Optimis Ketersediaan Lahan Gambar 20. Kebutuhan Lahan Sawah Nasional

81 63 Konversi lahan sawah ke peruntukan dan atau komoditas lain tidak bisa dihindari sehingga untuk menanggulangi kemungkinan adanya defisit lahan perlu dilakukan proteksi terhadap lahan-lahan produktif. Proteksi terhadap lahan ini sangat penting dilakukan. Dalam pembangunan, beras merupakan komoditas strategis bahkan bisa disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Ketidakstabilan ketersediaan pangan khususnya beras telah memicu kerusuhan akibat kerisauan masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Untuk itu perlu campur tangan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata dan harga yang stabil. Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan proteksi terhadap lahan sawah produktif dari kemungkinan alih fungsi lahan. Perlindungan atau proteksi ini tidak akan bisa meniadakan terjadinya konversi, tetapi diharapkan dapat menghambat laju alih fungsi lahan. Provinsi Jawa Barat merupakan lumbung beras nasional. Produksi padi di provinsi ini telah didistribusikan ke berbagai daerah di Indonesia selama bertahun-tahun. Ketersediaan lahan sawah di wilayah akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan untuk nasional. Penyusutan lahan di Jawa Barat akan berakibat terhadap berkurangnya produksi padi nasional. Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di Provinsi Jawa Barat menunjukkan hasil yang berbeda pada dua skenario pesimis dan optimis sebagaimana disajikan pada Gambar 21. Dari skenario optimis ini terlihat bahwa kebutuhan lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi secara nasional sampai tahun 2030 belum melampaui ketersediaan lahan sawah yang ada bahkan cenderung terus menurun.. Penurunan kebutuhan lahan sawah untuk skenario optimis terjadi karena perluasan areal tanam dan kenaikan produktivitas. Ini menandakan bahwa dengan perbaikan prasana pendukung pertanian seperti jaringan irigasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengatasi kebutuhan pangan. Namun perlu diperhatikan juga bahwa pada penelitian ini diasumsikan tidak terjadi degradasi lahan dan konversi lahan. Jika kedua faktor tersebut dimasukkan dalam analisis ini hasilnya akan berbeda. Dari hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah dengan skenario optimis ini, memperlihatkan bahwa perluasan areal luas tanam tidak selalu dengan menambah baku lahan sawah tetapi bisa dengan membangun dan atau memperbaiki/rehabilitasi jaringan irigasi sehingga sawah tersebut mampu

82 64 ditanami 2 kali setahun. Pada skenario ini, pada tahun 2030 proyeksi intensitas pertanaman di provinsi ini adalah 2,25 kali tanam per tahun. IP ini mungkin tercapai jika jaringan irigasi di lahan sawah dalam kondisi yang baik dan berfungsi optimal. Permasalahan yang dihadapi oleh petani sekarang ini adalah banyaknya jaringan irigasi yang rusak. Dengan melakukan pemeliharaan jaringan irigasi maka akan menghemat biaya dibanding harus membangun jaringan irigasi baru dan atau mencetak sawah baru. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah mempertahankan lahan sawah yang masih ada. 1,200, ,000, Luas (Ha) 800, , , , Sufficient Optimis Kontribusi Optimis Ketersediaan Lahan Sufficient Pesimis Kontribusi Pesimis Tahun Gambar 21. Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Faktor produksi yang mempengaruhi produktivitas adalah air, pupuk, bibit, pestisida, dan tenaga kerja/kelembagaan. Pada skenario optimis ini, produktivitas selalu nai 1,59% per tahun. Pada tahun terakhir (2030) produktivitas mencapai 8,336 ton/ha. Hal tersebut dapat tercapai apabila seluruh faktor produksi dapat bekerja secara optimal. Kenaikan produktivitas dapat terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik tentang benih, organisme pengganggu tanaman (OPT) maupun pengelolaannya misalnya penemuan benih padi yang mampu berproduksi tinggi, pengelolaan usahatani ramah lingkungan seperti System of Rice Intensification (SRI). Khusus benih, pada saat ini di Pulau Jawa sedang dikembangkan dan disosialisasikan benih padi baru yang mempunyai produktivitas 8-9 ton/ha. Benih yang sekarang banyak digunakan yaitu varietas Ciherang telah mencapai tahap pelandaian pada level produktivitas

83 65 5,37 ton/ha. Varietas ini akan dikembangkan di luar Jawa, untuk menggenjot produktivitas lahan yang masih dibawah 5 ton/ha. Hal berbeda terjadi pada skenario pesimis. Kebutuhan lahan sawah setiap tahunnya cenderung naik, baik untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun berkontribusi terhadap nasional. Bahkan pada tahun 2020, pada skenario kontribusi pesimis kebutuhan lahan sawahnya melebihi ketersediaan sawah yang ada sebagaimana Tabel 19. Tabel 19. Kebutuhan Lahan Sawah Provinsi Jawa Barat Sufficient Kontribusi Ketersediaan Sufficient Kontribusi Tahun Optimis Optimis Lahan Pesimis Pesimis , Penyebab kecenderungan naik adalah konsumsi pangan sebesar 140 kg/kapita/tahun, produktivitas dan intensitas pertanaman yang tetap. Kondisi ini mungkin sekali terjadi karena berdasarkan data yang selama ini ada produktivitas dan luas tanam naik turun dari waktu ke waktu sehingga secara akumulatif bisa dianggap tetap atau tidak berubah. Angka konsumsi pangan yang besar tersebut berdasarkan pada konsumsi energi yang sesuai Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional. Konsumsi beras 140 kg/kapita/tahun adalah setara kkal/kapita/hari atau 64% dari konsumsi yang ditetapkan oleh PPH Nasional. Sesuai dengan standar PPH Nasional, konsumsi karbohidrat dari padi-padian

84 66 adalah 50% atau setara dengan kkal/kapita/hari. Dengan tingkat konsumsi tersebut, maka kebutuhan lahan sawah juga sangat tinggi sehingga apabila diterapkan maka dapat memberatkan provinsi lumbung padi termasuk Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan asumsi terjadi konversi lahan sawah seperti yang terjadi selama tahun yaitu Ha/tahun maka pada tahun 2012 provinsi ini sudah tidak bisa berkontribusi pada level nasional dan pada tahun 2013 provinsi ini harus mengimpor beras dari luar daerah atau bahkan dari luar negeri karena sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Apabila terus berlanjut akan mengakibatkan kelangkaan pangan. Hal ini sangat merugikan baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Untuk itulah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan sedini mungkin. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya adalah melakukan zonasi untuk melindungi lahan sawah agar tidak terkonversi menjadi peruntukan atau komoditas lain, upaya diversifikasi pangan, dan menekan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat termasuk tinggi yaitu 1,89% dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk nasional yaitu 1,49%. Kedua upaya tersebut pelaksanaannya memerlukan waktu yang lama. Upaya yang harus dilakukan secepatnya adalah mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah tersebut dengan melaksanakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pada kondisi di lapangan, provinsi ini merupakan salah satu penyumbang beras di Indonesia. Dengan tingkat konsumsi sebesar 105,65 kg/kapita/tahun berdasarkan angka tetap BPS tahun 2007 produksi Jawa Barat sebesar 9,9 juta ton GKG dan jumlah penduduk Jawa Barat sebesar jiwa maka jumlah kebutuhan beras sebesar ton berarti pada tahun 2007 terjadi surplus sebesar ton dikurangi ton (perdagangan keluar Jawa Barat ton per tahun dan untuk kebutuhan benih serta industri makanan ton) sehingga surplus beras menjadi ton atau mampu memenuhi kebutuhan beras jiwa. Dari Gambar 21 diatas, kontribusi terhadap kebutuhan pangan nasional untuk skenario optimis tidak merupakan beban bagi provinsi ini. Ketersediaan lahan wilayah ini cukup untuk 20 tahun ke depan sehingga wilayah ini tidak perlu menambah luas baku lahan sawahnya. Namun, jika memakai skenario pesimis terlihat adanya beban yang harus ditanggung oleh provinsi ini. Penambahan luas

85 67 baku lahan sawah sangat sulit dilakukan karena cetak sawah sudah tidak bisa dilakukan lagi di wilayah ini. Lahan kosong khususnya untuk pertanian di Jawa Barat sudah tidak ada, biaya pembuatan sawah dan pembangunan jaringan irigasi baru juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu, apabila tetap dilakukan perluasan areal akan menimbulkan konflik sosial di masyarakat sebab sebagian besar lahan telah menjadi milik perorangan. Perluasan areal dapat dilakukan kawasan hutan, tetapi akan memunculkan permasalahan yang lain yaitu ekologi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan lahan sawah adalah dengan menambah luas areal pertanaman dengan melakukan perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan meningkatkan produktivitas lahan. Penyebab tingginya permintaan lahan sawah untuk tingkat nasional adalah konsumsi beras yang tinggi yaitu 139,15 kg/kapita/tahun (mendekati 140 kg/kapita/tahun). Untuk mengatasi konsumsi beras yang tinggi tersebut maka kebijakan diversifikasi pangan harus terus digalakkan. Dari hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah tingkat provinsi maka diketahui luas kebutuhan lahan sawah selama 20 tahun yang akan datang. kebutuhan ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan luas lahan potensial untuk LP2B setiap tahunnya. Pada tahun 2011, dibutuhkan lahan sawah seluas Ha, Ha, Ha, dan Ha. Luasan lahan yang dipilih akan menentukan kebijakan selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah dalam mencukupi kebutuhan pangannya. Untuk Kabupaten Garut, kebutuhan lahan sawah masih dibawah ketersediaan lahan sawah yang ada. Seperti terlihat pada Gambar 22, pada skenario pesimis terjadi kecenderungan penurunan kebutuhan lahan sawah sementara skenario optimis cenderung mengalami kenaikan tiap tahunnya. Hal ini sama dengan proyeksi kebutuhan lahan di Jawa Barat. Perbedaannya adalah pada proyeksi kebutuhan lahan skenario pesimis kabupaten, kebutuhan lahan sawah selama 20 tahun yang akan datang masih di bawah ketersediaan lahan sawah yang ada.

86 68 Luas Lahan (Ha) 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10, Sufficient Optimis Kontribusi Optimis Ketersediaan Lahan Sufficient Pesimis Kontribusi Pesimis Tahun Gambar 22. Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Garut Berdasarkan proyeksi tersebut, ketersediaan lahan sawah di kabupaten ini untuk 20 tahun mendatang masih aman. Namun perlu diwaspadai adanya kecenderungan kenaikan kebutuhan lahan sawah setelah 20 tahun. Kemungkinan terjadinya defisit lahan sangat mungkin terjadi apabila dilihat dari slope sufficient pesimis yang mengalami kenaikan yang cukup tajam. Ada kecenderungan menurun pada ketiga kondisi tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas dan penambahan luas tanam (intensitas pertanaman). Produktivitas lahan di kabupaten ini melebihi produktivitas rata-rata provinsi yaitu 6,53 ton/ha dan IP wilayah ini juga diatas 2. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah setempat bagi lahan sawahnya adalah melindungi dan menjaga lahan sawahnya baik dari konversi ke komoditas atau peruntukan lain maupun dari degradasi lahan. Pada kedua skenario Kabupaten Garut terlihat bahwa slope kontribusi terhadap provinsi berada di bawah slope sufficient mulai tahun Hal ini menunjukkan turunnya kontribusi beras Kabupaten Garut ke provinsi. Penyebabnya adalah tingginya angka konsumsi beras yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu 1,59% selama 10 tahun terakhir. Tabel 20 menunjukkan kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Garut selama 20 tahun yang akan datang.

87 69 Tahun Tabel 20. Kebutuhan Lahan Sawah Kabupaten Garut Sufficient Optimis Kontribusi Optimis Ketersediaan Lahan Sufficient Pesimis Kontribusi Pesimis Dari hasil analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah tingkat kabupaten ini, diketahui luas kebutuhan lahan sawah selama 20 tahun yang akan datang. kebutuhan ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan luas lahan potensial untuk LP2B kabupaten baik untuk perencanaan maupun evaluasi setiap tahunnya. Pada tahun 2011, kabupaten ini memerlukan lahan sawah seluas Ha, Ha, Ha, dan Ha. Pilihan ini digunakan untuk mempermudah pengambilan keputusan. Luasan lahan yang dipilih akan menentukan kebijakan yang akan diambil selanjutnya oleh pemerintah daerah kabupaten dalam memenuhi kebutuhan pangan daerahnya.

88 70 Inventarisasi Data dan Informasi Peta Kawasan Hutan dan Perairan Peta kawasan hutan dan perairan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peta tahun 2003 yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan. Skala yang digunakan adalah skala 1: Pada peta ini kawasan hutan dibagi menjadi beberapa kawasan. Dari peta tersebut dapat diketahui bahwa kawasan hutan lindung merupakan kawasan hutan terluas di Jawa Barat yaitu Ha atau 30,36% dari total kawasan hutan ( Ha). Kawasan hutan terluas kedua adalah hutan produksi tetap seluas Ha atau 24,94%, diikuti oleh hutan produksi terbatas seluas Ha atau 23,12 % dan yang paling kecil luasannya adalah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas Ha atau 21,58%. Tabel 21 merupakan luas kawasan hutan dan nonhutan yang ada di wilayah ini pada tahun Tabel 21. Kawasan Hutan Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 Kawasan Luas (Ha) % Hutan Lindung ,58 Hutan Produksi Terbatas ,01 Hutan Produksi Tetap ,40 Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam ,67 Non Hutan 2.870,830 77,65 Tubuh Air ,70 Jumlah ,00 Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2009 diperoleh dari Kementerian Kehutanan. Data spasial tersebut kemudian diverifikasi dengan data hasil ground check dan citra Landsat tahun Luasan penggunaan/penutupan lahan yang persentasenya > 10% meliputi sawah dengan luas Ha (26,62%), pertanian lahan kering campuran seluas Ha (16,03%), pertanian lahan kering seluas Ha (13,93%), perkebunan (12,59%), Hutan Tanaman Industri seluas Ha (10,35%), pemukiman seluas Ha (10,00%). Klasifikasi penutup/penggunaan lahan sebagaimana Tabel 22.

89 71 Tabel 22. Penutupan/Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (Ha) % Bandara 290 0,01 HTI ,35 Hutan Mangrove Sekunder ,04 Hutan Primer ,40 Hutan Sekunder ,05 Perkebunan ,59 Permukiman ,00 Pertanian Lahan Kering ,93 Pertanian Lahan Kering Campuran ,32 Sawah ,62 Semak/Belukar ,88 Tambak ,96 Tanah Terbuka ,08 Tubuh Air ,76 Jumlah ,00 Pada Tabel 22 luas hutan lebih sempit dibanding dengan luas kawasan hutan pada Tabel 21. Ini menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan di kawasan yang seharusnya hutan menjadi penggunaan lain seperti perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering, dan lain-lain. Selain itu, ada perbedaan dengan luasan tubuh air. Pada peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2009 ini luasannya lebih luas Ha dibanding tubuh air pada kawasan hutan. Hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh perbedaan musim pada citra yang digunakan untuk menganalisis. Pada peta penutupan/penggunaan lahan, citra diambil pada saat musim penghujan sehingga lahan sawah yang tergenang oleh air terinterpretasi menjadi tubuh air sementara pada peta kawasan hutan, citra diambil saat musim kering sehingga dapat diidentifikasi penggunaan lahan yang berbeda. Untuk peta penggunaan/penutupan lahan DAS Cimanuk Hulu diperoleh dari Firdian (2011) yang berasal dari analisis citra Landsat dan ALOS AVNIR dan telah diverifikasi dengan pengecekan lapangan. Dari peta tersebut diketahui penggunaan lahan di DAS Cimanuk Hulu ini sebagian besar adalah pertanian lahan kering yang luasnya mencapai 36,9% total lahan yang ada. Luasan terkecil adalah tubuh air seluas 94 Ha (0,1%) dan padang rumput seluas 234 Ha (0,2%). Klasifikasi penutup/penggunaan lahan seperti pada Tabel 23.

90 72 Tabel 23. Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimanuk Hulu Tahun 2009 Penutupan/Penggunaan Lahan Luas (Ha) % Hutan ,3 Padang Rumput 234 0,2 Perkebunan 714 0,6 Permukiman ,7 Pertambangan 202 0,2 Pertanian Lahan Kering ,9 Sawah ,2 Tanah Terbuka ,8 Tubuh Air 94 0,1 Jumlah ,0 Peta Kesesuaian Lahan Basah Peta kesesuaian lahan yang digunakan pada penelitian ini adalah peta kesesuaian untuk lahan basah yang merupakan hasil proyek Regional Physical Planning Program for Transmigration (RePPProT). Proyek ini merupakan kerjasama antara Departemen Transmigrasi dengan UK Overseas Development Administration. Peta ini merupakan peta skala tinjau 1: Penggunaan peta ini karena sampai saat ini peta tanah skala yang lebih detil di Provinsi Jawa Barat belum tersedia. Sebagian ada dengan skala 1: namun jumlahnya masih sangat terbatas seperti DAS Cimanuk, dan DAS Citarum. Dalam peta kesesuaian lahan basah ini ada 3 (tiga) kriteria yaitu sesuai (S), sesuai bersyarat (V) dan tidak sesuai (N). Sesuai bersyarat adalah lahan mempunyai faktor pembatas yaitu keterbatasan unsur hara atau drainase yang tidak baik sehingga perlu ada perbaikan. Berdasarkan peta tersebut, diketahui bahwa di provinsi ini sebagian besar lahannya mempunyai kelas kesesuaian lahan sesuai bersyarat (V) seluas Ha (66%), sedangkan S seluas Ha (18%), dan N seluas Ha (16%) sebagaimana pada gambar 23.

91 73 N 16% S 18% V 66% Gambar 23. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Lahan Basah di Provinsi Jawa Barat Peta kesesuaian lahan untuk padi di DAS Cimanuk Hulu diperoleh dari hasil penelitian Tim Studi LP IPB pada tahun Dari penelitian tersebut diketahui bahwa tidak ada lahan yang memiliki kelas kesesuaian S1. Sebagian besar lahannya memiliki kelas kesesuaian S3 dan N2. Gambar 24 berikut menunjukkan persentase masing-masing kelas kesesuaian lahan untuk padi. N1 15% S3 52% N2 33% Gambar 24. Kelas Kesesuaian Lahan untuk Lahan Basah di DAS Cimanuk Hulu Dari gambar diatas terlihat bahwa kelas kesesuaian lahan S3 merupakan luasan terbesar yaitu seluas Ha, di urutan kedua adalah N2 seluas Ha, N1 mempunyai luas Ha. Kelas kesesuaian lahan S2 merupakan kelas kesesuaian lahan terkecil yaitu 38 Ha atau 0,03%. S2 0% Peta Status Irigasi Peta status irigasi yang digunakan diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2002 dengan skala 1: Pada basis data status irigasi tingkat provinsi diketahui lahan di provinsi yang memiliki jaringan irigasi seluas Ha dan yang tidak memiliki jaringan irigasi seluas Ha.

92 74 Pada DAS Cimanuk Hulu dengan menggunakan peta yang sama diketahui bahwa daerah ini tidak memiliki irigasi sederhana. Irigasi yang ada disana adalah irigasi teknis dan semi teknis. Daerah yang memiliki irigasi teknis seluas Ha atau 70% dari luas lahannya seperti pada Gambar 25, sedangkan irigasi semi teknis seluas Ha. Sisanya seluas Ha tidak memiliki jaringan irigasi. Non Irigasi semi teknis teknis 26% 4% 70% Gambar 25. Status Irigasi DAS Cimanuk Hulu Peta Intensitas Pertanaman Peta intensitas pertanaman diperoleh dari Kementerian Pertanian tahun 2002 dengan skala 1: Dari peta tersebut diketahui di provinsi ini memiliki lahan dengan intensitas pertanaman > 1 kali tanam/tahun seluas Ha sementara lahan seluas Ha memiliki IP 1 kali tanam/tahun. Oleh karena itu, potensi pengembangan untuk menambah areal pertanaman di provinsi ini masih sangat besar. Namun perlu diperhatikan juga, lahan dengan IP 1 kali tanam/tahun ini termasuk lahan-lahan yang bukan sawah. Untuk DAS Cimanuk Hulu, dengan peta yang sama diketahui bahwa wilayah yang memiliki IP 2 kali tanam/tahun seluas Ha (27,9%) sementara yang memiliki IP 1 kali tanam seluas Ha (2,4%) sebagaimana pada gambar 26.

93 75 Luas (Ha) 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10, kali 2 kali IP 82,175 2,813 32,857 Gambar 26.Luas Wilayah Intensitas Pertanaman DAS Cimanuk Hulu Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk Lahan Cadangan Pangan Berkelanjutan Peta yang digunakan dalam pemetaan tingkat provinsi adalah peta dengan skala 1: Skala ini disesuaikan dengan peta rencana umum tata ruang untuk wilayah provinsi. Selain itu juga disesuaikan dengan ketersediaan peta yang ada. Hasil pemetaan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan potensial ini menunjukkan bahwa lahan yang berpotensi dapat dicadangkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat seluas Ha atau 64,6% dari total lahan potensial yang ada ( Ha). Luas Lahan (Ha) 180, , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 - BANDUNG BANDUNG BARAT BEKASI BOGOR CIAMIS CIANJUR CIREBON GARUT INDRAMAYU KARAWANG KOTA BANDUNG KOTA BANJAR KOTA BEKASI KOTA BOGOR KOTA CIMAHI KOTA CIREBON KOTA DEPOK KOTA SUKABUMI KOTA TASIKMALAYA KUNINGAN MAJALENGKA PURWAKARTA SUBANG SUKABUMI SUMEDANG TASIKMALAYA Kabupaten/Kota Gambar 27. Luas Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Jawa Barat

94 76 Pada Gambar 27 menunjukkan luasan lahan paling besar terdapat di Kabupaten Sukabumi ( ha atau 21,8% potensi LCP2B) sementara yang terkecil luasannya di Kota Cirebon (180 ha atau 0,023%). Lahan potensial untuk LCP2B tersebut merupakan pertanian lahan kering campuran. Dari peta status irigasi diketahui bahwa sebagian besar lahan potensial untuk LCP2B termasuk wilayah yang memiliki jaringan irigasi. Peta status irigasi yang digunakan adalah peta status irigasi tahun Ini menunjukkan bahwa lahan tersebut dahulu adalah lahan sawah. Perubahan komoditas menjadi kebun campuran ini mungkin bisa terjadi akibat hilang atau rusaknya jaringan irigasi sehingga apabila lahan cadangan tersebut akan ditingkatkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan, usaha yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi jaringan irigasi. Gambar 28 menunjukkan sebaran lahan potensial pada kabupaten/kota di Jawa Barat. Gambar 28. Peta Lahan Potensial untuk LCP2B Provinsi Jawa Barat Peta yang digunakan dalam pemetaan kabupaten adalah peta dengan skala 1: Skala ini disesuaikan dengan peta rencana umum tata ruang untuk wilayah kabupaten. DAS Cimanuk Hulu dipilih menjadi lokasi penelitian di

95 77 Kabupaten Garut karena daerah di sekitar DAS ini merupakan daerah sentra produksi padi dan lokasi lahan sawah terluas di Kabupaten Garut. Berdasarkan identifikasi lahan potensial untuk LCP2B provinsi, teridentifikasi 66,3% lahan potensial untuk Kabupaten Garut terdapat di DAS Cimanuk Hulu. Selain itu, data dan informasi pendukung terutama data spasial lebih banyak tersedia. Data spasial untuk DAS Cimanuk Hulu ini sebagian besar mempunyai skala detil yaitu 1: sementara data spasial untuk Kabupaten Garut skalanya masih beragam yaitu 1: dan 1: Data yang beragam ini menyulitkan dalam pengolahan serta kedetilan informasi yang ingin diperoleh. Selain itu, jenis tanah di wilayah Garut di bagian utara ini adalah tanah aluvial dengan tekstur halus sebagai hasil endapan, dan tanah andosol berwarna hitam berasal dari abu vulkanik cocok untuk budidaya pertanian sawah (lahan basah). Pada peta kesesuaian lahan untuk padi diketahui lahan potensial yang berada di daerah ini adalah S2 dan S3, tidak ada N1 ataupun N2. Lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan S2 dan S3 yang bukan lahan sawah adalah ha. Lahan ini terdiri atas lahan hutan, semak belukar, pertanian lahan kering, dan tanah kosong. Berdasarkan kriteria yang pemilihan LCP2B potensial maka lahan yang sesuai seluas ha atau keseluruhan lahan potensial yang ada. Di wilayah hutan, areal yang kelas kesesuaiannya S2 dan S3 seluas ha. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai status kawasan ini apabila lahan tersebut akan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Pada tingkat kabupaten ini, tidak ada peta kawasan hutan sehingga tidak diketahui batas kawasan hutan yang dilindungi maupun areal hutan untuk penggunaan lain. Gambar 29 merupakan sebaran lahan potensial untuk LCP2B. DAS Cimanuk Hulu ini berada di 30 kecamatan pada Kab. Garut. Dari seluruh kecamatan tersebut hanya Kecamatan Pakenjeng dan Kecamatan Pamulihan yang tidak terdapat lahan potensial untuk LCP2B. Kecamatan yang memiliki luasan lahan potensial untuk LCP2B terluas adalah Kecamatan Leles seluas ha atau 11,6% luas total LCP2B potensial. Di kecamatan ini pula luasan hutan yang potensial paling luas yaitu ha (35,0%). Indikasi luas lahan sebagaimana pada Tabel 24.

96 78 Gambar 29. Peta Lahan Potensial untuk LCP2B DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut

97 79 Tabel 24. Indikasi Luas Lahan Potensial untuk LCP2B DAS Cimanuk Hulu Kabupaten Garut Kecamatan LCP2B Potensial (Ha) Potensial di Hutan (Ha) Banjarwangi 86 - Banyuresmi Bayongbong Blubur Limbangan Cibatu Cibiuk Cigedug Cikajang Cilawu Cisurupan Garut Kota 10 - Kadungora Karang Tengah Karangpawitan Kersamanah 48 2 Leles Leuwigoong Malangbong Pangatikan Pasirwangi Samarang Selaawi Sucinagara Sukaresmi Sukawening Tarogong Kaler Tarogong Kidung 43 - Wanaraja Jumlah Apabila peta ini ditumpangtindihkan dengan peta status irigasi maka dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan potensial ini bukan daerah irigasi. Peningkatan lahan potensial untuk LCP2B menjadi lahan potensial untuk LP2B dapat dilakukan dengan membangun jaringan irigasi di lokasi-lokasi tersebut. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Potensial untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Dalam penelitian ini digunakan dua model SIG dan pembobotan yang berbeda untuk mengidentifikasi dan memetakan lahan-lahan potensial. Model 1

98 80 merupakan model yang mengikutkan kriteria ketersediaan lahan dalam pembobotan. Model 2 merupakan model yang melakukan pembobotan hanya pada lahan sawah yang ada dan tidak mengikutkan lahan bukan sawah. Pada LP2B provinsi 1 diperoleh hasil, jumlah kelas skor untuk pembobot 1a adalah 12 kelas skor dengan rentang total skor 0,000-0,917 sementara pembobot 1b memiliki jumlah kelas skor 17 kelas dengan rentang nilai total skor 0,124-0,840. Dengan kelas skor yang lebih banyak, pada pembobot 1b mampu memisahkan data lahan menjadi lebih rinci sehingga akan mempermudah dalam proses selanjutnya yaitu proses penentuan lokasi potensial. Lahan yang dibobot dipilah menjadi 3 jenis yaitu lahan bukan sawah, lahan sawah tersedia dan lahan campuran. Lahan campuran merupakan lahan yang terdiri dari lahan bukan sawah dan lahan sawah. Pada kelas yang terdapat lahan campuran menandakan pada nilai total skor yang sama terdapat 2 lahan yang berbeda yaitu lahan sawah tersedia dan lahan bukan sawah. Dari kedua pembobot tersebut diketahui, faktor yang membatasi identifikasi pada provinsi 1 ini adalah faktor ketersediaan lahan. Pada Tabel 25, terlihat bahwa kedua pembobot mempunyai lahan campuran. Untuk pembobot 1b, hanya dua kelas skor yang mempunyai lahan campuran yaitu 0,556 dan 0,680 sementara pembobot 1a, 6 kelas skornya merupakan lahan campuran. Dari hasil tersebut dapat diketahui pembobot terbaik adalah pembobot 1b yang berdasarkan kepada biaya pembangunan/rehabilitasi. Selain itu dengan banyaknya kisaran nilai total skor akan mempermudah dalam pengambilan keputusan menentukan lahan yang akan dipilih sebagai lahan potensial. Pada hasil pembobot 1a, skor terbaik adalah 0,750, 0,833, dan 0,917. Untuk pembobot 2, skor terbaik adalah 0,772, 0,808, dan 0,840. Pada nilai-nilai tersebut seluruh lahan adalah lahan sawah tersedia. Berdasarkan ketersediaan lahan, kedua hasil pembobot memberikan nilai yang sama yaitu pada kelas skor 3 terakhir merupakan kelas skor terbaik dengan luasan lahan seluas ha. Pada salah satu kelas skor tersebut terdapat kelas kesesuaian N padahal menurut kriteria yang terdapat dalam PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, lahan yang sesuai untuk LP2B adalah lahan yang kelas kesesuaian lahannya sangat sesuai, sesuai dan agak sesuai sehingga untuk lahan potensial untuk LP2B ideal pada provinsi ini adalah seluas Ha.

99 81 Tabel 25. Hasil Skoring LP2B Provinsi 1 Kelas Pembobot 1a Pembobot 1b Skor Total Total Skor Luas (Ha) Keterangan Skor Luas (Ha) Keterangan 1 0, Bukan Sawah 0, Bukan Sawah 2 0, Bukan Sawah 0, Bukan Sawah 3 0, Bukan Sawah 0, Bukan Sawah 4 0, Campuran 0, Sawah, N, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 5 0, Campuran 0, Sawah, V, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 6 0, Campuran 0, Sawah, S, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 7 0, Campuran 0, Campuran 8 0, Campuran 0, Bukan Sawah 9 0, Campuran 0, Bukan Sawah 10 0, Sawah, N, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, Sawah, N, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 11 0, Sawah, V, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, Campuran 12 0, Sawah, S, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, Sawah, V, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 13 0, Bukan Sawah 14 0, Bukan Sawah 15 0, Sawah, N, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 16 0, Sawah, V, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 17 0, Sawah, S, Irigasi, >1 kali tanam/tahun

100 82 Total skor tinggi pada lahan sawah N tersebut disebabkan oleh adanya jaringan irigasi dan intensitas pertanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan adanya usaha perbaikan misalnya jaringan irigasi membuat lahan sawah yang kelas kesesuaian lahannya rendah mampu menghasilkan produksi yang tinggi (IP >1 kali tanam/tahun). Dari hasil kedua pembobot tersebut maka dapat diketahui bahwa lahan potensial untuk LP2B berada pada total skor 0,750-0,917. Adanya ketentuan kesesuaian lahan tersebut maka akan membuat Ha lahan sawah yang memiliki prasarana pendukung yang baik dan mampu berproduksi >1 kali tanam/tahun tidak termasuk sebagai lahan potensial untuk dilindungi. Lahan sawah yang tidak dilindungi tersebut akan lebih mudah beralih fungsi dibanding lahan sawah yang dilindungi. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan kerugian yang cukup besar apabila di kemudian hari lahan sawah ini berubah fungsinya menjadi peruntukan atau beralih komoditas. Kerugian tersebut diantaranya adalah pemubaziran investasi jaringan irigasi. Oleh karena itu, lahan sawah dengan kelas kesesuaian lahan N tersebut dimasukkan dalam lahan yang berpotensi untuk LP2B. Dari model LP2B provinsi 1 ini diperoleh spesifikasi kriteria teknis yang dapat digunakan untuk identifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk tingkat provinsi yaitu: a. Sawah yang beririgasi dengan kelas kesesuaian lahan S dan memiliki IP >1 kali tanam/tahun. b. Sawah yang beririgasi dengan kelas kesesuaian lahan V dan memiliki IP >1 kali tanam/tahun. c. Sawah yang beririgasi dengan kelas kesesuaian lahan N dan memiliki IP >1 kali tanam/tahun. Dari hasil pembobotan tersebut diperoleh indikasi luas lahan potensial seluas Ha tersebar pada 25 kabupaten/kota (Gambar 30) sementara lahan sawah yang tidak tidak dilindungi karena tidak masuk kriteria seluas Ha. Luasan yang sangat luas dan akan menimbulkan dampak yang besar terhadap ketahanan pangan apabila terjadi konversi pada lahan-lahan tersebut. Kota yang tidak memiliki lahan potensial untuk LP2B adalah Kota Depok. Rata-rata luas lahan potensial tiap kabupaten 4-5% atau Ha. Kabupaten yang terindikasi memiliki luasan lahan potensial >10% atau > Ha adalah Kabupaten Indramayu (16,0%), Kabupaten Subang (12,3%), dan Kabupaten Karawang (12,0%). Untuk kota, kecuali Kota Tasikmalaya prosentase lahan potensial untuk LP2B <1%. Kabupaten yang paling sempit lahan potensialnya adalah Kabupaten Purwakarta (4.480 Ha atau 0,9%). Berikut ini prosentase luas lahan potensial untuk LP2B Provinsi 1.

101 83 Gambar 30. Peta Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1 BANDUNG BANDUNG BARAT BEKASI BOGOR CIAMIS CIANJUR CIREBON GARUT INDRAMAYU KARAWANG KOTA BANDUNG KOTA BANJAR KOTA BEKASI KOTA BOGOR KOTA CIMAHI KOTA CIREBON KOTA DEPOK KOTA SUKABUMI KOTA TASIKMALAYA KUNINGAN MAJALENGKA 9% 1% 12% 2% 2% 4% 5% 2% 9% 4% 3% 5% 1% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 12% 16% 5% 5% Gambar 31. Persentase Luas Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 1

102 84 Model LP2B provinsi 2 digunakan untuk memenuhi kebutuhan lahan sawah sesuai dengan perencanaan kebutuhan lahan sawah yang telah dilakukan. Hasil pembobotan pada 3 nilai bobot menunjukkan hasil yang hampir sama. Ketiganya menghasilkan 9 kelas skor. Untuk pembobot 2a dan pembobot 2b urutan keterangan kondisi hasilnya adalah sama, yang berbeda hanya total skornya sementara pembobot 2c, perbedaannya pada total skor dan urutan keterangan kondisi. Dengan pemberian bobot pada lahan sawah tersedia, didapati hasil berupa pengkelasan lahan sawah tersedia menjadi 9 kelas skor yang dibedakan berdasar kesesuaian lahan, irigasi, dan intensitas pertanaman. Nilai total skor pembobot 2a adalah 0,000-0,888, pembobot 2b adalah 0,137-0,824, dan pembobot 2c adalah 0,325-0,568 seperti yang disajikan pada Tabel 26. Pada tabel tersebut, pembobot 2a dan pembobot 2c mampu memilah sawah irigasi dan nonirigasi berdasarkan kelas skornya. Pada kedua pembobot tersebut, kelas skor 1-3 atau dengan nilai total skor 0,000-0,222 merupakan lahan sawah tidak berigasi sementara pada pembobot 2c lahan sawah nonirigasi berada pada kelas skor 1, 2 dan 4. Sesuai dengan perhitungan kebutuhan lahan sawah tingkat provinsi sebelumnya, maka jumlah lahan yang harus dilindungi pada tahun 2011 dari kemungkinan konversi lahan sawah ke komoditas ataupun peruntukan lain seluas Ha, Ha, Ha, dan Ha. Berdasarkan kelas skor pada pembobot 2a dan 2b, jumlah lahan sawah yang mendekati pilihan luasan kebutuhan lahan sawah tersebut adalah pada kelas skor 2-9 seluas Ha. Luasan ini memenuhi kebutuhan lahan sawah sufficient optimis namun tidak bisa memenuhi kontribusi optimis apalagi memenuhi kebutuhan pada skenario pesimis. melebihi kebutuhan lahan sawah. Luas lahan tersedia di Jawa Barat seluas Ha apabila menggunakan hasil perhitungan kontribusi pesimis maka hampir semua lahan sawah yang ada dilindungi, hanya Ha yang tidak dilindungi atau 65% luas lahan sawah yang berada di kelas terendah akan dilindungi. Apabila hanya sebagian saja yang dilindungi maka akan menyulitkan untuk penentuan lahan potensial yang dipilih dan pengelolaan dan pengolahan data. Kelebihan lahan sawah Ha tersebut dapat digunakan sebagai share provinsi ini ke nasional walaupun tidak bisa memenuhi share yang harus dipenuhi yaitu 18,2%. Untuk itu share provinsi ini terhadap nasional harus diturunkan menjadi 17,9%. Jika tidak ingin menurunkan share tersebut, maka lahan potensial ini dapat ditambah dengan lahan potensial untuk LCP2B seluas Ha. Namun ini tentunya akan menambah kesulitan yang lebih besar, antara lain perlu biaya cetak sawah dan pembangunan irigasi, dan juga akan menimbulkan konflik sosial karena lahan-lahan cadangan tersebut sudah mempunyai surat kepemilikan lahan.

103 85 Tabel 26. Hasil Skoring LP2B Provinsi 2 Kelas Pembobot 2a Pembobot 2b Pembobot 2c Skor Total Skor Luas (Ha) Keterangan Total Skor Luas (Ha) Keterangan Total Skor Luas (Ha) Keterangan 1 0, N, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, N, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, N, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 2 0, V, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, V, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, V, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 3 0, S, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, S, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 0, N, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 4 0, N, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, N, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, S, nonirigasi, 1 kali tanam/tahun 5 0, V, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, V, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, V, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 6 0, S, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, S, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 0, N, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 7 0, N, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, N, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, S, Irigasi, 1 kali tanam/tahun 8 0, V, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, V, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, V, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 9 0, S, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, S, Irigasi, >1 kali tanam/tahun 0, S, Irigasi, >1 kali tanam/tahun

104 86 Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki lahan sawah yang berada di kelas skor 1 agar bisa naik ke kelas skor diatasnya sehingga ketika dilakukan evaluasi pada tahun mendatang luasan sawah yang memenuhi standar dapat bertambah. Dengan menggunakan model LP2B provinsi 2 ini maka evaluasi akan lebih mudah dilakukan sehingga pembaruan data dan informasi pun dapat dilakukan setiap saat. Dari hasil ketiga pembobot diatas maka diketahui lahan sawah seluas Ha sesuai sebagai lahan potensial untu LP2B. Lahan yang dilindungi ini termasuk juga lahan-lahan yang menurut kesesuaian lahan adalah tidak sesuai (N). Lahan sawah yang tidak dilindungi seluas Ha merupakan lahan sawah nonirigasi dengan kelas kesesuaian N. Dari hasil identifikasi tersebut terlihat pada Gambar 32, lokasinya menyebar di seluruh kabupaten/kota yang berada di provinsi ini. Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten dengan luas lahan potensial yang terluas yaitu Ha atau 11,4% dari total luas lahan potensial, diikuti oleh Kabupaten Subang seluas Ha atau 10,3%, yang ketiga adalah Kabupaten Bekasi seluas Ha atau 9,7% dan Kabupaten Karawang yang pada LP2B provinsi 1 berada di urutan ketiga menjadi urutan keempat dengan luas lahan potensialnya Ha atau 9,3%. Untuk daerah perkotaan, seluruh kota di provinsi ini sumbangan lahan potensialnya antara 0,04-0,9% atau Ha. Kota Tasikmalaya merupakan wilayah perkotaan yang memiliki luas lahan potensial terbesar yaitu Ha sementara yang tersempit adalah Kota Cirebon seluas 100 Ha. Pada kedua model didapati bahwa untuk daerah perkotaan kontribusinya sebagian besar < 1,00%. Berdasarkan fungsi utamanya memang perkotaan bukan ditujukan untuk fungsi pertanian sehingga lahan potensial tersebut akan lebih mudah berubah fungsi menjadi peruntukan lain. Berdasarkan kemungkinan yang tinggi terjadinya konversi, lahan potensial di wilayah perkotaan ini bisa saja tidak masuk sebagai lahan potensial untuk ditetapkan LP2B. Namun pada UU No. 41 tahun 2009 disebutkan bahwa LP2B bisa berada di wilayah perdesaan ataupun perkotaan sehingga pada penelitian ini lahan potensial yang berada di wilayah perkotaan walaupun luas wilayahnya sempit termasuk sebagai lahan potensial untuk LP2B yang akan digunakan untuk proses selanjutnya. Hal ini dilakukan karena kriteria minimal luas hamparan LP2B belum ditetapkan. Selain itu, lahan pertanian yang berada di wilayah

105 87 perkotaan dapat pula digunakan sebagai ruang terbuka hijau dan ruang publik sesuai RTRW Kota. Sebagai ruang terbuka hijau, lahan pertanian ini akan menjadi water catchment, penyaring air dan udara bagi wilayah perkotaan. Gambar 32. Peta Lahan Potensial untuk LP2B Provinsi 2 Dari hasil pemetaan kedua model maka dapat diketahui bahwa LP2B provinsi 1 merupakan model identifikasi LP2B terbaik. Pada model 1 ini dihasilkan lahan potensial yang didukung oleh kondisi alamiah dan fisik serta infrastruktur yang baik sehingga diharapkan produktivitas lahannya pun tinggi, dan lebih mudah dalam pengambilan keputusan. Kekurangannya adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan lahan sawah di Provinsi Jawa Barat, dan memerlukan waktu yang lama dalam pengolahan dan pengelolaan data dan informasinya. Dengan LP2B provinsi 1 tersebut hanya mampu memenuhi 78,1% lahan sawah yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Lahan yang kurang dapat dipenuhi dengan mengubah lahan potensial untuk LCP2B menjadi LP2B namun akan memerlukan biaya yang sangat besar serta waktu yang lama. Model LP2B provinsi 1 ini akan sulit diterapkan di daerah yang memiliki kesesuaian lahan lebih rendah dan dukungan infrastruktur yang terbatas dibanding di Jawa Barat.

106 88 Pada LP2B provinsi 2, keunggulannya antara lain seluruh lahan sawah irigasi dapat dilindungi sehingga dapat mengurangi biaya pembangunan jaringan irigasi, mampu memenuhi kebutuhan perencanaan baik itu tahunan, jangka menengah dan panjang, dan mudah dalam monitoring dan evaluasinya. Selain itu, LP2B provinsi 2 ini lebih mudah dan cepat dalam pengelolaan data dan informasi karena cakupan data dan informasi lebih sedikit. Kekurangannya adalah tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, lebih sulit dalam pengambilan keputusannya dan jika model ini digunakan maka hampir secara keseluruhan lahan sawah ditetapkan untuk dilindungi tanpa perlu melihat kriteria teknisnya. Untuk pemetaan tingkat kabupaten, pemetaan LP2B kabupaten 1 hanya menggunakan nilai pembobot yang berimbang. Faktor pembatas pada kabupaten 1 ini adalah ketersediaan lahan (lahan sawah yang ada). Kelas skor yang dihasilkan sebanyak 25 kelas skor. Pada kelas skor dengan nilai skor 0,441-0,592 semua lahan tersedia sementara untuk nilai skor dibawahnya (0,000-0,416) tercampur antara lahan tersedia dan tidak tersedia. Luasan lahannya seluas Ha dengan kriteria terendah sawah, N2, irigasi teknis, dan IP 1x tanam/tahun. Total skor besar pada lahan berkesesuaian rendah ini akibat adanya irigasi. Sementara apabila mengacu pada kriteria bahwa LP2B harus memiliki kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3 maka hanya 1 kelas skor yang memenuhi syarat yaitu 0,592 dengan kriteria sawah, S3, irigasi teknis, dan IP 2x tanam/tahun seluas Ha. Dari model LP2B kabupaten 1 ini diperoleh spesifikasi kriteria teknis yang dapat digunakan untuk identifikasi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk tingkat kabupaten seperti pada Tabel 27. Tabel 27. Spesifikasi Kriteria Teknis Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Ketersediaan Lahan Kesesuaian Lahan Irigasi IP Tersedia N2 Semi Teknis 1 x Tersedia N1 Semi Teknis 1 x Tersedia S3 Semi Teknis 1 x Tersedia N2 Semi Teknis 2 x Tersedia N1 Semi Teknis 2 x Tersedia N2 Teknis 2 x Tersedia S3 Semi Teknis 2 x Tersedia N1 Teknis 2 x Tersedia S3 Teknis 2 x

107 89 Lahan potensial tersebut menyebar di 28 kecamatan yang ada di DAS ini, hanya Kecamatan Pakenjeng dan Kecamatan Pamulihan yang tidak terdapat lahan potensialnya. Rata-rata luas lahan potensial tiap kecamatan adalah 695 Ha dengan luasan terluas berada di Kecamatan Banyuresmi seluas Ha (8,50% total lahan potensial), Kecamatan Bayongbong seluas atau 7,37%, dan Kecamatan Karangpawitan seluas Ha atau 7,21% sementara luasan terkecil di Kecamatan Cikajang seluas 4 Ha dan Kecamatan Karang Tengah seluas 0,5 Ha. Luas lahan potensial untuk kabupaten 1 sebagaimana Gambar 33 sementara sebaran spasialnya seperti pada Gambar 34. 1, , , , , BANYURESMI BAYONGBONG KARANGPAWITAN BLUBUR LIMBANGAN SAMARANG CIBATU LEUWIGOONG MALANGBONG TAROGONG KALER TAROGONG KIDUL KADUNGORA CISURUPAN SELAAWI LELES GARUT KOTA CILAWU SUKARESMI SUKAWENING PANGATIKAN CIBIUK KERSAMANAH PASIRWANGI SUCINARAJA WANARAJA CIGEDUG CIKAJANG KARANG TENGAH Gambar 33. Luas Lahan Potensial Untuk LP2B Kabupaten 1

108 90 Gambar 34. Peta Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 1 Pada LP2B kabupaten 2, nilai pembobot yang hampir sama menyebabkan hasilnya pun hampir sama. Perbedaannya hanyalah pada rentang nilai skor. Pada model ini, 2 nilai skor tertinggi seluas ha merupakan lahan potensial ideal dengan kriteria teknis kelas kesesuaian lahan S3, teknis dan semi teknis, dan IP 2x tanam/tahun (Tabel 27).

109 91 Tabel 28. Hasil Pembobotan LP2B Kabupaten 2 Kelas Pembobot 2a Pembobot 2b Skor Luas Luas Skor (Ha) Keterangan Skor (Ha) Keterangan 1 0, N2, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 0, N2, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 2 0, N1, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 0, N1, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 3 0, S3, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 0, S3, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 4 0, S2, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 0, S2, Nonirigasi, 0 kali tanam/tahun 5 0, N2, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 0, N2, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 6 0, N1, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 0, N1, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 7 0, S3, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 0, S3, Semi Teknis, 1 kali tanam/tahun 8 0, N2, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, N2, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 9 0, N2, Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, N2, Teknis, 2 kali tanam/tahun 10 0, N1, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, N1, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 11 0, N1, Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, N1, Teknis, 2 kali tanam/tahun 12 0, S3, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, S3, Semi Teknis, 2 kali tanam/tahun 13 0, S3, Teknis, 2 kali tanam/tahun 0, S3, Teknis, 2 kali tanam/tahun Berdasarkan perhitungan kebutuhan lahan sawah Kabupaten Garut pada tahun 2011, kabupaten ini memerlukan lahan sawah seluas Ha, Ha, Ha, dan Ha. Tidak ada lahan potensial ideal pada kedua model yang memenuhi kebutuhan lahan sawah tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh kriteria kelas kesesuaian lahan yang harus S1, S2, dan S3. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa lahan pada DAS Cimanuk Hulu tidak ada yang tergolong S1 dan hanya sebagian kecil saja yang tergolong S2, sedangkan sebagian besar sisanya tergolong sebagai S3. Kualitas lahan yang menjadi pembatasnya adalah retensi hara, kondisi media perakaran, kemiringan lereng dan temperatur. Pembatas media perakaran adalah drainase tanah yang tergolong cepat sehingga tanah diperkirakan tidak mampu mempertahankan kanduangan air atau kelembabannya dalam waktu yang lama. Namun hal ini bukan menjadi penghalang bagi masyarakat sekitar untuk memanfaatkannya menjadi sawah. Sawah telah ada sejak lama karena mendapat pengairan yang berlimpah akibat curah hujan yang cukup tinggi dan adanya irigasi teknis dan semi teknis sehingga kebutuhan air atau kelembaban tetap terpelihara. Dari hasil

110 92 pemetaan tersebut dapat diketahui bahwa perlakukan perbaikan terhadap faktor pembatas kesesuaian lahan mampu meningkatkan total skor. Untuk memenuhi kebutuhan lahan sawah maka kelas kesesuaian lahan dapat diabaikan sehingga LP2B kabupaten 2 dapat digunakan. Model ini lebih mudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan lahan sawah sesuai dengan jangka waktu perencanaan LP2B dibanding kabupaten 1. Luas tersedia adalah Ha. Dengan menggunakan asumsi DAS Cimanuk Hulu mampu memenuhi kebutuhan pangan kabupaten, maka luas lahan yang bisa diusulkan sebagai lahan potensial untuk lahan seluas Ha atau memenuhi skenario kontribusi optimis. Lahan ini berada pada kelas skor Untuk skenario pesimis baik untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun berkontribusi terhadap provinsi, luas lahan sawah di DAS ini tidak mencukupi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan menambah luas areal sawah dengan lahan potensial untuk LCP2B yang sangat luas di kabupaten ini. Luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan lahan sawah pesimis adalah seluas Ha. Lahan ini dapat diperoleh dengan memanfaatkan tanah terbuka yang ada seluas Ha, dan sisanya pertanian lahan kering dengan komoditas yang mempunyai skala ekonomi yang berada dibawah skala ekonomi usaha tani padi. Usaha pencetakan sawah ini juga selain memerlukan biaya yang tinggi juga bisa menimbulkan konflik di masyarakat yang tidak mau lahannya diubah menjadi sawah. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penerimaan masyarakat terhadap perlindungan LP2B ini serta skala ekonomi usaha tani di wilayah ini. Pada penelitian ini memang tidak sampai kepada persyaratan ekonomi dan sosial. Untuk tingkat kabupaten, peran serta masyarakat dalam perencanaan suatu kebijakan akan sangat diperlukan agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hasil pembobotan menunjukkan tidak adanya perbedaan kriteria yang ada. Dari hasil pembobotan diatas, lahan yang sesuai seluas Ha. Lahan sawah yang tidak dilindungi seluas Ha merupakan lahan sawah nonirigasi dengan kelas kesesuaian lahan N1, dan N2, serta dalam setahun 0 kali tanam. Untuk sawah nonirigasi, kelas kesesuaian lahan S3, dan IP 0 kali tanam per tahun termasuk dalam sawah yang dilindungi. Adanya lahan sawah yang memiliki IP 0 kali tanam per tahun ini menunjukkan data yang tidak sesuai. Hal tersebut dapat terjadi karena data intensitas pertanaman dan status irigasi yang digunakan adalah data tahun Data tersebut sudah lama dan belum

111 93 diperbarui sementara penutupan/penggunaan lahan menggunakan data tahun Pada tahun 2002, diperkirakan penggunaan lahan wilayah tersebut bukan sawah sehingga tidak ada aktivitas usahatani padi di wilayah tersebut. Sebaran lahan potensial untuk LP2B kabupaten 2 sebagaimana Gambar 35 terlihat hamparan yang lebih luas, dan hampir merata di seluruh wilayan kecamatan. Seperti juga LP2B kabupaten 1, lokasi lahan potensial tersebar di 28 kecamatan. Gambar 35. Peta Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 Kecamatan yang memiliki luas lahan potensial > Ha adalah kecamatan Banyuresmi, Karangpawitan, dan Bayongbong. Kecamatan Karangtengah yang memberikan kontribusi lahan seluas 80 Ha merupakan kecamatan yang paling sempit lahan potensialnya (Gambar 36).

112 94 SUCINARAJA 1% SELAAWI 3% SAMARANG 5% PASIRWANGI 1% TAROGONG SUKAWENING KIDUL 3% TAROGONG KALER 4% SUKARESMI 2% 4% WANARAJA 1% BANJARWANGI 0% BANYURESMI 9% BAYONGBONG 7% BLUBUR LIMBANGAN 6% CIBATU 6% CIBIUK 3% MALANGBONG 6% LEUWIGOONG 6% PANGATIKAN 2% LELES 5% KERSAMANAH 2% KARANGPAWITA N 8% KADUNGORA 4% KARANG TENGAH 0% CIGEDUG 2% CIKAJANG 2% CILAWU 3% CISURUPAN 3% GARUT KOTA 2% Gambar 36. Persentase Lahan Potensial untuk LP2B Kabupaten 2 DAS Cimanuk Hulu Kab. Garut Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Potensial untuk Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Identifikasi dan pemetaan kawasan potensial untuk KP2B dilakukan dengan 2 model sesuai dengan pemodelan pada identifikasi lahan potensial untuk LP2B sebelumnya. Metode yang digunakan pada 2 model tersebut baik provinsi dan kabupaten adalah sama, delineasi visual berdasarkan pada spatial contiguity. Hasil analisis sebelumnya berupa lahan potensial untuk LCP2B, dan lahan potensial untuk LP2B digunakan dalam proses ini. Selain itu lahan sawah nonpotensial LP2B, dan lahan penggunaan lain juga digunakan dalam analisis kawasan ini. Lahan sawah nonpotensial LP2B adalah lahan sawah tersedia yang tidak masuk dalam kriteria lahan potensial untuk LP2B sementara lahan penggunaan lain adalah lahan di luar ketiga lahan diatas. Lahan ini terdiri dari permukiman, hutan, perkebunan, tambak, pertambangan, bandara dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena dalam penentuan KP2B ini tidak hanya berdasarkan

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT)

PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT) J. Tanah Lingk., 14 (1) April 2012: 29-36 ISSN 1410-7333 PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT) Mapping of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH Kasdi Subagyono Pesatnya pembangunan sektor industri, perumahan, transportasi, wisata dan sektor perekonomian lainnya

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan padi sawah dengan lokasi penelitian mencakup Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini terletak pada koordinat 104 48 00 BT

Lebih terperinci

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng wiwifadly@gmail.com ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah enganalisis dan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

KAJIAN PROYEKSI KEBUTUHAN PANGAN DAN LAHAN PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN DAERAH DI KOTA TASIKMALAYA

KAJIAN PROYEKSI KEBUTUHAN PANGAN DAN LAHAN PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN DAERAH DI KOTA TASIKMALAYA 181 /Sosial Ekonomi Pertanian LAPORAN PENELITIAN DOSEN MADYA KAJIAN PROYEKSI KEBUTUHAN PANGAN DAN LAHAN PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN DAERAH DI KOTA TASIKMALAYA TIM PENELITI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN A. Landasan Hukum Memahami pentingnya cadangan pangan, pemerintah mengatur hal tersebut di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, khususnya dalam pasal

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan 219 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data ketersediaan sawah dari BPS dan hasil analisis kebutuhan lahan sawah diketahui bahwa kebutuhan lahan sawah domestik dan kebutuhan total

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya. Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG 1 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS KRITERIA, PERSYARATAN, DAN TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PROVINSI JAWA TENGAH

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan Pertanian merupakan pembangunan yang terpenting dari keseluruhan pembangunan ekonomi yang ada di Indonesia, apalagi semenjak sektor pertanian menjadi penyelamat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010 Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010 Teori Thomas Robert Malthus yang terkenal adalah tentang teori kependudukan dimana dikatakan bahwa penduduk cenderung meningkat secara deret

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah

Kajian. Hasil Inventarisasi LP2B. Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Kajian Hasil Inventarisasi LP2B Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa tengah Sub Direktorat Basis Data Lahan Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian 2014

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal. Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal. Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Analisis Lingkungan Eksternal Terigu adalah salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh konsumen rumah tangga dan industri makanan di Indonesia. Tepung terigu banyak digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

Mempertahankan Tanah Agraris

Mempertahankan Tanah Agraris Mempertahankan Tanah Agraris Oleh: Ir. Tunggul Iman Panudju, M.Sc, Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Kementerian Pertanian Tarik-menarik kepentingan telah banyak mengubah fungsi lahan. Keberpihakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Musyawarah perencanaan pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan pembangunan pertanian periode 2005 2009 dilaksanakan melalui tiga program yaitu :

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting

BAB I PENDAHULUAN. Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi isu penting dalam pembangunan pertanian Indonesia masa depan mengingat pesatnya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang terus tumbuh berimplikasi pada meningkatnya jumlah kebutuhan bahan pangan. Semakin berkurangnya luas lahan pertanian dan produksi petani

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim BAB I PENDAHULUAN Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim global yang menuntut Indonesia harus mampu membangun sistem penyediaan pangannya secara mandiri. Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN ISSN 0216-8138 52 DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN Oleh I Ketut Suratha Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja-Bali Abstrak

Lebih terperinci