Bab IV Hasil dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Hasil dan Pembahasan"

Transkripsi

1 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Perumusan Lingkup Studi dan Skenario Perencanaan Secara geografis wilayah studi merupakan wilayah di bagian paling Barat dari Nusantara dan ujung bagian Utara dari pulau Sumatera. Dengan mengambil suatu garis batasan (cordon line) wilayah studi maka pergerakan keluar (external trips) dari wilayah studi pada saat ini hanya dilakukan ke bagian Selatan yaitu provinsi Sumatera Utara. Kajian ini difokuskan pada sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan lebih fokus lagi pada sistem jaringan jalan yang berada pada wilayah daratan. Masih terdapat beberapa ruas jalan provinsi yang berada di luar dari wilayah daratan, seperti di Sabang, kawasan Pulau Aceh, Simeulue dan kawasan Pulau Banyak. Dari penjelasan tersebut, maka dalam pemodelan transportasi, yang menjadi zona eksternal dari studi ini adalah: Provinsi Sumatera Utara di bagian Selatan, Sabang di bagian utara dan Simeulue di bagian Barat dari wilayah studi. Untuk lebih jelasnya tentang wilayah studi ini dapat dilihat pada Gambar IV.1. Objek studi adalah jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD. Salah satu koridor jalan nasional dalam wilayah studi adalah bagian dari lintas Sumatera yang dikenal dengan jalan Lintas Timur. Lintas Timur ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju ke bagian Tenggara sampai di perbatasan Sumatera Utara sepanjang 488 km. Kota-kota besar yang dilalui lintas timur ini adalah: Sigli-Bireuen, Lhok Seumawe, Lhok Sukon, Langsa dan Kuala Simpang. Koridor jalan nasional lainnya adalah Lintas Barat Sumatera. Lintas Barat ini membentang dari Banda Aceh di bagian Utara menuju Selatan sampai di perbatasan Provinsi Sumatera Utara sepanjang 595 km. Kota-kota yang dilalui lintas Barat ini adalah: Calang, Maulaboh, Blang Pidie, Tapak Tuan dan Subulussalam. 130

2 Gambar IV.1 Wilayah Studi Penelitian Sumber: BAPPEDA NAD (2006) Jaringan jalan provinsi dalam wilayah studi ini, secara fungsional terdapat jalan kolektor primer dan sekunder. Di samping itu terdapat juga jalan provinsi di daerah pulau. Mengingat studi ini dilakukan untuk jalan antar kota dan pengambilan zona studi kabupaten/kota dalam provinsi NAD, maka jaringan jalan provinsi yang menjadi objek kajian adalah jalan dengan status kolektor primer. Dengan demikian jalan-jalan yang termasuk di dalamnya adalah penghubung antar ibukota kabupaten/kota. Untuk lebih jelasnya jaringan jalan yang menjadi objek kajian dapat dilihat pada Gambar IV

3 P. Aceh LEGENDA Ibu Kota Kabupaten Jalan Nasional Jalan Provinsi Batas Provinsi Batas Kabupaten Sungai P. Banyak Gambar IV.2 Jaringan Jalan Objek Penelitian Sumber: Dinas Praswil NAD (2005) Secara garis besar dari sisi tinjauan geometrik jalan, terdapat dua nilai yang menentukan kinerja suatu ruas jalan. Ukuran pertama adalah kualitas perkerasan dan kedua adalah daya tampung yang berkaitan dengan kapasitas jalan. Kualitas perkerasan akan menurun seiring dengan berjalannya waktu, di antaranya akibat beban lalu lintas maupun faktor cuaca. Untuk mempertahankan kualitas 132

4 perkerasan agar selalu berada dalam kondisi mantap maka diperlukan penanganan jalan seperti: rutin, berkala dan peningkatan struktur. Sementara berkaitan dengan kapasitas, lebih banyak ditentukan oleh faktor pertumbuhan lalu lintas. Pertumbuhan lalu lintas yang berdampak pada menurunnya kinerja jalan, ditangani dengan melakukan peningkatan kapasitas melalui cara pelebaran perkerasan atau pembangunan jalan baru. Sejalan dengan IRMS disebutkan bahwa terdapat lima jenis program penanganan jalan, yaitu: rutin, berkala, peningkatan struktur, peningkatan kapasitas, dan pembangunan baru. Dalam konteks penanganan sistem jaringan jalan dilakukan dalam dua istilah, perencanaan (planning) dan pemrograman (programming). Planning berkaitan dengan penetapan tahun tinjauan perencanaan dan prediksi kebutuhan transportasi. Sementara programming adalah upaya penyusunan tindakan penanganan apa yang harus dikerjakan pada masing-masing tahun tinjauan. Dengan demikian masing-masing kegiatan perencanaan dan pemrograman mempunyai kriteria dan metode yang berbeda. Dari penjelasan di atas, dalam konteks perencanaan dalam penelitian ini dilakukan untuk perencanaan: jangka pendek. Perencanaan jangka pendek tahunan dilakukan pada lima tahun pertama. Untuk keperluan perencanaan, analisis kebutuhan transportasi dikaitkan dengan RTRW provinsi NAD tahun 2006 dan Revisi Tatrawil NAD tahun Tahun dasar perencanaan dimulai tahun Selanjutnya dilakukan tinjauan tiap tahun sampai Sementara dalam konteks programming, hal yang dilakukan adalah bagai mana menentukan jenis penanganan sistem jaringan jalan untuk masing-masing ruas untuk setiap jaringan pada setiap tahun tinjauan dalam perencanaan. Pelaksanaan program penanganan sistem jaringan jalan sangat tergantung pada jumlah biaya yang diperlukan dan yang dapat disediakan. Besarnya biaya yang diperlukan untuk penanganan jalan tergantung pada tujuan penanganan tersebut. 133

5 Tingkat kerusakan perkerasan lama, menentukan jenis penanganan untuk perbaikan perkerasan. Di samping itu diperlukan juga untuk penambahan kapasitas, hingga lahir jenis penanganan pelebaran perkerasan. Sedangkan untuk tujuan yang lebih luas dan menyeluruh diperlukan penanganan dengan melakukan pembangunan jalan baru. Jumlah biaya penanganan jalan yang diperlukan sangat besar, sebagai gambaran bahwa perkiraan biaya penanganan jalan nasional dengan fungsi arteri untuk tahun 2007 untuk rutin adalah sebesar juta rupiah dan biaya pembangunan jalan baru adalah milyar rupiah per kilometer panjang jalan (Dep. PU, 2007). Kondisi saat ini di Indonesia bahwa umumnya jumlah biaya yang diperlukan untuk keperluan penanganan jalan lebih besar dari jumlah yang dapat disediakan. Artinya, tidak semua keperluan biaya dapat disediakan, dengan demikian tidak semua keperluan penanganan dapat dilaksanakan. Untuk itu model perangkingan penanganan harus dilakukan dengan kondisi keterbatasan biaya (budget constrained). Asumsi yang digunakan adalah bahwa jalan yang seharusnya ditangani pada tahun rencana, bila tidak dapat ditangani, maka akan menjadi prioritas pada tahun berikutnya. Sebagai ilustrasi, pada penelitian disertasi ini dilakukan skenario ketersediaan biaya penanganan hanya 75% dan 50% dari yang diperlukan dan hanya dilakukan pada tahun rencana 2007, 2008 dan IV.2 Perumusan Penentu Kebijakan Di balik lahirnya suatu keputusan tertentu, dipastikan bahwa ada pihak yang bertindak selaku pengambil keputusan (decision maker). Pihak tersebut dapat bersifat organisasi maupun pribadi. Keputusan yang diambil oleh pihak pengambil keputusan akan mempengaruhi pihak lain yang sering disebut sebagai stakeholders. Pengaruh tersebut baik yang berdampak menguntungkan maupun yang merugikan. Keputusan yang paling tepat adalah bila keputusan yang diambil telah sejalan juga dengan keinginan pihak stakeholders, karena stakeholders juga ada kalanya memiliki program dan minimal pandangan yang harus sejalan dengan program pengambil keputusan, hingga stakeholders juga mempunyai persepsi 134

6 tentang bagaimana sesuatu hal harus diputuskan. Kedua belah pihak disebut sebagai penentu kebijakan. Keputusan dalam pengelolaan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah studi, ada di Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi NAD. Dalam penentuan program di tingkat provinsi, dalam hal ini dibentuk tim teknis yang anggotanya ditambah instansi Dinas Perhubungan dan Bappeda Provinsi NAD. Dengan demikian, maka yang ditetapkan sebagai pengambil keputusan dalam penelitian disertasi ini adalah: Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Dinas Perhubungan, dan Bappeda Provinsi NAD. Dalam penelitian ini, selain telah menetapkan pihak pengambil keputusan juga telah dikumpulkan data kuesioner untuk memperoleh gambaran komponen mana dari stakehoders yang dirasa penting dan tingkat kepentingannya terlibat sebagai penentu kebijakan. Di samping hal tersebut pada kuesioner masih dibuka kesempatan untuk menambahkan instansi, badan atau pribadi yang kiranya penting untuk dimasukkan sebagai stakehoders menurut pandangan para penentu kebijakan. Sejalan dengan contoh kuesioner seperti pada Lampiran A, maka bobot tertinggi 5 untuk amat sangat penting dan 1 untuk tidak penting untuk perannya dalam pengambilan keputusan. Kepada pihak pengambil keputusan dan stakeholders ditanyakan tingkat kepentingan instansi dalam pengambilan keputusan. Hasil analisis dikelompokkan berdasarkan kelompok pengambil keputusan dan stakeholders. Jawaban dari beberapa responden selanjutnya dirata-ratakan. Hasil rekapitulasi jawaban tersebut untuk masing-masing kelompok pengambil keputusan dan stakeholders, seperti yang dapat dilihat pada Tebel IV.1. Dari Tabel IV.1 tersebut, dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan persepsi terhadap tingkat pentingnya pihak dimaksud yang perlu dilibatkan dalam perencanaan pemrograman tersebut. Dari semua instansi, badan, dan organisasi yang ditawarkan maka terlihat bahwa semua dirasa perlu untuk terlibat mulai dari sedang dan sangat penting, namun karena keterbatasan sumber daya maka 135

7 stakehoders dalam analisis hanya dibatasi pada instansi terkait di tingkat kabupaten/kota dan ditambah dari perguruan tinggi. Tabel IV.1 Tingkat kepentingan keterlibatan instansi sebagai penentu kebijakan berdasarkan persepsi pengambil keputusan dan stakeholders Bobot No. Instansi Pengambil Stakeholders Keputusan 1 Dinas Praswil Propinsi Departemen PU BAPPEDA Propinsi BAPPENAS Dishub Propinsi DPRD Propinsi Dinas PU/Praswil Kab./Kota Departemen Perhubungan Perguruan Tinggi BAPPEDA Kab./Kota LSM Dishub Kab./Kota Tokoh Masyarakat DPRD Kab./Kota Organisasi Profesi Keterangan bobot: 1 = tidak penting 2 = sedang 3 = penting 4 = sangat penting 5 = amat sangat penting IV.3 Perumusan Kriteria dan Analisis Bobot Kriteria Pemrograman IV.3.1 Perumusan Kriteria Dalam penetapan suatu keputusan, tentu harus didasarkan kepada kriteria. Dengan demikian perumusan kriteria perlu dilakukan secara hati-hati. Perumusan keputusan yang paling mudah dilakukan adalah bila menggunakan kriteria yang sedikit dan dengan besaran yang kuantitatif. Namun kriteria yang sedikit dan hanya mempertimbangkan kriteria yang bersifat kuantitatif belum tentu dapat mewakili semua aspirasi baik bagi pengambil keputusan maupun bagi 136

8 stakeholders. Untuk itu perlu dirumuskan semua kriteria yang dapat mewakili keputusan pmrograman, artinya secara komprehensif, baik kriteria yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Kriteria yang dibangun dapat menjadi luas hingga sering membingungkan, untuk itu perlu dilakukan pengelompokkan kriteria hingga menjadi kriteria yang lebih general. Kriteria-kriteria tersebut dapat terdiri dari sub-sub kriteria hingga kriteria menjadi lengkap. Dalam kondisi ideal kriteria dan sub-kriteria dapat digali dari pihak penentu keputusan, dimulai dari proses usulan kriteria dalam bentuk long list menjadi short list, namun hal ini tentu memerlukan waktu penelitian dan biaya yang lebih lama. Kriteria dan sub-kriteria dalam penelitian ini dirumuskan terlebih dahulu. Selanjutnya responden memberikan penilaian untuk menghasilkan bobot kriteria, sub-kriteria dan alternatif. Kriteria yang dirumuskan untuk perencanaan pemrograman jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah provinsi NAD ada yang bersifat kuantitatif, namun ada juga yang bersifat kualitatif. Kriteria dan sub kriteria yang dirumuskan kemudian diberikan pembobotan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Kriteria dan Sub-kriteria yang dirumuskan sebagai yang dapat dilihat pada Tabel IV.2. Dalam analisis simulasi penanganan program maka kriteria yang digunakan untuk proses top down adalah kriteria teknis, dalam tabel tersebut empat sub-kriteria pada kriteria peningkatan layanan transportasi langsung menjadi kriteria pada proses top down ini. Sementara untuk proses gabungan top down dan bottom up maka empat kriteria pada tabel tersebut bersama dengan masing-masing sub kriterianya dianalisis dalam memperoleh skala prioritas penanganan. IV.3.2 Analisis Bobot Kriteria Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot kriteria. Analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer MS EXCEL dengan menggunakan metode analisis pada Sub-bab III.10. Mengacu pada kuesioner yang digunakan, untuk pertanyaan dalam penentuan: program penanganan, dalam 137

9 penetuan bobot kriteria dan sub-kriteria, terdapat dua format yang digunakan. Format pertama adalah dengan memberikan rangking/urutan tingkat kepentingan dari setiap pilihan. Format kedua adalah dengan model pertanyaan perbandingan berpasangan (pair-wise comparisson). Maksud dari kuesioner untuk menampilkan kedua format tersebut adalah untuk memperoleh informasi dengan lengkap dan memudahkan bagi setiap responden. Karena jawaban yang diisikan pada format pertama (model rangking) akan menjadi panduan untuk menjawab kuesioner pada format kedua (perbandingan berpasangan). Tabel IV.2 Kriteria dan Sub-kriteria Penyusunan Program Penanganan Jaringan Jalan No. Kriteria Sub Kriteria 1. Pengembangan wilayah 1. Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan 2. Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL 3. Peningkatan kawasan tertinggal 4. Pengembangan kawasan khusus 5. Keterpaduan antar moda transportasi 2. Efisiensi Ekonomi 1. Total biaya yang dibutuhkan 2. Kelayakan ekonomi 3. Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK) 3. Peningkatan Layanan Transportasi 4. Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan 1. Indeks Aksessibilitas 2. Indeks Mobilitas 3. Tingkat kinerja lalu lintas (V/C) 4. Kondisi kerusakan jalan 1. Dampak terhadap kelestarian kawasan 2. Dampak terhadap ganti rugi lahan 3. Terciptanya lapangan kerja Ketika memasuki tahap analisis penentuan bobot pilihan, jawaban yang menggunakan perbandingan berpasangan, lebih dari 50% dari jawaban responden tidak konsisten (inconsistent). Syarat konsisten adalah dengan perolehan Indeks Konsistensi (CI) dan Rasio Konsistensi (CR). Penetapan suatu matriks analisis dianggap konsisten jika nilai CR lebih kecil atau sama dengan 0,1. Analisis konsistensi pembobotan ini mengacu pada penjelasan di bab III pada bagian III Artinya adalah, responden sulit membandingkan secara berpasangan sesuai dengan arahan pada bagian awal dari kusioner. Semakin banyak pilihan 138

10 yang harus diberikan penilaian berpasangan, maka semakin besar kemungkinan tidak konsisten. Jumlah maksimum pilihan yang paling mungkin bagi manusia untuk memberikan penilaian perbandingan berpasangan adalah sembilan (Saaty, 1994). Untuk itu dalam analisis ini digunakan format pertanyaan pertama (sistem rangking) untuk memperoleh bobot alternatif, kriteria dan sub-kriteria. Analisis penentuan bobot kriteria dari penentu kebijakan pmrograman ditampilkan pada Lampiran B. Bobot kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan, analisis dapat dilihat pada Lampiran C. Bobot kriteria rata-rata yang diperoleh untuk masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.3 dan Gambar IV.3. Tabel IV.3 Bobot Kriteria Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders No. Kriteria Pengambil Keputusan Bobot Stakeholders 1. Pengembangan wilayah 0,256 0, Efisiensi Ekonomi 0,207 0, Peningkatan Layanan Transportasi 0,402 0, Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan 0,136 0,195 Baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders secara garis besar memberikan pola yang yang sama terhadap kriteria penanganan. Artinya, jika diurut dalam bentuk rangking, kriteria peningkatan layanan transportasi menempati rangking pertama, kriteria pengembangan wilayah rangking kedua, kriteria efisiensi ekonomi rangking ketiga, dan kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan menempati rangking ke empat. Namun demikian, dari pihak pengambil keputusan, bobot kriteria dengan besaran yang cukup signifikan diberikan pada kriteria peningkatan layanan transportasi sebesar 0,402. Dapat dibaca di sini bahwa kriteria pihak pengambil keputusan lebih dominan diwakili oleh kriteria nyang sangat teknis dan terukur. 139

11 Pengambil Keputusan 0,6 Stakeholders bobot kriteria 0,4 0,2 0,0 Pengembangan wilayah Efisiensi Ekonomi Peningkatan Layanan Transp Lingk & Sosial Berkelanjutan kriteria Gambar IV.3 Perbandingan bobot kriteria antara pengambil keputusan dan stakeholders Bobot kriteria yang diperoleh dari stakeholders lebih terdistribusi. Walaupun kriteria layanan transportasi menempati rangking pertama dengan bobot 0,322 namun bobot yang lain lebih merata dan lebih besar dibandingkan dengan bobot yang diberikan oleh pengambil keputusan. Artinya adalah, bobot kriteria yang diberikan oleh stakeholders lebih terdistribusi dengan kriteria yang lain, tidak tertumpu semata-mata pada kriteria yang sangat teknis, yaitu kriteria peningkatan layanan transportasi. Masing-masing kriteria memiliki sub-kriteria. Dengan menggunakan formula yang sama pada analisis bobot kriteria, maka dilakukan juga analisis bobot untuk masing-masing sub-kriteria. Pada bagian berikut ini ditampilkan analisis bobot sub-kriteria dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders. Dengan demikian dapat dilihat perbandingan nilai bobot sub-kriteria yang diberikan oleh kedua pihak. IV Analisis Bobot Sub-kriteria Pengembangan Wilayah Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan 140

12 Gambar IV.4. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan adalah untuk kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan, sementara dari stakeholders diberikan pada bobot peningkatan kawasan tertinggal. Bobot terkecil diberikan oleh kedua pihak pada sub kriteria pengembangan kawasan khusus. Tabel IV.4 Bobot Sub-Kriteria Pengembangan Wilayah Bobot No. Kriteria Pengambil Keputusan Stakeholders 1. Kesepadanan dengan hirarki jaringan jalan 0,262 0, Keterkaitan antar PKN, PKW dan PKL 0,211 0, Peningkatan kawasan tertinggal 0,212 0, Pengembangan kawasan khusus 0,094 0, Keterpaduan antar moda transportasi 0,221 0,165 0,4 Pengambil Keputusan Stakeholders bobot sub-kriteria 0,2 0,0 Hirarki jaringan jalan Kaitan ant. PKN, PKW & PKL Peningk. kaw. tertinggal Pengemb. Kaw. khusus Multi moda transportasi sub-kriteria Gambar IV.4 Perbandingan bobot sub-kriteria pengembangan wilayah antara pengambil keputusan dan stakeholders. 141

13 IV Analisis Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi Perbandingan bobot sub-kriteria efisiensi ekonomi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.5 dan Gambar IV.5. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders diberikan pada sub-kriteria kelayakan ekonomi. Persepsi pengambil keputusan juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria penghematan biaya operasi kendaraan (BOK). Sementara kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub kriteria total biaya yang dibutuhkan. Tabel IV.5 Bobot Sub-kriteria Efisiensi Ekonomi Bobot No. Kriteria Pengambil Keputusan Stakeholders 1. Total biaya yang dibutuhkan 0,208 0, Kelayakan ekonomi 0,401 0, Penghematan Biaya Operasi 0,391 0,280 Kendaraan (BOK) bobot sub-kriteria 0,6 0,4 0,2 0,0 Tot. biaya yg dibutuhkan Kelayakan ekonomi sub-kriteria Pengambil Keputusan Stakeholders Penghematan BOK Gambar IV.5 Perbandingan bobot sub-kriteria Efisiensi Ekonomi antara pengambil keputusan dan stakeholders 142

14 IV Analisis Bobot Sub-Kriteria Peningkatan Layanan Transportasi Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi yang diberikan oleh pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.6 dan Gambar IV.6. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh PK jatuh pada sub-kriteria tingkat kinerja lalu lintas dan peringkat kedua adalah bobot kondisi kerusakan jalan juga dengan dengan bobot yang cukup besar. SH memberikan bobot terbesar pada sub-kriteria kondisi kerusakan jalan dan juga memberikan bobot yang cukup berimbang antara subkriteria indeks aksessibilitas dan tingkat kinerja lalu lintas. Tabel IV.6 Bobot Sub-kriteria Peningkatan Layanan Transportasi No. Kriteria Pengambil Keputusan Bobot Stakeholders 1. Indeks Aksessibilitas 0,193 0, Indeks Mobilitas 0,155 0, Tingkat kinerja lalu intas (V/C) 0,344 0, Kondisi kerusakan jalan 0,309 0,353 Pengambil Keputusan bobot sub-kriteria 0,4 0,2 0,0 Indeks Aksessibilitas Indeks Mobilitas Tkt kinerja lalin (V/C) Stakeholders Kondisi kerusakan jalan sub-kriteria Gambar IV.6 Perbandingan bobot sub-kriteria peningkatan layanan transportasi antara pengambil keputusan dan stakeholders. 143

15 IV Analisis Bobot Sub-Kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan yang diberikan oleh PK dan SH dapat dilihat pada Tabel IV.7 dan Gambar IV.7. Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa bobot tertinggi yang diberikan oleh pengambil keputusan dan stakeholders adalah pada sub-kriteria dampak terhadap kelestarian kawasan. SH juga memberikan bobot yang cukup signifikan untuk sub-kriteria terciptanya lapangan kerja. Kedua pihak memberikan bobot terkecil kepada sub-kriteria dampak terhadap ganti rugi lahan. Tabel IV.7 Bobot Sub-kriteria Lingkungan dan Sosial Berkelanjutan No. Kriteria Pengambil Keputusan Bobot Stakeholders 1. Dampak terhadap kelestarian 0,470 0,409 kawasan 2. Dampak terhadap ganti rugi lahan 0,240 0, Terciptanya lapangan kerja 0,290 0,340 0,6 Pengambil Keputusan Stakeholders bobot sub-kriteria 0,4 0,2 0,0 Dpk thp kelestarian kaw. Dpk thd ganti rugi lahan sub-kriteria Terciptanya lap. kerja Gambar IV.7 Perbandingan bobot sub-kriteria lingkungan dan sosial berkelanjutan antara pengambil keputusan dan stakeholders 144

16 IV.4 Perumusan Alternatif dan Bobot Alternatif Penanganan Dari kuesioner yang diedarkan ke responden baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan bobot alternatif. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode yang sama untuk memperoleh bobot kriteria. Hasil bobot alternatif dari masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders selanjutnya dirata-ratakan. Bobot alternatif rata-rata yang diperoleh untuk masing-masing pihak pengambil keputusan dan stakeholders dapat dilihat pada Tabel IV.8 dan Gambar IV.8. Tabel IV.8 Bobot Alternatif Pihak Pengambil Keputusan dan Stakeholders No. Kriteria Pengambil Keputusan Bobot Stakeholders 1. Pemeliharaan rutin 0,301 0, Pemeliharaan berkala 0,274 0, Peningkatan jalan 0,308 0, Pembangunan jalan baru 0,117 0,195 Dari tabel dan gambar tersebut dapat dilihat bahwa pihak pengambil keputusan memberikan bobot terbesar pada alternatif peningkatan jalan, dengan bobot hampir berimbang dengan pemeliharaan rutin. Stakeholders juga memberikan bobot terbaik yang cukup menonjol pada peningkatan jalan, diikuti dengan bobot yang hampir berimbang pada pemeliharaan rutin dan berkala. Sementara untuk alternatif pembangunan jalan baru, baik pihak pengambil keputusan maupun stakeholders tidak memberikan prioritas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari perolehan bobot yang mereka berikan hanya dikisaran 0,1. Hasil analisis pada sub bab IV.3 selanjutnya digunakan dalam perencanaan pemrograman penanganan sistem jaringan jalan nasional dan provinsi. Sementara hasil analisis pada sub bab IV.4 tidak digunakan dalam analisis penentuan program penanganan, akan tetapi hasil ini dapat menjadi masukan berupa aspirasi penentu kebijakan terhadap tingkat kepentingan alternatif penanganan jalan. 145

17 Pengambil Keputusan 0,35 Stakeholders 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 Pemeliharaan rutin Bobot Alternatif Pilihan Pemeliharaan berkala Peningkatan jalan Pembangunan jalan baru Alternatif Pilihan Gambar IV.8 Perbandingan Bobot Pilihan Penanganan pihak PK dan SH IV.5 Hasil Pemodelan Transportasi IV.5.1 Sistem Zona Untuk keperluan pemodelan transportasi maka wilayah penelitian dibagi menjadi beberapa zona sebagai agregasi wilayah pembangkit/penarik (asal/tujuan) perjalanan. Zona dapat dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni: 1. Zona internal, yaitu zona yang berada di dalam garis batas wilayah studi, 2. Zona eksternal, yaitu zona yang berada di luar garis batas wilayah studi yang digunakan untuk mencerminkan kondisi di luar wilayah studi. Pembagian zona pada studi ini didasarkan pada batas administrasi kabupaten/kota. Jika dilihat dari administrasi dan geografi wilayah, Provinsi NAD memiliki 21 kabupaten/kota. Dua kabupaten/kota terletak di daerah pulau yang terpisah dengan daratan Provinsi NAD, yaitu Sabang dan Simeulue. Pertimbangan teknis dan objek kajian (jalan nasional dan provinsi), artinya pergerakan antar kota, maka Sabang dan Simelue dimasukkan sebagai zona eksternal. Zona eksternal yang lain 146

18 yang dimasukkan adalah kota Medan dan sekitarnya. Data nomor zona dan nama zona untuk wilayah studi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel IV.9 berikut. Tabel IV.9 Nama dan Nomor Zona No Nama Zona Nomor Zona No Nama Zona Nomor Zona 1 Banda Aceh Aceh Selatan Aceh Besar Aceh Singkil Pidie Aceh Barat Daya Bireun Aceh Barat Lhokseumawe Nagan Raya Aceh Utara Aceh Jaya Aceh Timur Aceh Tengah Langsa Bener Meriah Aceh Tamiang Simeulue Gayo Lues Sabang Aceh Tenggara Medan 1022 Keterangan: zona no 20, 21, dan 22 adalah zona eksternal IV.5.2 Sistem Jaringan Jalan Jaringan jalan terdiri dari ruas jalan atau link yang umumnya diberi atribut panjang, kapasitas, dan kecepatan operasinya. Pertemuan antar ruas jalan disebut dengan simpul atau node yang dapat berupa persimpangan jalan (dengan atau tanpa lampu pengatur lalu lintas), sedangkan untuk studi jaringan transportasi regional antar kota simpul dapat berupa kota. Setiap ruas jalan yang dikodefikasi harus dilengkapi dengan beberapa atribut ruas yang menyatakan perilaku, ciri, dan kemampuan ruas jalan dalam mengalirkan arus lalu lintas. Beberapa atribut tersebut adalah panjang ruas, kecepatan ruas (kecepatan arus bebas atau kecepatan sesaat), dan kapasitas ruas yang dinyatakan dalam bentuk Satuan Mobil Penumpang (smp) per jam. Pada Gambar IV.10 disajikan model sistem jaringan jalan di wilayah kajian. 147

19 Keterangan: Pusat Zona Node Link Centroid Connector Gambar IV.9 Model Sistem Jaringan Jalan di Wilayah Studi (Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005)) IV.5.3 Persamaan Bangkitan/Tarikan Hal ini mencakup bangkitan dan tarikan pergerakan pada suatu wilayah studi. Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalulintas. Hasil keluaran dari analisis bangkitan dan tarikan lalulintas adalah berupa jumlah kendaraan, orang, atau angkutan barang per satuan waktu, misalnya kendaraan/jam. Dalam analisisnya, bangkitan pergerakan harus dianalisis secara terpisah dengan tarikan pergerakan. Jadi, tujuan akhir analisis tahapan bangkitan pergerakan adalah menaksir setepat mungkin bangkitan dan tarikan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang. 148

20 Model bangkitan/tarikan dikembangkan dari data OD Nasional 2001 dan data sosio-ekonomi pada tahun yang sama. Dengan metoda step-wise, fungsi yang mengkaitkan antara data sosio-ekonomi (yang terukur dan terdapat data tahunannya) dengan bangkitan/tarikan. Bentuk persamaan yang dipilih adalah persamaan regresi linier berganda. Dan sesuai dengan metoda step-wise, maka untuk model bangkitan/tarikan adalah persamaan yang memiliki nilai parameterparameter statistik tertinggi (dari alternatif yang ada) dan persamaan konsisten dengan hipotesa umum (misalnya semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi pula jumlah bangkitan/tarikan atau semakin tinggi PDRB suatu zona, semakin tinggi juga bangkitan/tarikannya). Langkah analisis model bangkitan/tarikan pergerakan, dapat dilihat pada Lampiran D. Persamaan bangkitan/tarikan untuk penumpang dan barang adalah: 1. Persamaan Bangkitan Penumpang: Oi = , (Jlh Penduduk Zona i) (jlh kendaraan zona i) 2. Persamaan Tarikan Penumpang: Dd = , (Jumlah PDRB Zona d)+9.34 (Jlh kendaraan zona d) 3. Persamaan Bangkitan Barang: Oi = , (Jlh PDRB Zona i)+4.745(jlh kendaraan zona i) 4. Persamaan Tarikan Barang: Dd = ,188 +0,6587 (Jlh Penduduk Zona d) Pada tabel berikut disajikan bangkitan/tarikan tiap tahun tinjauan baik untuk penumpang maupun barang. 149

21 Tabel IV.10 Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No. Nama Zona Bangkitan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) Aceh Singkil 853, , , , , ,577 2 Aceh Selatan 994,779 1,001,430 1,008,223 1,015,161 1,022,249 1,029,488 3 Aceh Tenggara 830, , , , , ,162 4 Aceh Timur 1,175,701 1,185,578 1,195,662 1,205,956 1,216,467 1,227,199 5 Aceh Tengah 1,138,783 1,149,202 1,159,860 1,170,762 1,181,915 1,193,324 6 Aceh Barat 902, , , , , ,856 7 Aceh Besar 1,182,844 1,193,011 1,203,394 1,213,996 1,224,824 1,235,882 8 Pidie 1,442,578 1,457,489 1,472,712 1,488,255 1,504,123 1,520,325 9 Bireun 1,550,830 1,569,697 1,588,990 1,608,720 1,628,898 1,649, Aceh Utara 2,165,115 2,197,897 2,231,435 2,265,747 2,300,853 2,336, Aceh Barat Daya 1,009,281 1,017,051 1,025,000 1,033,133 1,041,454 1,049, Gayo Lues 735, , , , , , Aceh Tamiang 1,019,285 1,026,107 1,033,069 1,040,176 1,047,430 1,054, Nagan Raya 821, , , , , , Aceh Jaya 795, , , , , , Banda Aceh 3,564,011 3,634,327 3,706,371 3,780,185 3,855,812 3,933, Langsa 1,554,470 1,575,632 1,597,306 1,619,503 1,642,238 1,665, Lhokseumawe 1,743,582 1,769,431 1,795,909 1,823,031 1,850,812 1,879, Bener Meriah 2,459,607 2,503,574 2,548,625 2,594,786 2,642,087 2,690, Simeulue 749, , , , , , Sabang 716, , , , , , Medan 18,133,447 19,674,069 21,360,734 23,207,439 25,229,520 27,443,788 Sumber: Hasil Analisis Tabel IV.11 Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) No. Nama Zona Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) Aceh Singkil 835, , , , , ,518 2 Aceh Selatan 975, , , , , ,718 3 Aceh Tenggara 743, , , , , ,618 4 Aceh Timur 1,347,767 1,353,182 1,358,715 1,364,368 1,370,145 1,376,048 5 Aceh Tengah 1,169,308 1,175,880 1,182,606 1,189,489 1,196,533 1,203,742 6 Aceh Barat 857, , , , , ,107 7 Aceh Besar 1,111,264 1,116,687 1,122,234 1,127,909 1,133,714 1,139,652 8 Pidie 1,032,022 1,039,235 1,046,624 1,054,195 1,061,951 1,069,897 9 Bireun 1,317,716 1,328,884 1,340,321 1,352,034 1,364,030 1,376, Aceh Utara 2,481,743 2,501,751 2,522,248 2,543,247 2,564,758 2,586, Aceh Barat Daya 961, , , , , , Gayo Lues 734, , , , , , Aceh Tamiang 899, , , , , , Nagan Raya 829, , , , , ,

22 Tabel IV.11 Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) (lanjutan) No. 15 Nama Zona Tarikan Pergerakan Penumpang (pergerakan/tahun) Aceh Jaya 968, , , , , , Banda Aceh 2,708,635 2,756,670 2,805,901 2,856,357 2,908,071 2,961, Langsa 1,407,756 1,422,053 1,436,698 1,451,700 1,467,068 1,482, Lhokseumawe 2,719,834 2,737,636 2,755,869 2,774,543 2,793,669 2,813, Bener Meriah 1,977,863 2,008,290 2,039,471 2,071,424 2,104,170 2,137, Simeulue 988, , , , , , Sabang 925, , , , , , Medan 13,089,754 14,162,827 15,338,678 16,627,173 18,039,125 19,586,386 Sumber: Hasil Analisis Tabel IV.12 Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) No. Nama Zona Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) Aceh Singkil 476, , , , , ,044 2 Aceh Selatan 551, , , , , ,353 3 Aceh Tenggara 425, , , , , ,876 4 Aceh Timur 760, , , , , ,983 5 Aceh Tengah 655, , , , , ,680 6 Aceh Barat 487, , , , , ,299 7 Aceh Besar 624, , , , , ,420 8 Pidie 574, , , , , ,679 9 Bireun 728, , , , , , Aceh Utara 1,369,919 1,380,113 1,390,554 1,401,250 1,412,207 1,423, Aceh Barat Daya 540, , , , , , Gayo Lues 421, , , , , , Aceh Tamiang 508, , , , , , Nagan Raya 473, , , , , , Aceh Jaya 552, , , , , , Banda Aceh 1,428,951 1,453,365 1,478,387 1,504,032 1,530,315 1,557, Langsa 771, , , , , , Lhokseumawe 1,511,481 1,520,562 1,529,862 1,539,385 1,549,139 1,559, Bener Meriah 1,056,279 1,071,754 1,087,611 1,103,861 1,120,514 1,137, Simeulue 565, , , , , , Sabang 529, , , , , , Medan 6,773,524 7,318,796 7,916,278 8,570,983 9,288,404 10,074,562 Sumber: Hasil Analisis 151

23 Tabel IV.13 Tarikan Pergerakan Barang (ton/tahun) No. Nama Zona Bangkitan Pergerakan Barang (ton/tahun) Aceh Singkil 719, , , , , ,439 2 Aceh Selatan 746, , , , , ,082 3 Aceh Tenggara 735, , , , , ,579 4 Aceh Timur 832, , , , , ,894 5 Aceh Tengah 735, , , , , ,676 6 Aceh Barat 729, , , , , ,873 7 Aceh Besar 825, , , , , ,417 8 Pidie 938, , , , , ,294 9 Bireun 856, , , , , , Aceh Utara 950, , , , , , Aceh Barat Daya 696, , , , , , Gayo Lues 667, , , , , , Aceh Tamiang 776, , , , , , Nagan Raya 696, , , , , , Aceh Jaya 674, , , , , , Banda Aceh 782, , , , , , Langsa 712, , , , , , Lhokseumawe 715, , , , , , Bener Meriah 700, , , , , , Simeulue 669, , , , , , Sabang 640, , , , , , Medan 1,980,524 1,998,871 2,017,465 2,036,311 2,055,411 2,074,769 Sumber: Hasil Analisis Selanjutnya besar bangkitan/tarikan dalam satuan pergerakan/tahun (penumpang) dan ton/tahun (barang) akan dikonversikan ke dalam satuan smp/jam. Metoda konversi ke dalam satuan smp/jam, adalah: a. Penumpang, asumsi 5 pergerakan sama dengan 1 smp dan nilai k = 0,11, (jalan luar kota, dalam MKJI 1997), b. Barang, asumsi 8 ton sama dengan 1 kendaraan truk sedang dengan nilai emp = 4,2 (daerah luar kota dengan gradien 5%) dan nilai k = 0,11 (jalan luar kota, dalam MKJI 1997). 152

24 Tabel IV.14 Total Bangkitan Penumpang dan Barang (smp/jam) No. Nama Zona Total Bangkitan Pergerakan (smp/jam) Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireun Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya Banda Aceh Langsa Lhokseumawe Bener Meriah Simeulue Sabang Medan 2,165 2,344 2,540 2,755 2,990 3,248 Sumber: Hasil Analisis Tabel IV.15 Total Tarikan Penumpang dan Barang (smp/jam) No. Nama Zona Total Tarikan Pergerakan (smp/jam) Aceh Singkil Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Bireun Aceh Utara Aceh Barat Daya Gayo Lues Aceh Tamiang Nagan Raya Aceh Jaya

25 Tabel IV.15 Total Tarikan Penumpang dan Barang (smp/jam) (lanjutan) No. Nama Zona Total Tarikan Pergerakan (smp/jam) Banda Aceh Langsa Lhokseumawe Bener Meriah Simeulue Sabang Medan 1,305 1,410 1,527 1,657 1,802 1,964 Sumber: Hasil Analisis IV.5.4 Penentuan Matriks Asal Tujuan (MAT) Bangkitan pergerakan memperlihatkan banyaknya lalulintas yang dibangkitkan oleh setiap tata guna lahan, sedangkan sebaran perjalanan/pergerakan menunjukkan ke mana dan dari mana lalulintas tersebut. Dibentuknya Matriks Asal-Tujuan (MAT) adalah cara yang sering digunakan oleh perencana untuk menggambarkan pola pergerakan tersebut. Matriks Asal Tujuan (MAT) dibentuk dari matriks biaya dan besarnya bangkitan/tarikan (Tabel IV.14 dan Tabel IV.15) dari tiap zona dengan menggunakan model gravity (GR). Matriks biaya dalam hal ini yang digunakan adalah jarak antar pusat zona. Penggunaan variabel jarak adalah sesuai dengan studi Isya et al. (2006). Pada Tabel IV.16 disajikan matriks jarak yang digunakan sebagai fungsi hambatan. Jarak tersebut merupakan jarak antar pusat zona dengan perjalanan darat jalan raya. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer C ++. MAT Tahun Dasar 2007 diperoleh dengan menggunakan Prior Matrix hasil sebaran pergerakan bangkitan tarikan dengan metoda gravity yang kemudian dikalibrasi dengan data volume lalu lintas Tahun 2007 hasil survey sehingga diperoleh hasil berupa Up To Date MAT. Proses estimasi MAT dengan data arus lalu lintas disebut dengan proses ME2 (Matrix Estimation from Maximum Entropy) yang telah tersedia dalam software SATURN. 154

26 Tabel IV.16 Matriks Jarak Antar Zona (Km) Nama & No. Zona Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireuen Lhokseumawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Bener Meriah Aceh Tengah Aceh Tenggara Gayo Lues Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya A Barat Daya Aceh Selatan Aceh Singkil Simeulue Sabang Medan

27 Metode yang digunakan dalam analisis MAT adalah metode Gravity Model jenis dua batasan seperti yang telah disampaikan pada bagian II tentang Gravity Model. Hasil analisis untuk satu tahun tinjauan seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.17 disajikan MAT tahun Zona Tabel IV.17 Matriks Asal Tujuan (smp/jam) tahun 2007 Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireun Lhokseu mawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Daya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tengah Bener Meriah Simeulue Sabang Medan Banda Aceh Aceh Besar Pidie Bireun Lhokseumawe Aceh Utara Aceh Timur Langsa Aceh Tamiang Gayo Lues Aceh Tenggara Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Barat Daya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Jaya Aceh Tengah Bener Meriah Simeulue Sabang Medan Selengkapnya MAT tiap tahun tinjauan ditampilkan pada Lampiran E. IV.5.5 Kinerja Jaringan Jalan Garis keinginan (desire line) menggambarkan besarnya pergerakan antar zona di wilayah kajian. Garis keinginan merupakan bentuk grafis dari MAT. Nama ini diberikan karena pola pergerakan selain mempunyai dimensi jumlah pergerakan, juga mempunyai dimensi ruang yang lebih mudah digambarkan secara grafis. Dari matriks asal tujuan (MAT) dapat diketahui arus pergerakan antar zona tetapi tidak diketahui gambaran arahan atau orientasi pergerakan tersebut. Hal ini dapat diatasi dengan bantuan garis keinginan (desire line) yang menunjukkan gambaran pergerakan yang terjadi, meskipun ada juga kelemahannya berupa tidak tepatnya informasi arus pergerakan (besar arus pergerakan dinyatakan dengan tebal garis keinginan). Garis keinginan (desire line) dan demand flow untuk dua tahun tinjauan di wilayah kajian disajikan pada Gambar IV.10 dan IV

28 Keterangan gambar (smp/jam) Gambar IV.10 Desire Line Tahun 2007 (Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005)) Keterangan gambar (smp/jam) Gambar IV.11 Demand Flow Tahun 2007 (Peta Dasar Dinas Praswil NAD (2005)) 157

29 Pada tiap tahun kajian akan dilakukan analisis kinerja operasional sistem jaringan jalan hasil simulasi pembebanan lalu lintas. Kinerja operasional sistem jaringan jalan yang perlu dilihat dalam penelitian ini adalah degree of saturated atau V/C Ratio (perbandingan Volume dengan Kapasitas), kecepatan pada ruas jalan, serta parameter International Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan. Analisis kapasitas dapat dilihat pada Lampiran F dan Kinerja jaringan pada Lampiran G. Sebagai contoh hasil analisis kinerja jaringan seperti yang dapat dilihat pada Tabel IV.18. Tabel IV.18 Kinerja Jaringan Jalan Tahun 2007 No Nama Ruas Tahun 2007 Kec (Km/jam) VCR IRI Akhir 1 Banda Aceh-Indrapuri Indrapuri-Seulimeun Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Seulimum-Padangtiji Padangtiji-Sigli Padangtiji-Sigli Sigli-Beureunuen Beureunuen-Uleglee Uleglee-Bireuen Bireuen-Geurugok Geurugok-Kruenggeukuh Kruenggeukuh-Lhokseumawe Lhokseumawe-Bayu Bayu-Blangjuron Blangjruen-Pantonlabu Pantonlabu-Peureulak Pereulak-Bayeun Bayeun-Langsa Langsa-Tualangcut Sumber: Hasil Analisis IV.6 Penilaian Kriteria Kriteria prioritasi program penanganan jaringan jalan dapat dispesifikasi dari sasaran penyelenggaraan jaringan jalan. Adapun peranan jalan seperti dalam amanat UU No. 38 Tahun 2004, disampaikan bahwa: jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan serta 158

30 dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu disampaikan juga bahwa jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Tujuan tersebut dapat diekstraksi sebagai berikut, yakni: efisiensi operasi, efektifitas dorongan bagi pengembangan ekonomi, pemerataan akses, fungsi sosial, dan fungsi hankam. Dari sasaran pengembangan sistem transportasi wilayah, sejumlah kepentingan lainnya dan batasan/hambatan dalam penyelenggaraan jaringan jalan dapat dispesifikasi menjadi sejumlah kriteria yang berkenaan dengan tujuan/sasaran pengembangan sistem jaringan jalan di Provinsi NAD, seperti yang telah disampaikan pada anak sub bab IV.3.1 Proses penilaian kinerja suatu usulan terhadap kriteria penanganan jaringan jalan dilakukan dengan memberikan skor yang dilakukan oleh pakar (expert judgement) yang berkompeten di bidang transportasi, khususnya jalan. Dalam hal ini skor diberikan dengan skala antara 0 s/d 10, di mana angka 10 diberikan untuk usulan penanganan yang mampu memenuhi syarat kriteria yang tertinggi, dan sebaliknya angka 0 diberikan untuk penilaian terendah. Sehubungan dengan adanya kriteria yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, maka proses skoring untuk kedua jenis kriteria tersebut dibedakan. Penilaian terhadap tiap kriteria dijabarkan sebagai berikut. A. Pengembangan Wilayah Kriteria pengembangan wilayah terdiri dari 5 (lima) sub-kriteria, antara lain: 1. Hirarki jaringan jalan, Hirarki ruas jalan berdasarkan fungsi (Arteri, Kolektor Primer atau Kolektor Sekunder), di mana untuk ruas hirarki arteri diberi nilai 10, ruas hirarki kolektor primer diberi nilai 8, dan ruas hirarki kolektor sekunder diberi nilai Keterkaitan antar PKN, PKW, PKL, 159

31 Kota dengan hirarki PKN, PKW, PKL yang dihubungkan oleh setiap ruas, di mana untuk kota hirarki PKN diberi nilai 10, kota hirarki PKW diberi nilai 8, dan kota hirarki PKL diberi nilai Peningkatan kawasan tertinggal, Kawasan tertinggal di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan tertinggal berdasarkan RTRW Provinsi NAD. 4. Pengembangan kawasan khusus, Kawasan khusus di sekitar tiap ruas jalan. Ruas jalan akan memperoleh nilai 10 atau menjadi prioritas penanganan jika di sekitar ruas jalan tersebut terdapat kawasan khusus berdasarkan RTRW Provinsi NAD. Hal ini karena penanganan ruas jalan di sekitar kawasan khusus akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah. Nilai 10 diberikan untuk kawasan Kapet Bandar Aceh Darussalam, nilai 8 diberikan untuk kawasan potensi khusus, nilai 6 diberikan untuk kawasan andalan berkembang, nilai 4 diberi untuk kawasan prospektif untuk berkembang dan nilai 2 diberi untuk kawasan kritis. 5. Keterpaduan antar moda transportasi. Simpul yang yang terkait dengan setiap ruas jalan, seperti jalan raya, jalan rel, moda udara dan moda laut. Ruas jalan yang terkait dengan simpul terbanyak akan menjadi prioritas penanganan atau diberi nilai tinggi. B. Efisiensi Ekonomi Kriteria efisiensi ekonomi terdiri dari 3 (tiga) sub-kriteria, antara lain: 1. Total biaya, Skoring total biaya didasarkan terhadap biaya penanganan setiap ruas jalan. Ruas jalan dengan biaya penanganan yang kecil akan menjadi prioritas. Hal ini didasarkan terhadap keterbatasan dana yang tersedia. 160

Bab III Metode Penelitian

Bab III Metode Penelitian Bab III Metode Penelitian III.1 Tahapan Pelaksanaan Penelitian Objek penelitian pada disertasi ini adalah sistem jaringan jalan nasional dan provinsi dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Black, J.A. (1981), Urban Transport Planning: Theory and Practice, London, Cromm Helm.

DAFTAR PUSTAKA. Black, J.A. (1981), Urban Transport Planning: Theory and Practice, London, Cromm Helm. DAFTAR PUSTAKA Black, J.A. (1981), Urban Transport Planning: Theory and Practice, London, Cromm Helm. Bryson, J.M., (2005), Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Burke,

Lebih terperinci

PERAN JALAN ALTERNATIF DAN ANALISIS TRANSPORTASI BARANG PASCATSUNAMI DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PERAN JALAN ALTERNATIF DAN ANALISIS TRANSPORTASI BARANG PASCATSUNAMI DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PERAN JALAN ALTERNATIF DAN ANALISIS TRANSPORTASI BARANG PASCATSUNAMI DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Sofyan M. Saleh Staf Pengajar T. Sipil FT Unsyiah dan Mhs S3 Prodi Teknik Sipil ITB Lab. Transportasi,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk

BAB III LANDASAN TEORI. International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Konsep 3.1.1. Konsep partisipasi Kegiatan Perencanaan Angkutan Pemadu Moda New Yogyakarta International Airport akan melibatkan partisipasi dari stakeholders termasuk masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG PEMBAGIAN DAN PENYALURAN DANA BAGI HASIL PAJAK ROKOK KEPADA KABUPATEN/KOTA DALAM WILAYAH ACEH BERDASARKAN REALISASI PENERIMAAN BULAN DESEMBER 2015 DAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 29TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 29TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 29TAHUN 2016 TENTANG PEMBAGIAN DAN PENYALURAN KEKURANGAN DANA BAGI HASIL PAJAK ROKOK KEPADA KABUPATEN/KOTA DALAM WILAYAH ACEH BERDASARKAN REALISASI PENERIMAAN TAHUN 2014 DAN

Lebih terperinci

Luas Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota (hektar)

Luas Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota (hektar) Luas Penggunaan Lahan Pertanian Bukan Sawah Menurut (hektar) Dicetak Tanggal : Penggunaan Lahan Total Pertanian Bukan Luas Lahan Sawah Bukan Sawah Pertanian (1) (2) (3) (4) (5) 01 Simeulue 10.927 74.508

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 27 TAHUN 2016 TENTANG PEMBAGIAN DAN PENYALURAN DANA BAGI HASIL PAJAK KENDARAAN BERMOTOR, BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR, PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR DAN PAJAK

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 28/07/Th.XIX, 1 Juli 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Provinsi Aceh Tahun 2015 Pembangunan manusia di Provinsi Aceh pada tahun 2015 terus mengalami

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 23/05/Th.XX, 5 Mei 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Provinsi Aceh Tahun 2016 Pembangunan manusia di Provinsi Aceh pada tahun 2016 terus mengalami

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Umum Metodologi penelitian ini intinya adalah menguraikan bagaimana cara penelitian dilakukan. Data yang dikumpulkan harus sesuai dengan judul tesis dan memenuhi tujuan penelitian.

Lebih terperinci

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA

PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA PENENTUAN URUTAN PRIORITAS USULAN PENANGANAN RUAS-RUAS JALAN DI KOTA SAMARINDA Desy Damayanti Mahasiswa Magister Manajemen Aset FTSP ITS Ria Asih Aryani Soemitro Dosen Pembina Magister Manajemen Aset FTSP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi merupakan urat-nadi kehidupan politik, ekonomi, sosialbudaya dan pertahanan keamanan nasional yang sangat vital perannya dalam ketahanan nasional.sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi sebagai urat-nadi berkehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional yang sangat penting perannya dalam ketahanan nasional.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan.

I. PENDAHULUAN. Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan. Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Transportasi sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang pembangunan. Transportasi merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab ini diuraikan beberapa kajian teoretis dari literature dan kajian normatif dari dokumen perundangan dan statutory product lainnya yang diharapkan dapat menjadi dasar pijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penduduk Laki Laki dan Wanita Usia 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis Kegiatan Utama, (ribu orang)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penduduk Laki Laki dan Wanita Usia 15 Tahun Ke Atas menurut Jenis Kegiatan Utama, (ribu orang) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk dapat merupakan potensi yang besar untuk peningkatan produksi nasional. Produksi nasional bisa meningkat jika penduduk merupakan tenaga kerja yang produktif,

Lebih terperinci

PRODUKSI BERAS PROVINSI ACEH HASIL INDUSTRI PENGGILINGAN PADI JAN APR 2012

PRODUKSI BERAS PROVINSI ACEH HASIL INDUSTRI PENGGILINGAN PADI JAN APR 2012 No. 42/09/12/Th I, 03 September 2012 PRODUKSI BERAS PROVINSI ACEH HASIL INDUSTRI PENGGILINGAN PADI JAN APR 2012 PRODUKSI BERAS PROVINSI ACEH JANUARI APRIL 2012 SEBANYAK 201.605,53 TON Produksi beras provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Rizal Afriansyah Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Email : rizaldi_87@yahoo.co.id Abstrak - Transportasi mempunyai

Lebih terperinci

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 B P S P R O V I N S I A C E H No. 11/02/Th.XVIII, 16 Februari 2015 Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH

PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH ADINDA PUTRI SIAGIAN / NRP. 3609100701 Dosen Pembimbing Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.

Lebih terperinci

2/6/2017. Pertemuan Kedua JARINGAN SENTRIPETAL DAN SENTRIFUGAL. Prodi S1 Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada

2/6/2017. Pertemuan Kedua JARINGAN SENTRIPETAL DAN SENTRIFUGAL. Prodi S1 Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada Pertemuan Kedua Prodi S1 Teknik Sipil, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada JARINGAN SENTRIPETAL DAN SENTRIFUGAL Secara garis besar, jaringan cenderung memiliki 2 dampak spasial

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi adalah suatu kerangka pendekatan pola pikir dalam rangka menyusun dan melaksanakan suatu penelitian. Tujuannya adalah untuk mengarahkan proses berpikir untuk menjawab

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 UMUM Keperluan data pada studi kali ini meliputi data model transportasi yang berupa data jaringan jalan, data model sistem zona, dan data matriks asal-tujuan,

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 No. 25/05/Th. XX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang. berbunyi:.daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak kebijakan otonomi daerah di Indonesia dicanangkan banyak daerahdaerah yang cenderung untuk melaksanakan pemekaran wilayah. Peluang secara normatif untuk melakukan

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH MW\DATAWAHED\2014\PER.GUB.

GUBERNUR ACEH MW\DATAWAHED\2014\PER.GUB. GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PAGU DEFINITIF TAMBAHAN DANA BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI DAN DANA OTONOMI KHUSUS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan suatu kota ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi. Hal ini tercermin dengan semakin meningkatnya penggunaan lahan baik

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG bidang TEKNIK ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG MOHAMAD DONIE AULIA, ST., MT Program Studi Teknik Sipil FTIK Universitas Komputer Indonesia Pembangunan pada suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permen RI No. 34 Tahun 2006 menyatakan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya

Lebih terperinci

Klaster Pengembangan Industri Berbasis Perkebunan dalam Pengembangan Wilayah di Provinsi Aceh

Klaster Pengembangan Industri Berbasis Perkebunan dalam Pengembangan Wilayah di Provinsi Aceh JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 23373539 (23019271 Print) 1 Klaster Pengembangan Industri Berbasis Perkebunan dalam Pengembangan Wilayah di Provinsi Aceh Adinda Putri Siagian dan Eko Budi

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG

5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG 5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG 5.1 Kebijakan Kewilayahan Rencana Struktur ruang wilayah Kabupaten Nagekeo meliputi, rencana sistem perkotaan wilayah dan rencana sistem jaringan prasarana skala kabupaten.

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH Tri Prastiwi 1 Muhammad Arfan 2 Darwanis 3 Abstract: Analysis of the performance of

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 53/11/TH XVI, 6 November 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2013 AGUSTUS 2013: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 10,3 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan kebutuhan turunan dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin pada peningkatan intensitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh 5.1.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, dan Penyerapan

Lebih terperinci

BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH. Oleh: Kabid Pengembangan Investasi. Sosialisasi RUPM Aceh 29 Agustus 2013

BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH. Oleh: Kabid Pengembangan Investasi. Sosialisasi RUPM Aceh 29 Agustus 2013 BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH Oleh: Kabid Pengembangan Investasi Sosialisasi RUPM Aceh 29 Agustus 2013 OUTLINE I II DASAR HUKUM PELAKSANAAN MAKSUD,TUJUAN DAN SASARAN PENGENDALIANUNGSI & MANFAAT LKPM

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Secara detil metodologi analisis dampak lalulintas Kegiatan Pembangunan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Secara detil metodologi analisis dampak lalulintas Kegiatan Pembangunan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bagan Alir Metodologi Secara detil metodologi analisis dampak lalulintas Kegiatan Pembangunan Districk 9 Apartment. Desain proses pengerjaan dokumen perlu dibuat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan minuman internasional dan digemari oleh bangsa-bangsa di

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan minuman internasional dan digemari oleh bangsa-bangsa di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi merupakan minuman internasional dan digemari oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Kopi sudah pula menjadi bagian dari kehidupan manusia seharihari. Kopi diperlukan

Lebih terperinci

Besar Bobot Kejadian. Kapasitas jalan (smp/jam) Kendaraan (smp/jam)

Besar Bobot Kejadian. Kapasitas jalan (smp/jam) Kendaraan (smp/jam) Hambatan Samping Bobot Faktor Jumlah (per jam) Besar Bobot Pejalan Kaki 0,5 189 94,5 Parkir, kendaraan 1,0 271 271 berhenti Keluar-masuk 0,7 374 261,8 kendaraan Kendaraan lambat 0,4 206 82,4 Total 709,7

Lebih terperinci

Fortifikasi Garam Beriodium dalam Rangka Peningkatan Angka KGBI Aceh

Fortifikasi Garam Beriodium dalam Rangka Peningkatan Angka KGBI Aceh Fortifikasi Garam Beriodium dalam Rangka Peningkatan Angka KGBI Aceh Elly Sufriadi Tim Penulis RAD AKGB Aceh Dosen FMIPA Kimia Universitas Syiah Kuala Perbandingan Konsumsi Garam Berodium Nasional Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat secara keseluruhan (Munawar, 2004). Untuk tujuan tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat secara keseluruhan (Munawar, 2004). Untuk tujuan tersebut, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor jalan merupakan salah satu penunjang yang sangat penting bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan luas wilayah 265 km 2 dan jumlah penduduk 2.602.612 pada tahun 2013. Pertumbuhan Kota Medan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kompleks dibanding daerah sekitarnya (Bintarto, 1977). perekonomian, atau sebagai pusat pemerintahan (Darmendra, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkotaan merupakan bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian dan perkebunan memegang peranan penting dan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian dan perkebunan memegang peranan penting dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dan perkebunan memegang peranan penting dan merupakan sektor dalam perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia. Pentingnya sektor-sektor pertanian

Lebih terperinci

5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG

5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG 5 BAB V PERKIRAAN KONDISI MENDATANG 5.1 Kebijakan Perwilayahan Arahan kebijakan Kabupaten Manggarai Barat dalam rencana struktur kota-kota yang perlu dikembangkan di Kabupaten Manggarai Barat, terdiri

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 46/11/11/Th.V, 5 November 2012 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2012 AGUSTUS 2012: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 9,10 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

Dr. Sri Atmaja P. Rosyidi Laboratorium Teknik dan Infrastruktur Transportasi Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. Sri Atmaja P. Rosyidi Laboratorium Teknik dan Infrastruktur Transportasi Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr. Sri Atmaja P. Rosyidi Laboratorium Teknik dan Infrastruktur Jurusan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Chapter 01 Model suatu sistem wilayah (perkotaan) adalah model spasial, sehingga diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi adalah suatu pergerakan orang dan barang. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehariharinya, sehingga transportasi

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA BANDA ACEH NANGGROE ACEH DARUSSALAM KOTA BANDA ACEH ADMINISTRASI Profil Wilayah Aceh Utara berada pada jalur yang sangat strategis yang merupakan titik tengah antara Banda

Lebih terperinci

PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D NOPEMBER 2008

PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D NOPEMBER 2008 PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D NOPEMBER 2008 Sabang B. A. Pidie Pidie Jaya Bireun Lhokseuma Pidie Pidie Jaya Langsa A. Jaya B. Meriah A. Tengah A. Barat G. Lues Nagan Abdya Agara Simeulue

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 BAB. I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Keinginan membangun jaringan Trans Sumatera dengan maksud memberdayakan sumber daya alam yang melimpah dimiliki oleh Sumatera utara dan Riau telah lama direncanakan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkotaan yang mengalami perkembangan selalu menghadapi permasalahan

I. PENDAHULUAN. Perkotaan yang mengalami perkembangan selalu menghadapi permasalahan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkotaan yang mengalami perkembangan selalu menghadapi permasalahan pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Pertumbuhan penduduk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Jaringan Jalan Berdasarkan Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

PECAPP. Now or Never. Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012

PECAPP. Now or Never. Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012 Now or Never Pengelolaan Sumber Daya Keuangan Aceh yang Lebih Baik Analisa Belanja Publik Aceh 2012 Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Aceh akan menerima lebih dari Rp 100T pada akhir

Lebih terperinci

PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D JULI 2009

PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D JULI 2009 PETA PENCAPAIAN PB TERHADAP PPM PB PER KAB/KOTA S/D JULI 2009 Sabang B. A. Jaya Bireun Lhokseuma Utara Jaya Langsa A. Jaya B. Mariah A. Tengah A. Barat G. Lues Nagan Abdya Agara Simeulue A. Subulussalam

Lebih terperinci

Proyeksi Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Aceh. UNITED NATIONS POPULATION FUND JAKARTA 2015 BADAN PUSAT STATISTIK

Proyeksi Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Aceh.  UNITED NATIONS POPULATION FUND JAKARTA 2015 BADAN PUSAT STATISTIK Proyeksi Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Aceh 2010-2020 BADAN PUSAT STATISTIK UNITED NATIONS POPULATION FUND JAKARTA 2015 BADAN PUSAT STATISTIK Proyeksi Penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Aceh ht t p: //w

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Pringsewu dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Pringsewu dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Pringsewu dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 dan merupakan Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus. Ditinjau

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI PROVINSI ACEH Keadaan Geografis dan Wilayah Administrasi

V. DESKRIPSI PROVINSI ACEH Keadaan Geografis dan Wilayah Administrasi V. DESKRIPSI PROVINSI ACEH 5.1. Keadaan Geografis dan Wilayah Administrasi Daerah Aceh terletak di kawasan paling ujung dari bagian utara Pulau Sumatera dengan luas areal 58.357.63 km 2. Letak geografis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Temuan Studi Temuan studi ini merupakan beberapa hal yang ditemukan saat melakukan studi, terlepas dari dari sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Temuan studi tersebut

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA 5.1 UMUM

BAB V ANALISIS DATA 5.1 UMUM BAB V ANALISIS DATA 5.1 UMUM Bab ini akan menyampaikan hasil pemeriksaaan dampak parkir di badan jalan yang ditampilkan melalui indikator kinerja jaringan jalan. Dengan data-data yang diperoleh dan diolah

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 No. 39/08/THXVIII.3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 501.893 KUINTAL, CABAI RAWIT SEBESAR 528.704 KUINTAL, DAN BAWANG MERAH SEBESAR

Lebih terperinci

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PERENCANAAN, PENYALURAN, PELAKSANAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BANTUAN BIAYA OPERASIONAL SEKOLAH

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

ANALISIS INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BERDASARKAN KAPASITAS JALAN

ANALISIS INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BERDASARKAN KAPASITAS JALAN ANALISIS INTENSITAS BANGUNAN KORIDOR JALAN RAYA CIMAHI BERDASARKAN KAPASITAS JALAN TUGAS AKHIR Oleh : Beri Titania 15403053 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Berdasarkan fungsinya, jalan dibagi lagi menjadi jalan arteri primer yang

Lebih terperinci

STUDI PENANGANAN JALAN RUAS BUNDER LEGUNDI AKIBAT PEKEMBANGAN LALU - LINTAS

STUDI PENANGANAN JALAN RUAS BUNDER LEGUNDI AKIBAT PEKEMBANGAN LALU - LINTAS Program Studi MMTITS, Surabaya 3 Pebruari 2007 STUDI PENANGANAN JALAN RUAS BUNDER LEGUNDI AKIBAT PEKEMBANGAN LALU LINTAS Hery Wiriantoro Program Studi Magister Manajemen Teknologi Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB III Tinjauan Perekonomian Menurut Lapangan Usaha Kabupaten/Kota Provinsi Aceh 33 Tahun 2015

BAB III Tinjauan Perekonomian Menurut Lapangan Usaha Kabupaten/Kota Provinsi Aceh 33 Tahun 2015 BAB III 33 TINJAUAN MENURUT LAPANGAN USAHA 34 0,96 7,52 8,62 7,90 29,62 25,76 22,78 22,96 36,25 32,35 34,06 31,10 29,86 30,82 42,95 44,89 44,84 41,18 39,94 39,52 41,37 48,12 49,07 BAB III BAB III TINJAUAN

Lebih terperinci

Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam

Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam Tidak adanya metode khusus yang digunakan oleh Satuan Kerja Sementara Pemeliharaan Jalan Papua Barat dalam menentukan skala prioritas dalam penyusunan usulan penanganan jaringan jalan Keterbatasan dana

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 15 BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Transportasi Transportasi merupakan suatu proses pergerakan memindahkan manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat lainnya pada suatu waktu. Pergerakan manusia

Lebih terperinci

POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013

POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013 POTRET BELANJA PUBLIK ACEH TENGAH TAHUN 2013 Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program (PECAPP) Takengon, 19 Desember 2013 PENERIMAAN DAERAH 2 Penerimaan Aceh Tengah meningkat secara

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali membaik, terlihat dari TPAK yang menunjukkan peningkatan dari 61,77% pada Agustus 2012 menjadi 65,56% per Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara yang terletak di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara yang terletak di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten yang merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara yang terletak di bagian pesisir pantai barat pulau

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH. 7. Peraturan./2 MW\DATAWAHED\2009\PER.GUB\AGUSTUS.

GUBERNUR ACEH. 7. Peraturan./2 MW\DATAWAHED\2009\PER.GUB\AGUSTUS. GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 93 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYALURAN BANTUAN SOSIAL PADA DINAS SYARIAT ISLAM ACEH TAHUN 2009 GUBERNUR ACEH, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk kelancaran

Lebih terperinci

Analisis Belanja Infrastruktur D i a n t a r a J a l a n B e r l u b a n g. T. Triansa Putra Banda Aceh, 26 Februari 2013

Analisis Belanja Infrastruktur D i a n t a r a J a l a n B e r l u b a n g. T. Triansa Putra Banda Aceh, 26 Februari 2013 Analisis Belanja Infrastruktur D i a n t a r a J a l a n B e r l u b a n g T. Triansa Putra Banda Aceh, 26 Februari 2013 Rp. Triliun Belanja Infrastruktur Aceh meningkat lebih dua kali lipat sejak tahun

Lebih terperinci

Nindyo Cahyo Kresnanto FT Universitas Janabadra YK

Nindyo Cahyo Kresnanto FT Universitas Janabadra YK 1 Nindyo Cahyo Kresnanto FT Universitas Janabadra YK 2 Ruang Aktivitas Potensi Pergerakan Perangkat Transportasi Performance Indicator 3 SISTEM KEGIATAN SISTEM JARINGAN Mengatur tata ruang/tata guna lahan

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM KB NASIONAL TAHUN 2008

EVALUASI PROGRAM KB NASIONAL TAHUN 2008 EVALUASI PROGRAM KB NASIONAL TAHUN 2008 DISAMPAIKAN PADA RAKERDA KB NASIONAL PROVINSI NAD TAHUN 2009 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL TAHUN 2009 SISTEMATIKA I. PENDAHULUAN II. PELAKSANAAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Kupang merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia, terletak di

BAB I PENDAHULUAN. Kota Kupang merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia, terletak di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Kupang merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia, terletak di pulau Timor dan merupakan Ibukota dari propinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini memiliki luas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2009 dan menurut Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2006, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tataralok Sebagai Acuan Pengembangan Sistem Transportasi Terpadu Transportasi merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, yang mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN ACEH i Kebijakan otonomi memberikan peluang bagi daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk mengaktualisasi kewenangan dan kemandiriannya dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota sebagai perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Aktivitas kota menjadi daya tarik bagi masyarakat sehingga

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 JALAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Jalan sebagai prasarana dalam sistem transportasi nasional memiliki peranan penting dalam mendukung kehidupan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik, serta pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan 13 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Indonesia, telah banyak mengalami perkembangan yang pesat dalam intensitas aktifitas sosial ekonomi seiring dengan kemajuan ekonomi yang telah terjadi. Jumlah penduduk yang semakin

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN www.bpkp.go.id DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ. Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peraturan Perundangan di Bidang LLAJ Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan yaitu Pasal 3 yang berisi menyataan transportasi jalan diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan pemerintah bersama

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan pemerintah bersama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di segala bidang yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat melalui tahapan pelita demi pelita telah banyak membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Namun

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS SPASIAL KASUS MALARIA DI KELURAHAN PAYA SEUNARA KECAMATAN SUKAKARYA KOTA SABANG PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008

SKRIPSI ANALISIS SPASIAL KASUS MALARIA DI KELURAHAN PAYA SEUNARA KECAMATAN SUKAKARYA KOTA SABANG PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008 SKRIPSI ANALISIS SPASIAL KASUS MALARIA DI KELURAHAN PAYA SEUNARA KECAMATAN SUKAKARYA KOTA SABANG PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008 Skripsi Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORI BAB 2 TINJAUAN TEORI Dalam bab ini akan membahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan studi yang dilakukan, yaitu mengenai pebgertian tundaan, jalan kolektor primer, sistem pergerakan dan aktivitas

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Penelitian Data untuk penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yaitu: 3.1.1. Data Sekunder Data sekunder merupakan data jadi yang diperoleh dari instansi atau sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci