KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Muslimin S NIM A

4 RINGKASAN MUSLIMIN S. Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus. Dibimbing oleh NINA MARYANA dan SWASTIKO PRIYAMBODO. Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis, demikian juga pada kesehatan manusia dan hewan di perkotaan. Pada tubuh tikus terdapat arthropoda yang dikenal sebagai ektoparasit. Ektoparasit yang hidup pada tubuh tikus mempunyai hubungan yang erat dengan inangnya. Ektoparasit menyukai inang tertentu, inang pilihan, atau inang kesukaan. Pada tubuh tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit yaitu kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Seringkali ektoparasit tersebut ditemukan pada waktu yang bersamaan dan dikenal sebagai poliparasit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus dan habitatnya. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Penangkapan tikus dilakukan pada habitat rumah, kebun, sawah, dan got (saluran air). Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup tikus dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Tikus yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi tikus. Ektoparasit diambil dari tubuh tikus yang tertangkap dan dijadikan sebagai sampel, kemudian dilakukan identifikasi terhadap ektoparasit. Keanekaragaman ektoparasit dianalisis dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver. Analisis kesamaan dilakukan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antara tikus dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus. Analisis dilanjutkan dengan uji-t (α = 0.05). Sebanyak 87 ekor tikus tertangkap selama penelitian di empat habitat tikus yang berbeda. Jenis tikus diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Sebanyak individu ektoparasit yang ditemukan pada tubuh tikus terdiri dari lima spesies ektoparasit yaitu, Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica dan P. spinulosa ditemukan lebih banyak dari pada ektoparasit lainnya. Pada tubuh tikus yang ditangkap, H. pacifica ditemukan sebanyak individu (1 001 jantan dan 382 betina), P. spinulosa sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). H. pacifica mempunyai ciri-ciri antara lain berukuran sedang sampai besar dengan bentuk tubuh agak membulat. Lempeng paratergal (paratergal plate)

5 membesar dan pada bagian posterior melebar atau masing-masing sisi memiliki cuping. Lempeng sternal (sternal plate) pada abdomen ruas ke-3 memanjang sampai pada lempeng paratergal dan memiliki dua pasang seta yang kokoh pada lempeng sternal. Bentuk lempeng sternal pada toraks meruncing pada bagian posterior. P. spinulosa mempunyai ciri-ciri tubuh berukuran kecil sampai sedang dan berbentuk langsing. Tiap sisi dari lempeng sternal pada abdomen tidak pernah mencapai sisi dari lempeng paratergal dan tidak terdapat seta yang kokoh pada lempeng sternal. Lempeng sternal toraks berbentuk pentagonal. Ciri-ciri yang dimiliki X. cheopis antara lain yaitu tidak memiliki pronotal combs dan genal combs. Setiap ruas abdomen memiliki satu baris seta. Ketiga ruas toraks mempunyai panjang yang sama dengan abdomen ruas pertama. Terdapat seta (ocular bristle) yang kokoh dekat mata. L. nuttalli mempunyai ciri-ciri antara lain ukuran tubuh sedang berbentuk oval. Lempeng anal terpisah dari lempeng genito-ventral, sisi bagian anterior lurus dengan anterior lateral. L. echidninus memiliki ciri-ciri antara lain tubuh berukuran besar hingga mencapai 2 mm pada tungau betina. Lempeng anal berhubungan dengan lempeng genito-ventral. Lempeng anal membulat pada bagian depan dan mencapai bagian cekungan dari lempeng genito-ventral. Prevalensi rata-rata infestasi semua spesies ektoparasit pada tubuh tikus sebesar 76.75%. Pravalensi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebesar 88.9%, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada ketiga spesies tikus lainnya. Tingkat persentase prevalensi ektoparasit pada masing-masing tikus relatif tinggi. Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit relatif tinggi pada tikus betina dari spesies R. rattus diardii yaitu Berdasarkan hasil uji-t pada taraf 5% semua indeks keanekaragaman pada empat spesies tikus tidak berbeda secara nyata. Kata kunci: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis

6 SUMMARY MUSLIMIN S. The Diversity of Ectoparasites on Some Species of Rats. Supervised by NINA MARYANA and SWASTIKO PRIYAMBODO. The rats are pests in agricultural environment which cause economic losses and harm for human and animal health in urban areas. The rats were parasitized by ectoparasitic arthropods which have a close relationship with rats as their specific host. Various types of ectoparasites (polyparasites) such as lice, mites, fleas, and ticks, are frequently found in the rat's body at the same time. The aim of this research was to observe the diversity of ectoparasites on different species of rats on their habitats. The research will be useful as new information about the specifications of the host and the tolerance of ectoparasites on the host's environmentfor controlling ectoparasites as borne diseases or pests. This research will also be used by the further scientific researcher as a reference. The rats were captured in four habitats such as house, garden, rice field, and water sewage by using live traps with bait of dried fish, chicken bones, and sweet potato. The rats were put into a labeled plastic bag, then taken to laboratory to be identified. The ectoparasite sampels were collected from the bodies of rats that were caughtand identified. The ectoparasite diversity index was analyzed by using existing diversity formula from Shannon-Weaver. The similarity analysis was conducted to know the difference or similarity of various composition of ectoparasites by comparing quantity and diversity of ectoparasites on each group of rats using t-test (α = 5%). There were 87 rats caught from all the habitats (house, garden, rice field, and sewage water). The four rat species trapped from four habitats were Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, and R. norvegicus. The total number of ectoparasites were collected from the rats of Hoplopluera pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst and L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae). H. pacifica were collected as many as consist of males and 382 females), P. spinulosa species were 685 (155 male and 530 female), L. echidninus were 290 (91 male and 199 female), L. nuttalli were 174 (61 male and 113 female), and X. cheopis were 16 (9 male and 7 female). H. pacifica was in medium to large size and rounded. Posterior margins of paratergal plates were broad or with pointed lobe on each side. First sternite of the third abdominal segment was extended laterally with its corresponding paratergal plate, this sternite bearing two groups of two or three stout setae. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior. P. spinulosa was slim small to medium size. First sternite of the third abdominal segment was never articulating with paratergal plate. Sternal plate of thorax was usually pointed posterior or truncate, which were always associated with a huge enlargement of the first antennal segment. The third to fifth paratergal plates were only dorsal apical angle produced into a point.

