Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur"

Transkripsi

1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur I. Pengantar Pada bulan April 2002, masing-masing Majelis hakim yang memeriksa perkara di Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur telah menjatuhkan putusan sela. Dalam putusan sela tersebut Para Majelis Hakim berpendapat bahwa Pengadilan HAM Adhoc memiliki kompetensi absolut dan relatif untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Selain itu, dakwaan-dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum Adhoc telah memenuhi syarat formal dan materiil suatu dakwaan. (pembahasan lebih mendalam tentang surat dakwaan dan kompetensi pengadilan, lihat progress report # I). Dalam progress report II ini, akan disorot lebih lanjut proses persidangan tersebut, khususnya tentang proses pembuktian dakwaan. Di sini dilihat unsur-unsur yang terkandung di dalam pasal-pasal dakwaan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum membuktikan unsur-unsur tersebut, kecenderungan keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai akhir April Selain akan disorot pula kemampuan Jaksa dan Hakim mengeksplorasi kesaksiankesaksian yang diberikan dalam persidangan, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap keterangan saksi-saksi tersebut. II. Proses Pembuktian 2.1. Unsur-unsur Dakwaan Dari ketiga berkas tersebut dapat dipilah menjadi dua bentuk dakwaan, yaitu pertama, dua berkas dakwaan masing-masing an. Abilio Jose Osorio Soares dan Timbul Silaen mempunyai bentuk dakwaan alternatif serta pasal-pasal yang didakwakan hampir sama. Kedua, satu berkas dakwaan an. Liliek Koeshadiyanto, Dkk, menggunakan bentuk dakwaan subsidair. A. unsur-unsur dakwaan an. Abilio Jose Osorio Soares dan Timbul Silaen sebagai-berikut: a. Dakwaan Kesatu Pasal 42 ayat (2) a dan b Barang siapa: Seseorang yang Mempunyai kedudukan sebagai atasan 1

2 Polisi maupun Sipil Bertanggung-jawab secara pidana Atas tindak pidana pelanggaran HAM berat Yang dilakukan oleh bawahannya o Yang berada di bawah kekuasaannya dan o Pengendaliannya yang efektif Tidak melakukan pengendalian secara patut dan benar Atasan tersebut : Mengetahui atau Secara sadar mengabaikan informasi o Yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau o Baru saja melakukan Pelanggaran HAM yang Berat Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk : o Mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau o Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Jis Pasal 7 ayat b Pelanggaran HAM yang Berat meliputi Kejahatan Kemanusiaan Pasal 9 ayat a Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari o Serangan yang meluas atau o Sistematik Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil Berupa pembunuhan Pasal 37 Barang siapa: Adalah setiap orang Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a, b, c, d atau e Dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Dengan melihat unsur-unsur dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam dakwaan Kesatu adalah sebagai-berikut : 1) Barang Siapa orang yang menjadi Terdakwa adalah polisi atau sipil; Merupakan atasan langsung dari bawahannya yang melakukan Pelanggaran HAM yang Berat. 2) Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh bawahannya adalah kemanusiaan berupa pembunuhan. 2

3 3) Perbuatan bawahannya ini merupakan bagian dari suatu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. 4) Terdakwa mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi tentang perbuatan bawahannya tersebut. 5) Terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan guna mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau Menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 6) Apabila unsur-unsur tersebut dapat dibuktikan maka Terdakwa dapat dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal 25 tahun dan minimal 10 tahun. b. Dakwaan Kedua Pada dakwaan kedua, unsur-unsur dakwaan hampir sama dengan dakwaan kesatu, yang berbeda hanya pada : 1. Perbuatan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya berupa penganiayaan dst. 2. hukuman pidana yang dapat dijatuhkan maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun. B. Satu berkas atas-nama 5 (lima) Terdakwa disusun dalam bentuk dakwaan subsidair. Karena dakwaannya dalam bentuk dakwaan subsidair, maka unsur-unsur dakwaan yang akan dikemukakan disini adalah Dakwaan Primair saja. Adapun unsur-unsur dakwaan Primair tersebut sebagai-berikut : Dakwaan Primair : Pasal 7 b Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan. Jis Pasal 9 ayat a Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari o Serangan yang meluas, atau o Sistematik Yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil Berupa pembunuhan Pasal 37 Barang siapa: Adalah setiap orang Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 9 huruf a, b, c, d atau e Dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 3

4 Pasal 42 ayat (1) sub a, b Barang Siapa : o Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer. Dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : o komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan o komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pasal 55 ayat 2 Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Dengan mencermati unsur-unsur dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam dakwaan Primair adalah sebagai-berikut : 1) Barang Siapa: Terdakwa adalah Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer. 2) Bertanggung-jawab secara pidana atas Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif. 3) Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando Terdakwa adalah melakukan kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan. 4) Dan perbuatan tersebut ini merupakan bagian dari suatu kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. 5) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut : a. Terdakwa mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. Terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan 4

5 perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 6) Apabila unsur-unsur tersebut terbukti, maka Terdakwa dapat dijatuhi hukuman dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Catatan : 1. Sulit untuk memahami maksud dari Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun pasal-pasal di dalam dakwaannya. Susunannya berbeda dengan dakwaan atasnama Timbul Silaen dan Abilio Jose Osorio Soares. 2. Selain itu Jaksa Penuntut Umum tidak tegas dalam menentukan peran Para Terdakwa dalam dakwaan ini yaitu melanggar pasal 42 ayat 1 (command responsibility) atau sebagai Penganjur (sama dengan pelaku). Ketidakjelasan ini disebabkan karena Jaksa Penuntut Umum memasukkan pasal 55 ayat 2 KUHP. Seharusnya JPU memisahkan peran Terdakwa tersebut dengan membuat dakwaan yang lain, sehingga masing-masing Peran tersebut dijerat dengan dakwaan yang berbeda Keterangan Saksi-saksi di Persidangan Untuk membuktikan unsur-unsur dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum sampai akhir april 2002, telah mengajukan saksi-saksi sebagai-berikut : Berkas Abelio Soares (berkas I) NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan 1 M.Nur Muis Mantan danrem 17 April Herman Sedyono Mantan Bupati Covalima 17 April 2002 Terdakwa untuk Berkas III 3 Suprapto Tarman Mantan Bupati Ailio 18 April Tono Suratman Mantan Danrem 18 April Timbul Silaen Mantan Kapolda Tim-Tim 24 April 2002 Terdakwa untuk berkas II 6 Domingus Soares Mantan Bupati Dilli 25 April Mudjiono Mantan wakil Komandan Korem Tim-Tim 25 April 2002 Berkas Timbul Silaen (berkas II) NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan 1 Wiranto Mantan 4 April 2002 Menhankam/Pangab 2 Adam Rahmat Mantan Pangdam Udayana 11 April 2002 Terdakwa damiri Kasus Tim-Tim 3 Mohammad Noer 11 April 2002 Muis 5

6 4 Joseph Josua Mantan Polri kapusdiklat Sitompul Polda Tim-Tim 5 Leo Pardede Mantan Kapusdalops Polda Tim-Tim Muafi Sahudji Mantan Wakapolda Tim- Tim April April April 2002 Berkas Herman Sedyono dkk (berkas III) NO Nama Jabatan Tanggal diperiksa Keterangan 1 Sony Iskandar Mantan supir kasdim 23 April 2002 Acmad syamsuddin (terdakwa IV) 2 I Wayan Suka Penjaga PLN Suai 23 April 2002 Antara diperintah oleh Dandim 3 Sulistyono Mantan Sopir Truk di kodim 1635 Suai 23 April Jehezkiel Berek Mantan Wakapolres 30 April 2002 Covalima 5 Jacobus Tanamal Mantan Kapusdalop Polres Covalima 30 April Yopi Lekatompessy Mantan Kapolsek Kota 30 April 2002 Covalima Keterangan saksi-saksi tersebut di atas yang disampaikan dipersidangan cenderung hampir senada yaitu antara-lain sebagai-berikut : 1. Mengenai Jajak Pendapat Pada awalnya muncul Opsi 1, ketika presiden punya usul untuk memberikan otonomi khusus kepada Tim-tim yaitu pada akhir 1998, kemudian awal januari 1999 muncul opsi 2 yang dua-duanya dibicarakan dalam tripartit agreement. Setelah ada opsi 1 dan 2 tersebut, situasi Tim-tim berubah dengan sangat cepat dimana ada kebijakan baru yang sangat berbeda dimana kelompok-kelompok yang tadinya bertentangan (pro dan anti integrasi) harus dianggap sebagai pihak yang harus dihormati. 2. Tentang penanggung-jawab keamanan Yang bertanggung-jawab terhadap keamanan dalam proses jajak pendapat adalah Kepolisian karena pihak internasional tidak menghendaki campur tangan TNI dalam masalah pengamanan jajak pendapat. Dalam masalah pengamanan ini terjadi penyerahan KODAL dari Pangdam pada Kapolda yang dilakukan pada bulan Mei 1999 dan seharusnya sampai pada terbentuknya pemerintahan transisi. Tetapi karena setelah pengumuman jajak-pendapat yaitu pada tanggal 4 September 1999 telah terjadi chaos, maka pada tanggal 5 September 1999 Kodal dikembalikan ke Pangdam dan pada tanggal 7 September 1999 di seluruh wilayah Timor-timur diberlakukan darurat militer. 6

7 3. Penyebab kerusuhan atau Chaos 4 September terjadi chaos, 5 September malam keadaan semakin memburuk dan muncul tindakan anarkis dan sporadis yang mengganggu KAMTIBMAS yang terjadi di Dili dan 4 kabupaten lainnya. Penyebabnya adalah Pengumuman hasil jajak pendapat yang dipercepat, yang seharusnya tanggal 7 September 1999 dimajukan menjadi tanggal 4 September 99. Diduga telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh panitia jajak-pendapat dan UNTAET, namun komplain yang diajukan tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. Pada dasarnya penyerangan tersebut merupakan rangkaian dari dendam yang sudah lama dan berkepanjangan dari masyarakat pro integrasi akibat tekanan teror dan pembunuhan yang dilakukan oleh anti integrasi kepada pro integrasi. Yang terlibat konflik adalah antara Kelompok Pro Integrasi dan Kelompok Anti Integrasi. Sedangkan anggota Polri dan TNI tidak terlibat dalam konflik, kalaupun terjadi pelanggaran oleh anggota Polri dan TNI bukan merupakan pelanggaran HAM karena pada saat itu belum dikenal Pelanggaran HAM. 4. Mengenai jumlah korban dari peristiwa kerusuhan 5 dan 17 April 1999 serta September 1999 terdapat korban yang meninggal dari kelompok sipil tetapi jumlahnya tidak pasti. Dan ada korban luka-luka termasuk diantaranya adalah warga-negara asing. Bangunan-bangunan banyak yang dibakar, pembakaran ini dilakukan sendiri oleh Pemiliknya. 5. Tindakan yang dilakukan penanggung-jawab keamanan atau komandan terhadap kerusuhan atau gangguan keamanan. Keamanan jajak pendapat telah berhasil dengan baik sehingga jajak-pendapat tersebut dapat terlaksana. Terhadap terjadinya chaos dan kerusuhan telah diambil tindakan sesuai dengan prosedur dan protap sehingga kerusuhan tidak meluas dan dapat dilokalisir. Terhadap mereka yang dianggap melakukan tindakan pidana telah dilakukan pengusutan atau tindakan hukum. Para Terdakwa telah bertugas dengan baik, dengan memberikan laporan kepada atasan atas semua peristiwa serta perkembangan keadaan serta telah melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan. Kalaupun kerusuhan atau chaos tidak dapat dihentikan dengan cepat karena Para Pelaku sangat emosional dan jumlahnya sangat banyak, sedangkan petugas jumlahnya sangat terbatas. 6. Kehadiran milisi atau kelompok bersenjata Mereka terbentuk sebagai reaksi dari opsi yang diumumkan. Hal ini didorong oleh agresifitas kelompok pro kemerdekaan yang merasa punya hak sama, mengadakan intimidasi dan penyerangan-penyerangan kepada masyarakat, melakukan teror terhadap kelompok pro integrasi. Waktu itu ada eksodus para petugas medis yang berasal dari luar Tim-tim, dari para pengajar yang berasal dari luar Tim-tim, juga intimidasi, teror, penyerangan dilaksanakan pada kelompok pro integrasi, mulai saat itu untuk melawan teror-teror itu mereka membentuk kelompok-kelompok perlawanan parsial. Jadi kelompok kelompok itu terbentuk sebagai reaksi dari aksi kelompok pro kemerdekaan. Jadi tidak ada hubungan struktural. Dan tidak ada 7

8 hubungan satu dengan yang lain. Selain itu terdapat kelompok sipil yaitu Wanra dan Kamra. Di lapangan, Wanra Pembinanya adalah Kodim, kalau Kamra adalah kepolisian. Dari keterangan saksi-saksi tersebut dapat dikemukakan beberapa contoh yang diambil dari keterangan saksi Jendral (Pur) Wiranto dan Mayjen Adam Damiri. 8

9 Saksi Jendral (Pur.) Wiranto Setelah ada pengumuman jajak pendapat, secara spontan terjadi sikap yang emosional dari masyarakat pro integrasi dikarenakan tuntutan adanya kecurangan yang tidak ditanggapi atau merasa tidak ditanggapi sebagai-mana mestinya, muncul tindakantindakan sporadis dan anarkis. Yang terlibat dalam tindakan anarkhis di timor-timur tidak jelas antara siapa dengan siapa. Tetapi kejadian seperti itu terjadi setiap saat, bukan hanya di Liquisa, Dili, di semua wilayah Tim-tim masih terjadi hal-hal semacam itu, yang merupakan kelanjutan dari proses yang sudah berjalan, proses integrasi itu, masih ada pro dan kontra, setiap wilayah ada bentrokan, perkelahian, intimidasi satu dengan yang lain. Selama jajak-pendapat, dalam kurun waktu kurang-lebih 7 bulan, pasti ada satu atau dua anggota TNI/Polri yang melakukan pelanggaran terhadap tugasnya. Tapi waktu itu belum mengenal pelanggaran HAM, yang ada hanya pelanggaran pidana biasa. Dari peristiwa kekerasan tersebut telah jatuh korban, ada yang meninggal, ada orang asing yang terluka. Tetapi Kapolda sudah melakukan tindakan pengamanan dan pengusutan dan tidak melakukan pembiaran. Saksi Adam Damiri Memberikan keterangan di bawah sumpah, menerangkan, yang intinya: saksi mendapat perintah, diantaranya adalah amankan dan sukseskan jajak pendapat, backup kepolisian yang mempunyai tugas kendali keamanan masalah operasional jajak pendapat. Saksi tidak melihat tetapi saksi tahu berdasarkan laporan dari Danrem. Saksi menilai jajak-pendapat dilaksanakan dengan tidak fair. Dari kerusuhan tanggal 6 dan 17 April 99 serta September 99, saksi tidak mendapat laporan dari Danrem tentang keterlibatan TNI/Polri dalam kerusuhan tersebut. Juga Tim Irjen Mabes TNI yang dibentuk Panglima TNI, untuk mengecek kelapangan, untuk memantau atau mengusut kejadian tersebut, hasil pemantauan dari Irjen Mabes TNI ini, tidak melaporkan adanya keterlibatan anggota TNI/POLRI dalam kasus ini. Saksi telah memberikan perintah kepada Danrem untuk segera menyelesaikan konflik atau pertikaian yang terjadi supaya tidak meluas, dan sudah ada langkah pencegahan dimana disitu aparat kepolisian dan TNI bersama-sama berupaya untuk mencegah, tetapi melihat massa yang begitu besar, begitu emosi, dan lain sebagainya, sehingga upaya tidak berarti menghadapi keadaan seperti itu, tetapi bisa mencegah tidak meluas dan mengurangi jumlah korban tidak terlalu banyak, tapi kalau dibiarkan, mungkin korban tidak hanya puluhan, mungkin ratusan, bahkan rumah pasturpun mungkin sudah terbakar habis, mungkin uskup Bello sudah mati. 9

10 2.3. Eksplorasi Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim Dalam Mengungkap Kebenaran Materiil. Jaksa Penuntut Umum Sebagai pihak yang bertanggung-jawab untuk membuktikan unsur-unsur dakwaannya Jaksa Penuntut Umum sampai akhir April 2002, belum mampu menghadirkan saksi-saksi yang diharapkan dapat membuktikan unsur-unsur tersebut. Jaksa Penuntut Umum lemah dalam memakai atau menggunakan data sebagai bahan rujukan atau pembanding dari keterangan saksi-saksi, beberapa contoh dapat dikemukakan disini. 1. Tentang Penyebab Kerusuhan JPU tidak mencoba menggali lebih jauh pengetahuan saksi tentang penyebab kerusuhan. JPU seharusnya mengejar dengan pertanyaan lebih lanjut, tentang sumber pengetahuan saksi-saksi yang menyatakan bahwa kerusuhan tersebut disebabkan oleh diajukannya pengumuman jajak-pendapat serta terjadi kecurangan dan tidak ada tanggapan yang memuaskan atas klaim tersebut. Sehingga dapat diketahui apakah ini memang fakta ataukah hanya hasil analisis dari Para Saksi. 2. Tentang Keterlibatan TNI atau Polri dalam kerusuhan Ada saksi yang mengatakan bahwa selama kurun waktu persiapan sampai dilaksanakan Jajak Pendapat terdapat anggota TNI atau Polri yang melakukan pelanggaran. JPU tidak menanyakan lebih lanjut tentang siapa-siapa anggota yang dimaksud. Kalau memang saksi tidak mengetahui persis, JPU seharusnya menanyakan sumber pengetahuan Saksi. Dan apabila dalam bentuk laporan atau hasil pemeriksaan, seharusnya JPU menanyakan dimana laporan atau berkas pemeriksaan tersebut dapat diperoleh, sehingga JPU dapat mengetahui: identitas Anggota TNI dan Polri yang melakukan pelanggaran, mengetahui hubungan antara anggota TNI dan Polri dengan Para Terdakwa serta jenis pelanggaran yang sudah dilakukan. Majelis Hakim Majelis Hakim dalam kasus pidana atau pelanggaran HAM berat harus bertindak proaktif dalam menguak kebenaran materiil. Dan Majelis Hakim juga memiliki kewenangan untuk menolak kehadiran Saksi yang tidak relevan dengan dakwaan atau pengetahuan yang diperolehnya bukan dalam kapasitas sebagai saksi yang dikehendaki oleh undangundang. Contohnya sebagai-berikut : 1. Keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagian mereka peroleh dari laporan. Berarti saksi ini tidak mengetahui secara langsung peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan JPU, dengan demikian saksi seperti ini tidak relevan untuk dihadirkan. Selain itu, keterangan saksi yang diharapkan disampai dalam persidangan, berkaitan dengan unsur-unsur dakwaan bukan keterangan lainnya. Oleh karena itu daripada membuang-buang waktu, seharusnya Majelis Hakim menolak kehadiran saksi-saksi yang hanya memperoleh keterangan dari pihak lain atau tidak mengetahui peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan. 2. Selain itu, Majelis Hakim juga tidak mencoba menguak lebih lanjut keterangan Saksisaksi seperti: Saksi mengatakan bahwa sudah ada laporan dari Para Terdakwa ke atasannya baik secara tertulis dan lisan (melalui telepon). Seharusnya Majelis Hakim 10

11 menanyakan yang tertulis bentuknya seperti apa, berapakali laporan tersebut dibuat, dapat ditemukan dimana, apakah bisa diberikan ke JPU. Dan kalau memang dapat diberikan ke JPU, Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk membawa bukti-bukti tersebut kepersidangan. 3. Tentang penanganan yang dilakukan oleh Para Terdakwa, Majelis Hakim seharusnya menanyakan tentang bukti-bukti pendukung bahwa penanganan yang dilakukan memang sudah sesuai protap dan sudah dilaksanakan secara maksimal. Misalnya, ada saksi yang mengatakan bahwa sudah ada pengusutan terhadap pelaku kerusuhan, seharusnya Majelis Hakim menanyakan identitas para pelaku yang diusut, siapa korbannya, apa perbuatan yang telah dilakukan, bukti laporannya apa dsb. 2.4 Analisis terhadap saksi dan keterangan saksi Analisis dilakukan dengan menggunakan ketentuan hukum tentang saksi. Karena undangundang Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000, tidak mengatur secara lengkap tentang alatbukti, maka undang-undang ini mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 tahun Selain itu analisis juga didasarkan pada unsur-unsur dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 1. Yang seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP). Tapi, dari saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai dengan akhir April 2002, tidak ada satupun saksi yang merupakan saksi korban. Saksi-saksi yang diajukan adalah Terdakwa lain dalam berkas perkara yang berbeda dalam kasus Pelanggaran Ham yang Berat yang terjadi di Timor-timur. Atau Mereka yang masih ada atau pernah memiliki hubungan kerja dengan Para Terdakwa baik sebagai atasan atau bawahan. 2. Saksi-saksi yang hendak dihadirkan dipersidangan, seharusnya dicegah untuk saling berhubungan sebelum mereka memberikan keterangan dipersidangan. Hal ini untuk menghindari mereka saling pengaruh mempengaruhi, sehingga keterangan mereka tidak lagi diberikan secara bebas. Sedangkan Saksi-saksi yang diajukan dipersidangan adalah Para Terdakwa yang statusnya tidak ditahan serta satu instansi. Sehingga ada kemungkinan untuk saling berhubungan dan mengatur keterangan yang menguntungkan dipersidangan. 3. Para Saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum lebih tepat sebagai Saksi a de charge (yang meringankan Terdakwa yang seharusnya diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya) bukan saksi a charge (yang memberatkan saksi yang seharusnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum). Contohnya: keterangan Saksi yang menyatakan bahwa tidak ada anggota TNI/Polri yang terlibat dalam kerusuhan. Atau saksi yang mengatakan bahwa Para Terdakwa telah melakukan pekerjaan pencegahan maupun tindakan pengusutan sehingga kerusuhan dapat dilokalisir dsb. 4. Keterangan saksi seharusnya adalah keterangan dari seseorang atas suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan 11

12 menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak dapat berupa pendapat/opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikirannya saja. Atau pengetahuannya tentang suatu peristiwa dia peroleh dengan cara, mendengar cerita dari orang lain (testimonium de auditu). lihat box kesaksian Adam Damiri. Namun saksi-saksi yang diajukan JPU sebagian bukanlah termasuk kategori saksi sebagaimana dikehendaki oleh KUHAP. Karena sebagian pengetahuan yang mereka peroleh bukan hasil mendengar, mengetahui atau melihat sendiri suatu peristiwa, tetapi hanya mendapat laporan atau mendengar keterangan atau hasil membaca koran, mendengar radio dsb. 5. argumen para saksi bahwa pemicu kerusuhan adalah kecurangan UNAMET yang menyebabkan kemarahan para pejuang pro-integrasi sebetulnya sudah gugur dengan sendirinya, karena UNAMET sendiri telah melaporkan bahwa memang telah terjadi beberapa kecurangan, namun tidak signifikan sehingga dapat merubah hasil jajak pendapat secara keseluruhan, dan pemerintah Indonesia telah menerima kondisi tersebut dengan resmi. Namun, JPU dan Majelis Hakim membiarkan argumen ini kembali berkembang tanpa me-refer pada bukti-bukti tertulis yang ada yang sebetulnya sudah disertakan dalam Laporan KPP HAM untuk kasus Timor Timur. 6. Saksi-saksi yang seharusnya mengetahui atau berada dilokasi kejadian, sebagian mengatakan lupa. Sehingga tidak dapat menjelaskan secara detil peristiwa tersebut. Dan tidak ada upaya yang gigih dari JPU maupun Majelis Hakim untuk mengingatkan kepada Saksi tentang peristiwa yang pernah Ia alami. 7. Keterangan yang dikemukakan saksi-saksi tersebut, belum dapat membuktikan dakwaan JPU bahwa bawahan langsung atau di bawah kontrol Para Terdakwa telah melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan atau penganiayaan dan atas perbuatan bawahannya tersebut Para Terdakwa tidak menghentikan atau tidak melakukan pengusutan. a. Karena keterangan yang diberikan dipersidangan oleh Para Saksi-saksi tersebut belum menunjukkan, misalnya si A adalah bawahan Terdakwa, si A ini melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap seorang atau beberapa orang sipil. Dan pembunuhan atau penganiayaan tersebut merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas. Dan setelah mengetahui atau yang seharus Terdakwa mengetahui tetapi tidak melakukan penghentian atau pengusutan. b. Keterangan Para Saksi lebih menunjukkan bahwa yang melakukan kerusuhan atau chaos atau terlibat konflik tersebut adalah kelompok anti-integrasi dan prointegrasi. Sedangkan keterlibatan TNI/Polri didalam membina atau melatih atau memasok senjata ke kelompok pro-integrasi tidak diakui oleh Saksi. Sehingga sulit membuktikan keterlibatan TNI/Polri disini. c. Keterangan Saksi juga memperkuat posisi Para Terdakwa dan semakin mementahkan unsur-unsur dakwaan, khususnya keterangan tentang penanganan terhadap kerusuhan. Para Saksi antara lain mengatakan bahwa apabila Para Terdakwa hanya diam dikantor atau tidur-tiduran, mungkin Uskup Belo sudah mati atau kerusuhan tidak hanya terjadi di 4 kabupaten, bisa terjadi diseluruh wilayah Timor-timur. 12

13 III. Kesimpulan : Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum sampai dengan akhir April 2002 masih sangat mengkhawatirkan dalam usaha membuktikan dakwaannya. Jaksa Penuntut Umum tampak pasif dan kurang eksploratif. Saksi-saksi yang dihadirkan JPU tidak cukup kuat untuk dapat membuktikan dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum. Proses pemeriksaan saksi yang demikian itu berimplikasi pada pembuktian unsur-unsur yang wajib dibuktikan Jaksa Penuntut Umum dalam usaha membuktikan bahwa kerusuhan yang terjadi di Timor Timur tersebut merupakan kerusuhan yang bersifat meluas dan merupakan bagian dari kebijakan keamanan TNI/Polri di Timor Timur sebagaimana didakwakan. Dari keterangan yang disampaikan oleh Para Saksi, keterangan mereka cenderung mementahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim tidak mampu mengeksplorasi dan menggali lebih dalam datadata yang ada dan kesaksian untuk membuktikan dakwaan, terutama untuk membuktikan adanya unsur sistematis. Justru saksi-saksi dibiarkan dengan bebas membuat analisa atau pendapat mereka atas kejadian yang ada, bukan memberikan kesaksian sebagaimana disyaratkan dalam KUHAP. Oleh karena itu, agar pemeriksaan saksi-saksi ini efektif dan tepat sasaran, disarankan agar Jaksa Penuntut Umum: a. Lebih mengutamakan Saksi-saksi Korban, atau Saksi yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan Para Terdakwa baik berupa hubungan kekeluargaan maupun hubungan jabatan. b. Jaksa Penuntut Umum, seharusnya menghindari mengajukan saksi dari sesama Terdakwa, karena Para Terdakwa, tidak mempunyai kewajiban pembuktian apalagi apabila keterangannya pada akhirnya akan memberatkan Terdakwa itu sendiri. Atau Saksi yang potensial dapat menjadi Terdakwa dalam perkara pelanggaran HAM. Oleh karena itu Jaksa Penuntut Umum harus mengutamakan menggunakan saksi-saksi serta bukti yang lain. c. JPU harus mengacu ke surat-surat atau pernyataan yang pernah dikeluarkan oleh Para Terdakwa atau Saksi-saksi, berkas-berkas perkara serta laporan-laporan dari para Pihak yang relevan dengan perkara ini. Jakarta, 14 Mei o0o- 13

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002. PROGRESS REPORT IX Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur Jakarta, 20 Desember 2002. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc

Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc Progress Report III Monitoring Pengadilan HAM ad hoc Pendahuluan Pengadilan HAM ad hoc kasus timor timur telah berjalan hampir empat bulan sejak dimulainya sidang pertama pada bulan Februari 2002. Saat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Supriyadi Widodo Eddyono 2 Pengantar Perlindungan saksi yang di praktekkan selama ini dalam kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia sebenarnya

Lebih terperinci

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1

Program Monitoring Pengadilan HAM Progress Report # 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) PROGRESS REPORT #1 PROGRESS REPORT #1 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662, 791

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

PROGRESS REPORT NO. 1

PROGRESS REPORT NO. 1 PROGRESS REPORT NO. 1 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TIM-TIM ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

Analisis Kasus. 1

Analisis Kasus.  1 ANALISA TERHADAP PUTUSAN KASUS PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN ATAS TERDAKWA HIDAYAT LUKMAN ALIAS TEDDY Desita Sari, S.H., Indah Lisa Diana, S.H dan Alfian Pada masa reformasi seperti sekarang ini, media

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Pembuktian : Tanggungjawab Komando Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT

PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT PENYULUHAN INFORMASI DARI BAGIAN KEJAHTAN BERAT TUNTUTAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN UNTUK MANTAN MENTERI PERTAHANAN INDONESIA, KOMANDAN MILITER TERTINGGI INDONESIA DAN GUBERNUR TIMOR LESTE Resolusi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim. Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim

Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim. Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim Progress Report VIII Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Tim-Tim Pengantar Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusian di Timtim Tak ada yang meragukan bahwa rangkaian peristiwa yang terjadi menjelang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 13/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 13/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N NO. 13/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana pada peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 708/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 708/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 708/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Pengadilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 344/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 316/Pid.B/2014/PN.Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Seri Advokasi kebijakan # Perlindungan Saksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat pertama dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL?

APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? APA ITU CACAT HUKUM FORMIL? Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH, MH Kadilmil II-09 Bandung Dalam praktek peradilan hukum pidana, baik Penyidik POM TNI, Oditur Militer, Penasihat Hukum (PH) dan Hakim Militer

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER I. KETENTUAN UMUM A. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan bagi prajurit TNI dan masyarakat pencari keadilan. 2. Meningkatkan

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan No.655, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Koordinasi. Aparat Penegak Hukum. PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG MENTERI HUKUM DAN HAM JAKSA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR UNITED NATIONS NATIONS UNIES United Nations Transitional Administration Administration Transitoire des Nations Unies in East Timor au Timor Oriental UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dactyloscopy Sebagai Ilmu Bantu Dalam Proses Penyidikan Dactyloscopy adalah ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identifikasi orang dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Untuk memperoleh kesahihan penelitian dan gambaran objektif dari responden maka perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. 1.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG Hasil rapat 7-7-05 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG TEKNIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, HAKIM DAN KELUARGANYA DALAM

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci