PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN"

Transkripsi

1 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN Sawitri Endah Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti dan D. Piedrafita* Balai Penelitian Veteriner, Jl. Martadinata, Bogor 64 *Centre for Animal Biotechnology, Melbourne University, Australia ABSTRACT S.E. Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti and D. Piedrafitas. 4. Development of Diagnosis Technique for Fasciolosis in Cattle Using Monoclonal antibody in Capture ELISA to Detect Antigen. The purpose of this study was to develop and implement an improved test for diagnosis of fasciolosis in cattle for antigen detection using monoclonal antibody to Fasciola in capture ELISA. In order to do this work and develop this assay, a large reagents have been collected and generated. This included the collection of Fasciola gigantica Excretory/Secretory antigen, recombinan Cathepsin L, polyclonal and monoclonal antibodies. Development of two sites antigen capture ELISA using monoclonal antibodies have been standardised and applied to the abattoir and field samples. Blood for serum, fecal samples and livers were collected from 5 cattle slaughtered at the abattoir. From each animal, livers were processed for the determination of total Fasciola parasites numbers and the corresponding faecal and serum samples were analysed for coproantigen and anti-fasciola antibodies, respectively. A field study was also undertaken in villages in Yogyakarta. A total of 5 cattle from regencies in Yogyakarta were monitored, the blood (for serum) and faecal samples from the same cattle were collected monthly for a months period. The serum and faecal samples were also analysed as the same as abattoir samples. Coproantigen was detected using monoclonal antibodies raised against Fasciola ES antigen (one monoclonal for capture and one biotinylated monoclonal for detection). Anti-Fasciola antibody in serum was detected by coating ELISA plate with F. gigantica ES antigen, followed by incubating serum from cattle and detected with HRP-conjugated anti-bovine IgG commercial antibody. The result show that the sensitivity and specificity of coproantigen detection were 95% and 9% respectively, is comparable with indirect ELISA for detection of anti-fasciola antibody in serum (9% and 88% respectively). In addition, the two-sites capture ELISA had the best positive correlation between increasing worm burdens and increasing absorbance value compared with anti-fasciola antibodies in serum. Furthermore, results from field study show that most animals from regencies in Yogyakarta were found to be infected with F. gigantica over the study, as determined by two-site capture ELISA. The incidence of Fasciola infection was high and a mean 4-9% in Bantul region and between 5-78% in Kulon Progo region. This capture assay will have the advantage over the conventional indirect ELISA for the detection of anti-fasciola antibody in serum currently available in Indonesia, in that patent infections in cattle will be identified. Collection of faeces rather than serum will also allow a more cost-effective and adaptable assay. We purpose to use this assay as a diagnostic determining patent infection in the near future. Key words: Fasciolosis, diagnosis, ELISA, monoclonal antibody. ABSTRAK S.E. Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti and D. Piedrafitas. 4. Pengembangan Teknik Diagnosis Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam Capture ELISA untuk Deteksi Antigen. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan uji capture-elisa, yang merupakan uji diagnosis fasciolosis pada sapi dengan cara mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi monoklonal Fasciola. Sebagai pendukung uji tersebut maka beberapa reagen perlu dihasilkan dan dikoleksi, seperti Fasciola gigantica ES antigen (FgESAg), recombinant CatL antigen (rcatl Ag), polikolonal dan monoklonal antibodi.

2 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Uji capture-elisa ini distandarisasi dan diaplikasikan pada sampel hewan sapi dari rumah potong hewan (RPH) dan dari lapangan. Dari RPH diperoleh 5 sampel sapi yang terdiri dari serum darah yang akan diuji anti-fasciola antibodi, feses yang akan diuji kandungan antigennya dan hati untuk diproses dan dikoleksi cacing F.gigantica yang ada di dalamnya. Sedangkan dari lapangan yang berlokasi di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, diperoleh 5 sampel sapi yang terdiri dari serum dan feses. Sampel dari sapi yang sama tersebut dikoleksi setiap bulan selama bulan. Antigen dalam feses dideteksi dengan menggunakan monoklonal antibodi terhadap FgESAg (monoklonal yang tidak dilabel untuk capture dan monoklonal yang dilabel dengan biotin untuk deteksi). Anti-Fasciola antibodi dideteksi dengan cara melapisi cawan ELISA dengan FgESAg, lalu serum sampelnya diinkubasikan dan antibodinya dideteksi dengan HRP-conjugated anti-bovine IgG komersial. Hasilnya menunjukkan bahwa uji antigen dalam feses sensitifitasnya 95 % dan spesifisitasnya 9 %. Sedangkan uji antibodi dalam serum sensitifitasnya 9 % dan spesifisitasnya 88 %. Berdasarkan uji capture-elisa terhadap sampel dari lapangan diketahui bahwa kasus kejadian fasciolosis di Bantul antara 4-9 % dan di Kulon Progo antara 5-7 %. Uji capture-elisa menunjukkan hasil yang lebih baik dan memberikan korelasi positif antara peningkatan kadar antigen dalam feses dan jumlah cacing F. gigantica dalam hati sapi dibandingkan dengan uji antibodi dalam serum. Sehubungan dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dan kemudahan dalam pengambilan sampel hewan (feses) dari uji capture-elisa dibandingkan dengan uji antibodi dalam serum, maka uji diagnosis fasciolosis dengan capture ELISA ini akan digunakan di Indonesia di masa yang akan datang Key words: Fasciolosis, diagnosis, ELISA, antobodi monoklonal. PENDAHULUAN Fasciolosis merupakan salah satu penyakit parasiter yang menyerang ternak ruminansia. Di daerah tropis penyakit ini disebabkan oleh infeksi cacing hati Fasciola gigantica, sedangkan di daerah temperate disebabkan oleh F. hepatica (Boray, 985). Di Indonesia, prevalensi fasciolosis antara 6-9% (Edney dan Muchlish, 96; Suhardono et al., 99). Kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 5,6 milyar setiap tahun (Anonymous, 99), berupa kerusakan hati yang harus diafkir, kekurusan dan penurunan tenaga untuk membajak sawah. Diagnosa fasciolosis pada umumnya berdasarkan penemuan telur cacing dalam feses hewan yang terinfeksi (Boray, 985). Akan tetapi jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam feses akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa, dan telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mencapai dewasa. Cacing hati mulai produksi telur biasanya antara minggu ke -4 setelah hewan terinfeksi F. hepatica (Armour et al., 974) dan F. gigantica pada minggu ke -8 setelah infeksi. Pendekatan alternatif untuk diagnosa fasciolosis adalah dengan pemeriksaan serologi untuk deteksi antibodi terhadap Fasciola spp dengan menggunakan antigen yang spesifik (Hillyer et al., 99; Hillyer, 99) yang umumnya dengan uji ELISA. Antibodi F. hepatica dengan uji ELISA dapat dideteksi antara minggu ke -6 setelah infeksi pada saat larva cacing migrasi ke hati (Marin, 99). Namun uji ini masih ada kekurangannya, karena titer antibodi yang tinggi hanya bisa untuk menunjukkan bahwa hewan tersebut pernah terinfeksi akan tetapi tidak bisa menunjukkan bahwa hewan tersebut sedang terinfeksi oleh Fasciola (infeksi aktif). Selanjutnya, hewan yang sudah diberi obatpun tetap menunjukkan titer yang tinggi terhadap Fasciola (Ibarra et al., 998). Maka dari itu perlu dikembangkan teknik diagnosa fasciolosis yang bisa mendeteksi adanya infeksi aktif. Salah satu teknik tersebut adalah dengan capture ELISA untuk mendeteksi adanya antigen dalam serum atau feses yang dikeluarkan oleh cacing F. gigantica. Abdel-Rahman et al (998) melaporkan bahwa capture ELISA untuk deteksi coproantigen merupakan diagnosa Fasciola dengan memeberikan hasil yang sensitif, spesifik dan cepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menerapkan teknik diagnosa fasciolosis pada sapi untuk deteksi antigen F. gigantica dengan antibodi monoklonal dalam capture ELISA. 4

3 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 MATERI DAN METE Dalam pengembangan capture ELISA digunakan pendekatan yaitu: Capture ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal dan capture ELISA dengan menggunakan antibodi poliklonal. Untuk pengembangan capture ELISA tersebut diperlukan antigen Fasciola baik dari cacing dewasa (Ekskretori/Sekretori, ES antigen) ataupun ekspresi dari rekombinan protein Fasciola (rcatl), monoklonal dan poliklonal antibodi.. Produksi Exkretori/Sekretori (ES) antigen F. gigantica Metode pembuatan antigen ES dari cacing F. gigantica dewasa sama seperti yang telah diuraikan oleh Wijffels et al (994) setelah dimodifikasi sebagai berikut: Cacing F. gigantica dewasa dikoleksi dari saluran empedu pada hati sapi yang dipotong di RPH. Cacing hati yang masih dalam keadaan hidup ditempatkan dalam kontainer yang berisi larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) dan diinkubasikan pada suhu 7 C selama 5- menit (kira-kira 5 ekor cacing setiap ml PBS). Cacing yang sudah terlihat bersih dipindahkan ke dalam kontainer yang berisi media RPMI yang mengandung antibiotik yang bersuhu 7 C selam menit. Selanjutnya, semua cacing hati yang masih hidup dan bersih dipindahkan lagi ke dalam medium RPMI yang baru dan diinkubasikan selama 4-6 jam pada suhu 7 C. Setelah inkubasi larutan yang telah mengandung ES antigen disentrifugasi dan disimpan dalam suhu C sampai digunakan.. Produksi rcatl antigen Cara isolasi rcatl sebagai berikut: Inokulasi kultur sel yang mengandung CatL ke dalam 5 ml minimal medium (,67% yeast nitrogen base, % gliserol,,% urasil dan,% lisin) dalam tabung erlemeyer dan dibiarkan malam sambil di goyang (shaker) pada suhu 8 C. Setelah pertumbuhan sel cukup bagus, kultur sel tersebut ditransfer ke dalam 95 ml enriched medium ( % dextrose/glucose, % gliserol, mm CaC, % yeast extract and 8% peptone), lalu diinkubasikan selam malam (7 jam) pada suhu 8 C sambil di shaker. Setelah inkubasi malam, larutan sel tersebut disentrifuse dengan kecepatan 5 rpm selama menit pada suhu 4 C, kemudian supernatan didialisa dengan starter buffer (mm Imidazole, 5 mm NaH PO 4 dan,5 M NaCl) ph 7,6 dan dilakukan 4 kali penggantian buffer. Setelah dialisa larutan disentrifuse dengan kecepatan 5 rpm selama menit pada suhu 4 C, selanjutnya cairan ditampung untuk dilakukan purifikasi dengan menggunakan HiTrap column.. Produksi antibodi poliklonal Antibodi poliklonal diproduksi dengan cara melakukan imunisasi pada kelinci dan ayam dengan antigen ES atau rcatl. Jadwal imunisasi sebagai berikut: minggu ke : imunisasi dengan antigen ( µg) Quil A ( µg) minggu ke 4 : imunisasi dengan antigen ( µg) Quil A ( µg) minggu ke 6 : imunisasi dengan antigen ( µg) Quil A ( µg) minggu ke 8 : imunisasi dengan antigen ( µg) Quil A ( µg) minggu ke : ELISA Setelah minggu ke atau setelah titer antibodi pada kelinci dan ayam tinggi, antibodi poliklonal dikoleksi sebanyak mungkin. Antibodi poliklonal kelinci dikoleksi dari darah jantung, sedangkan pada ayam dikoleksi dari kuning telur. 4. Antibodi monoklonal Antibodi monoklonal terhadap antigen Fasciola diperoleh dari WEHI, Australia. Untuk capture ELISA antibodi monoklonal tersebut juga dilabel dengan biotin. 5

4 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 5. Standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal Standarisasi capture ELISA dilakukan dengan menggunakan antigen ES/rCatL yang sudah diketahui konsentrasinya sebelum digunakan untuk menguji sampel. Antibodi monoklonal yang tidak dilabel digunakan sebagai capture dan antibodi monoklonal yang sudah dilabel dengan biotin digunakan sebagai secondary antibody. Selanjutnya, untuk deteksi antigen F. gigantica dilakukan dengan cara mencampurkan antigen dengan konsentrasi yang telah ditentukan ke dalam serum atau larutan feses dari sapi yang negatif F. gigantica. Cara menyiapkan larutan feses untuk deteksi antigen menurut Espino et al (99) sbb: Feses dihancurkan dengan menggunakan mortar supaya homogen. Kemudian gram feses yang sudah homogen dilarutkan dalam ml larutan PBST % dan diaduk dengan vortek dan kecepatan tinggi. Selanjutnya, larutan feses tersebut disentrifugasi dengan kecepatan tinggi selama menit pada suhu 4 C. Supernatan dikoleksi dan disimpan dalam suhu C sampai digunakan. 6. Aplikasi capture ELISA i) Menentukan nilai cut-off Nilai cut-off ditentukan dengan cara menghitung rata-rata nilai optical density () dari sampel negatif (feses dan serum) dari sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) ditambah kali standar deviasi (std). Hasil penghitungan cut-off adalah,. Selanjutnya sampel feses yang mempunyai nilai >, dinyatakan terinfeksi aktif F. gigantica ii) Analisis sampel dari RPH Seratus lima puluh sampel darah, feses dan hati diambil dari sapi yang dipotong di RPH. Hati sapi diproses untuk menentukan jumlah cacing hati yang yang terdapat di dalam hati, feses diproses untuk deteksi antigen dan pemeriksaan telur cacing, sedangkan sampel darah diproses untuk diambil serum dan diperiksa antibodi F. gigantica. iii) Analisis sampel dari lapangan Survey lapangan dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana prevalensi fasciolosis cukup tinggi. Tiga ratus lima ekor sapi di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul telah dimonitor untuk diambil sampel darah dan feses. Pengambilan sampel dilakukan sebulan sekali selama bulan. Sampel darah diproses untuk koleksi serum dan diperiksa antibodi terhadap F. gigantica, sedangkan feses diproses untuk diperiksa adanya telur dan antigen F. gigantica. 7. Validasi capture ELISA Dalam melakukan validasi capture ELISA digunakan hewan percobaan domba sebanyak 7 ekor yang diinfeksi dengan metaserkaria F. gigantica, dan ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif. Antibodi F. gigantica dalam serum dan antigen F. gigantica dalam feses dimonitor pada saat infeksi (minggu ke ) dan setiap minggu sesudah infeksi. Setelah level antibodi dan antigen cukup tinggi domba diobati dengan fasinex, selanjutnya antibodi dan antigen tetap dimonitor sampai antigen tidak terdeteksi lagi dalam feses. HASIL DAN PEMBAHASAN Antigen ES F. gigantica terdiri dari beberapa protein dengan berat molekul antara 7,-75 kda (Gambar ). Protein yang dominan yang terlihat pada SDS-PAGE berukuran sekitar 7-75 kda, 5-54 kda dan 7- kda. Adapun rcatl hanya mempunyai satu protein yang berukuran sekitar 5 kda (Gambar ). Pada reaksi 6

5 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 immunoblotting, serum anti-rcatl poliklonal kelinci bereaksi dengan protein yang berukuran sekitar 4 kda dan 5 kda (Gambar ), sedangkan pada serum kelinci normal tidak bereaksi. Hasil titrasi serum poliklonal kelinci dan ayam dipaparkan pada Gambar 4a, b, c dan d. Ada perbedaan respon antibodi pada serum kelinci antara yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi, sedangkan antara ayam yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi tidak berbeda. Hal ini disebabkan karena tingginya background pada cawan ELISA, kemungkinan karena ada kontaminasi protein yang tidak spesifik saat purifikasi antibodi dalam kuning telur dan turunnya sensitifitas dari metode tersebut. Pemakaian serum poliklonal dalam capture ELISA, dengan menggunakan poliklonal ayam sebagai capture (yang dikotingkan ke cawan ELISA), yang diikuti dengan serum poliklonal kelinci (secondary antibody) memberikan hasil yang sama antara kontrol positif dan negatif. Sedangkan, apabila serum poliklonal kelinci sebagai capture yang diikuti dengan poliklonal ayam terlihat ada perbedaan antara kontrol positif dan negatif (data tidak ditampilkan). Perbedaan ini tetap ada pada saat digunakan untuk menguji sampel feses maupun serum. Hasil ini memberikan harapan bahwa diagnosa fasciolosis dengan capture ELISA bisa dikembangkan dengan menggunakan antibodi poliklonal. Akan tetapi, implementasi dari uji ini masih memerlukan peningkatan sensitifitasnya yang hanya bisa dicapai dengan melakukan purifikasi dengan memisahkan antibodi yang spesifik dari antibodi yang tidak spesifik di dalam serum kelinci atau kuning telur. Misalnya dengan teknik presipitasi alumunium sulfat atau afinity purification. Purifikasi terhadap poliklonal antibodi telah dilakukan akan tetapi tidak berhasil mendapatkan antibodi dengan konsentrasi protein yang tinggi. Sementara itu, antibodi monoklonal sudah siap dan telah berhasil mengenal antigen ES F. gigantica. Selanjutnya untuk menguji sampel lapangan dalam capture ELISA akan digunakan antibodi monoklonal. Hasil titrasi antibodi monoklonal dapat dilihat pada Gambar 5a dan 5b, hanya antibodi monoklonal (A, C dan D) yang mempunyai titer tinggi terhadap antigen ES, sebaliknya, ke 4 antibodi monoklonal tersebut tidak bereaksi terhadap antigen rcatl (Gambar 6a dan 6b). Hasil ini memperlihatkan bahwa antibodi monoklonal tersebut sangat dominan dalam mendeteksi antigen ES daripada antigen rcatl F. gigantica. Antibodi monoklonal yang telah dilabel dengan biotin juga bereaksi dengan antigen ES (Gambar 7) yang selanjutnya akan dipakai dalam capture ELISA untuk menguji sampel feses atau serum sapi dari lapangan. Selanjutnya, hasil standarisasi capture ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal non-biotin dan antibodi monoklonal biotin dipaparkan pada Tabel. Berdasarkan hasil pada Tabel menunjukkan bahwa kombinasi antara antibodi monoklonal A non-biotin sebagai capture (:8;,5 µg/ml) dan dideteksi dengan antibodi monoklonal C biotin (:8;,6µg/ml) memberikan hasil yang paling bagus (titer tinggi) (Gambar 8). Hasil capture ELISA dengan menggunakan sampel serum ataupun feses dari sapi yang negatif F. gigantica setelah penambahan antigen ES dapat dilihat pada Gambar 9. Uji ini mampu mendeteksi antigen ES dalam feses, tetapi sebaliknya tidak pada serum. Hasil ini menunjukkan bahwa deteksi antigen ES dalam feses lebih sensitif dibanding deteksi antigen ES dalam serum, dan mempunyai keunggulan karena pengambilan sampel feses lebih praktis dan cepat dibanding pengambilan sampel serum serta memerlukan biaya yang lebih murah. Maka dari itu untuk menguji sampel dari RPH maupun dari lapangan dengan capture ELISA hanya akan diterapkan pada sampel feses saja. Berdasarkan hasil survey dari RPH Jakarta, 9 (6,%) dari 5 ekor sapi yang dipotong terinfeksi F. gigantica dalam hatinya. Jumlah cacing yang ditemukan antara -46 cacing per ekor sapi yang berukuran antara 6-48 mm (Gambar ). Nilai cut-off pada capture ELISA ditentukan dengan cara menghitung nilai rat-rata dari ekor sapi yang negatif F. gigantica (negatif cacing dalam hati, negatif telur cacing dalam feses dan negatif antibodi dalam serum) ditambah kali std yang memberikan hasil, (Tabel ). Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, sapi yang sampel fesesnya mempunyai nilai >, dinyatakan terinfeksi F. gigantica. Selanjutnya hasil pemeriksaan sampel feses dari RPH dengan capture ELISA untuk deteksi antigen F. gigantica dapat dilihat pada Tabel yang memperlihatkan bahwa sensitifitas dan spesifisitas dari uji tersebut masing-masing adalah 95% dan 9%. Hasil pemeriksaan telur cacing dalam 7

6 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 feses terpapar pada Tabel 4 yang memperlihatkan bahwa 9 (6.%) dari 5 ekor sapi yang dipotong di RPH positif cacing dalam hatinya tetapi hanya 5% sapi-sapi tersebut ditemukan telur dalam fesesnya. Hasil pemeriksaan antibodi ELISA pada serum sapi dari RPH ada pada Tabel 5, dimana sensitifitas dari uji tersebut adalah 9% sedangkan spesifisitasnya adalah 88%. Korelasi antara antigen dalam feses dengan jumlah cacing dalam hati lebih bagus daripada korelasi antara antibodi dalam serum dengan jumlah cacing dalam hati (Gambar &). Diagnosa fasciolosis pada sapi dengan menggunakan antibodi monoklonal untuk deteksi antigen ES telah dilaporkan oleh Fafbemi et al (995) dan Dumenigo et al. (996) yang menyatakan bahwa antigen dalam serum dapat terdeteksi pada minggu ke - setelah infeksi. Tingkat infeksi pada hewan dapat diketahui dengan mengukur banyaknya antigen Fasciola yang berada dalam feses maupun serum hewan yang terinfeksi (Fagbemi dan Guobadia, 995). Pada penelitian ini telah dipaparkan bahwa capture ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal untuk deteksi antigen F. gigantica dalam serum sapi memberikan hasil yang tidak sebagus deteksi antigen dalam feses. Hasil ini sama dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Abdel-Rahman et al (998) bahwa deteksi antigen F. gigantica dalam feses lebih sensitif dibandingkan deteksi antigen dalam serum. Berdasarkan laporan Espino dan Finlay (994) dan Dumenigo et al (996) ada korelasi antara jumlah antigen dalam feses dengan jumlah cacing dewasa dalam hati. Dari laporan ini terlihat bahwa deteksi antigen dalam feses dengan capture ELISA bisa untuk menentukan adanya infeksi aktif F. gigantica. Dari hasil-hasil yang telah dipaparkan terlihat bahwa deteksi antigen dalam feses pada hewan yang terinfeksi F. gigantica memberikan hasil yang lebih bagus dan akurat yang mempunyai beberapa keunggulan daripada uji serologi. Pada uji serologi membutuhkan tabung venojek dan jarum untuk pengambilan darah sehingga membutuhkan biaya yang mahal, sedangkan untuk deteksi antigen dalam feses hanya memerlukan kantong plastik untuk koleksi feses. Keuntungan yang lainnya adalah pada capture ELISA hanya mendeteksi adanya infeksi aktif fasciola pada hewan. Hasil dari survey lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo, Yogyakarta selama bulan pengamatan didapatkan bahwa sapi-sapi di daerah tersebut terinfeksi F. gigantica. Persentase sapi yang positif antigen dan telur F. gigantica di kedua daerah tersebut dipaparkan pada Gambar &4. Kejadian fasciolosis berdasarkan deteksi antigen dalam feses di Kabupaten Bantul antara 4-9% dan di Kulon Progo antara 5-78% (Gambar ), sedangkan berdasarkan pemeriksaan telur cacing kejadian fasciolosis di daerah tersebut lebih rendah (Gambar 4). Berdasarkan jenis sapi, sapi Ongole lebih peka terhadap infeksi F. gigantica dibanding sapi Simental dan Limosin meskipun di Kabupaten Bantul pada akhir pengamatan persentase sapi yang terinfeksi hampir sama ± 9% (Gambar 5 dan 6). Wiedosari et al (999) juga melaporkan bahwa sapi Ongole lebih peka terhadap infeksi F. gigantica dibanding sapi Bali dan Kerbau. Penemuan telur cacing dalam feses lebih fluktuatif dibanding dengan deteksi antigen dalam feses sehingga penemuan telur dalam feses bukan sebagai indikator yang bagus untuk deteksi adanya infeksi F. gigantica pada sapi. Diagnosa fasciolosis dengan capture ELISA untuk deteksi antigen dalam feses merupakan diagnosa yang lebih tepat untuk mendeteksi adanya infeksi aktif F. gigantica pada sapi dan merupakan diagnosa yang simpel, cepat dan akurat. Hasil validasi capture ELISA pada hewan percobaan terlihat bahwa antigen ES F. gigantica dalam feses mulai terdeteksi pada 4 ekor domba pada minggu ke 5 setelah infeksi, dan pada minggu ke 7 setelah infeksi semua domba yang diinfeksi positif antigen dalam fesesnya. Level antigen dalam feses tertinggi dicapai pada minggu ke 4 setelah infeksi dan minggu setelah domba diobati level antigen sudah tidak terdeteksi lagi dalam feses (Gambar 7). Sedangkan antibodi dalam serum mulai terdeteksi pada minggu ke setelah infeksi dan mencapai level yang tertinggi pada minggu ke 9-4 setelah infeksi. Antibodi mulai turun pada minggu ke setelah domba diobati tapi levelnya masih tetap tinggi (± = ) (Gambar 8). Adapun, telur cacing F. gigantica mulai terdeteksi pada minggu ke 5 setelah infeksi dan satu minggu setelah diobati telur sudah tidak terdeteksi lagi dalam feses (data tidak ditampilkan). Domba yang tidak diinfeksi tetap negatif selama pengamatan. Dari hasil tersebut terlihat bahwa diagnosis secara konvensional dengan pemeriksaan telur dalam feses hanya bisa dicapai setelah cacing dewasa/mulai produksi telur (5 minggu setelah infeksi). Sedangkan, diagnosis dengan capture ELISA, antigen dalam feses mulai terdeteksi pada minggu ke 5 setelah infeksi, dan mencapai puncaknya pada minggu ke 4 setelah cacing dewasa. 8

7 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Positif diagnosis ini tetap terdeteksi selama hewan terinfeksi dan menjadi negatif setelah hewan diobati (cacing tereliminasi), sedangkan antibodi tetap tinggi walaupun hewan telah diobati. Jadi, diagnosis dengan capture ELISA untuk deteksi antigen dalam feses memiliki keunggulan daripada deteksi antibodi dalam serum, karena bisa untuk mendeteksi adanya infeksi aktif sehingga pengobatan bisa dilakukan secara efektif/pada hewan yang terinfeksi saja. Selain itu pengambilan sampel feses lebih mudah dilakukan dibanding pengambilan serum yang memerlukan keahlian, selain itu juga memerlukan biaya yang lebih. Gambar. Gambaran protein ES antigen Gambar. Gambaran protein rcatl antigen F. gigantica K Da M W K Da MW = berat molekul (marker) MW = berat molekul (marker) = ES antigen = rcatl antigen M W Gambar. Immunoblotting M K W MW = berat molekul (marker) = rcatl antigen diprobe dengan anti-rcatl poliklonal kelinci = rcatl diprobe dengan serum kelinci normal 9

8 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, Gambar 4a. Titrasi anti-es poliklonal kelinci /5 / Respon anti-es poliklonal kelinci / /4 /8 /6 Titrasi serum R anties sera R NS / /64 /8 /56 /5 /4 Gambar 4b. Titrasi anti-rcatll poliklonal kelinci /5 / R anticatl sera R NS / /4 /8 /6 Titrasi serum / /64 /8 /56 /5 /4 Gambar 4c. Titrasi anti-es poliklonal ayam /5 / / /4 /8 /6 Titrasi kuning telur chick anties chick NS / /64 /8 /56 /5 /4

9 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar 4d. Titrasi anti-rcatll poliklonal ayam /5 / / /4 /8 Titrasi kuning telur chick anti-catl chick NS /6 / /64 /8 /56 /5 /4 Gambar 5a. Titrasi antibodi monoklonal A dan B terhadap ES antigen :5 / / /4 /8 /6 / Titrasi Mab Mab AES Mab A-ES Mab BES Mab B-ES /64 /8 /56 /5 /4 Gambar 5b. Titrasi antibodi monoklonal C dan D terhadap ES antigen :5 / / /4 /8 /6 / Titrasi mab Mab CES Mab C-ES Mab DES Mab D-ES /64 /8 /56 /5 /4

10 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar 6a. Titrasi antibodi monoklonal A dan B terhadap rcatl antigen :5 / / /4 /8 /6 / /64 Dilution of Mab Mab AcatL Mab A-catL Mab BcatL Mab B-catL /8 /56 /5 /4 Gambar 6b. Titrasi antibodi monoklonal C dan D terhadap rcatl antigen :5 / / /4 /8 /6 / /64 Dilution of Mab Gambar 7. Titrasi antibodi monoklonal biotin Mab CcatL Mab C-catL Mab DcatL Mab D-catL /8 /56 /5 / /5 / / /4 /8 /6 Dilution of Mabs / /64 /8 /56 /5 /4 MabAES MabACatL MabCES MabCCatL MabDES MabDCatL

11 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Tabel. Hasil standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal Capture Mabs A :4 :8 :6 : C :4 :8 :6 : D :4 :8 :6 : Antibodi Monoklonal biotin C D Pengenceran :4 :8 :6 :4 :8 :6 = bagus (deteksi antigen.6 µg/ml) = sedang (deteksi.5-.5 µg/ml) = tidak bagus (deteksi > 5 µg/ml) A A D C Gambar 8. Standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal terhadap ES antigen Capture ELISA (Mab A sebagai capture, deteksi dengan Mab C biotin) Pengenceran antigen (ug/ml)

12 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar 9. Standarisasi capture ELISA pada feses dan serum negatif.5.5 FesesES FesesCatL SerumES SerumCatL Pengenceran antigen ug/ml. Gambar. Jumlah dan panjang cacing hati Jumlah cacing Rata-rata panjang cacing (mm) Tabel. Nilai cut-off capture ELISA Gr up Nomor hewan Rata-rata sd -.9,.,.4,.,.,.8,.,.,.,..6 ±.4 -.,.8,.,.,.5,.,.9,.,.9,. ± ,.,.4,.5,.,.,.,.,.,.,.7,..75 ±.4 Nilai rata-rata semua hewan =, ±, ; nilai cut-off =, x (x,) =, 4

13 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Tabel. Jumlah sapi yang positif (>.) dan negatif (<.) terhadap antigen F. gigantica dalam feses berdasarkan uji capture ELISA Ag ELISA Fluke positif Fluke negatif Total Positif Negatif Total Sensitifitas : 87/9 x % = 95 % Spesifisitas : 5/58 x % = 9 % Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing F. gigantica dalam feses sapi RPH Positif telur F. gigantica Negatif telur F. gigantica Fluke positif Fluke negatif Total 8 8 (5,7%) 58 7 Total 9 (6,%) 58 5 Tabel 5. Jumlah sapi yang positif (>.8) dan negatif (<.8) antibodi ELISA Ab ELISA Fluke positif Fluke negatif Total Positif Negatif Total Sensitifitas : 84/9 x %= 9 % Spesifisitas : 5/58 x % = 88 % Gambar. Korelasi antara antigen dalam feses dengan jumlah cacing dalam hati Antigen absorben ().5.5 y =.6x.68 R = Jumlah cacing hati 5

14 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar. Korelasi antara antibodi dalam serum dengan jumlah cacing dalam hati Antibodi absorben ).5 y =.5x.69 R = Jumlah cacing hati Gambar. Persentase sapi yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo % positif antigen ELISA August Sept Waktu pengambilan Oct Dec Jan Feb March April/May Bantul Kulon Progo June July Gambar 4. Persentase sapi yang positif telur F. gigantica di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo 8 % positif telur 6 4 August Sept Waktu pengambilan Oct Dec Jan Feb March April/May Bantul Kulon Progo June July 6

15 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar 5. Persentase sapi (berdasarkan jenis) yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten Bantul % of positive antigen ELISA August Sept Oct Dec Jan Feb Time of collection Ongole Simental Limosin March April/May June July Gambar 6. Persentase sapi (berdasarkan jenis) yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten Kulon Progo % of positive antigen ELISA August Sept Oct Time of collection Dec Jan Feb March April/May June July Ongole Simental Limosin 7

16 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Gambar 7. Respon antigen dalam feses pada domba yang diinfeksi F. gigantica Weeks after challenge Treated ctrl ctrl Gambar 8. Respon antibodi dalam serum pada domba yang diinfeksi F. gigantica Weeks after challenge Treated ctrl ctrl DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 99. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta. Abdel-Rahman, S.M., K.L. O Reilly and J.B. Malone (998). Evaluation of diagnostic monoclonal antibodybased capture enzyme-linked immunosorbent assay for detection of a 6-to 8-kd Fasciola hepatica coproantigen in cattle. Am.J. for Vet. Res., 59(5):5-57 8

17 Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 Boray, J.C Flukes of domestic animals. In:Gaafar, S.M., Howard, W.E. and Marsh, R.E. (Eds), Parasites, Pests and Predators. Elsevier, New York, pp Domenigo, B.E., Espino, A.M. and C.M.Finlay (996). Detection of Fasciola hepatica antigen in cattle faeces by a monoclonal antibody-based sandwich immunoassay. Res. Vet. Sci., 6:78-79 Edney, J.M. and A. Muchlis (96). Fascioliasis In Indonesian Livestock. Com.Vet., 6:49-5 Espino, A.M., R. Marcet and C.M. Finlay (99). Detection of circulating excretory-secretory antigens in human fascioliasis by sandwich linked immonosorbent assay. J. of Clin. Microb., 8:67-64 Espino, A.M. and C.M. Finlay (994). Sandwich enzyme-linked immunosorbent assay for detection of excretory-secretory antigens in humans with fascioliasis. J. Clin. Microbiol., :9-9 Fagbemi, B.O., I.O. Obarisiagbon and J.V. Mbuh Detection of circulating antigen in sera of Fasciola gigantica infected cattle with antibodies reactive with a Fasciola-specific 88-kDa antigen. Vet. Parasitol., 58:5-46 Fagbemi, B.O. and E.E. Guobadia 995. Immunodiagnosis of fasciolosis in ruminant using a 8-kDa cysteine protease of Fasciola gigantica adult worms. Vet. Parasitol., 57:9-8 Hillyer, G.M., M. Soler DeGalanes, J. Rodriguez-Perez, J. Bjorland, M.S. DeLagrava, S.R. Guzman and R.T. Bryan. 99. Use of the falcon assay screening test-enzyme-linked immunosorbent assay (FAST-ELISA) and the enzyme-linked immonoelectrotransfer blot (EITB) to determine the prevalence of human of fascioliasis in the Bolivian Altiplano. Am. J. Trop. Med. Hyg., 46:6-69 Hillyer, G.V. 99. Serological diagnosis of Fasciola hepatica. Parasitol. al dia, 7:-6 Ibarra, F., N. Montenegro, Y. Vera, C. Boulard, H. Quiroz, J. Flores and P. Ochoa Comparison of three ELISA tests for sero-epidemiology of bovine fasciolosis. Vet. Parasitol., 77:9-6 Marin, M.S. 99. Epizootiologia de la fasciolosis bovine Asturias Identification y expresion de un antigeno unitario. Tesis Doctoral. Facultat de Biologia, Universidad de Oviedo Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael 99. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesian cattle. Trop. Anim. Health and Production, :7- Wiedosari, E., H. Hayakawa and B. Copeman Response of Buffalo, Ongole and Bali calves to infection with 5 metacercariae of Fasciola gigantica twice weekly for weeks. Second Annual Fasciolosis control coordination meeting. Davao, Southern Mindanao Wijfferls, G.L., L. Salvator, M. Dosen, J. Waddington, L. Wilson, C. Thompson, N. Campbell., J. Sexton., J. Wicker, F. Bowen, T. Friedel and T.W. Spithill Vaccination of sheep with purified cystein proteinases of Fasciola hepatica decreases worm fecundity. Exp. Parasitol., 78:-48 9

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi JITV Vol. 9 No. 1 Th. 2004 Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi S. ENDAH ESTUNINGSIH, S. WIDJAJANTI dan GATOT ADIWINATA

Lebih terperinci

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses JITV Vol. 11 No. 3 Th. 2006 Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box

Lebih terperinci

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 4. Th. 21 FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARYANTA

Lebih terperinci

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia (Diterima

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba S. WIDJAJANTI 1, S.E. ESTUNINGSIH 1, SUBANDRIYO 2, D. PIEDRAFITA 3 dan

Lebih terperinci

(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK

(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK STUDI KOMPARATIF RESISTENSI PADA DOMBA EKOR TIPIS INDONESIA (ITT), ST. CROIX, MERINO DAN PERSILANGAN ITT DAN ST. CROIX, TERHADAP INFEKSI FASCIOLA GIGANTICA S. WIDJAJANTI 1, S. E. ESTUNINGSIH 1, S. PARTOUTOMO

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR S. ENDAH ESTUNINGSIH dan S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI

PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI (The use of Fasciola gigantica Excretory/Secretory Antigen on ELISA Test for Detection of Cattle

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2 UJI IN VITRO DAYA BUNUH ANTISERUM ANTIBODI DOMBA PASCA INFEKSI FASCIOLA GIGANTICA DENGAN ADANYA SEL MAKROFAG TERHADAP CACING HATI HOMOLOG DAN HETEROLOG S. E. ESTUNINGSIH 1, S. WIDJAJANTI 1, S. PARTOUTOMO

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM YUNI YUPIANA Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM COMPARISON OF HI TEST AND ELISA FOR DETECTING ANTIBODY MATERNAL ND ON DAY OLD CHICK Oleh : Rahaju Ernawati* ABSTRACT This

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi TEKNIK IMUNOLOGI Ika Puspita Dewi 1 ELISA Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay 2 ELISA ELISA Test yang dirancang berdasarkan prinsip imunologi (Antigen antibodi) mengunakan label enzim yang dapat ditujukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica Ening Wiedosari Balai Besar Penelitian Veteriner, Jln. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 Tel. 0251-331048, e-mail:

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 31-38 Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in

Lebih terperinci

II. METODOLOGI PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana,

II. METODOLOGI PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Metode Pengumpulan Data 2.1.1. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION i PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012 Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION 090100116 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

PERBEDAAN KEPEKAAN KERBAU DAN SAM ONGOLE TERHADAP INFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA

PERBEDAAN KEPEKAAN KERBAU DAN SAM ONGOLE TERHADAP INFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA ` PERBEDAAN KEPEKAAN KERBAU DAN SAM ONGOLE TERHADAP INFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA ENING WIEDOSARI, S. WIDJAJANTI, dan S. PARTOUTOMO Balai Penelitian Veteriner Man R.E. Martadinata 30, P.O.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

I. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium. Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. 1 I. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2012 di Laboratorium Biokimia, Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia Fakultas Matematika

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR ISSN : 0853-1943 TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR Susceptibility of Bovine and Bubalis spp on Fasciola gigantica in Lhoong Sub-District

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Pemeliharaan ayam penelitian, aplikasi ekstrak temulawak dan vaksinasi AI dilakukan di kandang

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

III. METODE KERJA. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas 14 III. METODE KERJA A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari 2015

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY 46 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai bulan Desember 2012 di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) 36 LAMPIRAN 37 Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) Nilai toksisitas Non-Manusia : Rat LD50 oral 5,3 g / kg; Mouse LD50 oral 2 g / kg; Ip Mouse LD50 0,9-1,3 g / kg; LD50

Lebih terperinci

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denapasar pada tanggal 20 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat 27 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian proyek Hibah Penelitian Strategis Nasional di bidang gizi dan kesehatan yang diketuai oleh Marliyati (2009) dan dibiayai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 hingga Agustus 2007. Penangkapan polen dilakukan di kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan dan analisa

Lebih terperinci

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer dalam Meningkatkan Kualitas Semen Beku Kerbau Lumpur (Bubalzts bztbalis). Dibimbing oleh MOZES R. TOELlHERE sebagai Ketua, TUTY

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan 32 III. BAHAN DAN METODE 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 Januari 2015 di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung. 3. 2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009. Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yaitu

Lebih terperinci

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 vi ABSTRAK STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 Francine Anne Yosi, 2007; Pembimbing I: Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing II: July Ivone, dr. AIDS (Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.)

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.) Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation Vol. 2 No. 1 Juni 06 PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) B.J. Tuasikal 1, Suhardono

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X Uji Banding Kit Elisa Untuk Deteksi Antibodi Penyakit Jembrana (The Comparative Elisa Test For Detection Antibodies of Jembrana Disease) Ni Luh Putu Agustini 1, dan Rosmiati Wisindie 2 1. Balai Besar Veteriner

Lebih terperinci

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro Estuningsih et al.: Peran sel imunologi domba ekor tipis dalam membunuh cacing hati Fasciola gigantica secara in vitro Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bagan Alur Posedur Pembuatan Pakan Diet Tinggi Lemak. Dicampur rata sampai setengah padat

Lampiran 1. Bagan Alur Posedur Pembuatan Pakan Diet Tinggi Lemak. Dicampur rata sampai setengah padat Lampiran 1. Bagan Alur Posedur Pembuatan Pakan Diet Tinggi Lemak 81% Pakan Standar pellet 551 10% Lemak Kambing 1% Kuning Telur Dicampur rata sampai setengah padat Dibentuk berupa silinder dengan ukuran

Lebih terperinci

Y ij = µ + B i + ε ij

Y ij = µ + B i + ε ij METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai bulan September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Teknologi Hasil Ternak Perah dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

Ni Putu Eka Rosiana Dewi 1, A.A. Wiradewi Lestari 2, Wayan Sutirtayasa 2

Ni Putu Eka Rosiana Dewi 1, A.A. Wiradewi Lestari 2, Wayan Sutirtayasa 2 KARAKTERISTIK HASIL UJ I ANTIGEN NON-STRUKTURAL 1 (NS1)PADA PASIEN YANG DIDUGA DEMAM BERDARAH DENGUE DI LABORATORIUM RSU SURYA HUSADA PERIODE MEI SAMPAI OKTOBER TAHUN 2013 Ni Putu Eka Rosiana Dewi 1, A.A.

Lebih terperinci

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG Seminar Nasionai Peternakan dan Veleriner 2000 DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG SUHARDONO, Z. KOSASIH, dan SuDRAIAT Balai

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 Pengembangan metoda elisa untuk...(samarang, Made AJ, Sitti C, Malonda M & Intan T) PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 Elisa Method

Lebih terperinci

kalsium dengan menggunakan plasma darah yang ditambahkan pereaksi TCA pada berbagai ternak. Bahan Bahan yang digunakan meliputi : (1) Larutan Stronsiu

kalsium dengan menggunakan plasma darah yang ditambahkan pereaksi TCA pada berbagai ternak. Bahan Bahan yang digunakan meliputi : (1) Larutan Stronsiu PENETAPAN KALSIUM DALAM PLASMA DARAH DAN SERUM DARAH DENGAN TEKNIK AAS Eni Ariyani Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN. Mineral merupakan salah satu unsur yang sangat penting

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul LAPORAN PRAKTIKUM ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) NAMA PRAKTIKAN : - DEBBY MIRANI LUBIS - NITA ANDRIANI LUBIS TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul 09.00-17.00 WIB I. TUJUAN PRAKTIKUM:

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Karakterisasi Isolat L. plantarum dan Bakteri Indikator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini berlangsung selama tujuh bulan, yakni mulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2011. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Ilmu

Lebih terperinci

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation Vol. 2 No. 1 Juni 6 TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT M. Arifin Pusat Aplikasi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Desember 2011. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen

Lebih terperinci

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah SCREENING ANTIBODY Screening antibody test melibatkan pengujian terhadap serum pasien dengan dua atau tiga sampel reagen sel darah merah yang disebut sel skrining/sel panel. Sel panel secara komersial

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN 2007-2011 Eggi Erlangga, 2013. Pembimbing I : July Ivone, dr., M.KK., MPd.Ked. Pembimbing

Lebih terperinci

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL

UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL UJI KUALITATIF ETANOL YANG DIPRODUKSI SECARA ENZAMATIS MENGGUNAKAN Z. MOBILIS PERMEABEL Dian Pinata NRP. 1406 100 005 DOSEN PEMBIMBING Drs. Refdinal Nawfa, M.S LATAR BELAKANG Krisis Energi Sumber Energi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition)

UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition) UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition) SYAEFURROSAD, NENENG A, DAN NM ISRIYANTHI Balai Besar Pengujian Mutu dan

Lebih terperinci

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.)

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.) JITV Vol. 11 No. 4 Th. 06 Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.) BOKY JEANNE TUASIKAL 1 dan SUHARDONO 2 1 Pusat Aplikasi Teknologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November Penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-November 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Biomassa Jurusan Kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 13-21 Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Crude Antigen of Taenia saginata Cysticercus

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendidikan Biologi FPMIPA UPI dan protease Bacillus pumilus yang diperoleh

BAB III METODE PENELITIAN. Pendidikan Biologi FPMIPA UPI dan protease Bacillus pumilus yang diperoleh 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah proteas Bacillus subtilis diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Jurusan

Lebih terperinci