SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI"

Transkripsi

1 SISTEM PEMASARAN BENIH DAN PUPUK DAN PEMBIAYAAN USAHATANI Benny Rachman, I Wayan Rusastra, dan Ketut Kariyasa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor ABSTRACT Lift of fertilizer subsidy and liberalization of fertilizer distribution channel make fertilizer market became more competitive indicated by fertilizer price referring to market mechanism. The study aims to analyze marketing system of rice seed and fertilizer. The results revealed that restructuring rice seed industry is necessary through increasing roles of private rice seed producers. The government needs to monitor fertilizer price periodically to assure that market mechanism well goes on. Key words : distribution, price dynamics, marketing PENDAHULUAN Pengembangan pertanian erat terkait dengan aspek kebijakan sarana produksi, diantaranya kebijakan pengadaan dan distribusi benih dan pupuk serta dukungan pembiayaan usahatani, baik kredit program bersubsidi maupun kredit komersial. Pada saat ini pengadaan dan distribusi benih padi masih didominasi oleh PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani, dan hanya sebagian kecil benih diproduksi oleh penangkar swasta lokal. Tumbuhnya penangkar swasta yang memproduksi benih tak berlabel dengan kualitas cukup memadai dan harga relatif murah mengindikasikan besarnya potensi permintaan akan benih padi. Umumnya penangkar swasta lokal tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti pengeringan, gudang dan alat pengujian. Kecenderungan meningkatnya permintaan benih padi yang bermutu di tingkat petani, dan volume benih padi yang diproduksi oleh penangkar swasta lokal menyebabkan pasar benih padi semakin kompetitif. Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan pasar benih, mekanisme pasar pupuk juga mengalami penyesuaian. Dalam upaya menciptakan peningkatan efisiensi dalam tataniaga pupuk, pemerintah menerapkan paket kebijaksanaan Desember 1998 yang meliputi : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan dan perkebunan, (2) menghapus secara penuh subsidi pupuk, dan (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru. Kebijakan sistem perpupukan ini, khususnya penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi pupuk membawa perubahan besar dalam distribusi pupuk dan tingginya persaingan di semua lini dalam pemasaran pupuk, sehingga harga pupuk mengacu pada mekanisme pasar. Penyesuaian kebijakan pemerintah di bidang input pertanian, tidak hanya menyangkut aspek perbenihan dan pupuk, namun juga menyentuh aspek pembiayaan usahatani. Sebagai salah satu unsur pelancar, pembiayaan usahatani merupakan instrumen kebijakan pemerintah yang dipandang relevan dalam mendukung petani yang tergolong petani berlahan sempit dengan modal terbatas. Sumber pembiayaan usahatani yang tersedia di pedesaan meliputi, kredit program bersubsidi, kredit bank komersial, dan kredit informal. Adanya penghapusan kebijakan fasilitas KLBI untuk usahatani (KUT), maka mulai musim tanam 2000/2001 petani tidak lagi menerima kredit program bersubsidi. Sejalan dengan kebijakan tersebut, pemerintah pada periode yang sama melaksanakan program pemberdayaan petani melalui pemberian bantuan kredit ketahanan pangan (KKP) dan proyek ketahanan pangan (PKP). Bantuan ini merupakan modal kelompok tani untuk mengembangkan permodalan yang dikelola sendiri. Komponen dana bantuan mencakup pembelian sarana produksi dan pengembangan usaha dan modal kelompok. Namun demikian, mengingat keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka program tersebut hanya mampu menyentuh sebagian kecil petani sehingga pengaruhnya terhadap pemberdayaan petani belum optimal. 204

2 Atas dasar latar belakang dan permasalahan tersebut, kajian ini bertujuan untuk mempelajari keragaan pasar input pertanian (benih padi, pupuk, dan pembiayaan usahatani). Secara spesifik, kajian difokuskan pada : (1) sistem distribusi dan pemasaran benih padi dan pupuk, (2) dinamika harga benih padi dan pupuk, dan (3) keragaan pembiayaan usahatani METODOLOGI Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Basis informasi primer dalam studi ini difokuskan d tujuh kabupaten yang tersebar di lima provinsi, yaitu Majalengka, Indramayu, (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan sistem usahatani padi menurut teknologi produksi. Dalam hal ini faktor pembeda teknologi adalah derajat pengendalian air, yang berbeda menurut ketersediaan air dan kehandalan sarana irigasi. Pengumpulan data dan informasi pasar input pertanian di pedesaan dilakukan secara berkala dengan menggunakan kuesioner semi terstruktur, meliputi kelembagaan pasar benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Kelembagaan pasar benih padi dan pupuk, terutama menyangkut aspek pengadaan dan distribusi dan dinamika harga. Sedangkan pembiayaan usahatani, khususnya menyangkut aspek keragaan sumber-sumber pembiayaan untuk kegiatan usahatani. Penggalian informasi kunci lainnya dilakukan secara berlapis mulai dari tingkat lokal desa, kabupaten dan provinsi. Sampel responden diantaranya tokoh formal dan informal, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang eceran, dan penggilingan beras (RMU). Pendekatan Analisis Dalam penelitian ini, pendekatan analisis deskriptif-kualitatif digunakan untuk menelaah sistem kelembagaan pasar input pertanian, khususnya benih padi, pupuk dan pembiayaan usahatani. Analisis secara mendalam akan difokuskan pada beberapa aspek sebagai berikut: sistem pengadaan dan distribusi, dinamika harga, dan keragaan sumber-sumber pembiayaan usahatani. Di samping itu, ketiga aspek utama tersebut dianalisis seiring dengan adanya penyesuaian kebijakan pemerintah. KELEMBAGAAN PASAR BENIH PADI Sistem Pengadaan dan Distribusi Benih Dalam suatu sistem produksi pertanian baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen apabila benih tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients (petani dan konsumen lainnya). Untuk menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tinggi harus dimulai dengan penanaman benih bermutu, yaitu benih yang menampakkan sifat-sifat unggul dari varietas yang diwakilinya. Kemurnian suatu varietas secara berangsur-angsur bisa hilang karena tercampur benih varietas lain. Secara fisik terjadi penyerbukan yang tidak dikehendaki sehingga identitasnya berubah. Identitas suatu varietas dapat hilang karena genetic shift, yaitu perubahan sifat genetis pada varietas tertentu karena pengaruh lingkungan atau varietas tersebut memiliki nama yang berbeda-beda. Dalam sistem pengadaan dan distribusi, mutu suatu benih dapat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain: (1) sistem produksi, (2) pengolahan hasil, (3) penyimpanan hasil, dan (4) penanganan selama distribusi benih (Gambar 1). Dibanding dengan sistem perbenihan padi yang diperbanyak dan disebarkan dengan sistem sertifikasi secara ketat, beberapa komoditas palawija dan hortikultura masih relatif tertinggal. Walaupun sistem perbenihan padi relatif lebih maju, namun secara keseluruhan petani padi yang menggunakan benih berlabel sekitar persen, sisanya merupakan benih produksi sendiri yang dipilih dari hasil panen sebelumnya (PSE, 2000). Pengolahan dan penyimpanan benih dikalangan petani relatif sama dengan cara penanganan hasil untuk kon- 205

3 Subsistem produksi Subsistem distribusi Mutu benih Subsistem pengolahan Subsistem penyimpanan Gambar 1. Faktor-faktor Penentu Kualitas Benih Suatu Komoditas Pertanian sumsi, sehingga kualitasnya diragukan. Penyebaran benih berlabel umumnya melalui program intensifikasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Peranan perusahaan pembina dalam menentukan kualitas benih unggul berlabel cukup besar. Pengawasan dan pembinaan yang lebih intensif terhadap perusahaan ini perlu dilakukan untuk menjamin kualitas benih berlabel yang digunakan petani. Di sisi lain, jalinan arus benih antar lapang dan musim (JABALSIM) yang berlangsung saat ini masih terbatas untuk palawija khususnya kedelai. Kinerja industri perbenihan nasional dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) pangsa pasar benih didominasi oleh padi, (2) benih unggul bersertifikat dikontrol oleh pemerintah melalui subsidi harga, (3) Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) bertanggung jawab dalam pengawasan mutu benih, dan PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani merupakan pemasok terbesar kebutuhan benih nasional, (4) eksistensi pasar benih padi masih lemah, karena sebagian besar (60 70%) petani memproduksi benih sendiri untuk keperluan usahataninya, dan (5) persepsi petani terhadap penggunaan benih bersertifikat merupakan faktor dominan yang mempengaruhi pengembangan sistem perbenihan nasional. Belum meluasnya penggunaan benih bersertifikat sebagai akibat terbatasnya kapasitas produksi dari PT SHS dan PT Pertani, sehingga diharapkan peranan swasta dalam memasok benih bersertifikat semakin meningkat. Peran swasta perlu terus dikembangkan guna menunjang pengembangan sistem perbenihan nasional. Peranan pemulia tanaman (Breeder) akan semakin penting dalam menciptakan varietasvarietas unggul baru sesuai dengan permintaan pasar, yang mempertimbangkan aspek produktivitas, kualitas, dan selera konsumen. Alur produksi benih, dimulai dengan galur yang telah dilepas menjadi varietas unggul baru, secara otomatis menjadi benih penjenis (breeder seed/bs) yang merupakan hasil temuan pemulia. Benih tersebut kemudian diperbanyak dengan sistem sertifikasi yang menghasilkan benih dasar (foundation seed/fs) atau benih pokok (stock seed/ss) dan seterusnya benih tersebut diperbanyak untuk menghasilkan benih sebar (extension seed/es). Benih sebar inilah yang digunakan petani dalam proses produksi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun komersial. Sistem pengadaan dan distribusi benih meliputi berbagai aspek yang saling terkait dan mencakup berbagai kegiatan yang dimulai dari inovasi penemuan jenis/varietas unggul baru sampai dengan diadopsinya benih unggul tersebut oleh petani. Upaya mendukung kelancaran sistem pengadaan dan distribusi benih diperlukan berbagai upaya peningkatkan dan pengembangan secara kontinu, yaitu mulai dari penelitian dan pengembangan varietas, penilaian dan pelepasan varietas, serta produksi, pengolahan dan distribusi benih, pengawasan mutu dan sertifikasi benih, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang 206

4 melibatkan institusi pemerintah, semi pemerintah/bumn, koperasi dan swasta. Penciptaan varietas unggul baru melalui proses penelitian dan pengembangan merupakan tahap awal dari upaya penyediaan bibit unggul yang kebutuhannya berkembang secara dinamis, baik dari segi jumlah, potensi dari produktivitas dan kualitas komoditas yang dihasilkan. Penilaian dan pelepasan varietas merupakan proses selanjutnya dari segi perbenihan, sebelum benih dapat diproduksi dan diproses serta didistribusikan ke petani pengguna. Proses penilaian dan pelepasan varietas ini memerlukan kelembagaan, pengaturan dan prosedur yang dapat menjamin tersedianya benih bermutu bagi petani dan pengguna lainnya. Dalam pengawasan mutu, Balai Pengawasan dan Serifikasi Benih (BPSB) merupakan lembaga pemerintah yang diberi mandat pengawasan benih yang beredar di pasaran. Kinerja BPSB, baik dari aspek kualitas dan intensitas pengawasan maupun dari jangkauan dan kapasitas pelayanannya, merupakan salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi kelembagaan perbenihan secara keseluruhan. Mekanisme pengendalian mutu yang secara resmi diterapkan di Indonesia adalah melalui sertifikasi benih. Standar yang diterapkan dalam sertifikasi benih adalah: (1) pengendalian mutu dalam produksi benih otentik (breeder seed/bs) yang terdiri dari kelayakan varietas yaitu distinct, uniform and stable (DUS) dan variety maintenance untuk menjamin kontinuitas pasokan benih sumber untuk perbanyakan benih lebih lanjut, (2) pengendalian mutu dalam produksi benih bersertifikat (FS, SS, dan ES) yang meliputi penyimpanan benih sumber, verifikasi sumber benih, inspeksi lapangan, pengambilan contoh, pengujian mutu dan pemasangan label, (3) penentuan standar mutu, dan (4) pengawasan mutu selama pemasaran. Sanksi dalam bentuk stop selling order dapat direkomendasikan oleh BPSB apabila contoh benih yang diambil dilapangan selama pemasaran tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Pada Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat sistem pengadaan dan distribusi benih yang berlaku di lima provinsi penelitian (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan). Dalam sistem pengadaan dan distribusi benih secara formal tampak bahwa varietas unggul yang baru dilepas (BS) yang dihasilkan oleh Puslitbang/Balai Komoditas, diteruskan oleh Direktorat Benih untuk disebarkan ke Balai Benih Induk (BBI) yang selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan FS. Benih FS tersebut kemudian diperbanyak oleh BUMN (PT SHS dan PT Pertani), Penangkar Swasta, dan Balai Benih Utama (BBU) yang masing-masing memproduksi SS atau ES. Kecuali di BBU, benih jenis SS tersebut selanjutnya diperbanyak menjadi benih jenis ES. Dari penangkar swasta benih jenis ES ini langsung disebarkan ke petani, sedangkan dari PT SHS dan PT Pertani disebarkan ke daerah melalui penyalur yang telah ditunjuk. Sementara dari BBU benih SS diteruskan ke BPP yang sekarang di beberapa wilayah sudah satu atap dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Di tingkat BPP, benih SS ini diperbanyak menjadi benih ES yang selanjutnya diteruskan kepada petani. Sementara pada sistem pengadaan dan distribusi benih yang terdapat di lapangan menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas di samping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BBI, seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, Puslitbang Komoditas pun melalui Balai-Balai komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke Puslitbang/Balai Komoditas yang selanjutnya diperbanyak menjadi benih SS dan ES. Tampak bahwa pada sistem tersebut benih yang dijual ke petani oleh penangkar swasta umumnya merupakan jenis benih SS, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan jenis benih yang diproduksi penangkar swasta pada umumnya ES. Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respons pasar benih. Para penangkar lokal/petani penangkar benih untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat dua jenis benih yang dihasilkan oleh penangkar lokal, yaitu benih SS yang bahan bakunya (benih jenis FS) bersumber dari BBI dan benih jenis ES yang bahan bakunya (benih jenis SS) bersumber dari BBU atau dari BPP (dinas pertanian kabupaten setempat). Pada beberapa wilayah selain BPP (dinas pertanian kabupaten) memberikan benih 207

5 208

6 209

7 kepada penangkar lokal, sekaligus juga melakukan pembinaan dan bimbingan dalam upaya mendapatkan produksi benih dengan mutu yang tinggi. Sementara itu, untuk kasus Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, penangkar lokal pada umumnya hanya memproduksi benih jenis ES. Benih yang ditanam petani di semua lokasi penelitian pada MH umumnya benih berlabel, akan tetapi pada MK I atau MK II hampir sebagian besar petani menggunakan benih tidak berlabel. Benih jenis ini pada umumnya berasal dari hasil panen sebelumnya, pertukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal. Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel hanya berjalan efektif pada MH dan sebaliknya kurang efektif pada MK. Ketersediaan dan Kebutuhan Benih Hasil kajian di lima provinsi studi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan) secara umum menunjukkan bahwa ketersediaan benih baik dari aspek kuantitas dan kualitas masih perlu ditingkatkan. PT SHS dan PT Pertani sebagai produsen benih utama hanya mampu berproduksi sekitar persen Dari aspek kualitas, banyak petani yang mengeluh dan mempertanyakan jaminan daya tumbuh dan produktivitas benih berlabel. Kurangnya respon petani terhadap benih berlabel ES tercermin dari banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri, khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH. Umumnya petani membeli benih berlabel hanya sekali dalam setahun, yaitu pada MH, sedangkan pada MK I dan MK II petani menggunakan benih produksi sendiri. Rendahnya kualitas benih berlabel tidak terlepas dari adanya proyek-proyek pemerintah yang bersifat dadakan (diadakan pada tahun berjalan) yang membutuhkan benih dalam jumlah yang cukup besar, sementara lahan milik PT SHS dan PT Pertani tidak mencukupi, sehingga kekurangannya harus didatangkan dari pertanaman padi petani yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi, bukan untuk benih. Benih yang diproduksi dari hasil panen padi untuk konsumsi mutunya tidak akan jauh berbeda dari benih produksi petani sendiri yang bersumber dari hasil seleksi panen sebelumnya. Petani cukup respon terhadap kualitas benih, hal ini dapat dicermati pada petani padi di kabupaten Kediri dan Ngawi (Jawa Timur) dan kabupaten Klaten (Jawa Tengah). Petani cukup responss memakai benih padi jenis SS, padahal dari segi harga benih padi jenis ini tentunya lebih mahal dari jenis ES. Menurut petani, benih padi jenis SS memiliki kualitas, daya tumbuh serta kemurnian varietas yang tinggi. Di samping itu, tinggi pertanaman padi relatif homogen, dan hasil panen dapat dipilih untuk benih musim berikutnya (MK) yang kualitasnya setara dengan benih jenis ES. Tingginya respon petani di Jawa Timur dan Jawa Tengah terhadap penggunaan benih padi jenis SS dapat dipandang sebagai fenomena positif maupun negatif. Segi positifnya, petani sangat respon terhadap kualitas benih yang akan ditanamnya, sementara segi negatifnya adalah dapat menghambat penyebaran penggunaan benih ES, mengingat sampai saat ini PT SHS dan PT Pertani hanya mampu memasok sekitar persen benih ES, dan sisanya diharapkan dari pihak swasta. Sementara itu pihak swasta lebih tertarik memproduksi benih jenis SS, karena respon pasar terhadap permintaan jenis benih ini cukup tinggi. Respon petani terhadap benih SS perlu diantisipasi secara bijaksana. Dengan demikian, upaya pemerintah dalam meningkatkan penggunaan benih berlabel perlu disertai dengan perbaikan mutu benih jenis ES, sehingga penggunaan benih padi jenis SS di tingkat petani dapat dikurangi. Penemuan varietas unggul baru yang mempunyai daya hasil tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar di Indonesia terkesan mengalami stagnasi. Kondisi ini di samping disebabkan oleh semakin berkurangnya dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian dan penemuan suatu varietas, juga karena kurangnya penghargaan pemerintah terhadap para breeder, seperti tidak adanya kejelasan akan property right (hak paten) akan penemuan suatu varietas baru. Penghargaan dan pengakuan akan hak paten yang telah dilakukan oleh beberapa negara telah memicu terjadinya persaingan sehat dalam melakukan inovasi dan penelitian antar sesama breeder, sehingga terjadi percepatan penciptaan varietas unggul baru dengan mutu yang lebih baik. Belajar dari pengalaman beberapa negara yang sukses dalam menciptakan varietas baru, maka sebaiknya ada kejelasan akan hak paten 210

8 seorang breeder dalam penemuan varietas unggul baru. Selanjutnya, keragaan penggunaan varietas dominan di lima provinsi penelitian pada MH 2001/02 disajikan dalam Tabel 1. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Kediri sekitar 64 persen, kemudian varietas Memberamo dan Way Apo Buru masing-masing 20 persen dan 10 persen, dan sisanya 5,7 persen varietas lainnya, seperti Cisadane dan Widas. Di Kabupaten Ngawi luas tanam padi varietas IR- 64 mencapai 70 persen, dan hanya 27 persen merupakan padi varietas Way Apu Buru, dan sisanya tiga persen varietas lainnya. Demikian juga di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah luas tanam padi varietas IR-64 sekitar 75 persen dari total luas pertanaman padi. Luas tanam padi varietas IR-64 di Kabupaten Majalengka dan Indramayu, Jawa Barat masing-masing mencapai 50 persen dan 24 persen. Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dimana luas pertanaman padi didominasi oleh varietas PB-42 dan Cisokan masing-masing 35 persen dan 25 persen. Kedua varietas ini memang sesuai dengan selera masyarakat setempat yang senang dengan nasi pera (low glutenous). Sedangkan luas pertanaman varietas IR-64 hanya sekitar 10 persen, dan hasilnya sebagian besar dipasarkan ke luar wilayah Sumatera Barat. Varietas lainnya yang ditanam masyarakat setempat, seperti Digul, IR-70, Semeru, dan Cirata. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, total volume penjualan benih padi selama periode Januari-Juli 2002 tercatat 2,1 juta kg yang terdiri dari delapan jenis varietas yang diminati petani. Dari delapan varietas tersebut, terdapat lima varietas yang diadopsi cukup luas oleh petani, yaitu Ciliwung (70,2%), Sintanero (9,7%), IR-64 (5,6%), Way Apu Buru (4,9%), IR-42 (4,4%), dan Memberamo (2,0%). Sisanya 3,2 persen adalah varietas IR-66 dan Ciherang. Setiap musim, jenis varietas dominan yang ditanam petani mengalami perubahan. Untuk kasus Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, pada MH petani umumnya menanam padi varietas IR-64, dan jarang petani yang menanam padi varietas Memberamo dan Way Apu Buru dengan pertimbangan mudah rebah. karena perakarannya kurang kuat untuk menopang jumlah malai yang relatif banyak. Di samping itu, pemupukan yang tidak berimbang, dimana petani cenderung berlebih dalam menggunakan pupuk Urea dan ZA, juga menjadi faktor pertimbangan memilih varietas IR-64. Dinamika Harga Benih Keragaan harga benih di lima provinsi penelitian pada MH 2000/01 dan MH 2001/02 disajikan pada Tabel 2. Pada MH 2000/01 harga benih jenis ES di Kabupaten Kediri berkisar Rp Rp 2.950/kg dan pada MH 2001/02 berkisar Rp Rp 3.000/kg, atau terjadi peningkatan harga benih 1,7 12,0 persen per tahun. Sementara itu, harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp Rp 4.000/kg, atau sekitar Rp 700 Rp /kg lebih mahal dari benih ES. Harga benih ES di Klaten-Jawa Tengah pada MH 2000/01 berkisar Rp Rp 2.725/kg dan pada MH 2001/02 Tabel 1. Jenis Varietas Padi Dominan yang Ditanam Petani di Lima Provinsi Penelitian, MH 2001/2002 Provinsi/kabupaten IR-64 IR/PB-42 W. A. Buru Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri 64,3-20,0-10, ,7 Kabupaten Ngawi 70, , ,0 Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten 75,0-10,0-5, ,0 Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu 24, , ,1 Kabupaten 50, , ,0 Majalengka Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam 10,0 35,0-25, ,0 Provinsi Sulsel Kabupaten Sidrap 5,6 4,4 2,0-4,9 70,0 9,7 3,2 Sumber : Data primer Memberamo Varietas (%) Cisokan Ciliwung Sintanero Lainnya 211

9 Tabel 2. Harga Benih SS dan ES di Lima Provinsi Penelitian Provinsi/kabupaten MH 00/01 Harga benih jenis (Rp/Kg) MH 01/02 Perkembangan harga (ES) SS ES ES (%/th) Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri ,7-12,0 Kabupaten Ngawi Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten ,7-10,0 Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu Kabupaten Majalengka ,4 Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam ,5-2,9 Provinsi Sulsel Kabupaten Sidrap ,1-7,5 Sumber : Data primer meningkat menjadi Rp Rp 3.000/kg atau mengalami peningkatan sebesar 8,7 10,0 persen. Harga benih jenis SS pada MH 2001/02 berkisar Rp Rp 3.200/kg. Selisih harga benih SS dengan ES yang relatif kecil tentunya akan berdampak pada permintaan benih jenis SS yang semakin meningkat. Gambaran yang sama, harga benih padi jenis ES yang diterima petani di Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Indramayu dan Majalengka), sekitar Rp 2650 pada MH 2000/01 dan Rp RP 2.900/kg pada MH 2001/02. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, harga benih padi ES nampak relatif sama dengan harga yang diterima petani di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Kondisi ini dimungkinkan oleh keadaan infrastruktur yang relatif sama sehingga ketersediaan dan arus barang berjalan dengan baik. Sementara itu, harga benih ES eceran di Kabupaten Agam, Sumatera Barat relatif tinggi, baik pada MH 2000/01 maupun MH 2001/02 dibanding wilayah lainnya. Struktur Pasar, Tataniaga dan Marjin Pemasaran Struktur pasar benih secara umum dicirikan oleh: (1) pangsa pasarnya terkonsentrasi pada dua BUMN, yaitu PT SHS dan PT Pertani, (2) terdiferensiasi dari segi kualitas, jenis varietas, dan tingkatan jenis benih (SS dan ES), (3) tidak adanya hambatan masuk keluar pasar, dan (4) informasi harga benih menurut jenis dan kualitas relatif mudah diperoleh. Pangsa produksi benih dari PT SHS, PT Pertani, dan Penangkar swasta/lokal di lima provinsi penelitian disajikan pada Tabel 3. Di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Jawa Timur pangsa pasar PT SHS masing-masing 35 persen dan 44 persen, PT Pertani masing-masing 15 persen dan 22 persen, sedangkan penangkar swasta/lokal masing-masing 50 persen dan 33 persen. Di Kabupaten Kediri peranan penangkar swasta/lokal cukup besar, karena di kabupaten ini kebanyakan petani terutama MH menanam benih padi jenis SS yang umumnya hanya diproduksi oleh penangkar swasta/lokal. Kondisi yang sama terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sekitar 55 persen pangsa pasar benih dikuasai oleh penangkar swasta/lokal, karena di wilayah ini pun petani lebih respon menggunakan benih padi jenis SS. Di Majalengka dan Indramayu Provinsi Jawa Barat, pangsa pasar benih dari PT SHS dan PT Pertani mencapai 36,5 persen dan 19,5 persen, sedangkan pangsa pasar dari penangkar swasta sekitar 44 persen. Gambaran berbeda untuk Kabupaten Agam, Sumatera Barat, di mana pangsa pasar dari PT SHS mencapai 70 persen, diikuti pangsa PT Pertani 20 persen, penangkar swasta lokal hanya 10 persen. Demikian pula di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, peran BUMN, tampak dominan dalam pemasaran benih, sebaliknya, peran non-bumn relatif kecil. Produsen benih non-bumn di kedua kabupaten tersebut adalah PP. Kerja asal Klaten, BBI dan kelompok tani binaan dinas pertanian. 212

10 Tabel 3. Pangsa Produksi Benih Padi Berlabel dari PT SHS, PT. Pertani dan Penangkar Swasta di Lima Provinsi Penelitian, 2002 Provinsi/kabupaten Pangsa (%) PT. SHS PT. Pertani Penangkar swasta Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri 35,0 15,0 50,0 Kabupaten Ngawi 44,5 22,2 33,3 Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Klaten 30,0 15,0 55,0 Provinsi Jawa Barat Kabupaten Indramayu 38,0 19,0 43,0 Kabupaten Majalengka 35,0 20,0 45,0 Provinsi Sumatera Barat Kabupaten Agam 70,0 20,0 10,0 Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten Sidrap 50,0 30,0 20,0 Sumber : Data primer Lahan PT. SHS PT. SHS Distributor Sub Distributor/ Agen Kios/Pengecer Petani Lahan petani mitra PT. SHS Gambar 4. Saluran Tataniaga Benih Padi PT SHS Saluran tataniaga benih padi, kasus pada PT SHS disajikan pada Gambar 4. Dalam memproduksi benih, PT SHS melakukannya di lahan sendiri atau bekerja sama/bermitra dengan petani di lokasi terpilih. Pemilihan lokasi dan petani mitra secara formal harus melibatkan dan disetujui oleh BPSB. Dalam kerja sama ini PT SHS menyediakan benih jenis SS dan sekaligus melakukan pembinaan dan pengawasan, sedangkan petani menyediakan lahan, sarana produksi dan tenaga kerja. Harga jual hasil yang diterima petani biasanya 10 persen di atas harga gabah yang berlaku di pasar. Setelah jadi benih jenis ES, kemudian benih ini diteruskan ke distributor yang telah ditunjuk. Masing-masing distributor mempunyai agen/ subdistributor yang berkedudukan di tingkat kecamatan. Dari agen ini, selanjutnya didistribusikan ke kios-kios/pengecer. Petani sebagai konsumen benih pada umumnya membeli benih dari kios/pengecer. Dalam pemasaran benih, keuntungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi dalam melakukan penjualan benih di Kabupaten Kediri dan Ngawi masing-masing Rp 75/kg dan Rp 50/Kg (Tabel 4). Besarnya marjin keuntungan PT SHS ini sekitar 2,5 2,7 persen terhadap harga eceran untuk kasus Kabupaten Kediri dan 1,9 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi atau sekitar 3,1 persen terhadap biaya produksi benih untuk kasus Kabupaten Kediri dan 2,0 persen untuk kasus Kabupaten Ngawi. Sementara itu marjin keuntungan yang diperoleh distributor, subdistributor, dan pengecer di Kabupaten Kediri berturut-turut Rp 75/kg; Rp 125/kg; dan Rp 100 Rp 150/kg. Sedangkan di Kabupaten Ngawi marjin keuntungan para pelaku pasar masing-masing Rp 100/kg; Rp 100/kg; dan Rp 150/kg. 213

11 Tabel 4. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Kediri dan Ngawi, Provinsi Jawa Timur, 2002 Keterangan PT. SHS Distibutor besar Kios/ pengecer Petani Kabupaten Kediri Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 75 (475)* Persen thp harga eceran (%) 2,5-2,7 (16-17)* 2,5-2,7 4,2-4,5 3,5-5,0 - Persen thp harga PT SHS (%) 3,1 (19,6)* 3,1 5,2 4,1-6,2 - Kabupaten Ngawi Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 50 (450) Persen thp harga eceran (%) 1,9 (16,7) 3,7 3,7 5,6 - Persen thp harga PT SHS (%) 2,0 (18,4) 4,1 4,1 6,1 - Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/Kg Agen/subdistributor Tabel 5. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, 2002 Keterangan PT. SHS Distibutor Agen/subdistributor besar Kios/pengecer Petani Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 100 (500)* Persen thp harga eceran (%) 3,45 3,45 3,45 6,90 - (17,24)* Persen thp harga PT SHS (%) 4,17 (20,83)* 4,17 4,17 8,33 - Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg Sementara itu, hasil kajian di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa marjin keuntungan yang diterima PT SHS tanpa subsidi, distributor, dan agen sebesar Rp 100/kg benih yang diperdagangkan atau sekitar 3,4 persen terhadap harga eceran atau 4,2 persen terhadap biaya produksi benih. Sedangkan marjin keuntungan yang diperoleh para pengecer dua kali dari para pelaku lainnya (Rp 200/kg). Marjin keuntungan tingkat pengecer relatif tinggi, namun volume benih yang dijual sangat kecil (Tabel 5). Keragaan marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku tataniaga benih padi di dua kabupaten-provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa marjin keuntungan yang diperoleh PT SHS dalam memproduksi benih untuk tujuan penjualan di Kabupaten Indramayu adalah sebesar Rp 68/kg atau masing-masing 2,8 persen terhadap harga eceran dan 2,4 persen terhadap harga pokok produksi. Besarnya marjin keuntungan yang diperoleh distributor, subdistributor dan pengecer berturut-turut 3,5 persen; 4,5 persen; dan 5,3 persen terhadap harga eceran atau berturut-turut 3,1 persen; 3,9 persen; dan 4,6 persen terhadap harga pokok produksi. Sementara itu, besarnya marjin keuntungan PT SHS untuk penjualan wilayah Kabupaten Majalengka Rp 60/kg atau setara 2,4 persen terhadap harga pokok produksi atau 2,1 persen terhadap harga eceran. Di kabupaten ini marjin keuntungan yang diperoleh distributor dan subdistributor sekitar 3,1-3,4 persen terhadap harga eceran dan 3,7-4,1 persen terhadap harga pokok produksi. Sedangkan marjin keuntungan pengecer hampir dua kali lipat dari marjin keuntungan distributor atau subdistributor. Sementara itu marjin keuntungan yang diperoleh para pelaku bisnis benih padi di Provinsi Sumatera Barat cukup bervariasi dibanding pada kasus Provinsi Lainnya (Tabel 7). Marjin keuntungan terbesar diterima oleh PT SHS tanpa subsidi sebesar Rp 385/Kg, diikuti kios/pengecer dan distributor masing-masing Rp 350/kg dan Rp 250/kg, dan terakhir adalah agen sebesar Rp 150/kg. Gambaran ini menunjukkan bahwa tanpa pemberian subsidi PT SHS sudah mampu memperoleh keuntungan dalam produksi benih. 214

12 Tabel 6. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Indramayu dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat, 2002 Keterangan PT. SHS Distibutor besar Agen/subdistributor Kios/ pengecer Petani Kabupaten Indramayu Harga Benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 68 (468) Persen thp harga eceran (%) 2,4 (16,4) 3,1 3,9 4,6 - Persen thp harga PT SHS (%) 2,8 (19,0) 3.5 4,5 5,3 - Kabupaten Majalengka Harga Benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 60 (460) Persen thp harga eceran (%) 2,1 (15,9) 3,1 3,4 6,9 - Persen thp harga PT SHS (%) 2,4 (15,7) 3,7 4,1 8,2 - Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg Tabel 7. Marjin Keuntungan Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 2002 Keterangan PT. SHS Distibutor besar Kios/ pengecer Petani Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 385 (785)* Persen thp harga eceran 11,16 (22,75)* Persen thp harga PT SHS 16,63 (33,91)* Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg 7,25 4,35 10,14-10,80 6,48 15,12 - Tabel 8. Marjin Pemasaran Benih Padi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, 2002 Keterangan PT. SHS Distibutor besar Agen/subdistributor Agen/subdistributor Kios/ pengecer Petani Harga benih (Rp/kg) Marjin keuntungan (Rp/kg) 57 (457)* Persen thp harga eceran (%) 1,9-2,0 (15-16)* 5,6-5,3-3,5-8,3 - Persen thp harga PT SHS (%) 2,2 (18,0)* 5,9-3,9-9,8 - Keterangan : * termasuk subsidi benih sebesar Rp 400/kg Di Kabupaten Sidrap biaya pokok benih PT SHS adalah sebesar Rp 2.453/kg (Tabel 8). Harga jual di loko pabrik adalah Rp 2.600/kg, sedangkan harga di pedagang penyalur atau distributor adalah sebesar Rp 2.750/kg, sementara itu harga jual oleh pedagang pengecer mencapai Rp Rp per kg. Dengan demikian marjin keuntungan distributor dan pengecer masing-masing sebesar Rp 150/kg dan Rp 100-Rp 250/kg. Marjin yang diterima distributor dan pengecer nampak tidak berbeda dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Perbedaannya adalah dari pelaku tataniaga benih, dimana di Sidrap tidak terdapat subdistributor, dikarenakan Sidrap merupakan wilayah kerja PT SHS, sehingga distributor skala besar langsung menyalurkan ke pengecer. 215

13 PT SHS Sidrap sebagai kantor wilayah, mempunyai distributor untuk wilayah Sidrap sebanyak 20 buah, sehingga dalam satu kabupaten hanya ada satu-dua distributor. Khusus untuk Sidrap terdapat juga penyalur Koperasi PT SHS untuk mengantisipasi penyalur atau pengecer yang tidak bisa menjangkau kelompok tani. Jumlah distributor untuk Sulawesi Selatan dirasakan masih kurang, sehingga direncanakan untuk menambah 20 distributor. Menurut PT SHS, harga jual benih produsen swasta lebih rendah karena alat pengolahan benih swasta relatif sederhana sehingga biaya pokok lebih murah, tetapi dengan kualitas yang lebih rendah dibandingkan benih produksi PT SHS. Beberapa persepsi petani terhadap benih padi dapat disarikan sebagai berikut : (1) harga benih bersertifikat dipandang terlalu mahal dibandingkan produksi benih oleh petani (Rp 3.000/kg vs Rp 1.250/kg); (2) harga yang dipandang moderat dan sesuai dengan daya beli petani adalah sekitar Rp Rp 2.500/kg; (3) pedagang menyalurkan berdasarkan pesanan, karena khawatir akan risiko mati-label (kadaluwarsa); (4) masih lemahnya daya kreativitas para pedagang dalam penyaluran benih bersertifikat kepada petani melalui mediasi PPL; (5) daya tahan benih bersertifikat sekitar enam bulan, sedangkan pola tanam di Sidrap hanya dua kali dalam setahun dan relatif bersamaan untuk semua wilayah kecamatan. KELEMBAGAAN PASAR PUPUK Sistem Pengadaan Pupuk Keberadaan industri pupuk di dalam negeri memiliki peranan sangat strategis dalam menunjang program pembangunan perekonomian Indonesia. Secara nasional keberadaan industri pupuk mampu memberikan andil yang cukup besar tidak saja bagi perkembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan, namun juga memberikan dampak bagi perkembangan di sektor perkebunan, industri kimia dan bidang jasa lain. Pengadaan pupuk untuk subsektor tanaman pangan dilakukan oleh PT Pusri dengan produsen dalam negeri lain yang tergabung dalam satu Holding Company. Lima produsen pupuk dalam negeri yaitu, PT Pusri, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, dengan kapasitas produksi keseluruhan pada tahun 1998 sebesar 5,75 juta ton pupuk. Khusus untuk produsen Urea AAF (Aceh Asean Fertilizer) produk yang dihasilkan ditujukan untuk keperluan ekspor bagi negara negara ASEAN. Pada tahun yang sama, PT. Petrokimia Gresik memproduksi SP-36 dan ZA masingmasing berjumlah 1 juta ton dan 660 ribu ton. Sampai dengan tahun 1998 importir pupuk untuk kebutuhan subsektor tanaman pangan hanya melakukan distribusi sampai ke pelabuhan utama. Penyaluran pupuk sampai ke lini III dan IV tetap dilakukan oleh PT Pusri. Berbagai permasalahan yang terjadi pada saat itu adalah : (a) adanya aliran pupuk subsidi ke nonsubsidi (subsektor tanaman ke subsektor perkebunan), (b) adanya ekspor pupuk (urea) akibat perbedaan harga antara pasar dalam negeri dan luar negeri, (c) tingginya harga pupuk impor (KCL, TSP, dan ZA) karena melemahnya nilai rupiah. Permasalahan di atas menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk pada musim tanam MH 1998/99 dan MH 2000/2001. Kondisi ini juga mendorong semakin berkembangnya produksi pupuk alternatif dan juga pupuk palsu (Rachman et al., 2001). Hilangnya pupuk di lapangan dan beredarnya pupuk palsu serta harga pupuk dan pestisida yang dirasakan mahal oleh sebagian besar petani merupakan fenomena klasik yang sering muncul dalam penyediaan pupuk dilapangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan penghapusan subsidi pupuk (Desember 1998). Harga eceran tertinggi KUT untuk pupuk urea naik dari Rp 450/kg menjadi Rp 1.115/kg (kenaikan 147%). SP-36 dari Rp 675 menjadi Rp /kg (kenaikkan 137%), KCL Rp 1.650/kg (sebelum kebijaksanaan Desember 1998, tidak ditetapkan harganya), untuk pupuk ZA naik dari Rp 506/kg menjadi Rp /kg (kenaikkan 98%). Kenaikan harga yang tinggi tersebut sebagai dampak dari dihapuskannya subsidi dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Dengan diterapkannya kebijaksanaan pencabutan subsidi dan pembebasan tataniaga pupuk sejak 1 Desember 1998, diharapkan kelangkaan pupuk, keterlambatan pasokan, dan keterbatasan jangkauan wilayah dapat diatasi. Kebijakan tersebut juga membuka peluang bagi kalangan industri pupuk skala kecil menengah dan koperasi (IKMK) untuk semakin memacu daya saing dengan produsen pupuk skala 216

14 besar. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya kebutuhan pupuk dalam negeri sekitar 4,6 persen per tahun (PT Pusri, 2000). Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh IKMK dengan beredarnya berbagai jenis pupuk di pasaran. Pada tahun 1998 jumlah IKMK yang memproduksi pupuk tercatat 257 unit dengan jumlah 299 merk, sementara pada akhir tahun 1999 tercatat 324 unit IKMK yang menghasilkan 646 merk pupuk, berupa aneka pupuk alternatif mulai dari bentuk cair, powder, granul hingga tablet. Dengan demikian, selama tahun 2000 terjadi tambahan jumlah IKMK pupuk sebesar 67 unit atau meningkat 26 persen, sedangkan jumlah merk yang beredar bertambah menjadi 347 macam atau meningkat 61 persen. Sistem Distribusi Pupuk Sejak diterapkannya kebijaksanaan penghapusan subsidi pupuk dan dibebaskannya distribusi/pemasaran pupuk pada bulan Desember 1998, PT Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk melainkan dapat dilakukan oleh distributor swasta. Namun demikian, pupuk yang disalurkan untuk KUT (hingga MH 1999/2000) masih tetap melalui sistem lama, yaitu dari Lini I sampai Lini III oleh PT Pusri dan dari Lini III ke Lini IV oleh KUD penyalur dan LSM (NGOs). Dihapuskannya subsidi pupuk dan dibebaskannya jalur distribusi memberi dampak positif terhadap jalur tataniaga pupuk, dimana pedagang besar (wholesale) dapat langsung membeli pupuk di Lini II. Kondisi ini juga menciptakan iklim kondusif terhadap pasar pupuk, dengan terjadi persaingan yang sehat antar pelaku bisnis pupuk, sehingga harga pupuk ditentukan oleh mekanisme pasar. Sistem tataniaga pupuk sebelum dan setelah kebijaksanaan disajikan pada Gambar 5 dan 6. Dibebaskannya tataniaga pupuk, maka tidak ada lagi perbedaan harga antar subsektor tanaman pangan dan nontanaman pangan. Persaingan harga di Lini III dipengaruhi oleh kekuatan modal masing-masing penyalur. Penyalur swasta yang memiliki modal relatif besar dapat membeli pupuk di Lini II dan III atau di Gudang pabrik non-pusri, sehingga bisa memperoleh harga beli dan harga jual yang lebih murah. Kebijaksanaan sistem tataniaga ini membuka peluang berkembangnya penyalur dan kios-kios swasta hingga ke tingkat pedesaan. Dampak positif dari kebijaksanaan ini terlihat dari tersedianya pupuk dalam jumlah yang cukup di kios-kios (Lini IV). Saat ini kios besar membeli pupuk dari PT Pusri di Lini II dan III dengan harga yang relatif lebih murah. Tingginya persaingan di semua Lini dalam pemasaran pupuk, menyebabkan harga pupuk bergeser pada keseimbangan pasar. Kondisi ini memberikan dampak positif bagi petani antara lain: (a) pupuk tersedia dalam jumlah yang cukup di tingkat petani, dan jarang terjadi kelangkaan pupuk, (b) harga pupuk relatif stabil, dan (c) berkembangnya kios-kios pengecer pupuk dengan harga kompetitif. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan tersebut: (a) dengan mahalnya harga pupuk, membawa konsekuensi munculnya pupuk alternatif yang relatif murah, namun diragukan kualitasnya, (c) menurunnya penggunaan pupuk SP-36, KCL, dan ZA oleh petani karena harganya relatif mahal, dan (d) pasar pupuk yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang mampu membeli pupuk di lini I dan II, serta bebas menyalurkan pupuk ke daerah yang bukan wilayah kerjanya. Sejalan dengan perkembangannya, pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan ke tingkat kabupaten. Sebelumnya produsen pupuk hanya bertanggung jawab hingga pemasaran di lini II (pemasokan di tingkat provinsi). Saat ini, pembelian pupuk oleh umum di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang melakukan pembelian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I (pabrik) dan lini II (distributor provinsi) ditetapkan atas usulan Tim Interdep yang terdiri dari; pengusaha (produsen), Deptan, Depperindag, Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop, dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Tugas Tim Interdep adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor pertanian. Untuk distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pupuk yang dirasakan mahal oleh petani, maka pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan subsidi transportasi pupuk, khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200 per kg. 217

15 Importir Kios kecil 1 Lini IV KUD penyalur PT. PUSRI Lini I Lini II Lini III Kios besar Produsen lain Penyalur swasta Petani pangan Kios kecil 2 Petani nonpangan Gambar 5. Jalur Distribusi Pupuk Sebelum Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi Importir Perdagang swasta Lini IV KUD penyalur Kios kecil 1 PT. PUSRI Lini I Lini II Lini III Kios besar Petani pangan Produsen lain Penyalur swasta Kios kecil 2 Petani nonpangan Gambar 6. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan Penghapusan Subsidi (Desember 1998) Seiring dengan itu, pada tahun 2001 diprogramkan kegiatan pengembangan Unit Usaha Pelayanan Saprodi. Sebagai rintisan awal dilaksanakan di delapan provinsi yaitu; Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTB, dan Sulsel. Kegiatan tersebut diarahkan agar unit-unit usaha pelayanan saprodi mampu menjadi unit usaha yang mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan. Demikian pula, alokasi kegiatan difokuskan untuk daerahdaerah yang memiliki keterbatasan dalam hal jasa pelayanan saprodi (remote area), sehingga 218

16 diharapkan dapat membantu kelancaran penyediaan pupuk. Penanggungjawab distribusi pupuk untuk wilayah Aceh, Sumut, dan Riau adalah PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri). Untuk wilayah Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, DKI Jakarta, Jateng, DI. Yogyakarta, Bali, Kalbar, Sultra, Sulteng, Sulut, NTB, NTT, dan Irja adalah PT Pusri. Khusus untuk wilayah Jawa Barat yang bertanggungjawab adalah PT Pupuk Kujang dan PT Pusri. Sedangkan untuk wilayah Jawa Timur penanggung jawab adalah PT Petro Kimia Gresik, PT. Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Penanggung-jawab distribusi pupuk untuk Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan Sulsel adalah PT Pupuk Kaltim dan PT Pusri. Distribusi pupuk yang ditetapkan Tim Interdep tahun 2001, disajikan pada Gambar 7. Berlakunya kebijakan rayonisasi penyaluran pupuk mengharuskan penebusan pupuk dilakukan pada Lini III, meskipun DO tetap dikeluarkan pada PPD lini II (Provinsi). Implikasinya ketersediaan pupuk antar PPK (Pemasaran Pupuk Kabupaten) menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari PT Pusri/Perwakilan Pemasaran dari perusahaan pupuk. Implementasi dari dari kebijakan distribusi pupuk tersebut menyebabkan berubahnya rantai pemasaran pupuk (Gambar 8). Namun demikian, implementasi kebijakan sistem rayonisasi dalam penyaluran pupuk masih belum jelas efektivitasnya dan cenderung menyebabkan terjadinya misalokasi penyaluran pupuk antar wilayah, bahkan diduga sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya ketidakstabilan distribusi pupuk. Dinamika Harga Pupuk Selama kurun waktu MH 98/99 sampai MH 00/01 di lima provinsi kajian yaitu, Jabar, Jateng, Jatim, sulsel dan Sumbar, mekanisme Tim Interdep Produsen Urea PT. Perkebunan Nusantara PUSRI Unit Niaga Lini II Lini III Petani Instansi terkait Distributor kabupaten Pengecer Gambar 7. Jalur Distribusi Pupuk yang Ditetapkan Tim Interdep, April 2000 pasar pupuk berjalan lancar, efisien dan pupuk senantiasa tersedia di tingkat petani (PSE-DAI, 2001). Harga pupuk Urea dan SP-36 relatif stabil bahkan sedikit mengalami penurunan masing-masing sekitar persen dan

17 Pabrik pupuk Pabrik ZA, SP36 Gresik Importir KCL, ZA Pedagang besar swasta Lini II Agen/wholesale Lini III Koperta/KUD Retailer Petani Gambar 8. Jalur Distribusi Pupuk Setelah Kebijaksanaan April persen. Pada periode tersebut harga Urea di tingkat petani, berkisar Rp 980-Rp per kg, sementara SP-36 Rp /kg, KCL Rp /kg dan ZA pada harga Rp /kg. Penurunan harga pupuk tertinggi terjadi di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sedangkan penurunan terendah terjadi di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Fenomena ini dikarenakan tingginya persaingan pasar di semua Lini dalam pemasaran pupuk, sehingga harga pupuk bergerak pada keseimbangan pasar (Tabel 9). Memasuki musim tanam MK (tepatnya pada periode pemupukan bulan April- Mei) terjadi kenaikan harga pupuk (Urea) yang cukup tajam di tingkat petani dengan kisaran harga Rp Rp per kg. Hasil kajian di lima provinsi studi melalui pengamatan secara berlapis mulai dari tingkat desa hingga provinsi menyimpulkan bahwa ketersediaan pupuk di tingkat petani tergolong memadai, dalam arti petani mudah memperoleh pupuk, namun dengan harga relatif diatas harga normal. Peningkatan harga ini bukan dikarenakan oleh adanya kelangkaan pupuk dipasaran atau kurangnya pasokan pupuk, tetapi disebabkan oleh adanya kebijakan internal PT Pusri, dimana distributor diwajibkan untuk melakukan pembelian pupuk Urea, KCL, dan SP-36 dengan perbandingan 5:1:1, dan kebijakan ini efektif berlaku mulai April Persyaratan ini diberlakukan pada saat pembelian pupuk di Gudang Pusri (Lini III). Kebijakan paket penjualan ini juga diterapkan oleh distributor ke subdistributor dengan perbandingan yang bervariasi antar wilayah. Permasalahan di tingkat petani adalah rendahnya daya serap dalam penggunaan pupuk KCL dan SP-36, sehingga penyaluran kedua jenis pupuk tersebut mengalami hambatan. Sebagian dari para pedagang/distributor menurunkan harga jual KCL sampai dibawah harga penebusan. Untuk menutupi kerugian tersebut, para pedagang memperhitungkan dalam penjualan Urea, sehingga terjadi peningkatan harga Urea mulai dari tingkat distributor sampai pengecer. Sebagai ilustrasi, untuk pembelian 220

18 Tabel 9. Rata-Rata Harga Eceran Pupuk periode MH 1998/1999 MK 2002 Uraian MH 98/99 MK 1999 Majalengka, Jabar Urea SP-36 KCL ZA Indramayu, Jabar Urea SP-36 KCL ZA Klaten, Jateng Urea SP-36 KCL ZA Kediri, Jatim Urea SP-36 KCL ZA Ngawi, Jatim a. Urea b. SP-36 c. KCL d. ZA Agam, Sumbar Urea SP-36 KCL ZA Sidrap, Sulsel Urea SP-36 KCL ZA MH 99/ Harga Pupuk (Rp/kg) MK MH / MK MH 01/ MK Sumber : CASERD DAI, 2002 KCL sebesar 10 ton (tiap pembelian 50 ton Urea) pedagang mengalami kerugian sebesar Rp 200/kg. Untuk menutupi kerugian sebesar Rp 2 juta, maka pedagang berupaya meningkatkan harga Urea sekitar Rp 40/kg dari harga jual normal pada setiap level pemasaran. Dengan jalur distribusi pupuk yang berlaku saat ini, maka harga urea di tingkat pengecer/petani cenderung mengalami kenaikan sekitar persen. Suatu kenaikan yang fantastis dan sangat memberatkan petani bilamana dikaitkan dengan kondisi petani yang semakin memprihatinkan. Adanya pemikiran petani bahwa pupuk Urea merupakan pupuk utama, sedangkan jenis pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap telah menyebabkan tingkat penggunaan pupuk Urea berlebih di tingkat petani, dan diduga telah memicu terjadinya peningkatan harga pupuk Urea secara signifikan. Umumnya petani menggunakan pupuk Urea antara kg per ha, sementara untuk pupuk KCL dan SP-36 banyak petani yang tidak menggunakan. Dosis anjuran penggunaan pupuk Urea, KCL dan SP- 36 per hektar yaitu, 300 : 100 : 100. Kebiasaan petani yang menggunakan pupuk Urea secara berlebih telah menyebabkan petani tidak berproduksi pada tingkat yang optimal. Untuk kasus Kabupaten Kediri dan Provinsi Jawa Timur, apabila petani mengurangi 221

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Keberadaan industri

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA Oleh : Bambang Sayaka I Ketut Kariyasa Waluyo Yuni Marisa Tjetjep Nurasa PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI Policy Brief PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI Pendahuluan 1. Produksi benih tanaman pangan saat ini, termasuk benih padi dan benih kedelai, merupakan

Lebih terperinci

Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani.

Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani. 28 Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani. Pendahuluan Kebutuhan benih bermutu untuk produksi tanaman pangan dan perkebunan relatif tinggi seiring dengan tujuan produksi yang lebih

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan perekonomian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus mampu mengantisipasi persaingan ekonomi yang semakin ketat di segala bidang dengan menggali sektor-sektor yang

Lebih terperinci

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, M. Maulana, dan Sudi Mardianto Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Oleh : Feryanto (email: fery.william@gmail.com) Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI

USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI Ketut Kariyasa Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jln. Tentara Pelajar No.10 Bogor 16114 ABSTRACT The policy

Lebih terperinci

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DISTRIBUSI, TINGKAT HARGA DAN PENGGUNAAN PUPUK DI TINGKAT PETANI

KEBIJAKAN DISTRIBUSI, TINGKAT HARGA DAN PENGGUNAAN PUPUK DI TINGKAT PETANI KEBIJAKAN DISTRIBUSI, TINGKAT HARGA DAN PENGGUNAAN PUPUK DI TINGKAT PETANI Valeriana Darwis dan A. Rozany Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 7, Bogor ABSTRACT Various

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI MOHAMAD MAULANA Pusat Analisis Sosial Ekonoi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Bogor Jl. A

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian

Lebih terperinci

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah 20 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah Pendahuluan Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS 4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Padi termasuk golongan tanaman semusim atau tanaman muda yaitu tanaman yang biasanya berumur pendek, kurang dari satu tahun dan hanya

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

MEKANISME PENYALURAN BENIH PADI BERSUBSIDI DI KABUPATEN PURBALINGGA ABSTRAK

MEKANISME PENYALURAN BENIH PADI BERSUBSIDI DI KABUPATEN PURBALINGGA ABSTRAK 129 MEKANISME PENYALURAN BENIH PADI BERSUBSIDI DI KABUPATEN PURBALINGGA Pujiati Utami dan Watemin Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO Box 202 Purwokerto 53182

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI LAPORAN AKHIR TA 2015 PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI Oleh: Bambang Sayaka Hermanto Muchjidin Rachmat Valeriana Darwis Frans B.M Dabukke Sri Suharyono

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berhasil meningkatkan produksi padi secara terus-menerus. Selama

I. PENDAHULUAN. Indonesia berhasil meningkatkan produksi padi secara terus-menerus. Selama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produksi padi nasional terus menerus mengalami peningkatan sepanjang empat tahun terakhir. Pada saat dunia mengalami penurunan produksi pangan, Indonesia berhasil meningkatkan

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA BANJAR TAHUN ANGGARAN 2012 WALIKOTA BANJAR Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

KEMITRAAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN

KEMITRAAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN KEMITRAAN PEMASARAN BENIH PADI DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH KALIMANTAN SELATAN Retna Qomariah, Yanuar Pribadi, Abdul Sabur, dan Susi Lesmayati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95 CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70/MPP/Kep/2/2003 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Pasal 1 Dalam keputusan ini

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDIUNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah telah memberikan berbagai macam subsidi kepada petani, dan salah satu bentuk subsidi yang menonjol adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk.

I. PENDAHULUAN. produktivitas dan kualitas hasil pertanian antara lain adalah pupuk. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional berupaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian melalui penerapan teknologi budidaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI

TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 01/Kpts/SR.130/1/2006 TANGGAL 3 JANUARI 2006 TENTANG REKOMENDASI PEMUPUKAN N, P, DAN K PADA PADI SAWAH SPESIFIK LOKASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN KUANTAN

Lebih terperinci

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA BUKITTINGGI NOMOR : 1 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BUKITTINGGI TAHUN

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang

Lebih terperinci

13 FEBRUARI 2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004 MENTERI PERTANIAN

13 FEBRUARI 2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2004 MENTERI PERTANIAN KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 106/Kpts/SR.130/2/2004 TANGGAL 13 FEBRUARI 2004 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN MENTERI PERTANIAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.511, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Pupuk Bersubsidi. Pengadaan. Penyaluran. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/M-DAG/PER/4/2013 TENTANG PENGADAAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2007 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT

Lebih terperinci

KINERJA KELEMBAGAAN INPUT PRODUKSI DALAM AGRIBISNIS PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG

KINERJA KELEMBAGAAN INPUT PRODUKSI DALAM AGRIBISNIS PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG J. Agroland 15 (2) : 122 128, Juni 2008 ISSN : 0854 641X KINERJA KELEMBAGAAN INPUT PRODUKSI DALAM AGRIBISNIS PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG Oleh : Sisfahyuni 1) ABSTRACT The aim of the study was to identify

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, 3 Januari 2017 Direktur Jenderal Tanaman Pangan, HASIL SEMBIRING NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, 3 Januari 2017 Direktur Jenderal Tanaman Pangan, HASIL SEMBIRING NIP KATA PENGANTAR Dalam rangka menyediakan benih varietas unggul bersertifikat padi dan kedelai guna memenuhi kebutuhan benih untuk pelaksanaan budidaya tanaman pangan secara nasional, Pemerintah telah memprogramkan

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR

Lebih terperinci

Sistem Perbenihan Jagung

Sistem Perbenihan Jagung Sistem Perbenihan Jagung Bahtiar, S. Pakki, dan Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros PENDAHULUAN Benih merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan usahatani jagung, sehingga

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Oleh : Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian *) Disampaikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS

PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS PERBANYAKAN BENIH SUMBER PADI DAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA MELALUI UPBS CATUR HERMANTO dan Tim Disampaikan pada seminar proposal kegiatan BPTP Sumatera Utara TA. 2014 Kamis, 9 Januari 2014 OUTLINE 1.

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG NOMOR 1 BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG SERI E HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN

Lebih terperinci

EKONOMI KELEMBAGAAN SISTEM USAHATANI PADI DI INDONESIA 1)

EKONOMI KELEMBAGAAN SISTEM USAHATANI PADI DI INDONESIA 1) EKONOMI KELEMBAGAAN SISTEM USAHATANI PADI DI INDONESIA 1) BENNY RACHMAN, SUPRIYATI, DAN SUPENA 2) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor ABSTRACT This study was conducted in five regencies/rural

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan

Lebih terperinci

Benih merupakan salah satu unsur pokok dalam usaha tani padi. Kebutuhan akan sarana tersebut semakin lama semakin meningkat

Benih merupakan salah satu unsur pokok dalam usaha tani padi. Kebutuhan akan sarana tersebut semakin lama semakin meningkat 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benih merupakan salah satu unsur pokok dalam usaha tani padi. Kebutuhan akan sarana tersebut semakin lama semakin meningkat sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mempertahankan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017 KEMENTERIAN PERTANIAN-RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN OKTOBER 2017 2017 Laporan Kinerja Triwulan III DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pokok sebagian besar penduduk di Indonesia. karbohidrat lainnya, antara lain: (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. pokok sebagian besar penduduk di Indonesia. karbohidrat lainnya, antara lain: (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) dapat 18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya angka pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia merupakan salah satu tantangan berat yang harus dihadapi oleh sektor pertanian karena dengan pertambahan

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas pangan yang paling dominan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana padi merupakan bahan makanan yang mudah diubah menjadi

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya

I. PENDAHULUAN. Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Komoditas tanaman pangan yang sangat penting dan strategis kedudukannya adalah komoditas padi, karena komoditas padi sebagai sumber penyediaan kebutuhan pangan pokok berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan dalam pembangunan Indonesia, namun tidak selamanya sektor pertanian akan mampu menjadi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JUNI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JUNI 2015 No. 47/07/33/Th.IX, 01 Juli 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JUNI 2015 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) JUNI 2015 SEBESAR 98,49

Lebih terperinci

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016 No. 53/08/33/Th.X, 01 Agustus 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH JAWA TENGAH BULAN JULI 2016 A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2016 SEBESAR 99,93

Lebih terperinci