POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA"

Transkripsi

1 POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA SISTEM KONVENSIONAL DAN SYSTEM of RICE INTENSIFICATION OLEH DANNY SURACHMAN A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN DANNY SURACHMAN. Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn serta Kaitannya dengan Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Budidaya Padi Sistem Konvensional dan System of Rice Intensification (S.R.I.). Dibawah bimbingan DYAH T. SURYANINGTYAS dan RAHAYU WIDYASTUTI Peningkatan jumlah penduduk berdampak dengan meningkatnya permintaan akan bahan pangan seperti beras. Namun meningkatnya permintaan beras tidak diimbangi dengan produksi beras yang dihasilkan. Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri. Salah satu usaha yang memiliki potensi untuk meningkatkan produksi beras adalah System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. dikembangkan sejak tahun 1980an di Madagaskar oleh Fr. Henri de Laulanie. Konsep dasar S.R.I. adalah penanaman bibit muda umur 7-15 hari, jarak tanaman yang lebar dengan 1 bibit per lubang tanaman dengan posisi akar horizontal, dan pengairan tidak tergenang tetapi cukup jenuh. Proses penggenangan pada budidaya padi konvensional mempengaruhi nilai Eh tanah, dimana pada umumnya jika penggenangan tanah dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan rendahnya niai Eh yang akan mengakibatkan terlarutnya unsur mikro seperti Fe dan Mn Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh sistem budidaya padi terhadap sifat kimia tanah seperti ph, Eh, kandungan Fe dan Mn dalam tanah, pertumbuhan dan produksi padi. Penelitian ini menggunaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan yaitu konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semiorganik. Nilai ph dan Eh diukur dengan menggunakan ph dan Eh meter, sedangkan Fe dan Mn didapat dengan cara mengekstrak tanah dengan HCl 0.1 N lalu diukur dengan AAS Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode konvensional dan S.R.I. tidak mempengruhi nilai ph tanah dimana nilainya berkisar Umumnya S.R.I. dapat menekan rendahnya nilai Eh tanah, hal ini dikarenakan perbedaan sistem pengairan lahan, dimana pada sistem konvensional selalu tergenang dan S.R.I. tidak tergenang. Pada metode S.R.I. rata-rata nilai Fe tanah sekitar 3000 ppm dan Mn pada tanah ppm, sedangkan sistem konvensional nilai Fe tanah mencapai 5000 ppm dan Mn tanah sekitar 700 ppm. S.R.I. Anorganik dan Semi-Organik secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun, panjang malai, dan jumlah bulir permalai dibandingkan metode konvensional. S.R.I. organik memiliki nilai parameter pertumbuhan dan hasil panen yang rendah dibanding dengan konvensional, hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. organik input yang digunakan hanya kompos sebanyak 5 ton/ha, yang diduga tidak mencukupi kebutuhan unsur hara selama masa pertanaman.

3 SUMMARY Danny Surachman. Redox Potential (Eh) and the Solubilization of Fe and Mn and Their Relation to Growth and Production of Rice in Cultivation of Conventional Rice Farming Systems and System of Rice Intensification (S.R.I.). Supervised by Dyah Tj. Suryaningtyas and Rahayu Widyastuti. The increase of population is resulting the increased of demand for staple food such as rice. But the increasing demand of rice is not balanced with the production of rice. Indonesian government through the Ministry of Agriculture has made various efforts to increase domestic rice production. One of the efforts that have potential to increase rice production is the System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. was developed since 1980 s in Madagascar by Fr. Henri de Laulanie. The basic concept of SRI is the planting young seedlings (7-15 day olds), a wider range of plants with 1 seed per hill, roots with a horizontal position, and irrigation is intermittent. This research aims to study the effects of different rice farming system on several soil chemical properties (ph, Eh, Fe and Mn) and on growth and rice production. This research was arranged according to Randomized Block Design (RBD) with four treatment they are conventional, inorganic S.R.I., organic S.R.I., and semi-organic S.R.I., each treatment was repeated 4 times, ph and Eh were measured by using ph and Eh meter, while Fe and Mn were extracted with HCl 0.1 N then measured with AAS. The results showed that the conventional method and the S.R.I. did not affect soil ph value where the value ranged between S.R.I. generally could suppress the low value of soil Eh, this was due to differences in land irrigation systems, where the conventional system was always flooded while in S.R.I. cultivation soil was in humid condition. In SRI method the average value of Fe and Mn in soil were 3000 ppm and ppm, respectively whereas in conventional systems Fe values reaches 5000 ppm soil and soil Mn approximately 700 ppm. Inorganic S.R.I. and semi-organic S.R.I. could significantly increase the plant height, number of stems per hill, panicle length, and number of grains rice than conventional methods. Organic S.R.I had lower plant growth and yield compared to conventional system. This was due to organic S.R.I., the input used only compost with the dose of 5 ton/ha, that probably inadequate to the need of nutrient for plant growth.

4 POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA SISTEM KONVENSIONAL DAN SYSTEM of RICE INTENSIFICATION SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor OLEH DANNY SURACHMAN A DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn Serta Kaitannya Dengan Pertumbuhan Padi Pada Budidaya Sistem Konvensional dan System of Rice Intensification : Danny Surachman : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Dr.Ir Dyah T. Suryaningtyas.,MApp Sc Dr. Rahayu Widyastuti M.Sc NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian IPB Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP Tanggal Lulus :

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 2 Mei 1983, merupakan anak ke 5 dari 5 bersaudara pasangan M. Ardani Sarman dan Susilah. Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Pondok Petir pada tahun 1989 dan pada tahun 1995 melanjutkan ke SLTPN 1 Ciputat. Tahun 1998 penulis melanjutka pendidikan di SMUN 1 Barabai dan lulus pada tahun Pada tahun 2002 penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) ke Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Agrogeologi dan Survei dan Evaluasi Lahan.

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dyah T. Suryaningtyas., Mapp Sc selaku pembimbing I dan Dr Rahayu Wydiastuti M.Sc selaku dosen pembimbing ke II atas bantuan, bimbingan, nasehat dan masukan masukan yang menambah pengetahuan penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : Dr Darmawan M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberi pengarahan, nasehat, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas M.Sc yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk ikut serta pada Program Percepatan Difusi dan Pemanfaatan IPTEK Kementrian Riset dan Teknologi sehingga saya mendapatkan datadata untuk menyeleaikan penelitian ini. Bapak, ibu dan kakak-kakak saya berserta seluruh keluarga dimanapun berada, terima kasih yang tidak terhingga atas kesabaran, kasih sayang dan dukungannya. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan S1 dan staf Departemen Ilmu Tanah. Seluruh teman-teman soil IPB angkatan 38, 40, 41, 42, dan 43. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah ikut serta membantu demi kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2010 Penulis

8 DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN... i LEMBAR PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi System of Rice Intensification (S.R.I.) Tanah Sawah Potensial Redoks Besi di Dalam Tanah Mangan di Dalam Tanah III. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Sistem Pertanian Padi Pengukuran ph dan Eh Tanah Analisis Fe dan Mn Analisis Statistik 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Tanah Sifat Kimia dan Fisik Tanah... 21

9 4.1.2 Nilai ph dan Eh Fe dan Mn Pertumbuhan Tanaman Tinggi dan Jumlah Batang per Rumpun Hasil Panen V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 32

10 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang per Rumpun Pengaruh Sistem Jumlah Budidaya Terhadap Anakan Produktif, Panjang Malai, Gabah Per Malai, Gabah Hampa, dan Gabah Bernas Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Produksi Gabah Lampiran 1. Analisis pendahuluan Analisis kompos Analisis Bio-Organik Fertilizer fertismart Pengukuran ph dan Eh Tanah Pada Masa Pertanaman Data Panen... 35

11 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Nilai ph Tanah Selama Masa Pertanaman Nilai Eh Tanah Selama Masa Pertanaman Nilai Fe Tanah Selama Masa Pertanaman Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman Lampiran 6. Keracunan Fe pada tanaman padi Denah percobaan... 39

12 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metode S.R.I. (System of Rice Intensification) dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode S.R.I. bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001). Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. S.R.I. telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008). S.R.I. dikembangkan sejak tahun 1980an di Madagaskar oleh Fr. Henri de Laulanie. Konsep dasar S.R.I. adalah penanaman bibit muda umur 7-15 hari, jarak tanaman yang lebar dengan 1 bibit per lubang tanaman dengan posisi akar horizontal, dan pengairan tidak tergenang terapi cukup jenuh. Hingga tahun 2007 pengembangan budidaya S.R.I. telah dilakukan di 36 negara yang mencakup kawasan Afrika, Amerika Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara Termasuk Indonesia (Uphoff, 2008). Di Indonesia, gagagsan S.R.I. telah diuji coba dan diterapkan di Jawa, Sumatra, Bali, Nusa

13 Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Anugrah et al,. 2008). Salah satu perbedaan cara penanaman padi pada S.R.I. adalah kondisi tanah yang tidak tergenang. Proses penggenangan mempengaruhi nilai Eh tanah, nilai Eh tanah menggambarkan kondisi oksidasi-reduksi dalam tanah. Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi dengan tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah dengan sistem dreinase yang buruk atau terdapat air yang berlebih seperti pada kondisi sawah. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan. Mangan dan besi di dalam tanah memiliki karakteristik yang unik, kelarutannya sangat dipengaruhi oleh nilai potensial redoks (E h ), bentuk mangan dan besi dalam tanah dan penambahan bahan organik. Akibat proses penggenangan pada budidaya konvensional, maka nilai Eh tanah akan turun yang mengakibatkan meningkatnya besi dan mangan dalam tanah yang berpotensi meracuni tanaman padi. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan potensial redoks dengan perilaku Fe dan Mn serta pertumbuhan dan produksi padi pada empat sistem pertanian padi yaitu konvensional, S.R.I. ( System of Rice Intensification) anoganik, S.R.I.-organik dan S.R.I.-semi organik. 1.3 Hipotesis Sistem pertanian padi yang berbeda akan memiliki sifat kimia tanah dan hasil produksi yang berbeda. Sistem pertanian padi S.R.I. akan memiliki sifat

14 kimia tanah dan hasil produksi yang lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional.

15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertainan kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3000 tahun SM. Fosil bulir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, dan Vietnam. Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau jawa, Bali, dan Sulawesi ( Siregar 1981). Tanaman padi tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 o LU-45 o LS dengan cuaca panas dan kelembapan tinggi dengan musim hujan 4 bulan per tahun. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian sekitar m dpl dengan temperatur o C. Padi sawah ditanam pada tanah berliat berat dan berlumpur yang subur dengan ketebalan cm dan ph antara (Aksi Agraris Kanisius 1990). Matsushima (1963) membagi periode pertumbuhan tanaman padi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Fase vegetatif dibagi menjadi fase vegetatif aktif dan fase vegetatif lambat. Fase vegetatif aktif dimulai dari transplanting sampai jumlah anakan maksimum. Selama fase ini jumlah anakan, tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat. Peningkatan jumlah anakan pada fase ini juga terjadi dengan cepat. Fase vegetatif lambat dimulai dari jumlah anakan maksimum sampai dengan pertumbuhan malai. Beberapa anakan pada fase ini mati dan jumlah anakan

16 keseluruhan akan berkurang. Kenaikan tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat akan tetapi tidak secepat pada saat fase vegetatif aktif. Menurut Matsushima (1963) periode pertumbuhan generatif dibagi menjadi dua, yaitu fase pemanjangan malai yang dimulai dari inisiasi malai sampai antesis dan fase pembuahan dari saat setelah antesis sampai matang. Umumnya varietas berumur pendek akan matang kira-kira hari setelah antesis. 2.2 System of Rice Intensification (S.R.I.) System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan metode yang dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode S.R.I. bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001). Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. S.R.I. telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, S.R.I. Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008). Melalui percobaan di beberapa Negara yaitu Madagaskar, Cina, Indonesia, Bangladesh, S.R.I. Lanka, Gambia, dan Kuba diketahui produktivitas padi S.R.I.

17 sebesar 5,4-15 ton/ha dan non S.R.I. 3,12-5 ton/ha, terjadi peningkatan produktivitas padi antara % (Suryanata, 2007). Di Indonesia sendiri, metode S.R.I. mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Hasan dan Sato, 2007). S.R.I. juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi. Pada wilayah Indonesia bagian timur S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78 %, penurunan penggunaan benih sebesar 80 %, penghematan penggunaan air sebesar 40 % serta menurunkan biaya produksi sebesar 20 % (Hasan dan Sato, 2007). Penyebaran S.R.I. dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar Madagaskar pada tahun Uphoff meyakini S.R.I. sebagai salah satu pilihan dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar menerapkan S.R.I., Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi lain. Hingga saat ini, S.R.I. telah diterapkan di India, S.R.I. Langka, Polandia, Vietnam, Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, S.R.I. berkembang sejak awal tahun 2000, antara lain di daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik. Metode S.R.I., seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa membantu manajemen pertanian baik dari sisi alam maupun materi pertanian itu sendiri. S.R.I. mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil produksi padi non S.R.I.. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air

18 dan tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan (Anonim 2008). Terciptanya ragam budidaya tanaman padi dan teknologinya adalah upaya penyesuaian tanaman padi dengan lingkungan tumbuhnya (Ismunadji dan Roechan. 1988) Menurut Rabenandrasana (1999) dalam Uphoff dan Randriamiharisoa (2002), pada S.R.I. terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu: 1. Bibit dipindah lapang (transplantasi) lebih awal. Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 12 hari, dan kurang dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada bibit. Transplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah muncul. 2. Bibit ditanam satu tiap lubang. Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah. 3. Jarak tanam yang lebar. Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup lebar. Jarak tanam yang direkomendasikan mulai dari 25 x 25 cm, tetapi, pada

19 tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar (30 x 30 cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm) dengan jumlah tanaman lebih sedikit per m 2 memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar (2001), sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi tanah yang lain. 4. Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan hati-hati. Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif. 5. Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air. Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan S.R.I., tanah cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk mencari air. Kondisi tidak tergenang akan

20 menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. 6. Pendangiran Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan hari setelah transplantasi dan diulangi pada hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah. 7. Asupan organik Pada awalnya, S.R.I. dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah. 2.3 Tanah Sawah Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya (Kyuma 2004a). Tanah sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih merupakan salah satu jenis penggunaan lahan (Dudal 1958 dalam De Datta 1981)..

21 Menurut Kyuma (2004b), pada umumnya tanah sawah digenangi selama beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah: 1. Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika. 2. Peningkatan P tersedia dalam tanah. 3. Adanya perubahan sifat fisik tanah. 4. Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara. 5. Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian. 6. Tahan terhadap erosi tanah. 7. Relatif aman dari gulma. Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta (1981), perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan akibat proses reduksi di dalam tanah. Menurut Moorman dan van Breemen (1978), perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi (redoks). Keuntungan proses pelumpuran diantaranya yaitu penanggulangan gulma relatif mudah, meningkatkan daya menahan air dan meningkatkan kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak struktur tanah. Penurunan nilai E h menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih tinggi. Perubahan yang bersifat permanen terdiri dari perubahan sifat tanah akibat

22 penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban tanah. De Datta (1981) mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik, dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah. Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat penggenangan tanah yaitu: 1. Keterbatasan oksigen dalam tanah. Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini, mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah. 2. Penurunan potensial redoks tanah. Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai E h +0,2 sampai +0,3 V tergantung pada tanah, tetapi nilai E h di permukaan air dan beberapa mm dari top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V (Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981).

23 3. Perubahan nilai ph tanah Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan ph pada tanah masam dan penurunan ph tanah berkapur dan tanah sodik. Perubahan ph ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu perubahan ferri menjadi ion Fe 2+, akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam kondisi reduksi. 4. Reduksi Fe(III) menjadi Fe(II) Setelah proses penggenangan, Fe(III) oksida hidrat tereduksi menjadi senyawa Fe(II). Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar Fe(II) terlarut ke dalam larutan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar Fe(II) dalam tanah tergenang yaitu alam dan kadar Fe(III) oksida hidrat, ph tanah, dan suhu. 5. Reduksi Mn(IV) menjadi Mn(II) Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini, mangan berperan sebagai aseptor elektron dari proses respirasi mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi. 6. Peningkatan ketersediaan nitrogen. Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang tidak digenangi. Ketersediaan nitrogen tersebut mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, ph tanah, suhu dan lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya (Ponnamperuma 1965 dalam De Datta 1981).

24 2.4 Potensial Redoks Tanah Oksidasi-reduksi merupakan reaksi pemindahan elektron dari donor elektron kepada aseptor elektron. Donor elektron akan teroksidasi karena pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron akan terduksi karena penambahan elektron. Proses ini berlangsung secara simultan, sehingga sering disebut sebagai reaksi redoks (Kyuma 2004a). Potenisial redoks juga dipengaruhi oleh aktivitas mikro organisme, dimana menurut Yoshida (1978), aktivitas mikro organisme tidak hanya mempengaruhi proses transformasi senyawa-senyawa organik dan anorganik, tetapi juga mempengaruhi kemasaman dan potensial redoks tanah. Menurut Tan (1982), keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan konsep potensial redoks (E h ). Secara umum, reaksi sel-paruh dari suatu sistem oksidasi-reduksi dapat digambarkan sebagai berikut: Bentuk teroksidasi + ne - Bentuk tereduksi Potensial sel-paruh dari reaksi di atas dapat dirumuskan menurut hukum Nernst sebagai berikut: E h = E 0 + RT/nF log (bentuk teroksidasi)/(bentuk tereduksi) Potensial redoks (E h ) adalah potensial elektroda standar sel-paruh diukur terhadap suatu elektroda penunjuk standar, yaitu elektroda hidrogen. Sedangkan E 0 adalah suatu tetapan, yang disebut potensial redoks baku dari sistem, dan RT/F= pada 25 o C. Jika aktivitas dari spesies-spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu, rasio tersebut menjadi=1, dan nilai log-nya = 0, maka E h = E 0. Oleh karena itu, potensial redoks baku didefinisikan sebagai potensial redoks dari sistem dengan aktivitas spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu (Tan 1982).

25 Selain E h, reaksi redoks juga dicirikan oleh aktivitas elektron, e -. Jumlah e - atau aktivitas elektron menentukan proses oksidasi-reduksi. Berdasarkan reaksi di atas, jika proses reduksi dominan, maka jumlah elektron akan meningkat. Hubungan antara potensial redoks dengan aktivitas elektron dapat dirumuskan sebagai berikut: E h = (2,3RT/F) pe Aktivitas elektron dinyatakan dengan pe, dimana pe = -log [e - ], R = konstanta gas, T = temperatur absolut(k), dan F = tetapan Faraday. Pada suhu 298 K (25 o C), maka rumus tersebut menjadi: E h = pe Menurut Ponnamperuma (1978), nilai E h atau pe yang tinggi dan positif menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau pe yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe 2+, Mn 2+, dan SO 2-4 secara langsung dan kadar Ca 2+, Mg 2+, Cu 2+, Zn 2+ dan MoO 4 2- secara tidak langsung, dan dekomposisi bahan organik dan H 2 S. Pengukuran E h pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan. Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting, seperti NO - 3 / NH + 4, SO 2-4 /S 2-, CO 2 /CH 4, dan pasangan redoks organik, tidak bersifat elektroaktif, tetapi dapat mengganggu pengukuran E h dengan menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a). Menurut Stumm dan Morgan (1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran E h hanya dapat dilakukan dengan tepat untuk pasangan Fe 3+ /Fe 2+ dan Mn 4+ /Mn 2+

26 dengan kadar lebih tinggi dari 10-5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah. Akan tetapi, elektroda tersebut tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang berada pada kondisi oksidatif. Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan. 2.5 Besi di Dalam Tanah Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan senyawa Fe oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit, vermikulit, dan klorit (Orlov 1992). Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov (1992), sebagai berikut: 1. Fe-silikat 2. Fe-nonsilikat (bebas) Senyawa Fe terkristalisasi; terkristalisasi kuat dan lemah; Senyawa Fe amorf; berikatan dan tidak berikatan dengan humus. Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa Fe melalui proses dekomposisi (pelapukan) mineral-mineral Fe dan mineralisasi senyawa organik, reaksi oksidasi-reduksi,

27 pembentukan senyawa organomineral (umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat. Umumnya, Fe dalam bentuk Fe (II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial oksidasi normal untuk Fe 3+ - Fe 2+ yaitu 0,771 V pada suhu 25 o C. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1. Fe(OH) 3 + 4H + + e - Fe H 2 O 2. α-feooh + 3H + + e - Fe 2+ + H 2 O 3. α-fe 2 O 3 + 6H + + 2e - 2Fe H 2 O Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 ppm. Peningkatan kadar Fe 2+ yang terlarut dalam tanah memberikan keuntungan pada tanah sawah karena mengatasi defisiensi Fe pada tanah alkali dengan bahan organik rendah dan menekan keracunan Mn 2+ pada tanah masam. 2.6 Mangan di Dalam Tanah Mangan memiliki bilangan oksidasi yang bervariasi dengan kisaran +2 sampai +7. Mangan yang terdapat di alam umumnya yaitu mangan dengan bilangan oksidasi +2, +3, dan +4 (Kyuma 2004a). Menurut Orlov (1992), mangan ditemukan di dalam tanah dalam bentuk ion (Mn 2+ ) dan oksida (MnO 2 ). Sedangkan Mn 3+ bersifat kurang stabil di dalam tanah. Senyawa Mn dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi seperti +5, +6, dan +7 tidak ditemukan di dalam tanah.

28 Mn menyusun mineral-mineral dalam bentuk oksida, karbonat, silikat, dan sulfat (Taylor et al., 1964 dalam Lindsay 1979). Sedangkan di dalam tanah, selain terdapat sebagai senyawa oksida dan hidroksida yang mudah larut, Mn juga membentuk garam-garam dengan senyawa organik dan silikat dengan berbagai tingkat kelarutan (Orlov 1992). Senyawa Mn(II) meliputi garam-garam mudah larut dan Mn 2+ dapat dipertukarkan, yang umumnya ditemukan pada tanah-tanah masam dan agak masam. Senyawa Mn juga dipengaruhi oleh sistem oksidasi-reduksi yang terjadi di dalam tanah, terutama jika tanah berada dalam kondisi anaerob seperti tanah-tanah yang tergenang (tanah sawah). Van Breemen dan Brinkman (1976) dalam Tan (1982), menyatakan bahwa penggenangan tanah pada awalnya akan mereduksikan NO - 3 dalam tanah, setelah NO - 3 hilang, Mn akan direduksi, kamudian disusul oleh Fe. Sistem Mn 4+ /Mn 2+ mempunyai nilai E h mv dan sistem Fe 3+ /Fe 2+ mempunyai nilai E h +771 mv, sehingga Mn lebih mudah tereduksi daripada Fe. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1. MnO 2 + 4H + + 2e - = Mn 2+ + H 2 O 2. Mn 2 O 3 + 6H + + 2e - = 2Mn H 2 O 3. Mn 3 O 4 + 3H + + 2e - = 3Mn H 2 O Sebagaimana Fe, kelarutan Mn dalam tanah meningkat seiring dengan peningkatan kemasaman dan kondisi reduksi. Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan dapat meningkatkan kadar Mn 2+ dalam larutan tanah dari 1 sampai 100 ppm. Peningkatan kadar Mn dalam kondisi reduktif dapat bersifat racun bagi tanaman, terutama apabila kadar Mn mudah direduksi di dalam tanah mencapai 300 ppm (Kyuma 2004a) dan Mn 2+ dalam larutan tanah melebihi 2 ppm

29 (IRRI 2000 dalam Food and Fertilizer Technology Center 2001). Tanaman yang mengalami keracunan Mn, khususnya padi, menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST, klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah.

30 III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Peneliltian lapang dilaksanakan di Desa Curugbarang (Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang), pada Bulan April sampai dengan Agustus 2009, sedangkan analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari contoh tanah, pereaksi untuk analisis kimia, dan bahan organik. Contoh tanah yang digunakan berasal dari Desa Curugbarang (Kec. Cipeucang, Kab Banten) yang merupakan salah satu lokasi Program Percepatan Difusi dan Pemanfaatan IPTEK Kementrian Riset dan Teknologi. Tanah Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia diantaranya yaitu alat-alat gelas, Eh dan ph-meter, kertas saring, dan AAS. 3.3 Metode penelitian Pada penelitian ini dibandingkan 4 sistem pertanian padi yaitu konvensional, S.R.I. (System of Rice Intensification) anoganik, S.R.I.-organik dan S.R.I.-semi organik. Contoh tanah diambil dari tiap-tiap sistem pertanian lalu di ukur Eh dan ph tanahnya dan dianalisis untuk mendapatkan nilai Fe dan Mn. Nilai Eh digunakan untuk mengetahui apakah tanah tersebut dalam keadaan reduktif atau oksidatif, sedangkan nilai ph sebagai indikator keasaman tanah.

31 Nilai Fe dan Mn digunakan untuk menentukan kandungan Fe dan Mn terlarut dalam tanah Sistem pertanian padi Penelitian terdiri dari empat jenis sistem budidaya padi, yaitu konvensional, S.R.I. ( System of Rice Intensification) anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semi-organik. Ukuran petak yang digunakan adalah 4 5 m dengan 4 kali ulangan untuk masing-masing sistem penanaman padi ( Gambar Lampiran 2). Keempat macam budidaya padi tersebut adalah: 1. Budidaya padi konvensional dilakukan dengan menanam bibit berumur 30 hari setelah semai, menanam 8 bibit dalam satu lubang dengan jarak 20 cm, penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian air sekitar 5 cm. Pemupukan dengan dosis 250 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha. 2. Budidaya padi S.R.I. anorganik dilakukan dengan cara menanam bibit berumur 8 hari setelah semai, menanam satu bibit per lubang dengan jarak 30 cm. Transplantasi bibit dari persemaian ke lahan yang disiapkan dilakukan dengan cara hati-hati dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan posisi akar horizontal. Pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tapi tidak tergenang. Pupuk yang digunakan sama dengan budidaya padi konvensional. 3. Budidaya Padi S.R.I. organik, seperti S.R.I. anorganik tetapi pupuk yang diberikan 100% organik berupa takaran kompos 5 ton/ha. Pemakaian kompos 5 ton/ha mengikuti petani setempat.

32 4. Budidaya padi semi-organik perlakuannya sama dengan S.R.I. anorganik, tetapi takaran pupuk anorganikmya 50% dan diberi bio-organik fertilizer (pupuk organik hayati) Fertismart sebanyak 300 kg/ha Pengukuran Eh dan ph tanah Pengukuran Eh dan ph tanah dilakukan di lapang dengan cara memasukkan alat Eh dan ph meter kedalam tanah dengan kedalaman sekitar 20 cm, lalu dibiarkan beberapa saat sehingga angka yang tertera pada layar menjadi konstan. Pengukuran Eh dan ph tanah dilakukan pada 0 HST, 55HST, dan 108 HST Analisis Fe dan Mn Untuk pengukuran Fe dan Mn, contoh tanah diambil dari tiap plot. Pengambilan dilakukan pada saat 0 HST, 55 HST, dan 108 HST. Analisis Fe dan Mn dilakukan dengan cara menimbang 5 gram sampel tanah, lalu ditambahkan 50 ml HCl 0.1 N, dan dishaker sekitar 30 menit, lalu disaring dan diukur dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectophotometry) Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan adalah uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5% dimana uji ini digunakan untuk mengukur perbedaan parameter tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun dan hasil panen dari empat jenis sistem budidaya padi.

33 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tanah Sifat Kimia dan Fisik Tanah Berdasarkan analisis pendahuluan tanah (Tabel Lampiran 1), sebelum penelitian diketahui bahwa nilai ph adalah 6.28 atau termasuk agak masam, kandungan C-organik tergolong sedang yaitu 2.23%, N total tergolong sedang yaitu 0.32%, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 7.18 ppm, K tergolong sangat tinggi yaitu 2.45 me/100g,dan kejenuhan basa tergolong sangat rendah yaitu 17.06%. Tekstur tanah pada plot percobaan mengandung 8.36% pasir, 34.4% debu dan 57.20% liat, sehingga dikelaskan kedalam kelas tekstur liat Nilai ph dan Eh Nilai ph tanah selama masa pertanaman terlihat pada Gambar 1. Nilai ph terlihat cukup stabil berkisar selama masa pertanaman. Pengaruh perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata pada nilai ph, karena ph tanah yang disawahkan akan mendekati netral. Pada pengukuran Eh pada (Gambar 2), terlihat pada 0 HST perlakuan S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik memiliki nilai Eh yang paling rendah yaitu -135 mv dan -129 mv, lebih rendah dibanding dengan perlakuan konvensional yang memiliki nilai -128 mv, hal ini dikarenakan adanya penambahan bahan organik sebanyak 5 ton/ha pada perlakuan S.R.I. organik dan penambahan bioorganik fertilizer ( Fertismart ). Penambahan bahan-bahan tersebut dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang akan mengakibatkan pemakaian oksigen tanah yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya

34 penurunan nilai Eh pada tanah. Namun pada 55 HST kenaikan nilai Eh pada perlakuan S.R.I. organik dan semi-organik cukup tinggi, tetapi tidak pada perlakuan konvensional yang hanya naik sedikit, hal ini di karenakan perlakuan konvensional lahan selalu digenangi, sehingga oksigen sulit masuk kedalam pori tanah. Pada 108 HST nilai ph dan Eh pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehinga baik lahan konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering. Gambar 1. Nilai ph Tanah Selama Masa Pertanaman Fe dan Mn Gambar 2. Nilai EhTanah Selama Masa Pertanaman Nilai Fe dan Mn dalam tanah yang diekstrak dengan HCl 0.1 N dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Nilai ini merupakan kadar Fe dan Mn total pada tanah yang termasuk Fe dan Mn tersedia, Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan,

35 dan mudah tereduksi. Pada pengukuran 0 HST kadar Fe total pada lahan konvensional mencapai 3743 ppm, tanaman padi belum muncul gejala keracunan Fe, hal ini dimungkinkan karena kadar Fe tersedia dalam tanah kurang dari kadar yang meracuni tananaman Pada pengukuran 55 HST Fe total pada konvensional mencapai 4582 ppm, dimana pada budidaya konvensional timbul gejala keracunan besi yang ditandai dengan daun berwarna coklat kemerahan (Gambar 1 Lampiran). Hal ini di karenakan pada budidaya konvensional lahan digenangi secara terus menerus sehingga tanah lebih bersifat reduktif (Gambar2) dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. yang sistem pengairannya tidak tergenang, yang memungkinkan adanya oksigen masuk kedalam tanah, kondisi ini membuat tanah lebih bersifat oksidatif dibanding dengan sistem budidaya konvensional. Pada Gambar 4 grafik nilai Mn pada tanah, pada awal pertanaman nilai Mn pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, namun pada 55 HST nilai Mn pada tiap-tiap perlakuan secara umum meningkat. Peningkatan nilai Mn yang tinggi terjadi pada lahan dengan budidaya konvensional akibat dari sistem budidaya padi yang selalu tergenang. Pengukuran Mn pada 108 HST, secara umum terjadi penurunan kadar Mn pada lahan konvensional maupun S.R.I.. Hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehingga lahan konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering. Pada 55 HST dan 108 HST kadar Mn pada tanah > 300 ppm, nilai ini dapat berpotensi meracuni tanaman, tetapi selama masa tersebut tanaman tidak menampakkan adanya gejala keracunan Mn. Hal ini mungkin dikarenakan Mn yang diekstrak dengan HCl 0.1 N merupakan Mn total pada tanah dan dimungkinkan kadar Mn tersedia dalam tanah

36 mungkin lebih rendah dari 300 ppm, disamping itu tingginya kadar Fe dalam tanah. Menurut Ponnamperuma (1978), tingginya kadar Fe dalam tanah dapat menekan keracunan Mn. Gambar3. Nilai Fe Tanah Selama Masa Pertanaman Gambar 4. Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman 4.2 Pertumbuhan Tanaman Tinggi dan Jumlah Batang per Rumpun Pertumbuhan tanaman diamati melalui tinggi tanaman (Tabel 1) dan jumlah batang per rumpun (Tabel 2). Pada 14 dan 28 HST tinggi tanaman pada budidaya konvensional lebih tinggi dibanding dengan budidaya S.R.I. (Tabel 1). Hal tersebut dikarenakan umur bibit pada budidaya konvensional lebih tua

37 dibanding dengan budidaya S.R.I.. Namun 42 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik mulai menyamai tinggi tanaman pada budidaya konvensional dan pada 56 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik menunjukkan nilai yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional, hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman pada budidaya S.R.I. dapat tumbuh dengan lebih baik dan menyaingi pertumbuhan tanaman pada budidaya konvensional. Tabel 1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman (cm) PERLAKUAN UMUR TANAMAN (HST) KONVENSIONAL b c 70.72bc c c S.R.I. ANORGANIK b b c d c S.R.I. ORGANIK a a a a a S.R.I. SEMI ORGANIK b b b b b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji duncan Pada Tabel 2 dapat dilihat budidaya konvensional memiliki jumlah batang per rumpun yang lebih banyak dibandingkan dengan S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik pada 14 HST. Hal tersebut dikarenakan prinsip dasar S.R.I., yaitu bibit yang ditanam adalah 1 bibit per lubang tanam, sedangkan budidaya konvensional menerapkan 8 bibit per lubang. Pada 28 HST jumlah batang per rumpun pada S.R.I. anorganik mulai dapat menyamai jumlah batang per rumpun pada budidaya konvensial, dan pada 56 dan 70 HST, S.R.I. anorganik mulai menunjukkan perbedaaan yang nyata dengan konvensional, hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. tanaman dapat tumbuh dengan optimal, karena pengaruh jarak tanam, dimana jarak tanam lebih lebar dan jumlah bibit yang

38 ditanam per lubang tanam dibanding dengan konvensional, sehingga tanaman mendapatkan sinar matahari dan penyerapan hara yang optimal. Pembentukan batang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti jarak tanam, radiasi matahari, hara mineral, dan berbagai cara budidaya termasuk pengaturan sistem irigasi (Manurung dan Ismunadji, 1988). Menurut Surowinoto (1983) penggenangan tanaman lebih tinggi dari 5 cm akan menekan pertumbuhan mata tunas menjadi anakan. Penggenangan dan jarak tanam yang sempit pada sistem budidaya konvensional meyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mata tunasnya terhambat, sehingga jumlah batang yang dihasilkan sistem budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan sistem budidaya S.R.I.. Pada 70 HST dapat kita lihat, jumlah batang per rumpun dari semua perlakuan baik konvensionak maupun S.R.I. mengalami penurunan. Menurut Hanum (2008), Setelah mencapai jumlah batang maksimum, pada fase berikutnya beberapa batang akan mati dan jumlah batang keseluruhan akan berkurang (Hanum, 2008). Tabel 2. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang Per Rumpun PERLAKUAN UMUR TANAMAN (HST) KONVENSIONAL c c bc a a S.R.I. ANORGANIK 8.35 b c c b c S.R.I. ORGANIK 5.00 a a a a a S.R.I. SEMI ORGANIK 7.95 ab b b a b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

39 Hasil Panen Hasil panen diamati melalui jumlah anakan produktif, panjang malai, bulir per malai, gabah kering panen (GPK), dan gabah kering giling (GKG). Pada petakan konvensional jumlah anakan produktif per rumpun sebanyak 14. Jumlah ini lebih sedikit dibanding dengan S.R.I. anorganik maupun S.R.I. semi-organik masing-masing 22 dan 18. Panjang malai pada S.R.I. anorganik dan S.R.I. semiorganik lebih panjang dibanding dengan konvensional. Umur bibit yang ditanam juga dapat mempengaruhi jumlah batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al., (2006) transplantasi yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stress saat pindah lapang yang akan berlajut selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif. Tabel 3. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Anakan Produktif, Panjang Malai, Gabah Per Malai, Gabah Hampa, dan Gabah Bernas Sistem Budidaya Σ Anakan Produktif Panjang Malai (cm) Σ Gabah/Malai Σ Gabah Hampa Σ Gabah Bernas Konvensional 14.85a 22.21a a 19.30a 89.98a S.R.I. Aorganik 22.50b 23.95a b 24.25b b S.R.I. Organik 14.00a 22.39a a 12.72a a S.R.I. Semi-Organik 18.40a 24.50a b 26.92b b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan Pada S.R.I. organik jumlah anakan produktif dan panjang malai sama dengan konvensional. Hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. organik hanya mengandalkan asupan unsur hara dari bahan organic berupa kompos, sehingga terjadi defisiensi unsur hara terutama unsur N. Nitrogen merupakan unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman (Tisdale et al., 1990) dan (De Datta,

40 1981), dan menurut Sanchez (1993) penyediaan cukup N yang dapat diserap selama awal pertunasan menghasilkan lebih banyak anakan. Jumlah gabah per malai dan gabah bernas pada budidaya S.R.I. lebih banyak dibanding dengan budidaya konvensional. Hal ini mungkin dikarenakan tingginya kadar besi total dalam tanah mencapai 4500 ppm (Gambar 3) pada budidaya konvensional yang menyebabkan keracunan pada tanaman. Gejala keracunan Fe ditandai dengan gejala daun yang berwarna coklat kemerahan (Gambar Lampiran 1). Hasil panen menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. anorganik dengan konvensional tidak berbeda nyata, namun hasil GKP S.R.I. anorganik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional. Hal ini dikarenakan S.R.I. memiliki keunggulan seperti transplantasi bibit yang lebih muda dan secara hati-hati yang akan mengurangi stres pada akar. Sehingga tanaman dapat menyerap unsur hara dengan optimal. Pada Tabel 4 terlihat bahwa S.R.I. organik memiliki nilai GKP dan GKG paling rendah, hal ini dikarenakan pada perlakuan ini unsur hara yang ditambahkan hanya bahan organik sebanyak 5 ton per hektar dan tanpa adanya input pupuk lain, sehingga pada perlakuan ini terjadi kekurangan unsur hara yang menyebabkan rendahnya hasil panen. Tabel 4. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Produksi Gabah Sistem Budidaya GKP (ton/ha) GKG (ton/ha) Konvensional 5.95c 4.27c S.R.I. Anorganik 6.09c 4.60c S.R.I. Organik 2.16a 1.49a S.R.I. Semi-Organik 4.75b 4.30b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan. tidak berbeda

POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA

POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA SISTEM KONVENSIONAL DAN SYSTEM of RICE INTENSIFICATION OLEH DANNY SURACHMAN A24102103 DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertainan kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat. Bukti sejarah menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 KAJIAN TEORITIS 2.1.1 Karakteristik Lahan Sawah Bukaan Baru Pada dasarnya lahan sawah membutuhkan pengolahan yang khusus dan sangat berbeda dengan lahan usaha tani pada lahan

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN. I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

RINGKASAN. I. Pendahuluan. A. Latar Belakang PENGARUH PEMBERIAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS CIHERANG DENGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) 1 Zulkarnain Husny, 2 Yuliantina Azka, 3 Eva Mariyanti

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) PENDAHULUAN Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian untuk:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA System of Rice Intensification (S.R.I.)

II. TINJAUAN PUSTAKA System of Rice Intensification (S.R.I.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. System of Rice Intensification (S.R.I.) 2.1.1. Pengertian dan asal mula S.R.I. S.R.I. merupakan suatu usahatani padi sawah irigasi yang dilakukan secara intensif dan efisien dalam

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (E h ) DENGAN PERILAKU. Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN. POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI OLEH

HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (E h ) DENGAN PERILAKU. Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN. POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI OLEH HUBUNGAN ANTARA POTENSIAL REDOKS (E h ) DENGAN PERILAKU Mn DAN Fe PADA TANAH SAWAH DAN KAITANNYA DENGAN POTENSI KERACUNAN Mn PADA TANAMAN PADI OLEH DINA ALVA PRASTIWI A24104098 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase (Prasetyo dkk,

TINJAUAN PUSTAKA. yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase (Prasetyo dkk, TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Awal Tanah Gambut Hasil analisis tanah gambut sebelum percobaan disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis didapatkan bahwa tanah gambut dalam dari Kumpeh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teoritis 2.1.1. Sawah Tadah Hujan Lahan sawah tadah hujan merupakan lahan sawah yang dalam setahunnya minimal ditanami satu kali tanaman padi dengan pengairannya sangat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan laut. Penelitian

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, serta di kebun percobaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification)

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification) PRINSIP S R I Oleh : Isnawan BP3K Nglegok Tanaman padi diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya Semua unsur potensi

Lebih terperinci

BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification)

BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification) BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification) Abstrak Oleh Jenal Mutakin Budidaya padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur terhadap Sifat Kimia Tanah Pengaplikasian Electric furnace slag (EF) slag pada tanah gambut yang berasal dari Jambi

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan Februari-Juli 2016. Percobaan dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bermata pencarian sebagai petani (padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran ). Sektor

I. PENDAHULUAN. bermata pencarian sebagai petani (padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran ). Sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris di mana sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani (padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran ). Sektor pertanian pula berperan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica.

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica. 6 TINJAUAN PUSTAKA Padi Sawah Padi (Oryza sativa L.) berasal dari tumbuh-tumbuhan golongan rumput-rumputan (Gramineae) yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut 4 perbedaan antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan emisi CH 4. HASIL a. Fluks CH 4 selama

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH

PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH 1 PENGARUH JUMLAH BIBIT DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO YANG DIMODIFIKASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) DI KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN SKRIPSI OLEH : STEPHANIE C.C. TAMBUNAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Electric Furnace Slag, Blast Furnace Slag dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah 4.1.1. ph Tanah dan Basa-Basa dapat Dipertukarkan Berdasarkan Tabel 3 dan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Lahan 4. 1. 1. Sifat Kimia Tanah yang digunakan Tanah pada lahan penelitian termasuk jenis tanah Latosol pada sistem PPT sedangkan pada sistem Taksonomi, Tanah tersebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah Inceptisol Indramayu Inceptisol Indramayu memiliki tekstur lempung liat berdebu dengan persentase pasir, debu, liat masing-masing 38%,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II. BAHAN DAN METODE. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 15 II. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilaksanakan terdiri atas dua percobaan yaitu percobaan inkubasi dan percobaan rumah kaca. Percobaan inkubasi beserta analisis tanah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter Laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan tanah gambut dari Kumpeh, Jambi dilakukan pada bulan Oktober 2011 (Gambar Lampiran 1). Penelitian dilakukan mulai dari bulan Februari

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMPOS SAMPAH PERKOTAAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN MENURUNKAN BIAYA PRODUKSI BUDIDAYA PADI

EFEKTIVITAS KOMPOS SAMPAH PERKOTAAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN MENURUNKAN BIAYA PRODUKSI BUDIDAYA PADI EFEKTIVITAS KOMPOS SAMPAH PERKOTAAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS DAN MENURUNKAN BIAYA PRODUKSI BUDIDAYA PADI Endah Sulistyawati dan Ridwan Nugraha Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir setengah penduduk dunia. Kebutuhan pangan akan semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk, namun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Lahan tanaman

Lebih terperinci

bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification

bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification Pendahuluan System of Rice Intensification (SRI) merupakan sistem budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien berbasis pada pengelolaan tanaman, biologi tanah, tata air dan pemupukan secara terpadu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA HUSIN KADERI Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru RINGKASAN Percobaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 35 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari penelitian survei dan penelitian pot. Penelitian survei pupuk dilaksanakan bulan Mei - Juli 2011 di Jawa Barat, Jawa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI YANG DITANAM DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.) DI DESA LIMO, DEPOK, JAWA BARAT

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI YANG DITANAM DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.) DI DESA LIMO, DEPOK, JAWA BARAT ii PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI YANG DITANAM DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.) DI DESA LIMO, DEPOK, JAWA BARAT EKA NURWITA SARI A14051347 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diklasifikasikan ke dalam Famili adalah Graminae, Genus adalah Oryza Linn, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diklasifikasikan ke dalam Famili adalah Graminae, Genus adalah Oryza Linn, dan TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Menurut Grist (1960), tanaman padi dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan ke dalam Famili adalah Graminae, Genus adalah Oryza Linn, dan Speciesnya adalah

Lebih terperinci

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala

Aplikasi Pupuk Kandang dan Pupuk SP-36 Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Aplikasi Kandang dan Untuk Meningkatkan Unsur Hara P Dan Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) di Tanah Inceptisol Kwala Bekala Application of Farmyard Manure and SP-36 Fertilizer on Phosphorus Availability

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian terak baja berpengaruh nyata terhadap peningkatan ph tanah (Tabel Lampiran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

Sistem Intensifikasi Padi (The system of Rice intensificasion SRI) : Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak

Sistem Intensifikasi Padi (The system of Rice intensificasion SRI) : Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak Sistem Intensifikasi Padi (The system of Rice intensificasion SRI) : Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak Oleh : Dawn Berkelaar Baru-baru ini kami telah mempelajari suatu metode penanaman padi yang mampu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

dwijenagro Vol. 4 No. 1 ISSN :

dwijenagro Vol. 4 No. 1 ISSN : KAJIAN PENGGUNAAN PUPUK HAYATI LOKAL PADA TANAMAN PADI DI KABUPATEN BADUNG I Gusti Ngurah Sugiana 1), I Made Kawan 2), dan I Putu Candra 3) 1) Dosen Manajemen Agribisnis, 2) Dosen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di desa Kleseleon, kecamatan Weliman, kabupaten Malaka, proinsi Nusa Tenggara Timur pada lahan sawah bukaan baru yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui percobaan rumah kaca. Tanah gambut berasal dari Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Jambi, diambil pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO Yati Haryati dan Agus Nurawan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Email : dotyhry@yahoo.com

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Kimia dan Fisik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan kriteria penilaian ciri kimia tanah pada Tabel Lampiran 5. (PPT, 1983), Podsolik Jasinga merupakan tanah sangat masam dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. cukup baik di daerah datar maupun perbukitan yang diteraskan. Umumnya tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. cukup baik di daerah datar maupun perbukitan yang diteraskan. Umumnya tanah TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.tanah sawah

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Tanaman Gandum Tanaman gandum (Triticum aestivum L) merupakan jenis dari tanaman serealia yang mempunyai tektur biji yang keras dan bijinya terdiri dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Berbagai Dosis Pemberian Terak Baja Dengan dan Tanpa Penambahan Bahan Humat Parameter yang digunakan dalam mengamati pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Rumput Raja Sumber: Dokumentasi Penelitian (2012)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Rumput Raja Sumber: Dokumentasi Penelitian (2012) TINJAUAN PUSTAKA Rumput Raja (Pennisetum purpureum Schumach x Pennisetum typhoides Burm.) Rumput raja merupakan hasil persilangan antara rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach) dengan Pennisetum typhoides

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Pelaksanaan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010. Bahan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Menurut Greenland (1997) dalam Iqbal (2009), karakteristik utama tanah sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah dikenal sejak dulu. Ada beberapa jenis tomat seperti tomat biasa, tomat apel, tomat keriting,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Padi Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas itu merupakan bubung atau ruang kosong. Panjang tiap ruas

Lebih terperinci

Hanafi Ansari*, Jamilah, Mukhlis

Hanafi Ansari*, Jamilah, Mukhlis PENGARUH DOSIS PUPUK DAN JERAMI PADI TERHADAP KANDUNGAN UNSUR HARA TANAH SERTA PRODUKSI PADI SAWAH PADA SISTEM TANAM SRI (System of Rice Intensification) Effect of Fertilizer Dosage and Rice Straw to the

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari 2011 di lahan sawah yang berlokasi di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Elevasi/GPS

Lebih terperinci