BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melalui rangkaian proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan putusan No.1488/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. yang memutuskan Terdakwa Muchdi Purwopranjono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sehingga membebaskan Terdakwa Muchdi Purwopranjono dari semua dakwaan 1. Dari serangkaian proses acara pidana yang telah dilaksanakan, proses terpenting bagi Majelis Hakim dalam membuat pertimbangan didalam putusan ialah pembuktian yang bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil , hlm Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1488/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. 2 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ctk. Kelima, Sinar Grafika, Jakarta,

2 2 Dalam proses pembuktian yang dilaksanakan persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memunculkan pertentangan yang diwarnai keberatan dari penasehat hukum terdakwa Muchdi Purwopranjono. Keberatan diajukan penasehat hukum terdakwa pada saat jaksa penuntut umum tidak mampu menghadirkan dua saksi kunci yaitu Wakil Kepala Badan Intelijen Negara M As'ad dan Direktur 5.1 BIN Budi Santoso pada persidangan, kemudian jaksa penuntut umum meminta majelis hakim untuk diijinkan membacakan Berita Acara Pemeriksaan kedua saksi tersebut yang telah dibuat oleh penyidik. Saksi Budi Santoso merupakan saksi kunci yang dapat menyeret Terdakwa Muchdi Pr dalam perkara yang didakwakan yaitu pasal 55 ayat (1) ke-2 atau ke-1 jo. pasal 340 KUHP. Hal ini sesuai dengan keterangan yang telah disampaikan Saksi Budi Santoso pada penyidik yang telah dituangkan didalam berita acara pemeriksaan saksi yang ditandatangani oleh saksi dan diberikan dibawah sumpah dihadapan penyidik, yang akan mampu membuktikan dakwaan jaksa penuntut umum. Pada persidangan yang dilaksanakan pada tanggal 16 September 2008 dengan agenda pembuktian oleh Jaksa Penuntut Umum yang secara resmi dan patut telah menghadirkan saksi Budi Santoso dan M As'ad, pada kenyataannya

3 3 kedua saksi secara resmi melalui surat menyatakan berhalangan mengikuti persidangan dalam pemeriksaan saksi persidangan tersebut 3. Akhirnya pada persidangan kelima belas tanggal 6 November 2008, Jaksa Penutut Umum Cyrus Sinaga,SH,M.Mum. memberikan laporan kepada Majelis Hakim mengenai pemanggilan kepada saksi Budi Santoso dan M As ad dilakukan 15 kali panggilan namun tidak pernah hadir dalam pemeriksaan saksi dipersidangan. Atas hal tersebut JPU berpendapat telah maksimal melakukan pemanggilan kepada kedua saksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dengan bukti-bukti relas panggilan dan surat keterangan lainnya dan yang bersangkutan telah disumpah pemeriksaan karena itu JPU meminta kepada majelis hakim yang mulia supaya keterangan kedua saksi tersebut ditahap penyidikan dapat dibacakan dalam persidangan 4. Meskipun hal ini tetap ditentang oleh tim penasehat hukum terdakwa yang menyatakan keraguannya terhadap tandatangan saksi didalam BAP karena majelis hakim juga tidak bisa memberikan pertanyaan seputar tandatangan dan paraf pada saksi seperti pada pemeriksaan saksi pada umumnya. Akhirnya Hakim mengijinkan pembacaan dilakukan terhadap BAP Budi Santoso tertanggal 3 oktober 2007, 8 Oktober 2007, 27 Maret 2008 dan 7 Mei 2008 serta BAP M As ad tertanggal 16 Maret Kontras, Monitoring Persidangan V Kasus Pembunuhan Munir Dengan Terdakwa Muhdi Purwoprajono, dalam diakses tanggal 27 Januari 2009, jam Kontras, Monitoring Persidangan XV Kasus Pembunuhan Munir Dengan Terdakwa Muhdi Purwoprajono, dalam diakses tanggal 27 Januari 2009, jam

4 4 Dari kasus diatas telah memberikan banyak pelajaran yang bisa dikaji untuk dapat melakukan koreksi terhadap penegakan hukum di Indonesia yang berpedoman pada KUHAP untuk dapat melihat keadilan secara berimbang tidak hanya mencari keadilan bagi korban tanpa mempertimbangkan keadilan bagi terdakwa dengan hak-hak yang dia miliki. Dalam perkara Muchdi Purwopranjono pihak penasehat hukum terdakwa menyatakan keberatan dari awal atas adanya saksi Budi Santoso serta M As ad yang tidak dapat hadir dipersidangan tetapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kedua saksi oleh JPU dibacakan pada saat pembuktian dengan berpedoman pada Pasal 162 KUHAP 5. Pihak JPU berpendapat telah memenuhi persyaratan untuk dapat membacakan BAP dipersidangan karena telah sebanyak 15 kali melakukan panggilan secara patut dan sah terhadap para saksi tetapi tidak sekalipun para saksi hadir dipersidangan, sementara saksi Budi Santoso merupakan saksi kunci yang mampu membuktikan semua dakwaan dari JPU terhadap terdakwa. Dari pihak tim penasehat hukum terdakwa selalu menyatakan keberatan terhadap pembacaan BAP dan meminta untuk menghadirkan saksi dengan berlandaskan pada Pasal 185 ayat (1) berbunyi: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa 5 Pasal 162 KUHAP yang berbunyi : Ayat (1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Ayat (2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.

5 5 yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Tim penuntut umum beranggapan sejak awal memang tidak ada niat dari JPU untuk menghadirkan para saksi. Dengan keberadaan Pasal 162 KUHAP ini apakah telah mengurangi hak dari terdakwa untuk dapat melakukan cross examination terhadap saksi sehingga terdakwa telah diperlakukan tidak adil. Selain itu keberadaan Pasal 162 ini dapatkah mengurangi kebenaran materiil yang sebenarnya dicari didalam hukum acara pidana dan akan mengarah kepada kebenaran formil saja. Mengingat dalam Pasal 162 Ayat (2) bahwa keterangan tersebut dibawah sumpah maka nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diterangkan dipersidangan akan memunculkan kekhawatiran disalah gunakan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum tidak perlu lagi menghadirkan para saksi ke pengadilan karena cukup membacakan keterangannya hasil penyidikan di persidangan. Hal ini jelas merugikan sekali bagi terdakwa dipersidangan karena kedudukan pada saat pembuktian yang tidak berimabang. Sementara disisi lain jika hanya karena kondisi saksi yang memang tidak dapat dihadirkan dipersidangan akan menjadi sebab ketidakadilan bagi korban. Pada persidangan dengan terdakwa Muchdi Purwopranjono memunculkan sebuah fenomena yang sering terjadi di dunia peradilan di Indonesia khususnya dalam tahap sidang pengadilan, adanya kecenderungan keterangan saksi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidikan dibacakan dalam persidangan. Hal ini disebabkan karena jaksa yang bersangkutan tidak mampu menghadirkan saksisaksi di persidangan, khususnya terhadap saksi yang memberatkan ( a charge ), sehingga seringkali keterangan saksi-saksi yang diberikan dalam BAP dibacakan

6 6 dalam persidangan. Bahkan seringkali terungkap dalam persidangan bahwa ketidakhadiran saksi-saksi yang dimaksud tanpa didasari alasan yang jelas atau sah. Tentunya hal ini akan mengurangi tingkat kebenaran materil (legalitas) sebagai tujuan dari proses pemeriksaan perkara pidana. Selain itu apakah dengan adanya pembacaan BAP ketentuan yang membolehkan BAP saksi yang disumpah untuk dapat dibacakan di persidangan dan dinilai mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan bukti keterangan saksi yang memberikan kesaksian di persidangan akan dapat merugikan hak-hak terdakwa. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran hakiki yang menjadi dasar terbentuknya putusan yang berkeadilan, apakah dengan proses pemeriksaan saksi melalui berita acara pemeriksaaan saksi di penyidikan dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki. Salah satu cara untuk mewujudkan kebenaran yang hakiki harus melalui sebuah proses peradilan yang berkeadilan bagi para pihak. Ada yang berpendapat bahwa alasan-alasan yang menjadi dasar penerapan pembacaan BAP saksi untuk menggantikan ketidak hadiran saksi pada pemeriksaan peradilan, seperti untuk menciptakan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan yang hal ini juga untuk kepentingan terdakwa sendiri, tetapi mengapa jika melihat dalam peradilan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr, tim penasihat hukum terdakwa dari awal menyatakan keberatan atas pembacaan BAP saksi dipersidangan jika hal itu untuk meringankan terdakwa. Jadi patut kita pertanyakan, benarkah pembacaan BAP

7 7 saksi tersebut untuk melindungi hak terdakwa untuk memperoleh peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Selanjutnya dalam Pasal 162 KUHAP ayat (2) diberikan ketentuan bahwa pembacaan BAP saksi yang telah diberikan dibawah sumpah saat penyidikan mempunyai kekuatan pembuktian yang disamakan dengan keterangan saksi yang diberikan dipersidangan. Seperti yang kita tahu banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai keterangan saksi yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Apakah dengan dapat dipersamakannya nilai kekuatan pembuktian pembacaan BAP saksi dibawah sumpah di persidangan dengan keterangan saksi berarti telah memenuhi syarat-syarat yang harus dimiliki sebagai keterangan saksi. Apabila memang memenuhi syarat-syarat sebagai keterangan saksi dengan nilai pembuktian yang sama lebih baik semua saksi saat penyidikan disumpah dan dibacakan saja dipersidangan untuk lebih menciptakan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya yang ringan, tetapi jelas kebenaran materiil yang ingin dicapai hukum acara pidana tidak akan pernah tercapai. Hakim sebagai orang yang memberikan putusan harus menjatuhkan putusan didasarkan alat bukti yang dihadirkan penuntut umum dan penasihat hukum guna memperoleh sebuah keyakinan akan kebenaran fakta yang terjadi, haruskah terikat pada ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP dalam memberikan pertimbangan nilai kekuatan pembuktian saksi yang dibacakan. Penyidik merupakan orang yang bertindak untuk mengumpulkan alat bukti yang membuat terang tindak pidana dan menemukan pelaku. Berita acara pemeriksaan saksi merupakan buatan penyidik atas telah dilakukannya

8 8 pemeriksaan kepada saksi. Sejak awal apakah BAP yang dibuat penyidik ini memang diperuntukan untuk pembuktian dipersidangan. Hal ini jelas penyidikan dapat menjadi proses yang sangat menentukan dalam terciptanya putusan akhir dari majelis hakim. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis hendak melakukan penelitian yang akan dituangkan kedalam bentuk skripsi dengan judul PEMBACAAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) SAKSI DALAM PENYIDIKAN UNTUK PEMBUKTIAN DI SIDANG PENGADILAN YANG DAPAT MELEMAHKAN KEDUDUKAN TERDAKWA (Studi Kasus Persidangan Kasus Pembunuhan Munir Dengan Terdakwa Muchdi Purwopranjono Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan). B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana kekuatan pembuktian dari pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dalam penyidikan di sidang pengadilan bagi pertimbangan hakim di dalam putusannya? 2. Apakah pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dalam penyidikan untuk pembuktian di sidang pengadilan dapat merugikan hak-hak terdakwa di dalam proses persidangan?

9 9 C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dalam penyidikan di sidang pengadilan bagi pertimbangan hakim di dalam putusannya 2. Untuk mengetahui bahwa pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dalam penyidikan untuk pembuktian di sidang pengadilan dapat merugikan hak-hak terdakwa di dalam proses persidangan D. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, dijelaskan tujuan hukum acara pidana adalah 6 : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran Kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Pada tujuan hukum acara pidana yang dirumuskan didalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP tersebut terdapat bagian kalimat yang berbunyi :...setidaktidaknya mendekati kebenaran materiil,.... Kalau dibandingkan dengan pandangan doktrina Hukum Pidana seperti Simons dan Mr. J.M van Bemmelen 6 Dikutip dari : Andi Hamzah, Hukum op.cit.,hlm. 8.

10 10 yang menganggap tujuan Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan hukum yang mencari kebenaran materiil sehingga kebenaran formal bukanlah merupakan tujuan dari Hukum Acara Pidana. Seharusnya tujuan yang dirumuskan tidak hanya sekedar bertujuan mencapai setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, tetapi bertujuan mencapai kebenaran materiil 7, tetapi usaha hakim menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah perbuatan yang didakwakan 8. Untuk mencapai kebenaran materiil yang diharapkan, hakim sesuai dengan ketentuan didalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Selanjutnya didalam penjelasan Pasal 183 menyatakan bahwa Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam memberikan putusan yang mengandung kebenaran materiil hakim harus memperoleh keyakinan yang dia peroleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Sedangkan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP terdiri dari : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; 7 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Ctk. Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm Andi Hamzah, Hukum op.cit.,hlm. 8.

11 11 c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa; Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang luput dari pembuktian keterangan alat bukti saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu dilakukan adanya pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi 9. Pengertian saksi yang diberikan didalam ketentuan umum Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian keterangan saksi didalam Pasal 1 angka 27 adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan yang dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu. adalah: Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi dapat dikatakan sah a. Syarat formil 9 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Jilid II, Ctk. Ketiga, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hlm. 808.

12 12 1) seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 3 dan 4 KUHAP); 2) seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai usia 15 tahun atau lebih atau sudah menikah. Sedangkan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan dianggap sebagai keterangan biasa (Pasal 171 butir a KUHAP); b. Syarat materil 1) melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu persitiwa pidana (Pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP); 2) seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari kesaksiannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP); 3) keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Asas ini terkenal dengan sebutan unus testis nullus testis (Pasal 185 ayat 2 KUHAP). Kitab Hukum Acara Pidana mengandung beberapa landasan asas satu prinsip, yang diartikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi dalam penerapan dan penegakan KUHAP. Asas-asas atau prinsip hukum inilah tonggak pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Bukan saja hanya kepada aparat penegak hukum saja asas atau prinsip hukum yang dimaksud menjadi patokan dan landasan tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang

13 13 menyangkut KUHAP. Apabila menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam KUHAP, berarti orang yang bersangkutan telah sengaja mengabaikan hakikat kemurnian yang dicita-citakan KUHAP. Salah satu prinsip KUHAP tersebut adalah pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi 10. Jadi menurut prinsip ini seorang terdakwa dan para saksi harus dilakukan pemeriksaan didalam proses di pengadilan harus secara langsung kepada terdakwa dan para saksi, dimana hakim akan berhadapan secara langsung kepada terdakwa dan saksi untuk dapat memberikan pertanyaan secara lisan. Ketentuan dalam prinsip ini berhubungan dengan Pasal 185 ayat (1) berbunyi: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Kesaksian yaitu suatu keterangan dengan lisan di muka hakim dengan sumpah tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri, bukan merupakan keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Sering terjadi pula keterangan saksi itu tidak lisan melainkan tertulis, akan tetapi tulisan itu harus dibacakan (dengan lisan) di muka hakim dan sesudahnya surat mana diserahkan kepada hakim itu 11. Keterangan saksi yang tertulis dibuat oleh penyidik Kepolisian yang berwenang melakukan penyidikan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan Saksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 162 KUHAP yang berbunyi : 10 Andi Hamzah, Hukum op.cit.,hlm M Karjadi dan R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar, Politeia, Bogor, 1997, hlm. 164.

14 14 Ayat (1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Ayat (2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. KUHAP juga menganut asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. KUHAP berusaha mempercepat terciptanya suatu putusan terhadap tindakan yang telah dilakukan seseorang yang sedang mengalami proses pembuktian dipersidangan pidana dengan hasil akhir putusan yang membuktikan bersalah tidaknya seseorang. Asas ini berusaha melindungi hak asasi manusia terdakwa dari suatu proses persidangan yang akan memakan waktu sangat lama. Sehingga agar jangan sampai suatu proses pembuktian memakan waktu lama karena saksi tidak dapat hadir dalam persidangan maka didalam Pasal 162 KUHAP tersebut memberikan ketentuan agar keterangan yang telah diberikan saksi ketika di penyidikan dibacakan dipersidangan. Jika keterangan itu sebelumnya dibawah sumpah maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Penyumpahan terhadap saksi pada proses penyidikan didalam Pasal 116 diatur bahwa saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Adanya ketentuan Pasal 162 KUHAP yang dinilai menguntungkan terdakwa karena mempercepat proses persidangan terhadap dirinya tetapi telah

15 15 merugikan terdakwa di dalam proses pembuktian. Pasal 162 KUHAP hanya diatur bahwa keterangan saksi yang dapat dibacakan didalam persidangan hanyalah keterangan saksi yang diberikan didalam penyidikan. Dimana dalam Pasal 1 angka 2 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sehingga didalam proses penyidikan yang dilakukan penyidik akan mencari keterangan yang dapat mendukung pembuktian tindak pidana yang dilakukan tersangka sehingga dapat segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum untuk dilakukan penuntutan. Hal ini jelas merugikan terdakwa dengan adanya keterangan saksi a charge yang diberikan dipenyidikan dibacakan di persidangan karena ketidakhadirannya dipersidangan yang disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Padahal terdakwa masih mempunyai hak untuk memberikan tanggapan terkait keterangan yang telah diberikan saksi sesuai yang diatur didalam Pasal 164 ayat (1), selain itu penasihat hukum terdakwa dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi yang akan bersifat meringankan terdakwa. Seorang saksi yang diperiksa pada proses penyidikan memberikan keterangan yang dicatat dengan teliti oleh penyidik dalam berita acara pemeriksaan. Prinsip pencatatan keterangan saksi dicatat sesuai dengan kata-kata dan kalimat yang dipergunakan oleh saksi. Pendapat ini didasarkan pada sistematika Pasal 117, yakni pada ayat (1) dijelaskan keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam

16 16 bentuk apapun. Ayat (2) memang tidak dirangkai lagi dengan saksi, tapi hanya menyebutkan tersangka saja, yang menentukan prinsip, agar keterangan tersangka dicatat dengan teliti oleh penyidik sesuai dengan kata yang dipergunakan tersangka sendiri. Ditinjau dari segi sistematika antara ayat (1) dan (2) Pasal 117, kedua ayat ini sama-sama ditujukan kepada pemeriksaan tersangka dan saksi, lagi pula tidak mungkin dibedakan prinsip pencatatan keterangan tersangka dengan saksi. Seandainya prinsip pencatatan keterangan yang disebutkan tidak berlaku kepada pencatatan keterangan saksi, dan hanya kepada tersangka saja, hal ini pasti menimbulkan kesewenangan dan kecurangan dalam mencatat keterangan saksi. Bahkan akan menjurus kepada pemeriksaan saksi untuk menandatangani keterangan yang bukan diberikannya, sebab dia disudutkan pada suatu posisi harus menandatangani berita acara yang lain dari apa yang dikehendaki 12. Apabila hal semacam ini terus banyak terjadi di lingkungan penegakkan hukum di Indonesia tentulah tidak akan tercapai suatu keadilan yang diharapkan melainkan suatu penegakkan hukum yang dijalankan oleh kekuasaan. E. METODE PENELITIAN 1. Fokus Penelitian Berupa hal-hal yang akan di teliti sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah, yaitu: 12 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan Dan Penuntutan, Ctk. Kelima, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003, hlm. 143.

17 17 1. Bagaimana kekuatan pembuktian dari pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi dalam penyidikan di sidang pengadilan bagi pertimbangan hakim di dalam putusannya.? 2. Apakah pembacaan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi untuk pembuktian dalam penyidikan di sidang pengadilan dapat merugikan hak-hak terdakwa di dalam proses persidangan? 2. Nara Sumber Berupa pihak pihak yang bisa memberikan pendapat, informasi atau keterangan terhadap masalah yang diteliti. Dalam tulisan ini penulis mengambil 2 pihak untuk dijadikan subyek penelitian, yaitu: a. Mohammad Assegaf,S.H., (pengacara Muchdi Purwopranjono) memberikan pandangan penerapan Pasal 162 KUHAP dari sudut pandang penasihat hukum. b. Sapawi,S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Jogjakarta) memberikan pandangan penerapan PAsal 162 KUHAP dari sudut pandang hakim. 3. Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang digunakan didalam penelitian ini yaitu : a) Bahan hukum primer

18 18 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1488/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel atas nama terdakwa Muchdi Purwopranjono. b) Bahan hukum sekunder: Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bukubuku literatur, dokumen-dokumen, makalah hasil seminar, jurnal ilmiah hukum, karya tulis dari ahli hukum, hasil-hasil penelitian, serta artikel-artikel yang terkait. c) Bahan hukum tersier: Kamus, dan ensiklopedia yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : a) Studi pustaka, yakni dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum, dan literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian. b) Studi dokumen, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peratuan perundang-undangan, putusan pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan obyek penelitian.

19 19 c) Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada nara sumber baik secara bebas maupun terpimpin. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sebagi berikut: a) Pendekatan yuridis normatif, yaitu mengkaji permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangundangan, doktrin-doktrin dasar, dan dari pustaka yang relefan dengan pokok bahasan. b) Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan pandangan dan doktrin dalam ilmu hukum yang berhubungan dengan obyek penelitian Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif. Yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh 14. hlm Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, ctk. kedua, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1999,

20 20 F. PERTANGGUNGJAWABAN SISTEMATIKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah B. Rumusan masalah C. Tujuan penelitian D. Tinjauan pustaka E. Metode penelitian F. Sistematika penulisan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN DAN KETERANGAN SAKSI A. Pembuktian B. Keterangan Saksi BAB III ANALISIS PENERAPAN PASAL 162 KUHAP BAGI KEDUDUKAN TERDAKWA DI SIDANG PENGADILAN A. Pemeriksaan Keterangan Saksi Yang Berhalangan Hadir Di Persidangan berdasarkan Pasal 162 KUHAP B. Pembacaan Berita Acara Pemeriksaan Saksi Di Persidangan Pada Kasus Peradilan Pembunuhan Munir C. Analisis Penerapan Pasal 162 KUHAP Bagi Kedudukan Terdakwa Di Sidang Pengadilan

21 21 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN. PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.PL) JOHAR MOIDADI / D 101 10 532 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Peranan

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan hal sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian dipandang sangat penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan kekuasaan belaka. Hal ini berarti bahwa Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasarkan

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu merasakan adanya gejolak dan keresahan di dalam kehidupan sehari-harinya, hal ini

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tujuan dari negara yang menganut sistem

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA 79 BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia Pengertian anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki peranan yang sangat vital, terutama dalam hal penuntutan perkara pidana. Selain berperan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi

Lebih terperinci