5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR"

Transkripsi

1 5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO 2 DI WILAYAH PESISIR Laju historis karbon sekuestrasi dan laju emisi CO 2 di wilayah pesisir yang dikaji pada bab ini merupakan hasil komparasi antara kawasan TN Sembilang dengan frontier area/fa (Kabupaten Banyuasin), yaitu suatu wilayah perbatasan yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan hutan konservasi. Data yang diperoleh merupakan hasil analisis dari berbagai literatur, penggalian informasi secara eksploratif, hasil analisis spasial dari citra landsat tahun 2003 dan 2006 maupun berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan. Secara substansial, analisis laju historis karbon sekuestrasi dan laju emisi antar dua wilayah ini pada prinsipnya untuk mencapai tujuan dan output penelitian meliputi : (1) Mengukur tingkat potensi karbon sekuestrasi dan laju emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. (2) Menganalisis indikator penggerak laju emisi karbon di kawasan pesisir 5.1 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Tingkat Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Pada sub bab ini menganalisis serangkaian citra multi temporal ( ) untuk menghasilkan informasi dinamika sistem tata guna lahan (land use and land use change and forestry) di kawasan pesisir terutama pada kawasan hutan mangrove TN Sembilang dan FA. Selanjutnya data informasi ini dapat digunakan sebagai data penduga deforestasi dan degradasi hutan untuk menganalisis laju emisi CO 2 di wilayah tersebut. Tujuan analisis deliniasi spasial ini adalah : (1) Untuk mendapatkan perubahan penggunaan ruang pesisir di kawasan TN Sembilang dan FA (Kabupaten Banyuasin) selama kurun waktu , yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini, (2) Memprediksi laju emisi CO 2 yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut maupun prediksi emisi CO 2 di masa datang, baik di kawasan TN Sembilang maupun di FA Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan di Frontier Area Hasil analisis komparasi citra satelit tahun 2003 dan 2006 menunjukkan dinamika sistem tata guna lahan yang mencakup perubahan tutupan vegetasi serta dinamika penggunaan lahan di seluruh wilayah Kabupaten Banyuasin serta kawasan TN

2 130 Sembilang. Data historis penggunaan lahan ini penting diketahui untuk mendapatkan informasi luas lahan terkonversi untuk kepentingan produktif lainnya serta luasan lahan hutan yang terdeforestasi maupun terdegradasi. Hasil analisis citra teridentifikasi berbagai liputan luas tutupan meliputi 18 jenis tutupan lahan tahun 2003 dan 19 jenis tutupan lahan tahun Pada citra tahun 2003 tidak teridentifikasi hutan tanaman dan padang rumput, sedangkan pada citra tahun 2006 tidak teridentifikasi area transmigrasi. Selama periode itu telah terjadi kenaikan dan penurunan fungsi kawasan, baik yang direncanakan (planned degradation) maupun yang tidak direncanakan (unplanned degradation). Perubahan tata guna lahan ini berada di semua fungsi kawasan, yaitu di areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi dapat dikonversi (HPK) maupun di hutan suaka alam (HSA). Hasil analisis deliniasi perubahan tata guna lahan dan sumberdaya pesisir di Kabupaten Banyuasin disajikan pada Tabel 17, Gambar 30 dan Gambar 31. Tata guna lahan yang mengalami kenaikan luas yaitu: tanah kosong (0,01%), perkebunan (3,72%), hutan tanaman (1,16%), tambak (0,12%), padang alangalang/sabana (10,53%), hutan rawa sekunder (10,27%), pemukiman (0,06%), serta badan air (0,17%). Sementara itu tata guna lahan yang mengalami penurunan luas yaitu : Belukar (-2,94%), pertanian lahan kering (-2,04%), pertanian lahan kering campuran dan belukar (-2,12%), tambang (-0,18%), hutan mangrove primer (-0,21%), hutan rawa primer (-4,86%), hutan lahan kering sekunder (-0,23%), hutan mangrove sekunder (- 0,08%), rawa (-9,19%), serta belukar rawa (-1,12%) sebagaimana disajikan pada Tabel 18.

3 131 Tabel 17 Pola tata guna lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada periode Tipe Tutupan Lahan (land cover) APL (ha) HL (ha) HP (ha) HPK (ha) HSA (ha) Grand Total (ha) Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Padang alang-alang. sabana (S) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Transmigrasi (Tr) Badan air (A) Grand Total Sumber: Diolah dari Citra Landsat 2003 dan 2006 serta berbagai data lainnya Keterangan: APL : Area Penggunaan Lain HL : Hutan Lindung HSA : Hutan Suaka Alam HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi Konversi

4 Gambar 30 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun

5 Gambar 31 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun

6 134 Tabel 18 Perubahan historis tata guna lahan pada periode di frontier area No Tipe Tutupan Lahan (land cover) Perubahan Tipe Tutupan Lahan Perubahan (%) (ha) (%) (ha) (%) 1 Tanah kosong (T) , ,68 0,01 2 Belukar (B) , ,98-2,94 3 Pertanian lahan kering (Pt) , ,58-2,04 4 Pertanian lahan kering dan belukar , ,25-2,12 (Pc) 5 Tambang (Tb) , ,14-0,18 6 Sawah (Sw) , ,41-1,31 7 Perkebunan (Pk) , ,46 3,72 8 Hutan tanaman (Ht) - 0, ,16 1,16 9 Tambak (Tm) , ,47 0,12 10 Hutan mangrove primer (Hmp) , ,04-0,21 11 Hutan rawa primer (Hrp) , ,01-4,86 12 Padang alang-alang, sabana (S) - 0, ,53 10,53 13 Hutan lahan kering sekunder (Hs) , ,10-0,23 14 Hutan mangrove sekunder (Hms) , ,76-0,08 15 Hutan rawa sekunder (Hrs) , ,94 10,27 16 Pemukiman (Pm) , ,33 0,06 17 Rawa-rawa (Rw) , ,75-9,19 18 Belukar rawa (Br) , ,19-1,12 19 Transmigrasi (Tr) ,74-0,00-1,74 20 Badan air (A) , ,24 0,17 Grand Total Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial (2010). Perubahan peningkatan alih fungsi untuk pemukiman terjadi pada kawasan hutan mangrove primer (93 ha), hutan rawa primer (12 ha), hutan lahan kering sekunder (55 ha), hutan mangrove sekunder (60 ha) dan hutan rawa sekunder (483 ha). Dengan demikian, total perubahan alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman sekitar 703 ha atau sekitar 234,33 ha th -1 (lihat Tabel 19). Penambahan luas pemukiman dari areal hutan ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Banyuasin dimana rata-rata laju pertumbuhan penduduknya mencapai 2,58% th -1. Selain itu juga Kabupaten Banyuasin merupakan daerah tujuan transmigrasi di Provinsi Sumatera Selatan. Namun demikian apabila dicermati lebih lanjut pada peta hasil deliniasi citra terdapat suatu hal yang kontradiktif dengan fenomena tersebut dimana areal fungsi transmigrasi seluas ha telah beralih fungsi menjadi areal hutan tanaman, perkebunan dan areal persawahan.

7 Tablel 19 Laju historis perubahan deforestasi dan degradasi hutan pada periode di frontier area 135 Penutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Penutupan Lahan 2006 Total Deforestasi dan Degradasi (ha) Laju deforestasi dan degradasi (ha th -1 ) (%) Keterangan Tanah kosong (T) 62 20,67 0,05 Deforestasi Belukar (B) ,00 0,16 Deforestasi Pertanian Lahan kering (Pc) 22 7,33 0,02 Deforestasi Tambang (Tb) 26 8,67 0,02 Deforestasi Sawah (Sw) ,33 0,24 Deforestasi Perkebunan (Pk) ,33 0,18 Deforestasi Hutan tanaman (Ht) ,33 0,43 Degradasi Tambak (Tm) ,33 0,18 Deforestasi Sabana (S) ,33 3,04 Deforestasi Hutan mangrove sekunder ,00 7,75 Degradasi (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) ,00 1,48 Degradasi Pemukiman (Pm) 93 31,00 0,07 Deforestasi Rawa-rawa (Rw) 22 7,33 0,02 Deforestasi Belukar rawa (Br) ,67 4,93 Deforestasi Badan air (A) ,00 2,31 Deforestasi Belukar (B) ,67 0,16 Deforestasi Pertanian lahan kering dan ,00 0,08 Deforestasi belukar (Pc) Perkebunan (Pk) ,00 0,63 Deforestasi Sabana (S) ,00 0,26 Deforestasi Hutan mangrove sekunder ,67 0,62 Deforestasi (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) ,67 41,97 Degradasi Pemukiman(Pm) 12 4,00 0,01 Deforestasi Rawa-rawa (Rw) 95 31,67 0,07 Deforestasi Belukar rawa (Br) ,00 1,01 Deforestasi Belukar (B) 22 7,33 0,02 Deforestasi Pertanian lahan kering (Pt) 37 12,33 0,03 Deforestasi Pertanian lahan kering dan ,00 1,34 Deforestasi belukar (Pc) Perkebunan (Pk) ,00 1,58 Deforestasi Pemukiman (Pm) 55 18,33 0,04 Deforestasi Belukar rawa (Br) 47 15,67 0,04 Deforestasi Belukar (B) 60 20,00 0,05 Deforestasi Sawah (Sw) ,00 0,11 Deforestasi Tambak (Tm) 9 3,00 0,01 Deforestasi Sabana (S) ,67 1,31 Deforestasi Hutan rawa sekunder (Hrs) 7 2,33 0,01 Deforestasi Pemukiman (Pm) 60 20,00 0,05 Deforestasi Rawa-rawa (Rw) ,67 0,15 Deforestasi Belukar rawa (Br) ,67 0,99 Deforestasi Badan air (A) ,67 0,36 Deforestasi

8 136 Tabel 19 (lanjutan) Penutupan Lahan 2003 Hutan rawa sekunder (Hrs) Penutupan Lahan 2006 Total Deforestasi dan Degradasi (ha) Laju deforestasi dan degradasi (ha th -1 ) (%) Keterangan Tanah kosong (T) 94 31,33 0,07 Deforestasi Belukar (B) ,00 2,72 Deforestasi Pertanian lahan kering (Pt) ,67 0,63 Deforestasi Pertanian lahan kering dan ,00 0,12 Deforestasi belukar (Pc) Sawah (Sw) ,00 0,36 Deforestasi Perkebunan (Pk) ,33 3,10 Deforestasi Hutan tanaman (Ht) ,33 3,58 Degradasi Tambak (Tm) ,67 0,88 Deforestasi Sabana (S) ,67 2,81 Deforestasi Pemukiman (Pm) ,00 0,37 Deforestasi Rawa-rawa (Rw) ,00 3,93 Deforestasi Belukar rawa (Br) ,33 9,41 Deforestasi Badan air (A) ,33 0,27 Deforestasi TOTAL ,33 100,00 Total Deforestasi ,79 Total Degradasi ,21 Total konversi untuk hutan tanaman ,02 Total konversi untuk perkebunan ,50 Total konversi untuk tambak ,07 Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial Kabupaten Banyuasin (2010) Hasil analisis menunjukkan dimana jumlah areal berhutan yang terdeforestasi dan terdegradasi di FA selama periode sekitar ha atau rata-rata sekitar ,33 ha th -1. Dari luasan tersebut, jumlah areal yang terdeforestasi sekitar ha (44,79%) dengan laju deforestasi rata-rata tahunan sekitar ha th -1. Sementara itu luas areal terdegradasi sekitar ha (55,21%) dengan laju degradasi rata-rata tahunan sekitar ha th -1. Selama periode 2003 dan 2006 perubahan fungsi hutan terbesar adalah terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder seluas ha (41,97%), sedangkan deforestasi terbesar terjadi pada hutan rawa sekunder seluas ha (24,66%) untuk berbagai kepentingan pertanian serta adanya perubahan fungsi hutan menjadi rawa-rawa, belukar rawa, sabana dan perubahan fungsi hutan lainnya. Sementara itu hutan mangrove primer terdeforestasi sebesar ha (11,22%) menjadi areal penggunaan lainnya (lihat Gambar 32).

9 137 Degradasi hutan rawa sekunder (Hrs), (3,58%) Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp), (11,22%) Deforestasi hutan rawa primer (Hrp), (2,84%) Deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs), (3,04%) Degradasi hutan rawa primer (Hrp), (41,97%) Degradasi hutan mangrove primer (Hmp), (9,66%) Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs), (24,66%) Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms), (3,02%) Gambar 32 Deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode (ha). Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan TN Sembilang menunjukkan bahwa terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder terjadi karena frekuensi kebakaran cukup tinggi. Kebakaran hutan dan lahan telah terjadi berulang kali antara , baik di dalam maupun di sekitar TN Sembilang. Kebakaran juga telah mendegradasi hutan rawa gambut yang luas di selatan dan barat kawasan. Beberapa kasus kebakaran ini berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan terutama untuk areal hutan tanaman industri dan kebun sawit. Data hasil analisis deliniasi spasial antara menunjukkan dimana sekitar ha (4,02%) telah dikonversi untuk hutan tanaman industri (HTI). Konversi ini berasal dari hutan mangrove primer seluas 559 ha dan dari hutan rawa sekunder sekitar ha. Konversi untuk areal perkebunan sawit seluas ha (5,5%) berasal dari konversi hutan mangrove primer 229 ha, dari hutan rawa primer 822 ha, dari hutan lahan kering sekunder ha dan dari hutan rawa sekunder seluas ha. Sementara itu konversi untuk areal tambak seluas ha (1,07%), berasal dari konversi hutan mangrove primer 235 ha, dari hutan mangrove sekunder 9 ha dan dari hutan rawa sekunder ha. Apabila diperhatikan luas areal konversi yang direncanakan (planned deforestation) untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan tambak secara total selama periode seluas ha, secara prosentase sekitar 9,22 % relatif kecil. Akan tetapi konversi ini diprediksi dapat mengganggu fungsi biologi ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan. Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi di FA sebagian besar disebabkan oleh konversi yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) sebesar 90,88%. Hal ini terjadi sebagai akibat tekanan penduduk maupun faktor alam. Fakta lapangan menunjukkan kecenderungan pengelolaan hutan

10 138 tanaman dan perkebunan pada umumnya melakukan penggalian kanal-kanal. Hal ini diprediksi dapat mempengaruhi sistem tata air lahan gambut menjadi kering dan rentan kebakaran. Perubahan fungsi kawasan hutan ini perlu diantisipasi dampaknya dikemudian hari. Terutama hutan rawa gambut memiliki kandungan organik yang tinggi dan berfungsi sebagai cadangan karbon terbesar di daratan. Apabila terganggu keberadaannya dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem setempat terutama dalam hal anomali iklim Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan Mangrove di Dalam Kawasan TN Sembilang Hasil analisis deliniasi citra landsat tahun 2003 dan 2006 di dalam kawasan TN Sembilang telah terjadi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir sebesar ha dengan laju rata-rata tahunan sebesar ha th -1. Perubahan terbesar terjadi akibat penurunan kualitas sumberdaya pesisir (degradasi hutan mangrove) seluas ha (69%), sedangkan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi) sebesar ha (31%). Sebagian besar dari degradasi sumberdaya itu terjadi pada penurunan kualitas hutan rawa primer (Hrp) menjadi hutan rawa sekunder (Hrs) seluas ha (59,64%), kemudian kawasan yang terdeforestasi terbesar adalah perubahan hutan mangrove primer (Hmp) menjadi berbagai bentuk penutupan lahan seperti belukar (B), perkebunan (Pk), tambak (Tm), sabana (S), rawarawa (Rw), belukar rawa (Br) dan badan air (A) sejumlah ha (19%). Hasil deliniasi spasial di dalam kawasan pesisir TN Sembilang, secara rinci disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 33. Tablel 20 Laju historis deforestasi dan degradasi hutan pada periode di dalam kawasan pesisir TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Tipe Tutupan Lahan 2006 Total def. dan degr. (ha) Laju def. dan degr. (ha th -1 ) % Keterangan Hutan mangrove primer (Hmp) Belukar (B) 200,61 66,87 0,45 Deforestasi Perkebunan (Pk) 62,84 20,95 0,14 Deforestasi Tambak (Tm) 300,00 100,00 0,67 Deforestasi Sabana (S) 3.062, ,91 6,86 Deforestasi Hutan mangrove sekunder 5.034, ,26 11,28 Degradasi (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) 162,83 54,28 0,36 Degradasi Rawa-rawa (Rw) 11,63 3,88 0,03 Deforestasi Belukar rawa (Br) 2.759,11 919,70 6,18 Deforestasi Badan air (A) 2.196,17 732,06 4,92 Deforestasi

11 139 Tabel 20 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan rawa primer (Hrp) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Tipe Tutupan Lahan 2006 Total def. dan degr. (ha) Laju def. dan degr. (ha th -1 ) % Keterangan Sabana (S) 300,34 100,11 0,67 Deforestasi Hutan rawa sekunder (Hrs) , ,73 57,19 Degradasi Rawa-rawa (Rw) 261,00 87,00 0,58 Deforestasi Belukar rawa (Br) 73,04 24,35 0,16 Deforestasi Sawah (Sw) 7,55 2,52 0,02 Deforestasi Tambak (Tm) 1.550,00 516,67 3,47 Deforestasi Sabana (S) 1.156,32 385,44 2,59 Deforestasi Rawa-rawa (Rw) 197,41 65,80 0,44 Deforestasi Belukar rawa (Br) 116,44 38,81 0,26 Deforestasi Badan air (A) 331,75 110,58 0,74 Deforestasi Belukar (B) 30,31 10,10 0,07 Deforestasi Sawah (Sw) 2,50 0,83 0,01 Deforestasi Belukar rawa (Br) 1.262,84 420,95 2,83 Deforestasi Badan air (A) 26,11 8,70 0,06 Deforestasi TOTAL , , Total Deforestasi Total Degradasi Total konversi untuk sawah 10,04 3,35 0,02 Total konversi untuk perkebunan 62,84 20,95 0,14 Total konversi untuk tambak ,67 4,15 Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial wilayah pesisir TN Sembilang (2010). Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) (19,26%) Deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 634 (1,42%) Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) (7,53%) Degradasi hutan rawa primer (Hrp) (57,19%) Degradasi hutan mangrove primer (Hmp) (11,65%) Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) (2,96%) Gambar 33 Deforestasi dan degradasi hutan di wilayah pesisir TN Sembilang periode (ha) Hasil deliniasi tata guna lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang teridentifikasi dimana fungsi kawasan hutan yang terdeforestasi menjadi areal tambak sekitar ha atau sekitar 617 ha th -1. Perubahan fungsi hutan untuk tambak ada perbedaan luasan bila dibandingkan dengan kondisi lapangan. Berdasarkan data (TN Sembilang 2009) pada kawasan ini sampai pada saat penelitian dilakukan masih ada

12 140 areal tambak sekitar ha. Dengan demikian terdapat selisih luasan tambak antara hasil analisis citra dengan hasil ground check sekitar 163 ha (8%). Hal ini terjadi karena deliniasi dilakukan terhadap citra satelit tahun 2003 dan 2006 (waktu referensi baseline study deforestasi dan degradasi hutan), sedangkan survey lapangan dilakukan pada tahun 2009 dan Apabila menggunakan data hasil ground check tersebut, maka selama tiga tahun terakhir ( ) terjadi penambahan luas areal tambak sekitar 163 ha atau rata-rata sekitar 54 ha th -1 (lihat Gambar 34). Gambar 34 Perambahan fungsi hutan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang oleh masyarakat untuk pengembangan tambak (warna merah menunjukkan areal perambahan) (Sumber: TN Sembilang 2009) Perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove di kawasan TN Sembilang terjadi selain akibat tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam itu, juga sebagai akibat faktor alam. Pada tahun 1997 pernah terjadi kebakaran cukup besar, tetapi seluruhnya berada di luar kawasan TN Sembilang, yaitu di kawasan transmigrasi Karang Agung antara Sungai Sembilang dan Sungai Lalang. Vegetasi bekas kebakaran juga terlihat di Semenanjung Banyuasin dan juga diantara Sungai Terusan Luar dan Sungai Benu. Berdasarkan analisis citra satelit serta informasi dari TN Sembilang dan masyarakat, kebakaran juga pernah terjadi di bagian tengah Pulau Betet serta bagian timur Pulau Alanggantang Penyebab seringnya kebakaran hutan di kawasan ini teridentifikasi adanya pembuatan parit secara ekstensif pada hutan rawa. Berdasarkan informasi, konversi ini

13 141 dilakukan oleh para pengusaha perkebunan sawit, hutan tanaman industri maupun oleh masyarakat terutama para transmigran. Pembuatan parit ini dapat menyebabkan akses menuju hutan lebih mudah serta dapat menurunkan muka air tanah, sehingga dampaknya lebih rentan terhadap kebakaran. Gambar 35 berikut adalah gambaran sebaran titik api yang terjadi pada tahun Minggu I September 1997 Minggu II September 1997 Minggu III September 1997 Minggu IV September 1997 Gambar 35 Sebaran titik api (hot spot) yang terekam selama kebakaran hutan tahun 1997 (Catatan: titik hitam menunjukkan hot spot pada kejadian minggu sebelumnya) (data dari EU-FFPCP dalam Dephut 2002) Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Analisis tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir didasarkan pada data historis pola pemanfaatan ruang maupun berdasarkan analisis allometrik. Hasil pengukuran biomassa pada skala plot berbagai tipe tutupan lahan dengan menggunakan persamaan (3.9) dan persamaan (3.10) hasilnya adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Sementara itu data hipotetik carbon stock yang

14 sudah dilakukan dan dapat digunakan sebagai acuan analisis dalam studi ini disajikan pada Tabel Tabel 21 Hasil pengukuran biomassa dan stok karbon pada berbagai tipe tutupan lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang dan sekitarnya No Tipe tutupan lahan Biomassa (ton ha -1 ) Stok karbon (tc ha -1 ) (0,5*Biomassa) *) 1 Hutan mangrove primer 454,67 227,33 2 Hutan mangrove sekunder 204,41 102,20 3 Hutan kebun 151,79 75,89 4 Semak berawa 34,69 17,34 Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004) Sumber: Hasil analisis allometrik pada skala plot (2010) Tabel 22 Perbandingan data stok karbon hasil penelitian pada studi ini serta hipotetik yang digunakan pada berbagai tipe tutupan lahan No Tipe Tutupan Lahan Biomassa Stok Karbon (ton ha -1 ) (tc ha -1 ) *) Sumber 1. Hutan Mangrove Primer * 454, ,03 421,5 227, ,51 210,75 Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Kusmana et al. (1992) Komiyama et al. (2008) 2. Hutan Gambut Primer * Istomo et al. (2006) 3. Hutan Lahan Kering Primer * CER Indonesia (2009) 4. Hutan Lahan Kering Sekunder * Wasrin et al., Hutan Mangrove Sekunder * 204, , Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) 6. Hutan Gambut Sekunder * Istomo et al. (2006) 7. Belukar rawa ** 34, ,34 20 Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) 8. Pertanian Lahan Kering** 10 5 Murdiyarso et al.(2005) 9. Pertanian campuran (dryland and Wasrin et al. (2000) bushes) ** 10. Padi sawah ** 8 4 Wasrin et al. (2000) 11. Perkebunan * Wasrin et al. (2000) 12 Hutan tanaman * 151, ,89 59 Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) 13 Padang rumput, pemukiman, transmigrasi ** 6 3 Wasrin et al. (2000) Keterangan : * : Lahan berhutan ; ** : Lahan Tidak Berhutan. *) Konstanta : 0,5 : koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004) data Tabel 21 merupakan hasil pengukuran tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada studi ini dan merupakan hasil analisis berdasarkan fungsi allometrik pengukuran biomassa pada skala plot di areal hutan mangrove primer (Hmp), hutan mangrove sekunder (Hms), hutan kebun dan semak belukar rawa. Sementara itu Tabel 22 merupakan stok karbon untuk mengukur laju emisi pada berbagai tipe hutan di luar ke empat fungsi hutan tersebut di atas yang digunakan berdasarkan pendekatan hasil penelitian sebelumnya.

15 Laju Historis Potensi Emisi CO 2 di Frontier Area Tingkat potensi emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi hutan dihitung menggunakan persamaan (3.11), persamaan (3.12) dan persamaan (3.13). Hasil analisis spasial dan fungsi allometrik menunjukkan bahwa laju deforestasi dan degradasi hutan mangove di FA periode rata-rata sebesar ha th -1 dengan laju emisi CO 2 tahunan rata-rata sekitar 11,25 MtCO 2 th -1. Laju emisi terbesar berasal dari perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan kosong (deforestasi) sebesar 7,17 MtCO 2 th -1 (64%) sedangkan laju emisi akibat perubahan kualitas sumberdaya hutan (degradasi) sebesar 4,08 MtCO 2 th -1 (36%). Laju peningkatan emisi deforestasi tertinggi berasal dari perubahan tata guna lahan hutan mangrove primer sebesar 3,9 MtCO 2 th -1 (34,43%) sedangkan degradasi tertinggi berasal dari hutan rawa primer sebesar 2,08 MtCO 2 th -1 (18,46%) (lihat Tabel 23 dan Gambar 36). Tabel 23 Laju historis potensi emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area ( ) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Tipe Tutupan Lahan 2006 Total Def. dan Degr. (ha) Laju Def. dan Degr. (ha th -1 ) C (exante) (tcth -1 ) C (expost) (tcth -1 ) C LC-D (tc) Emisi CO 2 (tco 2 th -1 ) *) (3,67* C LC-D ) Tanah kosong (T) 62 20,67 227, Belukar (B) ,33 19, Pertanian Lahan 22 7,33 227,33 78, kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) 26 8,67 227, Sawah (Sw) ,33 227,33 4, Perkebunan (Pk) ,33 227, Hutan tanaman ,33 227,33 75, (Ht) Tambak (Tm) ,33 227, Sabana (S) ,33 227, Hutan mangrove ,33 102, sekunder (Hms) Hutan rawa ,33 76, sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) , Rawa-rawa (Rw) 22 7,33 227, Belukar rawa (Br) ,67 227,33 17, Badan air (A) , Belukar (B) ,67 107,84 17, Pertanian lahan ,84 78, kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) , Sabana (S) , Hutan mangrove , sekunder (Hms) Hutan rawa ,67 107,84 76, sekunder (Hrs) Pemukiman(Pm) , Rawa-rawa (Rw) 95 31,67 107, Belukar rawa (Br) ,84 17,

16 144 Tabel 23 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Tipe Tutupan Lahan 2006 Total Def. dan Degr. (ha) Laju Def. dan Degr. (ha th -1 ) C (exante) (tcth -1 ) C (expost) (tcth -1 ) C LC-D (tc) Emisi CO 2 (tco 2 th -1 ) *) (3,67* C LC-D ) Belukar (B) 22 7, , Pertanian lahan 37 12, kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) , Perkebunan (Pk) Pemukiman (Pm) 55 18, Belukar rawa (Br) 47 15, , Belukar (B) ,20 19, Sawah (Sw) ,20 4, Tambak (Tm) , Sabana (S) ,67 102,20 3, Hutan rawa sekunder (Hrs) Hutan rawa sekunder (Hrs) Hutan mangrove 7 2,33 102,20 76, sekunder (Hms) Hutan rawa , sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) ,67 102, Rawa-rawa (Rw) ,67 102,20 17, Belukar rawa (Br) ,67 102, Badan air (A) 94 31,33 76, Tanah kosong (T) ,67 19, Belukar (B) ,67 76, Peranian lahan ,67 78,65 (99) (364) kering (Pt) Pertanian lahan ,67 4, kering dan belukar (Pc) Sawah (Sw) ,33 76, Perkebunan (Pk) ,33 76,67 75, Hutan tanaman ,67 76, (Ht) Tambak (Tm) ,67 76, Sabana (S) 22 7, , Pemukiman (Pm) , Rawa-rawa (Rw) , Belukar rawa (Br) ,33 76,67 17, Badan air (A) ,33 76, TOTAL , Total Deforestasi % Total Degradasi % Total konversi untuk HTI ,0% Total konversi untuk perkebunan ,9% Total konversi untuk tambak ,5% Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D, konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO 2 e/ton C) ( Bush et al. 2009) Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010)

17 145 Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) (18,46%) Emisi dari degradasi hutan rawa sekunder (Hrs) (0,04%) Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) (34,43%) Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) (17,75%) Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) (2,46%) Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) (20,70%) Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) (4,03%) Emisi dari deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs) (2,12%) Gambar 36 Laju historis emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode (tco 2 th -1 ) Perubahan tipe tutupan lahan di FA (Kabupaten Banyuasin) dipengaruhi dua faktor: aktivitas yang direncanakan dan tidak direncanakan. Aktivitas yang direncanakan (planned deforestation) didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RUTR), sedangkan aktivitas yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) sebagai akibat adanya faktor alam (kebakaran hutan), maupun kebiasaan masyarakat (human being) seperti perambahan hutan maupun adanya pembalakan liar (illegal logging). Selama kurun waktu di FA telah terjadi perubahan fungsi hutan mangrove primer menjadi belukar rawa (Br) seluas ha (4,3%). Hal ini diprediksi telah menyebabkan peningkatan laju emisi CO 2 sebesar 1,64 MtCO 2 th -1 (14,50%). Semua hutan rawa di Kabupaten Banyuasin adalah berupa gambut, sehingga tingkat emisi yang sebenarnya dari deforestasi dan degradasi diprediksi dapat lebih tinggi dari hasil analisis ini Laju Historis Potensi Emisi CO 2 di dalam Kawasan Pesisir TN Sembilang Hasil analisis spasial dan fungsi allometrik di dalam kawasan pesisir TN Sembilang menunjukkan laju potensi emisi CO 2 tahunan sebesar 5,23 MtCO 2 th -1. Sekitar 2,90 MtCO 2 th -1 (56%) diantaranya berasal dari emisi deforestasi, sedangkan yang berasal dari degradasi hutan sekitar 2,32 MtCO 2 th -1 (44%). Secara rinci disajikan pada Tabel 24.

18 Tabel 24 Laju historis potensi emisi CO 2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp) Tipe Tutupan Lahan 2006 Total Def. dan Degr. (ha) Laju Def. dan Degr. (hath -1 ) C (exante) (tcth -1 ) C (expost) (tcth -1 ) C LC-D (tc) 146 Emisi CO 2 (tco 2 th -1 ) *) (3,67* C LC-D ) Belukar (B) ,87 227,33 19, Perkebunan (Pk) 63 20,95 227,33 59, Tambak (Tm) , Sabana (S) ,91 227,33 3, Hutan mangrove ,26 227,33 102, sekunder (Hms) Hutan rawa ,28 227,33 76, sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) 12 3,88 227, Belukar rawa (Br) ,70 227,33 17, Badan air (A) ,06 227, Hutan rawa Sabana (S) ,11 107,84 3, primer (Hrp) Hutan rawa ,73 107,84 59, sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) , Belukar rawa (Br) 73 24,35 107,84 17, Hutan Sawah (Sw) 8 2,52 102,20 4, mangrove Tambak (Tm) ,67 102, sekunder Sabana (S) ,44 102,20 3, (Hms) Rawa-rawa (Rw) ,80 102, Belukar rawa (Br) ,81 102,20 17, Badan air (A) ,58 102, Hutan rawa Belukar (B) 30 10,10 76,67 19, sekunder Sawah (Sw) 2 0,83 76,67 4, (Hrs) Belukar rawa (Br) ,95 76,67 17, Badan air (A) 26 8,70 76, T o t a l , Total deforestasi % Total degradasi % Total konversi untuk sawah ,02% 904 Total konversi untuk kebun ,25% Total konversi untuk tambak ,30% Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D, konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO 2 e/ton C) ( Bush et al. 2009) Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010) Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) (29,17%) Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) (44,21%) Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) (15,32%) Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) (1,84%) Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) (7,91%) Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) (1,55%) Gambar 37 Laju emisi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang tahun (tco 2 th -1 )

19 147 Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kecenderungan laju emisi CO 2 di FA lebih disebabkan dua faktor, yaitu akibat aktivitas yang direncanakan (9,22%) seperti dampak kebijakan melalui RUTR dan yang tidak direncanakan sebagai akibat antropogenik dan bencana alam (90,88%). Sementara itu, laju emisi CO 2 di kawasan pesisir TN Sembilang lebih disebabkan faktor aktivitas yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Data hasil analisis menunjukkan dimana laju emisi CO 2 akibat tekanan penduduk terhadap kawasan TN Sembilang menyumbang sekitar tco 2 th -1 atau sekitar 5,57% dari total emisi CO 2. Sumbangan emisi tersebut bersumber dari konversi untuk lahan sawah (10 ha) sebesar 904 tco 2 th -1 (0,02 %), konversi untuk kebun kelapa (63 ha) sebesar tco 2 th -1 (0,25 %) dan konversi untuk tambak (1.850 ha) sebesar tco 2 th -1 (5,30%). Secara komparatif laju emisi CO 2 akibat antropogenik ini relatif kecil (11,14%) dibandingkan laju emisi CO 2 yang disebabkan bencana alam (88,86%) seperti kebakaran hutan dan faktor alam lainnya yang secara masif pernah melanda kawasan ini pada tahun 1997 dan Hubungan antara aktivitas antropogenik dengan konsentrasi emisi CO 2 yang terjadi pada kawasan dilindungi undang-undang (TNS) nampak tidak linier. Laju emisi CO 2 akibat bencana alam dan faktor alam lainnya menyumbang sekitar 4,64 MtCO 2 th -1 (86,86%). Namun demikian, berdasarkan informasi bahwa proses kebakaran tersebut pun sesungguhnya bersumber dari aktivitas masyarakat yang kurang ramah lingkungan, terutama aktivitas di FA. Kecenderungan masyarakat di FA dalam pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan kurang bijaksana dan bahkan berdampak pada ekosistem pesisir TN Sembilang. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi masuk ke hutan serta pembalakan secara ilegal telah menyebabkan fragmentasi habitat, terganggunya koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir kayu dan produktivitas perikanan. Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan sangat rentan terhadap kebakaran. Potensi emisi CO 2 di masa yang akan datang, baik di FA maupun di dalam kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi bersumber dari aktivitas yang direncanakan dan aktivitas yang tidak direncanakan. Potensi emisi CO 2 di FA sumbangan terbesar

20 148 diprediksi bersumber dari dampak kebijakan tata ruang. Sedangkan potensi emisi CO 2 di kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi lebih disebabkan tekanan penduduk serta faktor perubahan alam secara alamiah. Tingkat emisi CO 2 mendatang di dua wilayah ini (FA dan TNS) diprediksi berdasarkan hasil simulasi dan pemodelan dianalisis secara rinci pada Bab Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir Indikator penggerak (driver) emisi karbon di wilayah Kabupaten Banyuasin diprediksi bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Indikator penggerak yang direncanakan bersumber pada kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (contoh kebijakan rencana tata ruang wilayah/rtrw). Sementara itu indikator penggerak yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan penduduk terhadap lahan serta perilaku dan karakter masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut (contoh pemanfaatan hutan/konversi lahan secara ilegal, perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya). Atas dasar itu maka perlu dianalisis indikator-indikator penggerak apa saja yang diprediksi dapat meningkatkan emisi karbon. Secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Indikator penggerak emisi CO 2 diluar kawasan TNS (FA) dapat ditelusuri berdasarkan hasil analisis spasial tata guna lahan periode (RTRW Kabupaten Banyuasin) dimana telah terjadi deforestasi dan degradasi seluas ha. Dari luasan tersebut, sebesar ha (44,79%) merupakan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi). Sementara itu sekitar ha (55,21%) merupakan areal hutan rawa dan hutan mangrove tetapi telah mengalami penurunan kualitas (degradasi). Alih fungsi hutan ini merupakan salah satu penggerak peningkatan emisi karbon historis di FA sebesar 11,25 MtCO 2 th -1. Fakta ilmiah menunjukkan terdapat sekitar tco 2 th -1 (0,96%) merupakan hasil konversi hutan untuk HTI dan perkebunan sawit menyumbang sebesar tco 2 th -1 (2,88%). Dengan demikian selama periode total potensi emisi CO 2 akibat indikator penggerak yang direncanakan (planned deforestation) relatif kecil yaitu tco 2 th -1 (3,84%) dibanding potensi emisi CO 2 akibat indikator penggerak yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) sebesar 10,81 MtCO 2 th -1 (96,16%).

21 149 Tabel 25 Indikator penggerak emisi CO 2 di wilayah pesisir TN Sembilang No A B Sumber Direncanakan (planned deforestation) Tidak Direncanakan (unplanned deforestation) Indikator Penggerak Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Faktor Penyebab Kebutuhan perencanaan tata ruang untuk pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin a. Populasi penduduk Peningkatan populasi penduduk akibat kebijakan transmigrasi yang berdekatan dengan wilayah TNS terdapat kecenderungan adanya tekanan penduduk terhadap lahan. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini adalah 2,58%/tahun b. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) Semakin tinggi populasi penduduk, serta semakin rendahnya tingkat produktivitas lahan dapat menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan semakin meningkat. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) di wilayah ini sebesar 1,02 ha/orang c. Konversi lahan a) Pembuatan tambak-tambak dan lahan pertanian. Saat ini masih ada sekitar ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b) Rata-rata tingkat perambahan hutan (encroachment) saat ini sekitar 54 ha/tahun d. Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari a) Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensif b) Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunan e. Illegal logging Penebangan liar jenis Dipterocarpaceae yang kerap luput dari pengamatan petugas mengingat lokasinya paling jauh di bagian utara berbatasan dengan TN Berbak f. Kebakaran hutan dan lahan a) Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang lainnya disebabkan oleh penduduk b) Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi. Sumber : Hasil identifikasi lapangan (2010) Indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) baik di FA maupun di TN Sembilang berkaitan dengan faktor alam seperti kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan serta faktor lain seperti peningkatan populasi penduduk serta kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak dapat meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan. Sumber tekanan penduduk terhadap lahan erat kaitannya dengan masalah kebutuhan mata pencaharian masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan konversi lahan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Diantaranya adalah konversi lahan untuk ladang dan sawah serta tambak udang secara

22 150 ilegal. Faktor penggerak lainnya adalah adanya kecenderungan dimana dengan semakin naiknya harga komoditas udang serta gagal panen di wilayah lain, dapat mempengaruhi motivasi terjadinya tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap lahan (TP) dapat didekati dengan persamaan (3.15) dan hasil pengolahan data Kabupaten Banyuasin Dalam Angka tahun 2008 (BPS Kabupaten Banyuasin 2008/2009) disajikan pada Tabel 26, sedangkan rincian hasil pengolahan Tekanan Penduduk terhadap lahan (TP) disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria tekanan penduduk terhadap lahan, diperoleh nilai TP 2,14 (nilai TP > 2) sehingga termasuk kelas kriteria buruk. Hal ini mencerminkan bahwa penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 2,58% serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan degradasi lingkungan. Semakin besar jumlah penduduk, semakin besar pula tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga meningkat. Dengan demikian, wilayah pesisir semakin rentan terhadap berbagai perubahan iklim yang akan terjadi. Tabel 26 Luas lahan minimal hidup layak (z) dan tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di frontier area No Pertanian Luas (ha) Produksi (ton) Rata-rata produksi (ton ha -1 ) Rata-rata nilai panen (Rp ha -1 ) Harga (Rp kg -1 ) 1 Padi sawah , Ketela dan umbi-umbian , Produksi pekarangan , (palawija) Total lahan pertanian Nilai z padi sawah (ha/orng) 0,82 Nilai z ketela&umbi 1,71 (ha/org) Nilai z palawija (ha/orang) 1,75 Nilai z rata-rata (ha/orang) 1,02 Sementara itu indikator penggerak emisi karbon di FA pada masa mendatang diprediksi sebagian besar bersumber dari laju deforestasi dan degradasi (DD) yang direncanakan (planned deforestation). Kebijakan alokasi lahan untuk RUTR seluas ha merupakan sumber emisi karbon terestrial yang potensial, karena seluruhnya masih berpenutupan vegetasi.

23 151 Data historis pada kawasan yang dilindungi (TNS) menunjukkan dimana laju DD hutan mangrove primer (Hmp) menjadi tambak rata-rata 0,138% th -1 dan laju DD hutan mangrove sekunder (Hms) menjadi tambak rata-rata 2,68% th -1. Luasan prediksi tambak selama 25 tahun umur simulasi menunjukkan luasan sebesar ha atau rata-rata 464 ha th -1. Laju DD tersebut diprediksi dapat menyumbang emisi karbon ratarata sebesar tco 2 th -1. Okupasi penduduk terhadap lahan TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga dapat menimbulkan potensi GRK yang lebih besar lagi. Kegiatan tambak ilegal di TN Sembilang sesungguhnya sudah dimulai sejak 1995 oleh sekitar 400 keluarga yang datang dari Provinsi Lampung. Pada tahun , sekitar 493 sampai keluarga terlibat dalam konversi sekitar ha hutan mangrove di Semenanjung Banyuasin antara Sungai Bungin dan Sungai Tengkorak. Dampak negatif dari budidaya tambak ini diprediksi dapat menyebabkan rusaknya kawasan mangrove yang menyokong banyak fungsi biologi penting. Di samping itu, lokasi spesifik tambak tersebut berada dekat dengan lokasi utama bagi burung-burung migran termasuk beberapa spesies burung langka bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) untuk mencari pakan. Di samping kawasan yang dikonversi sebagai tambak, beberapa lokasi ada yang dibuka untuk pertanian, seperti di sekitar Tanah Pilih (Terusan Luar), yang dulunya dikonversi menjadi perkebunan kelapa dan persawahan di tahun 1970-an. Penyebab lainnya yaitu prediksi konversi lahan dan mangrove oleh para spekulan tanah yang secara langsung mengacu pada rencana pembangunan pelabuhan samudra Tanjung Api- Api. Indikator penggerak emisi karbon lainnya adalah pemanfaatan hutan secara ilegal (penebangan liar) yang umumnya dilaksanakan di kawasan bekas HPH di luar TN Sembilang (FA). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TN Sembilang bahwa penebangan liar banyak dilakukan di sepanjang Sungai Kepahiang, Sungai Merang dan Sungai Bakorendo. Jenis kayu yang diambil berasal dari spesies Shorea spp., Koompassia sp., Dyera costulata dan lain-lain. Kegiatan penebangan liar ini dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun oleh masyarakat yang berasal dari luar Kabupaten Banyuasin. Kasus yang terakhir dipantau petugas TN Sembilang terjadi di sekitar Sungai Sembilang dan dilakukan oleh masyarakat setempat (Dusun Sembilang). Penebangan liar ini dilakukan biasanya untuk keperluan sendiri seperti

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. DIREKTORAT INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN SUMBER DAYA HUTAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DAN TATA LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2015 DEFORESTASI INDONESIA TAHUN 2013-2014

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PERAN BENIH UNGGUL DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Ari Wibowo ariwibowo61@yahoo.com PUSLITBANG PERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN SEMINAR NASIONAL

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT

DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI DAN KEBAKARAN GAMBUT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 1 Provinsi Kalimantan Timur 2014 REFERENCE EMISSION LEVEL (REL) DARI DEFORESTASI, DEKOMPOSISI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan

Lebih terperinci

TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN

TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN Penyusun: Herwin Purnomo, Arief Dermawan Prasetyo, Silvan Adri Rahmana, Muara Laut Tarigan, Syamsuddin, Pernando Sinabutar,

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual

Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual Standar Nasional Indonesia Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual ICS 65.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Indonesia Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Jawa Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Bali Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Maluku Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di DKI Jakarta Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Aceh Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Gorontalo Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2011 yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Utara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan ISSN : 085-787X Policy Daftar Isi Volume 4 No. Tahun 010 Profil Emisi Sektor Kehutanan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL...

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Isi Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN......1 1.1. Latar Belakang......1 1.2. Maksud dan Tujuan Studi......8 1.2.1. Maksud......8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang

Lebih terperinci

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 4.1. Identifikasi Penggunaan Lahan Identifikasi penggunaan lahan di Citra Lansat dilakukan dengan membuat contoh (training area) penggunaan lahan yang mewakili tiap kelas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif. RAD-GRK Provinsi Sumsel RAN-GRK SRAN-REDD+

Ringkasan Eksekutif. RAD-GRK Provinsi Sumsel RAN-GRK SRAN-REDD+ Ringkasan Eksekutif Upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan dilakukan terutama denganmengatasi deforetasi, degradasi hutan, dan perubahan

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan Dr. Muhammad Syakir, MS Kepala Kongres Nasional VII Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI) dan Seminar Pengelolaan Lahan Sub-optimal Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) 4. Penghitungan dinamika karbon di tingkat bentang lahan Ekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia

National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia National Forest Monitoring System untuk mendukung REDD+ Indonesia IMAN SANTOSA T. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Ditjen Planologi kehutanan Kementerian Kehutanan Workshop Sistem

Lebih terperinci

DINAMIKA TUTUPAN LAHAN BERHUTANEKOREGION KALIMANTAN TAHUN

DINAMIKA TUTUPAN LAHAN BERHUTANEKOREGION KALIMANTAN TAHUN DINAMIKA TUTUPAN LAHAN BERHUTANEKOREGION KALIMANTAN TAHUN 1990-2014 Oleh: Ruhyat Hardansyah Penggunaan dan Penutupan Lahan Keberhasilan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat erat berkaitan

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) Oleh : Edy Junaidi Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ABSTRAK Luasan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penambat (sequester) karbon. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa

BAB I PENDAHULUAN. penambat (sequester) karbon. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam keadaan hutan yang alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Barat

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Barat Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi kebun kelapa sawit pada bulan Agustus dan November 2008 yang kemudian dilanjutkan pada bulan Februari,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari

BAB I PENDAHULUAN km. Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya laut yang menimpah baik dari BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terdiri dari 17,508 buah pulau yang besar dan yang kecil secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+

INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+ INISIATIF PROVINSI RIAU DALAM REDD+ oleh SATUAN TUGAS REDD+ PROVINSI RIAU Disampaikan pada Workshop Pencehagan Korupsi Melalui Penilaian Resiko dalam REDD+ Pekanbaru, 22 Mei 2012 Sekali Layar Terkembang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci