II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Pelepasan Bahan Radionuklida Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada prinsipnya sama dengan pembangkit listrik lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air, tenaga uap, dan batubara yaitu membangkitkan listrik dengan memutar turbin. Perbedaannya terletak pada sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Pada PLTN energi berasal dari hasil reaksi fisi nuklir dalam reaktor. Salah satu jenis reaktor yang akan digunakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir di Jepara adalah reaktor jenis reaktor air ringan bertekanan (pressurized water reaktor, PWR) yang secara diagram komponen utamanya ditunjukkan Gambar 2 Bejana Pengungkung Kendali Tekanan Batang Kendali Uap Pembangkit uap Turbin Generator Teras Bejana Tekan Pompa primer Kondenser Kanal buang pendingin sekunder Pompa pengumpan air Sumber: Gambar2 Komponen utama reaktor jenis PWR Komponen utama reaktor terdiri dari teras reaktor (fuel core), bejana tekan, batang kendali, kendali tekanan, dan pembangkit uap (OECD-IAEA 2002; IAEA 1997c. Teras reaktor yaitu susunan bahan bakar uranium sekaligus tempat terjadinya reaksi fisi yang menghasilkan energi dan bahan radionuklida yang sangat bersifat radioaktif. Komponen bejana tekan (pressure vessel), yaitu bejana

2 11 tempat teras dan pendingin teras berada. Bejana ini diberi tekanan sedemikian rupa, sehingga pendingin tidak mengalami pendidihan sebelum sampai ke komponen pembangkit uap (steam generator). Pada pembangkit uap, pendingin primer dengan suhu dan tekanan tinggi berubah menjadi uap untuk disalurkan ke turbin. Batang kendali berfungsi untuk mengendalikan daya reaktor dalam kondisi transient maupun tunak atau steady state. Komponen lain berupa kendali tekanan atau pressurizer digunakan untuk mengendalikan tekanan yang ada pada bejana tekan melalui dinamika fluktuasi ketinggian pendingin pada tabung pengontrol tekanan (pressurizer). Seluruh komponen reaktor dikungkung dalam suatu pengungkung atau containment untuk menghindarkan pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan, bila terjadi kecelakaan. Komponen lain di luar reaktor adalah turbin dan generator yang digunakan untuk membangkitkan listrik, dan komponen kondensor beserta pompa feed waternya untuk sirkulasi air pendingin ke pembangkit uap Proses Pembangkitan Listrik Akibat terjadinya reaksi inti, panas dibangkitkan pada teras reaktor. Untuk mempertahankan suhu teras, maka air pendingin dialirkan dengan tekanan operasi bar (15 sampai 16 Mpa). Oleh karena itu suhu pendingin dapat mencapai suhu sangat tinggi tanpa mengakibatkan perubahan fasa air, dari fasa cair ke fasa uap. Untuk mengendalikan tekanan pada sistem primer terdapat pressurizer yang prinsip kerjanya seperti manometer. Pendingin dengan suhu tinggi kemudian dialirkan ke sistem pembangkit uap (steam generator) yang tekanannya dirancang lebih rendah yaitu 60 bar atau 6 Mpa. Sebagai akibatnya air pendingin yang mengalir dari sistem primer menjadi mendidih dan menghasilkan uap. Uap panas inilah yang selanjutnya diumpankan ke dalam turbin untuk menggerakkan generator. Selanjutnya, oleh transformer, tegangan yang dihasilkan generator dikonversi ke besar tegangan yang siap didistribusikan ke jaringan listrik. Uap yang keluar dari turbin kemudian dikondensasi dalam kondensor dan diumpankan kembali ke dalam pembangkit

3 12 uap. Demikian sirkuit pendingin primer reaktor bekerja untuk menghasilkan energi dan produk fisi lainnya Pembangkitan Panas dan Radionuklida Hasil Fisi Proses pembangkitan panas dan timbulnya radionuklida berawal dari terjadinya tumbukan neutron terhadap inti atom 235 U yang tidak stabil. Hasil tumbukan ini menyebabkan terbelahnya inti 235 U menjadi dua bagian besar (kelompok 90 Sr dan 143 Xe beserta kombinasi lainnya) sambil melepaskan energi dan dua atau tiga netron seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 Proses terjadinya reaksi fisi (OECD 2003) Jumlah massa hasil belah dan neutron yang terlepas setelah fisi ternyata lebih kecil dari jumlah massa uranium dan neutron sebelum bertumbukan. Selisih massa inilah yang kemudian menjadi energi menurut rumus Einstein, E=mc 2. Energi (E) yang dihasil untuk setiap pembelahan adalah sebesar 2 MeV dan akan terakumulasi selama reaktor beroperasi sehingga menimbulkan panas. Dua atau tiga neutron yang dihasilkan juga mengalami tumbukan dengan uranium lain sehingga terjadi reaksi ini berikutnya, demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi

4 13 berantai. Dalam bentuk rumus reaksi berantai digambarkan seperti pada persamaan reaksi berikut ini. 1 n U X 1 + X X n + 1 n + E Keterangan: 1 n : neutron termal 235 U : unsur uranium X 1 : unsur radioaktif 1 hasil belah 235 U X 2 : unsur radioaktif 2 hasil belah 235 U X n : unsur radioaktif n hasil belahan 235 U E : energi (MeV). Bahan radionuklida yang terbentuk sebagai hasil fisi akan tetap tersimpan dalam kristal uranium atau bahan bakar dan jumlahnya akan semakin membesar. Jumlah radionuklida hasil fisi (X i ) yang terjadi dihitung dengan menggunakan persamaan diferensial derajat satu non-homogenous (ORNL 1996), dx dt i N N = lijλ j X j + φ f j= 1 k= 1 ik σ k X k ( λ + φσ i i + r ) X i i + F i i = 1..., N (2.1) Keterangan, X i : kerapatan atom nuklida i X j : kerapatan atom nuklida lain j X j : kerapatan atom nuklida lain k N : jumlah nuklida l ij : fraksi peluruhan nuklida lain j untuk membentuk nuklida i. λ i : tetapan peluruhan φ : fluks rata-rata pada energi dan posisi tertentu f ik : fraksi serapan neutron oleh nuklida lain untuk membentuk nuklida i. σ k : tampang lintang rata-rata penyerapan neutron nuklida k r i : continuous removal rate nuklida i dari sistem F i : continuous feed rate nuklida i. Bila terdapat sebanyak N nuklida yang menjadi obyek perhitungan maka akan terdapat sebanyak N persamaan dalam bentuk yang sama. Perhitungan besar kandungan (inventory) dilakukan dengan menggunakan berbagai program komputer yang sudah banyak tersedia seperti Origen versi 2.1. Untuk memudahkankan memahami dampak yang ditimbulkan oleh bahan radionuklida, berbagai jenis radionuklida yang dihasilkan dalam reaksi fisi dikelompokkan dalam beberapa kelompok tergantung pada sifatnya. Dalam pembahasan ini pengelompokan dibuat dalam tujuh kelompok seperti terlihat pada Tabel 1. Radionuklida tersebut ada yang dihasilkan langsung dari hasil fisi dan ada juga yang merupakan hasil turunannya.

5 14 Tabel 1 Pengelompokan radionuklida dalam 7 kelompok Group Elemen Keterangan Sifat 1 Kr, Xe Gas mulia Tidak dapat difilter 2 I, Br Halogen Mengendap di gondok 3 Rb, Cs Logam alkali Umur paroh panjang 4 Te, Se Telerium Group 5 Ba, Sr Barium, Strontium Mengumpul di tulang 6 Co, Mo, Tc, Ru, Rh Logam mulia 7 Y, Zr, Nd, Eu, Nb, Pm, Pr, Sm, Y, Cm, Am, Ce, Pu, Np Lantanida dan Cerium group (Soffer et al. 1995) Pelepasan sumber radionuklida ke lingkungan Bahan radionuklida hasil fisi harus tetap dipertahankan berada di dalam kristal uranium atau bahan bakar dengan membuat rancangan elemen bakar, teras reaktor, dan pemasangan sistem keselamatan sedemikian rupa sehingga sangat kecil kemungkinan radionuklida terlepas ke lingkungan. Hanya dalam kondisi kecelakaan yang sangat parah saja reaktor PLTN dapat menjadi ancaman yang membahayakan keselamatan manusia dan lingkungan. Dimana sejumlah tertentu bahan radionuklida hasil fisi beserta turunannya akan terlepas ke ruang kerja maupun lingkungan. Ada beberapa skenario kecelakaan yang dapat menimbulkan kerusakan integritas bahan bakar nuklir. Secara garis besar skenario ini dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu kecelakaan yang dijadikan basis rancangan (Design Basis Accident) dan kecelakaan yang parah (Severe Accident) (IAEA 2000). Jenis-jenis kecelakaan yang dijadikan Design Basic Accident disebut sebagai jenis kecelakaan awal yang dipostulasikan (Postulated Initiating Event). Secara rinci jenis-jenis kecelakaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan jenisjenis kecelakaan ini dilakukan analisis keselamatan reaktor dengan tujuan agar sistem reaktor yang akan dibangun telah diuji dapat mengatasi jenis-jenis kecelakaan tersebut bila terjadi. Apabila kecelakaan yang dijadikan basis tersebut diikuti oleh kegagalan fungsi keselamatan lain yang menyebabkan tidak teratasinya kecelakaan yang lebih besar disebut kecelakaan parah (severe accident). Kecelakaan jenis ini

6 15 memungkinkan lepasnya bahan radionuklida ke lingkungan. Jenis kecelakaan tersebut antara lain: a) hilangnya pasokan listrik untuk periode tertentu, b) hilangannya secara total air pengisi untuk suatu periode waktu, c) hilangnya air pendingin bersamaan dengan kegagalan pada sistem pendingin teras darurat (emergency core cooling system, ECCS) dan kehilangan pendingin yang diikuti kegagalan sistem resirkulasi air. Tindakan mencegah terjadinya kecelakaan yang menyebabkan pelepasan bahan radionuklida maupun langkah mengurangi dampak pelepasan tersebut disebut tindakan keselamatan nuklir. Sedangkan tindakan yang diambil untuk mencegah penduduk atau lingkungan terhadap bahaya pelepasan bahan radionuklida disebut tindakan proteksi radiasi. Implementasi keselamatan nuklir diterapkan dengan prinsip pertahanan berlapis atau dikenal dengan Defence in Depth (IAEA 1997d) yang meliputi 5 aspek lapis pertahanan seperti yang diuraikan dalam Tabel 2. Lapis Pertahanan Lapis 1 Lapis 2 Lapis 3 Lapis 4 Lapis 5 Sasaran Tabel 2 Lapis pertahanan defense in depth Mencegah operasi yang tidak normal atau kegagalan fungsi keselamatan Mengontrol operasi yang tidak normal dan deteksi kegagalan Pengendalian kecelakaan yang masih dalam basis skenario kecelakaan Pengendalian kondisi instalasi yang rusak parah termasuk pencegahan perluasan kecelakaan dan pengurangan akibat kecelakaan parah Pembatasan akibat radiologi dari pelepasan bahan radionuklida (Sumber : IAEA 1997d) Metode Membuat rancangan yang konservatif dan kualitas konstruksi dan operasi yang tinggi Pengendalian, pembatasan dan proteksi sistem dan peralatan surveilance lainnya. Tindakan keselamatan secara keteknikan dan prosedur kecelakaan. Menggunakan peralatan pencegahan dan manajemen kecelakaan Tindakan darurat luar kawasan Sebagai lapis pertama dalam prinsip defence in depth ini adalah membuat rancangan dan kualitas konstruksi yang tinggi. Dalam hal ini rancangan sistem pengungkung reaktor merupakan salah satu penerapan prinsip defence in depth

7 16 untuk mencegah terlepasnya bahan radionuklida ke lingkungan. Gambar 4 menunjukkan contoh rancangan sistem pengungkung reaktor. Gambar 2.3 Sistem pengungkung reaktor (KNSP) 2 Kelongsong Elemen Bakar 5. Struktur beton baja 4. Pengungkung (Containment) 3. Sistem Pendingin Kolam 1 Kisi Kristal Elemen Bakar Gambar 4 Sistem pengungkung reaktor Pelepasan Bahan Radionuklida Pada Kondisi Normal Pada kondisi normal hanya gas mulia (kelompok 1) dan bahan yang bersifat mudah menguap yang mungkin keluar dari teras maupun sistem pendingin primer reaktor. Reaktor dirancang sedemikian rupa, sehingga bahan radionuklida lain tersebut tidak keluar dari pengungkung reaktor ke lingkungan. Apabila karena sifatnya yang mudah menguap dan tidak dapat dihindari pelepasannya, maka melalui rancangan reaktor pelepasan ini dibuat sedemikian rupa sehingga pelepasannya ke lingkungan menjadi serendah mungkin ( As Low As Reasonably Achievable, ALARA). Jumlah yang keluar tersebut bukan saja berasal dari hasil fisi dan aktivasi bahan bakar, tetapi juga dari hasil fisi dan aktivasi bahan pengotor pada sistem primer Pelepasan bahan radionuklida pada kondisi kecelakaan Pelepasan pada kondisi kecelakaan sangat tergantung jenis kecelakaannya seperti yang telah diuraikan terdahulu. Kecelakaan ini ada yang dapat memicu

8 17 pelepasan bahan radionuklida, ada pula yang tidak. Dalam kaitannya dengan analisis pelepasan bahan radionuklida ini, maka jenis kecelakaan yang dijadikan dasar perhitungan adalah jenis kecelakaan parah yang menyebabkan terjadinya kerusakan teras (core damage). Kerusakan teras terjadi bila panas yang diambil pendingin lebih kecil dari panas yang dihasilkan teras. Suhu dapat naik sampai pada titik tertentu yang menyebabkan integritas bahan bakar tidak dapat dipertahankan lagi. Kondisi ini dapat dicapai pada kecelakaan kehilangan pendinggin (Loss of Coolant Accident) yang walaupun reaksi nuklir cenderung sudah terhenti, tetapi sisa panas tidak dapat dihilangkan oleh sisa pendingin yang ada. Sedang pada kasus reaktivitas transient, kondisi kerusakan teras dapat dicapai bila laju kenaikan panas teras sangat cepat tetapi kemampuan pendingin tidak cukup untuk menarik panas tersebut. Bila kerusakan teras terjadi, maka produk fisi yang ada dalam teras elemen bakar lepas ke sistem pendingin melalui pelelehan ataupun rusaknya integritas bahan bakar. Proses pelelehan ataupun kerusakan teras dapat terjadi karena akumulasi panas teras telah sampai melebihi titik lelehnya. Akumulasi ini terus berjalan bila penyerapan panas oleh pendingin reaktor tidak mampu mengatasi kenaikan panas yang ditimbulkan oleh teras reaktor. Selama proses kenaikan suhu di teras, pelepasan bahan radionuklida sudah mulai terjadi sejalan dengan pertumbuhan kerusakan integritas bahan bakar secara gradual. Gambar 5 dan 6 menunjukkan persentase pelepasan bahan radionuklida iod dan cesium pada bahan bakar metalik sebagai fungsi kenaikan suhu bahan bakar teras. Pada kondisi telah terjadi pelelehan, maka bahan teras akan jatuh ke dasar bejana tekan disertai pelepasan gas-gas mulia dan unsur-unsur yang mudah menguap seperti iod dan cesium ke pengungkung (containment). Pelepasan ini disebut sebagai pelepasan dalam bejana tekan (in-vessel). Bahan teras yang meleleh berada di dasar bejana dan dapat berinteraksi dengan bahan struktur beton di dasar bejana. Kejadian ini menyebabkan bahan radionuklida yang bersifat kurang volatil terlepas ke pengungkung. Pelepasan ini

9 18 Percentage Persentase pelepasan Release iod of Iodine Temperature Suhu (K) (K) Gambar 5 Persentase pelepasan bahan iod dari bahan bakar metalik (Soffer et al. 1995) 100 Persentase Percentage pelepasan Release of cesium Caesium Temperature (K) Suhu (K) Gambar 6 Persentase pelepasan cesium dari bahan bakar metalik (Soffer et al. 1995) disebut juga sebagai pelepasan dari luar bejana tekan (ex-vessel). Pada saat yang sama bahan radionuklida yang tadinya sudah berada pada bejana tekan dalam selang waktu yang sudah cukup panjang akan keluar ke pengungkung. Pelepasan ini dikenal sebagai pelepasan dari bejana tekan yang tertunda (late vessel). Jika pada kejadian kecelakaan suhu pendingin primer juga tinggi, maka pada saat kerusakan yang terjadi pada bagian bawah bejana, sejumlah bahan bakar teras akan terinjeksi ke pengungkung dengan kecepatan tinggi. Dalam kondisi ini

10 19 bahan radionuklida yang bersifat aerosol dapat terlepas ke pengungkung. Demikian pula terjadinya ledakan uap sebagai hasil interaksi antara sisa-sisa bahan teras dan air dapat menyebabkan peningkatan produksi fisi ke pengungkung. Dengan demikian terlepasnya produk fisi ke pengungkung pada kecelakaan teras reaktor jenis PWR ditentukan oleh adanya celah (gap), pelepasan dalam bejana, pelepasan luar bejana, pelepasan tertunda yang fraksi pelepasannya seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Fraksi pelepasan bahan radionuklida jenis PWR Elements Pelepasan pada gap (gap release) Pepasan awal dalam bejana tekan (early in vessel) Pelepasan luar bejana tekan (ex-vessel) Pelepasan tertunda dalam bejana tekan (late invessel) Kr, Xe I, Br Rb, Cs Te, Se Ba, Sr Co, Mo, Tc, Ru, Rh Y, Zr, Nd, Eu, Nb, Pm, Pr, Sm, Y, Cm, Am, Ce, Pu, Np Sumber : Soffer (1995) Seperti yang telah diuraikan terdahulu dalam kondisi normal seluruh bahan hasil belah terkungkung dalam kisi kristal elemen bakar. Bahan hasil fisi ini hanya akan keluar dari kristal bila terjadi penaikan panas yang tinggi, sehingga kisi kristal menjadi pecah. Kemungkinan terjadi pecahnya kisi kristal diasumsikan dengan probabilitas (p 1 ). Akan tetapi radionuklida yang lepas dari kristal masih terkungkung di dalam kelongsong elemen bakar. Apabila kelongsong juga mengalami pecah, dengan kemungkinan (p 2 ), maka bahan radionuklida masih terkungkung di dalam sistem pendingin primer. Apabila sistem primer mengalami kebocoran, dengan kemungkinan terjadinya (p 3 ) maka bahan radionuklida masih terkungkung di tabung pengungkung (containment). Selanjutnya apabila tabung pengungkung mengalami kebocoran, dengan kemungkinan (p 4 ) maka bahan radionuklida masih terkungkung di dalam struktur beton dan baja gedung reaktor. Baru bahan radionuklida akan keluar ke

11 20 lingkungan bila terjadi kebocoran pada struktur beton dan baja dengan kemungkinan bocornya sebesar (p 5 ). Dengan demikian kemungkinan terjadinya pelepasan bahan radionuklida ke lingkungan menjadi sangat kecil yaitu, P = (p 1 )*(p 2 )*(p 3 )*(p 4 )*(p 5 ) Besarnya kemungkinan pelepasan bahan radionuklida P sangat tergantung pada teknologi yang sudah dicapai saat itu. Berbagai usaha secara teknologi dilakukan untuk memperkecil resiko terlepasnya bahan radionuklida ke lingkungan oleh kecelakaan nuklir (Hastowo 2005). Sejak pada generasi pertama teknologi PLTN sistem keselamatan PLTN dibuat dengan didasarkan pada penerapan prinsip redundansi dan pada beberapa hal juga menggunakan prinsip diversitas (diversity). Setiap komponen sistem keselamatan dilengkapi dengan komponen redundan. Bila terjadi kegagalan fungsi, maka komponen redundan secara otomatis mengambil alih fungsi komponen yang gagal dan sebagai akibatnya sistem keselamatan dianggap tidak mengalami kehilangan fungsi. Kombinasi penerapan redundansi dan diversitas bersama dengan penerapan rangkaian logika (logic gating) digunakan untuk dapat menjamin keboleh jadian kecelakaan terparah 10-4 per tahun-reaktor. Peningkatan sistem keselamatan dilakukan dengan memanfaatkan perilaku keselamatan inherent dalam desain reaktor. Dengan desain generasi kedua ini, maka keandalan reaktor dapat ditingkatkan sehingga frekuensi kerusakan teras menjadi per tahun-reaktor. Walapun demikian sistem keselamatan ini juga memiliki kelemahan seperti yang ditunjukkan pada kecelakaan Three Miles Island. Koreksi terhadap sistem keselamatan ini juga dilakukan dengan menambahkan sistem keselamatan pasif, yaitu sistem keselamatan yang otomatis bekerja bila terjadi kecelakaan tanpa interfensi manusia. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan oleh kelalaian manusia (human error) yang terjadi dalam suasana kepanikan. Teknologi reaktor dengan sistem pasif ini merupakan teknologi generasi ke tiga. Jenis reaktor yang termasuk generasi tiga ini adalah Advance Boiling Water Reaktor (ABWR), SBWR, dan AP600, AP1000 masingmasing dengan frekuensi kerusakan teras (Core Damage Frequency) 1,84 x 10-6 per reaktor-tahun, 2,8 x 10-7 per reaktor-tahun, dan 3,3 x 10-7 per reaktor-tahun.

12 21 Pemutahkiran teknologi keselamatan tidak berhenti, penelitian lebih lanjut terus dilakukan dengan mengembangkan teras kompak dengan kerapatan yang lebih kecil, memakai sistem pasif dan memperkecil daerah proteksi menjadi kurang dari 800 m. Generasi reaktor ini dikelompokkan sebagai generasi ke 4, dengan frekuensi kerusakan teras <10-6 per reaktor-tahun. Dengan perkembangan teknologi reaktor ini, maka sesungguhnya kekuatiran akan terjadinya kecelakaan reaktor sudah semakin sangat kecil. Secara prinsip pada kondisi normal tidak ada pelepasan radionuklida ke udara kecuali bahan-bahan tertentu yang bersifat volatile, yang berasal dari produk fisi pada sistem primer, aktivasi terhadap bahan yang korosif, bahan kimia tambahan maupun bahan pendinginnya Penyebaran Radionuklida di Atmosfir Model Dispersi Atmosfir Bahan radionuklida yang terbentuk pada teras maupun pendingin reaktor berpotensi lepas ke lingkungan baik dalam kondisi normal maupun kondisi kecelakaan. Oleh karena itu sebelum suatu reaktor dibangun, perlu dilakukan analisis terhadap pelepasan bahan radionuklidanya ke lingkungan, sehingga secara dini dapat diantisipasi langkah-langkah pencegahan dampak terlepasnya bahan radionuklida secara maksimum. Untuk memperkirakan besar bahan radionuklida yang tersebar di atmosfir dan sampai ke bumi terlebih dahulu dimodelkan pola penyebaran bahan radionuklida di atmosfir dengan menggunakan model dispersi atmosfir seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.2). Model ini sangat luas dipakai dalam menghitung besar konsentrasi gas atau radionuklida yang sampai ke permukaan bumi (IAEA 1980a, 2001; NRPB-FZK 1995). ( ) 2 2 Q o y z h ( ) e X x, y, z = exp + 2πσ 2 2 yσ zu 2σ y 2σ z Keterangan: X (x, y, z) : konsentrasi aktivitas dalam udara pada titik (x, y, z) (Bq /m 3 ) x : jarak ke arah angin bertiup (m) y : jarak ke arah sumbu y yang tegak lurus arah angin (m) z : tinggi dari atas tanah dimana konsentrasi diukur (m) σ y : standar deviasi distribusi horizon Gauss (m) σ z : standar deviasi distribusi vertikal Gauss (m) Q o : laju pelepasan (Bq/detik) (2.2)

13 22 u : kecepatan angin rata-rata (m/detik) h e : tinggi efektif pelepasan (m) Hal yang paling kristis dalam menentukan distribusi spasial dan temporal radionuklida adalah kondisi atmosfir dimana PLTN tersebut didirikan (Cao et al. 2000). Oleh karena itu pengambilan data setiap jam dalam satu tahun merupakan persyaratan dalam menghitung konsentrasi radionuklida dengan menggunakan PC COSYMA (Tan 1997). Dalam prakteknya kondisi atmosfir ini diwakili oleh besaran parameter dispersi (σ) bersama dengan stabilitas atmosfir dan turbulensi (IAEA 1980a). Ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan stabilitas atmosfir antara lain Metode Pasquil - Gifford, metode laju penurunan suhu, metode fluktuasi angin, metode Split Gamma, dan metode gabungan laju penurunan suhu dan kecepatan angin. Dalam penelitian ini, metode Pasquil- Gifford akan digunakan untuk menentukan stabilitas angin (NRPB-FZK 1995, Susilo et al. 2004). Banyaknya faktor penghambat aliran angin, seperti angin yang tidak stabil, kekasaran permukaan dan pemanasan udara yang tidak merata, dapat membuat gerakan angin menjadi tersendat-sendat atau turbulensi. Hubungan parameter dispersi dengan turbulensi digambarkan dalam rumus (2.3) 2 i Keterangan: σ i : parameter dispersi arah i C i : koefisien difusi virtual Sutton arah i u : kecepatan angin (m/detik) σ 1 = C 2 2 i ( u) 2 n (2.3) Untuk pelepasan yang memakan waktu cukup lama, penyebaran horizontal bahan radionuklida dipengaruhi oleh fluktuasi arah angin. Untuk pelepasan yang kontinu dengan kondisi meteorologi dianggap tetap dan arah angin yang merata (uniform) persamaan (2.2) dapat ditulis kembali menjadi, X Keterangan : u s h e X ( x, z) Qo = 2π x 2π σ u ( z h exp 2σ z 2 e ) 2 : konsentrasi aktivitas rata-rata di udara pada titik (x, z)(bq/m 3 ) : kecepatan angin pada ketinggian pelepasan (m/detik) : tinggi efektif (m) z s

14 23 Aktivitas yang terdispersi ada yang sampai ke tanah dan karena massanya yang ringan dapat dipantulkan kembali ke atmosfir. Dengan demikian persamaan (2.4) dapat disempurnakan menjadi, X ( x, z ) = 2π x Q o 2π σ U z s 2 ( 2 h ) ( 2 h ) e + exp + exp 2 2σ z 2σ 2 e 2 z (2.5) Pembatasan pantulan terjadi pada lapisan campur (mixing layer) di atmosfir dan ini terjadi pada berbagai ketinggian sebagai akibat perubahan gradien suhu. Bahan yang terdispersi terperangkap antara batas atas dan bumi. Apabila tidak ada lapisan campuran, bungkah akan terus naik ke arah vertikal. Dengan memasukkan pantulan maka konsentrasi yang terdapat di udara merupakan penjumlahan dari berbagai kontributor radionuklida terhadap persamaan Gauss. Disamping itu, dispersi primer karena adanya sumber pada tinggi efektif harus dimasukkan, bersama dengan pantulan dari sumber pada ketinggian, h e, berkaitan dengan besaran pada persamaan (2.5) Untuk suatu lapisan campur, konsentrasi rata-rata diberikan sebagai: X ( x, z ) = 2π x Q o 2π σ u z s s= 0 exp ( 2sA ± h z) e ± 2 2σ z 2 (2.6) Jika s : 0 hanya z positif yang diperlukan. Dalam prakteknya ketelitian yang cukup diperoleh jika urutan dibatasi pada s : 1. Secara umum, urutan ini akan konvergen segera dan dapat dijumlahkan sampai pada tingkat akurasi tertentu. Pada jarak ke arah angin yang besar, setelah pantulan (refleksi) yang berulang atau ketika harga koefisien dispersi vertikal menjadi lebih besar dari ketebalan lapisan campur, profil konsentrasi vertikal aktivitas menjadi merata antara tanah dan batas atas lapisan campur. Persamaan (2.6) disederhanakan menjadi, X Qo, = x 2π u ( x z) s A (2.7) Keterangan: A : luas wilayah

15 Faktor Koreksi. Konsentrasi aktivitas di udara dapat berkurang oleh berbagai sebab antara lain oleh adanya peluruhan, deposisi basah, deposisi kering. Berikut ini diuraikan masing-masing penyebab pengurangan konsentrasi di udara. Peluruhan. Konsentrasi radionuklida yang ada di atmosfir dapat berkurang oleh adanya peluruhan. Faktor peluruhan dirumuskan sebagai, Keterangan: R p : faktor peluruhan λ p : konstanta peluruhan radionuklida (s -1 ) x : Jarak ke x arah angin R exp λ x p = p us (2.8) Produk turunan alamiah bertambah ke dalam bungkah dengan peluruhan radionuklida dan konsentrasi produk turunan dapat diperoleh dengan mensubstitusi Q o R d untuk Q o dalam persamaan (2.9) R d = λ λd λ p d exp λ d x u s exp λ p x us (2.9) Keterangan: R d : faktor peluruhan turunan λ d : konstanta peluruhan turunan (s -1 ) Deposisi Basah. Ada 2 proses hujan pengurangan konsentrasi di udara yaitu : 1. hujan jatuh melalui bungkah (wash out) 2. awan hujan (rain out) yang nyata dapat membuat Wash-out dipengaruhi oleh distribusi ukuran hujan yang jatuh sekaligus sifat-sifat difusi bahan. Rain-out dipengaruhi oleh proses kondensasi di dalam awan dan laju kecepatan saat bahan radionuklida yang terdifusi ditarik ke awan hujan. Karena sulitnya membedakan kontribusi wash-out dan rain-out, maka nilai koefisien wash-out digunakan bersamaan untuk menggambarkan kedua proses tersebut. Deposisi Kering. Deposisi kering merupakan proses yang lebih kompleks, bahan radionuklida ditarik dari bungkah oleh benturan dengan permukaan atau

16 25 rintangan yang dikenakan terhadapnya. Besaran untuk menggambarkan deposisi kering ini adalah laju deposisi kering, Keterangan: D d = V g C D d : konsentrasi deposisi (Bq/m 2 ) V g : kecepatan deposisi (m/detik) C : konsentrasi bahan radionuklida di udara pada ketinggian 0 m (Bq/m 3 ) (2.10) Efek Loncatan Bungkah Terhadap Dispersi Atmosfir. Bahan radionuklida dapat terlempar ke atas melebihi titik pelepasan cerobong jika bungkah memiliki momentum vertikal atau daya apungnya lebih besar dari udara di sekitarnya. Beberapa model penaikan lapisan ini telah dikembangkan secara detil oleh Brigg. Dengan adanya ketinggian lemparan pelepasan, maka dalam perumusan Gauss nilai h yang dipakai adalah Keterangan: h : ketinggian bungkah (m) h e : tinggi efektif cerobong (m) h : tinggi lemparan bungkah. (m) h : h e + h (2.11) Efek ketinggian gedung terhadap dispersi atmosfir. Ketinggian gedung juga berpengaruh pada konsentrasi radionuklida di udara karena ketinggian gedung dapat menyebabkan turbulensi udara. Beberapa model untuk menggambarkan pengaruh gedung ini telah dikembangkan oleh Hosker dan Fackwell. Efek meteorologi wilayah pesisir. Kondisi lokasi pantai dalam beberapa hal cukup berbeda dari lokasi pada daratan pulau. Perbedaan tersebut diantaranya adanya tiupan angin laut dan angin darat (Sumiratno et al. 2000), kehadiran lapis batas internal jika aliran udara melewati garis pantai dan iklim yang moderat. Oleh karena itu meteorologi daerah pesisir adalah kompleks dan model yang harus dikembangkan adalah model yang lebih mutakhir Dispersi untuk sumber kontinu Model dispersi atmosfir yang diuraikan sebelumnya adalah berdasarkan asumsi bahwa stabilitas atmosfir adalah konstan selama pelepasan. Dalam (2.12)

17 26 kenyataannya tidaklah demikian, kondisi meteorologi berubah-ubah, oleh karena itu konsentrasi aktivitas di udara atau laju deposisi dirumuskan dalam persamaan X r, z) = f x ( r, z) i ( i, j ij j Keterangan: f ij : frekuensi dengan angin bertiup ke sektor tertentu di arah i dalam stabilitas atmosfir j x ij : konsentrasi di arah (i) dan stabilitas atmosfir j (Bq/m 3 ) r : jarak dari sumber (m) z : tinggi di atas permukaan (m)? : penjumlah konsentrasi aktivitas untuk berbagai kategori stabilitas Pelepasan Radionuklida Pada Kondisi Kecelakaan Bila terjadi kecelakaan, maka faktor yang berubah dari pelepasan kondisi normal adalah besar aktivitas radionuklida yang dilepaskan, lama pelepasan dan karakteristik radionuklida, dan faktor deposisi dan dispersi di lingkungan sekitar instalasi. Aktivitas konsentrasi yang terdispersi sampai ke permukaan searah dengan arah angin dapat dihitung dengan persamaan: 2 Q h X ( x, y, z) = exp 2 π σ y σ z 2σ 2 Keterangan: X (x, y, z) : konsentrasi aktivitas dalam udara pada titik (x, y, z) (Bq /m 3 ) x : jarak ke arah angin bertiup (m) y : jarak ke arah sumbu y yang tegak lurus arah angin (m) z : tinggi dari atas tanah dimana konsentrasi diukur (m) σ : standar deviasi distribusi horizon Gauss (m) y σ z : standar deviasi distribusi vertikal Gauss (m) Q : laju pelepasan (Bq/detik) u : kecepatan angin rata-rata (m/detik) h : tinggi pelepasan (m) (2.13) 2.2 Karakteristik Populasi Penerima Dinamika Pertumbuhan Penduduk Penerima Dampak Jumlah penduduk sebagai end-point dari dampak radiologi ini akan selalu berkembang sesuai dengan waktu dan perkembangan variable-variabel lain yang mempengaruhinya. Oleh karena itu analisis terhadap pertumbuhan penduduk sangat diperlukan untuk memprediksi dampak radiologi di masa yang akan

18 27 datang. Studi distribusi kependudukan ini berguna untuk mengevaluasi potensi dampak radiologi pada saat pelepasan normal maupun kondisi darurat sekaligus mengevaluasi kesiapan rencana kedaruratan atau emergency response plan (IAEA 1980b) Secara umum faktor demografi yang terkait dengan pertumbuhan penduduk meliputi laju kelahiran, kematian, dan migrasi yang dirumuskan sebagai, Penduduk : Lahir Mati ± Migrasi, akan tetapi masih terdapat faktor-faktor pendorong yang bukan faktor demografi yang menyebabkan pertumbuhan penduduk. Sebagai contoh, faktor fertilitas di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh pasangan usia subur, tetapi juga oleh faktor sosial budaya yang ada di daerah tersebut (Mantra 2003). Yauke (1990) pada Mantra (2003) menggambarkan hubungan faktor demografi dan nondemografi seperti pada Gambar 7. Variabel Demografi Jumlah, Pesebaran dan komposisi penduduk Kelahiran Kematian Migrasi Variabel Non Demografi Sosiologi Anthropologi Ekonomi Geografi Biologi Gambar 7 Hubungan faktor demografi dan non-demografi dalam studi kependudukan Dalam studi demografi, analisis yang dilakukan menggunakan variabel dependen dan variabel independen yang sama-sama merupakan faktor demografi, sedangkan studi kependudukan bila variabel dependent dan independent merupakan kombinasi faktor demografi dan non-demografi. Tandom dan Khater

19 28 (2003) telah menggunakan pendekatan parsel untuk memprediksi pertumbuhan penduduk Las Vegas. Dengan metode ini dapat digambarkan pertumbuhan secara spatial dengan memperhatikan sifat-sifat lokal dari lokasi tersebut. Dengan menggunakan metode regressi ganda dapat pula dilakukan perkiraan (forcasting) terhadap pertumbuhan kerapatan penduduk dengan menggunakan sifat-sifat lokal yang terdistribusi secara spasial sebagai variabel ganda. Secara rinci variabel yang mungkin mempengaruhi pertumbuhan penduduk diuraikan sebagai berikut: 1. Lokasi dari pusat bisnis Salah satu parameter spasial yang mempengaruhi kepadatan penduduk telah dadalah jarak (Rustiadi 2003) jarak dari pusat bisnis (Center for Bussiness District). Semakin dekat suatu wilayah dengan pusat bisnis semakin besar besar tingkat pertumbuhannya. 2. Penduduk dan tinggi permukaan laut Umumnya penduduk lebih banyak bertempat tinggal di tempat berupa dataran yaitu dekat dengan permukaan laut. 3. Penduduk dan Kelerengan Secara umum kota-kota besar dengan fasilitas dan pelayanan yang lengkap merupakan daya tarik aliran penduduk dari desa ke kota, sehingga ditambah dengan perkembangan penduduk kota itu sendiri mencapai persentasi kenaikan yang relatif tinggi. Dalam hal ini kelerengan dibagi dalam 4 kategori yaitu kategori 0-2%, 2-15%, 15-40% dan diatas 40% 4. Letak desa terhadap hutan Umumnya penduduk bertempat tinggal jauh dari hutan. Dalam analisis ini penduduk dikategorikan bertempat tinggal (1) di dalam hutan, (2) pinggir hutan dan (3) jauh dari hutan. 5. Karakter penduduk Jumlah wanita di suatu desa akan menentukan jumlah pertambahan penduduk desa tersebut, sehingga dapat dijadikan variabel untuk menentukan petumbuhan penduduk. Demikian pula karena wilayah yang ditinjau berupa desa yang basisnya adalah pertanian, maka jumlah penduduk tani juga merupakan variabel dalam menentukan pertumbuhan penduduk.

20 29 6. Sumber penghasilan penduduk Secara umum pendududk desa adalah petani, namun cukup banyak juga di antaranya yang bekerja di bidang lain. Sumber mata pencaharian ini juga dapat dijadikan variabel dalam pertumbuhan penduduk. Dalam analisis ini sumber mata pencarian meliputi pertanian, pertambangan, industri, perdagangan, lain-lain. 7. Industri Berbagai industri dapat menarik jumlah penduduk untuk mencari pekerjaan oleh karena itu data industri dapat digunakan sebagai variabel dalam memprediksi pertumbuhan penduduk. 8. Ekonomi (Jayadinata 1999) Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan produksi dari kehidupan ekonomi dan menyebabkan meningkatnya pendapatan nasional. Peningkatan produksi memerlukan investasi. Investasi menyebabkan penciptaan barangbarang produksi (bangunan, alat-alat, mesin, barang jadi, dan setengah jadi, barang mentah guna prodes produksi selanjutnya). Cobb-Douglas (Supranto 2004) berhasil menyusun suatu formula berdasarkan pengalaman (empiris) yang menerangkan hubungan antara produksi, pekerja (labour) dan kapital. P : produksi L : labor C : capital P : f(l,c) 9. Pertumbuhan Penduduk dan Pendidikan Menurut Soerjani et al. (1987) di negara-negara yang anggaran pendidikannya paling rendah biasanya menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Tidak hanya persediaan dana yang kurang, tetapi komposisi usia secara piramida pada penduduk yang berkembang dengan cepat menyebabkan rasio guru terhadap murid menurun. Perkembangan ekonomi dan perluasan pendidikan dasar telah memperluas jurang pemisah antara pria dan wanita, karena hampir di mana-mana prioritas diberikan pada pria.

21 Penduduk dan pemukiman (Soerjani et al. 1987) Semakin bertambah penduduk maka luas pemukimanpun semakin bertambah. Proyek seperti perumahan dibangun, pasar diperbaiki, pedagang kaki lima di lokalisasi, jalan-jalan diperbesar dan diperbaiki. Dalam mempelajari pertumbuhan penduduk, timbul beberapa macam pertanyaan; berapa banyak pertambahan penduduk, faktor apa saja yang mempengaruhi pertambahan penduduk, dan berapa banyak penduduk yang dapat didukung oleh daerah tertentu. Pemda Jepara (1994), menggunakan rumus untuk menghitung daya tampung wilayah sebagai berikut, P h Lw = 0.01Dt Dt P + h P + h Keterangan: Lw : luas wilayah yang dibudidayakan, dikembangkan (ha) : Luas wilayah kawasan lindung (hutan) P: h : Perbandingan jumlah penduduk perkotaan dan desa Dt : daya tampung 0.01 : kebutuhan lahan (ha/jiwa) untuk penduduk perkotaan 0.3 : kebutuhan lahan (ha/jiwa) untuk penduduk pedesaan 11. Sarana dan fasilitas Yang termasuk sarana dan fasilitas adalah rumah sakit, puskemas, klinik bidan, mesjid, listrik, jalan, tempat rekreasi. 12. Ketersediaan lahan Pertumbuhan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan lahan. Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan konversi lahan dari lahan sawah, kebun dan ladang ke pemukiman. Oleh karena itu ketersediaan lahan juga merupakan variabel dalam analisis pertumbuhan penduduk Dampak Radiasi Terhadap Manusia dan Lingkungan Dampak Terhadap Kesehatan Dampak radiologi terhadap manusia dan lingkungan (sebagai end-point) terjadi oleh adanya proses interaksi antara radiasi pengion yang berasal dari luar (external) maupun dalam tubuh (internal) dengan bahan sel biologi. Interaksi tersebut akan menyebabkan perubahan pada DNA sel biologi seperti kematian sel

22 31 atau mutasi sel. Akan tetapi secara ilmiah setiap sel memiliki kemampuan untuk memperbaiki perubahan yang terjadi pada DNA. Hal ini berarti sebagian besar perubahan yang terjadi pada molekul tidak menimbulkan kerusakan, kecuali untuk sel yang gagal melakukan perbaikan (Wiryosimin 1995). Bila dampak radiasi terjadi secara langsung terhadap sel penerima disebut dampak somatik, akan tetapi bila dampak atau efek baru muncul pada keturunannya disebut juga akibat herediter atau genetik. Ditinjau dari sifatnya dampak biologi dibagi dalam dampak deterministik (non-stokastik) dan akibat stokastik. Akibat deterministik ditandai dengan adanya dosis minimum tertentu yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tingkat kerusakan bertambah oleh bertambahnya dosis, dan adanya keterkaitan yang jelas antara penyebab dan akibat. Pada penyinaran yang kecil dari satu Sievert (Sv) umumnya jaringan sel belum menunjukkan gejala klinis yang nyata kecuali pada organ berikut (ICRP 1990): a) Gonad yang akan steril sementara bila terkena 0.15 Sv dan steril menetap bila terkena 3 Sv. b) Tulang belakang yang akan mengalami gangguan pembentukan darah pada dosis 0.5 Sv. c) Lensa mata yang akan menyebabkan kebutaan setelah beberapa tahun terkena penyinaran, Sedangkan akibat stokastik adalah akibat yang terjadi berdasarkan kemungkinan (probabilitas) yang dapat dialami oleh penerima, atau dalam hal genetik, yang dialami oleh salah satu keturunan. Probabilitas kejadian berbanding linier dengan dosis namun tingkat keparahannya tidak tergantung dari dosis, contoh efek karsinogenik dan hereditary (Wiryosimin 1995; IAEA 1988). Efek stokastik umumnya dinyatakan dalam jumlah kasus kejadian kanker (morbidity) atau kanker fatal (mortality) per unit dosis Penerimaan radiasi oleh manusia atau organ Secara umum jalur masuknya radionuklida ke tubuh manusia maupun lingkungan dijelaskan pada Gambar 8.

23 32 Sumber Proses Kontaminasi Media kontaminasi Modus Penyinaran Karakteristik Penerimaat Lepasan Atmosfir lease PLTN Dispersi Udara IInhalasi Deposisi Tanah Tanaman Hewan Iradiasi eksternal β, γ Makanan Hirup Manusia Makan Gambar 8 Jalur penerimaan paparan radiasi pada manusia Bahan radionuklida terlepas dari cerobong PLTN ke atmosfir dan tersebar di udara. Sebagian tetap mengapung di udara membentuk awan radioaktif sebagian lagi terdeposisi ke tanah. Paparan radionuklida yang berada di udara memberikan dampak radiologi kepada manusia melalui radiasi eksternal (external irradiation) dalam bentuk awan radiasi (cloud) dan radiasi internal (internal irradiation) termasuk penghirupan udara (inhalation) dan makanan (ingestion). Penghirupan udara masuk ke dalam tubuh manusia sebanding dengan kemampuan hisap manusia itu sendiri. Paparan radionuklida yang terdeposisi dapat tetap berada di permukaan tanah maupun sebagian terserap ke dalam tanah. Paparan yang tetap di permukaan tanah dapat kembali ke udara oleh karena ada hembusan angin atau terdorong oleh benda keras. Paparan ini akan memperbesar paparan radionuklida yang ada di udara. Sedangkan yang masuk ke dalam tanah akan termakan oleh ternak atau terhisap oleh tanaman. Paparan ini akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur makan (ingestion) manusia sebagai penerima radionuklida. Untuk masing-masing jalur penyinaran dapat dibuat model untuk mengkuantifikasi besar penyinaran yang sampai ke end-point Awan Radiasi Radionuklida yang terdispersi di atmosfir dapat menjadi sumber radiasi berupa awan radiasi terhadap manusia. Karena radiasi awan ini berada di luar tubuh manusia, maka sering disebut sebagai sumber radiasi eksernal. Radiasi

24 33 eksternal ini terdiri dari dua jenis radiasi yaitu radiasi gamma dan radiasi beta (elektron). Awan radiasi bungkah gamma yang berbentuk awan semi-tak-hingga menimbulkan dosis serap di udara per tahun sebesar D γ = k X i n j= 1 I j E j Keterangan: Dγ : laju dosis serap di udara (Gy/tahun) X : konsentrasi radionuklida di atmosfir (Bq/m 3 ) E j : energi awal photon (MeV) I j : fraksi gamma per desintegrasi pada energi E j. n : jumlah foton per desintegrasi k i : 2.0 x 10-6 (Gy/tahun per MeV/ m 3 detik) Untuk bungkah model awan hingga, maka fluks efektif, F, pada jarak r, dari titik sumber diperoleh dengan menggunakan faktor pertumbuhan (build-up) : qb( Eγ, µ r) e F = 2 4πr µ r (2.15) Keterangan: F : fluks efektif (γ/ m 2 detik) q : kuat sumber (γ/detik) r : jarak dari sumber (m) µ : koefisien atenuasi linier (m -1 ) B : faktor build-up deposisi energi Eγ : energi foton awal (MeV) Fluk efektif gamma (F c ) dari awan hingga diperoleh dengan mengintegrasikan ekspresi ini pada semua ruang F c = v f X B( E, µ r) e γ 4πr µ r dv (2.16) f : intensitas energi gamma spesifik Untuk mengetahui efek dosis serap di udara terhadap dosis di organ tubuh, maka dapat digunakan daftar konversi laju dosis pada publikasi ICRP 60 (ICRP 1990). Awan radiasi eksternal bungkah beta atau elektron. Awan radiasi ini sangat peka terhadap kulit. Sel yang paling sensitif yang terdekat dari pemukaan kulit adalah lokasi lapis basal epidermi pada kedalaman 70 µm dari permukaan.

25 34 Laju dosis pada kulit dievaluasi dari laju dosis serap di udara, memungkinkan penyerapan eksponensial fluks elektron pada lapis 70 µm dan dirumuskan sebagai : Keterangan: D β : laju dosis serap (Gy/ tahun) X(x, 0) : konsentrasi pada permukaan tanah (β/m 3 ) E j : energi rata-rata partikel j (MeV) I j : fraksi elektron dari energi Ej yang dipancar per integrasi m : jumlah partikel β dan konversi elektron per desintegrasi k 2 : 4 x 10-6 (Gy/tahun per MeV m -3 s -1 ) D β = k m 2 X ( x,0) j= 1 I j E j (2.17) Energi rata-rata partikel β E j (aproksimasi) sama dengan 1/3 energi maksimum E j E = β max j 3 (2.18) Konversi dosis serap elektron di udara ke organ tubuh Untuk mengetahui efek dosis serap elektron di udara terhadap dosis serap elektron kulit dapat dievaluasi dari laju dosis di udara dengan mengijinkan penyerapan eksponensial fluk elektron dalam 70 µm lapisan H β = 0. 5e ω (2.19) µ d D β r Keterangan : H β : laju dosis ekivalen di kulit (Sv/tahun) D β : laju dosis serap beta (Gy/tahun) ω r : faktor kualitas untuk radiasi β dan diambil sebagai emity µ : koefisien absorpsi di jaringan d : ketebalan lapis epitermal (µm) Radiasi Internal Radionuklida yang masuk ke dalam tubuh manusia akan memancarkan radiasi dari dalam disebut sebagai radiasi internal. Radiasi ini dapat masuk melalui hisapan udara maupun melalui makanan. Radionuklida yang masuk ke tubuh manusia melalui hisapan udara maupun makanan secara skematik dapat digambarkan seperti pada Gambar 9. Selanjutnya model metabolisme perpindahan bahan radionuklida di dalam tubuh manusia dapat dapat dilihat pada Gambar 10.

26 35 Radionuklida di udara Permukaan Permukaan rerumputan Tanah zone akar Permukaan tanaman Bagian dalam Hewan Masuk dalam tubuh manusia Gambar 9 Proses masuknya bahan radionuklida ke dalam tubuh manusia Masukan Masukan Feses Paru-paru Pencernaan Darah Urin Organ lain Otot Lever Susu Gambar 10. Metabolisme perpindahan radionuklida dalam tubuh

27 36 Dosis ekivalen efektif yang terhirup oleh manusia dapat dihitung dengan persamaan H hir, k : X a,k. V inh. Φ inh, k (2.20) Keterangan, X a,k : Konsentrasi radionuklida k di udara (Bq/m 3 ) V inh : volum udara yang dihirup pertahun (m 3 /tahun) Φ inh, k : Dosis ekivalen efektif per satuan hirup untuk radionuklida k Dosis ekivalen efektif yang masuk ke dalam tubuh manusia dalam satu tahun melalui makanan untuk radionuklida k dari makanan jenis m dapat dihitung dengan rumus, H m, k : X m,k. W m. Φ inh, k (2.21) Keterangan : C m,k : konsentrasi radionuklida k dalam makanan m (Bq/m 3 ) W m : masukan makanan m tahunan Φ inh, k : Dosis ekivalen efektif per satuan hirup untuk radionuklida k Penanggulangan Dampak Apabila terjadi kecelakaan nuklir maka penanganan yang serius harus dilakukan untuk menurunkan resiko atau sering disebut sebagai manajemen resiko. Manajemen resiko pada intinya melakukan seleksi terhadap peralatan yang dapat mereduksi resiko secara maksimum dengan biaya murah. Langkah untuk mereduksi resiko dapat dilakukan dalam beberapa kategori (IAEA 1998): 1. Langkah pencegahan. Langkah ini meliputi penggunaan teknologi atau proses untuk mencegah sumber pencemar, perencanan pemanfaatan tanah (land use planning) untuk menghindarkan populasi dari tinggkat radiasi yang tinggi, dan pengalihan jalur dengan mencegah bahan berbahaya melintasi penduduk yang padat. 2. Langkah reduksi resiko. Langkah ini meliputi penambahan instrumentasi pada instalasi sehingga dapat menurunkan kemungkinan akibat kecelakaan bersamaan dengan meningkatkan manajemen keselamatan instalasi, dan perencanaan penggunaan tanah yang sesuai.

28 37 3. Emergency Preparedness. Penanganan kondisi emergensi yang terlatih baik akan menurunkan secara berarti akibat yang fatal dari suatu kecelakaan (IAEA 1997c). Apabila telah terjadi kecelakaan, maka beberapa langkah dapat dilakukan untuk mencegah semakin besarnya akibat kecelakaan tersebut. Tindakan tersebut meliputi tindakan relokasi, evakuasi, perlindungan, dekontaminasi, larangan memakan makanan yang terkontaminasi, memakan tablet iod. Sebagai alat ukur untuk menentukan masing-masing tindakan ditentukan oleh besar dosis efektif yang sampai di permukaan bumi (NRPB 1995). Pada kejadian kecelakaan nuklir di Chernobyl langkah-langkah yang diambil dalam rangka mengurangi dampak resiko adalah dengan mengevakuasi penduduk pada radius 30 km, menutup reaktor yang mengalami kecelakaan dengan teknik pengungkungan (sarkofagus), meminum tablet iod, menghancurkan hewan dan tanaman yang dekat dengan reaktor, melakukan pengawasan yang ketat terhadap tanaman dan hewan yang berada pada daerah terkontaminasi (IAEA 1996a) Nilai Ekonomi Dampak Radiologi Kecelakaan nuklir bukanlah bentuk kecelakaan yang sering terjadi, sehingga tidak dimiliki data statistik yang cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam penentuan dampak ekonominya. Untuk kasus ini, maka perkiraan yang umum dilakukan adalah dengan memberikan harga bayangan (shadow price) pada dampak tersebut. Dalam hal lingkungan yang tercemar, biaya yang dibutuhkan untuk membersihkan lingkungan dari pencemaran dapat dikatakan sebagai harga bayangan dampak kerusakan lingkungan (Kristanto 2002). Pada kecelakaan nuklir biaya pemulihan kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu kecelakaan nuklir dapat dikatakan harga bayangan dampak kecelakaan nuklir. Secara ekonomi biaya yang harus dikeluarkan apabila terjadi kecelakaan yang tidak dapat dihindari adalah biaya penanggulangan yang meliputi relokasi, evakuasi, perlindungan, dekontaminasi, larangan memakan makanan yang terkontaminasi, memakan tablet iod dan biaya perawatan kesehatan (IKET 2000; BATAN-IAEA 2002). Disamping itu, karena dampak terjadinya gangguan

29 38 kesehatan maupun relokasi dapat menyebabkan seseorang kehilangan penghasilannya sekaligus kontribusi yang bersangkutan terhadap perekonomian, kehilangan pendapatan juga menjadi bagian dari biaya. Biaya relokasi meliputi biaya transportasi, akomodasi, kehilangan pendapatan, dan kehilangan lahan. Biaya dekontaminasi meliputi pembiayaan untuk tenaga kerja, akomodasi per orang pertahun, dan biaya kehilangan pendapatan karena relokasi per orang. Biaya penanganan barang pertanian dan peternakan meliputi biaya kehilangan produksi makanan, makanan yang harus dibuang, biaya penggunaan sumber daya. Untuk menentukan biaya dari tiaptiap penanganan tersebut diperlukan data unit harga, oleh karena itu secara lokal akan ditentukan nilai unit harga dari masing-masing penanganan. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menilai kerusakan oleh pengaruh radiasi yaitu (Sanim 1995): 1. Metode berbasis pasar (actual market based methods) 2. Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based method) 3. Metode berbasis pasar kontigensi (contingent market based method) Metode berbasis pasar aktual adalah metode perkiraan dengan menggunakan harga yang mendekati nilai barang dan jasa lingkungan misalnya dengan membandingkannya dengan harga produk yang dijual di pasar lokal. Prinsip dari metode ini adalah dasar penentuan nilai ekonomi kawasan dari hasil produksi dan kesehatan masyarakat. Yang termasuk dalam metode ini adalah (a) metode dalam perubahan produktivitas (change in productivity), (b) metode kehilangan penghasilan (loos of earning method), (c) metode pengeluaran preventif (averted defensive expenditure method), dan (d) metode pengganti biaya (replacement cost method). Metode berbasis mewakili pasar (surrogate market based method) adalah metode yang memperkirakan nilai lingkungan dengan memperkirakan nilai produk pengganti yang dapat mensubstitusi produk yang sesungguhnya. Yang termasuk dalam metode ini adalah (a) biaya perjalanan (travel cost method), (b) metode hedonik atau nilai properti (hedonic pricing or property value), (c) metode substitusi produk (substitution/proxy method), (d) metode diferensiasi gaji (wage differencial method)

30 39 Metode berbasis pasar kontigensi (contingent valuation method) adalah metoda yang memperkirakan nilai lingkungan dengan menggunakan pandangan orang lain (stated preferences) tentang kesediaannya membayar (willingness to pay). Yang termasuk dalam metoda ini adalah (a) metoda penilaian kontigensi (contingent valuation method), dan (b) metoda pasar buatan (artificial market method). Pada kejadian kecelakaan nuklir di Chernobyl tahun 1986, biaya akibat kecelakaan dihitung dengan memperkirakan besar kehilangan dan besar pembiayaan yang dikeluarkan. Pengeluaran tersebut antara lain oleh kehilangan aset; penurunan produksi di bidang pertanian dan sektor terkait; tindakan yang diambil untuk menghilangkan akibat kecelakaan; pembangunan rumah; fasilitas kesejahteraan dan jalan, tindakan memproteksi hutan dan konservasi air; kompensasi untuk perusahaan pertanian, dekontaminasi tanah; kerjasama dan masyarakat yang kehilangan panen, hewan, biaya pindah, dan biaya hidup seharihari penduduk yang terkena musibah (Voznyak 1996). Untuk studi kasus ini, maka skenario dampak ekonomi yang akan dipertimbangkan adalah biaya pemeliharaan kesehatan, penyembuhan, kehilangan pendapatan, kerusakan tanah, air, kehilangan tanaman dan hewan. Valuasi dampak kesehatan (Sanim 2002) dapat dilakukan dengan memperkirakan faktor biaya yang terlibat dalam penanganan kematian (mortality) maupun gangguan kesehatan akut (morbidity) seperti biaya pendaftaran atau rawat inap, penggunaan ruang ruang emergency, lama hari tidak melakukan aktivitas, dan biaya pengobatan masing-masing dampak penyakit. Pada kenyataannya nilai ini sangat sulit diperoleh karena menyangkut masalah yang sensitif. Oleh karena itu penggunaan nilai pembandingan dapat dilakukan dengan memperhatikan tingkat daya beli masyarakat (Purchasing Power Parity). Purchasing Power Parity (Perbedaan Daya Beli) Secara konsepsual perbedaan daya beli berbagai negara merupakan teori untuk penentuan nilai tukar uang dan merupakan cara untuk membandingkan harga rata-rata barang atau jasa di antara negara-negara. Yang melatar belakangi

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sosial maupun peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu kecukupan persediaan energi secara berkelanjutan

Lebih terperinci

REAKTOR AIR DIDIH (BOILING WATER REACTOR, BWR)

REAKTOR AIR DIDIH (BOILING WATER REACTOR, BWR) REAKTOR AIR DIDIH (BOILING WATER REACTOR, BWR) RINGKASAN Reaktor Air Didih adalah salah satu tipe reaktor nuklir yang digunakan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Reaktor tipe ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi nuklir merupakan suatu bentuk pancaran energi. Radiasi nuklir dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan kemampuannya mengionisasi partikel pada lintasan yang dilewatinya,

Lebih terperinci

PENGENALAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN)

PENGENALAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) PENGENALAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) Masyarakat pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam bentuk bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II tahun 1945. Sedemikian

Lebih terperinci

REAKTOR PEMBIAK CEPAT

REAKTOR PEMBIAK CEPAT REAKTOR PEMBIAK CEPAT RINGKASAN Elemen bakar yang telah digunakan pada reaktor termal masih dapat digunakan lagi di reaktor pembiak cepat, dan oleh karenanya reaktor ini dikembangkan untuk menaikkan rasio

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA

SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA SYNOPSIS REAKTOR NUKLIR DAN APLIKASINYA PENDAHULUAN Disamping sebagai senjata nuklir, manusia juga memanfaatkan energi nuklir untuk kesejahteraan umat manusia. Salah satu pemanfaatan energi nuklir secara

Lebih terperinci

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI REAKTOR NONDAYA PARAMETER YANG DIPERTIMBANGKAN SEBAGAI KONDISI BATAS UNTUK OPERASI NORMAL

Lebih terperinci

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK

RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RISET KECELAKAAN KEHILANGAN AIR PENDINGIN: KARAKTERISTIK TERMOHIDRAULIK RINGKASAN Apabila ada sistem perpipaan reaktor pecah, sehingga pendingin reaktor mengalir keluar, maka kondisi ini disebut kecelakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Pengembangan pemanfaatan energi nuklir dalam berbagai sektor saat ini kian pesat. Hal ini dikarenakan energi nuklir dapat menghasilkan daya dalam jumlah besar secara

Lebih terperinci

Asisten : Astari Rantiza/ Tanggal Praktikum : 24 Februari 2015

Asisten : Astari Rantiza/ Tanggal Praktikum : 24 Februari 2015 MODUL FNB 1 MODUL ANALISIS KESELAMATAN PLTN Ali Akbar, Ahmad Sibaq Ulwi, Anderson, M Jiehan Lampuasa, Qiva Chandra Mahaputra, Sarah Azzahwa 121299, 12127, 121286, 121262, 121265, 121219 Program Studi Fisika,

Lebih terperinci

MODUL 2 ANALISIS KESELAMATAN PLTN

MODUL 2 ANALISIS KESELAMATAN PLTN MODUL 2 ANALISIS KESELAMATAN PLTN Muhammad Ilham, Annisa Khair, Mohamad Yusup, Praba Fitra Perdana, Nata Adriya, Rizki Budiman 121178, 12115, 121177, 121118, 12116, 12114 Program Studi Fisika, Institut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR

KEPUTUSAN KEPALA. BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 01-P/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG PEDOMAN PENENTUAN TAPAK REAKTOR NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa pembangunan dan pengoperasian

Lebih terperinci

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 107) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK)

REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK) REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK) RINGKASAN RBMK berasal dari bahasa Rusia "Reaktory Bolshoi Moshchnosti Kanalynye" (hi-power pressure-tube reactors: Reaktor pipa tekan berdaya

Lebih terperinci

REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK)

REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK) REAKTOR PIPA TEKAN PENDINGIN AIR DIDIH MODERATOR GRAFIT (RBMK) RINGKASAN RBMK berasal dari bahasa Rusia "Reaktory Bolshoi Moshchnosti Kanalynye" (hi-power pressure-tube reactors: Reaktor pipa tekan berdaya

Lebih terperinci

REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION

REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION REACTOR SAFETY SYSTEMS AND SAFETY CLASSIFICATION Puradwi I.W. Bidang Analisis Risiko dan Mitigasi Sistem P2TKN-BATAN NATIONAL BASIC PROFESSIONAL TRAINING COURSE ON NUCLEAR SAFETY PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Lebih terperinci

BAB II Besaran dan Satuan Radiasi

BAB II Besaran dan Satuan Radiasi BAB II Besaran dan Satuan Radiasi A. Aktivitas Radioaktivitas atau yang lebih sering disingkat sebagai aktivitas adalah nilai yang menunjukkan laju peluruhan zat radioaktif, yaitu jumlah inti atom yang

Lebih terperinci

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR)

REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) REAKTOR GRAFIT BERPENDINGIN GAS (GAS COOLED REACTOR) RINGKASAN Reaktor Grafit Berpendingin Gas (Gas Cooled Reactor, GCR) adalah reaktor berbahan bakar uranium alam dengan moderator grafit dan berpendingin

Lebih terperinci

ANALISIS DAN KRITERIA PENERIMAAN

ANALISIS DAN KRITERIA PENERIMAAN SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG DESAIN PROTEKSI BAHAYA INTERNAL SELAIN KEBAKARAN DAN

Lebih terperinci

TUGAS MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN)

TUGAS MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) TUGAS MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) Di Susun Oleh: 1. Nur imam (2014110005) 2. Satria Diguna (2014110006) 3. Boni Marianto (2014110011) 4. Ulia Rahman (2014110014) 5. Wahyu Hidayatul

Lebih terperinci

NUCLEAR CHEMISTRY & RADIOCHEMISTRY

NUCLEAR CHEMISTRY & RADIOCHEMISTRY Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Lecture Presentation NUCLEAR CHEMISTRY & RADIOCHEMISTRY By : NANIK DWI NURHAYATI, S,Si, M.Si Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan

Lebih terperinci

KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA. Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif

KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA. Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif Oleh : Arif Novan Fitria Dewi N. Wijo Kongko K. Y. S. Ruwanti Dewi C. N. 12030234001/KA12 12030234226/KA12 12030234018/KB12 12030234216/KB12

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) didesain berdasarkan 3 (tiga) prinsip yaitu mampu dipadamkan dengan aman (safe shutdown), didinginkan serta mengungkung produk

Lebih terperinci

TUGAS. Di Susun Oleh: ADRIAN. Kelas : 3 IPA. Mengenai : PLTN

TUGAS. Di Susun Oleh: ADRIAN. Kelas : 3 IPA. Mengenai : PLTN TUGAS Mengenai : PLTN Di Susun Oleh: ADRIAN Kelas : 3 IPA MADRASAH ALIYAH ALKHAIRAT GALANG TAHUN AJARAN 2011-2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi merupakan suatu bentuk energi. Ada dua tipe radiasi yaitu radiasi partikulasi dan radiasi elektromagnetik. Radiasi partikulasi adalah radiasi yang melibatkan

Lebih terperinci

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR

LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BATASAN DAN KONDISI OPERASI INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR PARAMETER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi.

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah energi merupakan salah satu hal yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Di Indonesia, ketergantungan kepada energi fosil masih cukup tinggi hampir 50 persen

Lebih terperinci

adukan beton, semen dan airmembentuk pasta yang akan mengikat agregat, yang

adukan beton, semen dan airmembentuk pasta yang akan mengikat agregat, yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Beton adalah campuran antara semen portland, air, agregat halus, dan agregat kasar dengan atau tanpa bahan-tambah sehingga membentuk massa padat. Dalam adukan beton, semen

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

REAKTOR PENDINGIN GAS MAJU

REAKTOR PENDINGIN GAS MAJU REAKTOR PENDINGIN GAS MAJU RINGKASAN Reaktor Pendingin Gas Maju (Advanced Gas-cooled Reactor, AGR) adalah reaktor berbahan bakar uranium dengan pengkayaan rendah, moderator grafit dan pendingin gas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada

Lebih terperinci

LAMPIRAN FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENETAPKAN KONDISI-KONDISI BATAS UNTUK OPERASI YANG AMAN

LAMPIRAN FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENETAPKAN KONDISI-KONDISI BATAS UNTUK OPERASI YANG AMAN LAMPIRAN FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN UNTUK MENETAPKAN KONDISI-KONDISI BATAS UNTUK OPERASI YANG AMAN A.1. Daftar parameter operasi dan peralatan berikut hendaknya dipertimbangkan dalam menetapkan

Lebih terperinci

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r

2011, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir ini, yang dimaksud dengan: 1. Reaktor nondaya adalah r BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.534, 2011 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Operasi Reaktor Nondaya. Prosedur. Pelaporan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM

KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM KARAKTERISTIK PRODUK FISI SAAT TERJADI KECELAKAAN PARAH DAN EVALUASI SOURCE TERM RINGKASAN Penelitian karakterisitk produk fisi pada saat terjadi kecelakaan parah pada reaktor air ringan, dan evaluasi

Lebih terperinci

Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis)

Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis) Analisis Keselamatan Probabilistik (Probabilistic Safety Analysis) D T Sony Tjahyani Bidang Analisis Risiko dan Mitigasi Kecelakaan Pusat Pengembangan Teknologi Keselamatan Nuklir Badan Tenaga Nuklir Nasional

Lebih terperinci

TEORI DASAR RADIOTERAPI

TEORI DASAR RADIOTERAPI BAB 2 TEORI DASAR RADIOTERAPI Radioterapi atau terapi radiasi merupakan aplikasi radiasi pengion yang digunakan untuk mengobati dan mengendalikan kanker dan sel-sel berbahaya. Selain operasi, radioterapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Dasar Steam merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari teknologi modern. Tanpa steam, maka industri makanan kita, tekstil, bahan kimia, bahan kedokteran,daya, pemanasan

Lebih terperinci

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional 1 Pokok Bahasan STRUKTUR ATOM DAN INTI ATOM A. Struktur Atom B. Inti Atom PELURUHAN RADIOAKTIF A. Jenis Peluruhan B. Aktivitas Radiasi C. Waktu

Lebih terperinci

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

Lebih terperinci

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN III.1.

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I)

PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I) PRINSIP DASAR KESELAMATAN NUKLIR (I) Khoirul Huda Badan Pengawas Tenaga Nuklir Jl. Gajah Mada 8, Jakarta 1 KESELAMATAN NUKLIR M I S I Misi keselamatan nuklir adalah untuk melindungi personil, anggota masyarakat

Lebih terperinci

Oleh ADI GUNAWAN XII IPA 2 FISIKA INTI DAN RADIOAKTIVITAS

Oleh ADI GUNAWAN XII IPA 2 FISIKA INTI DAN RADIOAKTIVITAS Oleh ADI GUNAWAN XII IPA 2 FISIKA INTI DAN RADIOAKTIVITAS 1 - Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang - " Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan

Lebih terperinci

5. KIMIA INTI. Kekosongan elektron diisi elektron pada kulit luar dengan memancarkan sinar-x.

5. KIMIA INTI. Kekosongan elektron diisi elektron pada kulit luar dengan memancarkan sinar-x. 1 5. KIMIA INTI A. Unsur Radioaktif Unsur radioaktif secara sepontan memancarkan radiasi, yang berupa partikel atau gelombang elektromagnetik (nonpartikel). Jenis-jenis radiasi yang dipancarkan unsur radioaktif

Lebih terperinci

CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN SPESIFIK TAPAK

CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN SPESIFIK TAPAK KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN CONTOH TAHAPAN PERHITUNGAN

Lebih terperinci

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA

KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA KAJI NUMERIK DAMPAK RADIOLOGIS LINGKUNGAN JANGKA PENDEK AKIBAT KECELAKAAN REAKTOR NUKLIR DENGAN PROGRAM PC COSYMA Diah Hidayanti, Budi Rohman P2STPIBN-Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jl. Gajah Mada 8 Jakarta

Lebih terperinci

ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA

ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA ANALISIS DETERMINISTIK DAMPAK KECELAKAAN REAKTOR KARTINI TERHADAP KONSENTRASI RADIONUKLIDA DI TANAH MENGGUNAKAN SOFTWARE PC-COSYMA Desintha Fachrunnisa, Diah Hidayanti 2, Suharyana Universitas Sebelas

Lebih terperinci

FISIKA ATOM & RADIASI

FISIKA ATOM & RADIASI FISIKA ATOM & RADIASI Atom bagian terkecil dari suatu elemen yang berperan dalam reaksi kimia, bersifat netral (muatan positif dan negatif sama). Model atom: J.J. Thomson (1910), Ernest Rutherford (1911),

Lebih terperinci

TUGAS 2 MATA KULIAH DASAR KONVERSI ENERGI

TUGAS 2 MATA KULIAH DASAR KONVERSI ENERGI TUGAS 2 MATA KULIAH DASAR KONVERSI ENERGI Dosen : Hasbullah, S.Pd., MT. Di susun oleh : Umar Wijaksono 1101563 PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ELEKTRO JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III KARAKTERISTIK DESAIN HTTR DAN PENDINGIN Pb-Bi

BAB III KARAKTERISTIK DESAIN HTTR DAN PENDINGIN Pb-Bi BAB III KARAKTERISTIK DESAIN HTTR BAB III KARAKTERISTIK DESAIN HTTR DAN PENDINGIN Pb-Bi 3.1 Konfigurasi Teras Reaktor Spesifikasi utama dari HTTR diberikan pada tabel 3.1 di bawah ini. Reaktor terdiri

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN

NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN 9 LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN NILAI BATAS LEPASAN RADIOAKTIVITAS KE LINGKUNGAN Nilai Batas Lepasan Radioaktivitas

Lebih terperinci

REAKTOR AIR TEKAN (PRESSURIZED WATER REACTOR, PWR)

REAKTOR AIR TEKAN (PRESSURIZED WATER REACTOR, PWR) REAKTOR AIR TEKAN (PRESSURIZED WATER REACTOR, PWR) RINGKASAN Dalam PLTN tipe Reaktor Air Tekan, air ringan digunakan sebagai pendingin dan medium pelambat neutron (moderator neutron). Teras reaktor diletakkan

Lebih terperinci

CONTOH KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI. Kejadian Awal Terpostulasi. No. Kelompok Kejadian Kejadian Awal

CONTOH KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI. Kejadian Awal Terpostulasi. No. Kelompok Kejadian Kejadian Awal LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA CONTOH KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI Kejadian Awal Terpostulasi No. Kelompok

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR NONDAYA - 2 - CONTOH KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI Kejadian Awal Terpostulasi No. Kelompok

Lebih terperinci

Bab 2 PENDEKATAN TERHADAP PERTAHANAN BERLAPIS

Bab 2 PENDEKATAN TERHADAP PERTAHANAN BERLAPIS Bab 2 PENDEKATAN TERHADAP PERTAHANAN BERLAPIS 15. Pertahanan berlapis merupakan penerapan hierarkis berbagai lapisan peralatan dan prosedur untuk menjaga efektivitas penghalang fisik yang ditempatkan di

Lebih terperinci

DAFTAR STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA NUKLIR

DAFTAR STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA NUKLIR DAFTAR STANDAR KOMPETENSI TENAGA TEKNIK KETENAGALISTRIKAN BIDANG PEMBANGKITAN TENAGA NUKLIR BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 2010 DAFTAR ISI SUB BIDANG OPERASI LEVEL 1 Kode Unit : KTL.PO.28.101.01 Judul Unit

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG ASPEK PROTEKSI RADIASI DALAM DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

Lebih terperinci

BAB III BESARAN DOSIS RADIASI

BAB III BESARAN DOSIS RADIASI BAB III BESARAN DOSIS RADIASI Yang dimaksud dengan dosis radiasi adalah jumlah radiasi yang terdapat dalam medan radiasi atau jumlah energi radiasi yang diserap atau diterima oleh materi yang dilaluinya.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG DESAIN SISTEM CATU DAYA DARURAT UNTUK REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN 20 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fase merupakan keadaan dari suatu zat, dapat berupa padat, gas maupun cair. Dalam kehidupan sehari-hari selain aliran satu fase, kita juga temukan aliran multi fase.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

STUDI PARAMETER REAKTOR BERBAHAN BAKAR UO 2 DENGAN MODERATOR H 2 O DAN PENDINGIN H 2 O

STUDI PARAMETER REAKTOR BERBAHAN BAKAR UO 2 DENGAN MODERATOR H 2 O DAN PENDINGIN H 2 O Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 18, No. 3, Juli 2015, hal 95-100 STUDI PARAMETER REAKTOR BERBAHAN BAKAR UO 2 DENGAN MODERATOR H 2 O DAN PENDINGIN H 2 O Very Richardina 1*, Wahyu Setia Budi 1 dan Tri

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN)

MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) MAKALAH PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) Di Susun Oleh: 1. AFRI YAHDI : 2013110067 2. M.RAZIF : 2013110071 3. SYAFA RIDHO ILHAM : 2013110073 4. IKMARIO : 2013110079 5. CAKSONO WIDOYONO : 2014110003

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Hasbullah, M.T. Electrical Engineering Dept., Energy Conversion System FPTK UPI 2009

Hasbullah, M.T. Electrical Engineering Dept., Energy Conversion System FPTK UPI 2009 Hasbullah, M.T Electrical Engineering Dept., Energy Conversion System FPTK UPI 2009 Konversi Energi (Energy Conversion) : Perubahan bentuk energi dari yang satu menjadi bentuk energi lain. Hukum konservasi

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA - 2 - KEJADIAN AWAL TERPOSTULASI (PIE) 1.1. Lampiran ini menjelaskan definisi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis yang akan diuraikan meliputi hasil studi berkenaan dengan kecelakaan PLTN terdiri dari sekenario dan asumsi kecelakaan pada reaktor yang akan dibangun di PLTN Muria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penduduk dunia yaitu sekitar 7 miliar pada tahun 2011 (Worldometers, 2012),

I. PENDAHULUAN. penduduk dunia yaitu sekitar 7 miliar pada tahun 2011 (Worldometers, 2012), 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yaitu sekitar 7 miliar pada tahun 2011 (Worldometers, 2012), maka peningkatan kebutuhan

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

Reactor Safety System and Safety Classification BAB I PENDAHULUAN

Reactor Safety System and Safety Classification BAB I PENDAHULUAN DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Tujuan Keselamatan... 3 1.2. Fungsi Keselamatan Dasar... 3 1.3. Konsep Pertahanan Berlapis... 6 BAB II SISTEM KESELAMATAN REAKTOR DAYA PWR DAN BWR... 1 2.1. Pendahuluan...

Lebih terperinci

PEMBANGKIT PENGENALAN (PLTN) L STR KTENAGANUKLTR

PEMBANGKIT PENGENALAN (PLTN) L STR KTENAGANUKLTR PENGENALAN (PLTN) PEMBANGKIT L STR KTENAGANUKLTR I _ Sampai saat ini nuklir khususnya zat radioaktif telah dipergunakan secara luas dalam berbagai bidang seperti industri, kesehatan, pertanian, peternakan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN DESAIN REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI

INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI INTERAKSI RADIASI DENGAN MATERI Disusun Oleh : ERMAWATI UNIVERSITAS GUNADARMA JAKARTA 1999 1 ABSTRAK Dalam mendesain semua sistem nuklir, pelindung radiasi, generator isotop, sangat tergantung dari jalan

Lebih terperinci

Sistem pengering pilihan

Sistem pengering pilihan Sistem pengering pilihan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan alat pengeringan yang khusus (pilihan) Sub Pokok Bahasan 1.Pengering dua tahap 2.Pengering

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama dipenuhi dengan mengembangkan suplai batu bara, minyak dan gas alam.

BAB I PENDAHULUAN. terutama dipenuhi dengan mengembangkan suplai batu bara, minyak dan gas alam. BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Konsumsi energi dunia tumbuh dua puluh kali lipat sejak tahun 850 sementara populasi dunia tumbuh hanya empat kali lipat. Pada pertumbuhan awal terutama dipenuhi dengan

Lebih terperinci

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 301. Pengelolaan limbah radioaktif yang bertanggungjawab memerlukan implementasi dan pengukuran yang menghasilkan perlindungan kesehatan manusia dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan yang berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang

Lebih terperinci

PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR

PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR PENGENALAN DAUR BAHAN BAKAR NUKLIR RINGKASAN Daur bahan bakar nuklir merupakan rangkaian proses yang terdiri dari penambangan bijih uranium, pemurnian, konversi, pengayaan uranium dan konversi ulang menjadi

Lebih terperinci

BAB III DAUR ULANG PLUTONIUM DAN AKTINIDA MINOR PADA BWR BERBAHAN BAKAR THORIUM

BAB III DAUR ULANG PLUTONIUM DAN AKTINIDA MINOR PADA BWR BERBAHAN BAKAR THORIUM BAB III DAUR ULANG PLUTONIUM DAN AKTINIDA MINOR PADA BWR BERBAHAN BAKAR THORIUM 3.1. Siklus Bahan Bakar Nuklir Siklus bahan bakar nuklir (nuclear fuel cycle) adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pemanfaatan

Lebih terperinci

Analisis Termal Hidrolik Gas Cooled Fast Reactor (GCFR)

Analisis Termal Hidrolik Gas Cooled Fast Reactor (GCFR) Bab 2 Analisis Termal Hidrolik Gas Cooled Fast Reactor (GCFR) 2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Prinsip kerja dari pembangkit listrik tenaga nuklir secara umum tidak berbeda dengan pembangkit listrik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di

BAB I PENDAHULUAN. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) telah banyak dibangun di beberapa negara di dunia, yang menghasilkan energi listrik dalam jumlah yang besar. PLTN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

2. Reaktor cepat menjaga kesinambungan reaksi berantai tanpa memerlukan moderator neutron. 3. Reaktor subkritis menggunakan sumber neutron luar

2. Reaktor cepat menjaga kesinambungan reaksi berantai tanpa memerlukan moderator neutron. 3. Reaktor subkritis menggunakan sumber neutron luar - Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan stasiun pembangkit listrik thermal di mana panas yang dihasilkan diperoleh dari satu atau lebih reaktor nuklir pembangkit listrik. - PLTN dikelompokkan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah.

1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah. 1. Hasil pengukuran yang ditunjukkan oleh alat ukur dibawah ini adalah. 1 A. 5, 22 mm B. 5, 72 mm C. 6, 22 mm D. 6, 70 mm E. 6,72 mm 5 25 20 2. Dua buah vektor masing-masing 5 N dan 12 N. Resultan kedua

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Fisika EBTANAS Tahun 1996

Fisika EBTANAS Tahun 1996 Fisika EBTANAS Tahun 1996 EBTANAS-96-01 Di bawah ini yang merupakan kelompok besaran turunan A. momentum, waktu, kuat arus B. kecepatan, usaha, massa C. energi, usaha, waktu putar D. waktu putar, panjang,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini dapat memiliki dampak yang positif dan negatif bagi

Lebih terperinci