Gambar V.1. Skenario Energy Mix Nasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar V.1. Skenario Energy Mix Nasional"

Transkripsi

1 BAB V PEMBAHASAN V.1. Batubara dan Kebijakan Energi Nasional Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No.5 Tahun Tujuan dari ditetapkannya KEN adalah untuk mewujudkan keamanan pasokan energi nasional. Dalam pelaksanaannya, Menteri Energi Sumberdaya Mineral menetapkan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional (Blue Print PEN) sebagai dasar dalam penyusunan pola pengembangan dan pemanfaatan masing-masing jenis sumber energi. Blue Print PEN menunjukkan skenario bahwa peran batubara akan mengalami dari tahun 2005 sampai tahun Pada tahun 2025 peran batubara dalam energy mix nasional diharapkan sebesar 32,6%. Skenario energy mix nasional pada tahun 2005 dan 2025 dapat dilihat pada Gambar V Gambar V.1. Skenario Energy Mix Nasional Sementara itu, hasil perhitungan diperoleh hasil peran batubara dalam energy mix nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 34,69%. Hasil peramalan peran batubara yang optimal tersebut menunjukkan perbedaan terhadap skenario berdasarkan energy mix nasional 2025 yang tercantum dalam Blue Print PEN. Diindikasikan perbedaan hasil perhitungan disebabkan perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang menentukan kebutuhan energi, antara lain pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang digunakan untuk keperluan proyeksi. V - 1

2 Walaupun terjadi perbedaan dalam mendapatkan prosentase peran batubara dalam pemenuhan energy mix nasional, ada suatu hal yang perlu disikapi. Peningkatan peran batubara dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional perlu untuk ditindak-lanjuti. Tujuannya agar pasokan energi yang dibangkitkan oleh batubara tidak mengalami hambatan yang akhirnya berujung pada terganggunya aktivitas ekonomi nasional. Tindakan pengamanan pasokan energi dari batubara dapat dilakukan melalui penetapan kebijakan dan aturan-aturan yang bertujuan untuk: 1. Menambah jumlah cadangan batubara tertambang. 2. Mengatur laju pengurasan cadangan tertambang. 3. Menjamin suppai kebutuhan batubara domestik. 4. Penelitian dan pengembangan untuk meningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya batubara (termasuk batubara peringkat rendah). 5. Pembangunan pembangkit tenaga listrik sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. V.2. Evaluasi Kebijakan Batubara Nasional Hasil perhitungan dari optimasi produksi batubara dan peranannya dalam energy mix nasional menunjukkan peranan batubara pada energy mix nasional akan terus meningkat setidaknya sampai tahun Seperti yang telah disebutkan di atas, peningkatan peran batubara tersebut perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk dapat mengamankan pasokan batubara terutama untuk keperluan sumber energi dalam negeri. Terlebih lagi diindikasikan bahwa produksi batubara untuk tahun mendatang akan berada di atas tingkat produksi optimal. Perbandingan peramalan tingkat produksi optimal dan produksi pasar batubara dapat dilihat pada Tabel V.1. Untuk mengatasi permasalahan produksi batubara yang melebihi kapasitas produksi optimal, diperlukan suatu kebijakan sehingga pemanfaatan batubara nasional tetap berlandaskan asas konservasi. Prinsip konservasi tersebut adalah menggunakan sumberdaya terbanyak untuk mendapatkan hasil terbesar dalam waktu terlama. V - 2

3 Tabel V.1. Perbandingan Peramalan Tingkat Produksi Batubara Indonesia Tahun Produksi Pasar Produksi Optimal (Juta Ton) (Juta Ton) ,0 117, ,4 126, ,8 135, ,2 145, ,7 156, ,1 168, ,2 181, ,8 194, ,5 209, ,3 224, ,2 241, ,0 259, ,6 279, ,8 300, ,1 322, ,3 346,7 Jumlah 4.586, ,7 Indonesia telah memiliki Kebijakan Batubara Nasional (KBN) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1128K/40/MEM/2004. Sasaran yang ingin dicapai dengan ditetapkannya KBN yaitu untuk menjamin pasokan batubara untuk keperluan domestik dan ekspor. Hal-hal yang diatur dalam KBN tersebut meliputi masalah pengelolaan, pengusahaan, pemanfaatan, dan pengembangan. Telaah lebih mendalam dilakukan kepada KBN menunjukkan hasil bahwa prinsip-prinsip konservasi sebenarnya sudah diakomodasi di dalam masing-masing aspek yang ada di dalam KBN. Aspek-aspek dalam KBN yang mengakomodasi terwujudnya konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara nasional antara lain: 1. Kebijakan Pengelolaan Mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam pertambangan batubara. 2. Kebijakan Pengusahaan Mendorong mengintensifkan pencarian cadangan batubara. Meningkatkan kualifikasi sumberdaya batubara menjadi cadangan tertambang. V - 3

4 Memberikan insentif dalam pengembangan batubara peringkat rendah, tambang bawah tanah, cadangan papas dan di daerah terpencil. Menegaskan kembali kepada pelaku pertambangan batubara PKP2B untuk memenuhi kewajibannya memprioritaskan pasokan batubara dalam negeri berdasarkan kontraknya dengan Pemerintah. Mengendalikan produksi, pelaksanaan pengembangan masyarakat dan reklamasi melalui mekanisme persetujuan RKAB. 3. Kebijakan Pemanfaatan Mengarahkan dan mendorong penganekaragaman pemanfaatan dan teknologi batubara bersih. Memberikan perhatian lebih khusus kepada litbang dan investasi di bidang pemanfaatan lignite dan Coal Bed Melthane. Mendukung peran serta swasta yang ingin mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Mulut Tambang. Mengusulkan Penggunaan Dana Hasil Produksi Batubara yang 13,5% dari kontraktor PKP2B dan royalty dari pemegang KP terutama diprioritaskan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan batubara. Mendorong peningkatan nilai tambah dalam pemanfaatan batubara. 4. Kebijakan Pengembangan Mendorong pengembangan pemanfaatan batubara peringkat daerah (lignite), penambangan bawah tanah, pemanfaatan coal bed methane dan PLTU Mulut Tambang. Aspek konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara sudah tercakup dalam KBN. Namun sampai dengan saat ini, produksi batubara Indonesia masih tetap berada di atas tingkat produksi optimal. Sejalan dengan pengamanan pasokan batubara nasional diperlukan aturan teknis pengusahaan yang ditetapkan/dilegalkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kuantitas produksi batubara Indonesia. Sehingga dapat dihindari adanya pemborosan dan ketidak-efisienan dalam pemanfaatan sumberdaya. V.3. Aturan Pengusahaan Mendukung Konservasi Batubara Faktor konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara dapat diterjemahkan dalam peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mendukung pembatasan produksi batubara V - 4

5 Indonesia. Sasarannya adalah pembatasan pada ekspor batubara dan pemenuhan kebutuhan batubara nasional. Alasan dikenakan pada ekspor batubara karena produksi besar-besaran dilakukan adalah untuk mengejar keuntungan dari harga batubara luar negeri yang relatif lebih tinggi daripada harga batubara dalam negeri. Sedangkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri adalah dalam rangka mengakomodasi pertumbuhan ekonomi optimal yang akan membuat intensitas energi Indonesia konvergen dengan intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik. Beberapa skema kebijakan dan perpajakan yang dapat diterapkan sejalan dengan pelaksanaan konservasi batubara nasional antara lain : 1. Kuota Ekspor Batubara 2. Pajak/Tarif Ekspor Batubara 3. Penentuan Tingkat Produksi Optimal Perusahaan 4. Domestic Market Obligation V.3.1. Kuota Ekspor Kuota ekspor merupakan pembatasan jumlah fisik terhadap barang yang keluar. Tujuan yang ingin dicapai dengan menerapkan kuota ekspor antara lain : Mencegah barang-barang yang penting bagi negara dikuasai oleh negara lain. Menjamin tersedianya barang-barang di dalam negeri dalam proporsi yang cukup. Mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga guna mencapai stabilisasi harga. Kuota ekspor biasanya dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai stategis bagi negara, seperti timah, batubara, aluminium, dll. Namun pada perkembangannya, kuota ekspor juga diterapkan pada komoditas lain yang terbarukan. Sebagai contoh, Kementrian Perikanan dan Daerah Pesisir di Norway telah memutuskan untuk mengenakan kuota ekspor untuk ikan dan produk perikanan mulai 1 Juni Kuota ekspor akan membatasi perikanan pantai dan produk perikanan dari pemancingan yang dapat diekspor dari Norway mencapai 15 Kg per orang. Tujuannya adalah agar ikan yang berada di daerah pesisir tetap ada selama musim panas. Karena sektor pariwisata dan pengangkutan di daerah pesisir dapat menimbulkan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat di daerah pesisir. V - 5

6 Untuk komoditas mineral, kuota ekspor telah diterapkan. Salah satu contoh negara yang menerapkan kuota ekspor untuk komoditas mineral adalah China. Pada tahun 2005, Kementrian Perdagangan China mengeluarkan daftar komoditas meliputi logam ferrous dan nonferrous yang memerlukan pengawasan kuota ekspor pada tahun Komoditas mineral yang terdapat dalam daftar monitor pemerintah antara lain, ammonium paratungstate, bauksit dan refractory clay, batubara, kokas, konsentrat antimony, timah, tungsten, seng, fluorspar, oksida antimoni, magnesium, platina, dan mineral tanah jarang. Produk antimony harus terdaftar dan diekspor melalui pelabuhan dari Guangxi Zhuangzhu, Huangpo di Propinsi Guangdong, dan Tianjin. Pelabuhan Dalian di Propinsi Liaoning didesain sebagai pelabuhan untuk ekspor magnesium. Pelabuhan lain yang dapat digunakan untuk ekspor magnesium antara lain melalui Pelabuhan Changchun di Propinsi Jilin, Manshouli di Propinsi Heilongjiang, dan Qingdao di Propinsi Shanding. Pemerintah China melakukan penyesuaian kuota ekspor untuk tahun 2005 antara lain, batubara 80 juta ton, kokas 14 juta ton, magnesium 1,4 juta ton, fluorspar 750 ribu ton, talk 650 ribu ton, seng dan produk seng 520 ribu ton, antimony dan produk antimony ton, timah dan produk timah 57 ribu ton (Mineral Industry of China 2005, USGS). Dalam kelanjutannya, pada tahun 2006 untuk kuota ekspor timah disebutkan bahwa Menteri Perdagangan China mengumumkan pemotongan kuota ekspor untuk timah dan produk timah pada tahun 2007 menjadi ton (Mineral Industry Survey 2006, USGS). Kuota ekspor yang ditetapkan di China pada komoditas-komoditas di atas disebabkan karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat untuk keperluan pengembangan industrinya. Kuota ekspor dapat dipertimbangkan untuk menjadi kebijakan dalam mendukung konservasi batuabara nasional. Penetapan kuota ekspor akan menyebabkan produsen batubara membatasi produksi batubaranya. Karena produksi terlalu banyak, maka akan menyebabkan persaingan pada pasar dalam negeri sehingga menjadikan harga batubara dalam negeri menjadi rendah sementara produksi tidak bisa dijual ke pasar internasional. Seandainya digunakan kuota ekspor untuk mengontrol produksi batubara, sebaiknya ditetapkan sesegera mungkin. Karena hasil peramalan menunjukkan tingkat produksi batubara yang optimal selalu di bawah tingkat produksi pasar. Kerugian yang timbul karena keberadaan kuota ekspor dapat dilihat pada ilustrasi di Gambar V.2. V - 6

7 Gambar V.2. Kurva Permintaan Penawaran Pada Pemberlakuan Kuota Ekspor Pada negara A keseimbangan permintaan dan penawaran terhadap komoditas dicapai pada saat terjadi perpotongan kurva permintaan dan penawaran, yaitu tingkat harga P 0 dan jumlah komoditas Q 0. Pemberlakuan kuota ekspor, akan mengurangi kuantitas ekspor menjadi Q 1. Pada jumlah komoditas Q 1 produsen dalam negeri hanya mau menerima harga sebesar P 1, sementara itu konsumen di luar negeri bersedia untuk membayar sebesar P 1 karena semakin sedikitnya jumlah barang. Akibatnya akan terdapat kerugian sebesar P 1 P 1 LK yang akan ditanggung oleh produsen di dalam negeri, apabila ternyata kuantitas sebesar P 1 P 1 dapat dipenuhi oleh produsen lain di luar negeri. V.3.2. Pajak/Iuran Ekspor Pemberlakuan pajak/iuran ekspor dapat menjadi sarana kebijakan perpajakan yang mendukung pelaksanaan konservasi batubara nasional. Pajak tersebut tidak dipungut berdasarkan kemampuan untuk membayar (ability to pay), namun dipungut pada setiap ton batubara yang diekspor, sehingga termasuk dalam biaya produksi. Alasan pengenaan pajak diilustrasikan dalam Gambar V.3. Pajak yang dipungut sebagai biaya produksi akan meningkatkan biaya marginal dari produksi. Sehingga kurva supply akan bergeser ke arah atas sebesar unit pajak dan titik keseimbangan berbesar dari titik X menjadi titik K. Keseimbangan di titik K dicapai pada tingkat produksi Q 1 dan tingkat harga P 1. Akibatnya pemungutan pajak akan meningkatkan tingkat harga komoditas dan menurunkan kuantitas barang yang diproduksi apabila dibandingkan terhadap sebelum pajak dikenakan. V - 7

8 Gambar V.3. Pengaruh Pajak Pada Tingkat Produksi Berdasarkan penjelasan di atas, secara teoritis pajak yang dalam hal ini adalah pajak ekspor dapat digunakan untuk membatasi produksi. Alasan mengapa pajak dikenakan pada ekspor adalah sama halnya dengan pemberlakuan kuota ekspor. Yaitu karena kenaikan produksi disebabkan oleh daya tarik harga batubara internasional. Disamping itu, pajak ekspor dapat digunakan untuk menjamin ketersediaan pasokan batubara domestik. Namun pemberlakuan pajak, dapat menyebabkan kerugian/dis-insentif. Kerugian yang ditimbulkan adalah berupa pengurangan surplus ekonomi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5.4. Total kehilangan dari surplus ekonomi yang disebabkan oleh pengenaan pajak (deadweight loss) adalah gambar segitiga yang diarsir pada Gambar V.4. Penawaran + Pajak Penawaran Harga P1" P P1' Total Kehilangan Karena Pajak Permintaan Q1 Q Kuantitas Gambar V.4. Pengurangan Surplus Ekonomi Karena Pajak V - 8

9 Untuk saat ini, terdapat beberapa hambatan dalam pemberlakuan pajak ekspor batubara di Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor pada produksi batubara akan membawa Indonesia pada arah yang berlawanan dengan evolusi perpajakan pada sumberdaya mineral yang terjadi pada masa sekarang. Pada saat ini terdapat kecenderungan dari negara-negara besar untuk mengurangi atau bahkan meniadakan pajak ekspor komoditas mineral. Pajak ekspor hanya dapat berlaku secara efektif guna mendukung konservasi batubara nasional untuk jangka pendek saja. Untuk jangka panjang, pajak tersebut dapat mengurangi keinginan perusahaan tambang untuk melakukan eksplorasi dan pembangunan tambang baru. Akibatnya pada jangka panjang, keuntungan yang diperoleh negara akan berkurang. Untuk di Indonesia penggunaan pajak ekspor tidak dapat serta merta diterapkan. Hal tersebut disebabkan lex spesialist pada sistem perpajakan mineral dan batubara di Indonesia. Sehingga tidak bisa diterapkan sewaktu-waktu pada saat kontrak kerjasama sedang berjalan. Sistem pajak ekspor batubara mungkin bisa diterapkan pada Kuasa Pertambangan batubara yang akan disepakati antara pemerintah dengan investor tambang batubara. Namun sebaiknya tetap memperhatikan dampak kumulatif yang ditimbulkan oleh sistem perpajakan secara keseluruhan. V.3.3. Pengawasan Tingkat Produksi Optimal Perusahaan tambang selalu berkeinginan dan termotivasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari produksi sumberdaya bahan tambang. Keuntungan merupakan selisih antara pendapatan karena harga dari produk dengan biaya produksi dari faktor produksi untuk mengusahakan produk. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar tidak jarang suatu perusahaan menaikkan kapasitas produksinya. Terdapat konsep yang perlu diperhatikan oleh perusahaan termasuk juga perusahaan tambang jika ingin memperoleh keuntungan yang maksimal. Konsep tesebut adalah The Law of Diminishing Return /hukum hasil yang semakin berkurang. The Law of Diminishing Return menyatakan bahwa jika masukan/input meningkat (dengan asumsi masukan yang lain tetap) pada suatu titik akhirnya akan dicapai kondisi dimana penambahan input faktor produksi tidak akan lagi memberikan penambahan marginal output. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar V.5. V - 9

10 Keluaran per Periode Waktu A B C Tenaga Kerja per Periode Waktu Gambar V.5. The Law of Diminishing Return Dari ilustrasi tersebut diperlihatkan bahwa, pada titik A penggunaan tenaga kerja sebanyak 4 orang dapat menghasilkan keluaran sebesar 40 sehingga rata-rata 1 pekerja menghasilkan 10 output. Pada penambahan 2 tenaga kerja berikutnya masih memberikan kenaikan output, yaitu pada titik B dimana setiap penambahan pekerja akan menghasilkan output sebanyak 15 unit. Namun kondisi tersebut berkebalikan pada penambahan kerja berikutnya. Pada titik C, setiap penambahan tenaga kerja akan menghasilkan output sebesar 7 unit. Sehingga bisa diidentifikasi bahwa penambahan tenaga kerja dari 1 sampai 6 orang pekerja akan memberikan kenaikan jumlah output marginal. Namun penambahan pekerja dari 6 orang menjadi 7 orang dan seterusnya tidak memberikan kenaikan jumlah output marginal lagi. Untuk mengetahui jumlah output optimal berdasarkan The Law of Diminishing Return adalah dengan menganalisis komponen pendapatan (revenue) dan biaya (cost). Tingkat produksi optimal dicapai ketika pendapatan marginal sama dengan biaya marginal. Ilustrasi mengenai tingkat produksi optimal dapat dilihat pada Gambar V.6. V - 10

11 Biaya MC ATC AVC D A Harga C B Gambar V.6. Tingkat Produksi Optimal Q Keluaran Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat produksi optimal dicapai pada saat kuantitas sebesar Q. Pada produksi sejumlah tersebut, keuntungan yang dicapai oleh perusahaan berada di tingkat maksimal (gambar segi empat ABCD). Jadi pada saat pendapatan marginal sama dengan biaya marginal, perusahaan memperoleh tingkat keuntungan maksimal. Tingkat produksi optimal tersebut dapat diatur oleh pemerintah kepada perusahaan tambang pemegang KP atau PKP2B. Mekanismenya adalah melalui pengawasan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja) tahunan yang diajukan oleh pemegang PKP2B dan KP setiap awal tahun produksi. Selain itu bagi pemegang PKP2B dan KP yang ingin menaikkan kapasitas produksinya perlu diawasi dengan ketat dalam hal tingkat produksi optimalnya dan daya dukung lingkungan karena peningkatan produksi. Instrumen yang diperlukan oleh pemerintah untuk mengawasi tingkat produksi optimal adalah indeks harga batubara (Coal Price Index). Dengan menggunakan indeks tersebut pemerintah dapat memberi masukan sekaligus pengawasan tingkat produksi dari pemegang PKP2B dan KP berdasarkan biaya produksi masing-masing dan harga yang ditentukan berdasarkan harga indeks. Saat ini harga yang menjadi tolak ukur dalam penentuan harga batubara Indonesia adalah harga jual batubara Australia ke Jepang. Akibatnya, indeks harga yang menjadi tolak ukur tidak mencerminkan harga jual batubara Indonesia yang sebenarnya. Untuk itu perlu disusun indeks harga batubara Indonesia (Indonesia Coal V - 11

12 Price Index) yang lebih mencerminkan harga jual batubara Indonesia yang sebenarnya pada berbagai jenis kualitas batubara. V.3.4. Domestic Market Obligation Domestic Market Obligation (DMO) adalah kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pemegang KP dan PKP2B untuk memenuhi kebutuhan/pasokan batubara dalam negeri. Tujuan ditetapkannya DMO adalah untuk menjamin pasokan batubara di dalam negeri. Selain itu dengan terjaminnya pasokan batubara dalam negeri, maka akan dapat mendorong tumbuhnya industri nasional. DMO dapat diterapkan melalui mekanisme seperti pengaturan harga jual batubara dalam negeri. Sehingga dapat meningkatkan ketertarikan dari produsen untuk menjual produk batubara ke dalam negeri. Beberapa langkah yang dapat digunakan untuk membentuk harga jual yang menarik adalah: Menetapkan harga jual batubara dalam negeri sama dengan harga batubara di pasar internasional. Menetapkan Indonesian Coal Price Index. Untuk mendukung langkah di atas, diperlukan instrumen-instrumen pendukung. Instrumen tersebut dapat berbentuk sistem perpajakan ataupun kebijakan. Pajak ekspor seperti yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu instrumen perpajakan yang dapat digunakan dalam DMO. Sementara itu penetapan kuota ekspor batubara merupakan contoh instrumen kebijakan untuk pelaksanaan DMO. Dalam pelaksanaannya DMO diberlakukan kepada pemegang PKP2B. Karena pada saat ini lebih dari 80% produksi batubara Indonesia dilakukan oleh pemegang PKP2B. Dan hampir sebagian besar produksinya dijual ke pasar internasional. Dengan menerapkan DMO, maka ekspor batubara dari pemegang PKP2B akan berkurang dan dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri. V.4. Pengembangan Sektor Sektor pertambangan batubara saat ini belum mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang tinggi terhadap sektor-sektor yang lain. Hal tersebut disebabkan masukan V - 12

13 yang diperlukan dan keluaran dari sektor tersebut belum banyak digunakan oleh sektorsektor yang lain. Akibatnya, keberadaan sektor tersebut belum dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi secara maksimal. Berdasarkan hasil prediksi yang telah dilakukan pada bahasan sebelumnya didapatkan hasil bahwa agar dapat menggunakan energi secara optimal, maka pertumbuhan ekonomi harus mencapai 7,48% per tahun. Pada pertumbuhan ekonomi sejumlah tersebut diperlukan batubara sebesar 346 juta ton pada tahun Penggunaan batubara sejumlah itu akan berdampak diperlukannya pengembangan sektor-sektor tertentu yang mempunyai keterkaitan langsung dengan sektor pertambangan batubara, sehingga sektor tersebut dapat menggunakan batubara yang diproduksi. Berdasarkan model I-O tahun 2000 diketahui bahwa sektor-sektor yang menggunakan output dari sektor pertambangan batubara antara lain: 1. Sektor listrik, gas, dan air minum 2. Sektor industri 3. Sektor pertambangan dan penggalian lainnya 4. Sektor pengangkutan dan komunikasi 5. Sektor peternakan Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan produksi batubara, maka sektor-sektor tersebut perlu didorong agar dapat menghasilkan output yang lebih besar melalui investasi. Peningkatan kapasitas output akan meningkatkan kebutuhan batubara yang menjadi input dari sektor-sektor tersebut di atas. Jika dilihat dari nilai pengganda yang ditimbulkan, maka investasi yang dilakukan pada sektor-sektor di atas akan memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan pengganda surplus yang ditimbulkan termasuk besar dibanding sektor-sektor yang lainnya. Sektor listrik, gas, dan air minum, sektor industri, serta sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki pengganda surplus terbesar setelah sektor jasa dan sektor bangunan. Akibatnya investasi pada sektor tersebut akan dapat memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dibanding pada sektor yang lain. V - 13

14 Untuk dapat mengembangkan (mendorong investasi) sektor-sektor yang mempunyai pengganda surplus besar namun mempunyai keterkaitan yang besar terhadap sektor pertambangan batubara diperlukan instrumen kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut harus memberikan peluang untuk dapat berinvestasi pada sektor tersebut. Program pembangunan PLTU merupakan salah satu contoh dari kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sektoral dalam rangka pengoptimalan peran sektor pertambangan batubara. Yang perlu dipahami di sini adalah kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektoral tersebut mempunyai keterkaitan dengan kebijakan mengenai Domestic Market Obligation. Kedua kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara selaras dan saling mendukung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan pengembangan sektoral menangani optimasi peran batubara dari sisi permintaan (demand). Sementara itu, kebijakan dalam hal DMO menangani optimasi peran batubara dari sisi penyediaan (supply). V - 14

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Batubara telah digunakan sebagai sumber energi selama beratus-ratus tahun dan telah diperdagangkan secara internasional mulai jaman Kekaisaran Romawi. Batubara tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. dengan tambang mineral lainnya, menyumbang produk domestik bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Batubara menempati posisi strategis dalam perekonomian nasional. Penambangan batubara memiliki peran yang besar sebagai sumber penerimaan negara, sumber energi

Lebih terperinci

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN BATUBARA NASIONAL (KBN) Oleh: Jeffrey Mulyono Ketua Umum APBI-ICMA

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN BATUBARA NASIONAL (KBN) Oleh: Jeffrey Mulyono Ketua Umum APBI-ICMA TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN BATUBARA NASIONAL (KBN) - 2003 Oleh: Jeffrey Mulyono Ketua Umum APBI-ICMA Gran Melia Jakarta, 22 Maret 2006 LINGKUP PAPARAN 1. PENDAHULUAN: 2. MAIN FEATURES KBN: a. Mengapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

INDONESIA MENUJU NET OIL EXPORTER

INDONESIA MENUJU NET OIL EXPORTER IATMI 520 PROSIDING, Simposium Nasional Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) 5 Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, 1618 November 5. INDONESIA MENUJU NET OIL EXPORTER Ir. Oetomo Tri Winarno,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Lebih terperinci

SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA

SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA BAB II SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA II.1. SUMBERDAYA BATUBARA Batubara merupakan bahan bakar fosil yang terbentuk dari sisa tumbuhan pada jaman prasejarah yang berubah bentuk. Pada awalnya

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS 3.1 Kerangka Pemodelan Kajian Outlook Energi Indonesia meliputi proyeksi kebutuhan energi dan penyediaan energi. Proyeksi kebutuhan energi jangka panjang dalam kajian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. - 2 - Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2

INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI. Sekretariat Badan Litbang ESDM 2 INDONESIAN 2050 PATHWAYS CALCULATOR SEKTOR PASOKAN ENERGI: PRODUKSI BATUBARA, MINYAK DAN GAS BUMI Andriani Rahayu 1 dan Maria Sri Pangestuti 2 1 Sekretariat Badan Litbang ESDM 2 Indonesian Institute for

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi energi nasional, dimana menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. produksi energi nasional, dimana menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara selain minyak dan gas bumi merupakan penyumbang terbesar produksi energi nasional, dimana menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

PERANAN MIGAS DALAM MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI

PERANAN MIGAS DALAM MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI PERANAN MIGAS DALAM MENDUKUNG KETAHANAN ENERGI Oleh : A. Edy Hermantoro Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas disampaikan pada : DISKUSI EVALUASI BLUE PRINT ENERGI NASIONAL PETROGAS DAYS 2010 Jakarta, 11

Lebih terperinci

Studi Tentang : TANTANGAN DAN PELUANG INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

Studi Tentang : TANTANGAN DAN PELUANG INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA Studi Tentang : TANTANGAN DAN PELUANG INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA (Dilengkapi UU Minerba NO. 4 TAHUN 2009) Maret, 2009 Kondisi harga minyak yang demikian tinggi baru saja terkoreksi tajam, tetapi belum

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

Analisa dan Diskusi. Neraca gas bumi

Analisa dan Diskusi. Neraca gas bumi BAB IV Analisa dan Diskusi IV.1 Neraca gas bumi Kajian tentang permintaan dan penyediaan gas bumi memperlihatkan bahwa terjadi kekurangan gas. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan yang tidak mampu

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN BATUBARA

KEBIJAKAN PENGELOLAAN BATUBARA KEBIJAKAN PENGELOLAAN BATUBARA ADHI WIBOWO Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Bali, 2015 POKOK BAHASAN I. KONDISI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin keamanan pasokan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan sumber daya mineral yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan dapat mendukung bagi perekonomian

Lebih terperinci

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL SEMINAR OPTIMALISASI PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN MENUJU KETAHANAN ENERGI YANG BERKELANJUTAN Oleh: DR. Sonny Keraf BANDUNG, MEI 2016 KETAHANAN

Lebih terperinci

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI

BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI BAB 4 INDIKATOR EKONOMI ENERGI Indikator yang lazim digunakan untuk mendapatkan gambaran kondisi pemakaian energi suatu negara adalah intensitas energi terhadap penduduk (intensitas energi per kapita)

Lebih terperinci

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keyakinan bahwa ekonomi global akan pulih dan industri manufaktur akan membaik membuat investor berspekulasi akan naiknya kebutuhan komoditas yang otomatis mendorong

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi mempunyai peranan yang sangat penting bagi sebuah bangsa. Beberapa peranan strategis energi antara lain sumber penerimaan negara, bahan bakar dan bahan baku

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan

Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi & Ketenagalistrikan DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Kebijakan Pemerintah Di Sektor Energi dan Pembangkitan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi memainkan perananan yang sangat vital dan strategis dalam pembangunan. Tanpa energi, tidak mungkin menjalankan berbagai aktivitas ekonomi seperti mengoperasikan

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil Temuan Analisis Simulasi Input-Output Sumbawa Barat dan Keunggulan Komparatif Wilayah

VI. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil Temuan Analisis Simulasi Input-Output Sumbawa Barat dan Keunggulan Komparatif Wilayah VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 6.1.1. Hasil Temuan Analisis Simulasi Input-Output Sumbawa Barat dan Keunggulan Komparatif Wilayah Secara ringkas hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : PRESIDEN RUPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi

Lebih terperinci

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO) IRIO memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa analisa. Kemampuan

Lebih terperinci

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah 48 V. DUKUNGAN ANGGARAN DALAM OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN BERBASIS SEKTOR UNGGULAN 5.1. Unggulan Kota Tarakan 5.1.1. Struktur Total Output Output merupakan nilai produksi barang maupun jasa yang dihasilkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, keberadaan pasar modal membantu kebutuhan pendanaan jangka

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, keberadaan pasar modal membantu kebutuhan pendanaan jangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasar modal merupakan sarana bertemunya antara permintaaan dan penawaran atas berbagai instrumen keuangan jangka panjang. Dari sudut pandang perusahaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fokus utama dari sebuah negara yang sedang berkembang. Menurut Waluyo (2008;

BAB I PENDAHULUAN. fokus utama dari sebuah negara yang sedang berkembang. Menurut Waluyo (2008; BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Telah kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang telah berkembang di dunia. Sehingga isu mengenai pembangunan nasional merupakan fokus

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya minyak dan gas bumi

Lebih terperinci

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat 1. INDIKATOR MAKRO 2010 2011 2012 No Indikator Makro Satuan Realisasi Realisasi Realisasi Rencana / Realisasi % terhadap % terhadap APBN - P Target 2012 1 Harga Minyak Bumi US$/bbl 78,07 111,80 112,73

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder berupa Tabel Input-Output Indonesia tahun 2008 yang diklasifikasikan menjadi 10 sektor dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan. meliputi semua yang terdapat dibumi baik yang hidup maupun benda mati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan. meliputi semua yang terdapat dibumi baik yang hidup maupun benda mati, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumber Daya Alam dan Energi dalam Pembangunan 2.1.1 Sumber Daya Energi Sumber daya adalah segala sesuatu yang berguna dan mempunyai nilai di dalam kondisi dimana kita menemukannya.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN

Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN Boks.1 MODEL PENGELOLAAN PERTAMBANGAN BATUBARA YANG BERKELANJUTAN PENDAHULUAN Menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam bidang pertambangan. Hal ini ditunjukkan oleh fakta

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI

PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral PP NO. 70/2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DAN MANAGER/AUDITOR ENERGI Oleh : Kunaefi, ST, MSE

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu

VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL. Indonesia ke luar negeri. Selama ini devisa di sektor pariwisata di Indonesia selalu VII. ANALISIS DAMPAK EKONOMI PARIWISATA INTERNASIONAL 7.1. Neraca Pariwisata Jumlah penerimaan devisa melalui wisman maupun pengeluaran devisa melalui penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri tergantung

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Latar Belakang 2.1.1 Definisi Batubara Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan III. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan hipotesis, melainkan hanya mendeskripsikan

Lebih terperinci

LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN. PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I

LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN. PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I LAPORAN KUNJUNGAN PANJA MINERBA KOMISI VII DPR RI KE PROVINSI LAMPUNG PENINJAUN TERMINAL BATUBARA TARAHAN PT. BUKIT ASAM (Persero) MASA PERSIDANGAN I TAHUN SIDANG 2017-2018 KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan Perkembangan Deregulasi 2015

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan Perkembangan Deregulasi 2015 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Laporan Perkembangan Deregulasi 2015 Jakarta, 22 September 2015 A. RPP Tempat Penimbunan Berikat, (D1) B. RPP Perubahan PP Nomor 23 Tahun 2010, (F3) C. RPerpres

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2013 No. 046/08/63/Th XVII, 2 Agustus 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2013 Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II-2013 tumbuh sebesar 13,92% (q to q) dan apabila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1 Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1 Perkembangan Pasar Minyak Dunia Harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan. Pada akhir bulan Oktober harga minyak mentah dunia menembus angka 90 dolar AS per

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH Maret 2010 Pada Maret 2010, sebagian besar indikator aktivitas ekonomi migas dan non migas terpilih mengalami pertumbuhan tahunan yang positif, dengan pertumbuhan tertinggi

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und No.1589, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Gas Bumi. Harga. Pemanfaatan. Penetapan Lokasi. Tata Cara. Ketentuan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Mendukung Pengentasan Kemiskinan melalui Perencanaan Energi Daerah di Indonesia

Mendukung Pengentasan Kemiskinan melalui Perencanaan Energi Daerah di Indonesia Mendukung Pengentasan Kemiskinan melalui Perencanaan Energi Daerah di Indonesia Keluaran No. 10: Pentunjuk Pembentukan Forum Energi Daerah Saleh Abdurrahman (Pusdatin - DESDM) Oetomo Tri Winarno (ITB)

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang di

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang di LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.300, 2014 SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5609) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pendapatan devisa negara dan khususnya untuk ekspor batubara selalu mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup dan kontinu sangat penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan

Lebih terperinci

POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015

POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015 POINTERS MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Dialog Energi Media Indonesia Indonesia & Diversifikasi Energi Menentukan Kebijakan Energi Indonesia 14 April 2015 Yang Saya Hormati: 1. Pimpinan Media Indonesia; 2.

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL Dasar Hukum RUEN UU No. 30/2007 Energi UU No.22/2001 Minyak dan Gas Bumi UU No.30/2009 Ketenagalistrikan PP No. 79/2014 Kebijakan Energi Nasional Perbaikan bauran

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lem

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lem No. 512, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Harga. Batubara. Penyediaan dan Penetaan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK

SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK SOLUSI KEBIJAKAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN GAS DOMESTIK OLEH : SATYA W YUDHA Anggota komisi VII DPR RI LANDASAN PEMIKIRAN REVISI UU MIGAS Landasan filosofis: Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam

Lebih terperinci

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom No. 316, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Gas Bumi. Alokasi, Pemanfaatan dan Harga. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL VISI: Terwujudnya pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand

V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO. Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand V. DAYA SAING, KETERKAITAN DAN SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN SEKTOR INDUSTRI AGRO 5.1. Struktur Industri Agro Komparasi sektor industri agro Indonesia dengan China dan Thailand diawali dengan meneliti persentase

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Pertambangan Batubara*

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Pertambangan Batubara* ICRA Indonesia Rating Feature January 2011 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Pertambangan Batubara* Ikhtisar Indonesia tercatat sebagai salah satu produsen batubara terbesar, eksportir batubara terbesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

2 Penetapan Harga Batubara Untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Re

2 Penetapan Harga Batubara Untuk Pembangkit Listrik Mulut Tambang; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Re No.449, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN ESDM. Penyediaan. Penetapan. Harga Batubara. Pembangkit Listrik Mulut Tambang. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN Pembangunan nasional tahun 2015-2017 menekankan kepada penguatan sektor domestik yang menjadi keunggulan komparatif Indonesia, yaitu ketahanan pangan

Lebih terperinci

SKENARIO KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA MENUJU TAHUN 2050

SKENARIO KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA MENUJU TAHUN 2050 SEMINAR NASIONAL SKENARIO KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA MENUJU TAHUN 2050 Periode 40 tahun ke depan bukan merupakan waktu yang panjang bagi penentuan masa depan sebuah negara dan bangsa. Berbagai keputusan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. Diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK. Apabila pemegang IUPK

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasardasar terjadinya perdagangan internasional

Lebih terperinci

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL

MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA MEMASUKI ERA ENERGI BARU TERBARUKAN UNTUK KEDAULATAN ENERGI NASIONAL Oleh: Kardaya Warnika Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Batubara merupakan bahan galian yang strategis dan salah satu bahan baku energi

BAB 1 PENDAHULUAN. Batubara merupakan bahan galian yang strategis dan salah satu bahan baku energi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan bahan galian yang strategis dan salah satu bahan baku energi nasional yang mempunyai peran yang besar dalam pembangunan nasional. Informasi mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tugas dari seorang manajer adalah mengambil keputusan secara tepat

BAB I PENDAHULUAN. Tugas dari seorang manajer adalah mengambil keputusan secara tepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tugas dari seorang manajer adalah mengambil keputusan secara tepat untuk perusahaan. Bagi seorang manajer keuangan, salah satu tugasnya adalah mengambil keputusan

Lebih terperinci

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA 2017 LAPORAN INDUSTRI INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA BAB I: PELUANG DAN TANTANGAN INDUSTRI BATUBARA 1 1.1. PELUANG INDUSTRI BATUBARA 2 1.1.1. Potensi Pasar 2 Grafik 1.1. Prediksi Kebutuhan Batubara untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Peramalan Peramalan pada dasarnya merupakan perkiraan atau dugaan mengenai terjadinya suatu kejadian atau peristiwa di waktu yang akan datang. Peramalan juga dapat

Lebih terperinci

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

6. HASIL DAN PEMBAHASAN 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Mengingat sejak bulan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2009 adalah salah satu publikasi tahunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Kontribusi batubara terhadap kebutuhan total energi dunia berkisar 23%.

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Kontribusi batubara terhadap kebutuhan total energi dunia berkisar 23%. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan sumber energi yang penting dan banyak digunakan di dunia. Kontribusi batubara terhadap kebutuhan total energi dunia berkisar 23%. Penggunaan batubara

Lebih terperinci

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan Focus Group Discussion Pendanaan Energi Berkelanjutan Di Indonesia Jakarta, 20 Juni 2013 Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

ERA BARU MIGAS INDONESIA:

ERA BARU MIGAS INDONESIA: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Temu Netizen ke-8 ERA BARU MIGAS INDONESIA: Investasi dan Kontrak Gross Split Migas Selasa, 20 Februari 2018 1 Realisasi dan Rencana Investasi Sektor Energi dan

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2-2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci