TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan"

Transkripsi

1 5 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia.manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan agar dapat bertahan hidup.menurut Suryana (24) negara atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan ketahanan pangan yang baik, terdapat suatu jaminan bagi seluruh penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang cukup untuk menghasilkan generasi yang sehat dan cerdas. Definisi ketahanan pangan menurut UU no.7 tahun 996 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam World Food Summit 996 definisi lain dari ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi tiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat (Hardinsyah 2) Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan sub sistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses-akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Suryana 24). Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut di atas. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan

2 6 menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi (Simatupang 999 diacu dalam Riadi 27). Sumber: Riley,et al. 999 Gambar. Kerangka pikir konseptual ketahanan pangan Pada Gambar (Riley,et al. 999) dapat dilihat hubungan antara ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Sebagaimana gambaran keterkaitan ketiga sub sistem ketahanan pangan yang telah dijelaskan di atas, pada Gambar digambarkan hubungan dari ketiga sub sistem (ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan) beserta indikator-indikatornya. Ketersediaan dan akses memfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah. Sub sistem ketersediaan ditentukan dari produksi pangan, cadangan, impor dan bantuan pangan). Pada sub sistem

3 7 akses, pembelian pangan di pasar ditentukan oleh harga pangan dan pendapatan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, adanya bantuan atau subsidi dari pemerintah ataupun pihak luar juga merupakan penentu kemudahan akses masyarakat terhadap pangan. Pencapaian ketahanan pangan juga dilihat dari pemanfaatan pangan. Pada sub sistem pemanfaatan pangan dapat dilihat pencapaiannya dari konsumsinya (tingkat kecukupan) yang dipengaruhi oleh kualitas pengasuhan (pengetahuan, praktek budaya setempat dan alokasi waktu) dan akan berdampak pada status gizi. Menurut Soehardjo (998) diacu dalam Fitria (23) bahwa penyediaan pangan yang cukup tidak menjamin tidak terjadinya masalah rawan pangan. Apabila penyediaan pangan mencukupi, maka faktor yang menjadi determinan terhadap muncul/tidaknya rawan pangan adalah pendapatan dan daya beli. Akses terhadap pangan secara ekonomi dapat terganggu bila daya beli atau pendapatan riil masyarakat rendah. Oleh sebab itu dapat saja tetap terjadi kelaparan dan kekurangan pangan walaupun pangan yang tersedia mencukupi. Hal ini disebabkan masyarakat tidak mampu membeli/menukarkan daya yang dimiliki untuk mendapatkan pangan. Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan pangan, yaitu (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) Jaminan keamanan pangan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik (produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau sosial (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi tentang jumlah, mutu dan harga pangan; (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah, et al.999 diacu dalam Amadona 23). Konsumsi Pangan Masalah gizi pada manusia selalu merupakan masalah ekologi. Masalah tersebut merupakan kumpulan berbagai masalah dan interaksi dari berbagai faktor dalam ekologi masyarakat seperti lingkungan fisik, biologi, sosial, dan budaya. Jumlah dari variasi makanan dan zat gizi yang diperoleh setiap orang yang berbeda menurut kelompok umur akan bergantung pada banyak hal, antara lain kondisi lingkungan seperti iklim, tipe tanah, pengelolaan pertanian, cara penyimpanan pangan, transportasi dan penjualan. Selain itu, dapat pula

4 8 berkaitan dengan perbedaan kondisi politik dan budaya, termasuk tingkat ekonomi umum, kebijakan pemerintah yang berkonsentrasi pada pemerataan distribusi sumber daya (uang dan lahan produktif), banyaknya populasi, tingkat pendidikan, dan perubahan populasi seperti terjadinya urbanisasi dan adanya arus pengungsian (Jelliffe dan Jelliffe 989). Menurut Jelliffe& Jelliffe (989), konsumsi digolongkan ke dalam variabel ekologi II dimana digambarkan adanya rantai pangan dari produksi pertanian hingga konsumsi pangan. Konsumsi pangan menggambarkan jumlah makanan yang sebenarnya dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat.informasi ini sangat diperlukan untuk menentukan status gizi dan untuk mengusulkan perbaikan asupannya. Hasil Riskesdas 2 menyebutkan bahwa 4,6% penduduk Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan energi minimal (< 7% kecukupan AKG 24). Hal tersebut menunjukkan adanya resiko terjadinya rawan pangan di Indonesia. Berdasarkan hasil olahan BKP (2) dari data konsumsi Susenas tahun 22 sampai tahun 29 ditunjukkan adanya perkembangan konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia (Tabel ). Tabel. Perkembangan konsumsi pangan pokok di Indonesia (kg/kap/tahun) Tahun Beras Jagung Ubi kayu Ubi jalar ,2 2,2 9,6 2,4 Sumber: Susenas, BPS, diolah (BKP 2) Menurut Baliwati dan Roosita (24) konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologi maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi serta kekuatan dan kekuasaan. Konsumsi pangan dan gizi cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia, sebab tingkat kecukupan gizi seseorang dapat mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan.

5 9 Pola konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 24). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi (Hardinsyah, et al. 22) Menurut Riyadi (996) pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah: ) Ketersediaan pangan, jenis,dan jumlah pangan dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Bila pangan tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk kebiasaan makan; 2) Pola sosial budaya, pola kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Terdapat hubungan sebab akibat antara konsumsi, akses (exchange), dan produksi pangan seperti yang digambarkan pada Gambar 2 (Swift 989 diacu dalam Maxwell dan Frankerberger 992). Analisis Swift difokuskan pada peranan investasi, simpanan, dan kepemilikan harta yang pada penentuan rumah tangga yang rentan kelaparan. Swift mengasumsikan jika suatu rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan pangan dasarnya secara berlebih, maka kelebihannya akan dialihkan kedalam tiga modal tersebut (investasi, simpanan, dan kepemilikan harta) yang akan digunakan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga pada masa krisis.

6 Sumber: Swift (989) diacu dalam Maxwell dan Frankerberger (992) Gambar 2.Hubungan antara produksi, akses, dan konsumsi Kesimpulan dari analisis Swift adalah kerentanan rumah tangga terhadap kelaparan dapat terjadi dengan adanya ketidakcukupan pemenuhan kebutuhan, bukan hanya pemenuhan saat ini tapi juga kurangnya modal yang dimiliki oleh rumah tangga. Rumah tangga yang miskin cenderung memiliki modal yang paling sedikit dan mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap kelaparan. Menurut Sukandar, et al. (27)diacu dalam Fitria (23), tingkat kecukupan energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Apabila seseorang atau kelompok orang (rumah tangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan protein kurang dari 7% angka kecukupan (recommended dietary allowance), maka seseorang atau kelompok orang (rumah tangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan pangan). Depkes (996) diacu dalam Fitria (23) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<7%), defisit tingkat sedang (7-79%), defisit tingkat ringan (8-89%), normal (9-9%) dan lebih (>2%). Kecukupan konsumsi tidak hanya dilihat secara kuantitas. Secara kualitasnya, konsumsi pangan dinilai dari keragaman susunan pangan yang dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk memenuhi kecukupan gizi yang seimbang dari beraneka ragam pangan yang dikonsumsi. Proporsi setiap jenis pangan

7 pangan dalam konsumsi pangan sesuai konsep gizi seimbang dapat dilihat pada Gambar3. Sumber: Hardinsyah,et al. (22) Gambar 3. Keanekaragaman pangan berdasarkan gizi seimbang Faktor-Faktor Ekologi yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Wilayah Karakteristik Wilayah Menurut Jelliffe dan Jelliffe (989) indikator demografi wilayah merupakan salah satu faktor ekologi yang berpengaruh pada status gizi. Demografi wilayah antara lain jumlah penduduk menurut usia maupun jenis kelamin serta penyebarannya di suatu wilayah, kondisi geografi, serta perubahan jumlah penduduk dengan adanya kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk. Pembagian karakteristik wilayah yang umum digunakan adalah perdesaan dan perkotaan (BPS 27). Berdasarkan beberapa penelitian di dunia, konsumsi pangan per kapita penduduk di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan tanpa memperhitungkan pendapatan maupun alokasi pengeluarannya. Hal ini tidak berarti pemenuhan zat gizi masyarakat perkotaan tidak sebaik masyarakat perdesaan karena terdapat perbedaan pada kebutuhan energi, harga kalori, dan komposisi makanannya (Braun, et al. 993). Dapat diasumsikan bahwa pekerjaan masyarakat perdesaan cenderung membutuhkan banyak energi dibandingkan pekerjaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu kebutuhan energi masyarakat perdesaan cenderung lebih besar dan makanan masyarakat perdesaan seringkali lebih banyak didominasi pangan pokok (sumber energi

8 2 yang yang relatif murah) dibandingkan makanan masyarakat perkotaan (Bouis 99b; Hussain 99 diacu dalam Braun, et al. 993). Menurut BPS (27), untuk menentukan suatu wilayah termasuk perdesaan dan perkotaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai dari tiga buah variabel yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses fasilitas umum. Penentuan skor suatu daerah adalah seperti Tabel 2. Kolom () menunjukkan variabel/ klasifikasi yang digunakan, dan kolom (2) menunjukkan nilai skor dari setiap variabel. Tabel 2. Variabel, Klasifikasi, Skor & Kriteria Desa 2 (BPS 27) Variabel/ Kllasifikasi Skor Variabel/ Kllasifikasi Skor Total Skor B) Sekolah Dasar Skor Minimum 2 Ada atau <=2,5 km Skor Maksimum 26 > 2,5 km. Kepadatan C) Sekolah Menengah Penduduk/ km2 Pertama < 5 Ada atau <=2,5 km > 2,5 km D) Sekolah Menengah Umum Ada atau <=2,5 km > 2,5 km E) Bioskop Ada atau <=5 km >=85 8 > 5 km 2. Persentase Rumah F) Pasar/Pertokoan Tangga Pertanian Ada atau <=2 km >= 7, > 2 km 5,-69,99 2 G) Rumah Sakit 3,-49,99 3 Ada atau <=5 km 2,-29,99 4 > 5 km 5,-9,99,-4, H) Hotel/ Billiar/ Diskotek/ Panti pijat/ Salon 5,-9,99 7 Ada <5, 8 Tidak ada I) Persentase Pumah Tangga 3. Akses Fasilitas Umum,,2, Telepon > =8, < 8, A) Sekolah Taman Kanak- Kanak (TK) Ada atau <=2,5 km > 2,5 km J) Persentase Rumah Tangga Listrik >= 9, < 9, Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: a. Variabel kepadatan penduduk mempunyai skor antara -8, satu bagi daerah dengan kepadatan kurang dari 5 orang per km2, dua bagi daerah dengan kepadatan orang per km2 dan seterusnya

9 3 sampai dengan 8 bagi daerah dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 85 orang per km2. b. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar -8, satu bila daerah memiliki 7 persen atau lebih rumah tangga tani, dua bila 5-69,99 persen, dan seterusnya sampai 8, bila daerah memiliki persentase rumah tangga tani kurang dari 5. c. Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. d. Skor untuk akses fasilitas umum adalah dan. Daerah yang tidak memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasilitas perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka daerah tersebut dianggap setara dengan daerah yang memiliki fasilitas dan diberi skor, dengan pertimbangan mudahnya akses kepada perkotaan tersebut serupa dengan memiliki. e. Jumlah skor ketiga variabel tersebut digunakan untuk menentukan apakah suatu daerah termasuk daerah perkotaan atau perdesaan. Daerah dengan skor 9 atau kurang digolongkan sebagai daerah perdesaan, sedangkan daerah dengan skor gabungan mencapai atau lebih digolongkan sebagai daerah perkotaan. Ketersediaan Pangan Pembangunan ketahanan pangan sesuai dengan amanat UU No.7 tahun 997 tentang pangan. Ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata, serta terjangkau oleh setiap individu (Suryana 2). Menurut Soetrisno (995) diacu dalam Marwati (2) bahwa dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Tingkat ketahanan pangan suatu negara/ wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan Produksi pangan merupakan rantai awal pada rantai pangan WHO 976. Rantai pangan WHO menggambarkan alur pangan sejak diproduksi hingga dikonsumsi yang nantinya akan menentukan status gizi (Jelliffe dan Jelliffe 989). Diantara rantai pangan tersebut terdapat variabel ketersediaan pangan. Menurut

10 4 DKP (26) ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu ) produksi wilayah, 2) impor pangan dan 3) pengelolaan cadangan pangan. Dengan potensi sumber daya yang beragam, Indonesia mempunyai peluang besar untuk meningkatkan produksi pangan. Impor pangan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: ) kebutuhan dalam negeri yang amat besar, 2) harga dipasar internasional yang rendah, 3) produksi dalam negeri yang tidak mencukupi dan 4) adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Impor pangan harus dilakukan selama kebutuhan pangan tidak dapat dipenuhi dari produksi nasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketergantungan impor, maka harus meningkatkan produksi pangan nasional sehingga dapat mencapai swasembada pangan artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Upaya peningkatan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi (Husodo&Muchtadi 24 diacu dalam Amadona 23). Pada Gambar dan 2 dapat dilihat bahwa ketersediaan pangan yang salah satu komponennya adalah produksi pangan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Ketersediaan pangan menunjukkan jumlah pangan yang tersedia untuk dikonsumsi. Ketersediaan pangan yang cukup paling tidak menjadi jaminan untuk tercapai pula kecukupan konsumsinya, meskipun ada variabel antara yaitu akses sampai pada titik pangan dikonsumsi oleh mayarakat. Berkaitan dengan konsumsi pangan di perdesaan dan perkotaan, pengaruh wilayah pada ketersediaan pangan dan asupannya tidak sepenuhnya berubah. Pada masyarakat miskin yang bekerja pada bidang pertanian, masyarakat miskin perkotaan mungkin lebih rentan tidak tahan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Akan tetapi, berkurangnya area penduduk dan lahan di perdesaan karena adanya pembangunan wilayah dapat berpengaruh pada ketidaktahanan pangan (Braun & Kennedy 986 diacu dalam Braun,et al.993). Dampak dari perubahan musim juga harus dipertimbangkan, masyarakat miskin perkotaan lebih kecil terkena dampak perubahan musim terhadap ketersediaan pangan dan asupan pangan dibandingkan masyarakat miskin perdesaan. Daya Dukung Pangan Wilayah Carrying capaity dari ekosistem didefinisikan sebagai jumlah maksimum populasi dari suatu spesies yang dapat didukung oleh suatu wilayah tanpa mengurangi kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung spesies yang sama pada masa yang akan datang, hal ini juga berlaku untuk populasi manusia. Namun manusia memiliki kemampuan untuk memodifikasi lingkungan dan

11 5 menciptakan teknologi untuk memproduksi pangan dan energi (Richard 22 diacu dalam Absari 27). Human carrying capacity dapat diterjemahkan sebagai tingkat maksimal penggunaan sumberdaya alam dan akibat yang ditimbulkan dimana sumberdaya tersebut masih bisa digunakan secara berkelanjutan di masa yang akan datang tanpa mempengaruhi keselarasan dan kemampuan produksinya. Pada masa awal perkembangan konsep mengenai human carrying capacity, menurut Erlich (97) dan Holdren (974) diacu dalam Kurnia (25) menyebutkan bahwa akibat yang ditimbulkan dari adanya manusia pada suatu wilayah adalah sejumlah populasi, adanya kebutuhan konsumsi dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Poin penting yang tersirat adalah besarnya sumberdaya yang mampu diberikan wilayah untuk mendukung sejumlah sedikit penduduk dengan berkualitas atau penduduk dalam jumlah yang lebih besar pada tingkat yang beragam. Namun perkembangan saat ini, untuk memperhitungkan jumlah sumberdaya alam yang dibutuhkan lebih mengacu pada kebutuhan lahan yang produktif. Pertanyaan yang berkembang saat ini bukan lagi berapa jumlah populasi penduduk yang dapat didukung secara berkelanjutan oleh sebuah wilayah, tetapi menjadi berapa banyak sumberdaya alam (lahan produktif dan air bersih) yang dibutuhkan pada berbagai macam ekosistem untuk mendukung populasi wilayah tersebut pada tingkat konsumsi yang ideal dalam jangka waktu yang tidak terbatas. a. Daya Dukung Lahan Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto 2 diacu dalam Tola, et al. 27). Selanjutnya, Siwi (22) diacu dalam Tola, et al. (27) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk, daya dukung lahan pada akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu (Mustari,et al. 25 diacu dalam Tola, et al. 27).

12 6 Rumus daya dukung lahan murni (Tola, et al. 27): Dimana: K = daya dukung lahan (orang/ha) ASi = luas lahan yang ditanami dengan jenis tanaman Si (ha) Ysi = produksi bersih tanaman pangan Si (kkal/tahun) Csi = tingkat konsumsi untuk masing- masing jenis tanaman pangan dalam menu penduduk (%kkal/tahun) R = kebutuhan energi rata-rata per orang (kkal/orang/tahun) Ada dua ukuran yang dapat digunakan untung memperhitungkan human carrying capacity: yaitu biophysical carrying capacity dan sosial carrying capacity. Biophysical carrying capacity adalah jumlah maksimum populasi manusia yang dapat didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah tanpa penggunaan teknologi. Sedangkan sosial carrying capacity adalah biophysical carrying capacity yang berkelanjutan dengan melakukan menejemen sosial termasuk diantaranya pola konsumsi dan perdagangan (Richard 22 diacu dalam Absari 27). Untuk memperkiraan besarnya regional carrying capacity dapat menggunakan ketersediaan suatu sumberdaya baik secara tunggal maupun kombinasi dari beberapa sumberdaya. Sumberdaya yang digunakan harus dibedakan antara yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.energi matahari, air bersih, lahan yang dipergunakan untuk pertanian, kayu untuk bahan bangunan dan beberapa jenis hewan (untuk transportasi, makanan, dan obatobatan) termasuk sumberdaya yang dapat diperbarui. Produksi pangan juga dapat digunakan untuk memperkirakan regional carrying capacity, yaitu dengan mengukur total pangan yang dapat diproduksi kemudian dibagi dengan tingkat kebutuhan konsumsi pangan standar per orang. Apabila menggunakan metode yang lebih rumit maka akan mempertimbangkan perubahan pada produksi pangan dengan semakin meningkatnya teknologi, distribusi pangan, variasi pola konsumsi penduduk, dan ketersedian sumberdaya yang lain seperti bahan bakar minyak (Richard 22 diacu dalam Absari 27).

13 7 b. Daya Dukung Gizi Nutritional Carrying capacty dari wilayah adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung manusia atau penduduk pada masa yang akan datang. Inovasi budaya dan teknologi dapat meningkatkan nutritional carrying capacity, namun dalam kurun waktu yang cukup lama apabila inovasi tersebut menyebabkan kerusakan sumberdaya alam esensial yang tidak tergantikan maka hal tersebut pada akhirnya akan menurukan nutritional carrying capacity dari wilayah. Meskipun faktor biofisik merupakan faktor pembatas utama dari nutritional carrying capacity, akan tetapi, tekanan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan sampai dimana nutritional carrying capacity suatu wilayah dapat terwujud (Paul, et al. 993 diacu dalam Absari 27). Untuk itu diperlukan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) pada suatu wilayah agar produksi pangan bagi kepentingan konsumsi penduduknya dapat terwujud secara berkesinambungan. Besar Keluarga; Kepadatan Penduduk Menurut Jelliffe dan Jelliffe (989), salah satu indikator yang berkaitan dengan jumlah dan variasi makanan yang dikonsumsi oleh penduduk adalah banyaknya populasi yang termasuk dalam karakteristik demografi wilayah. Gambaran banyaknya populasi pada suatu wilayah dapat dilihat dengan sebuah rasio jumlah penduduk dengan luas wilayahnya yang disebut kepadatan penduduk (jiwa/km2). BPS 27 mengklasifikasikan kepadatan penduduk di Indonesia menjadi empat kategori; kepadatan penduduk sangat tinggi (> jiwa/km2), kepadatan penduduk tinggi (5- jiwa/km2), kepadatan penduduk sedang (-5 jiwa/km2), dan kepadatan penduduk jarang (< jiwa/km2). Teori Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi pangan seperti deret hitung sedangkan pertumbuhan manusia seperti deret ukur. Berdasarkan teori tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan pangan lebih cepat meningkat dibandingkan ketersediaannya. Jelliffe dan Jelliffe (989) menyatakan bahwa meskipun penelitian terkini menunjukkan bahwa produksi pangan dunia dapat mencukupi kebutuhan penduduk dunia akan tetapi terdapat faktor pembatas. Adanya wilayah yang kekurangan, yaitu kurangnya akses pangan di negara maju karena kemiskinan dan ketiadaan lahan sementara itu di saat yang sama terjadi

14 8 peningkatan jumlah populasi yang artinya meningkat pula jumlah penduduk yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya. Jumlah penduduk berkaitan erat dengan pemerataan pendapatan daerah yaitu pendapatan per kapita daerah. Pendapatan per kapita akan berpengaruh pada pengeluaran per kapita-nya. Menurunnya pengeluaran perkapita akan mempengaruhi pemilihan jenis bahan pangan untuk konsumsi keluarga (Immink 998 diacu dalam Sulistiyowati 25). Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan pangannya jika yang harus diberi makan jumlahnya lebih sedikit. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut (Suhardjo 989). Menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (25) salah satu indikator ketahanan pangan dan gizi lingkup nasional dan regional pada domain ketersediaan pangan adalah jumlah populasi penduduk. Semakin besar tingkat kepadatan penduduk, maka lahan kosong untuk pertanian semakin sempit sehingga dapat menurunkan jumlah produksi pangan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh pada konsumsi pangan. Seperti yang dijelaskan pada Jelliffe dan Jelliffe (989) bahwa banyaknya populasi merupakan salah satu indikator yang berhubungan dengan pangan yang diperoleh oleh penduduk. Faktor Ekonomi a. Tingkat Kemiskinan Bappenas (24) diacu dalam Harniati (28) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, bagi perempuan maupun laki-laki. Salah satu indikator ekonomi menurut UNICEF diacu dalam Gerster dan Bentaya (25) yang digunakan untuk menentukan ketahanan pangan dan gizi

15 9 pada tingkat nasional dan wilayah adalah persentase penduduk dibawah garis kemiskinan (tingkat kemiskinan wilayah). Tingkat kemiskinan menunjukkan pemerataan distribusi hasil pembangunan di suatu wilayah. Kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menyebabkan antara lain tingginya beban sosial ekonomi masyarakat; rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia; rendahnya partisipasi aktif masyarakat; menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal pelayanan kepada masyarakat; dan kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudhoyono diacu dalam Harniati 28). Hal itu terjadi karena kemiskinan telah membuat jutaan anak tidak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan public, kurangnya lapangan kerja, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memiliki keterbatasan memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan (Scott 98; Sahdan 27 diacu dalam Ulfani 2). Kemiskinan pendapatan atau pengeluaran merujuk pada kemiskinan absolut secara materiil, mewakili mereka yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan yang telah ditentukan sebelumnya (Irawan 24 diacu dalam Ulfani 2). Parameter yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan biasanya adalah pendapatan dan tingkat konsumsi. Penentuan garis kemiskinan bervariasi tergantung pada waktu dan kondisi masyarakat. Pada masyarakat miskin, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pertama dalam pengalokasian pendapatannya (Gerster dan Bentaya 25). b. Pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan suatu gambaran kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output pada suatu waktu tertentu. PDRB dihitung atas dasar harga berlaku serta atas dasar harga konstan (BPS 25). PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Suatu daerah yang laju pertumbuhan ekonominya baik, tentu memiliki PDRB yang besar. PDRB berasal dari Sembilan sektor usaha yang terdiri atas: ) pertanian, 2) pertambangan dan penggalian, 3) industri pengolahan, 4) listrik, gas dan air

16 2 bersih, 5) bangunan (konstruksi), 6) perdagangan, hotel dan restoran, 7) pengangkutan dan komunikasi, 8) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, 9) jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah (BPS 25). Menurut UNICEF, PDRB/kapita merupakan salah satu indikator pada penentuan ketahanan pangan dan gizi wilayah maupun nasional pada sektor ekonomi. Yaitu dengan membagi PDRB wilayah dengan jumlah penduduk tengah tahun pada kurun waktu yang sama. PDRB/kapita menggambarkan ratarata pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah dalam waktu satu tahun (BPS 28). Pendapatan sebagai faktor ekonomi mempunyai pengaruh terhadap konsumsi pangan. Zulfianto (99) diacu dalam Ratna (25) menyatakan bahwa kelompok miskin yang pengeluaran absolutnya untuk makanan sudah sangat rendah, jika terjadi peningkatan pendapatan, maka proporsi untuk makan pun meningkat. Menurut Soehardjo (998) kenaikan tingkat pendapatan akan menyebabkan perubahan dalam susunan pangan yang dikonsumsi. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak menyebabkan jenis pangan yang dikonsumsi menjadi beragam, tetapi justru yang sering terjadi adalah pangan yang dibeli harganya lebih mahal (Hardinsyah, et al. 22). Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh. Pada tingkat pendapatan rendah sumber energi utama diperoleh dari serealia, umbi-umbian dan sayuran. Kenaikan pendapatan menyebabkan kenaikan variasi konsumsi makanan baik yang berasal dari hewan, gula, lemak, minyak, dan makanan kaleng (Soehardjo 998). Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan serealia akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan bertambah jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis pangan lainnya. (Berg 986) Pendidikan Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga. Berg (986)

17 2 menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi akan lebih baik. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat berdasarkan lamanya atau jenis pendidikan yang dialami baik formal maupun informal. Di Indonesia, Pemerintah mencetuskan gerakan wajib belajar 9 tahun (hingga SMP) sehingga penduduk yang tidak dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dapat digolongkan dalam penduduk dengan tingkat pencapaian pendidikan rendah. Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (24) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Sedangkan menurut Syarief (988) diacu dalam Hardinsyah (27) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 24 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study.penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari data riset

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI SUCI APRIANI

FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI SUCI APRIANI i FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI BEBERAPA WILAYAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN: STUDI EKOLOGI SUCI APRIANI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki karakteristik yang khas di setiap wilayahnya. Pembagian kawasan menurut UU no.22 tahun 1999 ada

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(3): 200-207 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(3): 200-207 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN (Influencing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola Konsumsi adalah susunan tingkat kebutuhan seseorang atau rumahtangga untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam menyusun pola konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Amang (1993), Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Pola Konsumsi Non Beras Sektor pertanian tidak akan pernah lepas dari fungsinya sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mendasar, dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsumsi Pangan Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial budaya dipengaruhi banyak hal yang saling kait mengait, di samping untuk memenuhi

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah maupun yang tidak

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus, berlandaskan kemampuan wilayah dengan

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 BPS PROVINSI D.K.I. JAKARTA PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007 No. 17/05/31/Th.IX, 15 MEI 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi asupan gizi dan sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Salah satu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri,

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia, pemenuhan kecukupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/08/31/Th.IX, 15 AGUSTUS 2007 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2007 yang diukur berdasarkan PDRB atas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH Oleh: Achmad Djauhari dan Supena Friyatno*) Abstrak Kelompok rumah tangga adalah sasaran utama dalam program peningkatan dan perbaikan tingkat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden 1. Umur Umur merupakan suatu ukuran lamanya hidup seseorang dalam satuan tahun. Umur akan berhubungan dengan kemampuan dan aktivitas seseorang dalam melakukan

Lebih terperinci

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

POLA PANGAN HARAPAN (PPH) PANDUAN PENGHITUNGAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) Skor PPH Nasional Tahun 2009-2014 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 Kacangkacangan Buah/Biji Berminyak 5,0 3,0 10,0 Minyak dan Lemak Gula 5,0 Sayur & buah Lain-lain

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus menjadikan kondisi tersebut sebagai titik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras. Beras

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii DAFTAR ISI PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... 2 1.3. Hubungan Antar Dokumen...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda 5 TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gizi Ganda Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Peningkatan kemajuan dan kesejahteraan bangsa sangat tergantung pada kemampuan

Lebih terperinci

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup 7 II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka 1. Pola makan anak balita Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup khususnya manusia. Pangan merupakan bahan yang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR 44 Keterbatasan Kajian Penelitian PKL di suatu perkotaan sangat kompleks karena melibatkan banyak stakeholder, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Dengan demikian, penelitian ini memiliki beberapa

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT

PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-11 PEMENUHAN PANGAN BAGI MASYARAKAT Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Dr. Ir. Budiarto, MP. Program Studi Agribisnis UPN Veteran Yogyakarta 1 PANGAN Definisi PANGAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 No. 19/05/31/Th. X, 15 Mei 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008 Perekonomian DKI Jakarta pada triwulan I tahun 2008 yang diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan

Lebih terperinci

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN Oleh : Tenaga Ahli Badan Ketahanan Pangan Dr. Ir. Mei Rochjat Darmawiredja, M.Ed SITUASI DAN TANTANGAN GLOBAL Pertumbuhan Penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia

TINJAUAN PUSTAKA. s Hak atas Pangan. Ketersediaan Pangan. Pemberdayaan. Akuntabilitas. Berbasis Hak Asasi Manusia 5 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Hak atas Pangan Hak atas pangan yang cukup dibangun dari konsep ketahanan pangan. Hak atas pangan yang cukup memberikan penekanan lebih besar pada individu manusia bukan pada istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian menjadi daerah permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut BPN

BAB I PENDAHULUAN. pertanian menjadi daerah permukiman, industri, dan lain-lain. Menurut BPN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan pertanian setiap tahunnya berkurang kuantitas maupun kualitasnya. Dari sisi kuantitas, lahan pertanian berkurang karena alih fungsi lahan pertanian menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah terbesar se-asia Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih 220 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,5% per

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju pertumbuhan penduduk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nainggolan K. (2005), pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam pendapatan masyarakat di Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT

BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT BAB I KONDISI MAKRO PEMBANGUNAN JAWA BARAT 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) beserta Komponennya Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP meningkat di tahun 2013 sebesar 1.30 persen dibandingkan pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci