VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN PERKOTAAN INDONESIA DALAM PENGUKURAN PDRB HIJAU: STUDI KASUS PADA KOTA BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN PERKOTAAN INDONESIA DALAM PENGUKURAN PDRB HIJAU: STUDI KASUS PADA KOTA BOGOR"

Transkripsi

1 VALUASI EKONOMI LINGKUNGAN PERKOTAAN INDONESIA DALAM PENGUKURAN PDRB HIJAU: STUDI KASUS PADA KOTA BOGOR Yuhdia Mulya 1), Inna Sri Supina Adi 2), Srie Sudarjati Supani 3) 1 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan yudhia.mulya@yahoo.co.id 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan innaadi@gmail.com 3 Fakultas Ekonomi, Universitas Pakuan srie_sudarjati@yahoo.com Abstract Economic activities not only has increased regional income,but also have impacted to reduce natural resources and sustainable environment. The environmental impact from economic activities does not reflect in conventional Gross Domestic Regional Product (GDRP) as the indicator of increasing economic welfare. Increasing welfare paradigm has moved from economic perspectiveto include environment issues.this research is aimed to measure green GDRP in Bogor city. Water use as the identified natural resource that has been calculated in measuring depletion and economic loss of the current state of land crisis as the measure of degradation was conducted in this study. The resulting green GDRP in Bogor city was 2,15% lower than the conventional GDRP. Keywords: depletion, water valuation, degradation, green GDP 1. PENDAHULUAN Secara demografis, kota merupakan suatu tempat pemusatan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan wilayah sekitar. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PBB (2014, 7), 54% dari populasi dunia merupakan penduduk kota di tahun Dengan berkembangnya arus urbanisasi, tantangan pembangunan yang berkelanjutan akan semakin terkonsentrasi pada wilayah perkotaan. Implikasi dari arus urbanisasi terhadap kebijakan pemerintahan adalah pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang memastikan manfaat dari pertumbuhan kota dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Urbanisasi yang berkelanjutan membutuhkan kota yang dapat menghasilkan penghasilan dan peluang kerja lebih baik, mengembangkan kebutuhan infrastruktur untuk air dan sanitasi, energi, transportasi, informasi dan komunikasi, kesamaan akses terhadap jasa-jasa, mengurangi jumlah penduduk yang tinggal di wilayah kumuh, dan melindungi aset-aset alam di wilayah kota dan sekitarnya (UN, 2014). Keberadaan kota sebagai pusat pertumbuhan memberikan dampak positif dan negatif. Implikasi positif dari pertumbuhan kota mencakup peningkatan produksi ekonomi, peningkatan peluang kerja, kehidupan yang lebih baik karena peluang, jasa, dan gaya hidup yang lebih baik, jasa publik yang lebih baik (seperti transportasi, air), dan fasilitas khusus yang lebih baik (seperti pendidikan, kesehatan). Dampak negatif dari pertumbuhan kota adalah peningkatan biaya infrastruktur dan fasilitas umum, inefisiensi energi, kesenjangan kesejahteraan, dampak terhadap habitat flora dan fauna serta ekosistem, hilangnya lahan pertanian, peningkatan suhu udara, rendahnya kualitas udara, dampak terhadap kualitas dan kuantitas air, dampak terhadap kesehatan umum dan sosial, dan dampak estetika (Bhatta, 2010). Undang Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran potensi dan basis ekonomi wilayah sebagai dasar perencanaan yang selama ini didasarkan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), belum memenuhi amanat ini. PDRB konvensional belum

2 menyertakan faktor lingkungan hidup dalam perhitungannya. Hal ini dapat berimplikasi pada hasil pengukuran yang dapat menyebabkan misleading dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah. Sebagai green city, Kota Bogor perlu mengantisipasi hal ini dengan menerapkan PDRB Hijau sebagai dasar pengukuran perekonomiannya. Penggunaan PDRB Hijau diwajibkan oleh Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan instrumen ekonomi sebagai alat pengelolaan lingkungan hidup. Merujuk pada UU tersebut, sebagaimana disampaikan pada pasal 42 dan 43 ayat (1b) bahwa produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup merupakan instrumen ekonomi mengikat para pihak terkait untuk dilaksanakan. PDB/PDRB Hijau merupakan kelanjutan perhitungan PDB/PDRB dengan memasukkan nilai perubahan cadangan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup. PDB/PDRB Hijau ini sendiri wajib digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk: a. memberikan arah perencanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. b. memberikan gambaran yang lebih tepat terhadap hasil pembangunan c. mengukur kinerja pembangunan berdasarkan pertimbangan lingkungan hidup. d. pengambilan keputusan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan mencermati uraian pada latar belakang di atas perumusan dari permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana potensi ekonomi Kota Bogor dalam perspektif hijau. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi potensi ekonomi Kota Bogor melalui perspektif hijau, sehingga pembangunan dan pengembangan wilayah dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan. Untuk tujuan tersebut, rencana pemecahan masalahyang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. menyusun dan mengaplikasikan instrumen pengukur nilai penyusutan sumberdaya alam dan lingkungan yang tepat bagi wilayah perkotaan 2. mengaplikasikan instrumen tersebut untuk merevisi PDRB konvensional menjadi PDRB hijau 3. melakukan analisis kesenjangan antara PDRB eksisting (konvensional) dengan PDRB Hijau. 4. mengidentifikasi potensi wilayah Kota Bogor berdasarkan perspektif hijau. 2. KAJIAN LITERATUR 2.1.Konsep Basis Ekonomi Salah satu tujuan dari kebijaksanaan pembangunan adalah mengurangi perbedaan tingkat perkembangan atau pembangunan dan kemakmuran antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.konsep pembangunan tersebut seringkali disebut dengan konsep pembangunan regional atau wilayah.dalam pembangunan regional tersebut dikenal berbagai teknik analisis yang dapat menentukan pilihan terhadap kegiatankegiatan ekonomi yang menjadi prioritas pembangunan.salah satu model perencanaan demikian dikenal dengan istilah Model Perencanaan Economic Base. Landasan utama dari Model Perencanaan Sektoral Basis Ekonomi (Economic Base Model) merupakan konsep yang mengandalkan pada kriteria multiplier setiap kegiatan ekonomi tertentu yang pada gilirannya akan mempunyai dampak pertumbuhan ekonomi, seperti pendapatan maupun ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pendapatan regional atau wilayah akan meningkat dengan suatu tingkat multiplier tertentu, yang tergantung pada tingkat respending (pengeluaran kembali) pada wilayah yang bersangkutan. Dalam model ini kita melihat bahwa sektor perekonomian terbagi atas dua sektor, yaitu : (1) Sektor Basis dan (2) Sektor Bukan Basis (non-basic Sector). Sektor Non Basis terutama berfungsi di dalam pelayanan di dalam wilayah yang bersangkutan, sedangkan Sektor Basis terutama berorientasi kepada ekspor atau di luar wilayah yang bersangkutan, walaupunn Sektor basis tersebut pada dasarnya memproduksi barang dan jasa di dalam perekonomian untuk keperluan wilayah maupun luar wilayah.

3 Dengan demikian sektor tersebut mendatangkan arus pendapatan ke wilayah yang bersangkutan. Peningkatan pendapatan wilayah pada gilirannya akan meningkatkan pula tingkat konsumsi wilayah maupun tingkat investasi wilayah, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan wilayah dan kesempatan kerja. Dalam pemahaman teori tersebut dapat dikatakan bahwa ekspor merupakan variabel utama yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Kenaikan pendapatan yang diperoleh wilayah yang bersangkutan tidak hanya akan meningkatkan permintaan terhadap sektor basis semata-mata, akan tetapi juga akan meningkatkan permintaan hasil industri sektor bukan basis, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula investasi di sektor bukan basis tersebut. Dengan perkataan lain, penanaman modal di sektor lokal atau wilayah akan merupakan investasi yang di incuded sebagai akibat dari kenaikan pendapatan di sektor basis. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka landasan dari teori ini adalah bahwa sektor basis merupakan prioritas pengembangan dalam suatu wilayah. Walaupun model ini merupakan penyederhanaan dari Model Input-Output, akan tetapi bagi wilayah-wilayah tertentu, terutama wilayah yang relatif kecil, model ini baik sekali untuk digunakan mengingat dasardasar yang praktis. Sangat sukar mengaplikasikan Input-Output untuk sesuatu wilayah yang sangat kecil, seperti misalnya wilayah perdesaan dan/atau kecamatan.dalam keadaan demikian, maka penggunaan model ini dirasakan lebih bermanfaat. Mengingat bahwa landasan utama pada model Economic Base ini adalah persoalan multiplier (dampak pengganda) dan pengklasifikasian sektor (apakah tergolong sektor basis atau sebaliknya), maka sebelum didiskusikan modelnya sendiri, maka lebih dahulu ingin diuraikan tentang persoalan multiplier dan berikutnya adalah klasifikasi sektoralnya. Analisis pengklasifikasian sektor tersebut dikenal dengan istilah analisis Location Quotient Konsep PDB/PDRB Hijau Produk Domestik Bruto Hijau adalah sebuah ukuran dari nilai alam selain barang dan jasa yang telah terukur dalam PDB. Para ahli ekonomi meyakini bahwa efek dari konsumsi saat ini terhadap konsumsi di masa mendatang harus tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Konsumsi saat ini tidak bisa dipandang sebagai memberikan manfaat secara sosial jika mengarah pada penurunan konsumsi di masa mendatang. Sayangnya, para ahli ekonomi tidak memiliki kemampuan besar dalam membuat prediksi tersebut dalam konteks ekologis. Jika PDB Hijau harus menginternalisasikan penyesuaian terhadap deplesi sumberdaya alam, maka diperlukan ahli biofisik yang memiliki kemampuan dalam melakukan penyesuaian tersebut (Boyd, 2006). Konsep PDB Hijau di China (Zheng dan Chen, 2006), PDB Hijau didefinisikan sebagai sebuah indeks akuntansi agregat yang mengukur kesejahteraan domestik riil, yang merupakan PDB konvensional dikurangi dengan kerugian sumberdaya alam. Dalam prakteknya, metode pengukuran PDB Hijau biasanya mencakup lima biaya konsumsi sumberdaya alam, yaitu lahan pertanian, sumber daya mineral, hutan, air dan sumberdaya ikan, dan dua biaya deplesi lingkungan yaitu polusi lingkungan dan degradasi ekologi (SEPA news release, 2006 dalam Zheng dan Chen, 2006). Dalam China Green National Accounting Study Report 2004, index PDB Hijau menggunakan persamaan sebagai berikut: PDB Hijau = PDB biaya konsumsi sumberdaya alam biaya deplesi lingkungan Menurut Suparmoko (2006), PDRB Hijau adalah PDRB yang memasukkan unsur deplisi dan degradasi sumber daya alam serta lingkungan. Secara matematis, dapat diekspresikan sebagai berikut: PDRB Hijau = PDRB konvensional Nilai deplisi sdal - biaya pengurangan polusi Pemasukan unsur deplesi dan degradasi lingkungan ke dalam perhitungan PDRB sebagai langkah yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan dari PDRB Konvensional. Dalam Suparmoko (296, 2012)

4 disebutkan bahwa perekonomian di samping menghasilkan barang dan jasa juga menghasilkan polusi dan kerusakan. Hasil pengambilan sumber daya alam untuk kegiatan usaha hanya memperlihatkan nilai positif dalam neraca produksi nasional, namun tidak menunjukkan nilai penyusutan cadangan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan Tahapan Perhitungan PDRB Hijau Langkah perhitungan yang digunakan dalam memperoleh PDRB Hijau adalah sebagai berikut: (1) Perhitungan PDRB Semi Hijau PDRB Semi Hijau didapat dengan mengurangkan nilai deplesi sumber daya alam dari nilai PDRB Konvensional (atau PDRB Coklat). Nilai deplesi diperoleh dengan mengalikan volume pengambilan masing-masing jenis sumberdaya alam dengan unit rent atau unit price. D = Q x U Dimana: D = nilai deplesi Q = volume sumber daya alam yang diambil U = unit rent Cara menghitung unit rent adalah dengan mengurangkan biaya pengambilan per unit dari harga sumber daya alam termasuk nilai laba per unit (balas jasa pengeluaran investasi) yang layak diterima oleh investor. Adapun nilai laba yang layak adalah sama dengan tingkat bunga pinjaman di bank sebagai biaya alternatif dari modal yang ditanam untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah yang bersangkutan. Berikut cara perhitungan unit rent. (2) Penghitungan PDRB Hijau Untuk memperoleh nilai PDRB Hijau, nilai kerusakan atau degradasi lingkungan dikurangkan terhadap nilai PDRB Semi Hijau, sehingga diperole nilai PDRB Hijau.Penghitungan degradasi lingkungan lebih kompleks karena perlu menggunakan berbagai perkiraan sesuai dengan jenis sumber daya alam dan lingkungan yang terdegradasi. Langkah perhitungan dalam menilai degradasi lingkungan adalah sebagai berikut (Ratnaningsih, 16-17, 2012): (1) Identifikasi lingkungan yang terdegradasi (2) Kuantifikasi fisik degradasi lingkungan (3) Valuasi ekonomi terhadap degradasi lingkungan Pengalaman Pengukuran PDB/PDRB Hijau Penyesuaian perhitungan PDB di negara China dilakukan pada tahun 2004 yang diinisiasi oleh State Environmental Protection Administration (SEPA) dan National Bureau of Statistics (NBS). Temuan utama dan hasil perhitungan PDB Hijau di negara China adalah PDB negara China mengalami penyusutan 1,8% dari PDB konvensional setelah dilakukan penyesuaian terhadap biaya penurunan emisi carbon. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh polusi lingkungan dalam skala nasional mencapai 3,05% dari PDB China tahun 2004 (Chinese Academy for Environmental Planning, 2010). Penerapan PDRB Hijau di Provinsi Bali tahun 2010 menghasilkan bahwa hasil perhitungan PDRB Hijau menurun sekitar 4,5% dari PDRB konvensional (Suparmoko, 2013). Dalam penelitian Setyarko (2013), PDRB Semi Hijau pada Kabupaten Asmat Povinsi Papua Barat menunjukkan bahwa kegiatan deplesi alam berkisar 0,68% - 0,93% dari nilai PDRB dalam periode , kecuali pada tahun 2009 mencapai 4,95%. Hasil uji coba perhitungan PDRB Hijau di Kabupaten Karawang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004) diperoleh hasil bahwa nilai PDRB Hijau Kabupaten Karawang menusut sebesar 8,23% dari PDRB Konvensional. 3. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian pada tahun pertama kegiatan adalah Kota Bogor. Pelaksanaan penelitian menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: (a) studi dokumen yang mencakup inventarisasi seluruh dokumen dan data perekonomian Kota Bogor, dan tulisan, jurnal, teori, hingga berbagai jenis peraturan perundang-undangan terkait, dan (b) survey lapangan yang dilakukan dalam rangka memperoleh informasi mengenai volume sumber daya alam yang digunakan dalam kegiatan usaha dari sektor-sektor usaha yang menjadi basis perekonomian Kota Bogor. Sementara,perolehan data dari sektor-sektor non basis diperoleh dari data sekunder yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statsitik,

5 maupun wawancara dengan instansi-instansi pemerintah daerah terkait di Kota Bogor. Responden survey pada penelitian ini adalah para pelaku usaha dan instansi pemerintah bidang lingkungan hidup. Metode analisis data yang akan diterapkan terdiri dari; (1) analisis terhadap PDRB konvensional dengan menggunakan alat analisis LQ dan Shiftshare untuk memperoleh gambaran umum mengenai kondisi perekonomian wilayah perkotaan; dan (2) perhitungan PDRB Hijau. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sektor Basis Perekonomian Kota Bogor Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB Kota Bogor merupakan potret keadaan perekonomian yang memberikan gambaran situasi serta merupakan alat untuk mengkaji dan mengevaluasi perekonomian Kota Bogor. Untuk kepentingan analisis dalam melihat pertumbuhan dan perbandingan antar Sektor, akan dibahas Laju Pertumbuhan PDRB dari berbagai Sektor serta kontribusinya dalam perekonomian Kota Bogor sampai tahun Tabel 1: Location Quotient Kota Bogor Tahun SEKTOR LAPANGAN USAHA LQ Pertanian 0,01 0,01 Pertambangan 0,00 0,00 Industri Pengolahan 0,69 0,75 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,73 0,78 Konstruksi 1,42 1,15 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,65 1,48 Angkutan dan Komunikasi 2,19 1,89 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 3,62 3,42 Jasa-jasa 0,43 0,38 Angka Location Quotient yang menunjukkan lebih dari 1 pada tahun 2012 di Kota Bogor terdapat pada sektor konstruksi, perdagangan hotel dan restoran, angkutan umum dan komunikasi, keuangan, real estat dan jasa perusaaan. Sementara pada dua tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, sektor basis Kota Bogor masih memiliki kesamaan dengan struktur perekonomian di tahun 2012 yang terdiri dari Konstruksi, Perdagangan Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, keuangan, real estat dan jasa perusahaan. Tidak ada perubahan posisi sektor basis di kota Bogor. Namun demikian, terjadi penurunan di semua sektor basis dari kondisi tahun Perubahan posisi LQ PDRB biasanya terjadi karena perubahan investasi. Sedangkan pergeseran sektoral diindikasikan dari kenaikan LQ di sektor industri pengolahan dan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Analisis shift share menunjukkan daya saing sektor perekonomian Kota Bogor, diperbandingkan dengan kota/kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat. Hasil shift share (nilai G+M+S) menunjukkan hampir di semua sector, kecuali sektor Pertambangan, memiliki nilai positif, yang berarti semua sektor maju lebih cepat dari kota/kabupaten lain di Jawa Barat. Nilai shift share terbesar terdapat pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan nilai sebesar ,77. Perubahan terbesar berikutnya yang menunjukkan kenaikan adalah pada Industri Pengolahan dan Perdagangan, diikuti oleh Sektor Angkutan dan Komunikasi, Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan, Konstruksi, Listrik, Gas dan Air Bersih, Pertanian, dan Jasa-jasa. Sementara satu sektor lainnya tidak mengalami perubahan yang significant. Dari segi angka proportional share (M) menunjukkan bahwa spesialisasi dalam sektor pada tingkat provinsi tumbuh cepat berada pada sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, Keuangan, real estate dan jasa perusahaan. Namun demikian, dari segi daya saing, sektor-sektor tersebut tidak memiliki daya saing yang ditunjukkan dengan nilai differential shift (S) negatif. Berarti, pada sektor Perdagangan Hotel dan Restoran misalnya, yang merupakan leading sector dengan tingkat pertumbuhan lebih cepat dari tingkat pertumbuhan provinsi Jawa Barat, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kota Bogor masih tertinggal daya saingnya dari Kabupaten/Kota lain di Provinsi Jawa Barat. Daya saing yang dimiliki Kota Bogor berada pada sektor Pertanian, Industri Pengolahan, dan Listrik, Gas dan Air Bersih. Namun tingkat pertumbuhan sektor-sektor yang memiliki daya saing lebih tinggi tersebut berjalan lebih lambat dibandingkan kota/kabupaten lain di Provinsi Jawa Barat. Hal ini ditunjukkan oleh nilai-nilai negative pada angka proporsional share (M) di sektorsektor berdaya saing tersebut. Hasil

6 perhitungan shift share disajikan pada tabel berikut. Tabel 2:Hasil Shift Share Analysis Kota Bogor 4) Kuadran Mixed Losers: sektor Keuangan, real estat dan jasa perusahaan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Jasa-jasa, Angkutan dan Komunikasi, serta Konstruksi merupakan sektor yang memiliki pertumbuhan cepat dalam perekonomian Kota Bogor, namun kurang memiliki daya saing dibandingkan wilayah-wilayah lain di Provinsi Jawa Barat Perhitungan PDRB Hijau Kota Bogor Sumber: PDRB Kota Bogor, 2013 diolah Pemetaan terhadap posisi kinerja masingmasing sektor di Kota Bogor berdasarkan parameter proportional share (M) dan differential share (S) adalah sebagai berikut Penghitungan Volume Sumber Daya Air yang Terdeplesi di Kota Bogor Sektor Pertanian Penggunaan air pada sektor pertanian dirinci berdasarkan ketersediaan data standar penggunaan air dari SNI tentang Penyusunan Neraca Sumber Daya Bagian 1: Sumber daya air spasial. Berdasarkan data tersebut, penggunaan air yang dapat dihitung adalah pada sub sektor Tanaman Bahan Makanan, Peternakan, dan Perikanan. a) Tanaman Bahan Makanan Gambar 1: Grafik Shift Share Kota Bogor Berdasarkan hasil analisis kombinasi proportional share dan differential shift, pemetaan sektor-sektor perekonomian pada Kota Bogor adalah sebagai berikut: 1) Kuadran Winner: tidak terdapat sektor memiliki pertumbuhan yang cepat dalam perekonomian Kota Bogor dan memiliki daya saing lebih baik dibandingkan wilayahwilayah lainnya provinsi Jawa Barat. 2) Kuadran Mixed Winner: sektor Pertanian, Pertambangan & Penggalian, Industri Pengolahan, dan Listrik, Gas & Air Minum merupakan sektor yang hanya dapat ditingkatkan perannya dalam lingkup Kota Bogor. 3) Kuadran Losers: sektor Pertambangan tidak memliki peran dalam memajukan perekonomian Kota Bogor maupun Provinsi Jawa Barat. Nilai deplesi air pada sub sektor Tanaman Bahan Makanan menggunakan dasar perhitungan SNI bahwa standar kebutuhan air rata-rata adalah 1 liter/detik/ha baik untuk irigasi teknis, semi teknis, maupun irigasi sederhana. Jumlah hari yang diperlukan untuk menanam padi adalah 120 hari. Sehingga, total volume penggunaan air untuk tanaman bahan makanan adalah liter per tahun. b) Peternakan Volume penggunaan air pada sub sektor peternakan dihitung berdasarkan jumlah jenis ternak dikalikan dengan standar kebutuhan air untuk masing-masing jenis ternak. Standar kebutuhan air untuk hewan ternak menggunakan acuan dari SNI Hasil yang diperoleh terkait dengan volume penggunaan air peternakan sebesar liter per tahun. c) Perikanan Volume penggunaan air pada sub sektor perikanan dihitung berdasarkan jumlah luas

7 lahan kolam tambak dikalikan dengan standar penggunaan air tawar untuk masing-masing jenis kolam tambak. Standar kebutuhan air tambak menggunakan acuan dari SNI Hasil yang diperoleh terkait dengan volume penggunaan air untuk perikanan sebesar liter per tahun. Perincian perhitungan volume penggunaan air perikanan disajikan pada tabel berikut Sektor Industri Pengolahan Volume penggunaan air pada sektor industri pengolahan didasarkan pada data volume air yang disalurkan oleh PDAM ke industri pengolahan yaitu sebesar m 3 atau sebesar liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013) Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih Penggunaan air dihitung pada sub sektor Air Bersih berdasarkan data volume air yang disalurkan oleh PDAM di Kota Bogor, yaitu sebesar liter di tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS, 2013) Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Penghitungan volume sumber daya air pada sektor ini terdiri dari 3 bagian yaitu sub sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan perincian volume deplesi sebagai berikut: 1) Perdagangan Volume penggunaan air pada sub sektor perdagangan didasarkan pada data volume air yang disalurkan oleh PDAM sebesar m 3 atau sebesar liter (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 2) Hotel Volume penggunaan air pada sub sektor Hotel terdiri dari penggunaan air oleh pengunjung hotel dan penggunaan air oleh karyawan. Untuk memperoleh volume penggunaan air oleh tenaga kerja didasarkan dari jumlah tenaga kerja pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dikalikan dengan kebutuhan air per orang per hari. Sementara, pada penghitungan penggunaan air oleh pengunjung hotel dihitung dari jumlah tempat tidur hotel di Kota Bogor dikali dengan persentase tingkat hunian dikalikan dengan standar baku kebutuhan air untuk tamu hotel per tempat tidur per hari. Hasil perhitungan volume deplesi air oleh tamu hotel di tahun 2012 adalah liter per tahun. 3) Restoran Penghitungan penggunaan air oleh kegiatan usaha restoran terdiri dari penggunaan air oleh pengunjung restoran dan karyawan restoran. Untuk memperoleh volume penggunaan air untuk kegiatan usaha restoran dihitung dari jumlah kursi restoran di Kota Bogor dikali dengan persentase pengunjung dikali dengan standar baku kebutuhan air untuk restoran. Hasil perhitungan volume deplesi air pada kegiatan usaha restoran di tahun 2012 adalah liter per tahun Sektor Angkutan dan Komunikasi Volume penggunaan air pada sektor Angkutan dan Komunikasi dilakukan pada sub sektor Angkutan Jalan Raya. Penggunaan air oleh angkutan umum dihitung berdasarkan jumlah kendaraan angkutan umum dikalikan dengan standar baku kebutuhan air untuk mencuci kendaraan dikalikan dengan frekuensi cuci kendaraan umum per bulan. Data mengenai jumlah kendaraan umum diperoleh dari Kota Bogor dalam Angka, BPS Standar baku kebutuhan air yang digunakan mengacu pada kriteria dari Ditjen Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum. Data mengenai frekuensi cuci kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan hasil survey langsung ke angkutan-angkutan umum dengan jumlah sampel sebanyak 69 kendaraan. Volume deplesi air pada sektor angkutan di tahun 2012 sebesar Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Pada sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, pengambilan data survey dilakukan pada sektor perbankan dan lembaga keuangan. Ketersediaan data sekunder kurang

8 memadai terkait informasi mengenai sub sektor persewaan dan jasa perusahaan. Dengan demikian, perhitungan deplesi air dilakukan berdasarkan hasil survey pada sektor perbankan. Voume deplesi air pada sektor perbankan di tahun 2012 sebesae liter per tahun Sektor Jasa-jasa Pada sektor Jasa-jasa, perhitungan volume deplesi air dilakukan pada 3 sub sektor, yaitu Administrasi Pemerintahan, Sosial Kemasyarakatan, dan Hiburan dan Rekreasi. 1) Administrasi Pemerintahan Volume deplesi air pada sub sektor Administrasi Pemerintah diperoleh berdasarkan ketersediaan data sekunder berupa volume air yang disalurkan PDAM ke Instansi Pemerintah sebesar liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 2) Sosial Kemasyarakatan Volume deplesi air pada sub sektor Sosial Kemasyarakatan diperoleh berdasarkan ketersediaan data sekunder berupa volume air yang disalurkan PDAM ke sektor Sosial sebesar liter per tahun 2012 (Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, BPS,2013). 3) Hiburan dan Rekreasi Volume deplesi air pada sub sektor Hiburan dan Rekreasi diperoleh berdasarkan hasil survey ke lokasi rekreasi air. Penggunaan air pada tempat rekreasi air dihitung dari jumlah tempat rekreasi air dikalikan dengan rata-rata volume pemakaian air per lokasi.volume pemakaian air pada sub sektor Rekreasi sebesar liter per tahun Penghitungan Unit Rent Setelah diperoleh hasil perhitungan volume deplesi air diatas, langkah selanjutnya adalah melakukan konversi volume deplesi air tersebut ke dalam satuan moneter. Untuk itu diperlukan satuan unit rent. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung unit rent adalah Harga Dasar Air sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Bogor Nomor 10 Tahun 2011 tentang Nilai Perolehan Air Tanah (NPA). Berdasarkan peraturan tersebut, Harga dasar Air dihasilkan dari perkalian antara harga air baku dengan faktor nilai air. Faktor Nilai Air ditentukan dari jumlah antara nilai komponen sumber daya alam (SDA) dengan nilai kompensasi pemulihan. Nilai komponen sumber daya alam diperoleh dari hasil penjumlahan nilai indeks unsur komponen sumber daya alam dikalikan dengan persentase 60% untuk pengambilan pada zona aman yang diatur dalam Peraturan Walikota Bogor No. 11 Tahun Sementara, nilai kompensasi pemulihan dihitung dari nilai indeks setiap kelompok volume progresif dalam tabel nilai indeks komponen pemulihan sebagaimana diatur dalam Peraturan Walikota Bogor No. 11 Tahun 2011 Pasal 12 ayat 3 dikalikan dengan bobot 40% untuk pengambilan pada zona aman. Adapun tabel nilai indeks komponen pemulihan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Berdasarkan metode perhitungan diatas, berikut ini perincian hasil perhitungan Harga Dasar Air. a) Pada sektor pertanian, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air pada sektor Pertanian adalah lokasi pertanian berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk pengairan sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas tiga dan empat. Alternatif sumber air diasumsikan tidak ada alternatif. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dangkal. Harga dasar air untuk sektor pertanian diperoleh Rp. 10,92 per liter. b) Pada sektor industri pengolahan, asumsiasumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air pada sektor industri pengolahan adalah lokasi industri berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk air baku sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas satu. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 32,37 per liter.

9 c) Pada sektor Perdagangan, hotel dan restoran, Pengangkutan, Bank, Jasa Pemerintah, dan Jasa Sosial, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air adalah lokasi usaha berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk air baku sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas satu. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 24,05 per liter. d) Pada sektor Jasa Hiburan dan Rekreasi, asumsi-asumsi yang digunakan untuk penentuan harga dasar air adalah lokasi usaha berada dalam zona aman. Fungsi air digunakan untuk rekreasi air sehingga fungsi tersebut masuk dalam kategori unsur kualitas air kelas dua. Alternatif sumber air diasumsikan memiliki alternatif air dari PDAM. Unsur jenis air yang digunakan adalah air tanah dalam. Harga dasar air untuk sektor industri pengolahan diperoleh Rp. 20,15 per liter. e) Pada Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, khususnya pada sub sektor Air Bersih, perhitungan harga air pada sub sektor Air Bersih menggunakan pendekatan unit rent karena PDAM dalam hal ini sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan Air Bersih menggunakan sumberdaya air sebagai bahan utama kegiatan produksi dan menjual air bersih sebagai komoditi utama. Perhitungan unit rent didasarkan pada laporan keuangan Perusahaan Daerah Air Minum yang berlokasi di Kota Bogor. Perhitungan dalam satun per unit didasarkan pada volume air yang disalurkan pada tahun 2012 oleh PDAM yaitu sebesar m3. Dalam perhitungan laba layak digunakan tingkat bunga pinjaman sebesar 12,25% sebagai suku bunga pinjaman yang berlaku pada periode Desember 2012 (Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, 2014) dikalikan dengan total ekuitas modal PDAM Kota Bogor. Unit rent yang dihasilkan untuk harga air pada sub sektor air bersih di tahun 2012 sebesar Rp. 2,51 per liter Nilai Deplesi Sumber Daya Air di Kota Bogor Setelah diketahui volume sumber daya air yang terdeplesi dan unit rent dari sumber daya air, maka nilai deplesi sumber daya air dapat dihitung dalam satuan moneter. Perhitungan nilai moneter deplesi adalah sebagai berikut. Tabel 3: Deplesi Per Sektor Usaha di Kota Bogor Tahun PDRB Semi Hijau Berikut ini hasil perhitungan PDRB semi hijau Kota Bogor tahun Tabel 4: PDRB Semi Hijau Tahun 2012 (dalam Juta Rp.) PDRB Kota Bogor di Tahun 2012 sebesar Rp ,99 juta. Total nilai deplesi dari sektor-sektor usaha yang menggunakan sumber daya air adalah sebesar Rp ,96 juta. Nilai deplesi penggunaan air menyerap sekitar 2,12% dari total nilai PDRB konvensional Kota Bogor tahun 2012 Dengan demikian, nilai PDRB Semi Hijau Kota Bogor pada tahun 2012 diperkirakan sebesar Rp , Degradasi Perhitungan nilai degradasi lingkungan pada Kota Bogor menggunakan pendekatan degradasi pada sumberdaya lahan. Sebagai langkah pendahuluan dalam mengkuantifikasi nilai degradasi lahan, data yang digunakan

10 berupa luas lahan kritis yang terdapat di Kota Bogor dikalikan dengan harga pupuk NPK sebesar Rp per kilogram. Adapun luas lahan kritis yang terdapat di Kota Bogor adalah sebagai berikut: Tabel 5: Luas Lahan Kritis di Kota Bogor Kecamatan Tingkat Kekritisan Lahan (Ha) Agak kritis Kritis Bogor Selatan 30,52 201,05 Bogor Utara 236,4 7,6 Bogor Tengah 2,72 0,9 Bogor Barat 25,43 5,92 Tanah Sareal 0 0 Bogor Timur 0 0 Total Luas 295,07 215,47 Sumber: BPS, 2013 Setelah mengetahui data total luas lahan agak kritis dan kritis tersebut, selanjutnya dihitung nilai degradasi lahan dengan cara menghitung nilai ekonomi dari nutrisi tanah yang hilang dari luasan lahan kritis tersebut. Total nilai degradasi lahan di Kota Bogor adalah Rp Perincian perhitungan tersebut disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 6: Nilai Degradasi Lahan Kota Bogor Perhitungan degradasi lingkungan hidup dalam penelitian ini masih dalam tahap perhitungan pendahuluan. Perhitungan degradasi masih memerlukan survey terhadap biaya pemulihan lingkungan yang dialokasikan oleh masing-masing unit usaha di seluruh sektor perekonomian, serta anggaran yang disediakan pemerintah Kota Bogor untuk memperbaiki lingkungan untuk diperhitungkan ke dalam PDRB Hijau. Selain itu, penghitungan terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh polusi udara belum diperhitungkan dalam pengukuran PDRB Hijau di Kota Bogor, mengingat sektor Angkutan merupakan salah satu sektor basis di Kota Bogor PDRB Hijau Nilai degradasi lahan selanjutnya digunakan dalam perhitungan PDRB Hijau dengan mengurangkan nilai degradasi terhadap nilai PDRB Semihijau. Perkiraan PDRB Hijau untuk Kota Bogor pada tahun 2012 adalah sebesar Rp juta atau lebih rendah 2,15% dari nilai PDRB konvensional. Berikut hasil perhitungan PDRB Hijau Kota Bogor tahun Tabel 7: PDRB Hijau (dalam juta Rp.) PDRB konvensional Rp Deplesi Rp (-) PDRB Semi Hijau Rp Degradasi Rp (-) PDRB Hijau Rp Angka persentase penurunan PDRB tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase penurunan PDRB Konvensional dalam perhitungan PDRB Hijau di Provinsi Bali tahun Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suparmoko (2013) PDRB Hijau lebih rendah 4,5% dari PDRB Konvensional di Provinsi Bali. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setyarko (2013), kegiatan deplesi sumber daya alam di Kabupaten Asmat masih tergolong rendah (0,68 persen 0,93 persen) dari nilai PDRB dalam periode , kecuali pada tahun 2009 (4,95%). Namun, bila merujuk pada hasil survey yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam Indonesia Policy Briefs (2008), total kerugian ekonomi dari terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, diestimasi sebesar 2 persen dari PDB setiap tahunnya di Indonesia. Angak estimasi tersebut mendekati perkiraan angka penggunaan air di sektor usaha Kota Bogor yang mencapai 2,12% dari PDRB konvensional. Rendahnya angka penurunan nilai sumberdaya alam di Kota Bogor dikarenakan lingkup wilayah penelitian merupakan daerah perkotaan dimana sektor usaha yang menjadi basis perekonomian di Kota Bogor berada pada sektor yang tidak bertopang pada

11 kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Basis perekonomian Kota Bogor di tahun 2012 meliputi sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, serta Jasa, real estate dan jasa perusahaan. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pelaksanaan penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi di wilayah Bogormemiliki basis pesat pada sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Angkutan dan Komunikasi. 2. Perkembangan perekonomian kota tidak terlepas dari penggunaan sumber daya alam, khususnya penggunaan air dalam kegiatan perekonomian. 3. Langkah regulasi Pemerintah Kota Bogor dalam hal pengendalian lingkungan sudah mengakomodir pengaturan mengenai Harga Baku Air melalui Peraturan Walikota Bogor No. 10 Tahun 2011 sebagai dasar penghitungan valuasi ekonomi sumberdaya air. 4.Penggunaan sumberdaya air dan degradasi lahan kritis menyerap sekitar 2,15% dari PDRB Kota Bogor tahun Persentase penipisan sumberdaya alam tersebut relatif lebih rendah dari wilayah lain di Indonesia yang perekonomiannya didominasi oleh aset-aset lingkungan seperti aset pertambangan dan sumber daya hutan. Rendahnya penipisan sumberdaya alam di Kota Bogor dikarenakan basis perekonomian Kota Bogor berada pada sektor Konstruksi, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, serta Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan. Selain itu, Kota Bogor tidak memiliki kontribusi PDRB dari sektor Pertambangan. 5. Dalam studi terhadap degradasi lingkungan di Kota Bogor, perlu dilakukan pengukuran terhadap degradasi sumber daya udara.degradasi sumber daya udara terkait dengan meningkatnya aktivitas perekonomian pada sektor Angkutan yang menjadi salah satu sektor basis perekonomian di Kota Bogor. 6. REFERENSI Anonim Green GDP and Sustainable Development Policies. National Seminar on Green Growth Policy Tools for Low Carbon Development in Vietnam Anonim. (2008). Indonesia Policy Briefs. Laporan Ide - Ide Program 100 hari, The World Bank, P. 1 Boyd, James The Nonmarket Benefits of Nature: What Should Be Counted in Green GDP?. Resources for The Future. Washington DC. Chinese Academy for Environmental Planning China Environmental and Accounting (Green GDP) Research Program. Aplication for Globe Sustainability Research Award. Ditjen Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum. Kriteria Penggunaan Air Untuk Perencanaan Kota dan Penggunaan lain Gibson, Lay James, and Marshall A. Worden "Estimating the Economic Base Multiplier: A Test of Alternative Procedures." Economic Geography 57: Hadipuro, Wijanto. Tanpa Tahun. Valuasi Air. Amrta Institute Tifa Foundation. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1451/K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan Di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Kementerian Lingkungan Hidup, Panduan Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau. Kementerian Pekerjaan Umum Program Pengembangan Kota Hijau (P2K) Panduan Pelaksanaan Ditjen Penatan Ruang. Kuswartojo, Tjuk Asas Kota Berkelanjutan dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal Teknik Lingkungan. BPPT

12 Lampiran Permentan Nomor 40/Permentan/OT.140/04/2007 tentang Rekomendasi Pemupukan N. P, dan K Pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Lane, Theodore "The Urban Base Multiplier: An Evaluation of the State of the Art." Land Economics 42: Elsevier. Ecological Economics 33 (2000) Peraturan Walikota Bogor No. 10 Tahun 2011 tentang Nilai Perolehan Air Tanah (NPA). Ratnaningsih, Maria dkk PDRB Hijau (Produk Domestik Regional Bruto Hijau). BPFE Yogyakarta. Setyarko, Yugi Perhitungan PDRB Hijau Sebagai Instrumen Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 17, No. 1, Juni ISSN Kementerian Lingkungan Hidup. Suparmoko, M Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan Suatu Pendekatan Teoritis. BPFE Yogyakarta. Suparmoko, M PDRB Hijau: Kendala dan Prospek. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol. 17, No. 1, Juni ISSN Kementerian Lingkungan Hidup. Suparmoko., M. PDRB Hijau. Konsep dan Metodologi. Departemen Kehutanan, Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. United Nations The Future We Want. RIO +20 United Nations Conference on Sustainable Development. United Nations World Urbanization Prospects The 2014 Revision Highlights. United Nations Environment Programme Cities Investing in Energy and Resource Efficiency.

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI ) Oleh: M. Suparmoko Materi disampaikan pada Pelatihan Penyusunan PDRB Hijau dan Perencanaan Kehutanan Berbasis Penataan Ruang pada tanggal 4-10 Juni 2006 1 Hutan Indonesia

Lebih terperinci

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung ISSN : 205-421 Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung Randy Maulana Institut Teknologi Bandung E-mail : maulana.randy@fe.unpad.ac.id Abstrak. Ekonomi hijau menunjukan hubungan antara degradasi lingkungan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor industri mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum sektor ini memberikan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN UNTUK PENGEMBANGAN HALMAHERA TENGAH

ANALISIS EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN UNTUK PENGEMBANGAN HALMAHERA TENGAH ANALISIS EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN UNTUK PENGEMBANGAN HALMAHERA TENGAH Djarwadi dan Sunartono Kedeputian Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT Jl. M.H. Thamrin No.8 Jakarta 10340 E-mail : djarwadi@webmail.bppt.go.id

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua

BAB I PENDAHULUAN. kota dan desa, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa maupun antara dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang pada umumnya termasuk di Indonesia masih memunculkan adanya dualisme yang mengakibatkan adanya gap atau kesenjangan antara daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menghitung berbagai indikator pokok yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten Subang

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat. 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisa

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK

ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KABUPATEN SIAK Chanlis Nopriyandri, Syaiful Hadi, Novia dewi Fakultas Pertanian Universitas Riau Hp: 082390386798; Email: chanlisnopriyandri@gmail.com ABSTRACT This research

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN Pembangunan perekonomian suatu wilayah tentunya tidak terlepas dari kontribusi dan peran setiap sektor yang menyusun perekonomian

Lebih terperinci

STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA. M. Zainuri

STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA. M. Zainuri STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA Universitas Muria Kudus, Gondangmanis Bae, Po Box 53, Kudus 59352 Email: zainuri.umk@gmail.com Abstract The economic structure of Jepara regency shown

Lebih terperinci

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN I II PENDAHULUAN PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Perbedaan cara pandang mengenai proses pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2 No. 3, JUNI 2014

JIIA, VOLUME 2 No. 3, JUNI 2014 SEKTOR BASIS DAN STRUKTUR EKONOMI DI KOTA BANDAR LAMPUNG (An Analysis of Economic s Structure and Bases Sector in Bandar Lampung City) Anda Laksmana, M. Irfan Affandi, Umi Kalsum Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Karimunjawa). Jarak dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Karimunjawa). Jarak dari Barat ke Timur adalah 263 km dan dari Utara ke BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah diapit oleh dua provinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, letaknya antara 5 40 dan 8 30 dan 111 30 bujur timur (termasuk Pulau Karimunjawa).

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang BAB III TINJAUAN EKONOMI KABUPATEN BERAU 3.1. Tinjauan Umum Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN 102 VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN Adanya otonomi daerah menuntut setiap daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product

Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product Produk Domestik Regional Bruto Gross Regional Domestic Product X Produk Domestik Regional Bruto 306 Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2013 Gross Regional Domestic Product 10.1 PRODUK DOMESTIK REGIONAL

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013 BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT No. 22/09/1216/Th. IX, 22 September 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2013 yaitu sebesar 5,86 persen dimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON 4.1 Analisis Struktur Ekonomi Dengan struktur ekonomi kita dapat mengatakan suatu daerah telah mengalami perubahan dari perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk. bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk. bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai wujud

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 2010, serta data-data lain yang mendukung. Data ini diperoleh dari BPS Pusat,

III. METODE PENELITIAN. 2010, serta data-data lain yang mendukung. Data ini diperoleh dari BPS Pusat, 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data Produk Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon dan Provinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU

KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU KONTRIBUSI SUB SEKTOR PERIKANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU THE CONTRIBUTION OF THE FISHERIES SUB-SECTOR REGIONAL GROSS DOMESTIC PRODUCT (GDP)

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 11/02/73/Th. VIII, 5 Februari 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN IV 2013 BERKONTRAKSI SEBESAR 3,99 PERSEN Kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan IV tahun

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN. Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN. Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati Jurusan Ilmu Ekonomi Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN Chrisnoxal Paulus Rahanra 1

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN Chrisnoxal Paulus Rahanra 1 ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN KEEROM TAHUN 2003 2013 Chrisnoxal Paulus Rahanra 1 c_rahanra@yahoo.com P. N. Patinggi 2 Charley M. Bisai 3 chabisay@yahoo.com Abstrak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya

I. PENDAHULUAN. dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, perkembangannya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah bersama dengan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 No. 10/02/63/Th XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20 010 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2010 tumbuh sebesar 5,58 persen, dengan n pertumbuhan tertinggi di sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah membangun perekonomian wilayah tersebut agar memiliki daya saing yang tinggi agar terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur perekonomian suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI EMPAT KABUPATEN WILAYAH BARLINGMASCAKEB Oleh: Ratna Setyawati Gunawan 1) dan Diah Setyorini Gunawan 2)

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI EMPAT KABUPATEN WILAYAH BARLINGMASCAKEB Oleh: Ratna Setyawati Gunawan 1) dan Diah Setyorini Gunawan 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 26 ANALISIS STRUKTUR EKONOMI EMPAT KABUPATEN WILAYAH BARLINGMASCAKEB Oleh: Ratna Setyawati Gunawan 1) dan Diah Setyorini Gunawan 2) 1) Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG CHAPTER XIV REGIONAL INCOME Penjelasan Teknis Catatan Teknis 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat regional (provinsi dan kabupaten/kota) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO Triwulan II-29 Perekonomian Indonesia secara tahunan (yoy) pada triwulan II- 29 tumbuh 4,%, lebih rendah dari pertumbuhan triwulan sebelumnya (4,4%). Sementara itu, perekonomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah suatu proses yang mengalami perkembangan secara cepat dan terus-merenus demi tercapainya kesejahteraan masyarakat sampai

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu sasaran rencana pembangunan nasional adalah pembangunan disegala bidang dan mencakup seluruh sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju

I. PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya sehingga dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1. A 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka semakin baik pula perekonomian negara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Struktur

III. METODOLOGI PENELITIAN. sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Struktur III. METODOLOGI PENELITIAN A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel merupakan suatu objek yang diteliti atau menjadi fokus perhatian dalam sebuah penelitian. Variabel yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sektor Unggulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2011 MENCAPAI 6,5 PERSEN Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5 persen dibandingkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN

BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN BAB II TINJAUAN EKONOMI MURUNG RAYA TAHUN 2010-2014 2.1 STRUKTUR EKONOMI Penetapan SDG s Sustainable Development Goals) sebagai kelanjutan dari MDG s Millenium Development Goals) dalam rangka menata arah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator perekonomian yang dapat digunakan sebagai bahan penentuan kebijakan pembangunan khususnya dalam bidang perekonomian dan bahan evaluasi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan implementasi serta bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak akan lepas dari peran

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008 No. 08/02/31/Th. XI, 16 Februari 2009 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan IV tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK Khusnul Khatimah, Suprapti Supardi, Wiwit Rahayu Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTORAL KABUPATEN ROKAN HILIR ANALYSIS OF GROWTH AND SECTORAL COMPETITIVENSES ROKAN HILIR

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTORAL KABUPATEN ROKAN HILIR ANALYSIS OF GROWTH AND SECTORAL COMPETITIVENSES ROKAN HILIR ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTORAL KABUPATEN ROKAN HILIR ANALYSIS OF GROWTH AND SECTORAL COMPETITIVENSES ROKAN HILIR Tri Azrul Disyamto 1, Syaiful Hadi 2,Fajar Restuhadi 2 Jurusan Agribisnis

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Karo

Lampiran 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Karo Lampiran 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Karo Lampiran 2. Perhitungan Tipologi Klasen Pendekatan Sektoral Kabupaten Karo Tahun 2006 ADHK 2000 No Lapangan Usaha / Sektor Laju Pertumbuhan S 2006 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci