V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng Populasi dan Penyebaran Populasi Keberadaan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami keterbatasan, baik dari segi informasi maupun penelitian mengenai kondisi bioekologi banteng maupun ukuran populasinya. Keterbatasan informasi ukuran populasi banteng disebabkan pula oleh kurangnya kegiatan inventarisasi dan pencatatan populasi secara berkala dari pengelola, sehingga pekembangan banteng setiap tahun sulit untuk diperoleh dan berakibat kurang optimalnya dalam proses pelaksanaan pengelolaan dan kelestariannya. Ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari beberapa hasil penelitian, informasi dari petugas dan berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar kawasan yang telah berinteraksi dengan keberadan banteng dan kawasan cagar alam terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang Tahun Jumlah Individu (Ekor) Jumlah Jantan Betina Anak (Ekor) Sumber ± 100 Hasil wawancara ± 100 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat ± 100 Hasil wawancara ± 100 Hasil wawancara ± 100 Hasil wawancara ± 90 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat ± 90 Hasil wawancara ± 90 Hasil wawancara Inventarisasi BKSDA Jabar II Inventarisasi BKSDA Jabar II Inventarisasi BKSDA Jabar II Subroto Inventarisasi BKSDA Jabar Permenhut No.58 tahun 2011 Kondisi populasi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perkembangan ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Data populasi banteng dari tahun merupakan informasi dari masyarakat dan media masa yang menyatakan bahwa populasi banteng pada saat itu berjumlah ratusan ekor dan mengalami penurunan,

2 38 yaitu kurang dari seratus ekor, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa minimal populasi banteng tersebut adalah 100 ekor dan 90 ekor, sedangkan pada tahun merupakan hasil inventarisasi petugas pada tahun tersebut. Populasi banteng dari tahun 1983 sampai 1984 terlihat ada peningkatan, hal ini diperkirakan karena adanya perbedaan perhitungan antara masyarakat yang menggunakan perkiraan, sedangkan petugas dengan metode inventarisasi satwa secara ilmiah atau berdasarkan imu inventarisasi satwa dengan metode terkonsentrasi (concentration count) di enam padang penggembalaan dengan beberapa pengamat dan line transek sampling. Ukuran populasi pada tahun 1996 berdasarkan penelitian Subroto (1996) merupakan jumlah populasi berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan pada tahun tersebut berdasarkan informasi masyarakat banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 17 ekor, terdiri dari 5 ekor jantan, 10 ekor betina dan 2 ekor anak. Populasi banteng dari tahun 1984 sampai tahun 2003 terlihat menurun bahkan mencapai angka nol. Mustari (2007) melakukan pengamatan terhadap keberadaan banteng di dalam kawasan pada bulan Juli 1997 tidak menemukan banteng maupun jejak banteng, demikian pula pada bulan Juli 2005 dan Juli 2006 dengan masing-masing pengamatan selama sepuluh hari. Penurunan populasi banteng di dalam kawasan diperkirakan terjadi karena banyaknya banteng yang ke luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare yang diduga akibat rusaknya padang penggembalaan di dalam kawasan cagar alam sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng, sedangkan di perkebunan PTPN VIII Mira Mare dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng, termasuk anakan pohon karet (Hevea brasiliensis), pohon kelapa dan rumput yang tumbuh di dalamnya sehingga banteng bebas beraktivitas dan melakukan perilaku sosialnya sampai berkembangbiak. Kondisi tersebut menyebabkan pihak perkebunan dan masyarakat merasa terganggu, sehingga dilakukan beberapa kegiatan, seperti penjeratan, pembuatan parit bahkan perburuan untuk mengurangi keberadaan populasi banteng tersebut yang akhirnya mencapai populasi nol pada tahun 2003.

3 39 Alikodra (1983) menyatakan bahwa fluktuasi populasi banteng dapat disebabkan oleh beberapa parameter populasi seperti angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin. Hal lainnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti aktivitas manusia dan daya dukung kawasan. Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari angka kelahirannya pada tahun , terus mengalami penurunan dengan masing-masing proporsi jenis kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 2, hanya pada tahun mencapai 1 : 5, sedangkan laju pertumbuhan tiap tahunnya berturur-turut adalah -19, -8, dan -13 ekor/tahun. Kondisi populasi banteng tersebut berarti menuju kepunahan yang diduga akibat angka kematian tinggi atau laju pertumbuhan banteng terganggu yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) perburuan sebagaimana yang akan dibahas pada bab sosial ekonomi masyarakat, (2) menurunnya kualitas dan kuantitas rumput di padang penggembalaan karena tidak terpelihara dan telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan serta penggembalaan ternak masyarakat, (3) aktivitas manusia yang mempengaruhi keadaan kualitas dan kuantitas makanan, air, pelindung dan ruang, seperti pemukiman di dalam kawasan, pencurian kayu dan dan aktivitas masyarakat di dalam kawasan lainnya, dan (4) kematian karena umur yang sudah tua. Penyebab lainnya diduga kurangnya informasi mengenai struktur umur dan kepadatan banteng sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya pengelolaan terhadap populasi dan habitatnya yang berakibat keberadaan banteng terancam dan memungkinkan terjadinya kepunahan dengan cepat Penyebaran Penyebaran banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil informasi wawancara dengan masyarakat tersebar di dalam dan di luar kawasan. Banteng di dalam kawasan tersebar di padang penggembalaan, sedangkan di luar kawasan tersebar di kebun dan halaman rumah masyarakat serta perkebunan karet milik PTPN VIII Mira Mare. Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penyebaran banteng selain di enam padang penggembalaan yang telah dibuat, masih ditemukan juga di blok Meranti, blok 23, blok 20, blok Cibunigeulis,

4 40 Bantarlimus, blok Ciniti dan blok Bekanta yang merupakan batas dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan PTPN Mira Mare yang saat ini masuk ke dalam kawasan PTPN Mira Mare. Padang penggembalaan yang menjadi penyebaran banteng terdapat di enam lokasi padang penggembalaan, antara lain Blok Cipalawah, Cijeruk, Cibako, Ciporeang, Cipadaruum dan Cidahon (SBKSDA II 1993a) Habitat Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan yang memiliki 4 tipe hutan, yaitu hutan mangrove, pantai, dataran rendah dan padang penggembalaan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kelangsungan hidup banteng ditentukan oleh keberadaan hutan, padang penggembalaan dan air. Komponen habitat banteng tersebut dapat menyediakan berbagai kebutuhan banteng, seperti pakan, air dan pelindung atau yang biasa dikenal dengan cover. 1. Pakan Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang masih ada sampai saat ini berdasarkan pengamatan dan informasi dari beberapa hasil penelitian, baik di Cagar Alam Leuweung Sancang (hasil penelitian Durahman 1998) maupun di habitat banteng lainnya yang secara ekologi hampir memiliki kesamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon serta informasi dari petugas cagar alam terdiri dari beberapa jenis tumbuhan yang biasa dimakan oleh banteng, yaitu terdapat pada Tabel 6. Jenis pakan banteng berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa dari tahun 1998 sampai saat ini masih tumbuh bahkan terdapat jenis lainnya, yaitu kirinyuh (Eupatorium inulifolium), kuciat (Ficus grossularioides), harendong (Melastoma malabatricum) dan kapol (Amonum cordomonum). Hal ini membuktikan bahwa jenis pakan banteng masih beragam dan dapat memenuhi kebutuhan pakan banteng.

5 41 Tabel 6 Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang Jenis Sumber Jenis yang Ditemukan Tumbuhan Bawah Alang-alang (Imperata cylindrical) Durahman (1998) Tepus (Ammomum coccineum) Durahman (1998) Langkap (Arenga obtusifolia) Durahman (1998) Rumput pait (Axonopus compressus) Durahman (1998) - Donax caniformis Kirinyuh (Eupatorium inulifolium) Kuciat (Ficus grossularioides) Harendong (Melastoma malabatricum) Pancang Kapol (Amonum cordomonum) Kanyere badak (Bridelia glauca) Keterangan : (Ada); - (Tidak ada) Durahman (1998) Informasi petugas lapang Informasi petugas lapang Alikodra (1983); Muntasib et al. (2000); BTNUK & WWF (2010) Alikodra (1983); Muntasib et al. (2000) Durahman (1998); BTNUK & WWF (2010) - Alikodra (1983) menyatakan bahwa jenis pakan yang sering dimakan oleh banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari jampang kawat (Ischaemum muticum), rumput blabahan (Panicum rapens), rumput pait (Axonopus compressus), rumput alang-alang (Imperata cylindrica), padi (Oryza sativa) dan teki (Cyperus bravifolia), sedangkan jenis bukan rumput, yaitu susuukan (Alysicarpus numumlarifolia). Jika dibandingkan dengan jenis pakan di Cagar Alam Leuweung Sancang, maka jenis pakan di kedua kawasan tersebut hanya memiliki dua jenis yang sama, yaitu rumput alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput pait (Axonopus compressus), sedangkan yang lainnya merupakan jenisjenis pakan yang berbeda. Alikodra (1983) menambahkan bahwa perbedaan komposisi jenis pakan banteng juga terjadi di Taman Nasional Baluran dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, demikian Santosa et al. (2007) menambahkan bahwa komposisi jenis di Taman Nasional juga berbeda dengan di kawasan lainnya, sehingga hal ini menggambarkan bahwa banteng merupakan satwa yang memiliki adaptasi tinggi terhadap makanannya. Perbedaan ini juga diperkirakan karena adanya perbedaan lokasi yang dapat mempengaruhi terhadap pertumbuhan jenis pakan yang akan dimakan banteng.

6 42 Tingkatan vegetasi jenis pakan yang ditemukan pada saat penelitian terdiri dari tingkat tumbuhan bawah dan pancang (lihat Tabel 6), sedangkan Durahman (1998) menyatakan bahwa jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari beberapa tingkatan vegetasi, yaitu tumbuhan bawah (23 jenis), pancang (19 jenis), tiang (14 jenis) dan pohon (18 jenis). Hal ini terlihat bahwa tingkatan vegetasi pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, baik dari jenis yang ditemukan pada saaat penelitian maupun dari penelitaian Durahman (1998) masih didominasi oleh tumbuhan bawah, sehingga membuktikan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang bersifat grazer. Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Hoogerwerf (1970), Alikodra (1983) bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon bersifat grazer, demikian Pudyatmoko (2005) dan Santosa et al. (2007) bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo. Akan tetapi hal ini berbeda dengan Pairah (2007) yang menyatakan bahwa diperkirakan memiliki kecenderungan sebagai browser yang terlihat dari jumlah komposisi pakannya di Taman Nasional Alas Purwo yang cenderung lebih banyak non rumput hingga mencapai 55 jenis dari 22 jenis rumput. Pendapat banteng bersifat browser dikuatkan pula oleh Muntasib et al. (2000) juga bahwa di Taman Nasional Ujung Kulon jenis non rumput hampir mencapai 48.2 %, dengan demikian hal tersebut tergantung dengan kondisi ekologi keberadaan banteng untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Sumber pakan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berasal dari padang penggembalaan yang telah ada sejak tahun 1960 dan pada tahun 1983 mulai dilakukan penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan pemeliharaan yang intensif sampai tahun Pemeliharaan intensif hanya dilakukan di blok Cipalawah dan Cibako karena kedua blok tersebut merupakan lokasi yang berbatasan langsung dengan PTPN VIII Mira Mare, sehingga pemeliharaan bertujuan untuk menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan cagar alam dan mencegah banteng tidak masuk ke areal perkebunan PTPN VIII Mira Mare. Kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi atau memonitoring keberadaan populasi banteng tersebut, pengelola cagar alam yang bekerjasama dengan PTPN VIII Mira Mare membuat menara pengamatan banteng di dua blok padang

7 43 penggembalaan tersebut. Menara pengamatan tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan dan tamu yang PTPN VIII Mira Mare yang sengaja ingin melihat secara langsung populasi banteng di dalam cagar alam. Sumber pakan lainnya diperoleh dari luar kawasan cagar alam, yaitu di dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare dan kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan cagar alam yaitu anakan pohon atau semai karet, pucuk kelapa, kulit karet muda dan tanaman masyarakat, seperti pisang dan singkong. Hal ini sama halnya dalam penelitian Alikodra (1983) bahwa pada daerah yang berbatasan dengan pemukiman penduduk di Taman Nasional Ujung Kulon, banteng menyukai tanaman padi dengan memakan daun dan buahnya, sehingga banteng tersebut dianggap sebagai hama oleh masyarakat setempat. Santosa et al. (2007) mendapatkan bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo mencari makan sampai luar kawasan, yaitu hutan tanaman milik Perhutani yang berbatasan dengan dengan kawasan tersebut. Oleh karena itu untuk mencegah keluarnya banteng keluar kawasan diperlukan pemeliharaan habitat terutama padang penggembalaan yang dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan. Kurangnya pemeliharaan padang penggembalaan akan berakibat rusaknya padang penggembalaan sehingga tidak mampu menyediakan kebutuhan pakan banteng dan mendukung aktivitas lainnya yang biasa dilakukan di padang penggembalaan tersebut. Rusaknya kondisi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang selain disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan juga diakibatkan karena debu letusan Gunung Galunggung pada tahun 1983 dan adanya tekanan gangguan masyarakat, seperti penebangan liar, perambahan hutan dan penggembalaan ternak sapi masyarakat di dalam kawasan, sehingga pertumbuhan tumbuhan/rumput terganggu dan mengalami suksesi dari tumbuhan bawah menjadi semak belukar bahkan tumbuh menjadi pohon. Jenis pohon yang tumbuh baik sampai saat ini dan yang baru tumbuh akibat tidak terpeliharanya padang penggembalaan, antara lain gebang (Corypha utan), mara (Macaranga tanarius), lame (Alstonia scholaris), pangsor (Ficus callosa), teureup (Artocarpus elastic). Suksesi tersebut diperkirakan terjadi selama tujuh tahun jika dihitung dari tahun

8 44 Penebangan kayu ilegal dan perambahan hutan yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang terjadi pada tahun baru dapat dihentikan pada tahun 2003 dan langsung mulai dilakukan kegiatan rehabilitasi, yaitu penanaman kembali jenis-jenis yang ada di kawasan bekas penebangan/perambahan, seperti kipahang (Pongamia pinnata), teureup (Artocarpus elastica), kenanga (Canangium odoratum), bayur (Pterospermum javanicum), hantap (Sterculia oblongata) dan salam (Syzygium polyanthum). Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil beberapa penelitian dapat dilihat Tabel 7. Jumlah padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang tersebar di enam lokasi dengan luas keseluruhan 130 ha, yaitu Blok Cipalawah 30 ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon 30 ha (SBKSDA Jabar II 1993a; Subroto 1996; Kusnandar 1997). Alikodra (1983) menyatakan bahwa padang penggembalaan merupakan habitat yang digunakan oleh banteng setiap harinya secara tetap untuk berkumpul, makan, istirahat, mengasuh dan membesarkan anak, kawin dan interaksi sosial lainnya dari jam WIB, sedangkan jam WIB kembali ke hutan untuk bersembunyi dan jam WIB mengunjungi tempat minum yang berdekatan dengan tempat bersembunyi. Penggunaan padang penggembalaan ini berbeda dengan Priyatmono (1996) yang menyatakan bahwa banteng yang berada di Taman Nasional Alas Purwo secara umum berada di padang penggembalaan pada pukul WIB untuk merumput di samping terdapat juga kelompok banteng lain dari banteng yang masuk ke padang penggembalaan pada pukul WIB, sedangkan Santosa et al. (2007) banteng sudah ditemukan di padang penggembalaan pada pukul WIB dan terlihat masih istirahat di bawah pohon yang terdapat di padang penggembalaan tersebut, bahkan terdapat kelompok banteng yang tidur semalam di padang penggembalaan dan mulai melakukan seluruh aktivitasnya pada pukul WIB dan keluar dari padang penggembalaan menuju hutan dataran rendah pada pukul WIB.

9 45 Tabel 7 Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang Padang Penggembalaan Cijeruk Cipalawah Cibako Ciporeang Cipadaruum Cidaon 1982 (Jenuyanti 2002) - 7 m dpl - rumput yang sengaja ditanam - menara dalam keadaan baik - pemeliharaan secara berkala - 10 m dpl; - posisi di tengahtengah hutan primer; - sumber air cukup; - pemeliharaan secara berkala - 58 m dpl; - Padang rumput; - pinggir hutan sekunder muda - 42 m dpl; - Padang rumput - 44 m dpl; - Padang rumput - sumber air cukup; - 75 m dpl; - Padang rumput - sumber air di tengah kawasan Kondisi (Tahun) (Jenuyanti 2002) (Subroto 1996) - 7 m dpl; - 7 m dpl; - masih ada - masih ada tanaman rumput tanaman rumput gajah gajah - Sebagian semak - Sebagian semak belukar belukar menara rusak m; berat; - menara rusak berat; - 10 m dpl; - posisi di tengahtengah hutan primer; - sumber air cukup; - sebagian ditumbuhi semak belukar - 58 m dpl; - semak belukar; - pinggir hutan sekunder muda - 42 m dpl; - sebagian ditumbuhi semak belukar - 44 m dpl; - mayoritas ditumbuhi semak belukar - sumber air cukup; - 75 m dpl; - Semak belukar - 10 m dpl; - posisi di tengahtengah hutan primer; - sumber air cukup; - semak belukar m - 58 m dpl; - mayoritas semak belukar; - pinggir hutan sekunder muda - 42 m dpl; - semak belukar m - 44 m dpl; - hutan sekunder; - sumber air cukup; - 75 m dpl; - hutan sekunder m dpl; - semak belukar dan pohon dengan tinggi 4 5 m - terdapat penggembal aan ternak masyarakat - 10 m dpl; - ditumbuhi oleh semak belukar dan pepohonan dengan tinggi ratarata > 4 m - 58 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi ratarata > 5 m - 42 m dpl; - Semak dan pohon dengan tinggi > 4 m - 44 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi ratarata > 4 m - 75 m dpl; - semak belukar dan pepohonan rata-rata > 5 m Perbedaan mengenai keberadaan padang penggembalaan yang digunakan oleh banteng berbeda pula dengan Lekagul & McNeely (1977) yang menjelaskan bahwa banteng mengalami perubahan dari merumput di daerah terbuka pada pagi

10 46 hingga sore hari menjadi merumput pada malam hari karena adanya gangguan. Sementara itu Halder (1976) berpendapat bahwa ada juga banteng yang tidak pernah berada di areal penggembalaan, karena ditemukan jejak banteng di hampir seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon kecuali di daerah rawa dan daerah bergunung yang curam, Hommel (1987) melaporkan sering melihat kawanan banteng di semak dan komunitas tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) yang lebat. Perbedaan penggunaan padang penggembalaan dapat disebabkan adanya perbedaan habitat yang menyebabkan perbedaan pola aktivitas banteng dalam penggunaan habitat. Santosa et. al. (2007) berdasarkan penelitiannya di Taman Nasional Alas Purwo, menjelaskan bahwa aktivitas banteng pada setiap tipe vegetasi relatif berbeda, yaitu aktivitas istirahat lebih banyak di lakukan di dataran rendah, mengasin di hutan pantai, dan aktivitas makan yang paling dominan dilakukan di hutan tanaman dan padang penggembalaan. Kontroversi tersebut dapat disebabkan pula oleh kegagalan dalam membedakan habitat yang disukai (prefered habitat) dan habitat yang dimanfaatkan (used habitat). 2. Ketersediaan Air Kebutuhan banteng terhadap air tawar dipenuhi dari sumber-sumber air alami, yaitu dari sungai-sungai yang berada di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang khususnya yang dekat dengan padang penggembalaan. Beberapa sungai dari arah barat sampai ke timur, antara lain: Sungai Cisanggiri, S. Cimerak, S. Cibaluk, S. Cikiray, S. Cijeruk, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipalawah, S. Cipanyawungan, S. Cipunaga, S. Cisakoja, S. Cibako, S. Cicukangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadaruum dan S. Cikaengan. Sungai-sungai yang sering digunakan oleh banteng berdasarkan informasi dari petugas adalah Sungai Cijeruk, Sungai Cipangikis, Sungai Cikolomberan, Sungai Cibako dan Sungai Cipadaruum. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian (Subroto 1996) bahwa beberapa sungai yang sering digunakan oleh banteng dan berdekatan dengan padang penggembalaan, yaitu Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan.

11 47 Kondisi air sungai maupun sumber air lainnya termasuk genangan air yang dijadikan sumber air yang digunakan banteng sampai saat ini masih terbilang jernih dan selalu ada di setiap musim, hanya saja air sungai tersebut akan sedikit berwarna kecoklatan pada saat terjadi hujan yang diperkirakan akibat adanya pengikisan tanah yang terbawa oleh air. Hal ini berbeda dengan kondisi genangan air yang berada di tengah padang penggembalaan Cijeruk walaupun terjadi hujan, akan tetapi kondisi airnya masih terlihat jernih. Mardi (1995) dan Durahman (1998) menyatakan bahwa sumber air lainnya berasal dari bak (tempat) penampungan air minum dengan lebar 90 cm, panjang 180 cm dan kedalaman 60 cm. Bak penampungan air tersebut pada saat penelitian sudah tidak ditemukan lagi dan berdasarkan informasi dari petugas cagar alam bak tersebut sudah tidak berfungsi sejak tahun Alikodra (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan air yang diperlukan oleh banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan pula air laut untuk memenuhi kebutuhan garam/mineralnya atau yang biasa disebut dengan istilah pengasinan diperoleh dari pantai yang berada di sekitar habitatnya. Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan suatu kawasan yang terdiri dari daratan dan lautan, sehingga kebutuhan banteng terhadap garam/mineral dapat dipenuhi langsung dari pantai yang berada di sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungaisungai sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan air tawarnya merupakan bagian hulu yang mengalirkan air ke laut. Kondisi ini menggambarkan kemudahan akses banteng terhadap kebutuhan air. Kebutuhan banteng terhadap garam diperkirakan bahwa tumbuhan di hutan hujan tropika termasuk hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, pada umumnya memiliki kandungan sodium (Na) yang rendah menyebabkan hewan-hewan herbivora memerlukan tambahan mineral yang biasanya diperoleh dari tempat pengasinan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon memnuhi kebutuhan mineralnya dari pantai, sedangkan banteng di Taman Nasional Baluran diketahui minum air payau di kubangan air sepanjang pantai yang dilakukan pada malam hari setelah jenis-jenis lain seperti babi hutan, rusa dan kerbau air selesai minum dan berkubang.

12 48 Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra (1983) menyatakan bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang akan mempengaruhi kelangsungan kehidupan satwa liar tersebut, dengan demikian kebutuhan banteng akan garam pun sangat penting untuk pertumbuhannya. 3. Pelindung/ Cover Alikodra (2002) menyatakan bahwa pelindung atau cover adalah struktur lingkungan yang dapat melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya, oleh karena itu dapat diartikan sebagai areal atau tegakan yang dapat berfungsi sebagai pelindung atau tempat bersembunyi dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Alikodra dan Sastradipradja (1983) menyatakan bahwa hutan di Taman Nasional Ujung Kulon seluas ha merupakan areal yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2007) bahwa banteng menggunakan hutan dataran rendah di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat beristirahat dan mencari makanan tambahan. Perbedaan penggunaan hutan ini diperkirakan adanya adaptasi banteng dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Tipe vegetasi hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan dataran rendah dan padang penggembalaan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan (ekosistem) yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air (Gambar 4).

13 49 Gambar 4. Kondisi pelindung ideal banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang (Modifikasi dari Alikodra 1983, 2010) Kesatuan ekosistem banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang terdiri dari sumber air laut, padang penggembalaan, sumber air tawar dan hutan telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh berubahnya tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang, terutama padang penggembalaan yang biasa digunakan oleh banteng menjadi tempat penggembalaan ternak masyarakat (Gambar 5a) dan menjadi semak belukar bahkan sebagian menjadi hutan sekunder (Gambar 5b). (a) (b) Gambar 5. Kondisi padang penggembalaan banteng saat ini (a) padang penggembalaan sebagai padang penggembalaan ternak kerbau (b) padang penggembalaan menjadi semak belukar Perubahan padang penggembalaan tersebut dapat mempengaruhi tempat berlindung banteng terutama untuk mencari pakan dan kegiatan sosialnya yang biasa dilakukan di padang penggembalaan. Alikodra (2002) menyatakan bahwa peranan pelindung terdiri dari tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat

14 50 penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hiding cover merupakan salah satu bentuk pelindung yang memiliki peranan bagi banteng bebas dari ancaman. Kerapatan hiding cover di Cagar Alam Leuweung Sancang yang digunakan oleh banteng sebagian besar di atas 40% (Durahman 1998), hal ini menunjukkan tingkat keamanan bagi banteng cukup baik. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa tinggi hiding cover ini apabila dibandingkan dengan tinggi bahu banteng yang mencapai tinggi 170 cm sudah dapat menghilangkan intaian predator dari jarak jauh. Selain itu dalam kondisi demikian banteng dapat dengan mudah mengenali pemangsanya dan melakukan persembunyian. Durahman (1998) menyatakan kerapatan tertinggi di Cagar Alam Leuweung Sacang adalah padang penggembalaan Cipalawah, yaitu mencapai 160 cm dan nilai persentase kerapatannya berkisar antara %. Hal ini menunjukkan bahwa Cagar Alam Leuweung Sacang memiliki hiding cover yang cukup baik. Basuni (1993) dan Alikodra (2002) menyatakan bahwa Thermal cover merupakan komponen yang sangat diperlukan oleh satwa untuk mencegah terbuangnya energi yang didapatkan atau penyesuaian terhadap perubahan temperatur. Hal ini menyebabkan banteng memerlukan struktur pohon yang memiliki kerapatan yang cukup untuk istirahat ataupun aktivitas lainnya. Hasil pengamatan terhadap thermal cover berdasarkan persen kerapatan penutupan vegetasi diperoleh bahwa padang penggembalaan Cijeruk mempunyai nilai kerapatan penutupan vegetasi 25%, Cipalawah 60% dan Cibako 54% (Durahman 1998). Kondisi hiding dan thermal cover ini didukung dengan pendapat masyarakat bahwa terdapat 3 ekor banteng jantan yang diperkirakan masih berada di Blok Cipalawah yang memiliki cover paling baik diantara padang penggembalaan lainnya. 4. Tutupan Lahan Lillesand (1994) menyatakan bahwa tutupan lahan merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan atau gambaran mengenai kondisi penutupan lahan berdasarkan persentasi tutupan tajuk pohon. Kondisi tutupan lahan yang dianalisis adalah kondisi tutupan lahan pada tahun 1996 dan 2003 berdasarkan citra landsat. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aktivitas perambahan yang terjadi pada tahun terhadap kondisi habitat dan

15 51 keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1996 terdiri dari hutan lahan kering primer, perkebunan dan pertanian, sedangkan pada tahun 2003 memiliki jenis tutupan lahan cukup beragam (Tabel 8). Tabel 8 Luas tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Hutan rawa sekunder Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Areal rehabilitasi (HTI) Semak belukar Perkebunan Pertanian Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering bercampur semak Tanah terbuka Pemukiman Tubuh Air Total Perbedaan jenis tutupan lahan ini diperkirakan karena pada tahun 2003 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi habitat dan adanya operasi wanalaga petugas cagar alam yang telah berhasil memberhentikan kegiatan perambahan yang berlangsung secara besar-besaran pada tahun sehingga mengalami kerusakan sampai ha atau 80% dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas adalah menanami kembali areal yang mengalami kerusakan dengan biji dan anakan pohon yang berada di dalam kawasan, seperti ketapang (Terminalia catappa), teureup (Artocarpus elastica), kenanga (Canangium odoratum), bayur (Pterospermum javanicum), hantap (Sterculia oblongata), salam (Syzygium polyanthum), kipahang (Pongamia pinnata), heras (Aleurites moluccana), nyamplung (Calophyllum inophyllum), putat (Barringtonia acutangula) yang memiliki jarak tanam hampir seragam, sehingga diinterpretasikan oleh citra landsat sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI). Luas tutupan lahan pada Tabel 6 terlihat bahwa luas perkebunan pada tahun 1996 adalah , sedangkan pada tahun 2003 mengalami pengurangan luas berturut-turut menjadi ha. Perkebunan tersebut terdiri dari perkebunan milik masyarakat dan perkebunan milik PTPN VIII Mira Mare yang didominasi

16 52 oleh pohon karet dan kelapa. Perkebunan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1996 berada di blok pemusnahan amunisi, blok Cibaluk dan Cijeruk yang merupakan perkebunan masyarakat yang dilakukan dengan cara merambah, sedangkan di Blok Cipalawah dan Cipunaga adalah perkebunan karet dan kelapa milik PTPN VIII Mira Mare yang tata batas kawasannya masih tumpang tindih dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (Gambar 6). Gambar 7. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 1996 Gambar 6. Peta tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 1996 Batas perkebunan PTPN VIII Mira Mare pada tutupan lahan tahun 2003 terlihat berada di luar batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan tutupan lahan perkebunannya telah berubah menjadi areal pertanian lahan kering bercampur semak dan areal rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas cagar alam pada tutupan lahan tahun 2003 (Gambar 7).

17 53 Gambar 7. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 2003 Luas tutupan lahan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup banteng terutama pakan adalah padang penggembalaan. Luas total awal 6 lokasi padang penggembalaan adalah 130 ha, akan tetapi pada tahun mengalami pengurangan menjadi ha, sehingga pada tahun 1984 dilakukan kegiatan pembukaan dan pemeliharaan kembali 6 padang penggembalaan tersebut untuk mengurangi pergerakan banteng ke luar kawasan karena adanya peningkatan populasi banteng yang mencapai 173 ekor pada tahun 1984, sehingga luas padang penggembalan menjadi 130 ha. Kondisi luasan padang penggembalaan tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun hanya dilakukan pemeliharan pada dua padang penggembalaan, yaitu blok Cijeruk (10 ha) dan Cipalawah (30 ha), sehingga luas total padang penggembalaan menjadi 40 ha (Subroto 1996). Luas total padang penggembalaan tersebut pada tahun 1993 mengalami penambahan menjadi 42 ha (Jenuyanti 2002). Luas padang penggembalaan berdasarkan tutupan lahan tahun 1996 telah berubah menjadi areal pertanian (blok Cijeruk), perkebunan (blok Cipalawah dan Cipunaga), dan hutan lahan kering primer (blok Ciporeang dan

18 54 Cidahon), sedangkan pada tahun 2003 blok Cijeruk, Cipalawah, Cipunaga dan Cidahon merupakan kawasan rehabilitasi bekas perambahan melalui operasi wanalaga, sedangkan sebagian pada blok Ciporeang telah menjadi pemukiman atau gubuk-gubuk tempat tinggal nelayan. Perubahan tutupan lahan di Cagar Alam Leuweung Sancang terlihat diakibatkan karena adanya peralihan fungsi menjadi areal pertanian, perkebunan, pemukiman, maupun pembukaan lahan oleh masyarakat dan belum jelasnya tata batas antara kawasan cagar alam dengan pihak perkebunan PTPN VIII Mira Mare yang telah ada sejak tahun 1915 dengan luas ha. Adanya perubahan tutupan lahan ini diperkirakan dapat menjadi salah satu faktor atau gangguan terhadap penurunan populasi banteng. 5. Bentuk dan Luas Kawasan Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberadaan banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang selain tutupan lahan adalah bentuk kawasan dan luas kawasan. Bentuk kawasan yang hampir membentuk persegi panjang memiliki tingkat kecepatan kepunahan spesies lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk lain, yaitu persegi dan bulat karena bentuk yang kompak dan teratur, misalnya lingkaran atau persegi empat, mempunyai garis keliling lebih kecil dari bentuk yang memanjang dan teratur mempunyai kementakan mengandung keanekaragaman jenis yang lebih besar (MacKinnon et al. 1990; MacArrthur et al. 1963; Soemarwoto 2004 dan Indrawan et al. 2007). Kawasan Cagar Alam leuweung Sancang yang hanya memiliki luas sebesar ha dapat mempengaruhi keberadaan dan pergerakan harian banteng di dalam kawasan tersebut karena banteng yang memiliki wilayah jelajah yang cukup luas. Alikodra (1983) dan Long (2003) menyatakan bahwa wilayah jelajah banteng, baik dalam keadaan berkelompok maupun soliter dapat mencapai > 1-2 km, bahkan banteng tua yang soliter dapat mencapai km. Dengan demikian, kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari wilayah jelajahnya yang diasumsikan sebagai jari-jari dalam sebuah lingkaran, sehingga digunakan rumus Πr² hanya dapat menampung kurang lebih 2-7 kelompok banteng ( dan

19 55 ; 2157 ha = km²), sedangkan untuk kelompok banteng tua hanya dapat menampung kurang lebih 1 ekor ( ). Satu kelompok banteng biasanya terdiri dari individu-individu jantan, betina dan anak-anaknya (Alikodra 1983) maka jika diasumsikan 1 kelompok terdiri dari jantan, betina dan anak, luas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang hanya mampu menampung 6-24 ekor, terlebih jika dihitung dari luasan total kawasan padang penggembalaan (130 ha), maka daya tampung jelajah banteng kurang lebih hanya 1 kelompok banteng. Oleh karena itu, luasan seharusnya agar keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ketika populasinya masih ada diperlukan perluasan kawasan secara keseluruhan maupun padang penggembalaan untuk menampung populasi banteng yang tertinggi (lihat Tabel 5), yaitu 173 ekor, maka penambahan luasnya sebesar km² atau ha ( ) x 173 ekor) km²). MacArrthur et al. (1963) dan Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa luas dan bentuk kawasan sangat mempengaruhi terhadap keberadaan spesies di dalamnya termasuk banteng karena jika terdapat tekanan/gangguan dari luar kawasan, termasuk aktivitas manusia berdasarkan teori tepi dan teori pulau maka akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies di dalamnya dan mendorong banteng tersebut ke luar dari dalam kawasan untuk mencari tempat yang lebih aman dan menghindari terjadinya kompetisi antar kelompok banteng dalam memperoleh pakan dan air. Pergerakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terbagi menjadi dua kategori, yaitu pergerakan harian dan pergerakan pada waktu tertentu. Subroto (1996) menyatakan bahwa contoh pergerakan harian yang dilakukan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang untuk memenuhi hidupnya adalah mencari pakan dari dalam kawasan cagar alam ke daerah PTPN VIII Mira Mare, sedangkan pergerakan pada waktu tertentu adalah pergerakan dari Sancang Timur yang meliputi blok Pos Bantarlimus dan daerah sekitar Cipadaruum, ke daerah Sancang Tengah, yaitu daerah sekitar Cipalawah, blok Meranti dan Blok Bekanta yang biasa dilakukan pada malam hari samapai menjelang pagi hari terutama saat bulan purnama untuk mencari pakan dan menghindari gangguan manusia.

20 56 MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa jumlah spesies yang dapat dipertahankan suatu cagar pada tingkat keseimbangan akan bergantung pada ukuran, jarak ke kawasan lain yang sama habitatnya dan kemampuan penyebaran spesies tersebut, sehingga jika kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang akan dipertahankan sebagai habitat banteng dengan cara diadakan kegiatan reintroduksi banteng dari habitat banteng yang hampir memiliki kesamaan baik secara geografis maupun biotik dan abiotik kawasan, seperti banteng yang berada di Taman Nasional Ujung Kulon, maka diperlukan penambahan kawasan penyangga yang dapat mendukung keberadaan atau kelangsungan hidup banteng jika terdapat gangguan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kawasan penyangga tersebut dapat bekerjasama dengan kawasan perkebunan yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu PTPN VIII Mira Mare untuk bekerjasama menjaga dan melestarikan keberadaan banteng dengan cara kegiatan ekowisata banteng atau kegiatan lainnya, sehingga para pihak termasuk masyarakat yang berada di sekitar kawasan dapat dilibatkan secara langsung dalam kegiatan tersebut dan diharapkan dapat mengurangi interaksi masyarakat ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang Daya Dukung Kawasan Daya dukung banteng didalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dengan membandingkan dengan nilai produktivitas padang penggembalaan di Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini dilakukan karena Cagar Alam Leuweung Sancang tidak memiliki data yang lengkap mengenai produktivitas rumput secara berkala dan pada saat penelitian tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran produktivitas rumput karena kondisinya yang telah menjadi semak belukar dan hutan sekunder (Tabel 7), sehingga dilakukan perbandingan dengan kawasan yang memiliki kondisi ekologi hampir mirip dengan Cagar Alam Leuweung Sancang. Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan kondisi biofisik kawasan dan iklim mikro memiliki beberapa persamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara lain: kondisi topografi kawasan yang sama, yaitu kombinasi dataran landai dan perbukitan, klasifikasi iklim berdasarkan Schmidt dan

21 57 Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim B, yaitu tipe basah dengan nilai Q (Quontient) sebesar % dimana Q adalah persentase perbandingan antara rata-rata jumlah bulan kering dengan rat-rata bulan basah, dengan temperatur udara berkisar C dan data curah hujan kawasan adalah mm/tahun (Renstra 2010). Iklim mikro ini merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk banteng, sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar (Alikodra 2002). Banteng secara normal akan memakan hijauan setinggi 1/3 bagian dari pucuknya dan pertumbuhan yang diperlukan oleh rumput setelah dimakan banteng untuk mencapai kondisi sebelum dimakan banteng adalah 5 hari (Widyatna 1982), oleh karena itu untuk menghitung produktivitas banteng diperlukan perlakuan pemotongan terhadap rumput yang dimakan oleh banteng tersebut. Kebutuhan makan banteng rata-rata per hari adalah kg, sehingga daya dukung banteng di padang penggembalaan adalah 2-3 ekor/ha (Alikodra 1983), maka daya dukung di enam lokasi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas total 130 ha dapat diasumsikan bahwa daya dukungnya adalah 130 ha x 2-3 ekor/ha = ekor. Daya dukung banteng ini akan berbeda jika dihitung berdasarkan daya dukung di Cijungkulon yang memiliki luas 15 ha adalah 17 ekor (Dharmakalih 1997), maka daya dukung di Cagar Alam Leuweung Sancang adalah x 17 ekor = 147 ekor. Populasi banteng tertinggi pada Tabel 5 terjadi pada tahun 1984 sebanyak 173 ekor, maka daya dukung banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika dibandingkan dengan pendapat Alikodra (1983) masih dalam kondisi normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pendapat Dharmakalih (1997) bahwa terjadi over populasi karena melebihi daya dukungnya, yaitu sebanyak 26 ekor ( ekor).

22 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan Jumlah Penduduk Jumlah penduduk sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi terhadap keberadaan banteng karena dengan banyaknya jumlah penduduk di sekitar kawasan cagar alam dikhawatirkan akan mendorong masuk ke dalam kawasan semakin tinggi, sehingga mengancam keberadaan banteng baik dari segi populasi maupun habitatnya. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1993 jumlah penduduk mencapai jiwa mengakibatkan luas tutupan lahan perkebunan mencapai ha dan rusaknya padang penggembalaan serta populasi mengalami penurunan dari tahun 1984 sebanyak 173 ekor menjadi 64 ekor pada tahun 1992 bahkan pada tahun 2003 telah dinyatakan punah atau tidak ditemukan lagi. Jumlah penduduk di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 9. Keberadaan masyarakat di sekitar habitat banteng sangat menentukan terhadap keberadaan banteng. Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusia lebih rendah. Suhadi (2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menambahkan bahwa populasi banteng di Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan yang disebabkan tingginya aktivitas manusia. Tabel 9 Jumlah penduduk sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang No. Desa Jumlah Penduduk (Jiwa) Karyamukti Sagara Sancang Jumlah Sumber : Monografi Desa-desa di Kecamatan Cibalong Tahun 1993, 1994, 1996 dan Karakteristik Masyarakat Karakteristik adalah sifat-sifat yang melekat dan dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungan hidup. Karakteristik masyarakat sangat penting diketahui untuk menentukan hubungan antara

23 59 keberadaaan masyarakat dengan kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Karakteristik masyarakat diketahui dari hasil wawancara secara mendalam dengan jumlah responden sebanyak 64 orang. Karakteristik yang diamati meliputi umur, asal, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Tabel 10). Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Cagar Alam Leuweung Sancang 1. Asal a. Desa Sancang b. Desa Karyamukti c. Cibalong d. Pameungpeuk 2. Kelas umur a. < 40 tahun b tahun c tahun d tahun e. > 70 tahun e. 3. Tingkat Pendidikan a. SD b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat 4. Pekerjaan a. Nelayan b. Petani c. Juru kunci d. Pedagang e. Pensiunan PPA f. Pensiunan 5. Pendapatan rata-rata per bulan a. < Rp ,- b. Rp ,- > Rp ,- Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%) Mayoritas responden berasal dari Desa Sancang (81%) yang merupakan masyarakat asli dari daerah sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang telah tinggal semenjak tahun 1960an dan berinteraksi langsung dengan keberadaan banteng. Desa Sancang khususnya blok Plang merupakan salah satu kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dirambah menjadi pemukiman dan perkebunan masyarakat dengan luas ± ha (SSKSDA Garut 1995). Kampung Sancang atau yang dikenal dengan blok Plang juga memberikan kemudahan akses untuk masuk ke dalam kawasan cagar alam, baik untuk

24 60 pengunjung yang akan berziarah maupun untuk masyarakat sekitar dan luar kawasan. Responden lainnya berasal dari Desa Karyamukti (2%), Desa Cibalong (8%) dan Desa Pameungpeuk (9%). Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Responden yang berasal dari Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan para nelayan yang setiap harinya sengaja datang untuk mengambil hasil laut, seperti ikan dan rumput laut. Umur responden secara keseluruhan bervariasi mulai dari di bawah 40 tahun sampai di atas 70 tahun, dengan mayoritas berusia tahun sebanyak 41%. Sebagian masyarakat berumur di bawah 40 tahun (%), umur 5-60 tahun (20%), umur tahun (24%) dan umur di atas 70 Tahun (9%). Rata-rata responden melihat langsung keberadaan banteng, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di luar kawasan, yaitu di sekitar PTPN VIII Mira Mare bahkan ada yang pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng sebanyak 5 orang, sehingga hal ini mendukung informasi mengenai banteng lebih dapat dipercaya. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang mayoritas 94% adalah lulusan SD, 31% lulusan SMP dan 3% lulusan SMA. Hal ini dikarenakan masyarakat pada jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan dan terbatasnya biaya, sehingga mendorong anak-anak untuk membantu orang tuanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Alasan lain adalah akses terhadap pendidikan dinilai cukup jauh sehingga mendorong masyarakat tidak mau untuk menempuh perjalanan tersebut. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk tetap tinggal di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat tersebut, bahkan sekarang ini menjadi salah satu syarat bagi tenaga kerja untuk memperoleh kesempatan kerja yang lebih besar. Pekerjaan masyarakat sekitar kawasan pada umumnya (73%) adalah nelayan, sedangkan sebagian lagi adalah petani (9%), juru kunci (12%), pedagang (2%), pensiunan perkebunan (2%) dan pensiunan kehutanan atau PPA (2%). Kondisi pekerjaan ini

25 61 menunjukkan bahwa pekerjaan yang masyarakat lakukan memang tidak membutuhkan tingkat pendidikan formal yang tinggi, kecuali pensiunan perkebunan dan kehutanan yang membutuhkan pendidikan formal minimal Sekolah Menengah Atas. Pendapatan masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 84% memiliki pendapatan rata-rata antara Rp (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp (satu juta rupiah) per bulan, 13% berpendapatan lebih dari Rp (satu juta rupiah) per bulan dan sebanyak 3% berpendapatan kurang dari Rp (lima ratus rupiah) per bulan. Mayoritas masyarakat yang memiliki pendapatan antara Rp (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp (satu juta rupiah) merupakan masyarakat nelayan yang tergantung pada hasil tangkapannya di laut, sehingga mayoritas pendapatan masyarakat ini berdasarkan informasi dari petugas PT Perkebunan Nusantara VIII Mira Mare dan petugas Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut tidak dapat dikatakan berada di atas Upah Minimum Kabupaten Garut tahun 2010 sebesar Rp (tujuh ratus tiga puluh lima ribu rupiah) dan tahun 2011 sebesar Rp (delapan ratus dua ribu rupiah). Kondisi masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah Upah Minimum Kabupaten diperkirakan dapat mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berbeda dengan juru kunci yang memiliki pendapatan lebih dari Rp (satu juta rupiah) jika pengunjung/peziarah tidak terlalu banyak, akan tetapi sebaliknya jika musim pengunjung banyak, yaitu setiap malam jumat kliwon pada perhitungan kalender jawa dan bulan Maulud tahun Hijriyyah penghasilan juru kunci dapat mencapai 10 juta rupiah. Pendapatan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap intensitas interaksi ke dalam kawasan dan penggunaan sumber daya alam yang berada di sekitarnya karena pada dasarnya masyarakat memerlukan nilai ekonomi dari suatu sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaruh dari kondisi demikian dapat terjadi pada banteng, jika masyarakat tidak mampu untuk membeli daging yang dinilai harganya cukup mahal dan keberadaan banteng dianggap mengganggu kebun yang dijadikan sebagai sumber pendapatannya, maka hal ini

26 62 tidak dapat dipungkiri bahwa masyarkat akan mengambil atau berusaha memburu keberadaan banteng tersebut, baik untuk dikonsumsi ataupun dijual sebagai sumber pendapatannya Pengetahuan mengenai Banteng Masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang rata-rata memiliki pengetahuan terhadap keberadaan banteng sejak tahun 1960 sampai 2002 dan pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng tersebut, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan yaitu ke dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare bahkan ke halaman rumah atau perkebunan pisang masyarakat. Pengetahuan keberadaan banteng lainnya, yaitu melihat banteng secara langsung di padang penggembalaan dan yang sedang melintas/berada di tengah jalan. Pengetahuan masyarakat mengenai banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang meliputi keberadaan, perburuan, distribusi daging dan konflik atau permasalahan dengan banteng. Persentase pengetahuan mengenai banteng dapat dilihat pada Tabel 11. Pengetahuan mengenai banteng 1. Keberadaan banteng 2. Perburuan banteng 3. Distribusi daging banteng a. Dimakan b. Dijual 4. Konflik banteng Tabel 11 Pengetahuan masyarakat mengenai banteng Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%) Keberadaan banteng saat ini berdasarkan informasi masyarakat tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun 2003, begitu pula dengan hasil inventarisasi petugas pada tahun yang sama tidak ditemukan jejak keberadaan banteng. Akan tetapi sebagian masyarakat mengaku bahwa beberapa bulan pada tahun 2011, yaitu bulan April dan Mei memperkirakan masih memperkirakan keberadaan banteng dari suara dan jejak kaki di blok Cipalawah dan Cijeruk, yaitu 3 ekor banteng jantan, akan tetapi keberadaan jejak banteng berdasarkan informasi dari masyararakat tersebut selama penelitian tidak ditemukan. Hal ini menguatkan bahwa banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami kepunahan karena walaupun berdasarkan informasi masyarakat masih terdapat 3 ekor banteng jantan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Banteng Taksonomi dan Morfologi Banteng

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Banteng Taksonomi dan Morfologi Banteng II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banteng 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu

III. METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu 25 III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III, Seksi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT

2015 STRUKTUR VEGETASI DAN KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PANTAI DI HUTAN PANTAI LEUWEUNG SANCANG, KECAMATAN CIBALONG, KABUPATEN GARUT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai sekitar 80.791,42 km (Soegianto, 1986). Letak Indonesia sangat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI 3.1. Umum Danau Cisanti atau Situ Cisanti atau Waduk Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Secara geografis Waduk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WILAYAH JELAJAH BANTENG (Bos javanicus d Alton, 1832) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR

ANALISIS POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WILAYAH JELAJAH BANTENG (Bos javanicus d Alton, 1832) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR ANALISIS POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WILAYAH JELAJAH BANTENG (Bos javanicus d Alton, ) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR (Analysis on the Pattern of Spatial Use and Home Range of Bull Bos javanicus

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEPUNAHAN BANTENG (Bos javanicus) DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG JAWA BARAT RENI SRIMULYANINGSIH

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEPUNAHAN BANTENG (Bos javanicus) DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG JAWA BARAT RENI SRIMULYANINGSIH FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEPUNAHAN BANTENG (Bos javanicus) DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG JAWA BARAT RENI SRIMULYANINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Geografis Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah dataran yang sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian wilayahnya dimanfaatkan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

KESINPULAN DAN SARAN. ponen habitat utama yang terdiri dari daerah. hutan, daerah terbuka bertumbuhan rumput, sumber air

KESINPULAN DAN SARAN. ponen habitat utama yang terdiri dari daerah. hutan, daerah terbuka bertumbuhan rumput, sumber air I KESINPULAN DAN SARAN, Kesimpulan 1. Untuk melestarikan kehidupan banteng diperlukan kom- ponen habitat utama yang terdiri dari daerah ber- hutan, daerah terbuka bertumbuhan rumput, sumber air tawar dan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT. Ratah Timber merupakan salah satu perusahaan swasta nasional yang memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengelola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA > MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.18/Menhut-II/2004 TENTANG KRITERIA HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai 1 I. PENDAHULUAN Keanekaragaman tumbuhan menggambarkan jumlah spesies tumbuhan yang menyusun suatu komunitas serta merupakan nilai yang menyatakan besarnya jumlah tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat

Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat PENDAHULUAN Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah sebesar 155.871,98 ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan 7 kelurahan.

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

VALUASI EKOSISTEM DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR PROVINSI MALUKU UTARA

VALUASI EKOSISTEM DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR PROVINSI MALUKU UTARA VALUASI EKOSISTEM DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KABUPATEN HALMAHERA TIMUR PROVINSI MALUKU UTARA 5/14/2012 Dewi Lestari, Chandra T Putra, Muhammad Fahrial, M Hijaz Jalil, Fikri C Permana, Medi Nopiana, Arif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci