PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DI BAWAH STANDAR. Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DI BAWAH STANDAR. Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk."

Transkripsi

1 PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DI BAWAH STANDAR Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk. PENGANTAR Timor-Timur yang tadinya adalah provinsi ke 27 Republik Indonesia, kini telah menjadi negara baru. Kofi Annan, Sekjen PBB dalam sambutannya ketika penyerahan kedaulatan dari UNTAET kepada Presiden terpilih Republik Rakyat Demokratik Timor Lorosae (RDTL), Kay Rala Xanana Gusmao menyatakan negara baru yang menempati setengah dari pulau tandus Timor itu telah mendatangkan inspirasi baru bagi umat manusia di dunia. Tak terlepas bagi Indonesia, kehadiran negara Timor Lorosae juga mendatangkan inspirasi baru. Hal itu terjelma dengan digelarnya pengadilan HAM ad hoc atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusian di Timor Lorosae menjelang, selama dan sesudah Jejak Pendapat. Bagi Indonesia, dikatakan inspirasi karena pengadilan HAM ad Hoc ini akan menjadi tonggak sejarah hukum dan sekaligus proses pemenuhan keadilan bagi korban kesewenangwenangan aparat negara. Pengadilan ini juga sekaligus akan memperlihatkan bahwa perlindungan dan pemenuhan atas hak asasi manusia Indonesia mulai mencercahkan cahaya terang. Oleh karena itu banyak orang berharap proses pengadilan HAM ad hoc ini mampu memperjelas apa yang sesunguhnya terjadi di Timor Lorosae dan apa bentuk pertanggungjawabannya. Pengadilan HAM ad hoc yang kini telah berjalan lebih dari 4 bulan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya adalah memeriksa seluruh dugaan yang ada itu dan sekaligus juga menentukan siapa pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae menjelang, selama dan sesudah Jejak Pendapat di tahun Laporan ini menyoroti formulasi element of crimes kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdapat dalam UU No.26/2000 ke dalam surat dakwaan. Kedua adalah bagaimana element of crimes itu bisa dielaborasi oleh jaksa dan hakim dalam proses perkara (due process of law). I. KETENTUAN HUKUM YANG MENJADI DASAR PENGADILAN Pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan implementasi dari Undang-undang (UU) nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagai instrumen dasar pembentuk pengadilan, maka UU ini memegang

2 peranan penting, karena kelemahan isi UU no.26/2000 terutama yang bersifat konseptual akan berimbas pada tingkat implementasinya. Pasal 43 ayat 2 UU no.26/2000 mengatur mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden (Keppres). Namun dalam proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur ternyata diperlukan dua buah Keppres yaitu Keppres No.53 tahun 2001 dan Keppres No.96 tahun Hal ini terjadi karena Keppres Nomor 53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September Penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi serius yaitu terhalangnya kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dalam rentang antara pra dan pasca jajak pendapat. UU No.26/2000 sendiri dalam beberapa bagian, terutama mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando mengambil pengertian yang terdapat dalam Rome Statute for International Criminal Court. 1 Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya secara teoretis melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusian yang menjadi sandaran bagi proses pengadilan HAM itu sendiri. a. Tentang Konsep Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tim-Tim ini, tuduhan yang digunakan terhadap para pelaku ialah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 yang berbunyi : Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana intension didefinisikan dengan tegas. 2 ) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama 3 menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. Dalam praktek hukum yang menangani kejahatan terhadap kemanusiaan seperti misalnya di pengadilan Nuremberg, ICTR, dan ICTY, para hakim melakukan interpretasi terhadap unsur meluas dengan menekankan pada luasan geografis dan massivitas jumlah korban; sementara terhadap unsur sistematik implementasi kebijakan diindikasikan melalui adanya pola yang 1 Selanjutnya disebut Statuta Roma. 2 Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengenai mental element: For the purposes of ths article, a person has intent where: (20) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article, knowledge means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. Know and knowingly shall be construed accordingly. 3 Pasal 9 UU no.26/2000

3 sama dan berulang-ulang dan metodik. 4 Mengingat bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengharuskan pengadilan untuk mengadopsi praktek-praktek hukum internasional, maka tidak ada kepastian apakah interpretasi semacam ini juga akan digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor Timur. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen diketahui. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata langsung ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata penduduk dan bukannya populasi sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung. Majelis hakim pada ICTY dan ICTR mengadopsi pengertian yang luas mengenai populasi sipil. Untuk melindungi mereka yang potensial menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, pengertian populasi sipil diartikan juga sebagai siapa saja yang dalam batasan waktu tertentu secara aktif terlibat dalam kejadian dimana ia berada dalam posisi mempertahankan diri dalam kondisi tertentu dapat dianggap sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Termasuk didalamnya anggota gerakan perlawanan yang telah menyerah dan tidak bersenjata. 5 Adopsi definisi yang seperti ini sulit diharapkan terjadi dalam Pengadilan HAM kasus Timor Timur mengingat anggota gerakan perlawanan di Indonesia cenderung dianggap sebagai pemberontak dan tidak dianggap sebagai penduduk sipil. Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan persecution menjadi penganiayaan dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi penganiayaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. 6 Dengan digunakannya kata penganiayaan maka tindakan teror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan 4 Lihat antara lain keputusan hakim dalam kasus Akayesu, ICTR (Case no.ictr-96-4-t), 2 September 1998, paragraf 580; kasus Tihomir Blaskic, ICTY (Case no. IT T), 3 Maret 2000, paragraf 203 dan 206. Lihat juga penegasan pengertian serupa dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, Laporan International Law Commission dalam sidang sessi ke 48, (UN Doc. A/51/10) paragraf (Commentary on Article18 part 4): committed in a systematic manner meaning pursuant to a preconceived plan or policy. The implementation of this plan or policy could result in the repeated or continuous commission of inhumane acts committed on a large scale meaning that the acts are directed against a multiplicity of victims. 5 Lihat Opinion and Judgment dalam kasus Tadic (ICTY). Masih dalam ICTY, lihat juga Keputusan Peninjauan Kembali Dakwaan berkaitan dengan aturan nomor 61 dalam Rules of Procedures and Evidence, ICTY Case no. IT R61 (Kasus Vukovar), 3 April 1996, Bab I paragraf 29. Secara subsekuen, ICTR dalam kasus Akayesu juga mengadopsi definisi yang secara substansial serupa. 6 Bandingkan pengertian persecution dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian penganiayaan dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara dengan pengertian assault yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International, 1999, hal 247.

4 adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan. Pada hal secara factual akibat dari kejahatan terhadap kemanusian yang telah terjadi di Timtim menjelang dan sesudah jejak pendapat tak bisa disangkal oleh siapa pun. b. Konsep Tanggung Jawab Komando Ketentuan pidana dalam UU no.26/2000 juga melingkupi tanggung jawab komando (command responsibility). Namun pasal 42 ayat 1 UU ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Pengertian tanggung jawab komando dalam pasal ini dijabarkan sebagai berikut: komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, Pengertian di atas, yang menggunakan kata dapat (should) dan bukannya akan atau harus (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya keperluan (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja. Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan 7 Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang layak dan perlu dilakukan oleh penanggung jawab komando. 8 Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau 7 Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; (garis bawah dari penulis) 8 Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).

5 akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. 9 Tentang apakah seseorang tersebut seharusnya mengetahui harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh. Pasal 7(3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran / kejahatan oleh bawahan tetap terjadi. 10 c. Hukum Acara Tak Bersesuaian. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tidak secara spesifik mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi asas-asas dan menjamin terjadinya pengadilan yang adil (fair trial). Meskipun menjadi dasar dari pengadilan yang menangani perkara pidana luar biasa (extra ordinary crimes) namun UU ini tidak dilengkapi dengan aturan hukum acara pidana luar biasa. Sebaliknya, undang-undang ini secara eksplisit merujukkan hukum acaranya kepada hukum acara pidana biasa yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih jauh lagi, Undang-undang ini menutup kemungkinan digunakannya hukum acara lain kecuali hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP tersebut. 11 Padahal idealnya, sebuah pengadilan ad hoc yang dibentuk melalui tata cara khusus, dan menangani kasus-kasus yang khusus, selayaknya menggunakan hukum acara yang khusus pula. Sementara itu, KUHAP sebagai dasar hukum acara yang digunakan oleh pengadilan HAM ad hoc ini memiliki beberapa kelemahan mendasar jika dipakai dalam menyidangkan kasuskasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena memang KUHAP tidak dibuat dalam konteks untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang sifat hukum acaranya lebih khusus. Pasal-pasal dalam KUHAP sangat jauh tingkat kesesuaiannya dengan standarstandar hukum internasional dalam mengadili para pelanggaran HAM berat seperti prosedur hukum acara yang digunakan oleh beberapa tribunal Internasional misalnya dalam Pengadilan di Nurenberg, Tokyo dan Yugoslavia. Tingkat ketidaksesuaian yang paling jauh adalah yang menyangkut tentang masalah pembuktian, termasuk di dalamnya adalah alat bukti, standar alat bukti dan prosedur pembuktian. KUHAP dalam hal pembuktian mengaturnya di dalam pasal Di dalam pasal-pasal tersebut yang dijadikan alat bukti ialah: (1)keterangan saksi, (2)keterangan ahli, (3)surat, (4)petunjuk, dan (5)keterangan terdakwa. Kelima hal yang dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini sangat tidak memadai untuk persidangan kasus pelanggaran HAM berat, karena penuntut umum dituntut membuktikan tiga elemen 9 Lihat artikel Jordan J. Paust Superior Orders and Command Responsibility dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal ; Lihat juga artikel Anthony D Amato, Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, ; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982). 10 Seperti yang ditegaskan kembali dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993) paragraf Pasal 10 UU no.26/2000

6 kejahatan terhadap kemanusiaan yang proses pembuktiannya membutuhkan ruang lebih luas. Pengalaman-pengalaman internasional dalam menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya: rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumendokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai pada suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan. Dalam sidang selama ini hal-hal itu kelihatannya belum diterima. Begitu juga dengan masalah prosedur pembuktian, apakah para saksi dan semua alat bukti harus dihadirkan di persidangan. Ini bisa menjadi kendala karena peristiwa pidana (tempus delicti) berada jauh di Timor Timur. KUHAP tidak mengatur tentang adanya kemungkinan menggunakan cara kesaksian jarak jauh (teleconference maupun videoconference). 12 Bukan itu saja, saksi tidak akan dapat secara leluasa memberikan keterangan langsung di pengadilan karena tidak ada rumusan aturan spesifik tentang akomodasi dan perlindungan saksi. Belum lagi masalah-masalah yang mungkin timbul akibat persoalan extradisi saksi yang berasal dari Timor Timur ke Indonesia. II. SUBSTANSI DAN KUALITAS DAKWAAN Surat dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana, karena berdasarkan hal yang termuat dalam surat dakwaan itulah hakim akan memeriksa perkara. Artinya pemeriksaan oleh hakim dipengadilan dibatasi oleh dakwaan yang dibuat oleh Jaksa dan putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang ada dalam dakwaan. Dengan demikian siterdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti melakukan delik yang disebut dalam surat dakwaan. Disamping itu perumusan dakwaan didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) yang didasari oleh keterangan terdakwa mau pun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli atau visum. Bedasarkan keterangan dan bukti itulah perbuatan yang dilakukan terdakwa sunguh-sunguh ditemukan dan kemudian dituangkan dalam surat dakwaan. 13 Dengan asumsi diatas maka surat dakwaan yang baik hanya dimungkin jika ada ketentuan hukum yang mampu memberikan payung bagi penysusunan dakwaan. Berdasarkan uraian pada bagian kelemahan-kelemahan substansi UU No.26/2000 dan hukum acara yang menyertainya maka surat dakwaan untuk para tersangka dalam pengadilan HAM ad hoc ini juga mengandung kelemahan mendasar. Ketiga surat dakwaan secara substantif menunjukkan bahwa para terdakwa didakwa Pertama menyangkut bentuk perbuatan Kejahatan kemanusiaan (pasal 7 UU No 26/2000). Perbuatan ini dalam dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (pasal 9 UU No 26/2000) sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik (yang diketahui bahwa serangan) ditujukan pada penduduk sipil. Kedua berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) dari para terdakwa baik yang berasal dari kalangan militer ataupun sipil. Para terdakwa sebagai pemegang otoritas memiliki tanggung jawab secara pidana atas terjadinya kejahatan 12 Perlu dicatat bahwa meskipun tidak diatur dalam KUHAP, ternyata dalam kasus pidana Korupsi Bulog, Majelis Hakim yang diketuai Lalu Mariyun membuat terobosan dengan mengizinkan dilakukan teleconference atau video conference untuk kesaksian BJ Habibie yang bermukim di Jerman (Lihat antara lain Hukum Online, 5 Juni 2002). Hal ini dapat menjadi sebuah preseden dalam sistem hukum pidana di Indonesia. 13 Mengenai ini lebih jauh lihat Dr. Andi Hamzah, SH., Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha jaya, Jakarta, hlm

7 terhadap kemanusiaan yaitu pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan bawahannya. Sebagai atasan para terdakwa didakwa tidak mampu melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar (pasal 42 UU No 26/2000). 14 Dengan dua substansi diatas maka kewajiban dari jaksa adalah menunjukkan bukti dan saksi secara meyakinkan atas apa yang didakwakan. Sehingga berbagai bukti dan keterangan saksi yang diperiksa ketika penyidikan menjadi dasar bagi penyusunan element of crimes dari surat dakwaan. Namun sangat disayangkan ketiga surat dakwaan ini memiliki persoalan serius karena seluruh uraiannya tidak mampu menunjukkan element of crimes dari apa yang didakwakan oleh jaksa. Hal ini terjadi karena surat dakwaan jaksa penuntut tidak secara tegas menujukan apakah kejahatan terhadap kemusiaan yang terjadi di Timtim itu meluas atau hanya sistematik atau karena pengetahuan atasnya (intension). Jaksa dalam surat dakwaannya gagal secara menyakinkan menunjukkan bahwa pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi memenuhi unsur meluas karena tidak mampu menunjukkan akibat dari peristiwa secara faktual. Padahal bukti-bukti lapangan pasca peristiwa begitu banyak dan sangat terbuka. Disamping itu surat dakwaan juga tidak bisa mengambarkan keluasan peristiwa secara geografis dan jumlah korban dari berbagai peristiwa yang saling berakaitan. Akibatnya beberapa peristiwa yang ditampilkan dalam surat dakwaan seakan tidak saling berkait satu sama lain. Begitu juga dengan elemen sistematis. Hal itu terjadi karena jaksa dalam menyusun dakwaan tidak mampu mendeskripsikan apa yang dimaksud suatu rangkaian perbuatan yang yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. 15 Akibatnya dalam seluruh surat dakwaan kita tidak bisa mendapatkan keterangan seluruh kejahatan terhadap kemanusian yang tejadi di Timtim itu sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa atau organisasi. Pada hal substansi untuk menunjukkan element of crimes yang sistematis tulang pungung pertama yang harus diajukan jaksa dalam tuntutannya adalah adanya peristiwa akibat adanya kebijakan penguasa atau berhubungan dengan organisasi. Akibat tidak mampunya jaksa dalam merumuskan apa yang dimaksud oleh penjelasan pasal 9 diatas maka dakwaan dirumuskan pada pelanggaran secara omission, yaitu pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan bawahannya dengan tidak diambilnya tindakan yang seharusnya dilakukan, yaitu mencegah, menghentikan, dan menghukum bawahannya yang telah melakukan pelanggaran pidana. Oleh karena itu dakwaan dalam pengadilan HAM ad hoc ini bisa dikatakan dakwaan minimal, meskipun pasal-pasal saksi pidananya kelihatan gagah dengan ancaman hukuman diatas 20 tahun. Dalam menunjukkan tanggungjawab komando surat dakwaan juga tidak memiliki rumusan yang akurat. Hal itu terjadi karena jaksa dalam surat dakwaannya hanya menyandarkan tanggungjawab komando hanya sebatas pada ketentuan formal, misalnya terhadap Timbul Silaen dinyatakan hanya sebagai Komandan dari Komando Pengendalian Keamanan di Timtim Pasca New York Agreement 5 Mei Padahal untuk menunjukkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan tanggungjawab komando tidak cukup dengan yang formal, melainkan lebih dari itu yaitu keseluruhan kewenangan yang dimilikinya dalam menjalankan komando yang ada pada dirinya. Oleh karena itu dakwaan mestinya bisa menunjukkan seluruh jaring komando itu dengan memaparkan seluruh kekuatan yang dipakai dan juga fasilitas yang digunakan, 16 kalau perlu seluruh pernyataan terbuka dan 14 Lihat progress report Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc 1&2 (Tim Monitoring ELSAM); Ketidakmampuan melakukan pengendalian ini dilakukan dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran berat HAM ( pasal 42 ayat 1(a) untuk militer dan ayat 2(a) untuk pejabat sipil serta tidak mengambil tindakan yang layak untuk menghentikan perbuatan tersebut [pasal 42 ayat 1 b dan 2 (b)] 15 Penjelasan Pasal 9 UU no.26/ Supra Note 9

8 dokumen yang mendukung pernyataan tersebut. Dengan kata lain surat dakwaan mestinya menunjukkan tanggungjawab komando dalam artian riil bagaimana ia bekerja. Secara gamblang tidak jelasnya tanggungjawab komando itu bisa dilihat dari surat dakwaan terhadap Abilio Soares sebagai Gubernur. Dakwaan terhadap Abilio Soares didasarkan pada peristiwa penyerangan terhadap Gereja Liquisa pada tgl 6 April 1999, kediaman Manuel Viegas Carrascalao tgl 17 April 1999, terhadap Diosis Dili tgl 4-5 September 1999, terhadap kediaman Uskup Bello tgl 6 September 1999, terhadap Gereja Ave Maria, Suai tgl 6 September Sedangkan dakwaan terhadap Timbul Silaen disusun berdasarkan peristiwa-peristiwa penyerangan gereja Liquisa, kediaman Manuel Carrascalao, penyerangan Diosis Dili, kediaman Uskup Bello, Gereja Ave Maria Suai, Sedangkan terhadap Herman Sediyono dkk perisitwa yang didakwakan hanya terbatas penyerangan terhadap Gereja Ave maria Suai. Dalam penyerangan tehadap beberapa tempat (Liquisa, Suai dan Dili) yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang yaitu 6 bulan telah jatuh beberapa korban jiwa. Dakwaan yang dituduhkan atas terjadinya penyerangan itu terhadap Abilio Soares terdiri dari telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa tindakan pembunuhan dan penganiayaan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusian (pasal 7 ayat b, UU No.26/2000). Pembunuhan dan penganiayaan terjadi di lokasi perisitwa yang terurai diatas. Dimana dakwaan tersebut diformulasi sebagai berikut: Terdakwa mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya yaitu Bupati Liquisa, Cavalima, Wakil Panglima PPI, Eurico Guterres dan organisasi massa lainnya antara lain Pam Swakarsa yang berada dibawah pembinaan Pemerintah TK I di Dili sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat berupa pembunuhan terhadap penduduk pro-kemerdekaan baik yang berada dalam komplek gereja Liquisa, Komplek gereja Ave Maria atau Atau tempat-tempat lain di wilayah Tk I Timtim. Atas kejadian tersebut terdakwa tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut, dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan, atau langkah-langkah berupa memerintahkan kepada aparat keamanan untuk mencegah terjadinya bentrokan antara kelompok prointegrasi dan pro kemerdekaan atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan. penyidikan dan penunututan. Dakwaan Terhadap Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk diformulasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan substansi sama dengan dakwaan terhadap Abilio Soares yaitu mengacu pada pasal 42 ayat 1 dan 2. Terhadap Abilio Jose Soares misalnya Jaksa Penuntut membuat konstruksi dakwaannya dengan menguraikan beberapa peristiwa terutama di gereja Liquisa, di kediaman Manuel Viegas Carrascalao dan kediaman Uskup Bello, distrik Dili, dan Gereja Ave Maria, Suai, Kovalima. Dalam semua peristiwa itu Abilio dinyatakan terkait karena (1) Adanya rapat yang dihadiri oleh semua Bupati yang dipimpin Gubernur dan memberikan pengarahan perlunya dibentuk organisasi politik untuk mewadahi aspirasi politik pro-integrasi. Rapat Muspida 17 yang dipimpin Abilio memutuskan dibentuknya organisasi politik kelompok prointegrasi di setiap kabupaten dengan nama FPDK. Kelompok-kelompok politik pro-integrasi ini kemudian dikenal dengan nama Pamswakarsa (milisi sipil bersenjata dengan menunjuk seorang panglima perang dan wakil panglima). (2) Seluruh kegiatan Pamswakarsa didanai oleh APBD masing-masing daerah TK II. 17 Rapat Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) biasanya dihadiri oleh para petinggi daerah dari berbagai unsur yaitu Gubernur, Danrem, Kapolda, Kejaksaan dan Kehakiman. Bisa dinyatakan rapat Muspida adalah forum pengambilan kebijakan politik strategis di daerah TK I.

9 Namun dalam dakwaan dua keterangan kunci tersebut dikaburkan oleh Jaksa. Kekaburan itu terjadi karena jaksa hanya mendakwa Abilio Soares, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk hanya sebagai pihak yang mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi dan tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan 18 dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan. Dengan menyimpulkan dakwaan seperti itu maka jaksa dengan sendirinya mengingkari keterangan kunci yang dijadikan dasar dakwaan, karena terdakwa diajukan ke depan sidang hanya sekedar lalai bukan terlibat aktif dalam seluruh peristiwa itu sebagai aktor kunci yang mensponsori, memfasilitasi dan mengkoordinasikan gerakan dari kelompok-kelompok milisi itu demi memenangkan pro-integrasi. Karena menekankan pada kelalaian akibatnya jaksa penuntut dalam dakwaannya sama sekali tidak mampu menunjukkan apa motif dari rapat Muspida dan mengucuran dana bagi hadirnya kelompok pamswakarsa bersenjata itu. Ketiadaan motif ini menjadikan kelompok Pamswakarsa yang bersenjata hanya sekedar sekelompok orang yang berkerumun tanpa motif yang bisa dikaitan secara langsung kepada para terdakwa sebagai pimpinan demi upaya memenangkan hasil jejak pendapat dan mempertahankan kedudukan dengan cara teror dan intimidasi, pada hal kelompok milisi (pam-swakarsa) didirikan hampir di semua kabupaten dan disokong oleh APBD. Sehingga dakwaan bahwa Abilio, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi dan tidak menggunakan kewenangannya untuk mencegah menyesatkan, karena kewenangan Abilio Soares sebagai Gubernur, Timbul Silaen sebagai Kapolda dan Herman Sediyono sebagai Bupati telah ia gunakan untuk mensponsori dan memfasilitasi Pamswakarsa demi kemenangan Pro-integrasi. Jadi dengan sendirinya dia tidak mungkin lagi mengunakan kewenangannya untuk mencegah dan mengambil tindakan yang layak dan diperlukan. Ketidakmungkinan Abilio, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk mengunakan kewenangannya itu lah yang menimbulkan seluruh kejadian yang telah diuraikan panjang lebar oleh Jaksa dalam surat dakwaan jadi bukan sebaliknya. Dalam kerangka tanggung jawab komando sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 42(a) seorang atasan. bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang diberat oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dalam kontek pelanggaran HAM berat di Timtim ini semestinya dipahami bukan karena tidak berjalannya kendali itu secara efektif melainkan Abilio Soares, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk telah berada dalam pengendalian yang efektif karena secara jelas telah membentuk, mendukung, dan mendanai kegiatan Pam-swakarsa di setiap kabupaten dan seluruhnya itu telah dibicarakan dalam rapat Muspida dan pertemuan seluruh Bupati dengan Gubernur. Jaksa dalam pengadilan semestinya membuktikan bagaimana jaring komando yang telah menjalankan hasil rapat Muspida dan pertemuan seluruh Bupati itu. Rendahnya kualitas dakwaan ini sangat berakibat negatif terhadap elaborasi jaksa dan hakim dalam pemeriksaan sakasi. III. PROSES DAN KUALITAS KESAKSIAN Keterangan saksi adalah alat bukti yang sangat penting untuk memperkuat dakwaan Jaksa atas terdakwa. Oleh karena itu setiap saksi dan kwalitas kesaksiannya menjadi kunci bagi hakim dalam menilai dakwaan. Menurut KUHAP pasal 184 alat-alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu saksi harus orang yang betul-betul relevan dengan perisitwa yang disidangkan, memiliki pengetahuan atau mengetahui langsung, melihat langsung dan mendengar langsung terjadinya perisitwa. Artinya saksi mestinya orang-orang yang mengenal lokasi peristiwa 18 Cetak tebal dari penulis.

10 dan mengalami perisitwa itu secara langsung. 19 Dalam konteks kejahatan terhadap kemanusian untuk membuktikan sistematik atau meluas maka orang-orang yang terkait langsung dengan pembuatan kebijakan dan menjalankan kebijakan di lapangan harus pula hendaknya menjadi saksi karena diduga kuat mengetahui perisitwa. Mengingat pemeriksaan perkara didasari prosedur beracara sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka kesaksian memiliki peran yang vital. Kesaksian di depan persidangan merupakan salah satu alat bukti terkuat yang mempengaruhi penilaian hakim atas dakwaan yang diajukan kepada para terdakwa. Dengan merujuk pada proses beracara ini, fakta dipersidangan merupakan hal yang utama yang akan dijadikan landasan bagi hakim dalam mengambil keputusan atas perkara. Dengan demikian dalam tahap ini kemampuan jaksa penuntut umum untuk merumuskan secara jelas unsur kejahatan dari dakwaan yang telah dirumuskan menjadi salah satu faktor penting. Sebab sebagaimana juga diatur dalam aturan pembuktian KUHAP, keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama dalam proses persidangan. 20 Terdapat beberapa hal penting yang akan diuraikan lebih lanjut pada laporan ini, yang secara umum mencakup pengamatan keseluruhan proses pemeriksaan saksi, isi kesaksian, dan hak-hak saksi dalam persidangan-khususnya berkaitan dengan saksi korban. a. Pembuktian element of crime dalam pemeriksaan saksi Proses pemeriksaan saksi ini pertama-tama di dasarkan pada usaha untuk memperoleh keterangan mengenai fakta hukum yang berkaitan dengan butir-butir yang di dakwakan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum ad hoc. Upaya ini dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan yang diajukan pada saksi di muka sidang pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diturunkan dalam upaya menemukan element of crime dari dakwaan dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan tanggung jawab komando (command responsibility). 21 Diharapkan pengetahuan saksi atas peristiwa dapat membantu menemukan fakta hukum yang dibutuhkan dalam pencarian kebenaran di muka persidangan. Proses pembuktian dakwaan ini, memiliki beberapa perhatian penting khususnya berkaitan dengan upaya jaksa penuntu ad hoc untuk menurunkan element of crime dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando dalam pemeriksaan terhadap saksi. Dalam unsur kejahatan pada kejahatan terhadap kemanusiaan, tantangan terbesar adalah pembuktian mengenai unsur sistematik dan meluas. 22 Selain itu jaksa juga harus mampu melakukan pembedaan pengertian pembunuhan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengertian umum pembunuhan sebagai kejahatan pidana biasa. Dalam kejahatan pidana biasa pelaku biasanya adalah orang yang bertanggung jawab atas perbuatan itu baik dalam kedudukannya sebagai pelaku langsung maupun sebagai penganjur atau pembantu melakukan kegiatan. 23 Sementara dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, perbuatanmeskipun dilakukan secara individual- namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (collective action). 24 Dalam pengertian ini pula terdapat elemen yang merupakan fondasi penting yakni adanya pemegang otoritas kebijakan yang membuat terbentuknya rangkaian kejadian yang 19 Kecuali saksi ahli. 20 Tata cara pemeriksaan saksi di pengadilan HAM ad hoc ini mengacu pada aturan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pemeriksaan saksi ini diatur dalam pasal KUHAP. Lihat juga secara spesifik tentang kesaksian sebagai alat bukti dalam KUHAP pasal 184 (1) 21 Lihat Progress report 1&2 ELSAM atas pengadilan HAM Ad hoc kasus Timor Timur, ELSAM Pengertian menyangkut pembuktian adanya perencanaan yang sistematis yang dalam banyak kasus hampir selalu melibatkan kewenangan pemegang otoritas birokrasi. 23 Lihat pengaturan dalam KUHP buku kedua 24 Lihat M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in The International Law, Kluwer Law International, 1999, hal 247.

11 menyebabkan perbuatan individu tersebut dapat dikategorikan dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu dengan mempertimbangkan lemahnya penyusunan dakwaan dalam memperlihatkan unsur-unsur tersebut, proses pemeriksaan saksi menjadi pilar penting pembuktian atas elemen kejahatan dalam perkara ini. Terlebih lagi, mengingat pengaturan dalam KUHAP mengenai pemeriksaan saksi, memberikan pengakuan pentingnya fakta persidangan dalam pemeriksaan saksi. Keterangan saksi yang dipergunakan sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 25 Proses pemeriksaan saksi ini diwarnai dengan pencabutan beberapa isi penting kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) yang dilakukan oleh para saksi. Dalam perkara untuk Herman sedyono dkk, hampir semua saksi mencabut kesaksian mereka sebagaimana tercantum di BAP untuk beberapa butir pembuktian yang signifikan seperti pengakuan adanya penyerangan, rapat koordinasi antar pejabat pemerintah dan pejabat militer, suara letusan senjata dan pembentukan kelompok-kelompok pengamanan sipil di cabut dalam pemeriksaan persidangan. 26 Adapun alasan pencabutan mulai dari adanya tekanan ataupun pernyataan bahwa keterangan sebelumnya merupakan pendapat saksi sehingga tidak memenuhi kualifikasi sebagai kesaksian. Atas hal ini majelis hakim maupun jaksa penuntut umum sendiri tidak mengelaborasi lebih lanjut dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam berkas terdakwa Abilio dan Timbul Silaen, hal yang serupa terjadi. Pencabutan kesaksian juga dilakukan pada beberapa bagian penting yang berkaitan dengan pengakuan adanya keterkaitan antara pembentukan satuan keamanan sipil dengan kebijakan ataupun dukungan dari pemegang otoritas kekuasaan di tingkat daerah baik dalam hubungan administrasi maupun dalam hubungan teknis seperti pembinaan dan pelatihan. Sehingga dalam pemeriksaan saksi hampir tidak ditemukan pengakuan akan adanya penyerangan. Dalam perkembangan selanjutnya hakim maupun penuntut umum bahkan juga turut menggunakan kata bentrokan atau kerusuhan sebagai pengganti pengertian akan penyerangan ini. Penggunaan kata ini sendiri berimplikasi pada pemenuhan dan pembuktian unsur kejahatan dalam dakwaan. 27 Sebagai contoh yang lain, dalam pemeriksaan saksi Adam Damiri, misalnya pengertian satuan keamanan sipil bersenjata (milisi) bahkan dinyatakan tidak ada. 28 Lebih jauh dalam pemeriksaan yang sama, saksi juga mencabut keterangan yang menyatakan bahwa Pam Swakarsa adalah perubahan bentuk dari Pejuang Pro Integrasi. 29 Keterangan saksi seharusnya adalah keterangan dari seseorang atas suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak dapat berupa pendapat/opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikirannya saja. Atau pengetahuannya tentang suatu peristiwa dia peroleh dengan cara, mendengar cerita dari orang lain (testimonium de auditu). Namun, 25 Lihat pasal 185 (1) KUHAP; pengaturan ini memperkecil kemungkinan penggunaan model alternatif dalam pemeriksaan saksi oleh hakim, khususnya berkaitan dengan kehadiran saksi korban. 26 Lihat Laporan Harian Observasi Pengadilan HAM ad hoc (ELSAM); Saksi Sonny Iskandar mencabut seluruh BAP dengan alasan berada di bawah tekanan. Dalam pemeriksaan tersebut pengakuan saksi sangat signifikan mengenai keterlibatan saksi dalam penyerangan di gereja Ave Maria Suai. I wayan Suka Antara mencabut hasip pemeriksaan di Bap berkaitan dengan bunyi suara tembak menembak, rapat koordinasi bupati dengan Kodim pada saat kejadian, serta kata penyerangan. Jehezkiel Berek mencabut kesaksian yang mengatakan bahwa pembentukan milisi sipil itu dikukuhkan oleh kebijakan Bupati setempat. 27 Apabila merujuk pada pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000 maka disyaratkan bahwa perbuatan tersebut (pembunuhan dan penganiayaan) merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahui secara langsung ditujukan pada penduduk sipil. 28 Lihat Laporan pemeriksaan saksi Adam Damiri untuk berkas Abilio J. Osorio Soares tanggal 8 Mei ibid. Pencabutan kesaksian ini tanpa disertai alasan yang cukup memadai, dan hakim maupun jaksa penuntut ad hoc juga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

12 dalam beberapa bagian, isi kesaksian banyak diwarnai dengan pernyataan yang dapat diklasifikasikan sebagai pendapat atau opini bahkan perasaan. 30 Hal ini tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bahkan oleh hakim sendiri kepada para saksi. Beberapa pertanyaan yang diajukan baik oleh penuntut umum sendiri ataupun oleh jaksa tidak seluruhnya mengarah pada adanya jawaban yang berupa fakta hukum mengenai element of crimes yang menjadi dasar dakwaan. Hal itu terjadi karena saksi yang paling banyak diperiksa dalam tiga berkas ini adalah juga terdakwa. Sehingga informasi baru atau informasi yang memperkuat dakwaan tak bisa dihadirkan dipersidangan secara maksimal. Karena pemeriksaan saksi pertama kali didominasi oleh saksi yang juga adalah terdakwa maka kebanyakan saksi membantah atau mengenyampingkan hal-hal yang diajukan oleh Jaksa. Bahkan saksi bisa mengatakan jaksa tidak mengerti persoalan. Akibatnya jalan pemeriksaan saksi lebih mengarah kepada pledoi dari para terdakwa yang bersaksi atas terdakwa lainnya dengan menekankan begitu gentingnya keadaan di Timtim waktu itu akibat hadirnya secara sontak dua kelompok yang saling menyerang. Akibatnya jaksa dan hakim terbawa kedalam skenario bentrokan atau kerusuhan yang telah digalang lama oleh para terdakwa dalam berbagai kesempatan. Akibatnya keterangan saksi menjadi sama sekali tidak berguna bagi jaksa untuk memperkuat dakwaan sehingga jaksa juga menjadi kehilangan pegangan ketika hendak mengelaborasi pertanyaan dari jawab-jawaban atau opini yang disampaikan oleh apra saksi. Padahal dari seluruh saksi yang juga terdakwa semestinya jaksa dan hakim menggali lebih jauh bagaimana rantai komando dan alur dari perintah yang ada pada saat menjelang, selama, dan sesudah jejak pendapat. Dalam konteks rantai Komando ini elaborasi mengenai keberadaan kesatuan-kesatuan yang hadir di lapangan, penanggung jawab operasi intelijen dan pengendali oprasi pusat tidak ditanyakan. Akibatnya kesaksian lebih banyak menjadi ajang kampanye dari para terdakwa dan upaya melindungi terdakwa yang lain. Sedangkan saksi yang didatangkan dari Timtim sebagai saksi korban diperiksa belakangan dengan jumlah yang sangat tidak memadai yaitu hanya 3 orang. Ketiga orang ini juga berasal dari peristiwa yang berbeda salah satunya adalah dari Suai yaitu Domiggas dos Santos Mauzinho unutk Herman Sudiyono. 31 Dua orang saksi lagi yaitu Emilio Bareto dan Joao Perreira untuk pemeriksaan Timbul Silaen dan keduanya kemudian dijadikan juga saksi bagi Abilio Soares. Dalam peristiwa di Suai yang dituduhkan adalah adanya pembunuhan tetapi kepada saksi tidak ditanyakan lebih jauh oleh jaksa dan hakim bagaimana pembunuhan itu terjadi. Malah saksi dibiarkan oleh jaksa dan hakim diintimidasi oleh kuasa hukum terdakwa sehingga saksi yang tidak fasih berbahasa Indonesia itu menjadi grogi. 32 Secara umum seluruh proses dan kualitas keterangan saksi sama sekali tidak memperkuat materi dakwaan yang berupa pemunuhan dan penganiyaan dan lebih jauh lagi tidak bisa digunakan untuk membuktikan terjadinya kejahatan terhadap kemanusian yang sistematis dan meluas serta adanya pengabaian informasi dan tidak diambilnya tindakan yang patut dan layak. Jadi seluruh kesaksian lebih merupakan keterangan yang memperkuat posisi para terdakwa yang menyatakan seluruh peristiwa di Timtim menjelang dan sesudah jejak pendapat adalah tindakan spontan dari orang-orang yang kecewa akibat adanya kecurangan. b. Prosedur pemeriksaan saksi Dalam pemantauan terhadap proses pemeriksaan saksi, pengamat menemukan beberapa masalah mendasar yang tidak sesuai dengan asas ketentuan pemeriksaan saksi dalam hukum 30 Lihat antara lain catatan kesaksian Wiranto dan Adam Damiri untuk berkas Abilio Soares. 31 Terdapat tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir, yaitu Armendo de Deus Granan Deiro, Frez da Costa, dan Tobias dos Santos (semuanya untuk perkara Herman Sedyono, dkk). 32 Lihat penjelasan tentang hak saksi mendapatkan penterjemah di bagian lain Laporan ini

13 acara yang secara langsung berkaitan dengan suatu sistem adminstrasi pengadilan berjalan Pengadilan Ham ad hoc. 33 Berdasarkan asas ketentuan pemeriksaan saksi, dinyatakan bahwa saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang (dilakukan satu per satu). Para saksi tidak sekaligus diminta masuk ke ruang sidang. Tidak dibenarkan saksi diperiksa secara bersama-sama, sepanjang hal itu tidak diperlukan. Pemeriksaan saksi secara satu persatu ditujukan agar keterangan yang mereka tetap bersifat bebas, sehingga jangan sampai terjadi keterangan seorang saksi dapat didengar oleh saksi yang lain, yang berakibat mempengaruhi saksi yang bersangkutan. Dalam prakteknya, asas-asas tersebut di atas seringkali dilanggar. Para saksi yang seharusnya tidak boleh masuk ke sidang karena akan diperiksa sebagai saksi sering kali masuk ke persidangan untuk melihat pemeriksaan saksi lain, atau duduk di luar ruangan sambil mendengarkan proses pemeriksaan saksi lainnya. 34 Pengadilan Ham ad hoc di PN Jakarta Pusat tidak memiliki ruang tunggu khusus untuk saksi yang dijaga ketat oleh para petugas, agar saksi tidak dapat masuk ke ruang sidang atau setidak-tidaknya dilarang mendengar proses pemeriksaan kesaksian sebelumnya. 35 Ini menunjukkan bahwa pengadilan HAM tidak memiliki mekanisme yang membatasi agar orang-orang yang seharusnya dikualifikasi tidak diperbolehkan masuk ke persidangan (mendengar kesaksian) dilarang karena orang tersebut merupakan calon saksi Berdasarkan aturan mengenai tata urutan pemberian kesaksian, yang seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP). Tapi, dari saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai dengan akhir April 2002, tidak ada satupun saksi yang merupakan saksi korban. Saksi-saksi yang diajukan adalah Terdakwa lain dalam berkas perkara yang berbeda dalam kasus Pelanggaran Ham yang Berat yang terjadi di Timor-timur atau Mereka yang masih ada atau pernah memiliki hubungan kerja dengan para Terdakwa baik sebagai atasan atau bawahan. Dalam pengamatan atas beberapa pemeriksaaan saksi di pengadilan, yang terjadi justru sebaliknya, dimana pada saksi-saksi yang memegang kedudukan penting dalam struktur organisasi ABRI/POLRI yang diperiksa di awal-awal proses pemeriksaan saksi. 36 Para Saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum juga lebih tepat dianggap sebagai Saksi a de charge (yang meringankan Terdakwa yang seharusnya diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya) bukan saksi a charge (yang memberatkan saksi yang seharusnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum). Contohnya: keterangan Saksi yang menyatakan bahwa tidak ada anggota TNI/Polri yang terlibat dalam kerusuhan. Atau saksi yang mengatakan bahwa Para Terdakwa telah melakukan pekerjaan pencegahan maupun tindakan pengusutan sehingga kerusuhan dapat dilokalisir dsb. Padahal dari pihak penasehat hukum sendiri telah pula diajukan saksi-saksi meringankan (a decharge) bagi terdakwa. Berdasarkan pengamatan dalam proses persidangan khususnya dalam tahap pemeriksaan saksi dipersidangan, terutama yang berkaitan dengan saksi korban, terdapat beberapa pokok perhatian khusus. Paling tidak ada tiga hal penting berkaitan dengan prosedur 33 Asas ketentuan pemeriksaan saksi terdapat dalam KUHAP pasal 159 dan Pengamat sering kali melihat beberapa saksi yang selalu mengikuti persidangan, bahkan ada saksi yang hadir 2 sampai 3 kali selama proses pemeriksaan saksi lainnya dalam berkas yang sama, terlebih dalam berkas yang berbeda. 35 Biasanya para saksi yang menunggu giliran untuk diperiksa di persidangan tidak ditempatkan di ruang khusus tetapi di beri keleluasaan untuk duduk di kursi yang terletak di luar ruangan sidang. Padahal, proses pemeriksaan kesaksian dapat terdengar dengan bebas di luar persidangan karena dipasang alat pengeras suara sehingga saksi lain yang belum di periksa dapat mendengarkan pemeriksaan saksi lainnya. 36 Lihat laporan observasi monitoring pengadilan HAM ad hoc ELSAM untuk pemeriksaan Jend. Wiranto, Abdul Muis, dimana proses dipenuhi sorak sorai dari pengunjung yang mendukung loyalitas terdakwa pada Indonesia, dan mengecam PBB dan dunia internasional dalam persoalan timtim, April-Mei 2002.

14 pemeriksaan saksi ini, meliputi (1) jaminan keamanan, (2) hak-hak saksi dalam persidangan, (3) jadual persidangan. Sampai dengan akhir bulan Juni 2002, dari seluruh 31 orang saksi, hanya ada tiga orang saksi korban / keluarga korban yang bersaksi di muka pengadilan atas pengajuan Jaksa Penuntut Umum. Masing-masing adalah: Dominggas dos Santos Muzinho (untuk perkara Herman Sedyono, dkk), Joao Perreira dan Emilio Bareto (untuk perkara Timbul Silaen). Sebagian besar saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, berasal dari kesatuan ABRI atau Kepolisian yang cenderung memberikan keterangan yang tidak memperkuat dakwaan yang telah disusun oleh jaksa penuntut umum. Ini sangat jauh dari proporsi yang ideal, mengingat banyaknya korban yang jatuh sebagaimana didakwakan oleh jaksa. Kegagalan Jaksa Penuntut Umum RI untuk menghadirkan para saksi korban yang lain membuat komposisi kesaksian menjadi tidak seimbang untuk dapat disebut sebagai sebuah proses kesaksian yang adil. Ketidakmampuan menghadirkan saksi korban secara berimbang dengan saksi lainnya sebenarnya menuntut kebijakan hakim untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, seperti menggantikan kehadiran dengan pembacaan berita acara kesaksian atau bahkan menemukan terobosan-terobosan yang dapat mempermudah jalannya pemeriksaan perkara. 37 Dalam pemeriksaan saksi korban dalam berkas Timbul Silaen yang bernama Emilio Bareto dan Juao Perreira, Jaksa penuntut umum ternyata tidak melakukan proses pemanggilan sesuai prosedur dalam hukum acara. Dua orang saksi, Emilio Bareto dan Joao Perreira, yang saat itu sedang hadir di pengadilan untuk memberikan kesaksian untuk berkas Abilio Soares secara tiba-tiba diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus Timbul Silaen tanpa konfirmasi terlebih dahulu dan kemudian diperiksa. Proses pemeriksaannya dilakukan secara bergantian dalam kedua berkas tersebut (Timbul Silaen dan Abilio Soares), ketika Emilio Bareto diperiksa di persidangan kasus Timbul Silaen maka Juao Fereira diperiksa di persidangan kasus Abilio dan sebaliknya. c. Jaminan Keamanan untuk Saksi Korban Selama proses pemeriksaan saksi dalam hal ini kesaksian korban, dari tiga berkas kasus tersebut direncanakan ada 14 saksi korban yang akan dihadirkan oleh Kejaksaan bekerjasama dengan UNTAET 38, dengan rincian sebagai berikut : Berkas Rencana Yang diperiksa Alasan ketidakhadiran Timbul Silaen 10 orang 1. Emilio Bareto 2. Joao Fareira 3. Jose Menez Soares 4. joao Bernandido 5. Maria Fereira Soares 6. Nelio Mesquita da Costa Rego 2 orang 1. Joao Fareira 2. Emilio Bareto Masalah keamanan: 5 orang (dari Timtim) dan alamat tidak diketahui: 3 orang (dari NTT) 37 Lihat juga pasal 162 (1) KUHAP, atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan. 38 Untuk memperlancar pemeriksaan kasus pelanggaran HAM yang berat di Timtim pihak kejaksaan Agung Indonesia mengadakan kerjasama dengan UNTAET yang dituangkan dalam suatu MoU yang pada intinya menyebutkan kesiapan pihak UNTAET untuk membantu Pihak Kejaksaan Agung Indonesia dalam memeriksa kasus tersebut baik dalam hal menghadirkan saksi maupun pemeriksaan saksi di timtim.

PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DIBAWAH STANDAR. Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk.

PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DIBAWAH STANDAR. Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk. PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DIBAWAH STANDAR Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk. PENGANTAR Timor-Timur yang tadinya adalah provinsi ke 27 Republik

Lebih terperinci

Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Pembuktian : Tanggungjawab Komando Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Oleh : Budi Santoso 2 Dari proses peradilan HAM ad hoc Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat yang telah berlangsung hingga sekarang ini kita telah bisa

Lebih terperinci

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur I. Pengantar Pada bulan April 2002, masing-masing Majelis

Lebih terperinci

Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc

Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc Pendahuluan Pengadilan HAM ad hoc kasus timor timur telah berjalan hampir empat bulan sejak dimulainya sidang pertama pada bulan Februari 2002. Saat

Lebih terperinci

Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata

Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata Pendahuluan Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep pelanggaran berat menurut hukum internasional dan dalam wacana

Lebih terperinci

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002. PROGRESS REPORT IX Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur Jakarta, 20 Desember 2002. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata 1. Latar belakang pembentukan Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama semakin maraknya

Lebih terperinci

Analisa Kritis Terhadap Pengadilan HAM Internasional 1

Analisa Kritis Terhadap Pengadilan HAM Internasional 1 Analisa Kritis Terhadap Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional

Lebih terperinci

PROGRESS REPORT NO. 1

PROGRESS REPORT NO. 1 PROGRESS REPORT NO. 1 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662,

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1 PROGRESS REPORT #1 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662, 791

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur

Perlindungan Saksi dan Korban Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur Catatan Atas Pengalaman Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM Berat di Timor-Timur Supriyadi Widodo Eddyono Wahyu Wagiman Zainal Abidin Jakarta 2005 kami dari NTT naik Kapal yang biayanya ini sekali,

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim. Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim

Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim. Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim Pengantar Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim Tak ada yang meragukan bahwa rangkaian peristiwa yang terjadi menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi?

TRANSKRIP WAWANCARA. Baris ke Mohon dijelaskan secara ringkas proses mengadili perkara tindak pidana korupsi? TRANSKRIP WAWANCARA Subjek bernama Ahmad Baharudin Naim Pekerjaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang sejak tahun 2011. Sebelum menjadi hakim, narasumber merupakan

Lebih terperinci

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan PENDAPAT HUKUM (.DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang- Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Supriyadi Widodo Eddyono 2 Pengantar Perlindungan saksi yang di praktekkan selama ini dalam kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia sebenarnya

Lebih terperinci

MAKALAH. PENGADILAN HAM DI INDONESIA (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad Hok Timor Timur dan Tanjung Priok)

MAKALAH. PENGADILAN HAM DI INDONESIA (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad Hok Timor Timur dan Tanjung Priok) JAMUAN ILMIAH RULE OF LAW/RECHTSSTAAT: PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN DI INDONESIA Hotel Grand Mercure Jakarta Harmony, 29 November -1 Desember 2016 MAKALAH PENGADILAN HAM DI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar

HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar HUKUM ACARA PERADILAN HAK ASASI MANUSIA: Pengantar Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 8 Agustus 2008 R. Herlambang Perdana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana 2 Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958, Konsekuensi tersebut,

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum mempunyai berbagai cara dan daya upaya untuk menjaga ketertiban dan keamanan dimasyarakat demi terciptanya

Lebih terperinci

BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA

BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA BAB VIII PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA A. Latar Belakang Memburuknya situasi keamanan dan hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999 menarik perhatian dunia internasional,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK

MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK PROGRES REPORT #2 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662,

Lebih terperinci

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN A Oleh: Rudi M. Rizki Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM

HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM PROGRES REPORT #6 MONITORING PENGADILAN TANJUNG PRIOK HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memudahkan untuk dapat berhubungan dengan orang lain. masyarakat untuk berkomunikasi yaitu melalui teleconference.

BAB I PENDAHULUAN. memudahkan untuk dapat berhubungan dengan orang lain. masyarakat untuk berkomunikasi yaitu melalui teleconference. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini dirasakan semakin pesat, terutama teknologi di bidang komunikasi dan informasi. Perkembangan teknologi tersebut membawa pengaruh

Lebih terperinci

Analisis Kasus. 1

Analisis Kasus.  1 ANALISA TERHADAP PUTUSAN KASUS PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN ATAS TERDAKWA HIDAYAT LUKMAN ALIAS TEDDY Desita Sari, S.H., Indah Lisa Diana, S.H dan Alfian Pada masa reformasi seperti sekarang ini, media

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci