PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI (The use of Fasciola gigantica Excretory/Secretory Antigen on ELISA Test for Detection of Cattle Fasciolosis) Made Sriasih 1, Andayani GAS 2, Zuliadi L 3, Depamede SN 1 1 Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62, Mataram madesriasih@yahoo.co.nz 2 Laboratorium Imunobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62, Mataram 3 Rumah Potong Hewan Gerung - Lembar, Lombok Barat. ABSTRACT Fasciolosis, caused by Fasciola gigantica, on affected animals were generally not showing any spesific clinical symptoms so that the success to diagnose the disease as early as possible, especially on the pre-patent period/acute, is believed to be very helpful in disease control efforts. Early detection can be performed by serological tests such as Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) using antigens isolated from Fasciola worms. Among the sources of protein antigen, excretory/secretory antigen (ES antigen) has the properties that can be recognized by the immune response system thus it was more protective to boost immune response. This study aimed to examine the use of excretory/ secretory of F. gigantica especially for detection of Fasciolosis in cattle using the ELISA method. F. gigantica ES antigens were collected from the cows after slaughter at the abattoir, and then used to coat the microplate ELISA to measure antibody responses of cattle samples (n = 49). The ES antigen-based ELISA results compared to the finding of F. gigantica worms in the post-mortem examination has a sensitivity of 77.8% and a specificity of 41.9%. Results of this study suggested that the use of ES antigen on ELISA test has a quite high of sensitivity, although less specific. Nevertheless, the sensitivity of ELISA value of 77.8% indicated that ES antigen of F. gigantica has the potential to be used for detection of Fasciolosis. Key Words: F. Gigantica, Fasciolosis, ES Antigen, ELISA, Sensitivity ABSTRAK Fasciolosis pada ternak umumnya tidak memperlihatkan gejala klinis yang menciri. Keberhasilan untuk mendiagnosa adanya penyakit ini sedini mungkin terutama pada periode prepaten/akut diyakini akan sangat membantu dalam usaha pengendalian penyakit. Deteksi dini dapat dilakukan dengan uji serologi seperti Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan antigen yang diisolasi dari cacing Fasciola gigantica. Diantara sumber protein antigen, antigen ekskretori/sekretori (antigen ES) mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem tanggap kebal sehingga diduga lebih protektif untuk memacu respon tanggap kebal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan cairan ekskresi/sekresi F. gigantica untuk deteksi Fasciolosis terutama pada ternak sapi dengan mempergunakan metoda ELISA. Antigen ES F. gigantica dikoleksi dari sapi-sapi setelah pemotongan di rumah potong hewan, dan selanjutnya digunakan untuk melapisi ELISA mikroplat untuk mengukur respon antibodi ternak sampel (n = 49). Hasil uji ELISA menggunakan antigen ES setelah dibandingkan dengan pemeriksaan adanya cacing F. gigantica pada pemeriksaan post-mortem memiliki sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 41,9%. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penggunaan antigen ES dalam uji ELISA memiliki kepekaan yang cukup tinggi meskipun kurang spesifik. Sungguhpun demikian, dengan nilai sensitivitas ELISA sebesar 77,8% menunjukkan bahwa antigen ES cacing F. gigantica memiliki potensi untuk dipergunakan dalam deteksi Fasciolosis. Kata Kunci: F. Gigantica, Fasciolosis, Antigen ES, ELISA, Sensitivitas 197

2 PENDAHULUAN Penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat peningkatan produktivitas dan populasi ternak dalam rangka menuju pemenuhan kebutuhan pangan asal ternak. Diantara penyakit parasiter yang menyerang ternak, Fasciolosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing dari genus Fasciola yaitu F. gigantica atau F. hepatica, merupakan masalah serius dalam bidang peternakan. Di Indonesia, Fasciolosis yang umumnya diakibatkan oleh infeksi cacing F. gigantica mengakibatkan suatu penyakit hepatitis parenkhimatosa akut dan kholangitis kronis yang dapat mengganggu pertumbuhan ternak, menurunkan bobot hidup, anemia dan dapat menyebabkan kematian (Tuasikal dan Suhardono, 2006). Prevalensi terjadinya Fasciolosis pada ternak ruminansia di Indonesia masih sangat tinggi dengan tingkat kerugian mencapai lebih dari US $3.2 milyar per tahun (Spithill et al. 1999; Raadsma et al. 2007). Di provinsi Nusa Tenggara Barat, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2011) di enam kecamatan di Kabupaten Lombok Barat dengan jumlah sampel 108 ekor sapi Bali, tingkat kejadian Fasciolosis mencapai 58,3%. Kasus Fasciolosis mencapai 90% di Jawa Barat dan 40-90% di daerah Istimewa Yogyakarta (Estuningsih et al. 2004). Permasalahan utama dalam pengendalian dan pencegahan Fasciolosis pada ternak ruminansia adalah sulitnya melakukan deteksi penyakit sedini mungkin sehingga peluang distribusi penyakit ke ternak/hewan lain semakin tinggi. Metoda penghitungan jumlah telur cacing dalam tinja (eggs fecal count) merupakan metoda gold standar untuk deteksi Fasciolosis (Boray, 1985). Metoda ini mempunyai kelebihan, namun deteksi dini tidak dimungkinkan karena telur cacing Fasciola tidak dapat ditemukan di dalam tinja sampai cacing mencapai dewasa kelamin yang biasanya minggu setelah infeksi dimana kerusakan jaringan telah terjadi (Velusamy et al. 2006). Hasil studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan bahwa deteksi dini dapat dilakukan dengan uji serologi, yaitu dengan mengukur banyaknya antigen atau antibodi yang bersirkulasi dalam serum ataupun feses ternak penderita. Uji serologi untuk deteksi antigen atau antibodi terhadap Fasciola umumnya dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti Immunofluoresen, Immunoblotting, Enzyme immuno assay (EIA) maupun Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), namun ELISA merupakan teknik yang paling digemari dan berkembang saat ini. Deteksi antibodi dengan uji ELISA dilaporkan telah berhasil mendeteksi adanya infeksi awal cacing Fasciola pada ternak ruminansia pada minggu ke- 2-4 setelah infeksi (Reichel, 2002; Salimi- Bejestani et al. 2005; Kooshan et al. 2010) menggunakan antigen yang diisolasi dari cacing Fasciola. Penelitian terhadap sumber protein antigen F. gigantica dapat dilakukan pada larva (antigen metasercaria), ekstrak cacing muda atau dewasa (antigen somatik), antigen permukaan dan antigen ekskretori/sekretori (antigen ES). Diantara sumber-sumber protein antigen, antigen ES mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem tanggap kebal sehingga diduga lebih protektif untuk memacu respon tanggap kebal (Morphew et al. 2007). Saat ini studi penggunaan antigen ES dalam uji serologi untuk deteksi Fasciolosis lebih didasarkan pada hasil-hasil penelitian menggunakan antigen ES cacing F. hepatica. Piedrafita et al. (2004) menyatakan bahwa F. hepatica dan F. gigantica secara biologis tidak sama meskipun keduanya termasuk dalam genus yang sama. Variasi geografis dan perbedaan spesies cacing dari spesies inang yang berbeda juga dilaporkan mempengaruhi komponen-komponen penyusun antigen ES (Sobhon et al. 1996; Meshgi et al. 2008). Mengingat bahwa penyebab tingginya kejadian Fasciolosis khususnya pada sapi di Indonesia adalah cacing F. gigantica, maka perlu adanya studi imunologik yang memadai dengan menggunakan F. gigantica sebagai obyek penelitian dalam rangka pengendalian dan pencegahan Fasciolosis. Studi ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan hasil ekskresi/sekresi F. gigantica untuk deteksi Fasciolosis terutama pada ternak sapi dengan mempergunakan metoda ELISA. MATERI DAN METODE Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengambil data di lapangan dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Data (sampel darah) dikoleksi 198

3 dari rumah potong hewan (RPH) Gerung, Lembar, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di Lab. Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan, dan Lab. Imunobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram. Penyiapan sampel serum Serum sampel dikoleksi dari 45 ekor sapi yang diduga positif berdasarkan pemeriksaan ante-mortem (pemeriksaan fisik ternak sebelum dipotong) dan keadaan organ dalam terutama hepar setelah pemotongan (postmortem). Ternak kontrol (sampel sera negatif) dikoleksi dari 4 ekor sapi yang masih muda (0,5 bulan) dengan asumsi bahwa ternak belum digembalakan secara ekstensif sehingga kecil kemungkinan ternak terinfeksi cacing. Hal ini didukung pula dengan hasil pemeriksaan telur cacing dalam tinja yang menunjukkan bahwa tidak terdapat telur cacing dalam feses ternak tersebut. Sampel darah (whole blood) diambil dari vena jugularis. Darah ditampung dalam tabung gelas steril kemudian dibiarkan selama 3 jam pada suhu ruang. Darah kemudian diputar dengan kecepatan 1500 rpm selama 20 menit untuk memisahkan serum dan sel-sel darah. Serum kemudian disimpan pada suhu -20 C sampai saatnya dipergunakan. Penyiapan antigen ekskresi/sekresi (ES) cacing F. gigantica Metoda yang digunakan untuk mempersiapkan antigen dari hasil ekskresi/sekresi cacing F. gigantica sesuai dengan metoda dari Wijffels et al. (1994). Cacing dewasa dikoleksi dari hati hewan terinfeksi dalam waktu 1 jam setelah pemotongan. Dua puluh ekor cacing dewasa kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala yang sudah terisi 10 ml PBS (phosphate buffer saline) dan didiamkan selama 20 menit. Regurgitan pertama yang umumnya mengandung darah, empedu dan kotoran dibuang kemudian ditambahkan PBS baru. Proses ini diulangi tiga kali, kemudian cacing dewasa diinkubasikan dalam PBS selama 6 jam pada suhu ruang. Setelah inkubasi, cairan yang mengandung antigen ES diputar dengan kecepatan 2500 rpm pada suhu 4 C selama 20 menit. Supernatan disaring dengan filter Millipore 0,22 m, dikonsentrasikan dengan menggunakan konsentrator, kemudian disimpan pada suhu -20 C sebelum digunakan. Konsentrasi protein yang terdapat dalam cairan ES diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Uji ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent assay) Teknik ELISA yang dipergunakan sesuai dengan metoda Wijffels et al. (1994). Konsetrasi antigen dan reagensia lainnya distandarisasi terlebih dahulu dengan cara checkerboard titrations untuk menentukan nilai optimal untuk deteksi antibodi dalam sampel serum. Pengujian sampel serum dilakukan duplo (duplicate). Plate ELISA (96 sumuran) dilapisi dengan 50 l (10 g/ml) antigen ES dan diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 37 o C (inkubator). Setelah inkubasi, antigen ES dibuang dan lubang-lubang sumuran dicuci 5 kali menggunakan PBS yang mengandung 0,05 Tween 20 (PBS-T). Pada tiap-tiap lubang kemudian ditambahkan 100 l PBS yang mengandung 5% susu skim dan diinkubasikan selama 1 jam. Setelah proses pencucian, 50 l serum (pengenceran 1 : 100) ditambahkan ke dalam tiap lubang sumuran dan diinkubasikan selama 1 jam. Proses pencucian diulangi kembali kemudian 50 l sheep anti bovine IgG horse-radish peroxidase conjugate (1 : 5000) ditambahkan ke dalam lubang sumuran. Setelah inkubasi selama 1 jam, buang cairan dalam sumuran, kemudian tambahkan 100 l substrat (ABTS dalam 100ml buffer sitrat) dan inkubasikan selama 15 menit pada suhu kamar. Optical density (OD) kemudian diukur pada gelombang 405nm dengan mempergunakan ELISA reader. Cut-off point OD ditentukan berdasarkan nilai rata-rata titer antibodi kontrol (sampel negatif) + 3SD (Spencer, 1993). Sampel dikatakan positif apabila titer antibodinya di atas nilai cut-off point dan negatif apabila titer antibodinya dibawah nilai cut-off point. Analisis data Data respon antibodi spesifik terhadap antigen dari hasil ekskresi/sekresi F. gigantica 199

4 diolah dan dianalis menggunakan perhitungan statistik sederhana (Mean SD) (Spencer, 1993). Nilai Kappa (K) untuk menilai reliabilitas tes uji ditentukan berdasarkan metoda Murti (2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Fasciolosis pada ternak umumnya tidak mempelihatkan gejala parasitisma yang menonjol. Gejala yang mungkin terlihat berupa kekurusan, kurang nafsu makan, pucat, lemah, odema di sekitar rahang bawah yang menyebar ke bagian bawah leher dan dada (bottle jaw), diare dan bulu kusam (Martindah et al. 2005). Pengamatan terhadap 45 ekor sapi yang diduga positif berdasarkan pemeriksaan antemortem dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ternak dalam kondisi kurus, bulu berdiri, selaput lendir mata pucat, feses cair dan 16 dari 45 ternak sampel menunjukkan gejala bottle jaw. Dari hasil pengamatan postmortem ditemukan bahwa tidak pada semua ternak yang menunjukkan gejala terinfeksi cacing pada pemeriksaan ante-mortem akan ditemukan cacing pada pemeriksaan pasca mati. Dari total 45 ternak yang menunjukkan gejala terinfeksi, cacing F. gigantica hanya ditemukan pada 18 ternak sampel (36,73%). Pada sapi sampel lainnya (63,27%) hanya nampak adanya gejala pengapuran dan pengerasan pada saluran empedu maupun hati. Sapi kontrol (n = 4) dalam kondisi sehat dan menunjukkan hasil pemeriksaan negatif adanya telur cacing dalam tinja. Bahan-bahan antigenik, yang pada umumnya berupa protein, yang dipergunakan dalam pemeriksaan serologis untuk mengetahui respon antibodi pada ternak yang menderita Fasciolosis sebagian besar diisolasi dari hasil ekskresi/sekresi maupun ekstrak F. hepatica. Cairan ekskresi/sekresi F. gigantica juga mengandung sejumlah besar protein maupun enzim yang mungkin memiliki potensi untuk dipergunakan dalam pemeriksaan serologis, namun tidak ditunjang oleh adanya studi imunologik yang memadai (Allam et al. 2002; Gupta et al. 2003; Raadsma et al. 2007; Meshgi et al. 2008). Cairan ES yang dikoleksi dari cacing F. gigantica dewasa pada penelitian ini mempunyai total kandungan protein 2mg/ml berdasarkan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280nm. Hasil pemeriksaan ELISA (OD 405nm ) dengan mempergunakan cairan ES hasil koleksi sebagai antigen disajikan pada Gambar 1. Nilai batas ambang (cut off point) adalah 0,165 yang diperoleh dari hasil nilai rerata OD 405nm kontrol negatif negatif + 3SD. Gambar 1. Respon antibodi ternak sapi (n = 49) terhadap antigen ES pada uji ELISA. = Nilai absorbansi ternak sapi sampel yang diduga positif berdasarkan pemeriksaan ante-mortem. = Nilai abosorbansi ternak sapi kontrol (negatif) = Cut off point (0,165) 200

5 Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa 71,1% (32 dari 45 sampel) sera yang dikoleksi dari sapi yang dikategorikan positif berdasarkan pemeriksaan ante-mortem memiliki nilai OD 405nm 0,165 dengan nilai absorbansi berkisar antara 0,165-0,287 Sebanyak 13 sampel yaitu sampel nomor 7; 8; 20; 24-28; 39-41; 44 dan 45 menunjukkan nilai OD 405nm dibawah nilai batas ambang. Ternak sapi kontrol (n = 4) menunjukkan nilai absorbansi berkisar antara 0,1275-0,152. Perbandingan hasil uji ELISA berbasis antigen ES dengan pemeriksaan adanya cacing F. gigantica yang juga merupakan gold standard diagnosis Fasciolosis disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil perbandingan uji ELISA dan pemeriksaan post-mortem ditemukan adanya hasil pemeriksaan positif palsu sebanyak 18. Banyaknya hasil pemeriksaan positif palsu dalam uji ELISA dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pemberian anthelmintika yang efektif dilaporkan dapat menurunkan jumlah cacing Fasciola dewasa pada saluran empedu tetapi antibodi spesifik dalam serum tetap bertahan sampai dengan 2-7 bulan setelah pengobatan (Castro et al. 2000). Meskipun dalam penelitian ini data pemberian anthelmintika tidak tersedia, dapat diasumsikan bahwa praktek pemberian anthelmintika yang umumnya rutin dilakukan peternak berkontribusi terhadap adanya hasil pemeriksaan positif palsu. Adanya antigen umum yang dimiliki oleh spesies cacing yang berbeda juga berpengaruh terhadap timbulnya hasil pemeriksaan positif palsu (Awad et al. 2009). Lebih lanjut Awad et al. (2009) menyatakan bahwa kedua faktor penyebab timbulnya hasil positif palsu dalam pemeriksaan di atas merupakan masalah utama dalam serodiagnosis Fasciolosis, dan oleh karena itu, tes-tes serodiagnostik yang digunakan untuk mendiagnosa infeksi pada ternak harus dinterpretasikan secara cermat. Data pada Tabel 1 menunjukkan adanya hasil pemeriksaan negatif palsu (false negatif) sebanyak 4 sampel (8,1%). Awad et al. (2009) dalam studinya menggunakan tiga sumber antigen cacing F. gigantica yaitu antigen somatik, antigen ES dan antigen GST untuk mendeteksi Fasciolosis pada sapi (n = 60), domba (n = 75) dan keledai (n = 69) dengan metoda indirect-elisa juga melaporkan adanya hasil pemeriksaan negatif palsu. Uji indirect-elisa berbasis antigen ES pada studi Awad et al. (2009) menunjukkan hasil pemeriksaan negatif palsu sebesar 3,3% pada sapi, 2,7% pada domba, dan 1,5% pada keledai. Hasil pemeriksaan negatif palsu dalam uji serologis disebabkan oleh adanya perubahan respon imun oleh cacing Fasciola seperti yang dilaporkan oleh Zimmerman et al. (1983) dalam studinya yang menunjukkan adanya penekanan kekebalan yang signifikan selama infeksi cacing F. hepatica. Hasil uji ELISA menggunakan antigen ES setelah dibandingkan dengan pemeriksaan adanya cacing F. gigantica pada pemeriksaan post-mortem (Tabel 1) memiliki sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 41,9% dengan nilai Kappa sebesar 0,42 (reliabilitas sedang). Peneliti lain melaporkan hasil uji ELISA dengan sensitivitas lebih tinggi dari hasil penelitian ini yaitu antara 85-98% (Estuningsih et al. 2004; El Ridi et al. 2007; Awad et al. 2009). Spithill et al. (1999) menjelaskan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi sensitivitas suatu tes, diantaranya adalah jenis antigen dan kemurnian antigen yang dipergunakan. Jenis antigen juga berkaitan erat dengan faktor Tabel 1. Standarisasi berdasarkan hasil pemeriksaan post-mortem Pemeriksaan post-mortem Jumlah Positif Negatif Hasil ELISA Positif (OD405nm 0,165) Negatif (OD405nm <0,165) Total Sensitivitas 77,8% Spesifisitas 41,9% Nilai kappa 0,42 201

6 lingkungan dimana parasit itu berada. Hal-hal lain yang harus dipertimbangkan adalah bahwa sensitivitas dan spesifisitas tes akan bervariasi sesuai dengan populasi yang digunakan, dan musim pada saat pengambilan sampel untuk bahan uji (Whiting et al. 2004; Leeflang dan Bossuyt, 2005). Sementara itu, spesifisitas yang rendah kemungkinan disebabkan karena positif palsu yang diperoleh dalam penelitian inicukup banyak sehingga menyebabkan uji kurang spesifik. Velusamy et al. (2005) menyatakan bahwa penggunaan antigen yang diisolasi dari cacing hati dewasa dalam uji serologi juga merupakan faktor penyebab rendahnya spesifisitas, sehingga disarankan untuk menggunakan antigen yang diisolasi dari larva untuk meningkatkan spesifisitas tes uji. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penggunaan antigen ES dalam uji ELISA memiliki kepekaan yang cukup tinggi meskipun kurang spesifik. Sungguhpun demikian, dengan nilai sensitivitas ELISA sebesar 77,8% menunjukkan bahwa antigen ES cacing F. gigantica memiliki potensi untuk dipergunakan dalam deteksi Fasciolosis. Keberhasilan untuk mendiagnosa adanya infeksi Fasciola terutama pada perioda prepaten/akut akan sangat membantu dalam usaha pengendalian penyakit, menghambat efek negatif penurunan produktivitas ternak dan mencegah kerugian ekonomi yang tinggi. KESIMPULAN Hasil studi ini menunjukkan bahwa penggunaan antigen ES yang diisolasi dari cacing F. gigantica dalam uji ELISA dapat diaplikasikan untuk deteksi Fasciolosis pada sapi. Nilai sensitivitas hasil uji ELISA, dibandingkan dengan ada dan tidaknya cacing pada pemeriksaan post-mortem, adalah77,8% sedangkan nilai spesifisitas tes adalah 41,9%. Diperlukan studi lanjut agar hasil uji serologi menggunakan antigen ES F. gigantica lebih sensitif dan spesifik. DAFTAR PUSTAKA Allam AF, El-Agamy ESI, Helmy MH Molecular and immunological characterization of fasciola species. J Biomed. 59: Awad WS, Ibrahim AK, Salib FA Using indirect ELISA to assess different antigens for the serodiagnosis of Fasciola gigantica infection in cattle, sheep and donkeys. Res Vet Sci. 86: Boray JC Flukes of domestic animals. In: Gaafar SM, Howard WE, Marsh RE. (Eds), Parasites, Pests and Predators. Elsevier, New York. Castro E, Freyre A, Hernandez Z Serological responses of cattle after treatment and during natural re-infection with Fasciola hepatica measured using a dot-elisa system. Vet Parasitol. 90: El Ridi R, Salah M, Wagih A, William H, Tallima H, El Shafie MH, Abdel Khalek T, El Amir A, Abo Ammou FF, Motawi H Fasciola gigantica excretory-secretory products for immunodiagnosis and prevention of sheep fasciolosis. Vet Parasitol. 149: Estuningsih SE, Widjajanti S, Adiwinata G Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi. JITV. 9: Gupta SC, Ghosh S, Joseph D, Singh BP Diagnosis of experimental Fasciola gigantica in cattle by affinity purified antigen. Indian J Anim. 7: Kooshan M, Hashemi GR, Naghibi A Use of somatic and excretory-secretory antigens of Fasciola hepatica in diagnosis of sheep by ELISA. American-Eurasian J Agric Environ Sci. 7: Leeflang MG, Bossuyt PMM Test accuracy is likely to vary depending on the population it is based on. Vet Parasitol. 134:189. Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit zoonosis. Wartazoa. 15: Meshgi B, Eslami A, Hemmatzadeh F Determination of somatic and excretorysecretory antigens of Fasciola hepatica and Fasciola gigantica using SDS-PAGE. Iranian J Vet Res. 9: Morphew RM, Wright HA, LaCourse EJ, Woods DJ, Brophy PM Comparative proteomics of excretory-secretory proteins released by the liver fluke Fasciola hepatica in sheep host bile and during in vitro culture ex host. Mol Cell Proteom. 6:

7 Murti B Validitas dan Reliabilitas Pengukuran. Materi disajikan pada Program Matrikulasi Program Studi Doktoral Fakultas Kedokteran, UNS. Piedrafita D, Raadsma H, Prowse R, Spithill TW Immunology of the host parasite relationship in Fasciolosis (Fasciola hepatica and Fasciola gigantica). Can J Zool. 82: Purwanti G Identifikasi Parasit Internal pada Sapi Bali (Bos sondaicus) di Kabupaten Lombok Barat. Skripsi. Universitas Mataram. Raadsma HW, Kingsford NM, Suharyanta, Spithill TW, Piedrafita D Host reponses during experimental infection with Fasciola gigantica or Fasciola hepatica in Merino sheep: I. Comparative immunological and plasma biochemical changes during early infection. Vet Parasitol. 143: Reichel MP Performance characteristic of an enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of liver fluke (Fasciola hepatica) infection in sheep and cattle. Vet Parasitol. 107: Salimi-Bejestani MR, McGarry JW, Felstead S, Ortiz P, Akca A, Williams DJL Development of an antibody-detection ELISA for Fasciola hepatica and its evaluation against a commercially available test. Res Vet Sci. 78: Sobhon PS, Anantavara T, Dangprasert A, Meepool C, Wanichanon V, Viyanant S. Upatham, T. Kusamram, T. Chompoonchan, S. Thammasart, P. Prasittirat Fasciola gigantica: identification of adult antigens, their tissue sources and possible origins. J Sci Soc Thai. 22: Spencer T Standardisation of serology. Penyakit Hewan. 25:1-6. Spithill TW, Smooker PM, Copeman DB Fasciola gigantica: epidemiology, control, immunology and molecular biology. In: Dalton, J.P. (Ed), Fasciolosis. CAB International, Wallingford, pp Tuasikal BJ, Suhardono Pengaruh infeksi Fasciola gigantica (cacing hati) iradiasi terhadap gambaran darah kambing (Capra hircus Linn). JITV. 11: Velusamy R, Singh BP, Gosh S, Chandra D, Raina OK, Gupta SC, Jayraw AK Prepatent detection of Fasciola gigantica infection in bovine calves using metacercarial antigen. Indian J Exp Biol. 44: Whiting P, Rutjes AW, Reitsma JB, Glas AS, Bossuyt PM, Kleijnen J Sources of variation and bias in studies of diagnostic accuracy: a systematic review. Ann Intern Med. 140: Wijffels GL, Salvatore L, Dosen M, Waddington J, Wilson L, Thompson C, Campbell N, Sexton J, Bowen F, Friedel T, Spithill TW Vaccination of sheep with purified cysteineproteinase of Fasciola hepatica decreases worm fecundity. Exp Parasitology 78: Zimmerman GL, Kerkvliet NY, Brauner JA, Cerro JE Modulation of the host immune response by Fasciola hepatica: response of peripheral lymphocyte to mitogens during liver fluke infection of sheep. J Parasitol. 69:

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi JITV Vol. 9 No. 1 Th. 2004 Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi S. ENDAH ESTUNINGSIH, S. WIDJAJANTI dan GATOT ADIWINATA

Lebih terperinci

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia (Diterima

Lebih terperinci

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 6. No. 4. Th. 21 FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE S. WIDJAJANTI, S.E. ESTUNINGSIH dan SUHARYANTA

Lebih terperinci

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses JITV Vol. 11 No. 3 Th. 2006 Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali ABSTRAK Fascioliosis pada sapi di Indonesia disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica yang berpredileksi di saluran empedu dan hati. Infeksi cacing ini menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan saluran

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK

(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK STUDI KOMPARATIF RESISTENSI PADA DOMBA EKOR TIPIS INDONESIA (ITT), ST. CROIX, MERINO DAN PERSILANGAN ITT DAN ST. CROIX, TERHADAP INFEKSI FASCIOLA GIGANTICA S. WIDJAJANTI 1, S. E. ESTUNINGSIH 1, S. PARTOUTOMO

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang 11 MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni 2010 sampai dengan Juni 2011. Penelitian dilakukan di kandang FKH-IPB. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica Ening Wiedosari Balai Besar Penelitian Veteriner, Jln. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 Tel. 0251-331048, e-mail:

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba JITV Vol. 9 No. 3 Th. 24 Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba S. WIDJAJANTI 1, S.E. ESTUNINGSIH 1, SUBANDRIYO 2, D. PIEDRAFITA 3 dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Sampel yang akan diuji kemudian dimasukkan ke dalam sumuran-sumuran cawan ELISA sesuai dengan pola yang telah ditentukan. Setiap sumuran cawan berisi sebanyak 100 μl sampel. Cawan ELISA kemudian diinkubasi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR S. ENDAH ESTUNINGSIH dan S. WIDJAJANTI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia

Lebih terperinci

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.)

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.) Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation Vol. 2 No. 1 Juni 06 PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) B.J. Tuasikal 1, Suhardono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

ABSTRAK. UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID

ABSTRAK. UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID ABSTRAK UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN TUBEX-TF DAN WIDAL TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID Melisa, 2010, Pembimbing I : Penny S.M., dr., Sp.PK., M.Kes Pembimbing

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing II : Penny S M., dr., Sp.PK., M.Kes

ABSTRAK. Pembimbing II : Penny S M., dr., Sp.PK., M.Kes iv ABSTRAK UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN IMUNOSEROLOGI IgM ANTI SALMONELLA METODE IMBI DAN RAPID TEST TERHADAP BAKU EMAS KULTUR Salmonella typhi PADA PENDERITA TERSANGKA DEMAM TIFOID Gabby Ardani L, 2010.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya 10 MATERI DAN METODA Waktu Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM COMPARISON OF HI TEST AND ELISA FOR DETECTING ANTIBODY MATERNAL ND ON DAY OLD CHICK Oleh : Rahaju Ernawati* ABSTRACT This

Lebih terperinci

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro Estuningsih et al.: Peran sel imunologi domba ekor tipis dalam membunuh cacing hati Fasciola gigantica secara in vitro Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013. Pemeliharaan ayam penelitian, aplikasi ekstrak temulawak dan vaksinasi AI dilakukan di kandang

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI VETERINER. Screening dan diagnostic test

EPIDEMIOLOGI VETERINER. Screening dan diagnostic test EPIDEMIOLOGI VETERINER Screening dan diagnostic test PKH UB - 2013 Epidemiology : the study of patterns of disease and health in populations. For particular disease, epidemiology provides information about

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 Pengembangan metoda elisa untuk...(samarang, Made AJ, Sitti C, Malonda M & Intan T) PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 Elisa Method

Lebih terperinci

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2 UJI IN VITRO DAYA BUNUH ANTISERUM ANTIBODI DOMBA PASCA INFEKSI FASCIOLA GIGANTICA DENGAN ADANYA SEL MAKROFAG TERHADAP CACING HATI HOMOLOG DAN HETEROLOG S. E. ESTUNINGSIH 1, S. WIDJAJANTI 1, S. PARTOUTOMO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 87, Desember 2015 ISSN : X Uji Banding Kit Elisa Untuk Deteksi Antibodi Penyakit Jembrana (The Comparative Elisa Test For Detection Antibodies of Jembrana Disease) Ni Luh Putu Agustini 1, dan Rosmiati Wisindie 2 1. Balai Besar Veteriner

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan susu Nasional dari tahun ke tahun terus meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memenuhi 20

Lebih terperinci

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denapasar pada tanggal 20 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

3 SEROPREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN OEBA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

3 SEROPREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN OEBA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 15 3 SEROPREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN OEBA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Abstract Trichinellosis is zoonosis caused by worm infection, Trichinella spp. nematode

Lebih terperinci

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 vi ABSTRAK STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 Francine Anne Yosi, 2007; Pembimbing I: Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing II: July Ivone, dr. AIDS (Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.)

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.) JITV Vol. 11 No. 4 Th. 06 Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.) BOKY JEANNE TUASIKAL 1 dan SUHARDONO 2 1 Pusat Aplikasi Teknologi

Lebih terperinci

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 31-38 Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Unair

ADLN - Perpustakaan Unair BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan populasi kuda di Indonesia belum mencapai keadaan yang menggembirakan bahkan Di Jawa Timur pada tahun 2001 terjadi penurunan populasi ternak

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation Vol. 2 No. 1 Juni 6 TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT M. Arifin Pusat Aplikasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY 46 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN

PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 4 PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN ANTIBI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA UNTUK DETEKSI ANTIGEN Sawitri Endah Estuningsih,

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dirofilaria immitis (D. immitis) yang dikenal sebagai cacing jantung, adalah penyebab penyakit parasit yang serius pada anjing, hidup pada ventrikel kanan dan arteri pulmonalis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah SCREENING ANTIBODY Screening antibody test melibatkan pengujian terhadap serum pasien dengan dua atau tiga sampel reagen sel darah merah yang disebut sel skrining/sel panel. Sel panel secara komersial

Lebih terperinci

Kadar IgG RESA (Ring-infected Erythrocyte Surface Antigen) pada Penderita Malaria di Daerah Holoendemik Malaria

Kadar IgG RESA (Ring-infected Erythrocyte Surface Antigen) pada Penderita Malaria di Daerah Holoendemik Malaria Laporan Penelitian Kadar IgG RESA (Ring-infected Erythrocyte Surface Antigen) pada Penderita Malaria di Daerah Holoendemik Malaria Lily Kartika Surya Staf Pengajar Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK

LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92. Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK LAPORAN GAMBARAN DURATION OF IMMUNITY VAKSIN RABIVET 92 Darmawan, Dyah Estikoma dan Rosmalina Sari Dewi D Pusat Veterinaria Farma ABSTRAK Untuk mendapatkan gambaran antibodi hasil vaksinasi Rabivet Supra

Lebih terperinci

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION i PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN 2012 Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION 090100116 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini mencakup ruang ilmu : Anestesiologi,

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini mencakup ruang ilmu : Anestesiologi, 29 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup ruang ilmu : Anestesiologi, Farmakologi dan Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR ISSN : 0853-1943 TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR Susceptibility of Bovine and Bubalis spp on Fasciola gigantica in Lhoong Sub-District

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL PENELITIAN Sebanyak 1857 orang penduduk berpartisipasi dalam penelitian ini. Penduduk laki-laki sebanyak 878 orang dan penduduk wanita sebanyak 979 orang. Gambar 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Demam tifoid merupakan masalah yang serius di negara berkembang,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii DAFTAR ISI SAMPUL DALAM i LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK. vi ABSTRACT... vii RINGKASAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Uji serologi ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian serta pembacaan nilai absorban

Lebih terperinci

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/

Hepatitis Marker. oleh. dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker oleh dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ozar Sanuddin SpPK(K)/ dr.ricke L SpPK(K)/ Hepatitis Marker Adalah suatu antigen asing a antibodi spesifik thdp antigen tsb. Penanda adanya infeksi, kekebalan

Lebih terperinci

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II

RINGKASAN. Kata kunci : Titer antibodi ND, Newcastle Disease, Ayam Petelur, Fase layer I, Fase Layer II RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titer antibody terhadap penyakit Newcastle Disease (ND) pada ayam petelur fase layer I dan fase layer II pasca vaksinasi ND. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR)

PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR) Nama : Benny Tresnanda PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR) Nim : P07134013027 I. Tujuan Untuk mengetahui adanya RF (Rheumatoid Factor) secara kualitatif dan semi kuantitatif pada sampel serum. II. Dasar

Lebih terperinci

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) 36 LAMPIRAN 37 Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005) Nilai toksisitas Non-Manusia : Rat LD50 oral 5,3 g / kg; Mouse LD50 oral 2 g / kg; Ip Mouse LD50 0,9-1,3 g / kg; LD50

Lebih terperinci

Interpretasi dan Aspek Legalitas Hasil. Pemeriksaan Laboratorium pada HIV/AIDS

Interpretasi dan Aspek Legalitas Hasil. Pemeriksaan Laboratorium pada HIV/AIDS nterpretasi dan Aspek Legalitas Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada HV/ADS Diajukan oleh: Agnes R ndrati Dept. Patologi Klinik, RS Hasan Sadikin/ FK Universitas Padjadjaran Bandung Pada Acara: Simposium

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIGEN EKSKRETORI-SEKRETORI Schistosoma japonicum DENGAN METODE ELISA PADA PENDERITA SCHSISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH

DETEKSI ANTIGEN EKSKRETORI-SEKRETORI Schistosoma japonicum DENGAN METODE ELISA PADA PENDERITA SCHSISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH Deteksi Antigen Ekskretori-Sekretori... (Samarang, et al.) DETEKSI ANTIGEN EKSKRETORI-SEKRETORI Schistosoma japonicum DENGAN METODE ELISA PADA PENDERITA SCHSISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH DETECTION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang. menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang menginfeksi lebih dari 90% populasi di dunia, baik yang diikuti dengan timbulnya gejala ataupun tidak. WHO-IARC menggolongkan

Lebih terperinci

Prevalensi pre_treatment

Prevalensi pre_treatment Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. World Health Organization (WHO) pada berbagai negara terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hepatitis virus masih menjadi masalah serius di beberapa negara. Insiden penyakit ini masih relatif tinggi di Indonesia dan merupakan masalah kesehatan di beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang ilmu Biokimia dan Farmakologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi TEKNIK IMUNOLOGI Ika Puspita Dewi 1 ELISA Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay 2 ELISA ELISA Test yang dirancang berdasarkan prinsip imunologi (Antigen antibodi) mengunakan label enzim yang dapat ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Produksi daging sapi pada tahun 2012 mengalami defisit sebesar 78.329 ton (21,40%). Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan produksi daging sapi secara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition)

UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition) UJI BANDING ANTAR LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI AYAM PASCA VAKSINASI CORYZA DENGAN METODE HI (Haemaglutination Inhibition) SYAEFURROSAD, NENENG A, DAN NM ISRIYANTHI Balai Besar Pengujian Mutu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

(Protein Concentration of B ovine Antig en Excretory -S ecretory Fss ciola gigantica from Local Cattle in Sigi District, Central Sulawesi)

(Protein Concentration of B ovine Antig en Excretory -S ecretory Fss ciola gigantica from Local Cattle in Sigi District, Central Sulawesi) furnal Vektor Penyakit, Vol. VII No. 1, 2013 : 30-35 Kons entrasi Protein Antigen Ekskretori -S ekreto ri Fa s cio la G ig antica AsaI Sapi Lokal Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Protein Concentration

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul LAPORAN PRAKTIKUM ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) NAMA PRAKTIKAN : - DEBBY MIRANI LUBIS - NITA ANDRIANI LUBIS TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul 09.00-17.00 WIB I. TUJUAN PRAKTIKUM:

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci