KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006
|
|
- Devi Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) tidak mengalami perubahan yaitu sebagai berikut, (a) Urea : Rp per kg; (b) SP-36 Rp per kg; (c) ZA : Rp. 950 per kg dan (d) NPK : Rp per kg. c. Untuk meningkatkan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan agar pemerintah menaikkan harga pembelian gabah sebesar 10 persen dari Rp 1330 menjadi Rp 1473 GKP. d. Peningkatan harga gabah 10 persen diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan pupuk sebesar 3 persen, sehingga perkiraan volume pupuk bersubsidi tahun 2006 adalah untuk urea = ton; SP-36 = ton; ZA = ton dan NPK = ton. Dengan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga, maka diperkirakan total biaya subsidi sebesar Rp 3,453 trilyun atau meningkat 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp trilyun). e. Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan harga gabah sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas 2,25 persen. 2. Sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer. 3. Untuk menjamin bahwa pupuk bersubsidi benar-benar dinikmati dan digunakan oleh petani, maka sistem pembelian pupuk bersubsidi oleh petani IV-301
2 dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit dengan bunga murah atau sistem syariah. Petani melalui kelompok tani membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan dualisme harga pupuk di pasar domestik karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran. Supaya kebijakan subsidi pupuk tersebut tepat sasaran, maka perlu didukung oleh sistem perkreditan pupuk untuk petani. EVALUASI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2005 DAN PROSPEK TAHUN 2006 A. Masih Perlukah Subsidi Pupuk Tahun Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama Departemen Pertanian periode Salah satu pilar ketahanan pangan nasional adalah penyediaan pangan yang berasal dari produksi dalam negeri. Sampai saat ini tingkat produksi beberapa pangan utama masih dibawah tingkat konsumsinya. Oleh karena itu, maka peningkatan kapsitas produksi pangan nasional merupakan salah satu upaya memperkuat pilar ketahanan pangan nasional. 2. Salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan kapasitas produksi pangan utama seperti padi adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Ada dua aspek untuk melihat pentingnya subsidi pupuk bagi petani yaitu : (1) kecenderungan peningkatan harga pupuk dunia dan (2) kecenderungan penurunan laba usahatani. 3. Sejak tahun 2003 harga pupuk dunia cenderung meningkat dan diperkirakan terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2006 (Gambar 1). Rata-rata harga urea tahun 2005 US$ 187 per mt atau Rp per kg dan diperkirakan meningkat menjadi US$ 192 per mt atau Rp per kg. IV-302
3 Harga TSP tahun 2006 diperkirakan sama dengan tahun 2005 yaitu sekitar US$ 202 atau Rp per kg. Pada kondisi harga pupuk dunia yang amat tinggi dan cenderung meningkat, maka pencabutan subsidi pupuk akan menyebabkan harga pupuk domestik melonjak tajam jauh di atas HET untuk urea 82 persen dan TSP 33 persen, yang tentu dapat berdampak negatif terhadap pendapatan usahatani dan kapsitas produksi pertanian. 4. Sejak tahun 1981 profitabilitas usahatani padi cenderung menurun rata-rata 0.07 persen (Simatupang, 2000). Hasil simulasi dengan menggunakan data PATANAS (2004) dan data Rice survey (2001) dengan asumsi petani tidak akan mengurangi penggunaan pupuk akibat kenaikan harga, menunjukkan bahwa apabila subsidi pada tahun 2006 dicabut, maka keuntungan bersih usahatani padi menurun 12 persen. Dengan demikian pencabutan subsidi pupuk semakin menurunkan profitabilitas usahatani, sehingga akan mengurangi kemampuan petani untuk membiayai usahatani musim berikutnya yang akhirnya berdampak pada penurunan kemampuan negara dalam menyediakan pangan beras. 5. Kondisi demikian diperkirakan akan menimbulkan efek politis yang buruk bagi pemerintah, lebih-lebih kondisi harga-harga tahun 2006 akan mengalami mengalami peningkatan sebagai dampak spiral dari pengurangan subsidi BBM tahun Oleh karena itu, maka disarankan agar subsidi pupuk tahun 2006 ditingkatkan dalam rangka mempertahankan kapasitas produksi pangan nasional. B. Evaluasi Kebijakan Subsidi Pupuk 2005: B.1. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 yang sama dengan tahun 2003 adalah sebagai berikut : a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi pupuk dan telah memperhitungkan laba normal (10%) bagi pabrik pupuk. Dengan demikian pabrik pupuk dijamin tidak rugi dalam menjual pupuk sesuai dengan HET. IV-303
4 c. Pabrik pupuk diwajibkan untuk menyediakan pupuk dalam jumlah cukup dan tepat waktu dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebagai berikut, (a) Urea: Rp per kg; (b) SP-36 Rp per kg; (c) ZA : Rp 950 per kg dan (d) NPK: Rp per kg 7. Setiap pabrik pupuk penerima subsidi bertanggung jawab untuk menjamin distribusi pupuk pada wilayah tertentu, baik sendirian maupun kerja sama dengan pabrik lain melalui kerja sama operasional (KSO). 8. Volume pupuk bersubsidi tahun 2005 ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 64/Kpts/SR.130/3/2005 tanggal 3 Maret 2005 dengan total volume untuk urea ton; SP ton; ZA ton dan NPK ton dengan total biaya subsidi sebesar Rp 1,834 trilyun dan pupuk bersubsidi hanya dijual kepada usahatani rakyat, tidak untuk perusahaan pertanian skala besar B.2. Kekuatan Kebijakan 9. Dengan surplus produksi yang amat besar melebihi kebutuhan dalam negeri dan pengaturan sistem distribusi sampai lini IV (tingkat pengecer) yang juga dilakukan oleh produsen, apabila produsen pupuk berpegang teguh pada komitmen, maka penyaluran pupuk kepada petani dapat dijamin tepat waktu, tempat, dosis, harga dan kualitas. Fenomena langka pasok pupuk di pasaran domestik tidak mungkin terjadi distributor dan pengecer sepenuhnya dibawah kendali pabrikan pupuk. 10. Jadwal tanam yang selalu diumumkan oleh pemerintah, mestinya dapat dijadikan sebagai salah satu patokan bagi pabrik pupuk untuk menyediakan stok pupuk di sentra-sentra produksi tanaman pangan yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, langka pasok pupuk yang sering terjadi pada puncak masa tanam padi mestinya tidak perlu terjadi. B.3. Kelemahan Kebijakan 11. Konstruksi kebijakan tersebut mengandung beberapa titik lemah yang dapat membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET dan rentan terhadap tindakan menyimpang sebagai berikut : IV-304
5 a. Dualisme pasar pupuk domestik. Pupuk bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi usahatani rakyat menciptakan dua pasar, yaitu pasar pupuk bersubsidi dengan HET dan pasar pupuk non subsidi dengan harga pasar (lebih tinggi dari HET). Disparitas harga pupuk subsidi dan non subsidi yang cukup besar, akan mendorong tindakan menyimpang (moral hazard), yaitu pupuk bersubsidi dijual kepada perusahaan skala besar (perkebunan), sehingga pupuk bersubsidi yang dialokasikan untuk usahatani rakyat menjadi tidak mencukupi. b. Disparitas harga domestik dan harga internasional. Harga pupuk bersubsidi yang rendah dan tetap sesuai keputusan pemerintah, sementara harga dunia cenderung meningkat tajam, telah menimbulkan disparitas harga yang cukup besar untuk mendorong tindakan menyimpang. Pupuk bersubsidi diekspor secara ilegal, sehingga pasokan pupuk domestik menjadi langka dan harganya meningkat. c. Perhitungan kebutuhan pupuk bersubsidi kurang akurat. Perkiraan kebutuhan pupuk selama ini lebih didasarkan kepada perkiraan luas tanam dengan rekomendasi pemupukan secara umum. Namun kenyataan di lapangan, petani dengan luas lahan garapan yang sempit, umumnya menggunakan pupuk secara berlebihan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab pasokan pupuk di suatu daerah sering mengalami kekurangan. d. Volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan. Volume pupuk bersubsidi didasarkan pada perkiraan kebutuhan, bukan penyaluran aktual, sehingga rentan terhadap manipulasi dalam menghitung nilai subsidi yang sesungguhnya. e. Wilayah tanggung jawab distribusi tidak dapat dipisah dengan tegas. Wilayah tanggung jawab pabrikan pupuk didasarkan pada wilayah propinsi yang tidak mungkin diisolir. Pupuk dapat merembes antar wilayah sehingga memungkinkan terjadinya persaingan tidak sehat antar pabrikan pupuk. Pabrikan pupuk saling melepas atau melempar tanggung jawab dalam menjamin pasokan pupuk. Pola KSO pun rentan terhadap persaingan tidak sehat yang pada akhirnya menimbulkan kelangkaan pupuk dan lonjak harga pupuk. IV-305
6 f. Pada akhirnya kebijakan tersebut belum menjamin bahwa pupuk bersubsidi itu benar-benar dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas tanamannya. B.4. Kebijakan Subsidi Pupuk Tidak Efektif 12. Oleh karena skema kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 sama dengan tahun 2004, maka kemungkinan kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 tidak efektif sangat besar. Pengalaman tahun 2004 kemungkinan akan terulang lagi. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tahun 2004 tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta sebagai berikut : a. Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas HET. Di Jawa Tengah pada bulan Oktober 2004, harga Urea mencapai Rp per kg, yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp per kg; harga ZA mencapai Rp per kg yang berarti Rp. 250 per kg di atas HET Rp. 950 per kg; harga SP-36 Rp per kg yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET Rp per kg; dan harga NPK Rp per kg yang berarti Rp. 383 per kg di atas HET Rp per kg. b. Pasokan pupuk di tingkat petani kerap kali langka. 13. Berdasarkan penelitian maupun monitoring pengelola, pasok langka pupuk terjadi karena tindakan ilegal sebagai berikut : (a) Penjualan pupuk bersubsidi kepada perusahaan besar (perkebunan); (b) Ekspor pupuk; dan (c) Ketidakpatuhan pabrikan pupuk dalam menjamin pasokan pupuk yang cukup sesuai HET pada wilayah di wilayah distribusi tanggung jawabnya. 14. Tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk pertama-tama adalah akibat dari rancangan kebijakan yang rentan terhadap tindakan menyimpang seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Penyebab kedua, yang dapat disebut sebagai faktor pemicu, adalah melonjaknya harga pupuk di pasar internasional akibat melonjaknya harga minyak bumi. 15. Melonjaknya harga pupuk dunia juga diperburuk oleh depresiasi rupiah sehingga harga pupuk di pasar bebas amat tinggi. Jika disandingkan dengan konstruksi kebijakan subsidi pupuk, harga pupuk (utamanya Urea dan Fosfat) yang melonjak demikian tinggi, akan menimbulkan dua konsekuensi. IV-306
7 Pertama, terjadi disparitas harga yang amat besar antara harga pupuk bersubsidi dan harga pupuk non subsidi, sehingga mendorong merembesnya pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik. Kedua, terjadi disparitas harga yang amat besar antara di pasar pupuk domestik dan di pasar internasional, sehingga mendorong eksportasi ilegal. Boleh jadi sebagian pupuk bersubsidi malah diekspor ke negara lain. Penjualan ilegal pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik dan eksportasi ilegal selanjutnya berdampak pada kelangkaan dan lonjak harga pupuk di pasar domestik. 16. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk merupakan komplikasi dari faktor penyebab berikut: (a) Rancangan kebijakan yang kurang baik; (b) Perilaku pabrikan pupuk yang tidak bertanggung jawab; (c) Melonjakya harga pupuk dunia. Ketiga faktor tersebutlah yang harus menjadi fokus penanganan dalam upaya memperbaiki kebijakan subsidi pupuk tahun C. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 menggunakan pendekatan evolutif, menganalisis kekuatan dan kelemahan kebijakan subsidi pupuk tahun-tahun sebelunnya. Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 merupakan penyempurnaan dari kebijakan subsidi pupuk tahun C.1. Besaran Subsidi Pupuk Tahun Penentuan besaran subsidi pupuk menggunakan harga paritasnya dengan beberapa skenario sebagai berikut: (1) skenario I: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%; (3) skenario III: Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II : Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%. IV-307
8 19. Hasil simulasi penentuan besaran subsidi pupuk disajaikan dalam Tabel 2. Besaran subssidi berdasarkan menggunakan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga. Apabila harga dunia tahun 2006 sesuai dengan proyeksinya dan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005 (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 3,454 trilyun, sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen (Urea = Rp 1.155; SP-36 = Rp 1.540; ZA = Rp dan NPK = Rp 1.760), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,813 trilyun. Apabila harga dunia tahun 2006 turun 10 persen dari yang diproyeksikan dan HET HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,468 trilyun, sedangkan sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 1,828 trilyun. Besaran subsidi tersebut makin rendah apabila modus pemberiannya melalui gas untuk urea. 20. Walaupun harga dunia tahun 2006 mengalami kenaikan dibanding tahun 2005, namun memperhatikan efek psikologis dari kenaikan harga BBM tahun 2005 dan kecenderungan penurunan laba usahatani serta untuk meningkatkan kredibilitas pemerintah dan meningkatkan kapasitas produksi pangan, maka disarankan agar pemerintah tidak menaikkan HET (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600) dengan besaran subsidi Rp 3,453 trilyun atau mengalami peningkatan 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp trilyun). 21. Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan pemerintah menaikkan harga pembelian gabah oleh pemerintah pada tahun 2006 sebesar 10 persen dari Rp menjadi Rp 1473 GKP. C.2. Dampak Subsidi Pupuk Tahun Apabila pemerintah memilih kebijakan tidak menaikkan HET tetapi menaikkan harga pembelian gabah 10 persen, maka kebutuhan pupuk diperkirakan meningkat sebesar 3 persen yaitu : untuk urea = ton; SP-36 = ton; ZA = ton dan NPK = ton. Walaupun IV-308
9 kebutuhan subsidi pupuk tahun 2006 mengalami peningkatan, namun karena HET tetap, maka dampak subsidi pupuk terhadap produksi tidak akan mengalami perubahan dibanding tahun Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan harga gabah sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas 2,25 persen. C.3. Modus Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Tahun Ada dua modus subsidi pupuk yang diberikan kepada petani yaitu : Pertama, subsidi tidak langsung dengan modus pemberian subsidi gas kepada produsen; Kedua, subsidi langsung dengan modus subsidi harga yang dibeli petani lebih rendah dari harga pasar. Dengan penjaminan keuntungan untuk pabrikan sebesar 10 persen dari biaya produksi, maka secara ekonomi modus subsidi melalui gas untuk urea lebih menguntungkan dibanding modus melalui harga. Dengan modus tersebut, pemerintah dapat menghemat biaya subsidi sebesar Rp 815 milyar (Tabel 3). Oleh karena itu, untuk tahun 2006 disarankan modus subsidi pupuk untuk urea melalui gas dan untuk non urea (ZA, SP-36 dan NPK) melalui harga. Dengan kata lain modus subsidi tahun 2006 tetap seperti tahun Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini ternyata tidak mampu: (a) menjamin penyimpangan manipulasi perhitungan besaran subsidi di tingkat pengecer /kios walaupun ada aparat pengawasan; (b) menanggulangi masalah dualisme harga pupuk di pasar domestik (pertanian rakyat vs perkebunan besar maupun industri); (c) menjamin bahwa pupuk subsidi benar-benar telah mampu dibeli petani karena sistem sekarang bersifat pasif tidak aktif sementara kemapuan petani terbatas; (d) menjamin bahwa pupuk bersubsidi tersebut dibeli dan digunakan untuk usahatani mereka karena sistem sekarang tidak ada monitoring sampai penggunaan di tingkat petani. 26. Untuk mengatasi kelemahan (a), maka disarankan sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer. IV-309
10 27. Untuk mengatasi kelemahan (b), (c) dan (d), maka disarankan sistem pembelian pupuk bersubsidi oleh petani dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit. Petani melalui kelompok tani membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan tersebut karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran. Tabel 1. Perbandingan Profitabilitas Usahatani Padi Dengan dan Tanpa Subsidi Pupuk Tahun 2006 Produksi Uraian Dengan Subsidi Pupuk Tanpa Subsidi Pupuk Nilai (Rp) Share (%) Nilai (Rp) Share (%) Jumlah GKP (Kw) Nilai (Rp) 5,503,890 5,503,890 Harga (Rp/kg) 1,075 1,075 Biaya Benih 112, , Pupuk 627, , Urea 310, , SP , , KCL 15, , ZA 166, , Pestisida 100, , Tenaga Kerja 1,229, ,229, Pra Panen 824, , Panen 405, , Sewa Lahan 1,545, ,545, Total 3,614, ,834, Keuntungan (Rp) 1,888,943 1,669,350 Keuntungan per kg (Rp/kg) Persentase Penurunan Keuntungan (%) 12 IV-310
11 Tabel 2. Besaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 dikaitkan dengan Harga Dunia Jenis Pupuk Harga Dunia Kurs Harga Domestik HET Kebutuhan Per kg Subsidi Total Skenario 1 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10% Urea 192 9, ,050 4,148, ,812,504,991 SP , , , ,952,500 ZA 142 9, , ,704,000 NPK 235 9, , , ,003,500 Total Subsidi 3,453,164,991 Skenario 2 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10%. Urea 192 9, ,155 4,148, ,376,940,059 SP , , , ,802,500 ZA 142 9, , , ,994,000 NPK 235 9, , , ,099,500 Total Subsidi 2,812,836,059 Skenario 3 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10% Urea 173 9, ,050 4,148, ,095,689,560 SP , , , ,207,250 ZA 128 9, , ,723,600 NPK 212 9, , , ,899,150 Total Subsidi 2,467,519,560 Skenario 4 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10% Urea 173 9, ,155 4,148, ,660,124,627 SP , , , ,057,260 ZA 128 9, , , ,013,600 NPK 212 9, , , ,995,150 Total Subsidi 1,827,190,627 IV-311
12 Tabel 3. Analisis Ekonomi Pemberian Subsidi Urea melalui Modus Gas Vs Harga Modus Harga Lini IV + 10 % HET subsidi di Lini IV Subsidi Kebutuhan Total Subsidi (Rp/kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Kg) (Rp) 1. Gas - 1,050-4,027,415 1,158,162, Harga 1,540 1, ,027,415 1,973,433,350 Selisih 815,271, Rp / kg January 2003 March May July September November January 2004 March May July September November January 2005 Bulan Harga Urea Harga SP-36 HET Urea HET SP-36 Ganbar 1. Perkembangan Harga Paritas Impor Pupuk Urea dan SP-36, Tahun IV-312
13 GUDANG PENYANGGA LINI III GUDAN G LINI II KUD PENGECER GUDANG DISTRIBUTOR LINI III KUD Lini IV KELOMPOK TANI (RDKPK) P E T A N I SWASTA PENGECER Gambar 2. Usulan Pola Distribusi Pupuk Bersubsidi D:\data\data\Anjak-2005Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk IV-313
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005 1. Konstruksi Kebijakan Menimbulkan Dualisme Pasar dan Rawan Terhadap Penyimpangan Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA Oleh : Nizwar Syafa at Adreng Purwoto M. Maulana Chaerul Muslim PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
Lebih terperinciKebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan
6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya
Lebih terperinciKEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI
KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI Oleh : Pantjar Simatupang Fenomena langka pasok dan lonjakan harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi karena produksi pupuk urea dalam
Lebih terperinciANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *
ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output * A. ISU POKOK 1. Tahun 2003, pemerintah kembali menerapkan subsidi pupuk secara tidak langsung melalui
Lebih terperinciEfektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah
20 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah Pendahuluan Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian
Lebih terperinciVIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN
VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan
Lebih terperinciPANDANGAN PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN TERHADAP KINERJA KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK SELAMA INI DAN PERBAIKANNYA KE DEPAN
ISBN : 979-3566-45-0 PANDANGAN PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN TERHADAP KINERJA KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK SELAMA INI DAN PERBAIKANNYA KE DEPAN PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN
Lebih terperinciPupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran
Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran Oleh : Feryanto (email: fery.william@gmail.com) Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang signifikan dalam pembangunan perekonomian
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan
Lebih terperinciJUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH
JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH Dilihat dari segi kandungan proteksi dan kemampuan untuk mengefektifkannya, harga dasar gabah pembelian pemerintah (HDPP) yang
Lebih terperinciPolicy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1
Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT
Lebih terperinciKEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI
KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Lebih terperinciUSULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA
USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, M. Maulana, dan Sudi Mardianto Pusat Penelitian dan Pengembangan
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH Oleh: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TUJUAN KEBIJAKAN DAN KETENTUAN HPP Harga jual gabah kering panen (GKP) petani pada saat panen raya sekitar bulan Maret-April
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS
IV. GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS 4.1. Arti Penting Pupuk dan Beras Bagi Petani, Pemerintah dan Ketahanan Pangan Pupuk dan beras adalah dua komoditi pokok dalam sistem ketahanan pangan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,
Lebih terperinciKAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007
KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007 Ringkasan Kemungkinan kembali Ke Kebijakan Harga Dasar Gabah (HGD) 1. Kebijakan Kebijakan Harga Pembelian
Lebih terperinciPERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI
PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI MOHAMAD MAULANA Pusat Analisis Sosial Ekonoi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Bogor Jl. A
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian
Lebih terperinciKetersediaan Pupuk dan Subsidi Pupuk
A R T I K E L Ketersediaan Pupuk 2010-2014 dan Subsidi Pupuk Oleh : Sutarto Alimoeso RINGKASAN Pupuk adalah salah satu input yang esensial dalam proses produksi tanaman pangan. Pupuk dapat berperan optimal
Lebih terperinciKaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk Oleh : Nizwar Syafa at Adreng Purwoto Iwan Setiajie Anugrah Erma Suryani Khairina M. Noekman Yuni Marisa Muhamad Suryadi
Lebih terperinciBIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI
SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciAnalisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia 2007-2012 Oleh : Prajogo U. Hadi Dewa K. Swástica Frans Betsí M. D. Nur Khoeriyah Agustin Masdjidin Siregar Deri Hidayat
Lebih terperinciAnalisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95
CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70/MPP/Kep/2/2003 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Pasal 1 Dalam keputusan ini
Lebih terperinciRingkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1
Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh
Lebih terperinciAnalisis Penyebab Kenaikan Harga Beras
Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;
Lebih terperinciKEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,
PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciRANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI
RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah telah memberikan berbagai macam subsidi kepada petani, dan salah satu bentuk subsidi yang menonjol adalah
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN Oleh : Bambang Prasetyo Prajogo U. Hadi Nur K. Agustin Cut R. Adawiyah PUSAT ANALISIS
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu sektor pertanian menjadi salah satu sektor
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.511, 2013 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Pupuk Bersubsidi. Pengadaan. Penyaluran. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/M-DAG/PER/4/2013 TENTANG PENGADAAN
Lebih terperinciEVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI
EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI Benny Rachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Keberadaan industri
Lebih terperinciV. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG
V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan
Lebih terperinciWALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT
WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA BUKITTINGGI NOMOR : 1 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BUKITTINGGI TAHUN
Lebih terperinciWALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016
WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOTA SOLOK
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2007 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN
PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KEBUTUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciBUPATI MALANG BUPATI MALANG,
BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2011 BUPATI KUDUS, Menimbang
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR
Lebih terperinciBUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN
Lebih terperinciWALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR
Lebih terperinciEVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Paket Kebijakan Harga Dasar Gabah/Beras Pembelian Pemerintah (HDPP) yang belaku saat ini ditetapkan melalui Inpres No.9, 31 Desember 2002 efektif sejak 1 Januari
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011
Lebih terperinciSUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014
SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014 A. PENDAHULUAN Prioritas ketahanan pangan di 2014 diarahkan untuk meningkatkan penyediaan bahan pangan melalui peningkatan produksi pangan dalam negeri; meningkatkan akses
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan
Lebih terperinciJakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP
KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian
Lebih terperinciKUISIONER RESPONDEN. 1. Pendidikan Terakhir (Berikan tanda ( ) pada jawaban) Berapa lama pengalaman yang Bapak/Ibu miliki dalam budidaya padi?
LAMPIRAN 105 106 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian KUISIONER RESPONDEN Nama : Alamat : Umur : Tahun 1. Pendidikan Terakhir (Berikan tanda ( ) pada jawaban) Tidak Sekolah Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menegah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,
Lebih terperinciPERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG
67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN
Lebih terperinciEVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004 Pantjar Simatupang, Sudi Mardianto dan Mohamad Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan A. Yani 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN Paket Kebijakan
Lebih terperinciBUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) DAN KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN
Lebih terperinciOPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS
OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS A. Landasan Konseptual 1. Struktur pasar gabah domestik jauh dari sempurna. Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, dan penawaran
Lebih terperinciPETUNJUK PELAKSANAAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOK TANI (RDKK) PUPUK BERSUBSIDI
PETUNJUK PELAKSANAAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOK TANI (RDKK) PUPUK BERSUBSIDI DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN KATA PENGANTAR Pengadaan dan Penyaluran
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN
ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian
Lebih terperinciANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN
ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G
SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E
BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR : 142 TAHUN 2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDIUNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,
WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA
BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN
Lebih terperinciDAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH
DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH Ketut Kariyasa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebiijakan Pertanian Jln. A. Yani No. 70 Bogor 16161
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,
BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciEVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat
EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor16161 PENDAHULUAN Kasus kelangkaan
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciMENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan
Lebih terperinciWALIKOTA BANJARMASIN
WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN WALIKOTA BANJARMASIN NOMOR r. TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DIKOTA BANJARMASIN TAHUN ANGGARAN 2015 «DENGAN
Lebih terperinciSALINAN NOMOR 5/E, 2010
SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012
BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA SUKABUMI
BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 26 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI TANGGAL : 29 NOPEMBER 2009 NOMOR : 26 TAHUN 2009 TENTANG : PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinci