SATU TAHUN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SATU TAHUN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL"

Transkripsi

1 1

2

3 SATU TAHUN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

4 SATU TAHUN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Hak Cipta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan I, Agustus2015 Pengarah Penanggung Jawab Editor Penulis : Rahma Iryanti : Vivi Yulaswati : Chairul Rijal Dinar Dana Kharisma Ekaning Wedarantia : Nur Nisahairini Diterbitkan oleh: Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementeriaan PPN/Bappenas Jln. Taman Suropati No.2, Jakarta Telp./Faks ditpkm@bappenas.go.id Website: ISBN :

5 Kata Sambutan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Untuk memastikan tujuan tersebut, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional No. 40 Tahun 2004 mengamanatkan diselenggarakannya lima program Jaminan Sosial Nasional, yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kematian, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun. Jaminan kesehatan merupakan kebutuhan dasar utama yang paling diperlukan oleh semua penduduk, dengan dasar tersebut UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mendorong Program Jaminan Kesehatan untuk lebih dahulu di implementasikan mulai 1 Januari Pelaksanaan Program Jaminan Sosial lainnya akan menyusul diimplementasikan mulai 1 Juli Sesuai dengan amanat pada Perpres No. 12 Tahun 2013, kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di targetkan mencapai cakupan semesta pada tahun RPJMN telah menyusun berbagai arahan dan strategi untuk mencapai cita-cita mulia ini. Kepesertaan semesta dibutuhkan untuk memastikan terselenggaranya Program JKN yang berkesinambungan karena memiliki kumpulan risiko yang baik sehingga risiko pembiayaan yang dibutuhkan lebih mudah diprediksi. Selaras dengan itu, Buku Satu Tahun Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional ini mencoba memotret dinamika yang terjadi pada satu tahun awal implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional, serta memberikan masukan dan terobosan yang berlandaskan bukti empiris untuk mewujudkan Kepesertaan Semesta Jaminan Kesehatan Nasional Buku ini sekaligus diharapkan bisa menjadi cermin pelajaran berharga bagi Program Jaminan Sosial lainnya dalam lingkup SJSN yang akan diselenggarakan mulai 1 Juli Semoga buku ini bermanfaat dalam mendukung upaya pemerintah untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak dan mendorong perbaikan kualitas hidup bagi seluruh penduduk Indonesia. Jakarta, Juni 2015 Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dr. Vivi Yulaswati, M.Sc. 3

6 Daftar Isi Kata Sambutan... 1 Daftar Isi... 4 Daftar Gambar... 6 Daftar Tabel... 8 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan BAB II 12 SEJARAH JAMINAN KESEHATAN DI INDONESIA Era Sebelum Krisis JPS BK Lahirnya SJSN dan Askeskin Penyempurnaan Askeskin Menjadi Jamkesmas,, Menjamurnya Jamkesda, Revitalisasi SJSN Penyempurnaan peraturan Lahirnya JKN dan BPJS Kesehatan BAB III 24 Satu Tahun Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Perluasan Kepesertaan Kepesertaan JKN dan perkembangan terakhir Permasalahan kepesertaan PPU Permasalahan kepesertaan PBPU Permasalahan Integrasi Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Ketersediaan dan Kualitas Layanan Kesehatan Ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan Disparitas Antar Daerah Koordinasi Manfaat Inklusifitas Manfaat dan Akses JKN Kesinambungan Keuangan Perkembangan Kondisi Keuangan Terakhir Permasalahan Adverse Selection

7 3.3.3 Kesinambungan Pembayaran Iuran Fraud Organisasi dan Manajemen BPJS Kesehatan Permasalahan Organisasi dan Manajemen BPJS Kesehatan Keluhan Peran Pemerintah Koordinasi Lintas Sektor dan Support Terhadap BPJS Kelengkapan dan Relevansi Regulasi Pendanaan BAB IV PENUTUP Kesimpulan Langkah Pengembangan Perluasan kepesertaan Ketersediaan dan kualitas layanan Kesinambungan Keuangan Organisasi dan manajemen BPJS Kesehatan Peran Pemerintah

8 Daftar Gambar Gambar 1. Peserta Berbagai Skema Jaminan Kesehatan di Indonesia Juni Gambar 2. Penahapan Kepesertaan JKN Gambar 3. Cakupan Kepesertaan JKN Tahun 2014 (Jiwa) Gambar 4. Komposisi Kepesertaan JKN Per Triwulan Gambar 5. Cakupan Kepesertaan JKN2014 Berdasarkan Jumlah Penduduk Per Provinsi Gambar 6. Penduduk non JKN Menurut Jenis Kepesertaan di 8 Provinsi dengan Penduduk Non JKN Terbesar Gambar 7. Cakupan Kepesertaan PPU dan PBPU Nasional, Desember Gambar 8. % Cakupan Kepesertaan JKN 2014 per Provinsi Gambar 9. Pencapaian Target Kepesertaan PBPU di Beberapa Daerah, Gambar 10. Pemilihan Kelas Perawatan Peserta PBPU di Provinsi Bali dan Maluku Utara, Gambar 11. Rasio Pendaftar PBPU Berdasarkan Usia di BPJS Kesehatan Cabang Ternate, Gambar 12. Perbandingan Ratio Pemanfaatan Layanan Kesehatan, Gambar 13. Rentang Pemanfaatan Layanan Kesehatan Tingkat Lanjut oleh PBPU dengan Waktu Pendaftaran Sebagai Peserta Gambar 14. Jumlah Anggota Keluarga yang Terdaftar pada JKN Gambar 15. Pembayaran Iuran PBPU Gambar 16. Roadmap BPJS Kesehatan Gambar 17. Faskes Primer Kerjasama BPJS Kesehatan, Gambar 18. Rumah Sakit Kerjasama BPJS Kesehatan, Gambar 19. Ketersediaan dan Kebutuhan Faskes Primer Berdasarkan Kebutuhan Peserta JKN dan Seluruh Penduduk, 2014 (komparasi terhadap standar 1 : 5.000) Gambar 20. Gambaran Kesenjangan Kebutuhan dan Ketersediaan Faskes Primer di Provinsi Gorontalo, Gambar 21. Ketersediaan dan Kebutuhan Tempat Tidur di Faskes Lanjutan Berdasarkan Kebutuhan Peserta JKN dan Seluruh Penduduk, 2014 (Standar 1 TT : 1000 peserta) Gambar 22. Konsep Pelaksanaan Program Koordinasi Manfaat JKN dengan Asuransi Kesehatan Tambahan Gambar 23. Mekanisme Klaim Koordinasi Manfaat di RS Faskes BPJS Kesehatan Gambar 24. Mekanisme Klaim Koordinasi Manfaat di RS Non Faskes BPJS Kesehatan Gambar 25. Rasio Klaim Pelayanan Kesehatan JKN, Januari-Desember Gambar 26. Perbandingan Rerata Biaya Pelayanan Kesehatan dengan Rerata Pendapatan Iuran JKN Gambar 27. Kasus RJTL dengan Jumlah Kunjungan >2 Kali/Bulan, Januari Mei Gambar 28. Persentase Kasus Berdasarkan Severity Level, Gambar 29. Keluhan Peserta JKN yang Disampaikan ke BPJS Kesehatan, Gambar 30. Alur Penegakan Kepatuhan bagi PPU yang Belum Mendaftar di BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo

9 Gambar 31. Alur Penegakan Kepatuhan bagi PPU yang Menunggak Iuran di BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo Gambar 32. Leaflet Sosialisasi JKN oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah

10 Daftar Tabel Tabel 1. Daftar Peraturan Pelaksana UU SJSN dan UU BPJS yang Diterbitkan Pada Tahun Tabel 2. Daftar Peraturan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun Tabel 3. Kelompok Kepesertaan JKN Tabel 4. Besaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasiona Tabel 5. Cakupan Kepesertaan JKN Kelompok Pemberi Kerja di 8 Provinsi Non-JKN terbesar, Desember Tabel 6. Cakupan Kepesertaan JKN Berdasarkan Target Kepesertaan BPJS Kesehatan dan Keseluruhan Tenaga Kerja Non-PNS, Desember Tabel 7. Tingkat Utilisasi JKN, Tabel 8. Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Faskes Primer, Tabel 9. Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Pemerintah, Tabel 10. Kredensialing Fasilitas Tingkat Pertama (FKTP) BPJS Kesehatan Gorontalo, Tabel 11. Matriks Koordinasi Manfaat JKN, Tabel 12 Besaran Rasio Klaim Per Kelompok Kepesertaan, Tabel 13. Kolektabilitas Iuran JKN per Desember 2014 (Dalam Juta Rupiah) Tabel 14. Jumlah Kasus, Total Klaim, dan Unit Cost RJTL BPJS Kesehatan Gorontalo Tabel 15. Jumlah Kasus, Total Klaim, dan Unit Cost RITL BPJS Kesehatan Gorontalo Tabel 16. Strategi Integrasi Jamkesda dengan JKN di Provinsi Jawa Barat Tabel 17. Daftar Peraturan JKN yang dirumuskan pada tahun Tabel 18. Peraturan Lain terkait JKN yang dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga terkait Tahun Tabel 19. Penerimaan Iuran JKN Per Desember

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 Januari 2014 merupakan titik awal fase baru upaya perbaikan kesehatan penduduk Indonesia. Melalui UU SJSN (UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional), UU BPJS (UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), dan Perpres Jaminan Kesehatan (Perpres No. 12 Tahun 2013 jo Perpres No.111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan), Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara resmi diimplementasikan untuk memberikan jaminan kepada peserta agar dapat memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. 1 Program JKN diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang merupakan transformasi dari PT Askes (Persero) JKN diselenggarakan secara nasional dengan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. 2 Melalui prinsip asuransi sosial, kepesertaan JKN bersifat wajib bagi seluruh penduduk. Dengan prinsip ini diharapkan akan terjadi gotong royong antar peserta dalam dua hal. Pertama, gotong royong risiko sakit dari penduduk sehat kepada penduduk sakit. Kedua, gotong royong risiko pengeluaran kesehatan yang besar/katastropik dari penduduk kaya kepada penduduk miskin. Dengan demikian, hal ini akan mendukung terselenggaranya prinsip ekuitas (kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis), sehingga tidak ada lagi masyarakat yang memiliki halangan, khususnya halangan finansial, untuk mengakses pelayanan kesehatan. Program ini diperkirakan akan memberikan banyak perubahan terhadap sistem kesehatan di Indonesia, seperti pada manajemen pembiayaan, manajemen pelayanan kesehatan, manajemen informasi, koordinasi lintas sektor, dan lainnya. Lebih jauh, sistem ini diperkirakan juga akan berpengaruh terhadap aspek lain di luar sistem kesehatan itu sendiri, seperti aspek ekonomi; aspek usaha, aspek ketenagakerjaan, dan aspek pengupahan; aspek penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial; sampai dengan aspek pendataan dan pencatatan kependudukan. Peserta JKN per 1 Januari 2014 adalah peserta program-program jaminan kesehatan yang dialihkan secara langsung ke program JKN, yaitu peserta Jamkesmas, Askes PNS, Jaminan Kesehatan TNI/POLRI, dan JPK Jamsostek. Mulai saat itu pula, BPJS Kesehatan membuka pendafataran bagi setiap penduduk yang ingin mendaftar JKN, baik perorangan, melalui perusahaan, ataupun melalui pemerintah daerah sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) daerah. BPJS Kesehatan memperkirakan jumlah peserta JKN per 1 Januari 2014 sebanyak 48,2% dari total penduduk Indonesia 3, atau sebanyak 110,4 juta jiwa. Perpres Jaminan Kesehatan mengamanahkan seluruh penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai peserta JKN atau mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada tahun Pasal 20, UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional 2 Pasal 19, UU No. 40 Tahun 2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional 3 Lampiran Pidato Presiden. Badan Perencana Pembangunan Nasional/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional

12 Gambar 1. Peserta Berbagai Skema Jaminan Kesehatan di Indonesia Juni 2013 Penduduk Tanpa Jaminan 28% Askes PNS 7% TNI/POLRI 1% Asuransi Swasta 1% Jamkesmas 35% Jaminan Perusahaan 7% Jamkesda/PJKMU 18% JPK Jamsostek 3% Sumber: Mukti, Ali Ghufran. Presentasi: Indonesia o n Its Path to Universal Health Coverage - Expanding Coverage for Informal Sector Sebagai program yang baru mulai diimplementasikan, Program JKN menghadapi banyak tantangan. Pertama, terkait perluasan kepesertaan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia belum tercakup dalam program JKN. Tantangan perluasan kepesertaan terbesar bukan lah pada penduduk miskin karena 36% (86,4 juta jiwa) penduduk termiskin telah dibayarkan iuran JKNnya oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan. Tantangan terbesar justru ada pada penduduk mampu, terutama yang sehat, untuk turut serta dalam program ini. Penduduk kelompok ini tidak layak untuk menerima bantuan iuran namun diperkirakan memiliki kemauan (willingness) yang rendah untuk membayar iuran dan bergabung dalam program JKN karena berbagai faktor. Selain itu kelompok penduduk ini kebanyakan berada pada sektor informal, sehingga dari sisi administrasi akan cukup sulit untuk mendaftarkan dan mengelola keanggotaan JKN mereka. Kedua, penyiapan pelaksanaan program JKN belum diimbangi dengan persiapan di sektor pelayanan kesehatan. Lonjakan peserta JKN sangat berpengaruh terhadap kunjungan dan penggunaan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan baik, dapat menimbulkan kekacauan pelayanan kesehatan yang akan sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan. Ketiga, terkait kesinambungan keuangan program JKN. Sejak ditetapkannya besaran iuran JKN, beberapa pihak, termasuk BPJS Kesehatan, berpendapat bahwa besaran iuran tersebut belum sesuai dengan tarif pembiayaan kesehatan yang akan dikeluarkan. Kemudian, saat ini pendaftaran JKN oleh peserta perorangan lebih banyak didominasi oleh mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan dengan biaya cukup besar dalam waktu dekat sehingga kemungkinan terjadinya adverse selection sangat sulit dihindari. Keempat, terkait sinkronisasi program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) pada tingkat provinsi/kabupaten/kota untuk dapat beroperasi dan mendukung JKN. Pelaksanaan Jamkesda saat ini memiliki skema, mekanisme, sasaran, serta besaran anggaran yang sangat variatif antar daerah. Ke depannya Jamkesda harus diarahkan untuk dapat mengikuti dan mendukung JKN yang dikelola BPJS Kesehatan. Sebagai contoh Pemerintah daerah bisa mengalokasikan dana Jamkesda untuk memberikan bantuan iuran JKN kepada masyarakat yang dianggap layak, seperti halnya yang dilaksanakan Pemerintah Pusat untuk penduduk miskin dan tidak mampu. Sesuai roadmap JKN, diharapkan, seluruh Jamkesda telah berintegrasi pada tahun Pada 10

13 tahun 2013, peserta program Jamkesda di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 45 juta jiwa 4. Sedangkan berdasarkan data per Desember 2013, baru sejumlah 11,2 juta jiwa peserta Jamkesda yang berkomitmen akan berintegrasi ke JKN. Keempat, hal yang disebutkan di atas adalah sebagian kecil dari sederet tantangan yang harus dihadapi dalam satu tahun implementasi Program JKN. Terlepas dari itu, JKN merupakan program yang sangat dibutuhkan terutama untuk memastikan pemenuhan hak setiap penduduk untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas 5 serta memperbaiki status kesehatan. Perbaikan status kesehatan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pembangunan Indonesia secara umum. Oleh karena itu, kontribusi setiap pihak untuk terus memperbaiki setiap celah dari penyelenggaraan program JKN sangat diharapkan. 1.2 TUJUAN Tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi berdasarkan bukti (evidence-based information) kepada pembaca mengenai penyelenggaraan Program JKN pada satu tahun pertama pengimplementasiannya. Diharapkan pula, buku ini dapat menjadi sumber informasi dan memberikan rekomendasi bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan berbagai kebijakan untuk perbaikan pelaksanaan program JKN maupun program-program jaminan sosial lainnya. 4 Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes. Data Peserta Jamkesda Cek UU pasal 28 H 11

14 BAB II SEJARAH JAMINAN KESEHATAN DI INDONESIA 2.1 ERA SEBELUM KRISIS Cikal bakal pelaksanaan asuransi kesehatan di Indonesia telah mulai pada tahun 1960 melalui amanat UU Pokok Kesehatan (UU No. 6 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan) yang mengamanatkan dikembangkannya dana sakit dengan tujuan menyediakan akses pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Namun karena pada masa itu situasi perekonomian Indonesia masih belum stabil, amanat UU Pokok Kesehatan ini belum dapat dilaksanakan secara nasional. Beberapa perusahaan besar dan pemerintah memberikan jaminan kesehatan kepada karyawannya secara self insured dengan mengganti biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan oleh karyawan. Di tahun 1968, upaya pengembangan asuransi kesehatan mulai dilaksanakan secara sistematis. Pemerintah mengupayakan dibentuknya asuransi kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan keluarganya. Ini merupakan pelaksanaan asuransi sosial pertama karena mewajibkan seluruh PNS (kelompok penduduk tertentu) untuk ikut serta dalam program, manfaat pelayanan ditetapkan oleh undang-undang dan berlaku umum untuk seluruh peserta, serta iuran ditetapkan berdasarkan % gaji/upah. Pada awalnya, asuransi kesehatan bagi PNS ini dikelola oleh suatu badan di Kementerian Kesehatan dengan nama Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK). Namun karena lembaga ini berada di bawah kementerian, lembaga ini menjadi tidak fleksibel dalam melakukan pengelolaan jaminan kesehatan bagi peserta. Dengan demikian, pemerintah mengonversi BPDPK menjadi Perusahaan Umum Husada Bakti (PHB) di tahun Perubahan menjadi PHB ini masih dirasa kurang fleksibel untuk pengembangan dengan pihak luar negeri. Akhirnya, pada tahun 1992, PHB berubah menjadi PT Asuransi Kesehatan (Persero) berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun Karena bentuk inilah, PT Askes akhirnya mampu memperla\uas produk asuransi kepada sektor swasta dengan menjual produk asuransi kesehatan komersia melalui anak perusahaan PT Inhealth.Asuransi Sosial bagi pekerja sektor formal swasta dimulai sejak tahun 1985 dimana Perusahaan Asuransi Tenaga Kerja (Astek) yang kini bernama PT Jamsostek mulai melakukan pilot project untuk Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Tenaga Kerja di Lima Provinsi yang mencakup tenaga kerja. Setelah lima tahun uji coba, Program JPK ini mulai diimplementasikan di seluruh Indonesia. Program ini juga secara hukum di perkuat dengan dimasukkannya ke dalam UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada tahun Namun sayangnya, dalam UU tersebut terdapat klausul yang membolehkan perusahaan yang telah memberikan Jaminan Kesehatan yang lebih baik bagi pekerjanya, tidak lagi wajib ikut serta dalam program tersebut (opting out), sehingga pertumbuhan peserta JPK Jamsostek tiap tahunnya tidak terlalu besar. 6 Thabrany, H. Asuransi Kesehatan Nasional. Pamjaki

15 2.2 JPS BK Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis keuangan yang cukup besar dan mengguncang kestabilan ekonomi masyarakat. Masa tersebut merupakan masa yang sangat berat, terutama bagi masyarakat kurang mampu, harga barang meningkat drastis, perusahaan-perusahaan mengalami kebangkrutan, dan tidak sedikit pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk melindungi masyarakat miskin, Pemerintah Indonesia mengembangkan sebuah Paket Skema Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang salah satunya memberikan subsidi pelayanan kesehatan melalui Jaring Pengaman Sosial Bantuan Kesehatan (JPS-BK). Program ini dirancang untuk memudahkan penduduk miskin mengakses layanan kesehatan di fasilitas kesehatan Pemerintah, termasuk layanan tambahan berupa pemberian makanan tambahan dan layanan Keluarga Berencana (KB). Yang cukup menarik dari program ini, JPS-BK merupakan skema bantuan sosial kesehatan pertama di Indonesia yang ditargetkan untuk kategori penduduk tertentu dengan kriteriakriteria spesifik. Di era sebelumnya, subsisi/bantuan sosial kesehatan diberikan kepada langsung kepada penyedia layanan kesehatan untuk menurunkan tariff pelayanan kesehatan. Target penerima JPS-BK ditentukan dari kategori yang dimiliki oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN membagi rumah tangga menjadi empat tingkat kesejahteraan, yaitu: Pra Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, dan Sejahtera III. Penerima program JPS BK dipilih dari keluarga yang termasuk dalam kategori pra sejahtera, yaitu sejumlah 7,4 juta rumah tangga peserta atau setara dengan 15% dari total populasi penduduk di Indonesia. Penduduk yang terpilih sebagai peserta JPS-BK akan menerima kartu sebagai bukti kepesertaan dan mendapatkan manfaat berupa pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah. Di tingkat pusat, JPS-BK dikelola oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Atas instruksi dari Kemenkes, setiap kabupaten/kota membentuk tim badan pelaksana untuk mengelola dana program. Dengan demikian, puskesmas menerima dana kapitasi dari lembaga ini dan rumah sakit mengirimkan berkas klaim ke lembaga ini pula untuk mendapatkan penggantian biaya. Pada lima tahun awal pengimplementasiannya, JPS-BK didukung melalui pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). Pda tahun 2002, program ini berubah nama menjadi Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) dan didanai langsung oleh pemerintah Indonesia melalui realokasi dana subsidi BBM. Tahun 2003, program ini kembali mengalami perubahan nama menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS-BBM Bidkes). Sejak perubahan ini, pola pembayaran tidak lagi melalui sistem reimbursement melainkan rumah sakit diberikan sejumlah dana langsung untuk melayani penerima program. 13

16 2.2 LAHIRNYA SJSN DAN ASKESKIN 7 Inisiasi lahirnya SJSN sudah dimulai sejak tahun 2000 ketika Presiden saat itu, Abdurrahman Wahid, mencetuskan pengembangan konsep SJSN. Selanjutnya, konsep undang-undang yang mendasari pelaksanaan konsep ini mulai dibuat dengan nama Undang-Undang Jaminan Sosial. Sejalan dengan pemerintahan, DPR juga meluncurkan inisiatif untuk segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Tahun 2001, Presiden Periode Selanjutnya, Megawati Soekarno Putri, membentuk pokja SJSN yang merumuskan Naskah Akademik RUU SJSN. Disela-sela perumusan RUU SJSN, MPR melakukan amandemen UUD 1945 pada tahun Salah satu pasal yang diamandemen adalah pasal 34 ayat (1) dan (2) yang mengamanatkan dikembangkannya sebuah Sistem Jaminan Sosial Nasional. Berdasarkan amandemen tersebut, pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Lika-liku perjalanan RUU SJSN untuk disahkan menjadi UU SJSN begitu panjang. Setelah mendapat perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali, akhirnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional resmi ditandatangani pada 19 Oktober SJSN dibangun untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi peserta dan/atau anggota keluarganya dengan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Program jaminan sosial yang diamanatkan untuk diimplementasikan terdiri dari lima program yaitu Jaminan Kesehatan,, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Untuk menjalankan program-program tersebut, UU SJSN mengamanatkan dibentuknya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). DJSN akhirnya terbentuk pada 24 September 2008 melalui Keppres No. 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN. Namun, pembahasan mengenai RUU BPJS berlangsung sangat alot dan belum terumuskan sampai tenggat peralihan UU SJSN di tahun Akibat pembahasan RUU BPJS yang alot ini pula, sekitar 21 peraturan pelaksanaan turunan yang didelegasikan pun luput dari perhatian. Harapan terlaksananya program-program jaminan sosial dalam waktu dekat menjadi tertunda. Untuk mengisi kekosongan waktu dan semangat melaksanakan UU SJSN, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan PT Askes untuk sementara meluncurkan Program Asuransi Kesehatan Indonesia (Askeskin) atau biasa juga disebut dengan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di tahun Sebuah program perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin yang seluruh iurannya dibiayai oleh pemerintah. Tujuan pelaksanaan program Askeskin adalah terselenggaranya program Jaminan pemeliharaan bagi masyarakat miskin secara berhasil guna dan berdaya guna. Secara lebih spesifik, kegiatan ini dilakukan dengan maksud: 7 Kharisma. DD. Evaluation of Indonesia,s Jamkesmas and Jamkesda Free Health Care Programs: Impact on health Sevices Utilization and Out of Pocket Expenditure. Tutfs University

17 i. Terlaksananya registrasi masyarakat miskin yang tepat sasaran sebagai peserta program Askeskin; ii. Terlaksananya pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif dalam meningkatkan pemanfaatan dan taraf kesehatan masyarakat miskin; iii. Terlaksananya pengelolaan keuangan yang akuntabel dan efisien dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Berbeda dengan program sebelumnya (JPS-BK), Askeskin dikelola langsung oleh Pemerintah Pusat melalui kerja sama dengan PT Askes yang telah berpengalaman mengelola jaminan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah membayarkan iuran peserta kepada PT Askes, selanjutnya PT Askes bertanggung jawab melaksanakan program mulai dari manajemen kepesertaan, pelayanan kesehatan, pembayaran klaim, sampai dengan pelaporan kegiatan. Kegiatan pelayanan kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip managed care yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan dengan pembiayaan kesehatan sehingga tercapai mutu pelayanan yang optimal dan sesuai kebutuhan. Prinsip ini memungkinkan pelayanan kesehatan dapat dimanfaatkan secara terstruktur dan berjenjang di mulai dari pelayanan kesehatan primer sampai dengan pelayanan kesehatan tingkat lanjut. Peserta bisa memanfaatkan layanan kesehatan di faskes yang lebih tinggi (faskes sekunder atau tersier) selama memenuhi syarat pelayanan yang ditandai adanya surat rujukan dari dokter di faskes primer. Cakupan manfaat yang disediakan dalam program ini komprehensif, meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan dapat diberikan melalui pelayanan UGD, Rawat jalan, maupun rawat inap di kelas III. Meskipun memiliki sasaran yang sama dengan JPS-BK, Askeskin memberlakukan sistem penargetan yang berbeda. Setiap pemerintah daerah diberikan kebebasan memilih peserta program sebanyak kuota yang telah ditentukan berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun Pada awalnya, peserta Askeskin berjumlah 36,4 juta jiwa. Namun, karena pencabutan subsidi BBM yang cukup besar, jumlah rumah tangga miskin meningkat, dan hampir seluruh Pemerintah Daerah mengajukan peserta tambahan. Berdasarkan tambahan permintaan ini, jumlah peserta Askeskin meningkat hingga 60 juta jiwa. Dalam memberikan pelayanan bagi peserta Askeskin, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang bersumber dari APBN dengan besar Iuran Rp5.000/orang/bulan. Sebagai pengelola, PT Askes berhak memanfaatkan 5% dari total iuran yang dibayarkan sebagai manajemen fee. Berdasarkan perlaksanaan Program Askeskin selama 3 tahuh ( ) terdapat beberapa hal penting yang dapat dijadikan catatan evaluasi, diantaranya: - Pendataan peserta yang tidak tepat sasaran; - Kurangnya pemahaman implementor (Kemenkes, PT Askes, Dinkes Prov/Kab/Kota, RS, maupun Puskesmas) terhadap program yang dijalankan; - Jumlah klaim yang terus meningkat dan terbatasnya dana yang dimiliki pemerintah akibat belum adanya mekanisme pengendalian program seperti kendali biaya dan kendali mutu; - Keterlambatan pembayaran klaim akibat minimnya tenaga verifikator yang dimiliki PT Askes; 15

18 - Kurangnya jumlah dan kapasitas faskes pemberi pelayanan kesehatan; - Belum jelasnya Struktur organisasi pelaksanaan Askeskin di daerah; - Peran ganda PT Askes sebagai pengelola dana dan pembayar klaim. 2.3 PENYEMPURNAAN ASKESKIN MENJADI JAMKESMAS 8,9,10 Di tahun 2008, pemerintah kembali mengubah format pelaksanaan program perlindungan kesehatan yang dijalankan. Dengan semangat memperbaiki mekanisme penyelenggaraan program sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengambil alih pengelolaan Program Askeskin dan mengubah nama program tersebut menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Meskipun terjadi perubahan nama, hal ini tidak merubah tujuan program untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin di Indonesia. Perubahan pengelolaan program perlindungan kesehatan di era Jamkesmas dilakukan untuk meningkatkan pengendalian biaya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu layanan, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan program, melalui: 1. Pemisahan peran pembayar dengan verifikator. Kemenkes menempatkan pelaksana verifikator independen di RS dan melakukan pembayaran langsung dari kas negara ke faskes. Verifikator independen ini juga berperan untuk mempercepat proses verifikasi klaim sehingga masalah keterlambatan pembayaran klaim pada program Askeskin dapat tertangani. 2. Pembentukan mekanisme pembayaran Indonesia-Diagnostic Related Groups (INA-DRG) sebagai instrumen pengendalian biaya dan mutu pelayanan. Melalui sistem ini, rumah sakit dibayarkan secara paket berdasarkan diagnosis penyakit pasien. Mulai tahun 2012 sistem INA-DRG mengalamai berbagai perbaikan dan berganti nama menjadi INA-CBGs; 3. Pembentukan Tim Pengelola dan Tim Koordinasi di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota; 4. Kerjasama dengan PT Askes terbatas pada pelaksanaan pengelolaan kepesertaan dan telaah utilisasi bulanan berdasarkan laporan dari Kemenkes. Peserta program Jamkesmas ditetapkan sebanyak 76,4 juta jiwa penduduk miskin dan kurang mampu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Angka tersebut berasal dari perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) berdasakan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) BPS juga telah menentukan kuota peserta untuk masing-masing kabupaten/kota. Pada tahun 2008, Kemenkes memberikan wewenang kepada Pemda untuk menentukan penduduknya yang berhak menjadi peserta Jamkesmas dengan menggunakan 14 indikator kemisikinan yang telah ditetapkan oleh BPS. Tahun 2013, Kemenkes melakukan pemutakhiran data peserta Jamkesmas. Data peserta ini berasal dari hasil kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh BPS pada bulan Juli-Desember 2011 (PPLS 2011). PPLS 2011 dilakukan terhadap 24,5 juta 8 Kharisma. DD. Evaluation of Indonesia,s Jamkesmas and Jamkesda Free Health Care Programs: Impact on health Sevices Utilization and Out of Pocket Expenditure. Tutfs University Sejarah UU SJSN. Kliping Berita terkait SJSN. 10 Damayanti, K. Evaluasi Implementasi Kebijakan Asuransi Kesehata =n Masyarakat Miskin (Askeskin) dan Prospek Implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat. Lembaga administrasi Negara RI

19 rumah tangga atau sekitar 96 juta individu yang merupakan 40% penduduk dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia. Dari hasil pendataan tersebut, pemerintah menetapkan 21,8 juta keluarga atau 86,4 juta jiwa penduduk sebagai daftar penerima baru program Jamkesmas. 11 Dalam operasionalisasi Jamkesmas, Pemda memiliki peran yang sangat besar, menggantikan peran yang sebelumnya dilakukan oleh Kantor Cabang PT Askes, yaitu: pendataan peserta (pada tahun 2008), koordinasi pelaksanaan dan pembinaan program, advokasi, sosialisasi, rekruitmen dan pelatihan verifikator independen, monitoring dan evaluasi program, kajian/survey, pembayaran honor/investasi dan operasional, perencanaan dan pengembangan program, serta mengaplikasikan SIM Jamkesmas. Dengan demikian, perubahan dari Program Askeskin menjadi Jamkesmas membutuhkan persiapan dan kontribusi yang sangat besar dari pemda. Selain kontribusi pemda terhadap penyelenggaraan Jamkesmas itu sendiri, Kemenkes juga membuka peluang bagi Pemda untuk turut berkontribusi memberikan jaminan kepada masyarakat miskin sesuai kemampuan daerah masing-masing berupa: 1. Memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak termasuk dalam kepesertaan Jamkesmas; 2. Menanggung selisih harga di luar jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan Jamkesmas; 3. Menanggung biaya transportasi rujukan dan rujukan balik pasien Jamkesmas dari RS kabupaten/kota ke RS yang ditunjuk; 4. Menanggu ng biaya transportasi pendamping pasien rujukan Jamkesmas baik rawat jalan maupun rawat inap; 5. Menanggulangi kekurangan dana operasional Puskesmas. Enam tahun penyelenggaraan program Jamkesmas menyimpan dinamika yang begitu besar baik di masyarakat, pemerintahan, maupun pemberi pelayanan kesehatan. Permasalahan yang paling sering muncul adalah mengenai kesalahan penargetan peserta Jamkesmas, baik pada kepesertaan 2008 maupun kepesertaan Pada kepesertaan 2008, dimana penentuan peserta diserahkan kepada pemda, muncul isu adanya penentuan peserta secara nepotisme oleh para pejabat lingkungan sehingga terjadi exclusion error (penduduk yang seharusnya mendapatkan, namun tidak mendapatkan program) dan inclusion error (penduduk yang seharusnya tidak mendapatkan, justru mendapatkan program) 12. Pada kepesertaan 2013, isu kesalahan penargetan tetap mengemuka meskipun PPLS 2011 telah digunakan dan kesalahan penargetan jauh menurun dibandingkan tahun Kesalahan penargetan ini disinyalir terjadi karena data peserta telah berusia dua tahun. Dalam kurun waktu tersebut, kemungkinan terjadinya dinamika kondisi kependudukan dan sosial ekonomi di masyarakat sudah sangat besar. Selain itu, pelaksanaan metodologi pendataan penduduk miskin di lapangan juga masih memerlukan penyempurnaan Kharisma. DD. Evaluation of Indonesia,s Jamkesmas and Jamkesda Free Health Care Programs: Impact on health Sevices Utilization and Out of Pocket Expenditure. Tutfs University

20 Permasalahan lainnya terkait penyelenggaraan Jamkesmas: 1. Penduduk miskin dan kurang mampu yang telah ditetapkan sebagai peserta Jamkesmas masih banyak yang belum mengetahui hak karena belum menerima kartu ada belum mendapatkan sosialisasi penggunaan kartu. 2. Permasalahan lain yang juga sangat menyorot perhatian publik adalah rendahnya kepuasan peserta Jamkesmas akibat masih terbatasnya jumlah sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, sulitnya mengakses pelayanan kesehatan, diskriminasi pelayanan kesehatan dengan pasien non Jamkesmas, sulitnya persyaratan administrasi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan masih adanya iur biaya yang harus dibayarkan peserta. Namun, pada tahun 2012 pemerintah (melalui PMK N0. 40 Tahun 2012 tenang Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas) tidak lagi mengizinkan adanya iur apapun biaya bagi peserta Jamkesmas sehingga permasalahan tersebut sudah jauh menurun Ketidakpuasan fasilitas kesehatan, terutama RS, karena aturan pelaksanaan Jamkesmas yang kerap kali berubah-ubah 14 tanpa adanya sosialisasi, serta besaran reimbursement (penggantian biaya) yang dianggap belum sesuai oleh masyarakat. Hal ini pula yang menyebabkan timbulnya berbagai macam permasalahan pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas. 2.4 MENJAMURNYA JAMKESDA 15, 16 Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) adalah program jaminan kesehatan yang didanai oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi ataupun pemerintah kab/kota. Oleh sebab itu, rancangan program Jamkesda sangat bervariasi bergantung dari keinginan dan kemampuan fiskal daerah masing-masing. Variasi rancangan program mencakup aspek kepesertaan, penyelenggaraan, manfaat, portabilitas, sampai besaran iuran. Hal inilah yang menyebabkan pemenuhan hak penduduk akan jaminan kesehatan melalui Jamkesda menjadi tidak seragam. Sebagian besar Jamkesda diberikan kepada penduduk miskin yang belum tercakup Jamkesmas. Namun tidak sedikit Pemda yang memperluas kepesertaan Jamkesda bagi seluruh penduduk selama belum memiliki jaminan kesehatan. Sistem pendataan juga sangat bervariasi. Sebagian Jamkesda memiliki kepesertaan tertutup, memiliki sistem penargetan peserta, dan database penduduk miskin target peserta yang lengkap. Namun ada pula yang kepesertaannya bersifat terbuka sehingga seluruh penduduk bisa mendapatkan manfaat Jamkesda selama kuota belum terisi penuh dan dapat memenuhi persyaratan yang diajukan. Berdasarkan data kepesertaan Jamkesda yang dimiliki Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, terdapat 45 juta jiwa penduduk yang tercakup pada kurang lebih 350 Program Jamkesda. Manfaat pelayanan yang diberikan oleh Jamkesda juga sangat bervariasi. Bagi Jamkesda dengan anggaran dana yang cukup besar, cakupan manfaat yang diberikan bersifat 13 Damayanti, K. Evaluasi Implementasi Kebijakan Asuransi Kesehata =n Masyarakat Miskin (Askeskin) dan Prospek Implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat. Lembaga administrasi Negara RI Suparman, dkk. Implementasi Kebijakan Jamkesmas di Kabupaten Bone. Universitas Hasanuddin Kharisma. DD. Evaluation of Indonesia,s Jamkesmas and Jamkesda Free Health Care Programs: Impact on health Sevices Utilization and Out of Pocket Expenditure. Tutfs University Dewan Jaminan Sosial Nasional. Strategi Integrasi Jamkesda ke Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta

21 komprehensif atau bisa menyamai cakupan manfaat yang diberikan oleh Jamkesmas, meskipun portabilitas sebagian besar Jamkesda masih terbatas sehingga tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan di luar wilayahnya Seperti pada Jamkesda BaliSedangkan bagi Jamkesda yang dilaksanakan oleh daerah dengan kapasitas fiskal rendah, manfaat yang diberikan terbatas. Beberapa Jamkesda tersebut belum mampu membiayai penyakit-penyakit katastropik yang sesungguhnya sangat dibutuhkan peserta. Ada pula Jamkesda yang memberikan batas maksimum jaminan sehingga peserta harus mengeluarkan biaya sendiri (Out of Pocket) jika pelayanan yang dibutuhkan lebih dari batas maksimum jaminan seperti pada Jamkesda Kabupaten Halmahera Barat. Untuk memberikan jaminan kesehatan yang sama bagi seluruh penduduk Indonesia, Jamkesda diarahkan untuk dapat berintegrasi dengan JKN sesuai dengan arahan Pasal 6A Perpres No.12 Tahun 2013 Jo Perpres No. 111 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan yang berbunyi: Penduduk yang belum termasuk sebagai peserta Jaminan Kesehatan dapat diikutsertakan dalam Program Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan oleh Pemerintah daerah Provinsi atau Pemerintah daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan hasil kesepakatan para pembuat kebijakan dalam Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional , seluruh Program Jamkesda diharapkan telah berintegrasi dengan JKN paling lambat tiga tahun sejak Program JKN dilaksanakan atau pada 31 Desember Integrasi Jamkesda ke JKN berarti pemerintah daerah mendaftarkan peserta jamkesdanya ke dalam program JKN melalui BPJS Kesehatan. Besaran iuran yang harus dibayarkan sama dengan besaran iuran bagi PBI yang diatur dalam Perpres Jaminan Kesehatan (Perpres No.12 Tahun 2013 jo Perpres No.111 Tahun 2013). 2.5 REVITALISASI SJSN Penyempurnaan peraturan Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, perjalanan menuju terwujudnya jaminan sosial di Indonesia sempat terkendala oleh perumusan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang membutuhkan waktu lama untuk proses perumusannya. Aspek yang menjadi pembahasan utama, diantaranya adalah terkait bentuk badan hukum dan jumlah BPJS yang akan mengoperasikan programnya. Rancangan UU BPJS resmi diundangkan menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). UU BPJS mengamanatkan pembentukan dua BPJS. BPJS pertama adalah BPJS Kesehatan yang mengelola program Jaminan Kesehatan dan merupakan transformasi dari PT Askes. BPJS Kedua adalah BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKm). BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari PT Jamsostek, PT Taspen, dan PT Asabri. Namun, pengalihan PT Taspen dan PT Asabri menjadi BPJS Ketenagakerjaan diberikan kesempatan hingga tahun 2029 untuk menyelesaikan kewajibannya kepada peserta yang dikelolanya. Banyak proses yang dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan SJSN dan mulai beroperasinya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014 dan 1 Juli Sejarah perjalanan UU SJSN 19

22 Diantaranya adalah penyusunan peraturan perundangan turunan, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan peraturan lainnya, serta langkah awal persiapan perubahan-perubahan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan tersebut. Untuk mempermudah pembahasan dan pelaksanaan tugas, Menko Kesra Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Agung Laksono memutuskan pembentukan enam pokja (kelompok kerja) yang terdiri atas empat Pokja BPJS Kesehatan dan dua Pokja BPJS Ketenagakerjaan. Empat pokja BPJS Kesehatan bertugas membahas dan merumuskan penyelenggaraan JKN terkait fasilitas kesehatan, sistem rujukan dan infrastruktur, pembiayaan, transformasi keuangan, transformasi kelembagaan dan program, regulasi, serta sumber daya manusia dan capacity building. Sedangkan Pokja BPJS Ketenagakerjaan bertugas untuk membahas dan merumuskan pembiayaan, iuran, manfaat, regulasi, transformasi, kelembagaan, dan program kerja. Selain peraturan perundangan yang secara resmi akan dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial, keenam pokja dengan dikomandoi oleh DJSN, juga menyepakati Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional dan Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan Peta jalan ini dirumuskan untuk memberikan pedoman, arahan, dan langkah-langkah bagi seluruh pemangku kepentingan dalam proses penyiapan dan penyelenggaraan Program Jaminan Sosial. Tabel 1. Daftar Peraturan Pelaksana UU SJSN dan UU BPJS yang Diterbitkan Pada Tahun 2013 No. Nomor Tentang Peraturan Pemerintah 1. PP No. 82 Tahun 2013 Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan 2. PP No. 83 Tahun 2013 Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan 3. PP No. 84 Tahun 2013 Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja 4. PP No. 85 Tahun 2013 Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 5. PP No. 86 Tahun 2013 Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial 6. PP No. 87 Tahun 2013 Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan 7. PP No. 88 Tahun 2013 Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 8. PP No. 89 Tahun 2013 Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 Tentang Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan Beserta Keluarganya Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun Tentang Subsidi Dan Iuran Pemerintah Dalam Penyelenggaraan PP No. 90 Tahun 2013 Asuransi Kesehatan Bagi Pegawai Negeri Sipil Dan Penerima Pensiun 20

23 No. Nomor Tentang 10. PP No. 99 Tahun 2013 Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Peraturan Presiden Perpres 12 Tahun 2013 Jo Perpres 111 Tahun 2013 Perpres 107 Tahun Perpres 108 Tahun Perpres 109 Tahun Perpres 110 Tahun 2013 Peraturan Menteri Peraturan Menteri 16. Keuangan No. 205 Tahun 2013 Peraturan Menteri 17. Keuangan No. 206 Tahun 2013 Peraturan Menteri 18. Keuangan No. 211 Tahun 2013 Peraturan Menteri 19. Keuangan No. 212 Tahun 2013 Peraturan Menteri 20. Kesehatan N0. 69 Tahun 2013 Peraturan Menteri 21. Kesehatan N0. 71 Tahun 2013 Jaminan Kesehatan Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan dengan Kegiatan Operasional Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Bentuk dan Isi Laporan Pengelolaan Program Jaminan Sosial Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial Gaji Atau Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya Serta Insentif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan Penerima Penghasilan dari Pemerintah Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan Penerima Penghasilan Penerima Bantuan Iuran Besaran Persentase Dana Operasional untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Tahun 2014 Besaran Persentase Dana Operasional untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Tahun 2014 Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional Lahirnya JKN dan BPJS Kesehatan Setelah peraturan pelaksana UU BPJS dan UU SJSN disahkan, pada 1 Januari 2014, resmi diluncurkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan langsung beroperasi secara penuh melalui Program JKN, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan masih mengerjakan tugas pokok dan fungsi PT Jamsostek namun dengan bentuk kelembagaan BPJS, sampai dengan 1 Juli Presiden RI ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono, meresmikan pendirian BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan serta meluncurkan Program JKN. Pada 1 Januari 2014, Program JKN mencakup sekitar 121 juta jiwa penduduk Indonesia yang setara dengan 48% penduduk Indonesia. Ini merupakan lompatan besar yang dilakukan Indonesia. Ditargetkan pada tahun 2019 seluruh penduduk Indonesia telah tercakup pada program ini. 21

24 Untuk semakin menguatkan pelaksanaan Program JKN, terus dilakukan perumusan peraturanperaturan pelaksana yang diperlukan. Bahkan beberapa peraturan yang telah ditetapkan di tahun 2013 dan dirasa belum sesuai dengan kondisi di lapangan, langsung mendapatkan perbaikan di tahun 2014 seperti yang terjadi pada peraturan mengenai tarif layanan kesehatan. Tabel 2. Daftar Peraturan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014 No. Nomor Tentang Peraturan Presiden Perpres No. 32 Tahun 2014 Perpres No. 68 Tahun 2014 Perpres No. 74 Tahun Peraturan Menteri Peraturan BPJS 4. Kesehatan No. 1 Tahun 2014 Peraturan BPJS 5. Kesehatan No. 2 Tahun 2014 Peraturan BPJS 6. Kesehatan No. 3 Tahun 2014 Peraturan BPJS 7. Kesehatan No. 4 Tahun Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No. 55 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim Agung Mahkamah Agung, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Tertentu Pedoman Penyusunan Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Kesehatan dan Bidang Ketenagakerjaan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Pengaduan Peserta Tata Cara dan Mekanisme Kerja Pengawasan dan Pemeriksaan Atas Kepatuhan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA- CBGS) Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Pelayanan Kesehatan dalam Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim Agung Mahkamah Agung, Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Tertentu. Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan 22

25 No. Nomor Tentang 13. Peraturan Menteri Kesehatan No. 69 Tahun Peraturan Menteri Keuangan No. 245 Tahun 2014 Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Besaran Persentase Dana Operasional Badan Penyelengara Jaminan Sosial Kesehatan Tahun

26 BAB III SATU TAHUN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL 3.1 PERLUASAN KEPESERTAAN Kepesertaan JKN dan perkembangan terakhir Sebagaimana namanya, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan jaminan perlindungan kesehatan yang diperuntukan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Setiap penduduk Indonesia dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia minimal enam bulan harus mendaftar sebagai peserta JKN. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip pelaksanaan asuransi sosial yang diadopsi oleh JKN, yaitu kepesertaan wajib. Secara teoritis jika seluruh penduduk telah terdaftar pada asuransi sosial, maka risiko sakit penduduk tersebut dapat diprediksi mendekati risiko sakit yang ideal dari suatu kumpulan. Dengan demikian, proyeksi pembiayaan kesehatan yang dihasilkan dapat mendekati kondisi aktual. Hal ini terjadi karena berjalannya prinsip gotong-royong dari peserta yang sakit ke peserta yang sehat, dari peserta yang tua ke peserta yang muda, dan dari peserta yang kaya ke peserta yang miskin. Untuk memastikan pembiayaan yang sehat dan berkesinambungan, peserta juga diharuskan berkontribusi melalui pembayaran iuran. Besaran dan mekanisme pembayaran iuran disesuaikan dengan jenis kelompok kepesertaan peserta JKn yang dibagi menjadi: 1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Peserta PBI merupakan peserta JKN yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebagian besar peserta PBI adalah penduduk miskin dan tidak mampu. Peserta PBI Pusat ditetapkan oleh Menteri Sosial. Pada tahun 2014 ditetapkan 86,4 juta jiwa penduduk miskin dan tidak mampu, atau sekitar 36% penduduk termiskin, sebagai peserta PBI. Data peserta PBI bersumber dari Basis Data Terpadu (BDT) hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial Tahun Peserta PBI Daerah didaftarkan oleh pemerintah daerah melalui mekanisma Jamkesda. Peserta PBI daerah adalah penduduk yang belum dicakup oleh JKN, dan tidak semuanya miskin. Beberapa daerah menyediakan bantuan iuran bagi seluruh rakyatnya tanpa kecuali di daerahnya masing-masing. 2. Peserta Bukan PBI. Peserta bukan PBI dibagi lagi menjadi tiga kategori berdasarkan jenis pekerjaan, yaitu (1) pekerja penerima upah (PPU) dan anggota keluarganya, (2) pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan anggota keluarganya, serta (3) bukan pekerja (BP) dan anggota keluarganya. Tabel 3. Kelompok Kepesertaan JKN No. Kelompok Kepesertaan Definisi 1. PBI 1. Orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu 2. Kelompok masyarakat lain yang diputuskan Pemerintah Daerah untuk memperileh bantuan iuran 24 Mekanisme Pendaftaran 1. PBI Pusat ditetapkan oleh Menteri Sosial. 2. PBI Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah. 3. Iuran dibayarkan oleh pemerintah langsung kepada BPJS Kesehatan.

27 No. Kelompok Kepesertaan 2. Bukan PBI a. PPU dan keluarganya b. PBPU dan keluarganya c. BP dan keluarganya Definisi Setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah. Contoh: PNS, TNI, Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah Non-PNS, Pegawai Swasta, Pegawai BUMN, dll Setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Contoh: pekerja di luar hubungan kerja, pekerja mandiri, dll Yang tergolong bukan pekerja adalah investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja lain yang mampu membayar iuran Mekanisme Pendaftaran 1. Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya, pekerjanya, beserta anggota keluarganya. 2. Iuran dibayarkan sebagian oleh pemberi kerja dan sebagian lagi oleh pekerja. 1. PBPU wajib mendaftarkan diri dan keluarganya. 2. Iuran dibayarkan sepenuhnya oleh PBPU. 1. BP wajib mendaftarkan diri dan keluarganya. 2. Iuran dibayarkan sepenuhnya oleh BP kecuali bagi penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan. Sumber: Perpres No. 12 Tahun 2013 jo Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Tabel 4. Besaran Iuran Jaminan Kesehatan Nasiona Jenis Kepesertaan Besaran Iuran Pembayar a. Penerima Bantuan Iuran (PBI) Rp Pemerintah b. Pekerja Penerima Upah i. PNS, TNI, Polri, Pegawai Pemerintah Non PNS ii. Pegawai BUMN, Swasta, dll 2014 Juli 2015 Juli % 3% Pemerintah 2% Pekerja 4,5% c. Pekerja Bukan Penerima Upah Kelas III : Rp25.500* Kelas II : Rp42.500* Kelas I : Rp59.500* d. Bukan Pekerja 5% 4% Pengusaha 0,5% Pekerja 4% Pengusaha 1% Pekerja Pekerja i. Penerima Pensiun Pemerintah 5% 3% Pemerintah 2% Pekerja ii. Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta ahli warisnya iii. Bukan pekerja lainnya yang mampu membayar iuran 5% Pemerintah Kelas III : Rp25.500* Kelas II : Rp42.500* Kelas I : Rp59.500* Yang bersangkutan *Peserta berhak memilih sendiri kelas perawatan yang diinginkan Sumber: Perpres No. 12 Tahun 2013 jo Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan 25

28 Program JKN dirancang untuk mencakup seluruh penduduk (Universal Health Coverage/UHC) di tahun Untuk mencapai harapan tersebut, Perpres Jaminan Kesehatan telah menetapkan tahapan kepesertaan JKN seperti di bawah ini. Gambar 2. Penahapan Kepesertaan JKN 1 Jan 1 Jan 1 Jan Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja BUMN, Usaha Besar, sedang, kecil Usaha Mikro CAKUPAN SEMESTA JKN 121,6 juta peserta program Sumber: Perpres No. 12 Tahun 2013 jo Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Mulai tanggal 1 Januari 2014, peserta JKN adalah peserta program jaminan kesehatan yang dialihkan ke program JKN, yaitu peserta program Jamkesmas (PBI JKN), anggota TNI/ PNS dilingkungan Kementerian Pertahanan dan keluarganya, anggota Polri/PNS di lingkungan Polri dan anggota keluarganya, peserta PT Askes, dan peserta JPK Jamsostek yang diperkirakan berjumlah 110,4 juta jiwa (43,78% penduduk). Peserta lainnya dapat melakukan pendaftaran JKN mulai 1 Januari 2014 di kantor BPJS Kesehatan terdekat dengan batas waktu: 1. Pemberi kerja pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat 1 Januari 2015; 2. Pemberi kerja pada usaha mikro paling lambat 1 Januari 2016; 3. Pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja paling lambat 1 Januari Upaya peningkatan peserta JKN telah dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan sejak belum bertransformasi. Pada akhir tahun 2013, BPJS Kesehatan, yang pada saat itu masih bernama PT Askes, melakukan kesepakatan dengan beberapa Jamkesda yang berencana mengintegrasikan programnya dengan JKN pada tanggal 1 Januari Total peserta Jamkesda yang telah melakukan kesepakatan tersebut mencapai 11,2 juta jiwa. Dengan penambahan tersebut, Peserta JKN per 1 Januari diproyeksikan 121,6 juta jiwa (48,2% penduduk). 26

29 Gambar 3. Cakupan Kepesertaan JKN Tahun 2014 (Jiwa) (51,1%) Total Peserta (49,4%) 128,913,679 (47,4%) 124,553, ,404,294 (43,8%) 110,400,000 (52,9%) 133,423,653 1 Januari 2014 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Sumber: BPJS Kesehatan, 2014 Pada tahun 2014, kepesertaan JKN di Indonesia terus meningkat setiap triwulannya sehingga terjadi pertumbuhan peserta sebanyak 23 juta jiwa atau setara dengan 9,1% penduduk. Pada triwulan I, jumlah peserta BPJS Kesehatan baru mencapai jiwa (47,4%). Angka ini meleset dari proyeksi peserta JKN di awal tahun 2014 yang berjumlah 121,6 juta jiwa. Belum tercapainya angka tersebut disebabkan karena hanya sebagian Jamkesda yang telah berkomitmen melakukan integrasi, merealisasikan rencananya di awal tahun Selain itu, banyak BU swasta peserta eks JPK Jamsostek yang belum melakukan pendafataran ulang ke BPJS Kesehatan. Kepesertaan JKN terus meningkat pada triwulan II sampai dengan triwulan IV. Kenaikan kepesertaan JKN terbesar terjadi pada triwulan I yang mencapai 9 juta jiwa. Pada triwulan selanjutnya, pertumbuhan peserta JKN berkisar 4,3 juta - 5,1 juta jiwa per triwulan atau setara dengan 1,73% - 2,04% dari total penduduk. Dengan pertumbuhan tersebut, akhir Desember 2014, peserta JKN berjumlah 133,4 juta jiwa atau 52,9% dari total penduduk Indonesia. 100% 90% Gambar 4. Komposisi Kepesertaan JKN Per Triwulan % 70% 56,2% 47,1% Belum Tercakup 60% 50% 40% 30% 20% 10% 1,6% 2,8% 5,2% 34% 1.9% 3,6% 4% 5.7% 3.5% 34% Bukan Pekerja (BP) PBPU PPU Non PNS PPU PNS PBI Daerah PBI Pusat 0% 1-Jan Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Sumber: BPJS Kesehatan,

30 Selama tahun 2014, perluasan kepesertaan JKN berhasil meningkatkan angka cakupan peserta sebanyak 9,1%. Kepesertaan PBPU dan PBI-Daerah mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 3,6% dan 3,5%. kepesertaan sektor formal non-pns hanya tumbuh sekitar 1,2%. Sedangkan kepesertaan PPU PNS dan BP mengalami pertumbuhan di bawah 0,5%. Gambar 5 menunjukkan jumlah penduduk di tiap provinsi beserta cakupan kepesertaan JKNnya. Sepuluh besar provinsi dengan jumlah penduduk terbesar yang belum tercakup JKN (non- JKN) adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Riau, Lampung, dan Kalimantan Barat. Total penduduk non-jkn pada 10 Provinsi tersebut mencapai 90 juta jiwa penduduk (76,7%) dari total penduduk 118 juta jiwa. Dengan demikian, upaya percepatan perluasan kepesertaan di sepuluh wilayah tersebut menjadi penting untuk memastikan tercapainya UHC di tahun Jika diestimasi lebih lanjut dengan data Survey Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), di delapan provinsi dengan penduduk non-jkn terbesar (Gambar 6), dapat diperkirakan bahwa kebanyakan penduduk non-jkn berasal dari sektor formal (PPU). Di Provinsi Banten, jumlah PPU non JKN ini mencapai 78,7%. Sedangkan, di tiga wilayah lainnya proporsi penduduk PBPU dan PPU yang belum terdaftar pada JKN jumlahnya hampir sama. Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Riau tidak memiliki data sakernas terkait status pekerjaan sehingga tidak bisa diikutsertakan dalam analisis. 28

31 Gambar 5. Cakupan Kepesertaan JKN2014 Berdasarkan Jumlah Penduduk Per Provinsi Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Utara Banten Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Riau Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Bali DKI Jakarta Jambi Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah DI Yogyakarta Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Kepulauan Riau Sulawesi Utara Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Maluku Maluku Utara Sulawesi Barat NAD Kalimantan Utara Gorontalo Papua Papua Barat 7,025,708 6,607,349 4,421,006 4,130,661 3,991,587 3,888,285 2,673,978 2,599,799 2,461,450 2,140,926 1,959,602 1,932,242 1,926,455 1,870,191 1,700,725 1,535,082 1,354,060 1,270,743 1,111, , , , , , , , , ,767 82,051 (90,890) (119,874) Sumber: BPJS KEsehatan, ,034,740 19,371,254 14,933,640 (10,000,000) - 10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 50,000,000 Gambar 6. Penduduk non JKN Menurut Jenis Kepesertaan di 8 Provinsi dengan Penduduk Non JKN Terbesar PBI PPU Pemerintah PPU Swasta PBPU BP Investor & Pemberi Kerja 90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0% Pemberi Kerja Non JKN PPU Non JKN PBPU Non JKN 78.7% 66.7% 59.8% 58.1% 54.1% 54.3% 46.8% 48.6% 46.2% 46.3% 38.7% 41.1% 31.9% 34.9% 26.6% 16.0% 6.8% 7.0% 8.3% 7.0% 5.4% 5.1% 7.2% 4.6% Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Sumatera Utara Banten Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Barat Sumber: BPJS Kesehatan (2014), Sakernas (2013) 29

32 Gambar 7. Cakupan Kepesertaan PPU dan PBPU Nasional, Desember 2014 JKN PPU Belum Tercakup 28% PBPU JKN Mandiri PBI Belum Tercakup 26% 7% 72% 67% Sumber: BPJS Kesehatan (2014), Sakernas (2013) Secara nasional, cakupan peserta PPU tahun 2014 baru mencapai 28%, sehingga masih terdapat 72% PPU yang perlu diadvokasi untuk bergabung dalam JKN. Dengan asumsi seluruh PPU PNS telah didaftarkan oleh negara dalam program JKN, maka 72% sisanya merupakan target kepesertaan JKN dari PPU non-pns. Cakupan peserta PBPU jauh lebih tinggi dibandingkan peserta PPU. Meskipun hanya 7% dari seluruh peserta PBPU yang terdaftar dalam JKN melalui pendaftaran perorangan (JKN Mandiri), namun 67% kelompok PBPU telah terdaftar JKN sebagai PBI baik yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sehingga, hanya terdapat 26% penduduk kelompok PBPU yang belum tercakup dalam Program JKN. Tabel 5. Cakupan Kepesertaan JKN Kelompok Pemberi Kerja di 8 Provinsi Non-JKN terbesar, Desember 2014 Provinsi Pemberi Kerja Pemberi Kerja Terdaftar % Jawa Barat 162, % Jawa Timur 1,348, % Jawa Tengah 1,240, % Sumatera Utara 489, % Banten 355, % Sumatera Selatan 226, % Lampung 280, % Kalimantan Barat 124, % Sumber: BPJS Kesehatan (2014), Sakernas (2013) Dalam nomenklatur kepesertaan JKN, pemberi kerja masuk pada kategori Bukan Pekerja (BP). Pemberi kerja non-jkn di delapan provinsi tersebut yang belum tergabung dalam JKN mencapai 4,6-8,3% dari total penduduk. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, pemberi kerja dan keluarganya yang telah mendaftar JKN sangat sedikit bahkan tidak mencapai 1%. Sebagian besar pemberi kerja telah memiliki jaminan kesehatan yang lebih baik dari JKN, dengan demikian partisipasi dalam program JKN menjadi sangat kecil. Sosialisasi, advokasi, dan penegakan kepatuhan terdahap pemberi kerja juga perlu dilakukan untuk menjaring penduduk sehat terdaftar dalam program JKN. 30

33 Jumlah penduduk non-jkn yang kecil di suatu provinsi, tidak secara otomatis mengimplikasikan bahwa cakupan kepesertaan JKN di provinsi tersebut sudah baik. Hal ini bisa saja terjadi karena jumlah penduduk keseluruhan di provinsi tersebut memang sedikit. Untuk dapat melihat secara lebih proporsional, gambar 8 menyajikan cakupan kepesertaan JKN berdasarkan proporsi di setiap provinsi. Beberapa daerah yang memiliki jumlah penduduk non-jkn sedikit, secara proporsi cakupan JKN-nya pun masih rendah. Hal ini seperti yang terjadi pada Provinsi Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut juga perlu mendapatkan perhatian dalam perluasan kepesertaan untuk memastikan bahwa setiap penduduk memiliki akses yang sama terhadap jaminan kesehatan. Gambar 8. % Cakupan Kepesertaan JKN 2014 per Provinsi PBI Peg Pemerintah Peg Swasta PBPU Investor & Pemberi Kerja Pensiun/veteran/PK Jamkesda Integrasi Penduduk Belum Tercakup JKN Kalimantan Selatan Riau Kepulauan Bangka Belitung Kalimantan Tengah Bali Jambi Kalimantan Barat Banten Sumatera Selatan Maluku Utara Kalimantan Timur Jawa Barat Kepulauan Riau Sumatera Utara Jawa Timur Sulawesi Selatan Lampung Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Jawa Tengah Kalimantan Utara Bengkulu Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Maluku Sumatera Barat DI Yogyakarta Sulawesi Barat Nusa Tenggara Timur DKI Jakarta NAD Gorontalo -2,9% Papua -14,1% Papua Barat 66,3% 64,5% 63% 62,9% 60% 58,6% 56,7% 56,4% 55,7% 55,6% 55,4% 52,2% 51,8% 51,0% 50,2% 49% 48,4% 45,4% 44,9% 44,5% 44,3% 43,4% 40,4% 39,2% 38,8% 37,7% 37,2% 35,2% 33,8% 21,2% 7,5% 7,4% Sumber: BPJS Kesehatan (2014), Angka Proyeksi Penduduk BPS (2014) Di sisi lain, daerah dengan Jumlah cakupan JKN yang tinggi (baik secara jumlah maupun proporsi) umumnya adalah daerah yang memiliki proporsi peserta PBI pusat dan PBI daerah yang tinggi. Hal ini menandakan bahwa perluasan kepesertaan JKN yang tinggi masih sangat 31

34 ditentukan oleh kemampuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk membiayai penduduknya. Padahal untuk menjamin kesinambungan program, kontribusi iuran dari penduduk sangat diharapkan. Cakupan JKN di Provinsi Papua dan Papua Barat telah melebihi total penduduk yang terdata di BPS. Hal ini disinyalir terjadi karena pada periode Jamkesmas, seluruh penduduk Papua dan Papua Barat berhak menjadi peserta Jamkesmas cukup dengan menunjukkan Kartu tanda Penduduk (KTP) sehingga mengakibatkan tidak adanya pendataan peserta yang baik dan terjadi kepesertaan ganda di wilayah tersebut Permasalahan kepesertaan PPU Sesuai dengan penahapan kepesertaan pada Perpres Jaminan Kesehatan, BPJS Kesehatan menetapkan perluasan kepesertaan PPU non-pns sebagai proritas utama perluasan kepesertaan tahun Sebaran PPU dan keluarganya relatif banyak dengan profil umur dan kondisi kesehatan yang relatif sesuai dengan kondisi kelompok secara umum. Dengan alasan tersebut, perluasan kepesertaan JKN ini menjadi semakin penting terkait adanya isu adverse selection dari pendaftar PBPU yang baru mendaftar JKN ketika mengalami sakit. Jika optimal, keikutsertaan peserta PPU dapat menutup risiko adverse selection yang terjadi. Hal ini adalah dasar utama asuransi sosial mensyaratkan kepesertaan wajib bagi setiap orang yang masuk dalam kriteria kepesertaan. Namun sayangnya, upaya perluasan kepesertaan PPU belum maksimal. BPJS Kesehatan telah menetapkan perluasan kepesertaan untuk tiap-tiap provinsi, namun target yang ditetapkan ini masih jauh dari jumlah seluruh PPU yang ada di wilayah tersebut. Sebagai contoh capaian kepesertaan PPU di Provinsi Jawa Barat sudah mencapai jiwa. Jika dibandingkan dengan target kepesertaan PPU non-pns yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan, angka ini telah melampaui target (103%). Namun jika dibandingkan dengan jumlah seluruh PPU non-pns di wilayah tersebut, maka kepesertaan tersebut baru mencakup 13,3%. Hal senada juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Kepesertaan BU Milik Negara (BUMN) dalam program JKN juga masih belum maksimal, meskipun 140 BUMN telah menandatangani komitmen untuk bergabung dengan program JKN pada akhir tahun Untuk meningkatkan pendaftaran BUMN pada program JKN, BPJS Kesehatan membentuk sebuah Kantor Cabang Prima yang secara khusus berfungsi mengelola pemasaran dan kepesertaan BUMN dan BU skala besar, serta mengelola skema COB. 32

35 Tabel 6. Cakupan Kepesertaan JKN Berdasarkan Target Kepesertaan BPJS Kesehatan dan Keseluruhan Tenaga Kerja Non-PNS, Desember 2014 Provinsi Target PPU Non-PNS Capaian PPU Non-PNS Banten 868, ,629 % Capaian PPU Non-PNS Target BPJS Kesehatan 80% Seluruh PPU Non-PNS 11.4% Jawa Barat 1,768,960 1,776, % 13.3% Jawa Tengah 1,020, , % 13.9% Gorontalo 45,179 15,865 44% 10.2% Maluku Utara 14,371 9,888 71% 6.2% Sumber: BPJS Kesehatan (2014), Sakernas (2013) Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya cakupan kepesertaan PPU non-pns diantaranya adalah: i. Rendahnya kepercayaan BU terhadap kualitas layanan JKN serta keengganan mematuhi alur pelayanan kesehatan berjenjang. ii. BU umumnya sudah memiliki jaminan kesehatan lain yang dianggap lebih baik dibandingkan JKN. Terutama bagi level manajerial perusahaan ke atas. iii. Belum berjalannya sanksi dan penegakkan hukum bagi BU yang tidak mendaftarkan pesertanya ke BPJS Kesehatan. Meskipun demikian, sebagian besar Kantor Cabang BPJS Kesehatan tengah menginisiasi kerjasama dengan Pemda Setempat, terutama Dinas Tenaga Kerja untuk melakukan sosialisasi JKN, mensikronisasikan daftar BU, serta mengimplementasikan penegakan kepatuhan bagi BU yang belum mematuhi ketentuan yang ada. iv. Minimnya jumlah staf pemasaran di kantor cabang BPJS Kesehatan. Di setiap kantor cabang BPJS Kesehatan, rata-rata hanya terdapat 1-3 orang staf pemasaran, sedangkan target yang harus dicapai sangat besar. v. Belum maksimalnya jumlah dan fungsi staf kepatuhan di setiap kantor cabang BPJS Kesehatan. vi. Tunggakan yang harus dibayarkan oleh BU Eks JPK Jamsostek yang terlambat melakukan pendaftaran ulang ke BPJS Kesehatan. Agar terhindar dari denda, tidak sedikit BU yang mencoba memodifikasi data perusahaan dengan membuat Surat Izin Usaha baru atau mendaftar dengan Surat Izin Usaha kantor cabang yang belum terdaftar dalam JPK Jamsostek. Untuk menghindari hal tersebut, BPJS Kesehatan membuat kebijakan agar pendaftaran BU dilakukan terintegrasi oleh kantor pusat. vii. Beberapa BU telah memiliki faskes sendiri yang cukup memadai. BU mau mendaftar ke JKN dengan syarat faskes tersebut dapat menjadi faskes BPJS Kesehatan. Namun, BU juga tidak bersedia jika faskes tersebut menjadi faskes umum yang bisa digunakan oleh peserta JKN di luar pegawai BU tersebut. Hal inilah yang sulit dirumuskan titik temunya. viii. Beberapa BU harus mendata sendiri jenis penyakit yang diderita karyawan sehingga seluruh karyawan harus berobat di faskes milik BU. Jika mereka bergabung dengan JKN, 33

36 ketentuan ini akan sulit diterapkan karena pegawai bebas memilih faskes yang dikehendaki. Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan obat dan kimia. ix. Rendahnya komitmen BU milik beberapa negara asing untuk bergabung dengan JKN. Melihat banyaknya kendala ini, BPJS Kesehatan dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), atas sepengetahuan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), pada bulan Desember 2014 telah menyepakati Nota Kesepahaman mengenai upaya mewujudkan keberhasilan implementasi JKN khususnya bagi PPU non-pns. Poin penting dalam kesepakatan tersebut adalah 1) Apindo sepakat akan mendorong seluruh BU untuk bergabung dengan JKN maksimal 1 Januari 2015, 2) proses aktivasi peserta dilakukan paling lambat 30 Juni 2015, 3) BU yang telah melakukan pendaftaran sebelum tanggal 30 Juni 2015 tidak akan mendapatkan sanksi apapun. Sampai saat ini, pendaftaran ke BPJS Kesehatan masih didominasi oleh pendaftaran usaha besar-kecil. Jumlah usaha mikro yang mendaftar JKN masih sangat sedikit. Pemberi kerja masih banyak yang enggan mendaftarkan pekerjanya. Besaran bantuan yang dibiayai oleh pemberi kerja tidak lagi melihat dari aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, namun sangat bervariasi tergantung dari kesepakatan dengan pekerja. Sebagian usaha mikro lain masih merasa keberatan untuk membiayai iuran JKN untuk tenaga kerjanya. Hal ini disebabkan beberapa faktor: i. Pendapatan yang diterima tidak pasti; ii. Kurangnya kesadaran akan risiko sakit dan biaya kesehatan; iii. Tidak adanya ikatan resmi dengan pekerja sehingga turn over pekerja sangat tinggi. Tidak ada jaminan pekerja tersebut akan bekerja dalam jangka waktu yang lama; dan iv. Pembayaran upah dilakukan secara harian. Tidak ada kepastian/kejelasan upah yang diberikan kepada tenaga kerja. Badan usaha mikro yang ingin mendaftar ke JKN melalui mekanisme PPU pun seringkali masih terhambat karena beberapa persyaratan pendaftaran yang belum terpenuhi. Syarat mengenai perizinan usaha telah dimiliki oleh sebagian besar usaha mikro. Namun, syarat pemberian upah tetap dan memenuhi UMR/UMK belum mampu dipenuhi oleh sebagian besar pengusaha mikro. Terkait hal ini BPJS Kesehatan mengarahkan pemberi kerja untuk mendaftar melalui mekanisme PBPU. Dengan begitu, pekerja tidak lagi memiliki kewajiban untuk mendaftarkan pekerjanya dan membiayai sebagian iuran. Meskipun demikian, hal ini bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Perpres Jaminan Kesehatan mengenai pendafataran peserta PPU Permasalahan kepesertaan PBPU Di tahun 2014, perluasan kepesertaan PBPU belum menjadi prioritas. Namun demikian, antusiasme masyarakat yang masuk dalam kategori ini sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten perluasan kepesertaan PBPU telah mencapai 1,915% dan 547%. 34

37 Gambar 9. Pencapaian Target Kepesertaan PBPU di Beberapa Daerah, % % Realisasi PBPU 2000% 1750% 1500% 1250% 1000% 750% 500% 250% 0% 547% 265% 475% 179% Banten Jawa Barat Jawa Tengah Gorontalo Maluku Utara Sumber: BPJS Kesehatan (2014) Peserta PBPU memiliki keleluasaan untuk memilih kelas perawatan yang dikehendaki sesuai dengan keinginan dan kemampuan masing-masing. Karakteristik pemilihan kelas perawatan PBPU berbeda antara daerah yang jumlah cakupan Jamkesda parsial dengan daerah yang cakupan Jamkesdanya mencakup seluruh penduduk. Provinsi Bali menyelenggarakan Program Jamkesda bagi seluruh penduduk yang belum tercakup jaminan kesehatan dengan layanan setara kelas III. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagian besar (57%) peserta PBPU berasal dari kelompok penduduk yang lebih mampu sehingga kelas perawatan yang paling banyak dipilih adalah kelas I. Sedangkan, di wilayah Provinsi Maluku Utara dimana cakupan kepesertaan Jamkesda masih minim, kelas perawatan yang paling banyak dipilih oleh peserta PBPU adalah kelas III (51%). Gambar 10. Pemilihan Kelas Perawatan Peserta PBPU di Provinsi Bali dan Maluku Utara, 2014 Kelas III Kelas II Kelas I 4,929 2,224 2,216 1, ,203 Bali Maluku Utara Sumber: BPJS Kesehatan, 2014 Tingginya antusiasme masyarakat untuk mendaftar JKN mandiri ternyata tidak selamanya berdampak positif. Besarnya antusiasme ini justru menimbulkan masalah karena sebagian besar peserta yang mendaftar adalah peserta yang sakit. Akibatnya, risiko adverse selection menjadi tinggi. Berikut beberapa temuan yang mengindikasikan adanya risiko adverse selection pada kelompok peserta PBPU: i. Pendaftar PBPU didominasi oleh penduduk usia tua dimana memiliki risiko sakit yang tinggi. Hal ini terlihat dari rasio pendaftar BPJS Kesehatan berdasarkan usia. Sebagai contoh di Provinsi Ternate, penduduk usia >50 tahun yang mendaftar di BPJS Kesehatan dalam program PBPU mencapai 1,2% sedangkan kelompok usia lain hanya di bawah 0,82%. 35

38 Normalnya, jumlah penduduk usia muda lebih banyak dibandingkan penduduk usia tua karena penduduk usia tua memiliki risiko sakit yang lebih tinggi. Gambar 11. Rasio Pendaftar PBPU Berdasarkan Usia di BPJS Kesehatan Cabang Ternate, % 0.64% % dari penduduk 0.82% 1.20% <5 Tahun 6-29 Tahun Tahun >50 Tahun Sumber: BPJS Kesehatan Cabang Ternate (2014) & BPS Provinsi Gorontalo (2014) ii. Pemanfaatan layanan kesehatan oleh peserta PBPU jauh lebih tinggi dibandingkan peserta JKN lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan pemanfaatan layanan kesehatan berdasarkan data Susenas Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bappenas bekerja sama dengan Jameel Abdul Latif Poverty Action Lab (JPAL), dan BPJS Kesehatan. Berdasarkan temuan awal di lima wilayah penelitian (Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kota Medan, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Konawe Selatan), pemanfaatan layanan rawat inap oleh peserta PBPU tiga kali lebih besar dibandingkan peserta JKN lainnya dan sepuluh kali lebih besar dibandingkan pemanfaatan layanan rawat inap berdasarkan data Susenas Meskipun demikian, hal ini juga dapat menunjukkan adanya indikasi positif dari penyelenggaran program JKN, yaitu meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan. Gambar 12. Perbandingan Ratio Pemanfaatan Layanan Kesehatan, 2014 PBPU Non PBPU Susenas Rawat Inap Rawat Jalan Sumber: Pilot Project Meningkatkan Kepese rtaan JKN Mandiri. Bappenas, BPJS Kesehatan, & JPAL iii. Penggunaan layanan kesehatan oleh peserta PBPU sejak pertama kali mendaftar sampai dengan akhir bulan pertama lebih besar dibandingkan dengan keseluruhan jumlah peserta JKN. Namun, penggunaan mulai bulan ke dua hingga bulan ke lima lebih kecil dibandingkan dengan peserta JKN secara umum. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pendaftaran JKN karena membutuhkan pelayanan kesehatan dalam waktu dekat. 36

39 Gambar 13. Rentang Pemanfaatan Layanan Kesehatan Tingkat Lanjut oleh PBPU dengan Waktu Pendaftaran Sebagai Peserta Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan PBPU Seluruh Peserta JKN Sumber: Pilot Project Meningkatkan Kepesertaan JKN Mandiri. Bappenas, BPJS Kesehatan, & JPAL Sekitar 60% pendaftar PBPU hanya mendaftarkan satu orang dari seluruh anggota keluarga yang terdaftar dalam Kartu Keluarga (KK). Hal tersebut menjadi indikasi yang kuat bahwa orang yang didaftarkan adalah yang membutuhkan layanan kesehatan saja, anggota keluarga yang sehat tidak didaftarkan. Dalam Perpres Jaminan Kesehatan disebutkan bahwa peserta PBPU wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya pada program JKN. Dengan demikian pendaftaran parsal ini bertentangan dengan aturan dalam Perpres. Gambar 14. Jumlah Anggota Keluarga yang Terdaftar pada JKN Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 Orang PBPU Sumber: Pilot Project Meningkatkan Kepesertaan JKN Mandiri. Bappenas, BPJS Kesehatan, & JPAL Selain adanya indikasi terjadinya adverse selection, kepatuhan pembayaran iuran peserta PBPU juga cukup menjadi permasalahan. Sampai dengan akhir tahun 2014, tingkat kolektabilitas iuran peserta PBPU hanya 71,54%. Semakin jauh dari waktu pendaftaran, kepatuhan pembayaran peserta semakin menurun. Dengan demikian, diperlukan strategi untuk mempermudah peserta PBPU melakukan pembayaran iurannya serta memberikan peringatan bagi peserta yang menunggak. 37

40 Gambar 15. Pembayaran Iuran PBPU 100% 80% 60% 40% 20% Tidak Mengiur Mengiur 0% 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan Sumber: Pilot Project Meningkatkan Kepesertaan JKN Mandiri. Bappenas, BPJS Kesehatan, & JPAL Untuk mengurangi risiko adverse selection, sejak 1 November 2014 BPJS Kesehatan memberlakukan beberapa peraturan baru melalui, Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 211 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran dan Penjaminan Peserta Perorangan BPJS Kesehatan, untuk menurunkan risiko tersebut, diantaranya: i. Pemberlakuan pendaftaran untuk seluruh keluarga. Ketentuan ini telah sesuai dengan Perpres Jaminan Kesehatan yang menyatakan bahwa PBPU wajib mendaftarkan dirinya dan keluarganya dalam program JKN. Meskipun demikian, ketentuan ini menjadi salah satu menghambat PBPU dengan penghasilan terbatas untuk mendaftar JKN. ii. Kartu peserta baru aktif satu minggu setelah pembayaran iuran pertama dilakukan, kecuali bagi bayi baru lahir dari peserta PBPU di kelas III yang mendapatkan rekomendasi dari dinas sosial setempat. Ketentuan ini diberlakukan untuk mendorong masyarakat mendaftar sebelum mengalami sakit sehingga menurunkan risiko adverse selection. Namun pada 11 Desember 2014, BPJS Kesehatan menerbitkan peraturan baru bahwa seluruh peserta di kelas III dikecualikan dari peraturan ini jika dapat menunjukkan surat rekomendasi dari dinas sosial setempat. Meskipun demikian, kriteria surat rekomendasi ini tidak didefinisikan secara jelas. Bahkan berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, tanpa menunjukkan surat rekomendasi pun, peserta di kelas III dapat langsung memanfaatkan kartu JKN-nya. iii. Peserta yang mendaftar pada saat rawat inap tidak bisa menggunakan kartu JKN untuk periode perawatan tersebut. Peraturan ini dibuat untuk mengurangi risiko finansial akibat adverse selection. Akibat peraturan ini, pelayanan pada bayi baru lahir PBPU di faskes tidak ditanggung karena belum didaftarkan pada BPJS Kesehatan. Akhirnya, pada Maret 2015, BPJS Kesehatan mengeluarkan peraturan baru yang mengatur tentang pendaftaran BPJS Kesehatan pada janin peserta PBPU yang berada di dalam kandungan. Waiting period sebenarnya tidak lazim dijalankan pada asuransi sosial karena kepesertannya bersifat wajib. Selain itu, waiting period berpotensi menghalangi penduduk yang membutuhkan jaminan kesehatan. Hal ini tidak konsisten dengan tujuan SJSN untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya dengan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 38

41 Meskipun terdapat risiko adverse selection, peserta PBPU yang secara sukarela mendaftarkan diri ke BPJS Kesehatan telah menjalankan kewajibannya untuk menjadi peserta program JKN. Masih didominasinya pendaftaran bagi penduduk yang sakit menunjukkan belum maksimalnya strategi komunikasi perluasan kepesertaan JKN sehingga penduduk sehat, terutama PBPU dan BP, belum tertarik untuk mendaftar sebagai peserta JKN. Jika penduduk sehat juga turut memenuhi kewajibannya untuk mendaftarkan diri pada program JKN, tentu risiko adverse selection tidak akan terjadi dan kesinambungan Program JKN dapat lebih terjamin. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, hambatan penduduk sehat untuk mendaftar sebagai peserta program JKN tidak hanya terjadi sebelum mendaftar namun juga ketika melakukan pendaftaran baik secara langsung di kantor BPJS Kesehatan maupun pendaftaran secara online. a. Hambatan sebelum mendaftar ii. Penduduk belum mendapatkan sosialisasi yang cukup sehingga kesadaran akan pentingnya berasuransi masih sangat rendah. iii. Lamanya waktu tunggu untuk mendaftar di BPJS Kesehatan sedangkan penghasilan yang diterima oleh penduduk PBPU sangat ditentukan oleh pemasukan pada hari itu. iv. Jamkesda dengan kepesertaan terbuka menurunkan minat masyarakat untuk mendaftar sebagai peserta JKN (penduduk telah dijamin oleh Jamkesda). Karakteristik mayoritas pendaftar PBPU di wilayah ini adalah PBPU yang tidak memiliki KTP setempat atau PBPU yang memiliki KTP setempat namun memilih kelas perawatan di atas kelas 3. v. Isu perluasan kepesertaan Kartu Indonesia Sehat (KIS) menyebabkan masyarakat mengurunkan niat untuk mendaftar sebagai peserta PBPU karena berharap akan tercakup dalam Program KIS. vi. Iuran yang dianggap telalu mahal. Di sebagian wilayah dengan tingkat penghasilan yang rendah seperti di wilayah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Maluku Utara, iuran JKN dianggap terlalu besar, terlebih jika harus mendaftarkan seluruh keluarga. vii. Ketersediaan dan kualitas layanan failitas kesehatan. Persepsi kualitas layanan kesehatan, baik dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, sangat berpengaruh pada minat masyarakat terutama pada penduduk dengan penghasilan menengah-tinggi. viii. Jauhnya lokasi pendaftaran BPJS Kesehatan dan belum tersosialisasikannya alternatif cara pendaftaran JKN seperti melalui Bank ataupun online melalui website. b. Hambatan ketika mendaftar i. Belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) terbaru. NIK merupakan identitas kunci dari kepesertaan JKN sehingga penduduk yang belum memiliki NIK tidak dapat mendaftar menjadi peserta JKN. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperi penghuni panti (mulai dari anak-anak hingga lansia), gelandangan, tuna susila dan kelompok penduduk lainnya yang belum memiliki NIK. Saat ini, Kementerian Dalam Negeri telah memiliki skema penerbitan NIK bagi kelompok penduduk ini melalui Surat Keterangan Orang Terlantar (SKOT). Namun belum ada implementasi yang kuat. Alur koordinasi yang lebih baik harus dibangun antar sektor, termasuk dengan Kementerian Sosial yang banyak menangani kelompok masyarakat ini. 39

42 ii. iii. iv. Belum memiliki Kartu Keluarga (KK) dengan komposisi anggota keluarga terkini. Pendaftaran JKN mensyaratkan kepala keluarga untuk mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya pada program JKN. Pendaftaran anggota keluarga didasarkan pada anggota keluarga yang tertera pada KK. Adanya anggota keluarga yang telah meninggal namun belum dikeluarkan dari KK atau adanya anggota keluarga baru yang belum dimasukkan dalam KK menjadi penghambat pendaftaran JKN. Calon peserta harus melakukan pemutakhiran KK terlebih dahulu. Salah satu anggota keluarga telah terdaftar sebagai peserta JKN. Untuk pendaftaran online dan pendaftaran melalui bank, adanya salah satu anggota keluarga yang telah mendaftar sebagai peserta JKN membuat sistem secara otomatis menolak pendaftaran untuk nomor KK tersebut. Namun pada perdaftaran secara langsung di kantor BPJS Kesehatan, masalah tersebut langsung dapat diatasi jika calon peserta dapat menunjukkan nomor kartu BPJS Kesehatan yang bersangkutan. Sulitnya melakukan pendaftaran online melalui website. Hal ini terutama terjadi pada awal pelaksanaan JKN sampai dengan bulan Oktober Calon peserta harus mendaftar pada malam hari agar bisa masuk ke dalam aplikasi. konfirmasi yang seharusnya secara otomatis dikirimkan oleh BPJS Kesehatan seringkali baru masuk beberapa hari kemudian atau bahkan tidak masuk sama sekali. Namun, sejak bulan November 2014 pendaftaran melalui online sudah semakin baik. Berdasarkan hasil uji coba Meningkatkan Kepesertaan JKN Mandiri yang dilaksanakan JPAL, BPJS Kesehatan, dan Bappenas menunjukkan bahwa dari seluruh responden yang menyatakan ingin mendaftar sebagai peserta JKN, hanya 50% yang berhasil melakukan pendaftaran. Tingkat keberhasilan pada pendaftaran secara langsung (online) di rumah responden sangat rendah (25%) akibat permasalahan administrasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan, tingkat keberhasilan secara langsung di kantor BPJS Kesehatan tinggi (79%) karena calon peserta mendapatkan penjelasan secara langsung mengenai kelengkapan administrasi yang diperlukan dan staf di BPJS Kesehatan dapat langsung melakukan penyesuaian di dalam sistem jika kelengkapan administrasi sudah memenuhi syarat. Akibat banyaknya hambatan yang harus dilalui calon peserta, kondisi ini dimanfaatkan oleh para calo untuk menawarkan bantuan jasa dengan tarif yang seringkali tidak wajar. Jasa yang ditawarkan calo sangat beragam. Setidaknya terdapat empat jenis jasa yang ditawarkan oleh para calo, yaitu: i. Mendapatkan nomor antrian yang lebih awal. Untuk jasa ini, calo mengenakan tarif Rp Rp per nomor antrian. ii. Membantu mengisikan form aplikasi pendaftaran JKN. Tarif yang dikenakan sampai Rp per aplikasi. iii. Pendaftaran hingga kartu terbit. Untuk jasa ini, calo mengenakan tarif sebesar Rp Rp per orang tergantung kelas perawatan yang dipilih. 40

43 iv. Pendaftaran di fasilitas kesehatan rujukan sampai dengan mendapatkan kamar perawatan. Untuk jasa ini, calo mengenakan tarif hingga Rp1 Juta. Dalam memanfaatkan ketidaktahuan calon peserta, calo seringkali memberikan informasi yang tidak benar untuk mendapatkan keuntungan selanjutnya. Beberapa kasus yang ditemui dalam kegiatan pemantauan seperti: i. Peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak mengetahui kalau program tersebut telah diintegrasikan dengan JKN, sehingga calo meminta peserta untuk mendaftar lagi menjadi peserta JKN dengan tarif yang telah mereka sepakati. Bukan tidak mungkin hal yang sama juga terjadi pada eks peserta Jamkesmas, eks PT Askes, atau peserta jamkesda lainnya. ii. Peserta diminta memperbarui data JKN berkala setiap enam bulan dengan tarif yang telah disepakati padahal peraturan tersebut tidak pernah dibuat oleh BPJS Kesehatan. Meskipun BPJS Kesehatan telah menerapkan beberapa aturan untuk menghambat praktek percaloan seperti larangan pendaftaran kolektif dan pendaftaran hanya bisa dilakukan oleh orang yang orang yang tertera dalam KK, calo masih menemukan celah untuk menawarkan jasanya terutama melalui pendaftaran online. c. Hambatan pembayaran iuran Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, banyak peserta PBPU yang tidak secara konsisten melakukan pembayaran premi JKN. Selain karena masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya membayar premi setiap bulan, pembayaran premi JKN dirasa masih cukup sulit terutama bagi peserta di wilayah pedesaan. Saat ini pembayaran premi baru bisa dilakukan di tiga bank yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Ketiga bank tersebut merupakan bank nasional yang sering kalisulit ditemukan di wilayah pedesaan. Belum adanya mekanisme pengingat pembayaran dan penagihan premi yang efisien, membuat peserta yang mempunyai tunggakan pembayaran tidak pernah mendapatkan teguran. Untuk mempermudah pembayaran premi JKN, para peserta PBPU mengusulkan pembayaran premi melalui Kantor Pos, perwakilan koperasi pedagang, mini market, voucher premi, dan agen-agen BPJS Kesehatan, atau dimasukkan dalam tagihan rutin lainnya seperti listrik dan telepon Permasalahan Integrasi Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Inisiatif penyelenggaraan Jamkesda lahir karena masih banyaknya penduduk miskin yang belum mendapatkan Jaminan kesehatan dari pemerintah pusat (Askeskin/Jamkesmas) sehingga Pemda mengambil peran tersebut. Sayangnya, tidak ada aturan resmi mengenai mekanisme penyelenggaraan Jamkesda sehingga Pemda mendefinisikan sendiri program Jamkesda yang dijalankannya. Dengan demikian, terciptalah berbagai variasi skema penyelenggaraan mulai dari jumlah dan jenis peserta, manfaat, premi, sampai dengan mekanisme penyelenggaraan. Penyelenggaraan ini juga belum didukung oleh sumber daya manusia yang memadai sehingga tidak sedikit Jamkesda yang kebobolan karena tidak mampu melakukan kendali biaya. Berkaitan dengan hal ini pula, Program Jamkesda sangat penting untuk diitegrasikan ke Program JKN untuk memastikan kesamaan hak warga negara dalam memperoleh jaminan kesehatan dan memastikan keberlangsungan program. Berdasarkan peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional, seluruh Jamkesda diamanatkan untuk berintegrasi dengan JKN maksimal dua tahun sejak program JKN dilaksanakan. yaitu selambat- 41

44 lambatnya pada 1 Januari Integrasi ini juga menjadi salah satu upaya BPJS Kesehatan untuk meminimalisir tingginya risiko adverse selection yang dihadapi dalam tahap awal pelaksanaan JKN karena banyaknya jumlah peserta yang didaftarkan oleh Jamkesda. Sampai dengan Desember 2014, terdapat 8,8 juta jiwa peserta JKN yang berasal dari PBI Daerah. Jumlah tersebut berasal dari integrasi sekitar 180 Jamkesda kab/kota. Diprediksikan terdapat 460 kab/kota yang menyelenggarakan Jamkesda. Dengan demikian, masih terdapat 280 Jamkesda (36,2 juta jiwa) yang perlu diadvokasi di tahun 2015 untuk berintegrasi dengan Jamkesda. Berbagai faktor yang menghambat Jamkesda untuk berintegrasi dengan JKN: 1. Belum ada landasan hukum yang kuat mengenai instruksi pengintegrasian Jamkesda. Amanat integrasi Jamkesda pada 1 Januari 2016 hanya datang dari Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional yang disepakati oleh K/L terkait namun tidak diperkuat dengan landasan hukum yang sesuai dengan peraturan perundangan. Pemda pun masih banyak yang belum mengetahui adanya ketentuan tersebut. 2. Rendahnya kemauan politik pemerintah daerah akibat kurangnya pemahaman mengenai program JKN dan janji politik untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh penduduknya. 3. Kapasitas fiskal yang masih rendah sehingga anggaran Jamkesda tidak cukup untuk pembayaran iuran PBI JKN. Selain itu, beberapa Jamkesda belum menemukan kesepakatan mengenai sharing iuran antara pemerintah provinsi dengan kab/kota dalam membiayai iuran. 4. Anggaran Jamkesda saat ini, yang jauh lebih kecil dari iuran PBI JKN, sudah mencukupi kebutuhan yang ada. Meskipun harus diakui cakupan manfaat yang diberikan lebih rendah dibandingkan manfaat JKN. 5. Kepesertaan JKN memerlukan identitas peserta yang lengkap berikut NIK, sedangkan kepesertaan Jamkesda banyak yang bersifat terbuka karena pemda belum mampu menentukan kriteria dan melakukan pendataan untuk masyarakat miskin. Akibatnya, integrasi Jamkesda ke JKN menjadi sulit dilakukan. 6. Mekanisme pengelolaan Jamkesda secara mandiri memungkinan adanya sisa dana pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk tahun selanjutnya. 7. Pelayanan Jamkesda dianggap lebih baik dibanding program JKN. 8. Isu perluasan kepesertaan KIS membuat Pemda mengharapkan dimasukannya PBI daerah menjadi PBI Pusat. Menghadapi berbagai rintangan tersebut, beberapa Jamkesda yang telah menyadari pentingnya integrasi bertekad melakukan integrasi pada tahun 2015 atau Pemda membutuhkan waktu untuk melakukan persiapan sebelum integrasi, sepert: (i) menyesuaikan jumlah peserta dan anggaran dana Jamkesda, (ii) menentukan kriteria peserta Jamkesda, (iii) melakukan pendataan penerima Jamkesda, serta (iv) menyiapkan regulasi yang dibutuhkan. Jamkesda yang sebelum tahun 2014 diselenggarakan bekerja sama dengan PT Askes melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU), cenderung lebih mudah diadvokasi untuk berintegrasi dengan JKN. Pasalnya, mekanisme penyelenggaraan PJKMU tidak jauh berbeda dengan mekanisme pengintegrasian Jamkesda. Komitmen kepala daerah merupakan 42

45 faktor lain yang juga sangat penting dalam integrasi. Selama kepala daerah memiliki komitmen yang kuat, berbagai permasalahan yang ada cenderung dapat dicarikan solusinya. Terdapat beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian dalam integrasi Jamkesda. Pertama, beberapa Jamkesda hanya mengintegrasikan peserta yang telah memiliki penyakit atau memiliki risiko sakit tinggi. Hal ini justru bisa meningkatkan risiko adverse selection program JKN. Kedua, tingkat kolektibilitas program Jamkesda sampai dengan Desember 2014 baru mencapai 88% yang berarti beberapa Jamkesda masih memiliki tunggakan iuran kepada BPJS Kesehatan. Jamkesda yang belum berintegrasi dan memiliki cakupan manfaat lebih rendah dibandingkan JKN, merasa adanya penurunan klaim di tahun Hal ini seperti yang terjadi di Jamkesda Jawa Tengah, Jamkesda Kota Ternate, dan Jamkesda Kota Bekasi. Saat ini masyarakat cenderung memilih menjadi peserta PBPU JKN dibandingkan harus mengurus jaminan ke Jamkesda. Selain iuran yang tidak terlalu mahal, peserta juga dapat memilih kelas perawatan di kelas 2 atau kelas 1. Manfaat yang diberikan oleh JKN juga dirasa lebih baik karena telah menjamin seluruh pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, sedangkan manfaat yang diberikan Jamkesda masih memiliki banyak keterbatasan. Pendataan masyarakat miskin dan kondisi miskin merupakan kondisi yang sangat dinamis. Perubahan status ekonomi masyarakat, terutama yang termasuk dalam golongan rentan dan miskin dapat terjadi dalam rentang waktu yang sangat singkat. Terlebih lagi, biaya pelayanan kesehatan dapat secara cepat merubah penduduk yang tadinya masuk dalam kategori mampu berubah menjadi miskin. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebagian Pemda tetap menyelenggarakan Jamkesda meskipun telah mengintegrasikan program Jamkesdanya ke JKN. Jamkesda ini dibentuk untuk mendanai penduduk miskin yang belum diintegrasikan ke Program JKN (safety net). Skema pembiayaan ini diantaranya dilakukan pada Jamkesda Gorontalo, Jamkesda Ternate, dan Jamkesda Kabupaten Semarang. Jamkesda Provinsi Jawa Tengah juga berencana tetap melaksanakan Jamkesda meskipun nantinya akan berintegrasi dengan JKN. Selain untuk menjamin penduduk yang belum didaftarkan sebagai peserta PBI APBD, Jamkesda yang diselenggarakan juga berguna untuk menjamin biaya-biaya yang belum dicakup oleh JKN. Jamkesda Provinsi Gorontalo memberikan jaminan biaya transportasi udara serta biaya penginapan dan makan pendamping untuk kasus rujukan ke luar Provinsi Gorontalo. Jamkesda Kota Ternate juga memberikan jaminan untuk biaya transportasi laut untuk rujukan ke kota dari desa terpencil, menyediakan rumah singgah bagi pasien yang masih menunggu untuk mendapatkan tindakan medis lebih lanjut, dan transportasi udara bagi peserta yang perlu dirujuk ke luar Provinsi. 3.2 KETERSEDIAAN DAN KUALITAS LAYANAN KESEHATAN Kualitas layanan JKN sangat bergantung pada ketersediaan dan layanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Layanan kesehatan merupakan manfaat utama yang diharapkan peserta sehingga akan sangat berpengaruh terhadap penilaian JKN secara keseluruhan. Selama tahun 2014, isu pelayanan kesehatan JKN begitu hangat dibicarakan oleh masyarakat. Hampir setiap hari media memberitakan situasi terkini implementasi JKN berikut permasalahan- 43

46 permasalahan yang terjadi, seperti antrian pelayanan di RS yang begitu panjang baik untuk rawat jalan maupun rawat inap, masih tingginya iura biaya yang dikeluarkan oleh peserta, persediaan obat yang masih terbatas, kesimpang-siuran informasi pelayanan, minimnya tenaga kesehatan yang tersedia, dan sebagainya. Meski demikian, tidak sedikit pula isu positif yang berkembang di masyarakat. Sebagain besar diantaranya mengenai kepuasan peserta atas jaminan yang diberikan ketika mengalami sakit, terutama bagi mereka yang mengalami penyakit katastropik dan mendapatkan pembayaran penuh dari BPJS Kesehatan. Terlepas dari berbagai isu yang berkembang ini, program JKN telah memudahkan para peserta untuk mengakses layanan kesehatan baik pada faskes primer maupun faskes sekunder. Di tahun 2014, tingkat utilisasi/pemanfaatan JKN untuk layanan rawat jalan diestimasikan sebesar 19,64% dan Rawat Inap sebesar 3,99% 18. Hal ini tentu lebih besar jika dibandingkan dengan pemanfaatan layanan kesehatan berdasarkan data Susenas tahun 2009 untuk Rawat Jalan sebesar 5% dan rawat inap sebesar 1%. Pemanfaatan layanan kesehatan JKN di lima Regional tarif JKN berbeda antara yang satu dengan yang lain. Untuk Rawat Jalan, angka utilisasi rawat jalan pada Regional 3 dan Regional 4 lebih tinggi dibandingkan angka utilisasi nasional. Sedangkan untuk rawat inap, angka utilisasi Regional 1 lebih tinggi dibandingkan rujukan nasional. Regional 5 memiliki tingkat utilisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan utilisasi nasional terutama untuk rawat inap. Tabel 7. Tingkat Utilisasi JKN, 2014 Area Utilisasi Rawat Jalan Utilisasi Rawat Inap Nasional - 3,99 19,64 Regional 1 Regional 2 Regional 3 Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, NTB NAD, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau. Kalimantan Barat, Sulewesi Utara, Sulawesi Tengah. Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan 3,74 21,65 3,83 18,17 5,18 19,86 Regional 4 Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah 4,78 19,31 Regional 5 Bangka Belitung, NTT, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat. 3,04 9,04 Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN Terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada 13 April Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN Terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada 13 April

47 Tingginya angka utiisasi rawat inap di Regional 1 tentunya terkait dengan masih terpusatnya sarana dan prasarana yang memadai di Pulau Jawa sehingga akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih baik dan menjadi pusat rujukan bagi kasus berat yang tidak dapat ditangani di luar Pulau Jawa. Sebaliknya, di wilayah Regional 5 angka utilisasi masih sangat rendah karena sulitnya akses ke pelayanan kesehatan serta terbatasnya sarana dan prasarana sehingga tidak dapat ditangani di wilayah tersebut. Permasalahan yang terjadi di faskes diantaranya: i. Penyalahgunaan kartu peserta JKN. BPJS Kesehatan menemukan adanya satu kartu peserta yang digunakan berkali-kali pada hari yang sama di RS yang berbeda dan dengan diagnosis yang berbeda. Dengan demikian, perlu ada mekanisme untuk memastikan orang yang menggunakan kartu adalah orang yang bersangkutan. ii. Antrian pelayanan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antrian pelayanan ini tidak hanya terjadi pada rawat jalan maupun rawat inap. JKN meningkatkan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan. Namun hal ini belum dibarengi dengan peningkatan jumlah faskes, tenaga kesehatan, sarana, dan prasarana sehingga terjadi antrian panjang. Untuk pelayanan rawat inap bedah non emergensi, peserta bisa membutuhkan waktu antri 3-6 bulan. Hal ini seringkali mendorong peserta mengurungkan niatnya untuk memanfaatkan katru JKN-nya. iii. Terjadinya dikotomi layanan kesehatan bagi peserta JKN dan non JKN. Cukup banyak RS yang membedakan kuota layanan untuk pasien JKN dan non JKN. Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan antrian yang begitu panjang bagi pasien JKN karena kapasitas RS tidak dapat secara optimal dimanfaatkan oleh peserta. Akibatnya, tidak sedikit pasien yang rela membayar sendiri agar tidak perlu mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan. iv. Kesulitan menegur RS yang menyalahi aturan JKN. Petugas BPJS Kesehatan seringkali tidak memiliki pengaruh besar dalam melakukan teguran kepada RS yang menyalahi aturan. Pemda memiliki pengaruh yang lebih besar untuk melakukan teguran kepada RS yang menyalahi prosedur dibandingkan BPJS Kesehatan. v. Kebijakan portabilitas JKN dan kebijakan regionalisasi faskes yang dibuat pemda saling berbenturan. Hal ini terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Gorontalo. Akibatnya, banyak masyarakat luar Bandung mendaftar di Kota Bandung agar bisa mendapatkan pelayanan di RS yang ada di Kota Bandung agar lebih mudah mendapatkan faskes yang kualitasnya lebih baik Ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan Sampai dengan saat ini, isu peningkatan ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan terus menjadi perhatian pemerintah. RPJMN menyebutkan, diantara arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan adalah peningkatan akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas dan peningkatan ketersediaan, penyebaran, dan mutu SDM kesehatan. Arah kebijakan ini dibuat terkait dengan masih rendahnya ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan di Indonesia dan pendistribusian yang belum merata.. Namun, dalam Roadmap BPJS Kesehatan, optimalisasi pelayanan kesehatan baru mulai akan difokuskan pada tahun

48 Gambar 16. Roadmap BPJS Kesehatan Sumber: Peran BPJS Kesehatan Dalam Penjaminan Kesehatan Dasar. Seminar Peran Tekhnologi Informasi Untuk Meningkatkan Mutu, Efektivitas Pelayanan, dan Keselamatan Pasien. Yogyakarta, 31 Maret, 2014 Tabel 8. Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Faskes Primer, 2014 NO JENIS TENAGA KEBUTUHAN KETERSEDIAAN 46 KEKURANGAN Jumlah Persen 1 DOKTER UMUM 19,990 17,507 2, % 2 DOKTER GIGI 11,371 6,794 4, % 3 PERAWAT 118, ,941 14, % 4 BIDAN 107, ,974 6, % 5 ASISTEN APOTEKER 12,179 7,453 4, % 6 SARJANA FARMASI & APOTEKER 4,805 2,271 2, % 7 KESEHATAN MASYARAKAT 24,300 20,991 3, % 8 GIZI 12,836 9,474 3, % 9 SANITARIAN 13,818 1,039 12, % 10 ANALIS KESEHATAN 11,117 5,389 5, % Sumber: Bappenas, Penyediaan Supply side Kesehatan Dalam Kerangka SJSN dan Perencanaan Dipresentasikan pada 13 Januari Saat Ini, jumlah tenaga kesehatan di faskes primer masih jauh dari seluruh kebutuhan yang ada terutama untuk dokter gigi, apoteker, asisten apoteker, sanitarian, dan analis kesehatan. Sampai saat ini, hanya bidan yang hampir memenuhi seluruh jumlah kebutuhan. Sehingga tidak jarang di daerah yang tidak terdapat dokter, bidan menjadi tulang punggung pelayanan kesehatansehingga terkadang harus melakukan tugas diluar kompetensinya. Tabel 9. Kebutuhan dan Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit Pemerintah, 2014 NO JENIS TENAGA KEBUTUHAN KETERSEDIAAN KURANG Jumlah Persen 1 DOKTER SPESIALIS 16,752 13,103 3, % 2 DOKTER UMUM 13,115 12, % 3 DOKTER GIGI 2,416 2, % 4 PERAWAT 131, ,088 17, % 5 BIDAN 25,790 19,313 6, % 6 ASISTEN APOTEKER 3,954 3, % 7 SARJANA FARMASI & 7,678 7, % APOTEKER 8 KESEHATAN MASYARAKAT 1, , %

49 NO JENIS TENAGA KEBUTUHAN KETERSEDIAAN KURANG Jumlah Persen 9 GIZI 3,547 2,515 1, % 10 SANITARIAN 2,470 1, % 11 ANALIS KESEHATAN 4,732 4, % Sumber: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas, Penyediaan Supply side Kesehatan Dalam Kerangka SJSN dan Perencanaan Dipresentasikan pada 13 Januari Kondisi ketersediaan tenaga kesehatan di faskes lanjutan khususnya di RS milik pemeritah tidak jauh berbeda dengan kondisi di faskes primer. Pemerintah masih membutuhkan sekitar dokter spesialis dari berbagai bidang. Ketersediaan dokter gigi, asisten apoteker, apoteker, dan analis kesehatan jauh lebih baik di faskes lanjutan dibandingkan faskes primer. Hal ini mencerminkan preferensi tenaga kesehatan tersebut dalam penempatan kerja. Gambar 17. Faskes Primer Kerjasama BPJS Kesehatan, ,831 18,401 15,643 Januari Juni Desember 9,788 9,752 9,133 3,948 3,715 3,314 2,388 1, ,357 1,326 1, Total Puskesmas Dokter umum perorangan Klinik Pratama klinik TNI/POLRI Dokter gigi perorangan RS D Pratama Sumber: Laporan Triwulanan BPJS Kesehatan Secara keseluruhan, jumlah faskes primer yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan meningkat sebesar 17,6%. Klinik pertama mengalami kenaikan terbesar yaitu 200% dan dokter gigi sebesar 52,4%. Namun, Klinik TNI/POLRI mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi karena ketika dilakukan credentialing (penilaian kelayakan) ulang, banyak faskes primer yang tidak lagi memenuhi syarat sehingga tidak lagi di kontrak oleh BPJS Kesehatan. Rasio faskes primer untuk dokter umum pada akhir tahun 2014 adalah 1:7.643 peserta sedangkan idealnya adalah 1: orang. Kenaikan PPK I hanya 17,6% padahal kenaikan peserta mencapai 120%. Jika dibandingkan dengan ratio faskes primer yang ideal, maka BPJS Kesehatan perlu meningkatkan jumlah faskes kerja sama 2-3 kali lipat. Penambahan faskes primer bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan investasi besar dan SDM berkualitas. Faskes primer yang saat ini dikontrak oleh BPJS Kesehatan belum seluruhnya memenuhi kriteria kredensialing. Dari tabel di bawah, dapat dilihat bahwa rata-rata penilaian kredensialing TNI POLRI menunjukkan hasil paling rendah. Bahkan, nilai rata-rata ini masuk dalam kategori tidak direkomendasikan (skor<60). Rata-rata penilaian kredensialing untuk puskesmas sedikit lebih baik, yaitu masuk dalam kategori dapat direkomendasikan (skor 60-69), meskipun ada juga puskesmas yang memiliki nilai kredensialing hingga 97,49. Rata-rata penilaian terbaik kredensialing dicapai oleh klinik swasta (80,62). 47

50 Tabel 10. Kredensialing Fasilitas Tingkat Pertama (FKTP) BPJS Kesehatan Gorontalo, 2014 Jenis FKTP Rata-rata Min Max PKM TNI/POLRI Swasta Sumber: BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014 Gambar 18. Rumah Sakit Kerjasama BPJS Kesehatan, ,750 1,551 1,680 2,410 Jumlah Rumah Sakit 1 Januari 30 Juni 31 Desember Total RS 2014 Sumber: Laporan Triwulanan BPJS Kesehatan Diagram di atas merupakan gambaran mengenai jumlah RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pada semester I pelaksanaan JKN, terjadi penurunan jumlah RS yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (dibandingkan dengan jumlah yang bekerjasama ketika masih PT Askes). Hal ini tentu kontradiktif dengan lonjakan pasien yang terjadi di RS. Hal ini mengakibatkan antrian panjang peserta yang semakin parah di RS tipe B, A, dan rujukan nasional. Penurunan jumlah RS kerjasama ini terjadi karena RS ingin menilai terlebih dahulu penerapan perubahan pola pembayaran dari paket pelayanan dan fee for service menjadi INA- CBGs. Pada akhir tahun 2014, jumlah RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan perlahan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan RS mengenai pola pembayaran INA-CBGs dan perbaikan tariff INA-CBGs yang dilakukan oleh tim National Casemix Centre (NCC) Kemenkes RI. Akibat minimnya jumlah RS, antrian pelayanan tidak dapat dihindari. Peserta seringkali harus mengambil antrian pendaftaran sejak dini hari. Tidak sedikit peserta yang kecewa karena tidak mendapatkan nomor antrian padahal sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. Permasalahan yang terjadi untuk pelayanan rawat inap lebih kompleks lagi. Peserta yang memiliki kondisi yang cukup parah seringkali sulit mendapatkan pelayanan karena ruangan tidak tersedia atau terpaksa mendapatkan pelayanan di Instralasi Gawat Darurat (IGD). Peserta juga harus bersabar menahan sakit karena harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan jadwal operasi. 48

51 3.2.2 Disparitas Antar Daerah Seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, selain masalah kurangnya jumlah tenaga kesehatan, Indonesia juga dihadapkan pada tingginya disparitas tenaga dan saranan kesehatan. Di wilayah Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta, jumlah tenaga kesehatan sudah sangat mencukupi bahkan bisa dikatakan berlebih. Sedangkan di wilayah lain, tenaga kesehatan terutama dokter hanya berada di kota besar dengan jumlah tenaga yang sangat terbatas. Ketersediaan dan kebutuhan faskes primer sangat bervariasi di setiap daerah. Sebagai contoh di Provinsi Bengkulu, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat ketersediaan faskes primer dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan jumlah peserta JKN dan jumlah penduduk sudah mencukupi. Jika diamati lebih lanjut, kecilnya kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan faskes primer ini terjadi pada daerah yang jumlah penduduknya sedikit. Gambar 19. Ketersediaan dan Kebutuhan Faskes Primer Berdasarkan Kebutuhan Peserta JKN dan Seluruh Penduduk, 2014 (komparasi terhadap standar 1 : 5.000) Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN Terk ait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada 13 April Daerah lainnya, ketersediaan faskes primer dibandingkan dengan kebutuhan peserta JKN sudah mencukupi atau mendekati cukup. Namun jika dibandingkan dengan kebutuhan seluruh penduduk, faskes primer yang dibutuhkan masih cukup banyak. Hal ini seperti yang terjadi pada sebagian besar daerah seperti Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesu Tengah, dan Bali. Permasalahan terbesar terjadi pada Provinsi yang masih memiliki kesenjangan yang cukup jauh antara ketersediaan faskes primer dengan kebutuhan peserta JKN maupun kebutuhan seluruh penduduk seperti yang terjadi pada Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kecenderungan ini banyak terjadi pada daerah yang berpenduduk tinggi. 49

52 Di Provinsi Jawa Barat, meskipun jumlah faskes primer yang bekerjasama dengan JKN merupakan yang tertinggi dibanding provinsi lainnya, masih dibutuhkan 2 kali lipat faskes primer kerjasama untuk memenuhi standar ideal. Dan untuk menyambut cakupan semesta di tahun 2019, dibutuhkan tambahan faskes primer hingga 4 kali lipat dari faskes primer kerjasama yang ada saat ini. Meskipun di beberapa provinsi jumlah ketersediaan faskes dan kebutuhan telah mencukupi, namun perlu dilihat lebih dalam lagi apakah persebaran faskes primer sudah merata sehingga setiap penduduk memiliki akses yang sama pada layanan kesehatan. Sebagai contoh di Provinsi Gorontalo, kecukupan faskes primer ternyata baru terjadi di Kota Gorontalo sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo. Berdasarkan hasil penilaian BPJS Kesehatan, Kab/Kota lainnya masih membutuhkan faskes primer tambahan. Gambar 20. Gambaran Kesenjangan Kebutuhan dan Ketersediaan Faskes Primer di Provinsi Gorontalo, 2014 Kebutuhan berdasarkan Ratio Target Penambahan Kota Gorontalo Kab. Gorontalo Kab. Boalemo Kab. Pohuwato Kab. Bone Bolango Kab. Gorontalo Utara Total Sumber: BPJS Kesehatan Kantor Cabang Gorontalo, 2014 Secara keseluruhan, kebutuhan tambahan faskes primer di Provinsi Gorontalo sebanyak 83 unit. Namun, target penambahan yang mungkin bisa dicapai hanya 51 unit. Di kabupaten yang jumlah penduduk cukup banyak dan perekonomian cukup baik (Kabupaten Gorontalo), target penambahan faskes bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Namun, di Kabupaten lainnya target penambahan belum bisa disesuaikan dengan kebutuhan karena faskes primer memang belum tersedia. Sebelum adanya Program JKN, Kabupaten Bone Bolango tidak memiliki klinik. Namun sejak Program JKN diimplementasikan, terdapat tiga klinik swasta baru yang membuat perjanjian kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Klinik-klinik ini berupaya menarik peserta JKN agar berpindah ke klinik mereka dengan memfasilitasi peserta untuk melakukan perubahan PPK I yang ditunjuk. Alasan peserta melaukan perubahan adalah: Dokter selalu tersedia karena klinik buka 24 jam Obat yang diberikan lebih baik. Terdapat layanan tambahan seperti akupuntur. Dokter berpraktek di RS, sehingga lebih mudah jika memerlukan rujukan. Terdapat pelayanan rawat inap. Ketersediaan faskes lanjutan di seluruh provinsi memiliki pola yang hampir sama dengan ketersediaan faskes primer pada bagian sebelumnya. Yang menarik dari grafik di bawah ini, ketersediaan TT di Provinsi Papua dan Papua Barat melebihi kebutuhan padahal sering kali 50

53 terdengar keluhan masyarakat papua yang kesulitan berobat ke RS. kedua fenomena tersebut benar adanya. Jumlah TT di wilayah ini sudah mencukupi, namun karena area wilayah yang begitu besar dan kondisi geografis yang sulit dijangkau, penduduk kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Sedangkan untuk mendirikan RS, pemerintah kesulitan menemukan tenaga kesehatan yang bersedia ditempatkan di wilayah tersebut. Gambar 21. Ketersediaan dan Kebutuhan Tempat Tidur di Faskes Lanjutan Berdasarkan Kebutuhan Peserta JKN dan Seluruh Penduduk, 2014 (Standar 1 TT : 1000 peserta) Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN Terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada 13 April Di Provinsi Maluku Utara, RS hanya terpusat di Ibu Kota Provinsi. Wilayah lainnya, belum seluruhnya memiliki RS. Kabupaten Halmahera timur tidak memiliki RS padahal area geografisnya luas dan kepualuan. Dengan demikian untuk menuju RS, peserta harus menyeberangi pulau dengan biaya yang tidak murah. Selain itu, sarana dan prasarana yang ada di RS belum tentu memenuhi kebutuhan peserta. Tidak jarang RS haya memiliki dokter umum PTT atau dokter kontrak yang sewaktu-waktu bisa saja pergi dari wilayah tersebut. Provinsi Jawa Barat hanya memiliki satu RS tipe A sedangkan jumlah penduduk begitu besar. Peserta yang tinggal di wilayah RS pun menginginkan pelayanan langsung di RS memperparah antrian pelayanan Koordinasi Manfaat JKN memberikan manfaat pelayanan standar yang berlaku bagi seluruh penduduk. Pelayanan standar ini diberikan sesuai indikasi medis melalui mekanimse yang berlaku pada kelas perawatan I, II, dan III sesuai hak tiap peserta. Tidak dapat dipungkiri, terdapat sebagian peserta JKN yang menginginkan pelayanan di atas standar JKN. Untuk itu, SJSN memberikan peluang kepada peserta untuk meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan 51

54 tambahan atau membayar sendiri selisih biaya akibat peningkatan hak 19. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi peserta PBI 20. Agar kedua asuransi yang dimiliki peserta dapat bermanfaat dan hak yang diberikan peserta tidak melebihi biaya yang sebenarnya dikeluarkan, BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan tambahan/badan penjamin lainnya perlu melakukan koordinasi dalam memberikan pelayanan kepada peserta baik melalui faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan maupaun faskes yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan 21. Untuk itu, BPJS Kesehatan telah membuat Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No. 64 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Koordinasi Manfaat antara BPJS Kesehatan dan Penyelenggara Program Asuransi Kesehatan Tambahan atau Badan Penjamin Lainnya. a. Definisi dan Prinsip Koordinasi manfaat (Coordinat of Benefit/COB) adalah metode dimana dua atau lebih penanggung (payer) yang menanggung orang yang sama untuk benefit asuransi kesehatan yang sama, membatasi total benefit dalam jumlah tertentu yang tidak melebihi jumlah pelayanan kesehatan yang dibiayakan 22. Namun sayangnya, hingga saat tulisan ini dibuat, koordinasi manfaat baru dapat dilakukan bagi Badan Usaha. Koorfinasi manfaat dilakukan untuk memastikan peserta memperoleh haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan dan sebagai peserta program asuransi kesehatan tambahan atau badan penjamin lainnya. Dengan demikian, peserta JKN yang melakukan koordinasi manfaat bisa mendapatkan fasilitas kesehatan yang lebih luas (tidak hanya faskes kerjasama BPJS Kesehatan), meningkatkan kelas rawat sesuai keinginan, menutupi iur biaya jika ada pelayanan yang tidak dijamin, atau mendapatkan tambahan obat di luar standar BPJS Kesehatan. Koordinasi manfaat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip: - Koordinasi manfaat diberlakukan apabila peserta BPJS Kesehatan membeli asuransi kesehatan tambahan dariasuransi kesehatan tambahan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan - BPJS Kesehatan adalah penjamin pertama kecuali untuk program jaminan sosial kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas. Penjamin pertama tidak selalu menjadi pembayar pertama. - Manfaat yang diperoleh peserta tidak boleh melebihi total biaya pelayanan kesehatan - Pelayanan kesehatan yang dijamin sesuai kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan tambahan - Peserta yang tidak menjalankan prosedur JKN, tidak dapat ditanggung dan seluruh biaya dijamin oleh asuransi kesehatan - Klaim kepada BPJS Kesehatan dilakukan oleh asuransi tambahan. BPJS Kesehatan tidak menerima pengajuan klaim dari perorangan 19 UU No. 40 Tahun 2014 Penjelasan Pasal 23 ayat (4); Perpres 12/2013 Pasal 24; Permenkes 71 tahun Permenkes No.71 tahun 2013 pasal 21 ayat (1) 21 Perpres No. 12 Tahun 2013 Pasal 27; Perpres No.111 Tahun 2013 Pasal 27a, 27b, dan Pasal BPJS Kesehatan. Petunjuk Teknis Eksternal: Koordinasi Manfaat Antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Tambahan 52

55 Gambar 22. Konsep Pelaksanaan Program Koordinasi Manfaat JKN dengan Asuransi Kesehatan Tambahan Sumber: Direktorat Pelayanan BPJS Kesehatan. Kebijakan BPJS Kesehatan Terkait COB b. Mekanisme koordinasi manfaat Berdasarkan kebutuhan pelaksanaan koordinasi manfaat, koordinasi yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta mencakup: 1. Koordinasi manfaat. Pertanggungan bersama atas manfaat pelayanan kesehatan pada seseorang 2. Koordinasi kepesertaan. Asuransi kesehatan tambahan mendaftarkan peserta yang akan diikutsertakan dalam program koordinasi ke BPJS Kesehatan. Asuransi kesehatan tambahan dapat pula melaporkan mutase tambah kurang peserta. 3. Koordinasi penagihan klaim. Koordinasi dalam memberikan data klaim sehingga dapat dipastikan total pembayaran tidak melampaui dari total biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan 4. Koordinasi sosialisasi. BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan tambahan dapat melakukan sosialisasi bersama kepada peserta, faskes, dan pihak lain yang terkait 5. Koordinasi sistem informasi. Melakukan koordinasi sistem informasi dalam hal pendaftaran peserta COB, perubahan data, dan mutasi tambah kurang peserta koordinasi manfaat. Koordinasi manfaat JKN hanya dapat dilakukan untuk pelayanan rawat inap di faskes lanjutan/rs yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maupun dengan RS tertentu yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan atau biasa disebut dengan RS non faskes BPJS Kesehatan. RS non faskes BPJS Kesehatan yang dimaksud adalah RS umum swasta dengan tipe RS minimal B. Sampai saat ini, baru terdapat 11 RS non faskes BPJS Kesehatan yang dapat melayani koordinasi manfaat dengan JKN. Untuk mendapatkan pertanggungan dari JKN, peserta tetap harus menerapkan prosedur yang berlaku, termasuk pelayanan berjenjang. Peserta harus membawa surat rujukan dari faskes primer yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Di bawah ini adalah matriks koordinasi manfaat JKN. 53

56 Tabel 11. Matriks Koordinasi Manfaat JKN, 2014 No Pelayana n Jenis Faskes Kelas Perawatan Penanggung Biaya BPJS Asuransi Kesehatan Tambahan 1 RJTP 2 RITP Faskes BPJS Standar + - Non Faskes BPJS Standar - Kecuali Gawat Darurat*) Faskes BPJS Standar + - Non Faskes BPJS Standar - Kecuali Gawat Darurat*) RJTL 4 RITL Faskes BPJS Non Faskes BPJS Faskes BPJS Non Faskes BPJS Standar + - Naik kelas - + Standar/ Naik Kelas - Kecuali Gawat Darurat*) Standar + - Naik Kelas + Standar **) + Naik Kelas Selisih + Selisih + Selisih Sumber: Direktorat Pelayanan BPJS Kesehatan. Kebijakan BPJS Kesehatan Terkait COB Matriks diatas menunjukkan koordinasi manfaat tidak dapat dilakukan untuk layanan rawat jalan tingkat lanjut. Koordinasi manfaat Pelayanan rawat inap di RS kerjasama BPJS Kesehatan, berlaku apabila peserta meningkatkan hak kelas rawatnya,bpjs Kesehatan menjadi penjamin pertama dan selisihnya akan dibayarkan oleh asuransi kesehatan tambahan. Aplikasi INA-CBGs secara langsung dapat memisahkan biaya yang akan ditagihkan ke BPJS Kesehatan dan biaya yang akan ditagihkan ke asuransi kesehatan tambahan. Untuk pelayanan rawat inap tingkat lanjut di RS non faskes BPJS Kesehatan, berlaku untuk pelayanan sesuai hak kelas perawatan maupun jika terjadi kenaikan hak kelas perawatan. A BPJS Kesehatan menjamin biaya pengobatan sesuai dengan biaya INA-CBGs di RS tipe C, sedangkan asuransi kesehatan tambahan akan menanggung selisih biaya dari pengobatan tersebut. RS non faskes BPJS Kesehatan tidak memiliki aplikasi INA-CBGs sehingga asuransi kesehatan tambahan membayarkan terlebih dahulu seluruh tagihan pelayanan kesehatan. Selanjutnya, asuransi kesehatan tambahan akan mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan untuk menagihkan biaya yang menjadi kewajibannya. 54

57 Gambar 23. Mekanisme Klaim Koordinasi Manfaat di RS Faskes BPJS Kesehatan Sumber: Direktorat Pelayanan B PJS Kesehatan. Kebijakan BPJS Kesehatan Terkait COB Gambar 24. Mekanisme Klaim Koordinasi Manfaat di RS Non Faskes BPJS Kesehatan Sumber: Direktorat Pelayanan BPJS Kesehatan. Kebijakan BPJS Kesehatan Terkait COB c. Implementasi COB Sebelum JKN diimplementasikan, isu koordinasi manfaat sudah hangat diperbincangkan oleh asuransi kesehatan swasta. Para pelaku asuransi kesehatan swasta khawatir program JKN akan mematikan bisnis mereka. Namun sejak implementasi JKN, asuransi kesehatan swasta telah melihat celah koordinasi manfaat pada BU yang telah mendaftar sebagai peserta JKN namun merasa tidak puas dengan pelayanan JKN. Kesepakatan pertama BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan swasta untuk melaksanakan koordinasi manfaat di mulai pada triwulan I 2014 dengan 19 asuransi swasta, di antaranya adalah PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, PT Asuransi Sinar Mas, PT Asuransi Mitra Maparya, PT Asuransi Tugu Mandiri, PT Asuransi AXA Mandiri Financial Service. Kemudian pada pertengahan tahun 2014, terdapat 11 asuransi swasta lagi yang membuat kesepakatan koordinasi manfaat. Sampai dengan April 2015, sudah terdapat 52 asuransi kesehatan swasta yang membuat kesepakatan koordinasi manfaat dengan BPJS Kesehatan. 55

58 Hingga saat ini, masih sedikit asuransi kesehatan swasta yang telah mengimplementasikan mekanisme koordinasi manfaat ini di pelayanan kesehatan. Asuransi kesehatan swasta juga masih belum melakukan sosialisasi yang cukup kepada peserta agar mekanisme koordinasi betul-betul dapat terlaksana, seperti menunjukkan kedua kartu saat akan memanfaatkan pelayanan kesehatan atau menunjukkan surat rujukan dari faskes pertama BPJS Kesehatan. Permasalahan lainnya, layanan kesehatan yang dapat dikoordinasikan manfaatnya masih sangat terbatas. Pelayanan yang dijamin hanya rawat inap tingkat lanjut di RS tertentu dan harus mendapatkan rujukan dari faskes primer BPJS Kesehatan. Ketentuan ini sangat bertolak belakang dengan keinginan sebagian besar BU dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawannya. Selama ini karyawan terbiasa mendapatkan pelayanan kesehatan langsung di RS tanpa melalui faskes primer dan dibebaskan dalam memilih RS yang disukai. Sedangkan, jika peserta tidak menjalankan prosedur yang ditentukan JKN, seluruh biaya akan menjadi tanggungan asuransi kesehatan tambahan. Dengan demkian, biaya pelayanan kesehatan yang akan ditanggung oleh asuransi kesehatan tambahan masih akan tetap tinggi dan berdampak pada tingginya premi asuransi kesehatan tambahan. Untuk itu, para pelaku asuransi kesehatan tambahan masih berusaha bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan untuk dapat memperluas layanan kesehatan yang dapat dikoordinasikan, misalnya untuk rawat inap tingkat lanjutan yang dirujuk dari faskes primer non faskes BPJS Kesehatan dan rawat inap tingkat lanjut di seluruh non faskes BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan tentunya harus memilah dengan baik perluasan koordinasi manfaat seperti apa yang sesuai dengan prosedur JKN serta sesuai dengan prinsip kendali mutu dan kendali biaya Inklusifitas Manfaat dan Akses JKN Walaupun JKN dirancang untuk memberikan pelayanan standar, dan dengan manfaat yang komprehensif, layanan JKN masih belum cukup inklusif bagi kelompok penduduk berkebutuhan khusus, terutama penyandang disabilitas. JKN diperuntukkan bagi seluruh penduduk. Oleh karenanya seluruh penyandang disabilitas juga berhak menjadi peserta JKN. Lebih jauh lagi Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan menyatakan bahwa penyandang disabilitas total, yang telah mendapatkan penetapan dari dokter, juga berhak menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun demikian saat ini hanya penyandang disabilitas yang masuk dalam kategori miskin dan tidak mampu saja yang menjadi peserta PBI. Sesuai dengan Basis Data Terpadu (BDT) untuk penduduk miskin dan rentan, sekitar 1,4% dari 86,4 juta jiwa peserta PBI, atau sekitar 1,2 juta jiwa adalah penyandang disabilitas. Terdapat beberapa aspek permasalahan terkait inklusifitas JKN. Pertama adalah kepesertaan. Walaupun sekitar 1,2 juta jiwa penyandang disabilitas telah dicakup PBI, angka Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyatakan bahwa setidaknya 11% penduduk Indonesia, atau lebih dari 27 juta jiwa, memiliki disabilitas sedang atau berat. Hal ini mengimplikasikan bahwa masih jauh lebih banyak lagi kelompok penyandang disabilitas yang kemungkinan belum tercakup oleh PBI dan JKN pada umumnya. Kemudian dari aspek manfaat, JKN menjamin pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif pada pusat pelayanan kesehatan dasar dan lanjut, termasuk penyediaan alat bantu bagi penyandang disabilitas. Walaupun demikian cakupan aspek manfaat ini masih belum 56

59 cukup inklusif terhadap penyandang disabilitas. Widagdo (2015) dalam risetnya menggaris bawahi beberapa manfaat yang belum secara optimal melindungi penyandang disabilitas: 1. Terdapat plafon/batas atas untuk pelayanan alat bantu, dimana batasan tersebut masih jauh lebih rendah dari harga pasar. Misalnya plafon untuk alat bantu dengar adalah sekitar Rp1 juta, sedangkan harga alat bantu dengar di pasaran dengan kualitas yang baik bisa mencapai Rp4-6 juta. 2. Dari sisi pelayanan kesehatan preventif, JKN juga memberikan layanan edukasi kesehatan. Namun media yang digunakan dalam proses edukasi tersebut belum inklusif dan tidak sepenuhnya dapat diakses oleh penyandang disabilitas. 3. JKN juga mencakup layanan home visit untuk pasien diabetes dan hipertensi, namun layanan ini tidak sepenuhnya tersedia bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dengan mobilitas terbatas akan sulit untuk mengakses layanan kesehatan. 4. Secara umum cakupan manfaat dan alat bantu yang disediakan masih terbatas, dan durasi penggantian masih terlalu panjang. Diantaranya alat bantu bagi low vision, operasi plastik untuk luka bakar, dan operasi kaki pengkor, belum ditanggung secara penuh dalam paket manfaat JKN. Di luar aspek implementasi JKN, kondisi pelayanan publik yang masih belum inklusif juga menambah kesulitan penyandang disabilitas untuk memanfaatkan JKN. Lokasi fasilitas kesehatan yang jauh, tidak tersedianya layanan transportasi publik yang inklusif, bangunan fasilitas kesehatan yang tidak aksesibel, serta ketersediaan layanan rehabilitasi medik yang tidak selalu lengkap menjadi kendala bagi kelompok penyandang disabilitas untuk mengakses JKN (Widagdo 2015). 3.3 KESINAMBUNGAN KEUANGAN Perkembangan Kondisi Keuangan Terakhir Sebagaimana yang terjadi di negara lain dan telah diprediksikan, kondisi keuangan JKN di akhir tahun pertama implementasi mengalami defisit. Hal ini terlihat dari besaran klaim ratio yang mencapai 102%. Rasio klaim ini baru dihitung berdasarkan biaya pelayanan kesehatan yang ditagihkan. Sedangkan biaya operasional BPJS Kesehatan yang sebesar 6,25% dan pelayanan kesehatan yang sudah dilakukan selama tahun 2014n namu belum diklaim, belum diperhitungkan. Dengan demikian, klaim ratio bisa mencapai 110%. Kondisi ini diperkirakan akan terjadi selama 3 tahun awal implementasi sampai ditemukan dasar perhitungan (baik probabilitas sakit maupun tarif pelayanan) dan mekanisme pengelolaan yang baik, sehingga biaya pelayanan kesehatan dapat diprediksi lebih baik dan lebih efisien. 57

60 Gambar 25. Rasio Klaim Pelayanan Kesehatan JKN, Januari-Desember ,63% 80,89% 89,16% 98,17% 98,37% 99,83%101,97% 94,23% 95,16% 57,07% 47,10% 42,09% Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Sumber: Laporan Keuangan Bulanan BPJS Kesehatan Tahun Monitoring dan Evalasi Kesinambungan Keuangan JKN. Dipresentasikan dalam FGD Monev JKN. 18 Februari 2015 Idealnya, toleransi rasio klaim pelayanan kesehatan maksimal ada dikisaran 90%. Hal ini dengan asumsi 6,25% dialokasikan sebagai biaya operasional dan sekitar 3,75% dialokasikan sebagai cadangan teknis. Semakin besar cadangan teknis yang dapat dialokasikan, semakin menunjukkan kondisi keuangan yang semakin baik. Cadangan teknis yang disebutkan dalam PP No.87 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan terdiri atas 3 jenis, pertama cadangan atas iuran yang belum merupaan pendapatan/unearned Premium (UPr), kedua Cadangan klaim dalam penyelesaian/outstanding Claim (OC), dan Cadangan klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan/incurred But Not Reported (IBNR). Sampai akhir 2014, defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp 2,9 T. Untuk menutupikekurangan dana ini, Kementerian Keuangan telah menganggarkan Penyerapan Modal Negara sebesar Rp 5 T sebagai cadangan pembiayaan bagi BPJS Kesehatan. Dana ini dicairkan secara bertahap oleh Kementerian Keuangan sesuai dengan keperluan pelaksanaan JKN. Pada tahap awal, dana yang dicairkan adalah sebesar Rp 3,5 T. Jika benar-benar diperlukan, sisa dana sebesar Rp 1,5 T dapat dicairkan juga. Gambar 26. Perbandingan Rerata Biaya Pelayanan Kesehatan dengan Rerata Pendapatan Iuran JKN 2014 Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada FGD IV Grand Design Monev JKN. 19 Februari

61 Jika ditinjau lebih jauh, adanya defisit dana JKN ini terjadi karena rerata biaya pelayanan kesehatan per orang per bulan lebih tinggi dibandingkan dengan rerata iuran per orang per bulan yang terkumpul. Rata-rata biaya pelayanan kesehatan per orang per bulannya mencapai Rp33.327, sedangkan iuran yang terkumpul perorang perbulannya hanya berkisar Rp Dari perbedaan perlu dilihat lebih lanjut, bagian mana yang berkontribusi lebih besar sehingga terjadi defisit. Apakah penetapan iuran yang terlalu rendah? Ataukah besaran penggantian biaya pelayanan kesehatan (Kapitasi dan INA-CBGs) yang terlalu tinggi? Atau mungkin juga faktor lain, seperti minimnya kendali biaya, adanya kecurangan dan fraud pelayanan kesehatan, atau pengumpulan premi yang belum maksimal? Tidak menutup kemungkinan juga seluruh komponen ini berkontribusi pada defisit anggaran JKN Permasalahan Adverse Selection Pada bagian sebelumnya, telah dibahas adanya kemungkinan adverse selection pada kepesertaan JKN terutama pada kelompok peserta PBPU. Hal ini diindikasikan oleh tingginya pendaftar PBPU pada usia tua, tingginya angka utilisasi peserta PBPU dibandingkan angka utilisasi rerata peserta, tingginya utilisasi di awal pendaftaran, tingginya pendaftar tunggal, dan lain sebagainya. Dugaan adanya adverse selection ini semakin kuat setelah diketahuinya besaran rasio klaim per kelompok kepesertaan di akhir tahun Tabel 12 Besaran Rasio Klaim Per Kelompok Kepesertaan, 2014 Jenis Kepesertaan Rasio Utilisasi PBI Pusat 63% PBI Daerah 107% PNS 102% Badan Usaha (BU) 67% PBPU 584% Sumber: Direktur Perencanaan dan Pengemban gan BPJS Kesehatan, Rapat Kajian Kesinambungan Pembiayaan serta Efektivitas Cakupan Program JKN Rasio klaim peserta PBPU di tahun 2014 mencapai 584%. Begitu pula dengan rasio klaim PBI Daerah yang mencapai 107%. Hal ini sesuai dengan temuan lapangan dimana terdapat Jamkesda yang hanya mendaftarkan penduduk sakit sebagai PBI daerahnya. Rasio utilisasi PBI Pusat dan Badan Usaha merupakan yang terkecil. Diduga, kumpulan risiko kelompok PBI adalah yang paling baik sehingga rasio klaim paling baik. Selain itu, beberapa peserta PBI masih belum mengetahui haknya sebagai peserta JKN karena memiliki belum menerima kartu peserta dan terbatasnya akses mereka terhadap pelayanan kesehatan. Rasio utilisasi peserta BU kecil karena banyak dari peserta BU yang enggan memanfaatkan kartu JKN-nya atau mendapatkan asuransi kesehatan tambahan sehingga lebih memilih memanfaatkan asuransi kesehatan tambahan tersebut. 59

62 3.3.3 Kesinambungan Pembayaran Iuran Untuk menurunkan risiko defisit anggaran, pemerintah dan BPJS Kesehatan juga perlu melakukan upaya agar peserta membayarkan iuran yang menjadi kewajibannya. Berdasarkan data per Desember 2014, tingkat kolektabilitas dari kelompok peserta yang dibayarkan oleh pemerintah pusat merupakan yang terbaik (PBI Pusat, PNS/TNI/POLRI/, Veteran non Tuvet, dan Eks TNI/POLRI). Sedangkan tingkat kolektabilitas kelompok kepesertaan lainnya tidak mencapai 100%. Kolektabilitas peserta Badan Usaha hanya 88,86%, PBI Daerah hanya 87,98% dan terendah adalah PBPU sebesar 71,54%, Tabel 13. Kolektabilitas Iuran JKN per Desember 2014 (Dalam Juta Rupiah) NO Jenis Kepesertaan Penerimaan Pendapatan Tingkat Kolektibilitas A PBI Pusat 19,932,480 19,932, % B Eks Askes Sosial 12,978,644 12,324, % 1Premi Peserta 5,214,431 4,858, % a. Iuran Wajib PNS & TNI/POLRI (PFK) 3,963,505 3,679, % b. Iuran Penerima Pensiun 1,250,926 1,179, % 2Premi Pemerintah 7,390,528 7,092, % a. Iuran Pemerintah Daerah (PFK) 4,299,817 4,002, % b. Iuran Pemerintah Pusat (DIPA) 3,090,711 3,090, % 3 Iuran Veteran Non Tuvet (DIPA) 373, , % C Eks TNI/POLRI 977, , % D Formal / Badan Usaha 3,708,619 3,295, % E Warga Asing bekerja 6 bulan F Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) 1,885,442 1,348, % G PBI Daerah 1,352,109 1,189, % Total 35,317,750 40,835, % Sumber: Laporan Bulan an BPJS Kesehatan, Desember 2014 Diperlukan upaya penegakan hukum bagi peserta yang belum membayarkan kewajibannya kepada BPJS Kesehatan. Bagi peserta dari kelompok kepesertaan badan usaha dan PBPU sudah ada aturan yang mengenai penegakan kepatuhan pada PP No. 86 Tahun 2014 mengenai Sanksi Administratif bagi pemberi kerja badan usaha dan PBPU. Namun, PP ini memang belum memiliki aturan turunan yang mengatur mekanisme teknis pelaksanaan PP tersebut. mengingat tunggakan iuran juga dilakukan oleh penyelenggara Negara, perlu dibuat aturan/mekanisme penegakan kepatuhan agar dapat melakukan pembayaran secara rutin Fraud Fraud yang dalam bahasa Indonesia berarti kecurangan memiliki arti melakukan kesalahan terhadap kebenaran untuk tujuan mendapatkan sesuatu yang bernilai atas kerugian orang lain atau mendapatkannya dengan membelokkan hukum atau kesalahan representasi suatu fakta, baik dengan kata maupun tindakan. Lebih spesifik, fraud dalam pelayanan kesehatan adalah kesengajaan melakukan kesalahan atau memberikan keterangan yang salah oleh seseorang atau entitas yang mengetahui hal itu dan dapat menghasilkan sejumlah manfaat yang tidak legal kepada individu, entitas, atau pihak lain Ilyas, Yaslis. Fraud: Biaya terselubung pelayanan kesehatan. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI

63 Tindakan fraud dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Berdasarkan pengalaman berbagai Negara, tindakan fraud dapat mencapai 10% dari total klaim dalam satu tahun dan dapat lebih besar jiaka tidak dilakukan upaya pencegahan. Namun sayangnya, belum ada aturan yang secara ekspilit mengatur hukuman atas tindakan fraud yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam asuransi kesehatan. Dengan demikian, upaya deteksi, investigasi, dan pencegahan fraud dalam penyelenggaraan JKN menjadi salah satu tugas berat BPJS Kesehatan bersama DJSN, dan Kementerian Kesehatan dalam rangka melakukan kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan. Berdasarkan kategori utama pelaku, fraud pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh peserta, fasilitas kesehatan, dan agen/asuransi kesehatan. Pada pelaksanaan program JKN tahun 2014, ditemukan fakta mengenai fraud yang dilakukan oleh peserta. Salah satunya adalah penggunaan kartu BPJS Kesehatan bukan oleh orang yang bersangkutan. Tidak hanya sampai di situ, BPJS Kesehatan menemukan kasus fraud yang lebih fatal lagi dilakukan oleh peserta. Pada hari yang sama, satu kartu BPJS Kesehatan dimanfaatkan di beberapa RS dengan diagnosis yang berbeda-beda. Fraud ini dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Kemungkinan, hal ini dilakukan karena adanya ketentuan satu minggu waiting period atau waktu tunggu sebelum kartu dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan. Pasien yang baru mendaftar ketika sakit secara otomatis tidak mendapatkan jaminan untuk fase pengobatan tersebutdan mencoba menggunakan karty orang lain untuk melakukan pengobatan. Kedua penyalahgunaan kartu sangat mungkin dilakukan mengingat dalam aplikasi pelayanan JKN di faskes, tidak dilengkapi dengan foto peserta. Selama memiliki jenis kelamin sama dan usia yang tidak terlalu jauh berbeda, petugas BPJS Kesehatan maupun tenaga kesehatan di RS tidak akan mengetahui kecurangan tersebut. Sejauh ini, indikasi kasus-kasus fraud yang dilakukan oleh faskes juga telah banyak ditemukan. Contoh kasus fraud yang dilakukan oleh faskes adalah: 1. Unbundling services, Unbundling services adalah praktik pemecahan unit diagnosis atau layanan yang biasanya dilakukan dalam satu epidose pengobatan untuk memaksimalkan penggantian biaya dari pembayar/asuransi. Akibatnya, pasien harus mendatangi RS berkali-kali untuk mendapatkan pelayanan yang utuh. Permasalahan ini seringkali dikeluhkan oleh peserta JKN terutama di awal penyelenggaraan JKN. Obat-obatan untuk penyakit kronis seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, Epilepsi, dan Asam Urat yang seharusnya diberikan dalam waktu 30 hari, diberikan hanya untuk 7 hari. Akibatnya, peserta harus mendatangi RS setiap 1 minggu sekali. RS beralasan biaya reimbursement yang diberikan tidak mencukupi jika memberikan obat selama 30 hari. Jika demikian, ini tentu akan sangat memberatkan peserta karena dalam kondisi sakit pasien masih harus mondar-mandir ke RS. Selain menyebabkan jumlah klaim yang membengkak, hal ini berisiko menyebabkan kondisi peserta semakin menurun akibat kelelahan dalam menjalani pemeriksaan diagnosis. Ini tentu juga akan menurunkan kepuasan peserta terhadap kualitas layanan JKN karena merasa pelayanan kesehatan berbelit-belit. Dalam kasus rawat inap, kasus 61

64 serupa dilakukan dalam bentuk readmisi. Pasien yang masih memerlukan biaya perawatan namun biaya pelayanannya telah melebihi biaya yang diganti oleh INA-CBGs diminta untuk pulang terlebih dahulu, beberapa hari kemudian pasien diminta datang kembali ke RS untuk mendapatkan rawat inap. Ditemukan kasus pasien yang meninggal ketika dikembalikan ke rumah sedangkan belum masuk jadwal kembali ke RS karena penyakit yang diderita sangat parah. Gambar 27. Kasus RJTL dengan Jumlah Kunjungan >2 Kali/Bulan, Januari Mei Jan Feb Mar Apr Mei RS U (Tipe A) RS V (Tipe A) RS W (Tipe B) RS X (Tipe C) RS Y (Tipe C) RS Z (tipe C) Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan pada FGD IV Grand Design M onev JKN. 19 Februari 2015 Berdasarkan data PPJK Kemenkes RI, terdapat adanya indikasi unbundling di salah satu RS yang menjadi sample. RS tersebut memiliki jumlah kunjungan RJTL >2 kali/bulan hampir 3 kali lipat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya dan dibandingkan rumah sakit lain baik dengan tipe yang sama maupun dengan tipe yang lebih tinggi. 2. Upcoding kode INA-CBGs, Upcoding adalah upaya untuk mendapatkan kode INA-CBGs yang lebih tinggi dari keadaan sebenarnya atas suatu diagnosis atau tindakan dengan maksud mendapatkan penggantian INA-CBGs yang lebih tinggi. Upcoding bisa dilakukan dengan mengubah total nomor INA-CBGs maupun dengan meningkatkan severity level kode INA-CBGs. Salah satu adanya indikasi upcoding terlihat pada gambar di bawah ini. RS IV dimana merupakan RS tipe C memiliki kasus dengan severity level I hanya 36% sedangkan kasus severity level II mencapai 65%. Hal ini diluar kewajaran karena RS tipe A dan Tipe B kasus severity level II masih di bawah 30% dari keseluruhan kasus. 62

65 Gambar 28. Persentase Kasus Berdasarkan Severity Level, I II III RS I (Tipe A) RS II (Tipe B) RS III (Tipe C RS IV Tipe C RS V Tipe C Sumber: PPJK Kemenkes RI. Aspek Penting JKN terkait Tugas dan Pemangku Kepentingan dan Perlunya Monev Terpadu. Dipresentasikan p ada FGD IV Grand Design Monev JKN. 19 Februari 2015 BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo juga menemukan adanya indikasi upcoding. Klaim untuk kode INA-CBGs A-4-14 (Penyakit infeksi bakteri dan parasite lain-lain) mengalami peningkatan yang cukup signifikan di tahun 2014, sedangkan tidak ada wabah atau pun faktor lain yang menyebabkan kenaikan kasus ini. Setelah diselidiki, kode ini memiliki penggantian biaya yang cukup tinggi dibandingkan kode INA-CBGs A-4-12 (Demam) dan kode A-4-13 (Infeksi non Bakteri) yang memiliki gejala dan tindakan yang hampir mirip. Selain adanya peningkatan jumlah kasus untuk kode INA-CBGs tertentu, terdapat pula indikasi upcoding dilihat dari kenaikan unit cost (rerata biaya klaim) secara teratur setiap bulannya baik untuk kasus rawat jalan dan rawat inap meskipun jumlah kasus setiap bulannya tidak jauh berbeda dan tidak ada perbedaan tarif. Tabel 14. Jumlah Kasus, Total Klaim, dan Unit Cost RJTL BPJS Kesehatan Gorontalo Januari Februari Maret April Mei Jumlah Kasus 5,417 5,289 5,186 5,349 5,489 Total Klaim Rp1,14 M Rp1,15 M Rp1,17 M Rp 1,22 M Rp1,29 M Unit Cost Rp210,104 Rp217,448 Rp224,631 Rp228,625 Rp235,055 Sumber: BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014 Tabel 15. Jumlah Kasus, Total Klaim, dan Unit Cost RITL BPJS Kesehatan Gorontalo Januari Februari Maret April Mei Jumlah Kasus 2,711 3,187 3,206 2,909 3,151 Total Klaim Rp 10,18 M Rp 12,56 M Rp 12,75 M Rp 11,78 M Rp 13,44 M Unit Cost Rp3,755,231 Rp3,940,448 Rp3,978,421 Rp4,052,532 Rp4,266,394 Sumber: BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2014 Unit cost RITL pada bulan Juni mengalami kenaikan 13,3% dari bulan Januari. Sedangkan RJTL mengalami kenaikan 11,1%. Hal ini bisa menjadi indikasi terjadinya permainan kode INA-CBGs di rumah sakit untuk mendapatkan pembayaran yang lebih besar karena pola penentuan kode INA-CBGs cukup mudah untuk melakukan uji coba dan belum dilaksanakannya verifikasi medis oleh BPJS Kesehatan. 63

66 3. Iur biaya untuk pelayanan yang seharusnya dijamin JKN, Adanya iur biaya merupakan kasus yang paling banyak dikeluhkan oleh peserta terkait penyelenggaraan JKN. Pasalnya, peserta tidak merasa meminta pelayanan di luar ketentuan JKN namun mereka tetap mendapatkan tagihan tambahan dari RS. Iur biaya ini paling banyak ditagihkan untuk obat-obatan dan bahan medis habis pakai yang menurut petugas RS tidak dijamin oleh JKN. Apa yang dilakukan oleh faskes bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal Permenkes No.71 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN yang menyebutkan bahwa obat-obatan, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan salah satu komponen yang dibayarkan dalam pake INA-CBGs. Apabila obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur RS. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi RS untuk memerintahkan pasien menebus obat di apotik luar RS. Iur biaya yang ditagihkan merupakan selisih dari biaya layanan kesehatan yang dihitung secara fee for service dengan biaya pelayanan yang ditanggung dalam INA-CBGs. Kejadian ini mengindikasikan belum pahamnya RS mengenai pola pembayaran INA-CBGs yang tidak lagi memperhitungkan biaya secara FFS. Untuk mencegah tindakan fraud, diperlukan upaya pencegahan yang sistematis terhadap seluruh aspek pelayanan JKN, mulai dari pendaftaran kepesertaan, pelayanan kesehatan, verifikasi, dan pembayaran klaim. Petugas verifikator harus mampu melaksanakan verifikasi secara medis terhadap setiap klaim yang ditagihkan, memeriksa rasionalitas tindakan, dan memastikan tidak adanya kecurangan baik oleh peserta maupun faskes. Untuk mempermudah proses ini, diperlukan sistem IT yang adekuat, akurat, dan sensitive. RS tidak lagi dimungkinkan untuk melakukan uji coba penginputan kode INA-CBGs dalam software INA-CBGs. Pengajuan klaim secara realtime juga dapat meminimalisasi risiko fraud karena tidak memberikan waktu bagi faskes untuk melakukan kecurangan-kecurangan terencana. 3.4 ORGANISASI DAN MANAJEMEN BPJS KESEHATAN Permasalahan Organisasi dan Manajemen BPJS Kesehatan Saat ini, BPJS Kesehatan melayani lebih dari 130 juta jiwa masyarakat Indonesia sehingga beban kerja pegawai BPJS Kesehatan begitu tinggi. Beban kerja yang besar ini diantaranya terjadi karena: i. Terbatasnya jumlah tenaga kerja BPJS Kesehatan. Meskipun BPJS Kesehatan saat ini terus melakukan rekrutmen, namun belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. ; ii. Area kerja BPJS Kesehatan yang terlau luas. Ratio ketersediaan kantor layanan BPJS Kesehatan (Kantor Cabang/KLO Kabupaten/kota) di tiap kabupaten hanya sebesar 1:0.87. Artinya belum seluruh kabupaten/kota memiliki kantor layanan BPJS Kesehatan... Wilayah kabupaten/kota di Indonesia memiliki luas yang bervariasi, untuk daerah yang terlalu luas, adanya satu kantor layanan belum dapat memenuhi kebutuhan pelayanan yang ada, terlebih jika daerah tersebut belum memiliki kantor layanan sama sekali. 64

67 Akibat dari beban kerja yang terlalu besar tersebut, ditemukan beberapa kasus yang terkait dengan masalah keluarga, terutama bagi pegawai perempuan yang juga memiliki tanggung jawab sebagai Ibu Rumah Tangga. Selain permasalahan di atas, ditemukan pula permasalahan lain terkait SDM BPJS Kesehatan, yaitu: i. Petugas BPJS Centre belum mampu menjembatani masalah-masalah yang terjadi di faskes; ii. Masyarakat sulit menyampaikan keluhan. Hotline yang dimiliki setiap kantor cabang BPJS Kesehatan sulit dihubungi. Sedangkan, petugas call center belum mampu menangani keluhan sampai ke level teknis di lapangan. iii. Informasi yang dimiliki terkait hal-hal teknis di lapangan sering kali tidak sama sehingga menimbulkan kesimpangsiuran dalam implementasi; Di era digital saat ini, kemampuan teknologi informasi yang baik sangat mempengaruhi kinerja organasasi karena dapat mempermudah, mempercepat, dan mensinkronkan kerja antar fungsi organisasi. BPJS Kesehatan terus berupaya melakukan otomatisasi sistem pelaksanaan kegiatan. Namun, pengembangan masih perlu dilakukan terutama dalam hal integrasi sistem informasi kepesertaan, pelayanan, dan keuangan. Dengan demikian, ketika melakukan pelayanan, tenaga kesehatan dapat memastikan bahwa yang melakukan pengobatan adalah orang yang bersangkutan. Integrasi data ini juga berguna untuk mendeteksi potensi fraud seperti unbundling services, penyalahgunaan kartu, dan lain sebagainya. Selain itu, diperlukan pula pendataan klaim pelayanan kesehatan secara realtime sehingga meminimalisasikan potensi upcoding yang dilakukan oleh faskes. Di FKTP, BPJS Kesehatan telah mengembangkan aplikasi P-Careberbasis website sehingga diharapkan pendataan dilakukan secara mudah dan realtime. Namun, masih banyak FKTP yang belum memiliki jaringan internet sehingga belum bisa mengakses aplikasi P-Care secara online. Pendataan masih dilakukan secara manual baru kemudian dimasukkan ke dalam aplikasi. Hal ini tentunya memakan waktu yang cukup lama dan mengakibatkan pendataan terhambat. Sampai akhir tahun 2014, baru terdapat dari FKTP yang sudah terintegrasi dengan aplikasi P-care secara online. Pada jam sibuk aplikasi ini seringkali sulit diakses dan petugas FKTP harus meluangkan waktu di sore atau malam hari untuk melakukan pemasukan data layanan Keluhan Diagram di bawah menunjukkan keluhan JKN yang disampaikan oleh masyarakat ke BPJS Kesehatan. Keluhan terbanyak terkait dengan pelayanan administrasi di BPJS Kesehatan (42%). Selebihnya (58%) merupakan keluhan yang terjadi di fasilitas kesehatan. Tentunya, keluhan yang benar-benar terjadi di masyarakat jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang tercatat di BPJS Kesehatan. 65

68 Gambar 29. Keluhan Peserta JKN yang Disampaikan ke BPJS Kesehatan, 2014 Biaya di Luar Ketentuan 5% Pelayanan Non Medis 13% Kekosongan Obat 12% Pelayanan Medis 28% Pelayanan Administrasi di BPJS 42% Sumber: BPJS Kesehatan Kantor Cabang Wilayah Pemantauan, 2014 Keluhan yang berasal dari dinas kesehatan, fasilitas kesehatan, maupun masyarakat pada umumnya diantaranya sebagai berikut: i. Belum adanya pemahaman masyarakat dan fasilitas kesehatan mengenai sistem rujukan berjenjangsehingga RS menolak pasien yang datang dari luar wilayahnya (portabilitas belum berjalan) ii. Persediaan obat sesuai Formularium Nasional (Fornas) di faskes belum lengkap. Sehingga masih banyak terjadi pengeluaran out of pocket peserta untuk biaya obat. Sosialisasi penggunaan Fornas sebagai pedoman pemberian obat belum terlaksana dengan baik. Belum ada pihak yang merasa berkewajiban melakukan sosialisasi. Terutama di wilayah timur Indonesia. iii. Komunikasi dan koordinasi RS dengan BPJS Kesehatan belum optimal; iv. Peraturan JKN yang dibuat Pemerintah Pusat seringkali terlambat dan berubah-ubah, sedangkan pelaksanaan di daerah membutuhkan waktu.kredensialing PKM tidak melibatkan dinkes, sehingga banyak penilaian yang menurut dinas kesehatan kurang sesuai. v. RS belum memahami pola manajemen keuangan dengan sistem INA-CBGs, sehingga pembayaran INA-CBGs dianggap tidak layak. vi. Sulitnya mengakses data BPJS Kesehatan baik untuk kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan lainnya. 3.5 PERAN PEMERINTAH Koordinasi Lintas Sektor dan Support Terhadap BPJS Dalam melaksanakan Program JKN, BPJS Kesehatan tentu tidak dapat berjalan sendiri. Banyak pemangku kepentingan lainnya yang turut berkontribusi dalam keberhasilan program tersebut di daerah, seperti Sekretaris Daerah (Sekda), Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Sosial (Dinsos), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), dan Dinas Tenaga Kerja (Dinsnaker). BPJS Kesehatan juga telah membuat Forum Kemitraan di setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi. Forum ini terdiri atas BPJS Kesehatan, Sekretaris Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Badan Keuangan Daerah, Bappeda, dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat. BPJS Kesehatan mengagendakan pertemuan tersebut empat kali dalam setahun untuk membahas 66

69 permasalahan-permasalahan yang terjadi dilapangan serta menyepakati alternatif solusinya. Namun, belum ada dasar hukum yang kuat yang mengatur tugas masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) sehingga belum aktif terlibat dalam pelaksanaan JKN karena belum. a. Koordinasi dalam perluasan kepesertaan PPU Di beberapa daerah, koordinasi BPJS Kesehatan dengan pemda sudah berjalan dengan baik, seperti halnya di wilayah Banten, Gorontalo, dan Jawa Tengah. Koordinasi lintas sektor ini diwujudkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Disnaker untuk tiga aspek, yaitu: sosialisasi, pendataan, dan penegakan kepatuhan PPU. Melalui PKS ini, Disnaker turut berperan dalam: i. sosialisasi JKN ke organisasi-organisasi perusahaan yang ada di wilayah kerjanya; ii. memberikan data terbaru BU yang menjadi sasaran BPJS Kesehatan untuk perluasan JKN; iii. memberikan teguran tertulis kepada perusahaan-perusahaan yang belum terdaftar sebagai peserta JKN, memiliki tunggakan iuran, ataupun memberikan data kepesertaan yang tidak valid, termasuk kepada beberapa perusahaan yang tidak memberikan data gaji pegawai secara benar untuk memperkecil kewajiban membayar iuran JKN. Beberapa daerah telah menyepakati penegakan kepatuhan bersama (BPJS Kesehatan & Disnaker) akan dilaksanakan pada tahun Di tahun 2014, BPJS Kesehatan hanya akan menerbitkan teguran-teguran kepada BU yang belum mendaftarkan tenaga kerjanya ataupun memiliki tunggakan iuran. Gambar 30. Alur Penegakan Kepatuhan bagi PPU yang Belum Mendaftar di BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo Kunjungan 1 Peringatan 1 Peringatan 2 Kunjungan 2 Pelaporan ke SKPD Terkait Penegakan Kepatuhan SKPD Terkait Sumber: BPJS Kesehatan Kantor Cabang Gorontalo, 2014 Gambar 31. Alur Penegakan Kepatuhan bagi PPU yang Menunggak Iuran di BPJS Kesehatan Provinsi Gorontalo Peringatan, Denda, & Pencabutan Hak 1 Peringatan, Denda, & Pencabutan Hak 2 Pelaporan ke SKPD Terkait Penegakan Kepatuhan SKPD Terkait Sumber: BPJS Kesehatan Kantor Cabang Gorontalo, 2014 Di beberapa provinsi lain, koordinasi lintas sektor dengan Disnaker Provinsi belum berjalan optimal. Sebagai contoh di Provinsi Jawa Barat, BPJS Kesehatan dan Dinasker baru memulai koordinasi pada bulan Oktober Meskipun demikian, Disnaker berkomitmen dan siap untuk 67

70 melaksanakan tugasnya dalam hal penegakan kepatuhan JKN. Perlu adanya koordinasi lebih lanjut untuk menentukan bentuk dan pola kemitraan yang tepat. Saat ini, Disnaker Provinsi Jawa Barat telah mewajibkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebagai persyaratan BU untuk mendapatkan izin usaha. Disnaker juga berencana menjadikan kepesertaan JKN sebagai syarat untuk mendapatkan izin usaha. Hal ini diharapkan akan memudahkan tugas Disnaker seperti halnya yang telah dilakukan oleh Disnakertrans Provinsi Jawa Tengah. Terkait dengan penegakan kepatuhan WNA, beberapa disnaker merasa kesulitan untuk mendapatkan data mengenai Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), sehingga sulit menentukan berapa jumlah WNA yang perlu didorong untuk segera mendaftar ke BPJS Kesehatan. Untuk mempermudah perluasan kepesertaan PPU, dukungan paling besar dibutuhkan melalui peraturan daerah (perda). Saat ini ditemukan badan usaha yang belum melaksanakan kewajiban berkontribusi dalam pembayaran iuran JKN. Perusahaan masih memotong seluruh biaya iuran dari gaji pekerja. b. Koordinasi dalam perluasan kepesertaan PBPU BPJS Kesehatan menyadari tidak akan mampu memberikan sosialisasi kepada seluruh masyarakat tanpa bantuan pihak terkait seperi Dinkes, Dinsos, Puskesmas, RS, dan aparat desa. Dengan demikian, BPJS Kesehatan secara rutin memberikan sosialisasi kepada Dinkes, Puskesmas, dan RS dan mengharapkan informasi tersebut dapat diteruskan kepada aparat desa dan jajarannya untuk selanjutnya diteruskan kepada masyarakat. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada pembagian tugas yang jelas antar pemangku kepentingan untuk melakukan sosialisasi JKN sesuai dengan lingkup pekerjaannya. Beberapa Dinkes telah memiliki koordinasi yang erat dengan BPJS Kesehatan dalam sosialisasi kepada peserta PBPU seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Bali. Dinkes Provinsi Jawa Tengah sangat aktif dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat baik melalui media masa elektronik seperti radio dan stasiun TV lokal, maupun media cetak dengan membuat poster tersendiri. Sosialisasi di media masa seringkali dilakukan bersama-sama dengan BPJS Kesehatan. 68

71 Gambar 32. Leaflet Sosialisasi JKN oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Senada dengan Dinkes Provinsi Jawa Tengah, Dinkes Provinsi Bali juga turut aktif dalam memberikan sosialisasi ke masyarakat melalui pertemuan warga yang diadakan oleh Puskesmas, desa, atau banjar. Dinkes berusaha mendorong penduduk non KTP Bali atau penduduk ber-ktp Bali yang mampu untuk mendaftar sebagai peserta JKN. Hal ini juga dilakukan oleh Dinkes dengan tujuan mengeluarkan penduduk yang mampu dari Jamkesda Provinsi Bali. Dalam sosialisasinya, Dinkes menyampaikan bahwa penduduk bisa mendapatkan manfaat yang jauh lebih baik jika mereka mendaftar JKN secara mandiri karena dapat memilih kelas perawatan di kelas 1 maupun kelas 2. Sedangkan, Jamkesda Bali hanya memberikan perawatan di kelas 3 dan belum bisa memberikan rujukan sampai luar Provinsi Bali. c. Koordinasi dalam perluasan kepesertaan Jamkesda Pada dasarnya, Jamkesda merupakan program prioritas sebagian besar wilayah pemantauan dan amanat UU SJSN. Dengan demikian keberlangsungan program ini cenderung baik. Namun untuk mengintegrasikannya ke dalam program JKN, Pemda membutuhkan sosialisasi serta saran penyelesaian atas permasalahan yang dihadapi. Sebagian besar pemda menyatakan akan patuh untuk mengintegrasikan program Jamkesdanya ke JKN jika ada dasar hukum kuat yang memerintahkan. Upaya untuk mendorong pengintegrasian Jamkesda ke program JKN tidak hanya melibatkan Dinas Kesehatan setempat, tetapi juga Bappeda, Sekretaris Daerah, Dinas Sosial, dan SKPD terkait lainnya. Namun dalam pemantauan, masih banyak SKPD yang belum mendapatkan sosialisasi mengenai Program JKN, tahapan integrasi, dan keuntungan jika Jamkesda diintegrasikan ke JKN sehingga belum mendukung pelaksanaan integrasi Jamkesda. Sosialisasi juga penting dilakukan untuk menumbuhkan pemahaman mengenai prinsip asuransi sosial. Masih banyak pemda yang belum memahami bahwa mekanisme penyelenggaraan JKN adalah jaminan sosial, bukan bantuan sosial seperti yang selama ini dilaksanakan. Beberapa pemda masih mengharapkan sistem pembiayaan seperti pada masa PJKMU (bantuan sosial), yaitu anggaran yang disediakan hanya diserap jika ada pasien yang memanfaatkan layanan 69

72 Jamkesda. Jika masih terdapat sisa dari dana yang dianggarkan, dana tersebut dapat dikembalikan atau digunakan untuk tahun berikutnya. Sedangkan program asuransi sosial tidaklah seperti itu. Iuran yang ditetapkan telah menjadi hak pengelola, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Meskipun dana tersebut tidak digunakan oleh peserta Jamkesda, dana itu tidak dapat dikembalikan karena akan digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta JKN lainnya. Dengan kata lain terjadi gotong-royong pembiayaan kesehatan. Hal tersebut masih belum dipahami oleh beberapa pemda. Selain upaya dari BPJS Kesehatan, beberapa Pemda pun sudah memiliki strategi untuk mempercepat integrasi Jamkesda ke JKN. Pemerintah Provinsi Gorontalo mengeluarkan Pergub No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jamkesda yang Terintegrasi dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang merumuskan pembuatan Pergub JKN untuk mendorong Jamkesda Kab/Kota berintegrasi dengan JKN. Untuk mencapai kesepakatan dalam Pergub tersebut, Pemda menyusun strategi integrasi seperti pada tabel berikut. Tabel 16. Strategi Integrasi Jamkesda dengan JKN di Provinsi Jawa Barat No. Strategi Langkah-Langkah 1. Penguatan Regulasi Disusun sejumlah regulasi/kebijakan yang mendukung integrasi Jamkesda ke JKN (Pergub tentang Integrasi dengan JKN) Pemda memiliki landasan hukum dalam mengintegrasikan Jamkesda ke BPJS Kesehatan 2. Sinkronisasi Anggaran Sinkronisasi berbagai sumber anggaran: APBN, APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota untuk PBI 3. Intensifikasi Koordinasi Teknis Kelengkapan dan Relevansi Regulasi Sinkronisasi Data Kepesertaan PBI Maskin yang belum dalam PBI (Jamkesda) Ada indikasi terdapat kesalahan (error) penduduk miskin dan tidak mampu, baik inclusion error, maupun exclusion error Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Di tahun 2014, berbagai peraturan untuk memperkuat implementasi JKN berhasil dirumuskan. Beberapa peraturan merupakan peraturan baru yang berupaya memenuhi kebutuhan di lapangan seperti aturan mengenai penggunaan dana kapitasi, sedangkan beberapa lainnya merupakan perbaikan dari peraturan yang telah dirumuskan tahun sebelumnya seperti peraturan menganai pembayaran JKN. Untuk lebih lengkapnya, berikut daftar peraturan mengenai JKN yang disusun pada tahun 2014: 70

73 Tabel 17. Daftar Peraturan JKN yang dirumuskan pada tahun 2014 No. Nomor Tentang Peraturan Presiden 1. Perpres No. 32 Tahun Perpres No. 68 Tahun 2014 Perpres No. 74 Tahun 2014 Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kesehatan No.19 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No.27 Tahun 2014 Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Ketua, wakil ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim Agung Mahkamah Agung, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Tertentu Pedoman Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Kesehatan dan Bidang Ketenagakerjaan Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional paa Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups Peraturan Menteri Kesehatan No.28 Tahun 2014 Peraturan Menteri Kesehatan No.55 Tahun Peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun Peraturan Menteri Keuangan No.245 Tahun 2014 PerBPJS 10. Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 Peraturan BPJS Kesehatan No Tahun Peraturan BPJS Kesehatan No. 3 Tahun 2014 Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional Pelayanan Kesehatan dalam Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Ketua, wakil ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim Agung Mahkamah Agung, Menteri, Wakil Menteri, dan Pejabat Tertentu Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Besaran Persentase Dana Operasional BPJS Kesehatan Tahun 2015 Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Peserta Tata Cara dan Mekanisme Kerja Pengawasan dan Pemeriksaan atas Kepatuhan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Tata Cara Pendaftaran dan Pembayaran Peserta Perorangan BPJS Kesehatan 71

74 Diluar peraturan yang termasuk dalam sistem peraturan-perudangan, kementerian/lembaga terkait juga mengeluarkan aturan terkait pelaksanaan JKN dalam bentuk Surat Edaran (SE), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Direksi (Perdir) dan sebagainya. Berikut adalah beberapa peraturan yang berhasil dirangkum. Tabel 18. Peraturan Lain terkait JKN yang dikeluarkan oleh Kementerian/Lembaga terkait Tahun 2014 No. Nomor Tentang Keputusan Menteri Keputusan Menteri Kesehatan 1. No.46 Tahun 2014 Keputusan Menteri Kesehatan 2. No.159 Tahun 2014 Peraturan Direksi 3. Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No.24 Tahun Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No.25 Tahun Peratuan Direksi BPJS Kesehatan No.33 Tahun Peratuan Direksi BPJS Kesehatan No.49 Tahun 2014 Peratuan Direksi BPJS Kesehatan No.64 Tahun 2014 Peratuan Direksi BPJS 8. Kesehatan No.211 Tahun 2014 Surat Edaran Surat Edaran Menteri Kesehatan No.31 Tahun 2014 Surat Edaran Menteri Kesehatan No.32 Tahun 2014 Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.1 Tahun 2014 Tim Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014 Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan No. 328 Tahun 2013 Tentang Formularium Nasional Pedoman Pengelolaan Keuangan Aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan Pedoman Pengelolaan Keuangan Aset BPJS Kesehatan Pedoman Pengumpulan Iuran Jaminan Kesehatan Penggantian Biaya Pelayanan pada Masa Transisi di Fasilitas Kesehatan yang Belum Bekerja Sama dengan BPJS Kesehatan Pedoman Penyelenggaraan Koordinasi Manfaat antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dan Penyelenggara Program Asuransi Kesehatan Tambahan atau Badan Penjamin Lainnya Ptunjuk Teknis Pendaftaran dan Penjaminan Peserta Perorangan BPJS Kesehatan Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS Kesehatan pada fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional Pengawasan Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial pada BPJS Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 900 Tahun 2014 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 19 Tahun 2014 Petunjuk Teknis Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, serta Pertanggungjawaban Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Laporan Bulanan Pengelolaan Program Jaminan Kesehatan bagi BPJS Kesehatan 72

75 Peraturan terkait penyelenggaran JKN begitu banyak. Yang perlu menjadi perhatian, jangan sampai peraturan ini tumpang tindih dan tidak sinkron antara satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan permasalahan baru. Hal penting lainnya, setiap peraturan harus dituangkan dalam kerangka peraturan yang tepat. Sebagai contoh, peraturan mengenai keaktifan kartu peserta setelah 7 hari mendaftar, diatur melalui Peraturan Direksi BPJS Kesehatan. Padahal peraturan tersebut cukup substansial karena dapat membatasi peserta dalam memanfaatkan layanan. Peraturan seperti ini seharusnya dapat diatur oleh peraturan yang lebih tinggi semisal Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri. Setelah melihat dinamika yang terjadi pada pelaksanaan tahun 2014, beberapa peraturan juga perlu disesuaikan karena belum mengakomodasi kebutuhan dilapangan dan dibutuhkan pula peraturan-peraturan pelengkap atau peraturan turunan yang lebih teknis sebagai dasar pelaksanaan. Di awal tahun 2015, DJSN dan kementerian/lembaga terkait mulai melakukan pembahasan-pembahasan untuk melakukan revisi terhadap beberapa peraturan terkait JKN. Peraturan ini direncakan akan selesai dibahas pada tahun Peraturan tersebut adalah PP No. 101 Tahun 2012 tentang PBI, PP No. 87 tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset dan Jaminan Sosial Kesehatan, dan Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Jo Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan pertama Perpres No. 12 Tahun Beberapa peraturan yang masih perlu dibuat terkait JKN adalah terkait rambu-rambu pengelolaan keuangan pada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, skema pemantauan dan evaluasi jaminan sosial yang terpadu Pendanaan Pemerintah memiliki peran yang begitu besar terhadap pendaaan program JKN. Pemerintah melalui APBN dan APBD menganggarkan dana sebesar Rp28,6T yang setara dengan 75,05% dari total pendanaan JKN. Dana tersebut digunakan untuk membayarkan iuran bagi penerima PBI Pusat, PBI Daerah, dan iuran PNS Pensiun Negara yang menjadi kewajiban pemerintah. Kontribusi Iuran yang berasal dari non pemerintah masih sangat rendah. Dengan demikian, pelaksanaan program JKN masih sangat tergantung pada pendanaan dari pemerintah. Tabel 19. Penerimaan Iuran JKN Per Desember 2014 JENIS IURAN PENERIMAAN IURAN % A Pemerintah 28,588, % PBI Pusat 19,932, % PNS & Pensiun oleh Pemerintah 7,466, % PBI Daerah 1,189, % B Non Pemerintah 9,502, % PNS & Pensiun oleh Peserta 4,858, % PPU non PNS 3,295, % PBPU 1,348, % C Total A + B 38,091, % Sumber: Laporan Kinerja BPJS Kesehatan Triwulan IV,

76 BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Secara keseluruhan, pelaksanaan JKN di tahun 2014 sudah cukup baik. Antusiasme masyarakat terhadap program ini begitu tinggi sehingga muncul berbagai dinamika baik pada saat pendaftaran kepesertaan, pelayanan, maupun pembayaran. Sebagian dinamika tersebut mampu ditangani di level teknis dan beberapa lainnya membutuhkan solusi di level kebijakan. Di akhir tahun 2014, suasana pelaksanaan program JKN sudah jauh lebih kondusif meskipun masih banyak hal yang harus diperbaiki dan masih banyak target yang harus dikejar untuk mencapai kepesertaan semesta Integrasi peserta dari program-program pengalihan sudah dilaksanakan cukup baik, kecuali untuk peserta JPK Jamsostek yang belum seluruhnya mendaftar kembali pada program JKN. Lebih dari separuh penduduk Indonesia sudah terdaftar sebagai peserta JKN. Namun, pertumbuhan peserta selama satu tahun (di luar peserta program peralihan) masih relatif kecil. Untuk mencapai target cakupan semesta di tahun 2019, dibutuhkan inovasi-inovasi yang dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap program JKN. Pelayanan kesehatan bagi peserta JKN di tahun 2014 memiliki cukup banyak kendala. Besarnya jumlah peserta belum diimbangi dengan jumlah faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesahatan. Belum terjalinnya komunikasi yang baik antara faskes dan BPJS Kesehatan juga menyebabkan munculnya berbagai macam keluhan pelayanan mulai dari adanya iur biaya, dikotomi pelayanan kesehatan, sampai dengan penolakan pasien. Belum lagi, kondisi geografis Indonesia yang kepualauan menyebabkan masyarakat sulit memanfaatkan pelayanan kesehatan meskipun telah memiliki kartu JKN. Sebagai tambahan cakupan kepesertaan, manfaat, serta layanan kesehatan yang diberikan juga belum cukup inklusif bagi penyandang disabilitas. Keuangan program JKN di tahun 2014 tidak terlalu sehat. Claim ratio program JKN jauh melebihi batas normal pembiayaan asuransi kesehatan. Kekurangan dana pembayaran klaim ditanggulangi oleh keuangan Negara. Namun demikian, perlu dilakukan upaya perbaikan agar permasalahan ini tidak terulang ditahun-tahun selanjutnya yang dapat menyebabkan kesinambungan program terganggu. Langkah ini dapat dilakukan dengan mengkaji besaran iuran yang ditetapkan, mendeteksi kemungkinan adanya fraud, besaran penggantian biaya pelayanan, pelaksanaan kendali biaya, dan keikutsertaan peserta sehat dalam program. Akhirnya, modal utama untuk menyukseskan program JKN adalah adanya koordinasi, dukungan dan kontribusi berbagai pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, maupun seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 74

77 4.2 LANGKAH PENGEMBANGAN Perluasan kepesertaan Perlu dirumuskannya strategi komunikasi yang efektif untuk mempercepat perluasan kepesertaan JKN, terutama membangun pemahaman masyarakat mengenai pentingnya asuransi kesehatan dan prinsip gotong royong serta menceritakan pengamalanpengalaman positif peserta JKN yang telah memanfaatkan layanan. Pengalaman positif sangat berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk mendaftar JKN. Pembuatan peraturan turunan PP No. 86/2013 yang mengatur sanksi ketidakpatuhan dalam pendaftaran dan pembayaran iuran peserta. a. PBI Penentuan kepesertaan PBI yang lebih baik, menggunakan Basis Data Terpadu, Basis Data PMKS, serta sumber data lain yang diperlukan (misalnya data penghuni lapas). Penentuan kriteria penerima PBI yang lebih jelas, terutama batasan untuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Pembangunan mekanisme yang lebih baik untuk memudahkan proses verifikasi dan validasi peserta PBI yang terstruktur, frequent, dan akurat. b. PPU Terkait dengan tunggakan iuran bagi BU Eks Jamsostek yang terlambat melakukan registrasi, perlu dilakukan diskusi dari pemangku kebijakan mengenai alternatif penyelesaian masalah karena OJK tidak mengizinkan adanya pemutihan piutang. Penetapan syarat kepesertaan JKN sebagai salah satu syarat izin pendirian BU baru perlu dilakukan untuk mempermudah Disnaker dalam menjalankan fungsi penegakan kepatuhan JKN. Mekanisme pendaftaran BU Mikro perlu disesuaikan dengan aturan di Perpres JK. Dengan demikian, terjadi sharing iuran antara pekerja dengan pemberi kerja. Perlu adanya kebijakan khusus terkait belum mampunya sebagian besar usaha mikro memberi upah pegawai sebesar UMK. Untuk mempercepat perluasan kepesertaan PPU, penegakan kepatuhan perlu dilakukan. Peraturan turunan dari PP No.86/2013 tentang sanksi bagi PPU dan PBPU untuk mengatur mekanisme penegakan sanksi dan peran dari berbagai pihak terkait seperti BPJS Kesehatan, Kemenakertrans, dan Pemda perlu ditegakkan. Pemda memiliki peran yang sangat besar dalam penegakan kepatuhan tersebut. c. PBPU Sosialisasi yang lebih massif mengenai pendaftaran JKN melalui internet dan bank yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jumlah bank yang bekerja sama juga perlu ditambah. Lokasi Bank yang menerima pendaftaran BPJS Kesehatan seharusnya berjauhan dengan kantor cabang/klok BPJS Kesehatan agar memiliki kemampuan outreach yang lebih luas. 75

78 Aturan masa tunggu keaktifan kartu JKN untuk mendorong penduduk mendaftar diwaktu sehat harus disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan agar tidak ada masyarakat yang gagal tercakup dalam jaminan kesehatan. Adanya upaya jemput bola untuk pendaftaran maupun pembayaran iuran. Mempermudah mekanisme pendaftaran online. d. Integrasi Jamkesda Perumusan strategi subsidi parsial regresif yang efektif bagi masyarakat yang tidak lagi dijamin Jamkesda. Sinergi pusat dan daerah untuk mengidentifikasi PBI APBD. Dengan demikian, pendataan yang dilakukan oleh daerah juga dapat diintegrasikan dengan database yang dimiliki pusat sehingga terbentuk satu data PBI yang sama. Mendorong pemda memenuhi anggaran kesehatan 10% agar mampu membiayai masyarakat miskin ke dalam program JKN. Adanya aturan yang memastikan PBI yang didaftarkan oleh Pemda bukan hanya masyarakat yang memiliki risiko sakit tinggi. Selain itu, perlu dirumuskan strategi pendaftaran JKN bagi peserta miskin yang tidak memiliki identitas. Untuk mempermudah sistem pertanggungjawaban keuangan Jamkesda, mekanisme sharing yang dibangun antara Pemrpov dengan Pemkab/kota adalah sharing peserta. BPJS Kesehatan tidak memungkinkan pelaporan keuangan ganda Ketersediaan dan kualitas layanan Setiap peserta/keluarga perlu mendapatkan petunjuk/panduan program JKN baik dalam bentuk buku maupun bentuk lainnya agar peserta lebih mudah memahami hak dan kewajibannya. Perlu adanya penguatan aturan bagi warga negara asing mengenai batas waktu pendaftaran JKN. Kepesertaan JKN dapat menjadi syarat untuk mendapatkan/memperpanjang visa tinggal. Meningkatkan peran pemerintah dan swasta untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dengan meningkatkan peran swasta dalam program JKN diharapkan ketersediaan pelayanan kesehatan JKN lebih baik dan dapat meningkatkan kepuasan peserta. Perumusan sanksi bagi fasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan di luar prosedur JKN sehingga menimbulkan kerugian bagi peserta JKN. Perlu adanya sistem kendali mutu dan kendali biaya berbasis informasi tekhnologi.edukasi bagi faskes untuk mengelola keuangan di era kapitasi dan INA-CBGs Sanksi atas tindakan dikotomi pelayanan JKN dan non JKN di fasilitas kesehatan. Peningkatan cakupan manfaat JKN agar lebih inklusif terhadap penyandang disabilitas, termasuk peningkatan ketersediaan layanan rehabilitasi medik dan aksesibilitas fasilitas kesehatan Kesinambungan Keuangan Diperlukan kajian mengenai penyebab tingginya angka rasio klaim JKN agar dirumuskan langkah perbaikan yang tepat. 76

79 Peningkatan besaran klaim rawat inap FKTP untuk mengurangi rujukan kasus yang masih bisa ditangani di FKTP untuk menurunkan angka rujukan. Perlu dibuatnya sistem kendali mutu dan kendali biaya (termasuk verifikasi medis klaim layanan kesehatan) untuk meningkatkan mutu dan efisiensi layanan. Dibuatnya strategi pengumpulan iuran yang dapat memudahkan PBPU. Alternatif yang dapat memudahkan PBPU antara lain: o Melalui PT POS; o Perwakilan/Koperasi Komunitas. Pedagang informal biasanya memiliki komunitas dengan jumlah anggota yang besar dan ikatan yang kuat. Strategi ini membutuhkan aturan yang jelas dan matang dalam pelaksanaannya; o Lembaga Keuangan Mikro (Koperasi-Koperasi Daerah) o Bersamaan dengan pembayaran tagihan lainnya, misal listrik/telepon; o Mini market/ppob; o Pembelian Voucher seperti handpone Organisasi dan manajemen BPJS Kesehatan Peningkatan kuantitas dan kapasitas staf BPJS Kesehatan terutama bagi staf yang berinteraksi langsung dengan peserta agar dapat menyelesaikan/menjembatani permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan. Meningkatkan jumlah kantor layanan BPJS Kesehatan. Keterbukaan BPJS Kesehatan dengan Pemangku kepentingan lainnya mengenai permasalahan-permasalahan manajemen BPJS Kesehatan Peran Pemerintah Adanya pembagian peran para pemangku kepentingan yang jelas dalam program JKN. Sebagai contoh, belum ada kejelasan penanggung jawab sosialisasi INA-CBGs di RS. Perlu adanya sistem pemantauan dan evaluasi program yang komprehensif, real time, dan terintegrasi untuk semua pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah. Perumusan peraturan di level yang lebih tinggi perlu dilaksanakan untuk mengurangi risiko adverse selection dan meningkatkan kepatuhan PBPU untuk membayar iuran. Sebaiknya upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan minat penduduk sehat untuk mendaftar dan membayar iuran JKN agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip SJSN. Adanya landasan hukum mengenai Integrasi Jamkesda ke JKN. Peraturan ini harus disosialisasikan jauh sebelum implementasi agar daerah mampu melakukan persiapan dana dan pendataan. Membuat peraturan untuk memperkuat peraturan JKN, seperti aturan kewajiban bekerjasama bagi RS di wilayahnya dan aturan sistem regionalisasi pelayanan kesehatan. Peningkatan kapasitas dan kualitas puskesmas agar dapat bersaing dengan klinik Swasta. Meningkatkan kualitas dan kapasitas tenaga kesehatan dan faskes agar dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada peserta JKN. Membuat peraturan turunan penegakan sanksi bagi BU. Pemda, melalui perda yang mensyaratkan kepesertaan JKN sebagai salah satu syarat pembuatan izin usaha. Perda dimungkinkan dapat mendorong BU berkontribusi dalam membayarkan iuran bagi pekerjanya sesuai dengan ketentuan. 77

80 78

drg. Usman Sumantri, MSc. Dewan Jaminan Sosial Nasional

drg. Usman Sumantri, MSc. Dewan Jaminan Sosial Nasional Pencapaian dan Tantangan Program Jaminan Kesehatan Nasional drg. Usman Sumantri, MSc. Dewan Jaminan Sosial Nasional Jakarta, 28 Desember 2017 1. Pendahuluan 2. Asas Dan Prinsip 3. Pencapaian JKN 4. Tantangan

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional MENTERI Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Peluncuran Peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 Jakarta, 29 November 2012 1 MENTERI SISTEMATIKA 1. Pendahuluan

Lebih terperinci

ESENSI DAN UPDATE RENCANA PENYELENGGARAAN BPJS KESEHATAN 1 JANUARI 2014

ESENSI DAN UPDATE RENCANA PENYELENGGARAAN BPJS KESEHATAN 1 JANUARI 2014 ESENSI DAN UPDATE RENCANA PENYELENGGARAAN BPJS KESEHATAN 1 JANUARI 2014 OLEH : DR.CHAZALI H. SITUMORANG, APT, M,Sc / KETUA DJSN SJSN: Reformasi Jaminan Sosial TATA CARA SJSN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMSOS

Lebih terperinci

Reformasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia

Reformasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia Reformasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia AHMAD ANSYORI Dewan Jaminan Sosial Nasional Padang, 26 Juni 2015 1 SJSN SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial untuk kepastian

Lebih terperinci

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero)

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) DASAR HUKUM 1 JANUARI 2014, PT ASKES (PERSERO) MENJADI BPJS KESEHATAN 1 DASAR HUKUM Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan antara lain oleh ketersediaan biaya kesehatan. Biaya kesehatan ditinjau dari sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

Hasil Diskusi Peluang dan Tantangan Daerah Menyongsong Kebijakan Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. 7-8 Desember 2012 Yogyakarta

Hasil Diskusi Peluang dan Tantangan Daerah Menyongsong Kebijakan Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional. 7-8 Desember 2012 Yogyakarta Hasil Diskusi Peluang dan Tantangan Daerah Menyongsong Kebijakan Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 7-8 Desember 2012 Yogyakarta Topik Pembahasan Regulasi Jaminan Kesehatan Kepesertaan Jaminan

Lebih terperinci

Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN

Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN 14 Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN Negara Belanja kesehatan terhadap % PDB Belanja kesehatan pemerintah terhadap % total belanja kesehatan Malaysia 4,3 44,1 Thailand 4,1 74,3 Filipina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin. Untuk itu Negara bertanggung jawab mengatur agar

Lebih terperinci

Peran Parlemen dalam Implementasi SJSN- BPJS

Peran Parlemen dalam Implementasi SJSN- BPJS Peran Parlemen dalam Implementasi SJSN- BPJS Oleh: dr. AHMAD NIZAR SHIHAB,SpAn Anggota Komisi IX DPR RI Rakeskesnas, 17 April 2013 Makasar VISI Kementerian Kesehatan MASYARAKAT SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKEADILAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesehatan adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan merupakan hak bagi setiap

Lebih terperinci

BAB III BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN. menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor

BAB III BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN. menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor BAB III BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN A. Sejarah Berdirinya BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang ditetapkan

PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang ditetapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang ditetapkan dalam human development indeks (HDI) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. 1 Dengan kondisi yang sehat

Lebih terperinci

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan.

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan. DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH mutupelayanankesehatan.net I. PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

Lebih terperinci

Presentasi Rapat Kerja RUU BPJS. 7 September 2011

Presentasi Rapat Kerja RUU BPJS. 7 September 2011 Presentasi Rapat Kerja RUU BPJS 7 September 2011 1 Pending Issues yang signifikan 1. Transformasi 2. Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi 3. Jumlah Anggota Dewan Pengawas dan Direksi 4. Hubungan dengan Lembaga

Lebih terperinci

MEKANISME KAPITALISASI DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Maulana Yusup STIE Pasundan Bandung

MEKANISME KAPITALISASI DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL. Maulana Yusup STIE Pasundan Bandung Majalah Bisnis dan Iptek Vol.8, No. 2, Oktober 2015, 67-84 Yusup, Mekanisme Kapitalisasi 2015 MEKANISME KAPITALISASI DALAM ERA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Maulana Yusup STIE Pasundan Bandung Email: yusup@stiepas.ac.id

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN SJSN MELALUI BPJS KESEHATAN DI KOTA BANDUNG

RENCANA PELAKSANAAN SJSN MELALUI BPJS KESEHATAN DI KOTA BANDUNG RENCANA PELAKSANAAN SJSN MELALUI BPJS KESEHATAN DI KOTA BANDUNG Rahmanto Fauzi Kabag Kepesertaan KCU Bandung Disampaikan pada acara PERTEMUAN KONTAK PERSON INSTANSI VERTIKAL KEMENTERIAN Tahun 2013 PT ASKES

Lebih terperinci

DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Sambutan Ketua DJSN. Pada Pembukaan Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2017

DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Sambutan Ketua DJSN. Pada Pembukaan Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2017 DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL Sambutan Ketua DJSN Pada Pembukaan Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2017 Hotel Aryaduta, Jakarta, 28 Desember 2017 Assalamu alaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat untuk memperoleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) merupakan isu penting yang telah ditetapkan WHO (World Health Organization) bagi negara maju dan negara berkembang sehingga penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan lanjutan dari Restitutie Regeling tahun Pada tahun 1985

BAB I PENDAHULUAN. merupakan lanjutan dari Restitutie Regeling tahun Pada tahun 1985 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jaminan Kesehatan di Indonesia bukanlah barang baru, dahulu pada awalnya Indonesia memiliki asuransi kesehatan untuk pegawai negeri sipil yang merupakan lanjutan dari

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH YANG TERINTEGRASI DENGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL KEMENKES PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN NASIONAL PUSAT PEMBIAYAAN DAN JAMINAN JAKARTA, 2016 JAMINAN NASIONAL Perkembangan penyelenggaraan JKN Jaminan Kesehatan Nasional UU NOMOR 24 TAHUN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL I. UMUM Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL 1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL I. UMUM Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh status kesehatan masyarakat. Kesehatan bagi seseorang merupakan sebuah investasi dan hak asasi

Lebih terperinci

EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) )

EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) ) EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) ) BANDI Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS 04/01/2017 bandi.staff.fe.uns.ac.id 1 EKONOMI KESEHATAN DAN APLIKASINYA ASURANSI DI INDONESIA Sesi 6 04/01/2017 bandi.staff.fe.uns.ac.id

Lebih terperinci

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT

PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT PERESMIAN BPJS, PELUNCURAN PROGRAM JKN DAN INTEGRASI JAMINAN KESEHATAN SUMBAR SAKATO, KE JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PROVINSI SUMATERA BARAT Senin, 2 Januari 2014. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program pemerintah Indonesia yang diluncurkan dalam rangka pencapaian derajat kesehatan yang merata antar penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diamanatkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum

Lebih terperinci

BAB II PENGELOLAAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA. D. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Sosial

BAB II PENGELOLAAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA. D. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Sosial BAB II PENGELOLAAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA D. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Sosial Jaminan sosial adalah perlindungan yang diberikan oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk resiko-resiko

Lebih terperinci

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero)

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) AGENDA KESIAPAN SEBAGAI BPJS TANTANGAN 2 2 PERJALANAN PANJANG ASKES Menkes 1966-1978 Prof Dr GA Siwabessy Cita-cita: Asuransi kesehatan bagi rakyat semesta BPDPK

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN BAB II DESKRIPSI UMUM OBJEK PENELITIAN A. DESKRIPSI UMUM 1. Keadaaan Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu dari 34 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau jawa bagian tengah,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BUPATI KEPULAUAN MERANTI BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PETA JALAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL BIDANG KESEHATAN DAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 14 /DPD RI/I/2013-2014 HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 SISTEM JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Mengapa RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) perlu segera disusun? Apakah peraturan perundang-undangan yang menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage merupakan sistem penjaminan kesehatan yang memastikan semua orang dapat menerima pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa harus mengalami

Lebih terperinci

Dukungan DPR dalam Menangani Defisit JKN dan Keberlangsungan Program JKN. Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, S.T, M.

Dukungan DPR dalam Menangani Defisit JKN dan Keberlangsungan Program JKN. Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, S.T, M. Dukungan DPR dalam Menangani Defisit JKN dan Keberlangsungan Program JKN Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, S.T, M.Si 2 JAMINAN KESEHATAN SEBAGAI HAK WARGA NEGARA Pembukaan UUD NRI Tahun

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 7 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DAERAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Upah Minimum atau Iuran PBI

Upah Minimum atau Iuran PBI Upah Minimum atau Iuran PBI Disampaikan oleh: Mundiharno Direktur Perencanaan Pengembangan & MR BPJS Kesehatan Forum Diskusi Publik Nasional Penguatan Jaminan Sosial Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup Layak

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 18 TAHUN 2015 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang: a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

Peta Jalan Menuju JAMINAN KESEHATAN NASIONAL didukung oleh:

Peta Jalan Menuju JAMINAN KESEHATAN NASIONAL didukung oleh: Peta Jalan Menuju JAMINAN KESEHATAN NASIONAL 2012-2019 didukung oleh: PETA JALAN MENUJU JAMINAN KESEHATAN NASIONAL 2012-2019 DISUSUN BERSAMA: KEMENTERIAN KOORDINATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT DEWAN JAMINAN

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara 2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara 2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat GAMBARAN PEMANFAATAN FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA (FKTP) PADA PESERTA PENERIMA BANTUAN IURAN (PBI) DAN Non-PENERIMA BANTUAN IURAN (Non-PBI) DI PUSKESMAS MEDAN DENAI Taufiqul 1, Ricky 1, Siti 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 28 H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu kebutuhan pokok hidup manusia yang bersifat mutlak adalah kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah keadaan sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan semua aspek kehidupan turut mengalami perubahan. Arus teknologi dan informasi sedemikian berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

Program Jaminan Kesehatan Nasional-kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS)

Program Jaminan Kesehatan Nasional-kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) Program Jaminan Kesehatan Nasional-kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) Sosialisasi Universitas Gajah Mada Kamis, 17/06/2016 1 OUTLINE PENDAHULUAN KEPESERTAAN MANFAAT JAMINAN KESEHATAN SANKSI DAN DENDA 2 A.

Lebih terperinci

PENGELOLAAN, MONITORING DAN EVALUASI ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA BPJS KESEHATAN. bpjs-kesehatan.go.id

PENGELOLAAN, MONITORING DAN EVALUASI ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA BPJS KESEHATAN. bpjs-kesehatan.go.id PENGELOLAAN, MONITORING DAN EVALUASI ASET JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA BPJS KESEHATAN bpjs-kesehatan.go.id I. PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setiap orang berhak

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini

DALAM SISTEM. Yulita Hendrartini PERAN STAKEHOLDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN Yulita Hendrartini PRINSIP PENYELENGGARAAN ASKESKIN PROGRAM DISELENGGARAKAN DENGAN PRINSIP NIRLABA DAN DANA AMANAH DISELENGGARAKAN SECARA SERENTAK DI SELURUH

Lebih terperinci

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 169 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 169 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 169 TAHUN 2016 TENTANG KEPESERTAAN DAN PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013 Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen Disampaikan pada DIALOG WARGA TENTANG PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Kebumen, 19 September 2013 SISTEM KESEHATAN NASIONAL

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI SJSN. Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional

IMPLEMENTASI SJSN. Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional IMPLEMENTASI SJSN Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL Jakarta, 12 Desember 2011 1 Latar belakang SJSN SJSN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu kebijakan pemerintah bidang kesehatan yang terintegrasi dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan kebutuhan mendasar dari setiap manusia untuk dapat hidup layak, produktif, serta mampu bersaing untuk meningkatkan taraf hidupnya. Namun demikian

Lebih terperinci

VISI DAN MISI BPJS KESEHATAN TAHUN Fachmi Idris Direktur Utama

VISI DAN MISI BPJS KESEHATAN TAHUN Fachmi Idris Direktur Utama VISI DAN MISI BPJS KESEHATAN TAHUN 2016-2021 Fachmi Idris Direktur Utama Rapat Koordinasi DJSN Jakarta, 30 Maret 2016 1 MEMASUKI PERIODE BARU 2016 2 VISI JOKOWI-JK BERDAULAT TRISAKTI UU Nomor 24 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan sistem kesehatan nasional (SKN), bahwa pembangunan kesehatan harus merata di seluruh wilayah di Indonesia, namun kenyataannya pembangunan pada aspek kesehatan

Lebih terperinci

There are no translations available. Pertanyaan-Pertanyaan Dasar Seputar JKN dan BPJS

There are no translations available. Pertanyaan-Pertanyaan Dasar Seputar JKN dan BPJS There are no translations available. Pertanyaan-Pertanyaan Dasar Seputar JKN dan BPJS 1. Apa itu JKN dan BPJS Kesehatan dan apa bedanya? JKN merupakan program pelayanan kesehatan terbaru yang merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2014 berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan

BAB I PENDAHULUAN. dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak setiap orang untuk hidup yang memadai termasuk dalam memperoleh kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan Oleh : Drs. M. FACHRUDDIN, MM Disampaikan pada Sosialisasi SJSN Novotel Banjarmasin,

Lebih terperinci

KONDISI TERKINI PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

KONDISI TERKINI PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) KONDISI TERKINI PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah dr. Anshayari Arsyad, M.Kes Palu, 11 September 2015 TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. SJSN. mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun,

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. SJSN. mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tahun 2003 pemerintah menyiapkan rancangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 1. Rancangan SJSN disosialisasikan ke berbagai pihak termasuk ke Perguruan Tinggi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis perencanaan..., Ayu Aprillia Paramitha Krisnayana Putri, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Analisis perencanaan..., Ayu Aprillia Paramitha Krisnayana Putri, FE UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28 H dan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009

Lebih terperinci

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT 1 2 Penanggung Jawab : Sekjen Kemenkes Pimpinan Sidang : Kadinkes Sumatera

Lebih terperinci

TATA KELOLA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN

TATA KELOLA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TATA KELOLA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN sindonews.com I. PENDAHULUAN Akhir tahun 2017, dunia kesehatan dikejutkan dengan berita defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penduduk Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya belum semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penduduk Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya belum semua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya belum semua terpenuhi oleh pemerintah berkaitan dengan masalah kebutuhan primer dan sekunder. Semakin meningkatnya

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Ernawaty dan Tim AKK FKM UA

Ernawaty dan Tim AKK FKM UA Ernawaty dan Tim AKK FKM UA Fokus Analisis (Review) Materi Laporan Perkembangan Persiapan Operasionalisasi BPJS Kesehatan yang telah disiapkan oleh Pokja BPJS Kesehatan Kemenkes RI Pendekatan normatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Salah satu prinsip dasar pembangunan kesehatan yaitu setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Salah satu prinsip dasar pembangunan kesehatan yaitu setiap orang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan kesehatan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berbunyi: Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

QUO VADIS JAMKESDA KULON PROGO? Drg. Hunik Rimawati, M.Kes

QUO VADIS JAMKESDA KULON PROGO? Drg. Hunik Rimawati, M.Kes QUO VADIS JAMKESDA KULON PROGO? Drg. Hunik Rimawati, M.Kes LATAR BELAKANG Sebagaimana kita ketahui bahwa Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Lebih terperinci

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA*

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA* OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA* Soewarta Kosen, Tati Suryati dan Muh. Karyana PusLitBang Sistem dan Kebijakan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dari tahun 1992 hingga kini belum mampu mewujudkan tercapainya cakupan peserta program jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia (universal

Lebih terperinci

Marita Ahdiyana, M. Si

Marita Ahdiyana, M. Si Marita Ahdiyana, M. Si Pentingnya jaminan Kesehatan Isu jaminan kesehatan menjadi isu yang sangat krusial mengingat adanya fenomena jatuh miskin lagi (jamila), dan sakit sedikit menjadi miskin (sadikin)

Lebih terperinci

PT ASKES (PERSERO) MENUJU BPJS KESEHATAN TAHUN OCTOVIANUS RAMBA Kepala PT. Askes (Persero) Cabang Pontianak

PT ASKES (PERSERO) MENUJU BPJS KESEHATAN TAHUN OCTOVIANUS RAMBA Kepala PT. Askes (Persero) Cabang Pontianak PT ASKES (PERSERO) MENUJU BPJS KESEHATAN TAHUN 2014 OCTOVIANUS RAMBA Kepala PT. Askes (Persero) Cabang Pontianak Agenda 1. Perjalanan Panjang Askes 2. Amanah UU No.24 tahun 2011 3. Garis Besar Roadmap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin (pasal 28H UUD 1945). Pemerintah

Lebih terperinci

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Kementerian Kesehatan RI

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL. Kementerian Kesehatan RI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL Kementerian Kesehatan RI 1 LATAR BELAKANG A. LATAR BELAKANG(1) Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang HAM Pasal 25, Ayat (1): intinya jaminan kesehatan

Lebih terperinci

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN BUPATI DHARMASRAYA NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN BUPATI DHARMASRAYA NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI DHARMASRAYA PERATURAN BUPATI DHARMASRAYA NOMOR : 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN DANA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI KABUPATEN DHARMASRAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa

Lebih terperinci

MEKANISME PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

MEKANISME PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MEKANISME PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA Sumber: http://bpjs-kesehatan.go.id/ A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pembangunan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pembangunan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertera dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948 mencantumkan,

BAB I PENDAHULUAN. Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948 mencantumkan, 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 1948 mencantumkan, bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya yang mendukung untuk kualitas hidup masyarakatnya. Dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. daya yang mendukung untuk kualitas hidup masyarakatnya. Dalam meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki sumber daya yang mendukung untuk kualitas hidup masyarakatnya. Dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati

BAB I PENDAHULUAN. secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu yang dinyatakan secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati komitmen global

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 150, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456).

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 150, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456). LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 150, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang transformasi PT Jamsostek (Persero) di Harian Pelita tentang transformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan

Lebih terperinci

Dr.. Chazali H. Situmorang, Apt, Msc.PH Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional. Jakarta, 7 Nopember 2012

Dr.. Chazali H. Situmorang, Apt, Msc.PH Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional. Jakarta, 7 Nopember 2012 Prospek Pengawasan Implementasi UU SJSN/BPJS Dr.. Chazali H. Situmorang, Apt, Msc.PH Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Jakarta, 7 Nopember 2012 1 Suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan

Lebih terperinci

Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

Bahan Paparan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional 2 3 Berikut beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi terbentuknya JKN, yaitu: Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang kesejahteraan sosial sudah pasti berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI INDONESIA. bisa datang ketika kita masih produktif, berpenghasilan cukup,

BAB II GAMBARAN UMUM PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI INDONESIA. bisa datang ketika kita masih produktif, berpenghasilan cukup, BAB II GAMBARAN UMUM PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI INDONESIA A. Perlunya Pembentukan JKN Tak ada yang abadi dalam kehidupan ini kecuali perubahan itu sendiri.setiap manusia mengalami perubahan,

Lebih terperinci

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan khusus kepada penduduk miskin, anak-anak, dan para lanjut usia

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan khusus kepada penduduk miskin, anak-anak, dan para lanjut usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional, pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun masyarakat harus diselengarakan secara

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL. dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan

IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL. dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan IMPLEMENTASI JKN DAN MEKANISME PENGAWASANNYA DALAM SISTEM KESEHATAN NASIONAL dr. Mohammad Edison Ka.Grup Manajemen Pelayanan Kesehatan Rujukan Yogyakarta, 15 Maret 2014 Agenda Dasar Hukum Kepesertaan,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2010 LEMBARAN DAERAH

Lebih terperinci