BAB II PENGATURAN STATUS PULAU-PULAU DARI WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL. A. Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum
|
|
- Farida Budiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II PENGATURAN STATUS PULAU-PULAU DARI WILAYAH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Hukum Internasional dan Sumber-Sumber Hukum Internasional 1. Pengertian Hukum Internasional Hukum Internasional (international law) atau hukum internasional publik (public international law) merupakan istilah yang lebih popular digunakan saat ini dibandingkan istilah hukum bangsa-bangsa (law of nations), hukum antarnegara (inter state law). Dua istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum internasional saat ini tidak mengatur hubungan antarnegara atau antarnegara saja. Hukum internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek Negara tidaklah terbatas pada Negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berikut ini beberapa pendapat tentang hukum internasional antara lain: Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara-negara yang bukan bersifat perdata. 13 Sedangkan menurut Charles Cheney Hyde dalam J.G Starke menyatakan bahwa hukum internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukumhukum yang untuk sebahagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah 13 Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1982, cetakan Keempat, hal 1 27
2 28 perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka secara umum. 14 Meskipun mengakui bahwa hukum internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarnegara, tetapi Jhon O Brien mengemukakan bahwa hukum internasional adalah sistem hukum yang terutama berkaitan dengan hubungan antarnegara. 15 Definisi ini tidak dapat digunakan sebagai gambaran yang memadai dan lengkap dari maksud, tujuan dan lingkup hukum internasional, juga kesannya tidak dapat diterima karena hukum internasional tidak hanya berkaitan dengan negara. Starke mengembangkan definisi dengan menyatakan bahwa hukum internasional juga meliputi kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negaranegara dan individu-individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. 16 Selanjutnya peraturan-peraturan hukum internasional tertentu diperluas kepada orang-perorangan dan satuan-satuan bukan negara sepanjang hak dan kewajiban mereka berkaitan dengan masyarakat internasional dari negara-negara. 14 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Cetakan Kesembilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal Jhon O Brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, Green Britain, 2001, hal 1 16 Ibid
3 29 Hukum internasional antara lain menetapkan aturan-aturan tentang hak-hak wilayah dari negara (berkaitan dengan darat, laut, dan ruang angkasa), perlindungan lingkungan internasional, perdagangan dann hubungan komersial internasional, penggunaan kekerasan oleh negara, dan hukum hak asasi manusia serta hukum humaniter. 17 Para sarjana banyak membahas tentang kedudukan hukum internasional sebagai bagian dari ilmu hukum. Para sarjana tersebut ada yang berpendapat bahwa hukum internasional tidak dapat digolongkan kedalam kelompok ilmu hukum tetapi hanya sekedar moral internasional yang tidak mengikat secara positif, dan ada sarjana yang menyatakan bahwa hukum internasional merupakan hukum positif yang sudah terbukti menyelesaikan atau mengatur persoalanpersoalan dunia bahkan ada pendapat yang menyatakan hukum internasional sebagai world law atau hukum dunia yang didalamnya ada jaringan, sistem serta mekanisme dari suatu pemerintahan dunia yang mengatur pemerintahpemerintah dunia. 18 Perbedaaan pendapat para sarjana ini disebabkan oleh cara pandang yang berbeda dalam melihat kedudukan hukum internasional. Hukum internasional selalu diasosiasikan dengan pemerintahan dalam arti nasional, sehingga ketiadaan alat-alat atau sistem yang sama seperti negara akan menyebabkan hukum 17 C. de Rover, To Serve & To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional/Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1980, hal. 1
4 30 internasional selalu dipandang tidak mempunyai dasar serta selalu diperdebatkan. 19 Hukum internasional mengikat secara hukum. Kekuatan mengikat hukum internasional ditegaskan dalam dalam Piagam Pembentukan Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa, yang dirumuskan di San Fransisco tahun Piagam ini baik secara tegas maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum internasional. Hal ini juga secara tegas dinyatakan dalam ketentuan-ketentuan Statuta Mahkamah Internasional yang dilampirkan pada piagam, dimana fungsi Mahkamah dalam pasal 38 dinyatakan untuk memutuskan sesuai dengan hukum internasional sengketa-sengketa demikian yang diajukan kepadanya. Salah satu manifestasi multipartit yang paling akhir yang mendukung legalitas hukum internasional adalah Deklarasi Helsinki pada 1 Agustus Meskipun hukum internasional mengikat secara hukum, namun pada faktanya hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum serta 19 Ibid. hal 2 20 J. G. Starke, Op. Cit. hal. 22
5 31 keberadaan Mahkamah Internasional yang belum mempunyai yurisdiksi wajib universal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum antar negara-negara. 21 Meskipun hukum internasional merupakan hukum yang lemah, namun negara-negara tetap percaya bahwa hukum internasional itu ada. Sebagai negara yang berdaulat serta menjunjung tinggi martabatnya terdapat kewajiban moral bagi suatu negara untuk menghormati hukum internasional dan secara umum mematuhinya. Negara-negara mematuhi hukum internasional karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya sendiri. 22 Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat internasional. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif adalah Majelis Umum PBB. Tetapi resolusi yang dikeluarkannya tidak mengikat kecuali yang menyangkut kehidupan organisasi internasional itu sendiri. 23 Memang ada konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law-making treaties. 24 Law making treaties adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa; Law making treaties juga dikategorikan sebagai 21 Ibid. hal Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan Ketiga, Alumni, Bandung, 2001, hal Ibid., hal 8 24 J.G. Starke, Op. Cit. hal 40-44
6 32 perjanjian-perjanjian internasional yang yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional. 2. Sumber-sumber Hukum Internasional Pada dasarnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu. Sumber hukum dipakai pertama sekali pada arti dasar berlakunya hukum. Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah apa sebabnya suatu hukum mengikat, yakni sebagai sumber hukum material yang menerangkan apa yang menjadi hakikat dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional. 25 Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai: 1. Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional; 2. Metode penciptaan hukum internasional; 3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit. 26 Sumber hukum ada dua jenis yakni: 25 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan pertama, Bandung, Alumni, 2003, hal Yordan gunawan, Pengantar Hukum Internasional, http: // telagahati.wordpress. com. diakses Senin, 29 Januari 2014
7 33 a. Sumber hukum materil: dapat didifenisikan sebagai bahan-bahan aktual yang dipergunakan oleh seorang ahli hukum internasional untuk menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap suatu peristiwa atau situasi tertentu. 27 b. Sumber hukum Formal: merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan. 28 Dalam hukum tertulis, ada dua tempat yang mencantumkan secara tertulis sumber hukum internasional dalam arti formal yakni pasal 7 Konvensi Den Haag XII 1907 tentang pembentukan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tahun 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tahun Namun keberadaan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut tidak pernah terbentuk dikarenakan jumlah ratifikasi yang diperlukan tidak tercapai, sehingga sumber hukum internasional yang dipakai pada masa sekarang hanya pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional. 29 Pasal 38 ayat (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa Mahkamah yang memiliki fungsi untuk 27 J. G. starke, Op. Cit. hal Benny setianto, Sumber hukum internasional, Diakses Rabu, 27 Januari Mochtar Kusuma Atmadja, Op. Cit. hal. 114
8 34 memutus sesuai dengan hukum internasional yang diajukan kepadanya, akan memberlakukan sumber-sumber hukum sebagai berikut: 30 a. Konvensi internasional, baik umum maupun khusus, yang membentuk aturanaturan yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti praktek umum yang diterima sebagai hukum; c. Asas-asas hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab; d. Tunduk kepada ketentuan Pasal 59, putusan pengadilan dan ajaran para ahli yang sangat memenuhi syarat dari berbagai negara sebagai sarana pelengkap bagi penentuan aturan hukum Urutan penyebutan sumber hukum dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tidak menunjukkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, karena hal ini sama sekali tidak diatur oleh Pasal Pasal 38 mengklasifikasikan sumber hukum internassional formal kedalam 2 bagian yaitu sumber hukum pokok bagi pembentukan hukum internasional dibagian a sampai dengan bagian c, dan sumber hukum tambahan atau pelengkap pada bagian d. Hal ini berarti bahwa sarana-sarana utama (a-c) diperlukan, dan bahwa sarana pelengkap (d) hanya memiliki efek yang memenuhi kualifikasi dan atau efek penjelasan C. de Rover, Op. Cit. hal Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit. hal C. de Rover, Op. Cit. hal 6
9 35 a. Konvensi Internasional / Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 33 Perjanjian internasional sebagai sumber hukum dibagi atas dua golongan yakni dalam bentuk treaty contract dan law making treaties. Apabila dilihat dari segi fungsinya sebagai sumber hukum, sumber hukum formal merupakan law making yang artinya menimbulkan hukum. Treaty contract dimaksudkan sebagai suatu bentuk perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian itu dan pihak ketiga umumnya tidak dapat ikut serta dalam perjanjian ini. Seperti perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan dan perjanjian pemberantasan penyelundupan. Law making treaties diartikan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Seperti Konvensi Perlindungan Korban Perang, Konvensi Hukum Laut dan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Perjanjian law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak turut serta karena yang diatur dalam perjanjian ini adalah suatu hal yang umum mengenai semua anggota masyarakat internasional. 34 Konvensi internasional sebagai sumber hukum internasional menurut Boer Mauna adalah konvensi yang berbentuk law making treaties yaitu perjanjianperjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku 33 Mochtar Kuasumaatmadja, Op. Cit. hal Ibid. hal
10 36 secara umum. 35 Dalam law making treaties ini negara-negara bersepakat merumuskan secara komprehensif prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang akan merupakan pegangan bagi negara-negara tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan hukumnya satu sama lain. Treaty Contract menurut J. G. Starke tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Namun demikian, treaty contract ini diantara peserta atau penandatangan dapat menjadi hukum yang khusus. Perjanjian-perjanjian demikian dapat memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum internasional melalui pemberlakuan prinsip-prinsip yang mengatur kaidah kebiasaan. Pemberlakuan treaty contract sebagai sumber hukum internasional harus memperhatikan 3 (tiga) ketentuan yakni: 1. Treaty contract tersebut merupakan serangkaian perjanjian yang menetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama. 2. Perjanjian tersebut pada mulanya dibentuk hanya diantara sejumlah peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam perjanjian tersebut digeneralisasikan dengan adanya penerimaan 3. Suatu perjanjian dapat dianggap mempunyai nilai pembukti mengenai adanya suatu kaidah yang dikristalisasikan menjadi hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri Boer mauna, Op. Cit. hal 9 36 J. G. Starke, Op. Cit. hal 55-56
11 37 b. Kebiasaan internasional Viner s Abrigent menyatakan kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. 37 Dalam Pasal 38 ayat (1) Mahkamah Internasional, kebiasaan internasional dirumuskan sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum. Hal ini berarti bahwa persyaratan utama bagi pembentukan kebiasaan adalah adanya praktik umum dalam hubungan antar negara. 38 Kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum internasional harus memenuhi unsur material dan unsur psikologis, yakni kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan diterimanya hukum internasional tersebut sebagai hukum. Kebiasaan internasional sebagai suatu kebiasaan umum memerlukan adanya suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa serta bersifat umumdan bertalian dengan hubungan internasional. Kebiasaan internasional ini juga harus memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum. 39 c. Asas-asas Hukum Umum Asas hukum umum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yakni sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi Ibid. hal C. de Rover, Op. Cit. hal 6 39 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hal Ibid., hal 148
12 38 Prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara yang menjadi salah satu sumber hukum internasional menunjukkan bahwa hukum internasional sebagai suatu sistem hukum merupakan sebagian dari suatu sistem hukum keseluruhan yang lebih besar. Keberadaan asas hukum umum sebagai sumber hukum internasional mempunyai arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Sumber hukum ini berperan dalam hal mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Dengan demikian kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum baru diperkuat oleh sumber hukum ini. 41 d. Putusan Pengadilan Putusan pengadilan dan pendapat para ahli seperti yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan suatu sumber hukum tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer, namun tidak dapat mengikat atau menimbulkan kaidah hukum. Hal dikarenakan oleh sistem peradilan menurut Piagam Mahkamah Internasional yang tidak mengenal asas keputusan pengadilan yang mengikat (rule of binding precedent) Ibid., hal Ibid., hal 152
13 39 Putusan peradilan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Sehubungan dengan sumber hukum ini, Mahkamah juga diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. 43 B. Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional 1. Pengertian Unsur-unsur Negara. Negara adalah merupakan subyek utama dari Hukum Internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. 44 Negara merupakan subyek Hukum Internasional yang paling utama dibandingkan dengan subyek Hukum Internasional lainnya, sebab Negara memiliki unsur-unsur konstitutif yang meliputi: a. Penduduk yang tetap. Menurut Boer Mauna Penduduk adalah sekumpulan individuindividu yang terdiri dari dua kelamin tanpa memandang suku, bangsa, agama, dan kebudayaan, yang hidup dalam suatu masyarakat yang terikat dalam suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan Boer mauna, Op. Cit. hal I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju.1992, hal
14 40 Penduduk adalah unsur pokok bagi pembentukan suatu negara. Suatu pulau atau wilayah tanpa penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara. 45 b. Wilayah tertentu. Sering dikatakan orang, tidak akan ada negara tanpa penduduk. Juga dapat dikatakan tidak akan ada negara tanpa wilayah. Oleh karena itu, adanya suatu wilayah tertentu mutlak bagi pembentukan suatu negara. Tidak mungkin adanya suatu negara tanpa wilayah tempat bermukimnya penduduk negara tersebut. Disamping itu suatu wilayah tidak perlu luas bagi didirikannya suatu negara. Sejak dulu kita mengenal adanya negara-negara mikro dan keberadaannya tidak pernah ditolak oleh masyarakat internasional. Perubahan-perubahan tapal batas, baik yang mengakibatkan berkurangnya maupun bertambahnya wilayah suatu negara tidak akan mengubah identitas suatu negara tersebut. Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara di atasnya. Wilayah sebagai unsur konstitutif negara dalam hukum internasional tidak menentukan berapa harusnya luas wilayah, seperti beberapa contoh negaranegara kecil yaitu Seychelles dengan luas 278 km, Nauru hanya 21 km, Singapura hanya 218 km, dan Togo dengan km, selain itu negara India dengan luas km dan Cina dengan km semuanya diakui oleh hukum internasional sebagai negara berapapun itu luasnya. Adapun negara tertentu yang memiliki wilayah yang terpisah wilayahnya pada kawasan tertentu misalnya 45 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, 2006, hal 106
15 41 seperti negara Perancis yang memiliki daerah di seberang lautan pasifik yaitu Kaledonia, Wallis, Fortuna, dan Polinesia Perancis. 46 c. Pemerintah Sebagai suatu person yuridik negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya. Sebagai tituler dari kekuasaan, negara hanya dapat melaksanakan kekuasaan tersebut melalui organ-organ yang terdiri dari individu-individu. Pemerintah, adalah badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat ini yang diinginkan oleh hukum internasional ialah bahwa Pemerintah tersebut mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif ialah pemerintah tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk memelihara keamanan dan tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai komitmen diluar negeri. Dalam hukum internasional suatu pemerintah yang stabil dan efektif memudahkan hubungan dengan negara lain. Pemerintah suatu negara bertindak atas nama Negara dalam berhubungan dengan negara lain. 47 d. Kedaulatan. Negara dapat saja lahir dan hidup tetapi belum berarti bahwa Negara tersebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan bebagai kegiatan sesuai 46 Boer Mauna. Op. Cit., hal Ibid., hal 20-21
16 42 dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. 48 Dalam hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu; 1) Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan bebagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain. 2) Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk memetuhi. 3) Aspek teritorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat diwilayah tersebut. 49 Seperti yang telah dinyatakan oleh Boer Mauna bahwa aspek territorial kedaulatan meliputi kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individuindividu dan benda-benda diwilayah tersebut. 2. Cara-cara untuk Memperoleh Wilayah. a. Okupasi Okupasi adalah suatu cara untuk memperoleh wilayah melaului pendudukan. Hal mana pendudukan disini dilakukan terhadap suatu wilayah, yang sebelum terjadinya pendudukan di wilayah tersebut tidak terdapat kekuasaan atau disebut wilayah tak bertuan, terra nullius. Namun saat ini sudah tidak ada wilayah seperti yang dimaksud, walaupun saat ini sangat banyak sengketa yang 48 Ibid., hal Ibid., hal 24
17 43 berdasarkan klaim atas wilayah terra nullius misalnya dalam Eastern Greendland Case. b. Preskripsi Preskripsi adalah suatu tindakan yang mencerminkan kedaulatan atau penguasaan terhadap suatu wilayah dengan cara-cara damai dalam waktu tertentu dengan tanpa adanya keberatan dari negara-negara lain. Preskripsi dilakuakan terhadap wilayah terra nullius, namun dituntut jangka waktu yang lama untuk melakukan penguasaan (the effective control) dibandingkan dengan okupasi. Misalnya dalam dua kasus The Island of Palmas Case dan Eastern Greenland case. Untuk kasus pertama, dimana kedaulatan Pulau Palmas disebelah selatan Pulau Mindan Filipina, dimana AS mengklaim berdasar atas Traktat Paris 1898, dan memahaminya sebagai pewaris Spanyol. Disamping itu Belanda memiliki pemahaman lain berdasarkan aspek historis negara yang bersebelahan dimana pulau tersebut adalah bagiannya, sehingga dalam Putusanya pengadilan memenangkan Belanda. Kemudian kasus yang kedua, terkait klaim atas Greenland yang dilakuakan oleh Norwegia yang menyatakan wilayah tersebut adalah terra nullius. Sedangkan Denmark menyatakan klaim telah menguasai Greenland sejak tahun 1721 dimana saat itu Denmark dan Norwegia adalah satu negara. Sehingga pengadilan memutuskan bahwa Denmark yang menjadi pemilik sah wilayah yang disebut Greenland.
18 44 c. Cession Cession adalah suatu transfer kekuasaan dari satu kedaulatan ke kedaulatan lainnya, pada umumnya melalui sebuah perjanjian. Ditambahkan oleh Malcolm N.Shaw yang pada umumnya terjadi setelah peperangan. Bahkan menurutnya pengalihan kekuasaan dari penguasa kolonial terhadap koloninya bisa dikatakan sebagai quasy cession. Proses cession merupakan pengalihan kedaulatan yang satu keying lainya, maka negara penerima akan memperoleh hak dan kewajiban seperti negara yang memiliki sebelumnya. Misal dalam kasus pengalihan (cession) atas Pulau Palmas yang diserahkan Spanyol kepada AS melalui perjanjian Paris 1898, dimana dijelaskan bahwa Palmas adalah bagian dari Filipina. Namun saat pengambilan Pulau tersebut berada pada kekuasaan Belanda, sehingga putusan dari Arbitrator Max Huber memenangkan Belanda karena telah menerapkan kedaulatannya sejak awal abad 18, walaupun awalnya Spanyol telah menguasainya dan kemudian menyerahkan pada AS. d. Akresi Akresi adalah suatu nama yang ditujukan pada suatu proses untuk mendapatkan wilayah baru melui proses alamiah, yakni tanpa campur tangan manusia. Hal ini dapat kita temukan padanannya dalam pembentukan suatu daratan baru yang terhubung dengan wilayah daratan yang telah ada. Dalam hal kemunculan suatu wilayah baru tersebut dalam wilayah suatu negara maka wilayah tersebut secara otomatis menjadi bagian dari wilayah negara tersebut. Contohnya terjadinya letusan volkano di bawah laut pada Januari 1986 di kawasan
19 45 Pasifik, hingga memunculkan pulau baru yang masuk wilayah territorial Jepang, dimana daratan tersebut disebut sebagai Pulau Iwo Jima. e. Aneksasi (annexation) Istilah penaklukan atau conquest memiliki padanan dengan aneksasi atau annexation. Penggunaan teknik ini pada saat ini sudah ditinggalkan mengingat hal ini dapat merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam hubungan internasional sebagaimana yang tercantum dalam piagam PBB. Yang mana sejak LBB penggunaan kekerasan (perang) sebagai instrument bagi kebijakan nasional telah dilarang. Bahkan secara eksplisit terdapat dalam the stimson doctrine of non recognition (1932) yang menyatakan apabila dalam upaya untuk perolehan suatu wilayah dengan menggunakan kekerasan maka perolehan tersebut tidak akan diakui. Oleh karena itu, pada saat ini teknik penaklukan hanya menjadi kajian akademik Wilayah Negara. Wilayah Negara meliputi, a. Wilayah daratan termasuk tanah di bawahnya, yang merupakan tempat pemukiman atau kediaman dari warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan. Demikian pula di wilayah itu pula pemerintah Negara melaksanakan dan mengendalikan segala kegiatan pemerintahannya. Antara wilayah daratan negara haruslah tegas batas-batasnya. Pada umumnya batasbatas wilayah daratan itu ditetapkan berdasarkan 50 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit.,
20 46 perjanjian-perjanjian garis batas wilayah antara negara-negara yang berbatasan itu. b. Wilayah perairan, disebut juga sebagai perairan territorial yang merupakan bagian wilayah suatu Negara yang tunduk pada kedaulatan suatu negara. Wilayah perairan dibagi menjadi dua yaitu, 1) Laut territorial Laut territorial, merupakan jalur laut yang terletak pada sisi luar garis pangkal dan sebelah luar yang dibatasi oleh garis atau batas luar. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional disepakati lebar laut territorial adalah 12 mil diukur dari garis pangkal yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. 2) Perairan pedalaman, yang meliputi: a) Laut pedalaman Perairan dalam adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Terjadi karena penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan penarikan garis pangkal lurus pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat gugusan pulau maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan atau laut yang terletak disebelah dalam dari garis pangkal lurus. b) Perairan darat Bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat dapat
21 47 terdiri atas, perairan sungai, danau, terusan, waduk, perairan pada pelabuhan. c. Wilayah dasar laut dan tanah yang terletak dibawahnya. Wilayah kedaulatan negara meliputi dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya yang terletak dibawah perairan. Segala sumber daya alam yang terkandung didalamnya menjadi hak dan kedaulatan negara sepenuhnya, sehingga wilayah kedaulatan negara menyatu dalam wilayah daratan, tanah dibawahnya, serta wilayah perairan, dasar laut, dan tanah yang ada dibawah wilayah perairan tersebut. d. Wilayah Ruang Udara. Ruang udara merupakan bagian dari wilayah Negara yang terletak diatas permukaan wilayah daratan dan diatas permukaan wilayah perairan seperti yang disebutkan dalam UNCLOS Pasal 2 ayat 1 dan Hak dan Kewajiban Negara. Hasil konvensi Montevideo tahun 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara-negara, yang disusun oleh komisi hukum Internasional (ILC) PBB pada tahun 1949 meliputi ketentuan sebagai berikut: Hak-hak Negara: 1) Hak atas kemerdekaan (Pasal 1); 2) Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang, dan benda yang berada didalam wilayahnya (Pasal 2); 51 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal
22 48 3) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negaranegara lain (Pasal 5); 4) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal 12). Sedangkan Kewajiban-kewajiban Negara adalah: 1) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di Negara lain (Pasal 3); 2) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain (Pasal 4); 3) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6); 4) Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7); 5) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8); 6) Kewajiban untuk tidak menggunkan kekuatan atau ancaman senjata (Pasal 9); 7) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal 9 di atas; 8) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12); 9) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad baik (Pasal 13); 10) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14) Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit., hal
23 49 C. Pengaturan Status dari Wilayah Negara Berdasarkan Hukum Internasional Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi tersbut. Setelah melalui perundingan yang cukup panjang, akhirnya negara-negara peserta Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 menyepakati hasil konfrensi berupa Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982 (United Nations Convention Law of the Sea/UNCLOS) yang terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex dan mulai berlaku tahun 1994 sesuai ketentuan Pasal 308 Konvensi, yaitu 12 bulan setelah tanggal deposit dari instrumen ratifiksi ke-60 atas konvensi tersebut dan dalam hal ini baik Indonesia maupun Malaysia adalah negara yang ikut meratifikasi Konvensi tersebut. Dalam Konvensi 1982 ini konsep negara kepulauan mendapatkan pengakuan dengan dicantumkannya pengaturan mengenai hal ini dalam Bab 4 Konvensi tentang Negara Kepulauan, dimana hal tersebut tidak terdapat dalam konvensi konvensi Geneva tentang hukum laut tahun Pengertian yang diberikan konvensi ini tentang negara kepulauan adalah sebagai negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Sedangkan yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling
24 50 bersambung (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian. 6
BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM HUKUM INTERNASIONAL DALAM MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS. A. Aspek Hukum Internasional dalam Millennium Development Goals
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM INTERNASIONAL DALAM MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS A. Aspek Hukum Internasional dalam Millennium Development Goals 1. Pengertian Hukum Internasional Profesor Charles Cheney Hyde
Lebih terperinciWilayah Negara Dalam Hukum Internasional
Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a
Lebih terperinciPERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI
PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian
Lebih terperinciPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan
BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang
Lebih terperinciMATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 5 UNSUR-UNSUR NEGARA
MATERI KULIAH ILMU NEGARA MATCH DAY 5 UNSUR-UNSUR NEGARA Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa banyak sekali definisi dari negara, setiap pakar memberikan masing-masing definisinya. Akan tetapi dari sekian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional
19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara
Lebih terperinciDiadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH
Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis
Lebih terperinciPerkembangan Hukum Laut Internasional
Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh
Lebih terperinciZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si
ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat
Lebih terperinciMATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM
HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX By Malahayati, SH, LLM 1 TOPIK PRINSIP UMUM JENIS SENGKETA BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA PENYELESAIAN POLITIK PENYELESAIAN
Lebih terperinciHukum Laut Indonesia
Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat. kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan subyek utama hukum internasional. Mengenai istilah negara itu sendiri tidak terdapat defenisi yang tepat, tetapi dengan melihat kondisi-kondisi modern
Lebih terperinciHak Lintas Damai di Laut Teritorial
Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis
Lebih terperinciKONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.
Annex I KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT Bagian 1. Ketentuan Umum BAB VII LAUT LEPAS Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu negarapun yang dapat secara
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
Lebih terperinciDEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA
DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap
Lebih terperinciPENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com
PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)
KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH
Lebih terperinciHUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL
67 HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL Andi Tenripadang Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare Email: a.tenripadangchairan@yahoo.co.id Abstract: This paper examines the relationship
Lebih terperinciS I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7
1 S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL : WAJIB STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7 B. DESKRIPSI
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,
Lebih terperinciKONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING
KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1958 Konvensi mengenai Pengakuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional.
i BAB I PENDAHULUAN TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami gambaran umum Hukum Internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU BATU PUTEH (PEDRA BRANCA) ANTARA MALAYSIA- SINGAPURA MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008
TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU BATU PUTEH (PEDRA BRANCA) ANTARA MALAYSIA- SINGAPURA MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008 Oleh SAIFUL BAHRI BP : 06.940.201 Program Kekhususan Hukum Internasional
Lebih terperinciSILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Mata Kuliah HUKUM INTERNASIONAL PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2015 S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata
Lebih terperinciVIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969
VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL 2 SKS SEMESTER IV
HUKUM INTERNASIONAL 2 SKS SEMESTER IV Oleh: H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unikom Tahun Ajaran 2016/2017 DESKRIPSI MATA KULIAH Mata Kuliah Hukum Internasional dapat
Lebih terperinciTINJAUAN TERHADAP PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA WAKTU PERTIKAIAN BERSENJATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
TINJAUAN TERHADAP PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA WAKTU PERTIKAIAN BERSENJATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh Khoirussaleh Nasution ABSTRAK Hubungan Hukum Humaniter dan HAM adalah Hukum
Lebih terperinciPembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia
Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Lebih terperinciHukum Internasional. Pertemuan XXXIV. Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1
Hukum Internasional Pertemuan XXXIV Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Istilah dan Pengertian Ruang Lingkup Hubungan HI dengan Hukum Nasional Subjek Hukum Internasional Sumber Hukum Internasional
Lebih terperinciTINJAUAN MATA KULIAH...
iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL 1.1 Istilah Hukum Internasional... 1.3 Latihan... 1.16 Rangkuman... 1.17 Tes Formatif 1..... 1.18 Hukum Internasional dan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN
Lebih terperinciPERENCANAAN KAWASAN PESISIR
PERENCANAAN KAWASAN PESISIR Hukum Laut Internasional & Indonesia Aditianata Page 1 PENGERTIAN HUKUM LAUT : Bagian dari hukum internasional yang berisi normanorma tentang : (1) pembatasan wilayah laut;
Lebih terperinciSUMBER HUKUM INTERNASIONAL
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL a. Pengertian Sumber Hukum Internasional Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas wilayahnya baik darat, air, maupun udara, dimana hukum yang berlaku adalah hukum nasional negara masing-masing.
Lebih terperinciBAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB V SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memahami kedudukan subyek hukum dalam hukum internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT
Lebih terperinci- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik
BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 6 KEPRIBADIAN HUKUM / PERSONALITAS YURIDIK / LEGAL PERSONALITY, TANGGUNG JAWAB, DAN WEWENANG ORGANISASI INTERNASIONAL A. Kepribadian Hukum Suatu OI
Lebih terperinciUU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)
Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL. Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H.
HUKUM INTERNASIONAL Oleh : Nynda Fatmawati, S.H.,M.H. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber: Starke (1989), Brownlie (1979), Shelton (2006), Riesenfeld (2006) Pengertian: Bahan-bahan aktual yang digunakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal ini dapat
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN
Lebih terperinciBAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan
Lebih terperinciKonvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid
Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1
KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciMASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak
MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciPOKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL
Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 POKOK-POKOK HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Rudi. M Rizki, SH, LLM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1983 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA TENTANG REJIM HUKUM NEGARA NUSANTARA DAN HAK-HAK MALAYSIA DI LAUT TERITORIAL DAN
Lebih terperinciGARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP]
GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP] Program Studi Hubungan Versi/revisi: Nama Mata Kuliah : Dosen : Very Aziz, Lc., M.Si. SKS : 3 SKS Berlaku Mulai : Maret 2017 Silabus/Deskripsi singkat Tujuan
Lebih terperinciBAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia
BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO 1944 D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia Eksistensi horisontal wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah
Lebih terperinciSILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Pidana Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2081 SKS : 2 Dosen : Ir. Bambang Siswanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013 1 HALAMAN PENGESAHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM Pengertian Mengenai Embargo Senjata. telah dibuat, yaitu misalnya dengan pemberian
BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Embargo Senjata 1.1.1 Pengertian Mengenai Embargo Senjata Dalam dunia internasional, negara sering terlibat dalam sengketa yang berujung pada pemberian hukuman
Lebih terperinciPROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional
BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Lebih terperinciMENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL
MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary
Lebih terperinciKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
SILABUS Mata Kuliah : Hukum Internasional nal Kode Mata Kuliah : HKI 2037 SKS : 4 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 3. Ir. Bambang Sisiwanto, S.H., M.Hum 4. Sudaryanto,
Lebih terperinciBAB II PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEDAULATAN TERITORIAL NEGARA. Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan suatu negara adalah penguasaan
BAB II PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEDAULATAN TERITORIAL NEGARA A. Kedaulatan Teritorial Negara 1. Pengertian Salah satu dari unsur pokok status kenegaraan suatu negara adalah penguasaan suatu
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Medan sekitar pukul Wib saat memasuki udara Indonesia. 1 Diperkirakan
8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah pesawat sipil bermesin tunggal jenis Swearingen SX-300 dipaksa untuk turun F16 Fighting Falcon milik TNI AU ke landasan di Lanud Soewondo, Medan sekitar pukul
Lebih terperinciSATUAN ACARA PERKULIAHAN
3 SATUAN ACARA PERKULIAHAN A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH :KAPITA SELEKTA HUKUM INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : PRASYARAT : JUMLAH SKS : 2 SKS SEMESTER
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sengketa Internasional Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional merupakan suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan
Lebih terperinciBAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA
BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,
Lebih terperinciHukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi
Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan
Lebih terperinciBAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait
BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur
Lebih terperinciTUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN
TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul
Lebih terperinciKEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA
KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA Erlina Dosen Fakultas Syari ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Abstrak Dasar
Lebih terperinciDAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL
DAYA IKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS SEBAGI BUKTI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI MAHKAMAH INTERNASIONAL OLEH : GRIZELDA (13/354131/PHK/7794) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perwujudan atau
Lebih terperinciPENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL
Bab 1 PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL PENDAHULUAN DAN LATAR BELAKANG Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara dipastikan menjalin hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM NEGARA TERHADAP KEDAULATAN WILAYAH LAUT
PERLINDUNGAN HUKUM NEGARA TERHADAP KEDAULATAN WILAYAH LAUT Dr.Yusnani Hasjimzum, S.H.,M.Hum 1 A. PENDAHULUAN Salah satu unsur esensial berdirinya suatu negara adalah wilayah, baik wilayah daratan, udara,
Lebih terperinciKonvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN
Lebih terperinciInstitute for Criminal Justice Reform
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang
Lebih terperinciNitaria Angkasa, SH, S.Pd
Nitaria Angkasa, SH, S.Pd Menumbuhkan semangat patriotisme Menumbuhkan rasa cinta tanah air Menumbuhkan rasa cinta bangsa & negara Menumbuhkan kesetiakawanan sosial Menumbuhkan rasa cinta pada sejarah
Lebih terperinciBAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut
BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)
Lebih terperinciKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG
SILABUS Mata Kuliah : Sistem Tata Internasional Kode Mata Kuliah : HKIn 2038 SKS : 3 Dosen : 1. Evert Maximiliaan T, S.H., M.Hum 2. Sudaryanto, S.H., M.Hum 3. Bambang Irianto, S.H., M.Hum 4. Eva Arief,
Lebih terperinciKEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL
KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul
Lebih terperinciHUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.
HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.
Lebih terperinci