7 X. cheopis with out pronotal and genal combs. Front margin of head rounded. Ocular bristle in front of eye present. Three thoracic tergites together was longer than first abdominal tergite. L. nuttalli was medium size in average of mm length, oval, separated anal plate from genito-ventral plate, and straight anterior margin almost with definite anterior-lateral corners. The characteristics of L. echidninus were large size in average of 1-2 mm length, oval, anal plate being contiguous with the genito-ventral plate, anterior margin rounded and fittet into a strong concavity in genito-ventral plate. The average prevalence of ectoparasite species of the rats captured revealed that species of R. norvegicus were predominant (88.9%) followed by R. rattus diardii (88.75%), R. argentiventer (83.35%), and R. tiomanicus (46%). Diversity index of ectoparasites on the bodies of R. rattus diardii was predominant (0.525). Statistical analysis with t-tests (α = 5%) of all index diversity between male and female rodents infested with ectoparasites was not significantly different. Keywords: Hoplopleura pacifica, Polyplax spinulosa, Laelaps echidninus, Rattus, Xenopsylla cheopis

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

9 KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BEBERAPA SPESIES TIKUS MUSLIMIN S Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

10 Penguji pada Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Drh Susi Soviana, MSi

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Tesis ini adalah laporan hasil penelitian dengan judul Keanekaragaman Ektoparasit pada Beberapa Spesies Tikus yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Ir Nina Maryana, MSi sebagai ketua komisi pembimbing, Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sepe Nada dan Ibunda Datti dan saudara-saudaraku yang kucintai disampaikan terima kasih yang dalam karena berkat doa dan dukungan merekalah penulis dapat melaksanakan penulisan tesis. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan kebaikan yang tak terhingga. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman dari Program Studi Entomologi 2012, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran studi penulis, mulai dari pendanaan sampai kepada pelaksanaan penelitian dan selesainya studi magister penulis. Kepada Bapak Muh. Mansyur dan Bapak Tedi, terima kasih atas semua bantuan dan fasilitas pelaksanaan penelitian. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan dunia pendidikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Saran dan kritik sangat diharapkan dalam perbaikan tesis ini. Bogor, Januari 2015 Muslimin S

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Interaksi Ektoparasit dengan Tikus 3 Spesies Tikus 3 Jenis Ektoparasit pada Tikus 5 BAHAN DAN METODE 10 Tempat dan Waktu 10 Bahan dan Alat 10 Metode 11 Analisis Data 14 HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit 15 Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus 16 Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus 17 Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Habitat Tikus 18 Intensitas Infestasi Ektoparasit pada Tikus Berdasarkan Spesies Tikus 20 Karakter Spesies Ektoparasit 22 Indeks Keanekaragaman Spesies Ektoparasit pada Tubuh Tikus 33 SIMPULAN 35 DAFTAR PUSTAKA 36 RIWAYAT HIDUP 40 vi vi

14 DAFTAR TABEL 1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan 15 2 Jumlah individu masing-masing spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus 18 3 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan habitat tempat penangkapan dan jenis kelamin tikus 19 4 Jumlah tikus terinfestasi dan intensitas infestasi spesies ektoparasit berdasarkan spesies dan jenis kelamin tikus 21 5 Perbandingan spesies H. pacifica dan P. spinulosa dari hasil penelitian 26 6 Perbandingan spesies tungau L. nuttalli dan L. echidninus dari hasil penelitian 32 7 Indeks keanekaragaman ektoparasit pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus 33 DAFTAR GAMBAR 1 Morfologi Hoplopleura pacifica 6 2 Morfologi Polyplax spinulosa 6 3 Morfologi Xenopsylla cheopis 7 4 Morfologi Laelaps echidninus 8 5 Morfologi Ixodes sp. 9 6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga 10 7 Perangkap hidup tikus 11 8 Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus 17 9 Hoplopleura pacifica Polyplax spinulosa Xenopsylla cheopis Alat reproduksi Xenopsylla spp Laelaps nuttalli Laelaps echidninus 31

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Tikus berperan penting sebagai hama di lingkungan pertanian dan perkotaan yang menyebabkan kerugian secara ekonomis. Tikus tersebut beserta ektoparasitnya juga berperan dalam kesehatan manusia dan hewan (Walsh et al. 1993; Mayer et al. 1995; Singleton et al. 2003). Arthropoda ektoparasit pada hewan pengerat merupakan vektor penting dari mikroorganisme patogen dan parasit zoonosis seperti leptospirosis yang dapat berakibat fatal bagi manusia (Singleton et al. 2003), sehingga selalu menjadi perhatian kalangan peneliti secara luas. Hasil-hasil penelitian telah banyak dilaporkan dari kawasan tropik misalnya dari Thailand oleh Johnson (1959), India oleh Mitchell (1966), Malaysia oleh Lim (1970), dan Myanmar oleh King (1980). Di Indonesia penelitian pada ektoparasit tikus telah dilakukan oleh Thompson (1938), Lim et al. (1980), Williams et al. (1980), Hartini (1985), Kadarsan et al. (1986), dan Ristiyanto et al. (2004). Ektoparasit pada hewan pengerat berdasarkan tempat hidupnya terdapat di permukaan luar tubuh inang, termasuk di ruang telinga luar (Ristiyanto et al. 2004). Kelompok parasit ini juga meliputi parasit yang sifatnya tidak menetap pada tubuh inang, tetapi datang dan pergi di tubuh inang. Seperti parasit lainnya, ektoparasit juga memiliki spesifikasi inang, inang pilihan, atau inang kesukaan. Proses preferensi ektoparasit terhadap inang antara lain melalui fenomena adaptasi, baik adaptasi morfologis maupun biologis yang kompleks. Proses ini dapat diawali dari nenek moyang jenis ektoparasit tersebut, kemudian diturunkan kepada keturunannya. Menurut teori heterogenitas, ektoparasit dan inang adalah dua individu yang berbeda jenis dan asal usulnya (Brotowidjoyo 1987). Walaupun ektoparasit memilih inang tertentu untuk kelangsungan hidupnya, namun bukan berarti pada tubuh inang tersebut hanya terdapat kelompok ektoparasit yang sejenis. Paramasvaran et al. (2009), mengungkapkan bahwa ektoparasit pada hewan pengerat diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama yaitu, Phthiraptera (kutu), Siphonaptera (pinjal), Acariformes (tungau), dan Parasitiformes (caplak). Hasil penelitian Ristiyanto et al. (2004) menunjukkan bahwa kelompok tungau dan kutu menyukai dan menetap di punggung dan perut, caplak di leher, larva tungau di dalam ruang telinga dan pangkal ekor, sedangkan pinjal terdistribusi di seluruh tubuh, kecuali ekor. Menurut Brotowidjoyo (1987), bila pada satu inang misalnya tikus ditemukan berbagai jenis ektoparasit pada waktu yang bersamaan, maka hal tersebut dikenal sebagai poliparasit. Parasitisme seperti ini biasanya disebabkan oleh adanya lingkungan inang yang serasi dengan ektoparasit tersebut. Ektoparasit pada hewan pengerat secara umum memiliki hubungan yang erat dengan berbagai jenis tikus sebagai inangnya. Perpaduan kuantitas dan kelimpahan relatif ektoparasit pada berbagai jenis tikus merupakan suatu indikator keanekaragaman jenis ektoparasit yang dapat menggambarkan spesifikasi inang terhadap jenis-jenis ektoparasit dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inangnya. Informasi tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang sangat berguna, baik untuk pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Namun penelitian keanekaragaman ektoparasit pada beberapa

16 2 spesies tikus dan habitatnya di wilayah Indonesia masih sangat jarang. Oleh karena itu, peneliti mencoba untuk mengungkap data tentang keanekaragaman ektoparasit pada berbagai spesies tikus di habitat yang berbeda. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang keanekaragaman ektoparasit pada beberapa spesies tikus dari berbagai habitat. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi baru tentang spesifikasi inang dan toleransi ektoparasit terhadap lingkungan inang. Selanjutnya dapat digunakan dalam pengendalian ektoparasit sebagai penular penyakit atau hama, maupun sebagai koleksi referensi untuk ilmu pengetahuan. Jenis tikus dan habitatnya juga berpengaruh pada kelimpahan keanekaragaman spesies ektoparasit. Pengetahuan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya mengelola habitat atau lingkungan untuk mengurangi populasi tikus dan ektoparasitnya. Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah ditemukan keanekaragaman ektoparasit pada tubuh tikus yang berbeda berdasarkan spesies tikus dan habitatnya.

17 3 TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ektoparasit dengan Tikus Interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa ditemukan dalam suatu ekosistem. Interaksi bisa dikelompokkan berdasarkan untung dan rugi antara spesies-spesies yang berinteraksi (Diba 2009). Prawasti (2011) mengungkapkan bahwa salah satu cara mengkategorikan keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme, suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, parasit tidak membunuh inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan bahwa parasitisme hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan serta perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran ektoparasit pada tubuh tikus dipengaruhi oleh lingkungan meliputi habitat dan lingkungan tikus serta kesediaan makanan yang cukup bagi tikus untuk menunjang kehidupan ektoparasit. Newey et al. (2005) menyatakan bahwa inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit. Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada inangnya saja. Parasit selain mengganggu kehidupan inang, juga berperan sebagai pengontrol dinamika produksi inang. Tikus merupakan inang yang cocok bagi beberapa spesies ektoparasit seperti kutu, pinjal, tungau, dan caplak. Tikus dapat terinfestasi oleh ektoparasit karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang (Rivera et al dalam Prawasti 2011). Brown et al. (1995) melaporkan bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko inang tertular ektoparasit. Kadarsan et al. (1986) mengemukakan bahwa kelompok kutu menetap pada bagian tubuh tertentu seperti kepala dan punggung, pinjal ditemukan dekat dengan inang, baik rambut-rambut maupun sarang inang, sedangkan tungau menyukai daerah punggung dan perut. Prevalensi merupakan persentase spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Prevalensi berhubungan dengan habitat dan penyebaran inang (Pramiati 2002). Diba (2009) mengungkapkan bahwa intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi inang. Prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi. Prevalensi infestasi tungau pada inang tidak selalu berkorelasi positif dengan intensitas infestasi (Prawasti 2011). Spesies Tikus Tikus adalah satwa liar yang sangat sering berhubungan dengan kehidupan manusia. Keberadaan tikus di muka bumi sudah jauh lebih tua daripada usia peradaban manusia. Kehidupan tikus (untuk jenis tertentu) sudah sangat tergantung pada kehidupan manusia. Dengan demikian, tikus merupakan hewan liar yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia. Hubungan antara tikus dengan manusia seringkali bersifat parasit, tikus mendapat keuntungan sedangkan manusia sebaliknya, atau kleptoparasitik yaitu tikus memarasit manusia dengan mencuri sumberdaya yang berharga. Tikus sering menimbulkan

18 4 gangguan dalam bidang pertanian, peternakan, permukiman, dan kesehatan (Priyambodo 2006). Tikus termasuk ke dalam Ordo Rodentia, Subordo Myormorpha, Famili Muridae. Famili Muridae merupakan famili yang dominan dari Ordo Rodentia. Anggota famili ini mempunyai daya reproduksi yang tinggi, pemakan segala macam makanan (omnivorus) dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang dibuat oleh manusia. Anggota Genus Rattus yang diidentifikasi di Indonesia sebanyak 32 spesies, sedangkan di Jawa hanya ditemukan 5 spesies. Jenis tikus yang sering ditemukan di habitat lingkungan manusia adalah Rattus rattus diardii, R. tiomanicus, R. argentiventer, dan R. norvegicus (Suyanto 2006). Rattus rattus diardii Temminck, 1844 R. rattus diardii memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh coklat kemerahan sampai abu-abu kehitaman, permukaan atas tubuh coklat kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus rumah ini mempunyai bobot tubuh g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor mm, panjang kepala dan badan mm, panjang ekor mm, kaki belakang mm, lebar daun telinga mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10 (dua pasang di bagian dada dan tiga pasang di perut) (Priyambodo 2006). Tikus ini banyak dijumpai di rumah bagian atap, kamar, dapur, gudang, dan kadang-kadang juga ditemukan di kebun sekitar rumah. R. rattus diardii mempunyai penyebaran geografi di seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Selain itu, spesies ini juga merupakan rodens komensial yang artinya berbagi meja, yaitu hewan yang sudah beradaptasi dengan baik pada aktivitas manusia, serta menggantungkan hidupnya (pakan dan tempat tinggal) pada kehidupan manusia (Priyambodo 2006). Rattus tiomanicus Miller, 1900 R. tiomanicus memiliki tekstur rambut agak kasar, warna permukaan bawah tubuh putih bersih, adakalanya putih kehitaman, permukaan atas tubuh coklat, hitam kekuningan, bentuk hidung kerucut, bentuk tubuh silindris, ekor seragam dan umumnya panjang, meskipun adakalanya pendek. Tikus pohon ini mempunyai bobot tubuh g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor mm, panjang kepala dan badan mm, panjang ekor mm, kaki belakang mm, lebar daun telinga mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 2+3 = 10. Habitat tikus ini adalah perkebunan, hutan sekunder, semak belukar, dan pekarangan (Priyambodo 2006). Menurut Priyambodo (2006), R. tiomanicus termasuk hewan arboreal (tetumbuhan), yaitu hewan yang pandai memanjat, yang dicirikan dengan ekor yang relatif panjang, serta tonjolan pada telapak kaki yang besar dan permukaannya kasar. Kaki depan tikus dilengkapi dengan cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk menjaga keseimbangan pada saat memanjat.

19 5 Rattus argentiventer Robinson & Kloss, 1916 R. argentiventer memiliki ukuran sedang, ekor pendek, warna permukaan bawah tubuh putih perak, permukaan atas tubuh campuran coklat dan kuning (Suyanto 2006; Taggart et al. 2000). Tikus sawah ini mempunyai bobot tubuh g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor mm, panjang kepala dan badan mm, panjang ekor mm, kaki belakang mm, lebar daun telinga mm, lebar sepasang gigi pengerat 3 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Menurut (Priyambodo 2006), tikus ini banyak dijumpai di pertanaman padi dan tebu pada ketinggian <1.500 m dpl. R. argentiventer termasuk hewan terestrial (tanah), yaitu hewan yang pandai menggali tanah, yang dicirikan dengan ekor yang relatif pendek terhadap kepala dan badan. Kaki jenis tikus ini memiliki tonjolan pada telapak kaki yang relatif kecil dan permukaannya halus (Priyambodo 2006). Rattus norvegicus Berkenhout, 1769 R. norvegicus termasuk tikus berukuran besar, tekstur rambut kasar dan agak panjang, warna rambut bagian dorsal coklat hitam kelabu dan ventral coklat kelabu, warna rambut pada ekor bagian ventral lebih terang daripada bagian dorsal, rambut punggung halus, rambut di bagian posterior pendek dan halus, bentuk hidung kerucut terpotong, bentuk tubuh silindris agak membesar ke belakang dan berekor pendek (Priyambodo 2006; Suyanto 2006). Tikus got ini mempunyai bobot tubuh g, panjang dari ujung kepala sampai ujung ekor mm, panjang kepala dan badan mm, panjang ekor mm, kaki belakang mm, lebar daun telinga mm, lebar sepasang gigi pengerat 3.5 mm dan mempunyai rumus puting susu 3+3 = 12. Tikus ini banyak dijumpai di seluran air/got di daerah permukiman kota dan pasar (Priyambodo 2006). R. norvegicus termasuk tikus yang menghuni selokan (got), baik selokan kecil yang berada di sekitar perumahan, maupun selokan besar yang berada di bawah tanah di daerah perkotaan. Jika jenis ini tidak ada di suatu wilayah, maka tikus rumah yang menggantikannya (Priyambodo 2006). Jenis Ektoparasit pada Tikus Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari permukaan tubuh inangnya. Ektoparasit yang dapat menginfestasi berbagai jenis tikus meliputi: 1) Kutu (lice); Polyplax spinulosa dan Hoplopleura pacifica, 2) Pinjal (flea); Xenopsylla cheopis, 3) Tungau (mite); Laelaps echidninus, 4) Caplak (tick); Ixodes sp. (Hartini 1985; Kadarsan et al. 1986). Sebagai hewan parasit, kutu, pinjal, tungau, dan caplak dapat menularkan berbagai macam organisme penyebab penyakit (Haryono et al. 2008). Hoplopleura pacifica Ewing, 1924 H. pacifica (Gambar 1) merupakan kutu dari Subordo Anoplura. Berdasarkan klasifikasinya, H. pacifica tergolong ke dalam Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Hoplopleuridae, Genus Hoplopleura, dan Spesies H. pacifica Ewing (Ewing 1935; Voss 1966). H. pacifica pertama kali ditemukan pada Rattus exulans di

20 6 a b c Gambar 1 Morfologi Hoplopleura pacifica (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Emerson 2002). kepulauan Hawaii. H. pacifica adalah parasit umum genus Rattus dan merupakan salah satu kutu yang paling banyak ditemukan di wilayah Asia-Pasifik seperti Laos, Malaya, Filipina, Thailand, dan Vietnam (Voss 1966). Jenis kutu ini mengalami proses metamorfosis tidak sempurna, yaitu telur-nimfa-imago. Seluruh siklus hidupnya terjadi di tubuh induk inang. Telur kutu akan menempel pada rambut-rambut inang dengan bantuan zat perekat yang dihasilkannya (Haryono et al. 2008). Polyplax spinulosa Burmeister, 1839 P. spinulosa (Gambar 2) (syn. Haematopinus spinulosus Denny, 1842) adalah kutu yang termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Phthiraptera, Subordo Anoplura, Famili Polyplacidae, Genus Polyplax, Spesies P. spinulosa, dan merupakan ektoparasit pada Rattus (Pratt et al. 1966). a b c Gambar 2 Morfologi Polyplax spinulosa (ventral), (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Shirazi et al. 2013).

21 P. spinulosa termasuk ke dalam daftar 31 spesies dari Phthiraptera yang baru untuk daerah Eropa (alien spesies) dan dianggap penting bagi keanekaragaman hayati hewan (Kenis & Roques 2010). P. spinulosa merupakan jenis kutu pada tikus yang dapat menyebabkan iritasi, gatal-gatal, anemia, lemah, kehilangan berat badan dan bahkan kematian pada inang karena infeksi yang terlalu parah (Shirazi et al. 2013). Selain itu, kutu ini juga memiliki peran sebagai vektor dari bakteri Haemobartonell sp. Rata-rata siklus hidup kutu ini adalah 13 hari, berukuran kecil, yaitu mulai 1-10 mm, metamorfosis bertahap (paurometabola), tipe alat mulut menusuk dan mengisap (Calaby & Murray 1996; Shirazi et al. 2013). Xenopsylla cheopis Rothschild, 1903 X. cheopis (Gambar 3), secara sistematika pinjal ini termasuk Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Siphonaptera, Famili Pulicidae, Genus Xenopsylla, Spesies X. cheopis (Noble & Noble 1989). X. cheopis adalah ektoparasit dari hewan pengerat, terutama dari Genus Rattus, dan merupakan vektor untuk penyakit pes dan murine tifus. Hal ini terjadi ketika pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dan kemudian menggigit manusia. Pinjal tikus oriental terkenal memberikan kontribusi bagi black death (Sekra et al. 2010). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan pinjal dapat menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke manusia (Kadarsan et al. 1986). Siklus hidup jenis pinjal ini mengalami metamorfosis sempurna yaitu telurlarva-pupa-imago. Larva yang baru menetas tidak memiliki tungkai. X. cheopis mempunyai bentuk tubuh pipih bilateral, berukuran 3 mm. Seluruh tubuh tertutup rambut-rambut, tipe alat mulut berupa penusuk dan pengisap. Tungkai ke-3 berukuran lebih besar dan lebih panjang dari pada dua pasang tungkai lainnya sehingga memungkinkannya untuk melompat. Lompatannya sangat jauh dan tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuhnya (Haryono et al. 2008). a b c 7 Gambar 3 Morfologi Xenopsylla cheopis, (a) kepala, (b) toraks, (c) abdomen (Trivedi 2003).

22 8 Laelaps echidninus Berlese, 1887 L. echidninus (Gambar 4) termasuk kelompok tungau dari Ordo Acariformes, Famili Laelapidae, Genus Laelaps, dan Spesies L. echidninus (Noble & Noble 1989). Kelompok tungau ini berukuran relatif kecil, memiliki panjang kurang dari 1 mm. Namun ada pula tungau besar yang dapat mencapai panjang 7 mm. L. echidninus memiliki gnathosoma terdiri dari epistoma, tritosternum (berfungsi dalam transport cairan tubuh), palpus yang beruas-ruas, kelisera, kornikuli, dan hipostoma berseta yang masing-masing sangat beragam dalam hal bentuk dan jumlah ruasnya tergantung pada kelompoknya. Kelisera pada L. echidninus teradaptasi untuk menusuk, mengisap atau mengunyah. Tubuh dilindungi oleh dorsal shield/scutum. L. echidninus memiliki stigma (alat pertukaran O2 dan CO2) yang letaknya bervariasi yaitu di punggung dorsal, antara pangkal tungkai/koksa ke-2 dan ke-3, di sebelah koksa ke-3 atau di antara kelisera. Letak stigma menjadi kunci penting untuk membedakan ordo tungau (Haryono et al. 2008). a b c d Gambar 4 Morfologi Laelaps echidninus (ventral), (a) keliseral, (b) peritreme, (c) anus, (d) seta (Abbott et al. 2004). Ixodes sp. Latreille, 1795 Ixodes sp. (Gambar 5) termasuk kelompok Acarina dari Famili Ixodidae. Di Indonesia genus Ixodes dilaporkan hanya terdiri dari 4 spesies yaitu I. granulatus, I. spinicoxalis, I. werneri, dan I. kopsteini. Tiga spesies pertama adalah parasit pada tikus, sedangkan yang terakhir pada kelelawar (Kadarsan 1983). Caplak adalah ektoparasit pengisap darah pada hewan vertebrata. Memiliki ukuran lebih besar dari pada tungau. Panjang tubuh antara 2 sampai 30 mm. Selain ukurannya, caplak dibedakan dari tungau berdasarkan letak stigma yang berada di bawah koksa (pangkal tungkai) ke-4. Caplak juga memiliki karakter-karakter khas tersendiri pada hipostoma, memiliki oseli/mata, tetapi tidak memiliki epistoma, corniculi, dan tritosternum (Haryono et al. 2008).

23 9 a b c Gambar 5 Morfologi Ixodes sp. (dorsal), (a) gnathosoma, (b) idiosoma, (c) tungkai (Dwibadra 2008).

24 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2013 sampai April Penangkapan tikus dilakukan di empat habitat yang berbeda, yaitu rumah, sawah, kebun, dan saluran air (got). Lokasi penangkapan tikus tersaji pada Gambar 6. Identifikasi jenis tikus dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Identifikasi morfologi ektoparasit dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Bogor. Gambar 6 Peta Lokasi penangkapan sampel tikus di Sukamandi dan Dramaga Ket: Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang. Kecamatan Dramaga (Cibanteng, Situ Burung, dan Daerah sekitar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB) Kabupaten Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, alkohol (50, 80, 95, dan 100%), KOH 10%, canada balsam/entelan, larutan hoyer, chloroform, ikan kering, tulang ayam, ubi jalar, kertas label, dan tikus serta ektoparasit hasil tangkapan. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkap tikus, kantung plastik, sikat, sisir, nampan putih, pinset, jarum, botol koleksi, gelas obyek, gelas penutup, mikroskop compound OLYMPUS CX21, kamera Dino-eye AM4234, dan penggaris.

25 Metode Penangkapan Tikus Tikus ditangkap dengan menggunakan perangkap hidup (live trap) tikus (Gambar 7) dengan umpan ikan kering, tulang ayam, dan ubi jalar. Penangkapan dilakukan di habitat rumah, sawah, kebun, dan got. Perangkap hidup tikus dipasang pada sore hari pukul WIB kemudian diambil keesokan harinya pukul WIB. Hewan yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik ukuran 30 cm x 40 cm, kemudian diberi label (tanggal, habitat, dan kode lokasi), selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diamati. A 11 B C Gambar 7 Perangkap hidup (live trap) tikus, A. Multiple trap untuk tikus di habitat sawah, B. Multiple trap untuk tikus di habitat rumah, dan C. Single trap untuk tikus di habitat got dan rumah.

26 12 Identifikasi Tikus Identifikasi terhadap tikus dilakukan dengan mengamati dan mengukur karakter kualitatif dan kuantitatif morfologi tikus. Acuan yang digunakan adalah kunci deskripsi yang dikembangkan oleh Cunningham dan Moors (1996), Priyambodo (2006), dan Suyanto (2006). Dalam pengamatan karakter kualitatif morfologi tikus, yang perlu diperhatikan adalah warna. Warna yang diamati pada tikus adalah warna rambut. Pengamatan terhadap warna dapat dibagi dua yaitu warna dorsal dan ventral. Untuk warna dorsal juga dibagi dua yaitu warna badan dan ekor, demikian juga untuk bagian ventralnya. Bentuk hidung (moncong) tikus secara umum terbagi menjadi dua yaitu kerucut terpotong yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan kerucut yang biasanya terdapat pada tikus berukuran sedang dan kecil. Bentuk badan tikus secara umum juga terbagi dua yaitu silindris membesar ke belakang yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran besar, dan silindris yang biasanya terdapat pada tikus yang berukuran sedang dan kecil. Tekstur rambut berkolerasi dengan ukuran tubuhnya. Tikus yang berukuran besar mempunyai tekstur rambut yang kasar dan ukuran rambut yang panjang. Tikus yang berukuran kecil mempunyai tekstur rambut yang lembut/halus dan ukuran rambut pendek. Tikus berukuran sedang berada di antaranya. Dalam Pengamatan karakter kuantitatif morfologi tikus, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bobot tubuh (weight = W). Pengukuran bobot tubuh ini dilakukan pada saat tikus tidak aktif, yaitu dalam keadaan mati atau dibius. Bobot tubuh dinyatakan dalam satuan gram (g). Ukuran panjang kepala dan badan (head and body = HB). Satuan pengukuran yang digunakan adalah millimeter (mm). Pengukuran ini dilakukan pada tikus dalam keadaan terlentang, dimulai dari ujung hidung (moncong) sampai pangkal ekor yang biasanya ditandai dengan adanya lubang anus. Ukuran panjang ekor (tail = T) dimulai dari pangkal ekor (lubang anus) sampai ujung ekor, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran panjang total (total length = TL) merupakan penjumlahan dari ukuran panjang kepala dan badan ditambah panjang ekor. Ukuran lebar daun telinga (ear = E) adalah ukuran dari lubang telinga sampai ujung daun telinga yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Pengukuran panjang telapak kaki belakang (hind foot = HF) dilakukan dari tumit sampai ujung kuku yang terjauh, dinyatakan dalam satuan mm. Ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas (incicors = I) adalah ukuran lebar bagian tengah dari sepasang gigi pengerat, dinyatakan dalam satuan mm. Jumlah puting susu (mammary formula = MF) ditentukan dengan menghitung jumlah putting susu di bagian dada (pektoral) dan di bagian perut (inguinal), dinyatakan dalam satuan pasang. Pengambilan Sampel Ektoparasit Tikus yang berada di dalam kantung plastik dimatikan dengan menggunakan chloroform. Tikus yang sudah mati disikat rambut-rambut tubuhnya di atas nampan putih, lalu diperiksa telinga, hidung, dan pangkal ekornya. Ektoparasit yang terjatuh di nampan diambil dengan pinset, sedangkan ektoparasit yang menempel di telinga, hidung, dan pangkal ekor diambil dengan jarum atau pinset. Ektoparasit kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi alkohol 70% dan diberi label (kode lokasi dan nomor inang).

27 Pembuatan Preparat Ektoparasit Pembuatan preparat slide ektoparasit yang berdinding tubuh lunak seperti kutu mengacu pada Krantz (1978). Ektoparasit dipanaskan di dalam alkohol 95% selama 3 menit, kemudian bagian abdomen ditusuk. Spesimen dipanaskan di dalam KOH 10% hingga transparan, dan isi tubuh dibuang. Spesimen kemudian dicuci dengan akuades sebanyak 2 kali, direndam di dalam alkohol berturut-turut yaitu dimulai dari konsentrasi 50, 80, 95% dan selanjutnya alkohol absolut (100%) masing-masing selama 10 menit. Tahap selanjutnya mounting dengan media canada balsam atau entelan. Ektoparasit diletakkan secara hati-hati di atas gelas obyek yang sudah diberi media. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga bagian ventral menghadap ke bawah, tungkai terentang. Dengan jarum halus, ektoparasit tersebut ditekan secara perlahan-lahan sampai ke dasar kaca objek dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian preparat dikeringkan di atas elemen pengering selama 4-7 hari. Pembuatan preparat slide untuk ektoparasit yang berdinding tubuh keras seperti pinjal, mengacuh pada Bahmanyar dan Cavanaugh (1976). Spesimen direndam di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Selanjutnya spesimen dipindahkan ke dalam akuades selama 5 menit, kemudian ke dalam asam asetat selama 30 menit. Pinjal yang telah terlihat transparan diambil dan diletakkan di atas kaca objek. Posisi spesimen diatur sedemikian rupa sehingga terlihat bagian lateral, tungkai mengarah ke bawah dan kepala ke sebelah kiri. Spesimen kemudian ditetesi canada balsam secukupnya dan ditutup kaca penutup. Preparat kemudian dikeringkan di atas elemen pengering selama hari. Identifikasi Ektoparasit Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop kompoun OLYMPUS CX21 dengan kamera Dino-eye AM4234 yang dihubungkan langsung dengan komputer. Identifikasi mengacu pada kunci identifikasi yang disusun oleh Ewing (1935), Jordan (1957), Baker dan Wharton (1960), Pratt et al. (1966), Voss (1966), Boror et al. (1996), dan Montasser (2006). Perhitungan dan Pengamatan Terhadap Ektoprasit dan Tikus Perhitungan dan pengamatan dilakukan untuk mengetahui: 1 Jumlah individu setiap spesies tikus yang tertangkap di setiap habitat penangkapan. 2 Jumlah tikus yang diinfestasi ektoparasit. 3 Jumlah setiap spesies ektoparasit yang mengenfestasi setiap individu tikus. 4 Nilai indeks keanekaragaman spesies ektoparasit pada setiap spesies tikus berdasarkan jenis kelamin tikus. 5 Spesies ektoparasit yang menginfestasi tikus. Perhitungan Prevalensi Ektoparasit Prevalensi atau frekuensi kejadian adalah besarnya persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit dari tikus sampel yang diperiksa. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 13

28 14 Prevalensi = Jumlah tikus yang terserang 100% Jumlah tikus yang diperiksa Analisis Data Analisis keanekaragaman ektoparasit dihitung dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman dari Shannon-Weaver (Magnussen & Boyle 1995). Analisis kesamaan untuk mengetahui perbedaan atau kesamaan variasi komposisi jenis ektoparasit antar tikus dilakukan dengan membandingkan kuantitas dan keanekaragaman ektoparasit masing-masing kelompok tikus menggunakan uji-t (α = 0.05). Keterangan : Hᵢ : Indeks keanekaragaman S : Jumlah total jenis ektoparasit sampel Pᵢ : Jumlah individu per jenis ektoparasit per ekor spesies tikus dibagi jumlah total individu jenis ektoparasit per ekor spesies tikus sampel.

29 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Spesies Tikus dan Persentase Terinfestasi Ektoparasit Selama penelitian, telah ditangkap sebanyak 87 ekor tikus dari 4 habitat yang berbeda (rumah, sawah, kebun, dan got). Spesies tikus yang tertangkap diidentifikasi sebagai Rattus rattus diardii, R. argentiventer, R. tiomanicus, dan R. norvegicus. Persentase infestasi ektoparasit dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sebaran empat spesies tikus dan persentase tikus yang terinfestasi ektoparasit pada empat habitat penangkapan Jenis tikus R. rattus diardii Jumlah tikus tertangkap Persentase terinfestasi Jenis (ekor) ektoparasit (%) kelamin R S K G R S K G Jantan Betina R. Jantan argentiventer Betina R. tiomanicus Jantan Betina R. norvegicus Jantan Betina Ket. R: Rumah, S: Sawah, K: Kebun, G: Got. R. rattus diardii yang tertangkap sebanyak 26 ekor terdiri dari 10 jantan dan 16 betina. Bobot R. rattus diardii berkisar antara sampai g. Tikus jantan relatif lebih banyak terinfestasi ektoparasit (90.0%) dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Tingkat persentase infestasi ektoparasit pada R. rattus diardii lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketiga spesies tikus lainnya. Turner et al. (2012) melaporkan bahwa pada habitat rumah di Jawa Tengah jumlah persentase R. rattus diardii terinfestasi ektoparasit sebanyak 96.2% dengan tingkat infestasi pinjal sebanyak 63.3%. Kadarsan el at. (1986) melaporkan pola kandungan parasit pada tikus yaitu, perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit yang cara penularannya melalui kontak. R. argentiventer yang tertangkap sebanyak 20 ekor (5 jantan dan 15 betina). Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih rendah (80.0%) jika dibandingkan dengan tikus betina (86.7%). Bobot R. argentiventer berkisar antara sampai g. Persentase infestasi ektoparasit pada R. argentiventer pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Paramasvaran et al. (2009). Paramasvaran et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat persentase infestasi tungau sebesar 22.6% dan caplak sebesar 6.45%. Persentase

30 16 infestasi ektoparasit pada R. argentiventer jantan maupun betina tidak terlalu berbeda, hal ini dapat terjadi karena kedua jenis kelamin tikus ini memiliki daya jelajah yang hampir sama yaitu, sarang sebagai tempat berlindung dan sawah sebagai tempat untuk mencari sumber makanan. R. tiomanicus terperangkap di dua habitat yang berbeda yaitu di habitat sawah dan kebun. Di sawah ditangkap sebanyak 8 ekor (5 jantan dan 3 betina) dengan pola infestasi berturut-turut yaitu 60.0% dan 66.7%. R. tiomanicus yang tertangkap di habitat kebun sebanyak 22 ekor (11 jantan dan 11 betina) dengan pola infestasi berurut-turut yaitu 54.5% dan 27.3% lebih rendah dibandingkan dengan tikus pohon yang tertangkap di habitat sawah. Bobot R. tiomanicus berkisar antara 72.9 sampai g. R. tiomanicus jantan pada habitat kebun memiliki persentase infestasi ektoparasit yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Tikus jantan diduga lebih aktif sehingga lebih muda terinfestasi oleh spesies ektoparasit dengan cara penularan melalui kontak. Kadarsan el at. (1986) melaporkan bahwa perilaku, umur, dan kelamin inang berpengaruh terhadap pola infestasi parasit. Mobilitas tikus memegang peranan cukup penting dan menentukan pola infestasi parasit. R. tiomanicus diketahui mempunyai habitat yang lebih luas daripada tikus lainnya. R. norvegicus yang tertangkap sebanyak 11 ekor (2 jantan dan 9 betina). Bobot R. norvegicus berkisar antara 68.2 sampai g. Semua jenis tikus got yang tertangkap masih tergolong pradewasa. Hal ini ditandai dari ukuran, bobot, dan morfologi tikus yang belum berkembang sempurna seperti rambut-rambut pada tubuh tikus masih jarang dan pendek, dan pada tikus betina belum muncul puting susu. Persentase ektoparasit menginfestasi tikus jantan lebih tinggi (100%) dibandingkan dengan tikus betina (77.8%). Persentase infestasi ektoparasit pada R. norvegicus cukup tinggi, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wen-Ge et al. (2009) bahwa tingkat persentase infestasi ektoparasit pada tubuh R. norvegicus sebanyak 71% dengan persentase infestasi spesies P. spinulosa mencapai 97.26%. Prevalensi Infestasi Ektoparasit pada Tikus Prevalensi infestasi ektoparasit ditentukan pada empat spesies tikus dari empat habitat penangkapan. Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit (Gambar 8). Berdasarkan jumlah total masing-masing spesies tikus yang tertangkap, R. norvegicus merupakan spesies tikus yang paling banyak diinfestasi oleh ektoparasit meskipun jumlah total individu ektoparasit yang didapatkan paling sedikit. Pada tikus jantan, prevalensi infestasi ektoparasit pada R. norvegicus paling tinggi (100%) dan terendah dijumpai pada R. tiomanicus (56.3%). Pada tikus betina, prevalensi infestasi tertinggi dijumpai pada R. rattus diardii (87.5%) dan terendah pada R. tiomanicus (35.7%). Tingkat prevalensi infestasi ektoparasit pada tikus jantan lebih tinggi diduga karena daya jelajah tikus jantan lebih luas dibandingkan dengan tikus betina, sehingga peluangnya lebih besar terinfestasi ektoparasit. Menurut Hadi et al. (1982), tikus yang mempunyai pergerakan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dalam upaya mencari makan, tempat berlindung dan bersarang

31 cenderung banyak terinfestasi beragam parasit. Tikus ini dapat terinfestasi secara alami, yaitu ektoprasit yang menempel pada tumbuhan, tanah, dan tanah berair Prevalensi (%) Gambar 8 0 Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina R. rattus diardii R. argentiventer R. tiomanicus R. norvegicus Prevalensi total infestasi pada R. rattus diardii, R. argentiventer, R. tio-manicus, dan R. norvegicus (sawah dan rawa-rawa), maupun terinfestasi parasit karena mempertahankan kehidupannya (survival), seperti persentuhan dan perkelahian. Ektoparasit yang Menginfestasi Tikus Lima spesies ektoparasit yang ditemukan menginfestasi empat spesies tikus selama penelitian tergolong ke dalam tiga ordo. Kelima spesies ektoparasit tersebut adalah Hoplopleura pacifica Ewing (Phthiraptera: Hoplopleuridae), Polyplax spinulosa Burmeister (Phthiraptera, Anoplura: Polyplacidae), Xenopsylla cheopis Rothschild (Siphonaptera: Pulicidae), Laelaps nuttalli Hirst dan L. echidninus Berlese (Acariformes: Laelapidae) (Tabel 2). Ada hubungan antara jenis kelamin tikus dengan tingkat populasi spesies ektoparasit pada tubuh tikus. Hal ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Paramasvaran et al. (2009) bahwa terjadi perbedaan yang signifikan antar kelompok ektoparasit (kutu, pinjal, tungau, dan caplak) yang ditemukan pada tubuh tikus di empat habitat yang berbeda yaitu perkotaan, hutan, sawah, dan pesisir pantai. Jumlah individu ektoparasit yang ditemukan sebanyak H. pacifica pada tikus jantan dan betina ditemukan sebanyak dan 382 (1383 individu). P. spinulosa ditemukan sebanyak 685 individu (155 jantan dan 530 betina), X. cheopis sebanyak 16 individu (9 jantan dan 7 betina), L. nuttalli sebanyak 174 individu (61 jantan dan 113 betina), dan L. echidninus sebanyak 290 individu (91 jantan dan 199 betina). Kadarsan et al. (1986) melaporkan ada tiga kelompok ektoparasit pada tubuh tikus yang terdiri dari Anoplura, Siphonaptera, dan Mesostigmata. Paramasvaran et al. (2009) melaporkan setidaknya ada 10 spesies ektoparasit yang bias ditemukan pada tubuh tikus yang meliputi; H. pacifica, P.

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tikus dan mencit adalah hewan pengerat (rondensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang dan hewan pengganggu yang menjijikan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan di penangkaran PT. Mega Citrindo di Desa Curug RT01/RW03, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor dan Laboratorium Entomologi Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT)

PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT) LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT) OLEH AGUS SAMSUDRAJAT S J 410040028 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TIKUS DAN DAN PINJAL

IDENTIFIKASI TIKUS DAN DAN PINJAL LAPORAN PRAKTIKUM IDENTIFIKASI TIKUS DAN DAN PINJAL Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengendalian Vektor Disusun oleh : IKA NUR RIZKI NIM : P07133112024 KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN. Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang 5 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Kutu Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk ke dalam kulit inangnya. Bagian-bagian mulut

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : Ectoparasites of rats, index diversity, Merapi Mountain Central Java. ABSTRAK

ABSTRACT. Key word : Ectoparasites of rats, index diversity, Merapi Mountain Central Java. ABSTRAK INDEKS KERAGAMAN EKTOPARASIT PADA TIKUS RUMAH Rattus tanezumi Temminck, 1844 dan TIKUS POLINESIA R. exulans (Peal, 1848) DI DAERAH ENZOOTIK PES LERENG GUNUNG MERAPI, JAWA TENGAH Ristiyanto, Arief Mulyono,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA

TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA TUNGAU EKTOPARASIT PADA KADAL Eutropis multifasciata DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DAN KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB CUT TINA MEUTHIA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif dengan kegiatan secara eksploratif yaitu observasi dengan mengambil sampel secara langsung.

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Ektoparasit pada Mamalia Kecil yang ditemukan di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat

Jenis-Jenis Ektoparasit pada Mamalia Kecil yang ditemukan di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat Jenis-Jenis Ektoparasit pada Mamalia Kecil yang ditemukan di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat Ectoparasites of the Small Mammals at Pasar Raya Padang, West Sumatera Beni Arengga *), Dahelmi, Siti Salmah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat memasukkan kelenjar ludah kedalam kulit inangnya serta mengangkut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pinjal 1. Morfologi Pinjal Pinjal penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang memiliki bagian-bagian mulut seperti jarum (stilet) yang dapat masuk kedalam kulit

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengoleksian Kutu Tanaman

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pengoleksian Kutu Tanaman BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dengan mengoleksi kutu putih dari berbagai tanaman hias di Bogor dan sekitarnya. Contoh diambil dari berbagai lokasi yaitu : Kelurahan Tanah baru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pediculus Humanus Capitis Pediculus humanus capitis merupakan ektoparasit yang menginfeksi manusia, termasuk dalam famili pediculidae yang penularannya melalui kontak langsung

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pes merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Yersinia pestis. Pes termasuk penyakit karantina internasional. Di Indonesia penyakit ini kemungkinan timbul

Lebih terperinci

STUDI KEPADATAN TIKUS DAN EKTOPARASIT DI DAERAH PERIMETER DAN BUFFERPELABUHAN LAUT CILACAP Yudhi Cahyo Priyotomo

STUDI KEPADATAN TIKUS DAN EKTOPARASIT DI DAERAH PERIMETER DAN BUFFERPELABUHAN LAUT CILACAP Yudhi Cahyo Priyotomo STUDI KEPADATAN TIKUS DAN EKTOPARASIT DI DAERAH PERIMETER DAN BUFFERPELABUHAN LAUT CILACAP Yudhi Cahyo Priyotomo Email: yudhicahyo194@gmail.com ABSTRAC Rats are rodent that harm to human life and able

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di enam perkebunan buah naga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari tiga kabupaten. Kebun pengamatan di Kabupaten

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus)

PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) PENGARUH EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach) DENGAN PELARUT AIR TERHADAP MORTALITAS LARVA CAPLAK ANJING (Rhipicephalus sanguineus) R. DANG PINA MANGGUNG FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran kecil misalnya burung berencet kalimantan (Ptilochia

BAB I PENDAHULUAN. yang berukuran kecil misalnya burung berencet kalimantan (Ptilochia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki 1598 jenis burung dengan ukuran beragam ada burung yang berukuran kecil misalnya burung berencet kalimantan (Ptilochia leucogrammica), gemuk (Turnix

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai parasit sperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Parasit Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergangung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit sperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tungau Kethley (1982) menempatkan tungau sebagai anggota Filum Arthropoda, Sub Filum Chelicerata, Kelas Arachnida, Sub Kelas Acari. Ciri yang membedakan tungau

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id

KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit didik.dosen.unimus.ac.id Parasitologi Kesehatan Masyarakat KBM 8 : Arthropoda Sebagai Vektor dan Penyebab Penyakit Mapping KBM 8 2 Tujuan Pembelajaran Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa mampu menggunakan pemahaman tentang parasit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama 1. Penggerek Batang Berkilat Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan (1998) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK ANIEF NUGROHO.

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 7 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B

STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B STUDI INFESTASI CAPLAK PADA ANJING YANG DIPELIHARA DI SUBDIT SATWA DIT SAMAPTA BABINKAM POLRI, KELAPADUA DEPOK SKRIPSI DIAN NOVITA WIJAYANTI B04103159 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapang dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, pada bulan Mei

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PENGGANTIAN SEKAM DENGAN KEHADIRAN EKTOPARASIT PADA MENCIT (Mus musculus) ABSTRAK

PENGARUH FREKUENSI PENGGANTIAN SEKAM DENGAN KEHADIRAN EKTOPARASIT PADA MENCIT (Mus musculus) ABSTRAK PENGARUH FREKUENSI PENGGANTIAN SEKAM DENGAN KEHADIRAN EKTOPARASIT PADA MENCIT (Mus musculus) Armansyah Maulana Harahap 1),Endang Sulistyarini Gultom 2) Ahmad Shafwan S. Pulungan 2) 1 Laboratorium Biologi,

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api (Setothosea asigna van Eecke) berikut: Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG Terry Pakki 1), Muhammad Taufik 1),dan A.M. Adnan 2) 1). Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2005 sampai dengan Maret 2006 bertempat di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Trichogrammatidae) Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang bersifatgeneralis. Ciri khas Trichogrammatidae terletak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6138 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK

BALAI LITBANG P2B2 BANJARNEGARA IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK IDENTIFIKASI DAN PEMBEDAHAN NYAMUK Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Morfologi Telur Anopheles Culex Aedes Berbentuk perahu dengan pelampung di kedua sisinya Lonjong seperti peluru senapan Lonjong seperti

Lebih terperinci

Gambar 1 Ayam kampung (sumber:

Gambar 1 Ayam kampung (sumber: 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Kampung Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Ayam kampung telah berkembang pesat di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Hasil survei terhadap 30 responden di setiap lokasi mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG SKRIPSI LIDIA FAFARITA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Embriani BBPPTP Surabaya Gambar. Tanaman Tebu Yang Terserang Tikus Hama/pest diartikan sebagai jasad pengganggu bisa berupa jasad renik, tumbuhan, dan hewan. Hama Tanaman

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6130 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN (PHISICAL CHARACTERISTICS OF MANDALUNG HATCHING EGGS AND THE MALE AND FEMALE RATIO OF THEIR DUCKLING) Yarwin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium Oleh Ida Roma Tio Uli Siahaan Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima Oleh : Umiati, SP dan Irfan Chammami,SP Gambaran Umum Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman perkebunan industry berupa pohon batang lurus

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat III. MATERI DAN METODE 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di areal kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Identifikasi serangga dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tebu Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: Tracheobionta; Super Divisi: Spermatophyta ; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Liliopsida; Sub Kelas: Commelinidae;

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu mengadakan kegiatan pengumpulan data, menganalisis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta lokasi penelitian. loupe, kuas, sarung tangan, jaring serangga,

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta lokasi penelitian. loupe, kuas, sarung tangan, jaring serangga, 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perkebunan nanas di tiga desa yaitu Sempu, Sugihwaras, dan Manggis, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur (Gambar 1), yang

Lebih terperinci