ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A"

Transkripsi

1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek dan menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series tahunan dari tahun Jenis data yang digunakan adalah permintaan cengkeh industri rokok kretek, harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah penduduk, jumlah industri rokok kretek dan ekspor rokok kretek. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) dan literatur-literatur serta laporan-laporan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek di Indonesia di samping permintaan itu sendiri. Sedangkan metode kuatitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditi cengkeh. Model yang digunakan dalam analisis data adalah model regresi linier berganda. Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: QdC = β 0 + β 1 PC t + β 2 NpRk t + β 3 NiRk t + β 4 ExRk t + β 5 Pop t + β 6 D + ε t Persamaan di atas mengasumsikan bahwa permintaan cengkeh industri rokok kretek dipengaruhi oleh harga riil cengkeh, jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek, ekspor rokok kretek, jumlah penduduk dan dummy kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian ini juga dilihat nilai elastisitas rataan setiap variabel bebas. Dari penelitian ini diperoleh hasil rata-rata pertumbuhan konsumsi cengkeh industri rokok kretek dari tahun sebesar 1,2 persen per tahun. Besarnya konsumsi cengkeh industri rokok sangat tergantung pada jumlah cengkeh yang terkandung dalam setiap jenis rokok dan jumlah produksi rokok kretek. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia adalah jumlah produksi rokok kretek, jumlah industri rokok kretek dan lag permintaan cengkeh industri rokok kretek. Dari nilai elastisitas, elastisitas rataan dari jumlah produksi rokok kretek yang memiliki nilai terbesar. Namun demikian tidak ada diantaranya yang bersifat elastis. Dengan besarnya kebutuhan cengkeh industri rokok kretek, pemerintah perlu menjamin ketersediaan cengkeh melaui pengelolaan stok cengkeh dengan pengadaan gudang sementara dan juga membuat suatu pola usahatani cengkeh pada daerah yang sesuai dengan keadaan tumbuh tanaman cengkeh.

3 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA Oleh: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Royan Agustinus Siburian NRP : A Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP Mengetahui, Dekan Fakuktas pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP Tanggal Kelulusan:

5 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Febuari 2008 Royan Agustinus Siburian A

6 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putera dari pasangan Bapak Budiman Siburian dan Ibu Yatan Ngau merupakan anak kelima dari lima besaudara. Penulis dilahirkan di Tanjung Selor pada tanggal 11 Agustus Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan Propinsi Kalimantan Timur pada tahun Pada tahun 1995 sampai tahun 1998, penulis menempuh pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanjung Selor. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Tanjung Selor dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (undangan seleksi masuk IPB). Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (UKM-PMK IPB). Dan pada periode tahun 2003/2004 menjabat bendahara komisi Diaspora.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. A. Faroby Falatehan, SP, ME. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Adi Hadianto, SP. selaku dosen penguji departemen yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 4. Orang tua dan keluarga besar, atas dukungan doa dan motivasi kepada penulis. 5. Semua mahasiswa/mahasiswi eps 38 atas kebersamaannya selama ini. 6. Keluarga besar UKM PMK IPB atas dukungan dan doanya bagi penulis. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Febuari 2008 Royan Agustinus Siburian A

8 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii v vii viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup.. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Cengkeh Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia Mutu Cengkeh Indonesia Tataniaga Cengkeh Indonesia Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia Tinjauan Studi Terdahulu BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Permintaan... 32

9 Pergerakan Sepanjang Kurva Permintaan Versus Pergeseran Seluruh Kurva Permintaan Permintaan Industri Elastisitas Permintaan a. Elastisitas Permintaan terhadap Harga b. Elastisitas Permintaan Silang c. Elastisitas Permintaan terhadap Pendapatan Kerangka Pemikiran Operasional BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Metode Analisis dan Pengolahan Data Model Persamaan Regresi Evaluasi Model Kriteria Ekonomi Kriteria Statistik Kriteria Ekonometrika Model Persamaan Pendugaan Konsep Elastisitas Permintaan Hipotesis Penelitian BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek Uji Ekonometrika... 65

10 5.4. Uji Statistik Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh Industri Rokok Kretek di Indonesia Implikasi Kebijakan.. 71 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran. 74 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 78

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional Tahun Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia 4 3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar Standar Mutu Cengkeh Indonesia Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek ( ) Perkembangan Kandungan Cengkeh dalam Rokok Kretek Menurut Berbagai Penelitian dan Laporan Tahun Perkembangan Produksi Rokok Kretek Nasional Tahun Perkembangan Konsumsi Cengkeh Industri Rokok Kretek Tahun versi Gappri (Ton) Hasil Model Lengkap (data asal) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun Hasil Model (dalam bentuk logaritma natural) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh

12 di Indonesia Tahun Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa variabel ekspor rokok) Tahun Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (tanpa ekspor rokok dan populasi) Tahun Hasil Model Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (dengan penambahan variabel lag) Tahun

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek Perkembangan Produksi Rokok Kretek Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun Rantai Tataniaga Non-Keppres Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun Kurva Primary Demand dan Derived Demand Menurunkan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marjinal untuk Kurva Tenaga Kerja dari Kurva Produk Total Kerangka Pemikiran Operasional.. 43

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Analisis Korelasi Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun Hasil Analisis Regresi (Data dalam Bentuk Logaritma) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia Tahun Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (Tanpa Eekspor) di Indonesia Tahun Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh di Indonesia (Tanpa Ekspor dan Populasi) Tahun Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Cengkeh (dengan Lag) di Indonesia Tahun Uji Heteroskedastisistas Uji Normalitas 86

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cengkeh atau dalam bahasa latinnya di kenal dengan Eugenia aromatikal / Syzigium, L. adalah salah satu komoditas penting tanaman perkebunan. Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku (Conti dalam Ruhnayat, 2002). Cengkeh sebagai sumber pendapatan petani tanaman perkebunan dan dalam industri rokok kretek merupakan sumber bahan baku utama. Selain itu cengkeh juga berperan dalam industri minyak cengkeh dan industri-industri lainnya. Cengkeh memberikan keterkaitan industri hilir dan hulu. Keterkaitan ini dapat memberikan pendapatan, nilai tambah serta berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Industri berbahan baku cengkeh seperti industri rokok kretek dapat memberikan pendapatan untuk negara dalam bentuk cukai rokok. Gambar 1 menunjukkan penggunaan cukai rokok terus meningkat yang sejalan juga peningkatan penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Penggunaan Pita Cukai (Trilyun Rupiah) Tahun Sumber: Rumangit,2007 Gambar 1. Penggunaan Cukai Rokok Kretek

16 Produksi cengkeh yang dihasilkan 95 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat dan sisanya diusahakan oleh perkebunan swasta dan perkebunan negara. Dari produksi cengkeh nasional, industri rokok kretek merupakan konsumen utama cengkeh karena menyerap 95 persen produksi cengkeh nasional yang digunakan sebagai bahan baku utama dalam memproduksi rokok kretek. Perkembangan produksi rokok kretek mengalami peningkatan (Gambar 2) terutama produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), hal ini akan menyebabkan permintaan cengkeh meningkat. Sejalan dengan peningkatan permintaan cengkeh terutama dari sektor industri rokok kretek, untuk memenuhi permintaan dalam negeri Indonesia harus mengimpor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar. Dengan keadaan yang demikian, Indonesia merupakan negara produsen dan pengimpor cengkeh terbesar di dunia. SKT SKM KLB Total 250 Produksi (MilyarBatang) Sumber: Gappri, 2006 Keterangan: SKT = Sigaret Kretek Tangan SKM = Sigaret Kretek Mesin KLB = Klobot Tahun Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok Kretek

17 Besarnya kebutuhan devisa untuk mengimpor cengkeh guna memenuhi permintaan dalam negeri, pada tahun 1969 pemerintah menetapkan program swasembada untuk tanaman cengkeh. Dekade 1970-an diwarnai dengan adanya kekurangan produksi dan harga cengkeh terus meningkat. Tertarik dengan harga yang terus meningkat maka pada waktu itu petani berlomba-lomba untuk menanam cengkeh, sehingga pada dekade 1970-an terjadi demam cengkeh. Dekade 1980-an, swasembada cengkeh nasional tercapai pada tahun Selama dekade ini, produksi cengkeh terus meningkat sebagai akibat dari perluasan areal tanaman cengkeh diberbagai lokasi. Data luasan areal dan produksi tanaman cengkeh nasional tahun dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Tanaman Cengkeh Nasional Tahun Tahun Luas Areal Produksi Luas Areal Produksi Tahun (Ha) (Ton) (Ha) (Ton) * Sumber: Departemen Pertanian, 2006 Keterangan: * = Estimasi

18 Tercapainya swasembada cengkeh, impor cengkeh Indonesia turun sangat drastis, dari volume impor ton pada tahun 1985 turun menjadi ton pada tahun 1986 bahkan hanya 6-12 ton pada tahun-tahun berikutnya. Volume dan nilai ekspor, impor Indonesia dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor-Impor Cengkeh Indonesia Tahun Ekspor Impor Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$) Sumber : Departemen Pertanian, 2006 Gonarsyah (1996) mengemukakan bahwa saat awal terjadinya kelebihan pasokan (oversupply) cengkeh di pasar domestik sejak awal tahun 1988, impor

19 cengkeh di atur secara ketat. Impor cengkeh hanya dapat dilakukan dengan izin khusus oleh importir terdaftar atau yang di tunjuk. Kemudian pada tahun 1995, impor cengkeh disatukan dengan kegiatan pengadaan cengkeh dalam negeri yaitu dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Langkah stategis ini di tempuh pemerintah dengan alasan untuk meredam masuknya cengkeh impor. Hal ini berdampak dengan tidak adanya impor cengkeh tahun Kondisi ini berbalik saat dibubarkannya BPPC pada tahun 1998, mulai saat itu terjadi lonjakan impor cengkeh terutama pada periode tahun Dengan demikian, untuk mengantisipasiterjadinya lonjakan impor cengkeh yang akan mengakibatkan turunnya harga cengkeh di pasar domestik terutama pada saat panen raya, maka tahun 2002 melalui SK Memperindag RI No 528/MPP/Kep/7/2002 tentang ketentuan Impor Cengkeh, antara lain mengatur bahwa importir cengkeh adalah industri pengguna cengkeh yang memiliki Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (API-T) yang disetujui untuk mengimpor cengkeh yang diperlukan semata-mata untuk proses produksi dan pada saat ini impor cengkeh dikenakan tarif impor sebesar 5 persen. Dampak langsung dari pembatasan impor tersebut menunjukkan penurunan volume impor cengkeh yang signifikan pada tahun Pada dekade 1990-an, perkembangan produksi cengkeh cenderung fluktuatif jika dibandingkan dengan perkembangan konsumsi cengkeh (Gambar 3). Terjadinya fluktusi produksi cengkeh, terutama disebabkan oleh perilaku produksi tanaman cengkeh itu sendiri yang mengikuti siklus empat tahunan. Produksi cengkeh mencapai puncaknya pada saat panen raya berlangsung, setelah itu produksi akan kembali turun drastis pada tahun berikutnya karena tanaman

20 cengkeh dalam tahap pemulihan, setelah itu terjadi panen kecil pada dua tahun berikutnya, dan begitu seterusnya. Selain itu, penurunan produksi juga disebabkan oleh kurang intensifnya pemeliharaan tanaman disebagian besar sentra produksi cengkeh sebagai dampak dari rendahnya tingkat harga cengkeh pada beberapa tahun yang lalu, terlebih pada saat panen raya. Sedangkan konsumsi cengkeh industri rokok kretek cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya produksi rokok kretek. Produksi Konsumsi Volume (Ton) Tahun Sumber: Gappri,2006 Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Cengkeh Dengan keadaan ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga cengkeh. Rata-rata harga cengkeh meningkat hampir tiga kali lipat dari Rp per Kg tahun 1998 menjadi Rp per Kg pada tahun Kemudian terus meningkat berkisar Rp hingga Rp pada Juni 2002, namun berangsur turun hingga mencapai Rp per Kg di akhir tahun Hal ini menyebabkan petani yang memiliki bargaining position lemah hanya menerima harga yang berlaku di pasar, apalagi saat panen raya petani bahkan menerima

21 harga yang lebih rendah karena mereka tidak mampu mempertahankan stok sambil menunggu harga yang lebih baik Perumusan Masalah Kebutuhan akan cengkeh terus meningkat, terutama permintaan cengkeh untuk faktor produksi industri rokok kretek. Walaupun kebutuhan cengkeh terus meningkat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan harga cengkeh. Harga cengkeh terus berfluktuasi menyebabkan produksi cengkeh dalam negeri terganggu. Dengan keadaan percengkehan nasional yang tak menentu, masalah-masalah yang menarik untuk diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini dapat disusun sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan perkembangan konsumsi cengkeh oleh industri rokok kretek. 2. Menganalisis faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi permintaan cengkeh oleh industri rokok kretek.

22 1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini hanya mencakup sisi permintaan cengkeh industri rokok kretek di Indonesia. Hasil penelitian ini akan memberi gambaran umum mengenai kondisi perkembangan konsumsi cengkeh industri rokok kretek, dan dapat juga menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap cengkeh oleh industri rokok kretek.

23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Cengkeh Cengkeh adalah bunga yang belum mekar yang dikeringkan hingga kadar airnya tersisa antara 11 sampai 12 persen. Menurut Conti dalam Ruhnayat (2002), tanaman cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia tepatnya berasal dari daerah Banda di kepulauan Maluku. Sampai abad ke-18 hanya Maluku satu-satunya produsen cengkeh. Namun di permulaan abad ke-19, Kepulauan Zanzibar dan Madagaskar telah merupakan produsen baru cengkeh (Hadiwijaya, 1989). Gmelig dalam Sumargandi (1983) membedakan jenis cengkeh di Indonesia dalam jenis cengkeh liar dan cengkeh dibudidayakan. Masing-masing jenis di bagi dalam dua tipe utama dan dalam tiap tipe utama terdapat sub-sub tipe. Jenis yang paling dominan dibudidayakan adalah sub jenis Sikotok, Siputih dan Zanzibar. Perbedaan sifat antara ketiga jenis cengkeh dapat dilihat dari daun, bunga, percabangan dan akarnya (Tabel 3). Dari ke tiga jenis cengkeh, jenis Zanzibar memiliki daya tahan yang lebih baik. Dengan terjadinya persarian persilangan maka terjadilah bentuk-bentuk peralihan dari ke tiga jenis cengkeh tersebut. Oleh karena itu sulit untuk membedakan jenis cengkeh yang ada sekarang. Tanaman cengkeh mempunyai dua masa kritis dalam siklus hidupnya, yaitu masa sebelum tanaman mencapai umur 3 tahun dan setelah umur 8 tahun, terutama pada awal dan sesudah panen pertama. Keadaan pertumbuhan tanaman tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan cara budidaya. Tanaman

24 cengkeh dimasukkan pada kategori tanaman manja dalam arti memerlukan lingkungan yang khusus dan pemeliharaan yang intensif (Ruhnayat, 2002). Tabel 3. Perbedaan Sifat antara Siputih, Sikotok dan Zanzibar Sifat Siputih Sikotok Zanzibar Warna daun Ukuran helai daun Cabang, dahan dan daun Letak percabangan Warna bunga Besar bunga Kuning atau hijau muda Besar Hijau sampai hijau tua Lebih kecil dari siputih Hijau gelap Panjang dan ramping Kurang rimbun Sangat rindang Sangat rindang Agak jauh dari permukaan tanah, cabang bawah mati Kuning Besar Dekat dengan permukaan tanah, cabang bawah terus tumbuh Kuning dengan sedikit kemerahmerahan pada pangkal bunganya Lebih kecil dari siputih Dekat dengan permukaan tanah, cabang bawah terus tumbuh Lebih merah Kecil atau sedang Jumlah bunga Kurang lebat Lebat Lebat Jumlah perakaran Sedikit Agak banyak Banyak Resisten terhadap Diduga lebih tahan Diduga lebih tahan Diduga tidak tahan mati bujang dari siputih dari siputih Daya adaptasi terhadap sifat tanah yang kurang baik Diduga kurang baik Diduga lebih baik Diduga lebih baik Sumber: Taruli, 2002 Cengkeh menghendaki iklim yang panas dengan curah hujan cukup merata, karena tanaman ini tidak tahan kemarau panjang. Tanaman cengkeh tumbuh dengan baik pada suhu optimum 18ºC-30ºC, kelembaban optimum antara persen, ketinggian meter dari permukaan laut dan curah hujan mm tiap tahun (Hadiwijaya dalam Taruli, 2002). Selain itu, tanah yang sesuai adalah yang gembur, solum yang tebal (minimal 1,5 meter) dan kedalaman air tanah lebih dari 3 meter dari permukaan tanah serta memiliki tingkat

25 kemasaman 5,5-6,5 ph. Jenis tanah yang cocok antara lain latosol, podsolik merah, mediterian dan andosol (Ruhnayat, 2002) Produksi dan Luas Areal Tanaman Cengkeh Indonesia Menurut Kemala (1999), perkembangan luas areal tanaman cengkeh sangat dipengaruhi harga. Jika harga dan luas areal tanaman cengkeh tidak dipertahankan dikuatirkan produktivitas cengkeh akan terus menurun. Penurunan produktivitas ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki petani sehingga mereka tidak mampu mengelola usahatani cengkeh dengan baik. Hal tersebut berakibat terhadap menurunnya pasokan cengkeh pada tahun-tahun yang akan datang. Menurut Wahid dalam Yuhono (1997), tanaman cengkeh termasuk tanaman yang berbunga terminal dalam arti mengenal siklus produksi dimana setiap tiga sampai empat tahun terjadi satu kali berbunga lebat, satu kali berbunga sedang dan satu kali berbunga sedikit. Di sisi lain tanaman cengkeh mengenal kesesuaian lahan dan agroklimat dimana tiap daerah dapat berbeda satu sama lain sehingga jatuh tempo dari siklus produksi dapat bervariasi bagi seluruh wilayah produsen cengkeh di Indonesia. Pengaruh simultan dari faktor tersebut menyebabkan fluktuasi produksi cengkeh nasional. Ruhnayat (1997) menyimpulkan bahwa penyebab utama fluktuasi produksi tanaman cengkeh adalah faktor iklim, genetis, fisiologis dan budidaya. a. Faktor iklim Faktor iklim cukup menentukan pembungaan tanaman cengkeh. Pengaruh iklim ini berkisar antara persen (Wahid dalam Ruhnayat, 1997). Hubungan

26 antara iklim dengan pembungaan ini terjadi karena untuk inisiasi pembungaan diperlukan hormon florigen yang pembentukannya dirangsang oleh faktor iklim. Dengan demikian faktor iklim akan mengarahkan tanaman apakah akan terus tumbuh vegetatif atau generatif. Menurut Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), untuk pembungaan tanaman cengkeh membutuhkan adanya suatu periode yang agak kering tanpa hujan sama sekali dan penyinaran matahari yang terik. Pengaruh faktor iklim masih terus berlanjut walaupun inisiasi pembungaan telah terjadi atau bakal bunga telah muncul. Hadiwijaya dalam Ruhnayat (1997), mengemukakan bahwa bakal bunga ini biasanya mulai tampak pada periode kurang lebih dua bulan setelah adanya masa kering selama dua minggu berturutturut. Namun apabila terjadi curah hujan yang sangat tinggi dan diikuti dengan kelembaban serta temperatur udara yang dingin di malam hari maka bakal bunga dapat berubah menjadi kuncup daun. Sedangkan apabila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan pertumbuhan bakal bunga menjadi terganggu. Perubahan iklim menyebabkan fluktuasi hasil cengkeh sulit untuk diatasi. Perubahan iklim tidak bisa dicegah dan terjadinya meliputi daerah yang cukup luas. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk memperkecil terjadinya fluktuasi hasil cengkeh yang diakibatkan oleh iklim adalah dengan cara membudidayakannya pada daerah yang sesuai terutama keadaan curah hujan ratarata satu sampai empat bulan sebelum primordial bunga. b. Faktor genetis Paling sedikit ada tiga faktor genetis tanaman cengkeh yang ada hubungannya dengan fluktuasi hasil yaitu sifat berbunga terminal, daya regenerasi yang rendah dan jarak antara waktu panen ke masa pembungaan selanjutnya yang

27 relatif pendek. Pada tanaman yang berbunga terminal, bunga hanya keluar pada ujung-ujung pucuk. Apabila terjadi pembungaan yang lebat, hampir semua ujung pucuk tersebut terisi bunga sehingga pertumbuhan vegetatif yang diperlukan untuk pembentukan energi baru mendatang menjadi kurang. Akibatnya sehabis panen besar, tanaman cengkeh menjadi merana. Hal ini ditunjang pula oleh sifat genetis tanaman cengkeh yang lainnya yaitu daya regenerasi tanaman yang rendah sedangkan jarak antara waktu panen ke masa pembentukan bunga primordial bunga selanjutnya relatif pendek yaitu antara tiga sampai empat bulan. Setelah panen besar hal tersebut seringkali menyebabkan primordial bunga yang muncul hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu pemilihan varietas tanaman yang memiliki daya regenerasi yang cepat perlu diupayakan karena tipe tanaman yang demikian hasil panennya kurang berfluktuasi. c. Faktor fisiologis Seperti telah dikatakan di atas bahwa tanaman cengkeh bersifat berbunga terminal. Keluarnya primordial bunga pada ranting terminal ini selain dipengaruhi oleh faktor dari luar juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam tanaman. Salah satu faktor dari dalam tanaman adalah kondisi fisiologis yang mencakup status senyawa-senyawa yang dapat mempengaruhi terbentuknya primordial bunga seperti kandungan karbohidrat, asimilatat, hara mineral dan fitohormon. Pada masa pembungaan yang lebat sebagian besar asimilatat dan unsur hara akar ditranslokasikan untuk pengembangan struktur reproduktif sehingga pembentukan tunas vegetatif yang akan datang mendukung struktur reproduktif

28 pada tahun berikutnya akan berkurang. Keadaan ini semakin menjadi buruk bila kesuburan fisik dan kimia tanah menurun. Upaya menyeimbangkan pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan produktif dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perompesan sebagian kuncup bunga merupakan salah satu cara untuk mengurangi terkurasnya karbohidrat cadangan. Cara ini mampu menstimulir timbulnya ranting-ranting vegetatif baru satu bulan sebelum bunga dipanen. Cara lain untuk mendorong pertumbuhan vegetatif dan reproduktif adalah dengan pemupukan. Tanaman yang dipupuk mempunyai fluktuasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk. Selain itu senyawa kimia seperti kalium nitrat memiliki potensi untuk merangsang pembungaan pada tanaman cengkeh. Pemberian zat perangsang diberikan setelah panen besar. d. Faktor budidaya Dari aspek budidaya yang paling berpengaruh terhadap terjadinya fluktuasi hasil pada tanaman cengkeh antara lain penggunaan bahan tanaman yang kurang unggul, pemeliharaan dan cara panen. Untuk tanaman yang cukup tinggi sebaiknya panen dilakukan dengan menggunakan tangga dan hindari memanjat pohon karena percabangan cengkeh yang mudah patah. Sedangkan cara pemetikan bunga yang baik adalah daun tidak ikut dipetik, yaitu dengan cara menjepit pangkal gagang dengan tangan kiri, kemudian tangan kanan memetik bunga. Dengan cara ini pada ruas yang daunnya tidak ikut dipetik akan tumbuh tunas baru sebagai cabang tempat keluarnya bakal-bakal bunga pada masa pembungaan selanjutnya. Sedangkan apabila daun ikut terpetik, tunas baru

29 tersebut lebih lama keluarnya sehingga calon bunga biasanya akan muncul dua sampai tiga tahun kemudian Mutu Cengkeh Indonesia Pengembangan areal pertanaman cengkeh dilakukan pada jenis lahan yang berbeda-beda. Hal ini ternyata mengakibatkan variasi cengkeh yang dihasilkan cukup besar (Rusli dalam Hidayat,1997). Penyebab lain dari variasi mutu cengkeh menurut Laksmanahardja et al. dalam Hidayat (1997) karena perbedaaan varietas tanaman serta cara pengolahan yang berlainan. Untuk meningkatkan dan menekan variasi mutu maka diperlukan standar mutu cengkeh. Dengan adanya standar mutu yang telah disepakati bersama antara produsen dan konsumen maka kepastian perdagangan dapat ditingkatkan. Konsumen dapat mengetahui dengan pasti mutu barang yang akan di beli dan produsen dapat mengarahkan mutu produksinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Standar mutu cengkeh yang berlaku di Indonesia adalah SNI No yang di buat oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN) dari Standar Perdagangan SP Standar mutu cengkeh di susun setelah mempelajari hasil survei diperkebunan rakyat dan swasta, pabrik rokok kretek, wawancara dengan pihak-pihak yang berkecimpung dalam perdagangan cengkeh, dan membandingkan dengan standar mutu cengkeh dari American Spice Trade Association (ASTA), serta dengan beberapa negara importir dan negara eksportir cengkeh. Standar mutu cengkeh Indonesia dapat di lihat pada Tabel 4.

30 Tabel 4. Standar Mutu Cengkeh Indonesia Syarat Mutu Mutu I Mutu II Mutu III Ukuran Rata Rata Tidak rata Warna Cokelat kehitaman Cokelat Cokelat Bahan asing (%, b/b) maks. 0,5 1 1 Gagang cengkeh (%, b/b) maks Cengkeh inferior (%, b/b) maks Cengkeh rusak Negatif Negatif Negatif Kadar air (%, v/b) maks Kadar minyak atsiri (%< v/b) min Sumber: Ruhnayat, 2002 Syarat mutu dari cengkeh terdiri dari ukuran, warna, bahan asing, gagang cengkeh, cengkeh inferior, cengkeh rusak, kadar air dan kadar minyak atsiri. Bahan asing dalam syarat mutu diartikan sebagai semua bahan yang bukan berasal dari bunga cengkeh. Cengkeh inferior adalah cengkeh keriput, patah dan cengkeh yang telah dibuahi. Sedangkan cengkeh rusak adalah cengkeh berjamur dan telah diekstraksi. Selain standar mutu untuk cengkeh, telah ditetapkan juga standar mutu untuk minyak cengkeh baik yang dari daun, gagang maupun bunga (Tabel 5). Standar mutu minyak cengkeh dari daun telah ditetapkan oleh DSN yang dituangkan dalam SNI No Sementara Indonesia belum menetapkan standar mutu minyak cengkeh dari bagian gagang dan bunga. Untuk acuan standar mutu minyak gagang cengkeh digunakan standar dari Standar of Essential Oil Association (EOA) No. 178, sedangkan untuk minyak bunga cengkah digunakan standar dari Internasional Standard Organization (ISO) atau kesepakatan antara produsen dan konsumen.

31 Tabel 5. Standar Mutu Minyak Daun, Gagang dan Bunga Cengkeh Syarat Mutu Daun (SNI) Gagang (EOA) Bunga (ISO) Bobot jenis (25º/25ºC) 1,03 1,06 1,048 1,056 1,044 1,057 Indeks bias (20ºC) 1,52 1,54 1,534 1,538 1,528 1,538 Putaran optik (º) 1º35 0º (-1º30 ) 0º (-1º35 ) Kadar eugenol total (%) Kelarutan dalam alkohol 70% 1 : 2 1 : 2 1 : 2 Minyak pelikan negatif - - Minyak lemak negatif - - Sumber: Ruhnayat, 2002 Masalah mutu yang banyak dijumpai pada pengolahan cengkeh di tingkat petani antara lain variasi mutu yang cukup besar serta mutu cengkeh yang dihasilkan masih relatif rendah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil analisis beberapa parameter mutu baik fisik maupun kimiawi (Tabel 6). Menurut Hidayat dan Nurdjannah (1997), kadar minyak cengkeh yang dihasilkan dari beberapa sentra produksi cengkeh di Indonesia sebagian besar baru masuk dalam kelompok mutu II dan mutu III serta bahkan ada yang tidak masuk dalam standar mutu. Ditinjau dari kadar air, cengkeh yang dihasilkan petani umumnya mempunyai kadar air yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan standar mutu (maksimal 14 persen). Hal ini bertentangan dengan pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa cengkeh dari petani mempunyai kadar air yang terlalu tinggi.

32 Tabel 6. Hasil Analisis Beberapa Parameter Mutu Cengkeh dari Beberapa Sentra Produksi di Indonesia No Propinsi Daerah Kadar air (%) Kadar minyak (%) Kadar abu (%) 1 Sulawesi Utara Minahasa 7,4 14,2 6,3 Sangir 7,8 16,6 4,8 2 Sulawesi Selatan Bantaeng Bulukumba Wajo Tana Toraja Enrekang 10,2 9,5 8,5 6,5 10,0 20,1 18,8 18,6 19,3 21,1 10,8 11,1 12,8 11,7 11,4 3 Sulawesi Tengah Toli-toli 10,3 15,6 6,2 4 Aceh Lampuuk Samalaga Sabang 8,8 7,5 9,2 17,7 18,4 17,1 7,0 6,2 4,2 5 Sumatera Barat 6 Lampung 7 Bengkulu 8 Jawa Barat 9 Jawa Tengah 10 Jawa Timur 11 Bali 12 Maluku Sumber: Taruli, 2002 Solok Teluk Kabuas Sungai Batang Lampung Utara Lampung Tengah Lampung Selatan Kodya Bengkulu Bengkulu Utara Sukabumi Bogor Salatiga Banyumas Moga Waleri Jombang Malang Trenggalek Buleleng Tabanan Jembrana Maluku Utara Maluku Tengah 7,8 7,8 11,5 15,4 11,7 10,6 11,3 11,3 8,3 11,0 7,5 7,8 9,8 10,0 8,0 8,5 9,5 8,6 9,7 11,7 8,5 7,7 17,1 18,3 16,2 18,3 17,2 15,0 16,3 15,4 18,9 19,1 16,6 17,5 19,4 18,5 17,0 15,7 19,7 20,1 18,8 17,3 18,9 17,0 5,8 6,9 6,8 4,6 4,9 4,8 3,9 4,5 6,6 6,8 6,2 6,0 5,8 5,9 6,4 6,5 6,0 5,8 6,0 5,8 5,5 5,3 Beberapa upaya perbaikan untuk menanggulangi permasalahan mutu cengkeh antara lain dapat dilakukan dengan perwilayahan cengkeh sehingga penanaman dilakukan pada daerah yang sangat sesuai, penggunaan varietas unggul serta perbaikan dan standarisasi cara pengolahan. Perbaikan cara pengolahan antara lain dengan waktu panen yang tepat sehingga rendemen cengkeh kering dan kadar minyak meningkat serta cengkeh inferior dan menir

33 berkurang. Untuk mengurangi kadar bahan asing, pengeringan sebaiknya dilakukan pada lantai jemur yang bersih atau di atas para-para menggunakan tampah atau dengan pengering buatan. Selain itu kadar bahan asing dan persentase gagang cengkeh dapat dikurangi dengan melakukan sortasi sebelum cengkeh disimpan atau dipasarkan Tataniaga Cengkeh Indonesia Menurut Sinaga (1999), tataniaga merupakan bagian perilaku ekonomi yang termasuk dalam kelompok distribusi. Tataniaga atau sistem pemasaran adalah suatu cara untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen agar dapat tiba kepada konsumen. Fungsi tataniaga merupakan peningkatan kegunaan suatu barang yang di konsumsi oleh konsumen, di mana peningkatan kegunaan tersebut berhubungan dengan kegunaan waktu, bentuk, tempat dan harga. Pada prinsipnya fungsi tataniaga tersebut lebih menekankan pada peningkatan nilai guna tempat dari waktu suatu barang, di dalam pendistribusiannya diperlukan adanya perantara atau yang di sebut pedagang perantara. Kotler (1999) menyatakan bahwa tataniaga atau pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Sedangkan Kohls dan Downey dalam Sinaga (1999) mendefinisikan tataniaga sebagai semua langkah-langkah dari produksi awal sampai ke konsumen terakhir. Cengkeh sebagai salah satu komoditi perkebunan memiliki karakteristik yang khas yaitu dapat di simpan lama tanpa mengalami penurunan mutu

34 (Mubyarto dalam Sinaga, 1999). Dengan kondisi tersebut maka harga cengkeh yang terjadi tidak merupakan akibat langsung dari situasi panenan atau dengan kata lain tidak ada hubungan erat antara harga dengan permintaan, sehingga petani seharusnya dapat menyimpan cengkeh pada saat harga jatuh dan menjual pada saat harga meningkat. Tataniaga cengkeh adalah suatu sistem yang mengatur mekanisme transaksi perdagangan cengkeh hasil produksi dalam negeri dari tingkat produksi (perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta) hingga ke tingkat konsumen yaitu industri (rokok dan obat-obatan) dan rumah tangga. Tataniaga cengkeh memiliki suatu keunikan karena produsennya banyak tapi jumlah industri rokok serta pabrik lainnya yang menggunakan cengkeh sebagai bahan baku hanya sedikit. Strategi terhadap tataniaga cengkeh di Indonesia yang bersifat oligopsoni, di samping cengkeh merupakan komoditi pertanian yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional maka tataniaga cengkeh di atur melalui kebijakan pemerintah dengan tujuan: a. Agar petani sebagai produsen cengkeh menerima harga yang wajar sehingga tingkat pendapatan petani dapat meningkat. b. Agar dapat menjamin ketersediaan stok cengkeh sebagai persyaratan terjaminnya secara berkesinambungan produksi pabrik rokok kretek Kebijakan Pemerintah dalam Tataniaga Cengkeh Kebijakan pemerintah terhadap tataniaga cengkeh pertama kali di atur dalam Keppres RI tanggal 28 Desember 1969 mengenai impor cengkeh, dengan pelaksanaan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 167 tanggal

35 25 Juli 1970 dengan menetapkan Badan Pengadaan Cengkeh (BPC) sebagai badan tunggal yang dapat melakukan pengadaan dan penyaluran cengkeh di dalam negeri. Sedangkan importir cengkeh ditunjuk CV. Wijaya dan PT. Mega, yang kemudian pada tahun 1970 diganti oleh CV. Mercu Buana sedangkan BPC dibubarkan tahun 1972, tugasnya dialihkan kepada Direktorat Perdagangan Dalam Negeri. Tahun 1973, pemerintah menetapkan kebijakan dalam bentuk penurunan pajak penjualan cengkeh dari 10 persen menjadi 5 persen dan pengangkutan cengkeh antar pulau di wilayah Indonesia harus disertai Surat Ijin Pengangkutan Antar Pulau Cengkeh (SIPAP-C). Kemudian Keppres No. 8 tahun 1980 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, yang mengatur harga dasar dan tataniaga cengkeh dalam negeri. Isi dari Keppres No. 8 tahun 1980 antara lain: 1. Pembelian dan pengumpulan cengkeh dari petani dilakukan oleh KUD. 2. Bank Rakyat Indonesia menyediakan dana atau kredit yang cukup untuk KUD. 3. Harga dasar pembeli dan lelang ditentukan oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi. 4. Peserta lelang terdiri dari pedagang antar pulau dan PT. Kerta Niaga yang memiliki SIUPP. 5. PT. Kerta Niaga di tunjuk sebagai badan penyangga dan pemegang stok cengkeh nasional bila harga dasar tidak tercapai. 6. Dana pengelolaan stok cengkeh nasional disediakan melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

36 7. Cengkeh yang diantar pulaukan dikenakan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) sebesar Rp 500/kg. Tujuan dari Keppres No. 8 tahun 1980, adalah: 1. Stabilitas harga cengkeh. 2. Melindungi petani cengkeh. 3. Meningkatkan peran KUD. 4. Meningkatkan peran lembaga tataniaga seperti Perdagangan Antar Pulau (PAP), PT Kerta Niaga sebagai perusahaan pemegang stok dan penyangga cengkeh nasional di tingkat KUD. Banyaknya masalah yang ditemui dalam kebijakan tataniaga cengkeh tahun 1980, menyebabkan pemerintah menetapkan kebijakan yang baru dalam tataniaga cengkeh Indonesia, yaitu dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 306 tahun 1990, BPPC berhak melakukan pembelian, penyanggaan dan stabilisasi harga di tingkat petani dan menjual kepada konsumen. BPPC dibentuk dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani cengkeh akibat banyaknya keluhan dari petani dengan harga jual cengkeh yang sangat murah. Kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 tentang tataniaga cengkeh hasil produksi dalam negeri ditetapkan pada tanggal 11 April Inti dari kebijakan tersebut adalah: a. Pembelian cengkeh dari petani cengkeh dilakukan KUD dengan harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah. b. KUD menjual cengkeh tersebut kepada badan penyangga yang di tunjuk oleh pemerintah.

37 c. Penjualan cengkeh oleh badan penyangga kepada pabrik rokok atau konsumen lainnya dikenakan Sumbangan Diversifikasi Tanaman Cengkeh (SDTC) sebesar Rp. 150/Kg. Berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, ditetapkan juga harga cengkeh, dana pembelian, penyerahan pita cukai serta pembinaan dan pengawasan dalam tataniaga cengkeh. Sedangkan pelaksanaan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dan Inpres No. 4 tahun 1996, kembali di atur melalui Keputusan Menperindag tahun 1996 dan keputusan Menkop/PKK No. 335 tahun Sejak dikeluarkannya Keppres No. 21 tahun 1998 yang mengatur tentang perdagangan cengkeh, BPPC resmi dibubarkan dan Keppres No. 20 tahun 1992 tidak berlaku lagi. Isi Keppres No. 21 tahun 1998 adalah sebagai berikut: Pasal 1 Petani dan pedagang dapat menjual dan atau membeli secara bebas cengkeh kepada dan atau dari pihak manapun berdasarkan harga pasar. Pasal 2 Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) wajib menyelesaikan semua hal yang menyangkut kegiatannya selambat-lambatnya sampai dengan 30 Juni Pasal 3 Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pasal 4 Dengan ditetapkan Keputusan Presiden ini, Keputusan No. 20 tahun 1992 tentang Tataniaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri dan seluruh peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 5 Keputusan ini berlaku pada tanggal 2 Febuari 1998.

38 Saluran Tataniaga Cengkeh Indonesia Rantai tataniaga menurut Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar di bawah ini. Petani KUD/ PUSKUD Sumber: Rosmeilisa, 1997 Lembaga Lelang PAP/ Penyangga Pabrik Gambar 4. Rantai Tataniaga Menurut Keppres No. 8 Tahun 1980 Tataniaga cengkeh ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Kemala dalam Rosmeilisa (1997), terjadinya hal tersebut disebabkan adanya distorsi pasar akibat pemerintah selaku regulator tidak konsisten terhadap sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi diantaranya adalah harga yang diterima petani kurang dari Rp sebagai harga yang telah ditetapkan. Petani hanya menerima harga sebesar Rp per kilogram, hal ini jelas sangat merugikan petani. Walaupun pemerintah telah membuat suatu rantai tataniaga cengkeh, namun ada juga petani yang menjual produksi cengkehnya tanpa mengikuti rantai tataniaga yang telah ditetapkan. Rantai tataniaga bukan berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dapat di lihat pada gambar berikut. Petani Konsumen Pedagang Pengumpul Sumber: Rosmeilisa, 1997 Pedagang Kabupaten Pedagang Propinsi/Besar Gambar 5. Rantai Tataniaga Non-Keppres

39 Pada tahun 1988 terjadi kelebihan penawaran yang mengakibatkan harga turun tajam sampai Rp per kilogram. Dengan tujuan menolong petani, pemerintah menetapkan rantai tataniaga baru berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992 dengan membentuk BPPC yang merupakan badan usaha swasta yang bertugas melakukan pembelian, menyangga dan menstabilkan harga cengkeh di tingkat petani dan menjual ke pabrik-pabrik rokok melalui SK. Menteri Perdagangan No. 306/KP/XII/1990. Untuk mengawasi jual beli cengkeh di bentuk Badan Cengkeh Nasional (BCN). Tataniaga cengkeh yang ditetapkan dengan adanya BPPC dapat di lihat seperti pada gambar di bawah. Petani KUD BPPC Konsumen Pabrik Rokok atau Lainnya Surveyor/ PT. Sucofindo Sumber: Rosmeilisa, 1997 Gambar 6. Saluran Tataniaga Cengkeh Menurut SK. Mendag Tahun 1990 Di lihat dari rantai tataniaga berdasarkan Keppres No. 20 tahun 1992, banyak pemotongan rantai tataniaga sehingga diharapkan tataniaga cengkeh menjadi lebih efisien tetapi pada pelaksanaannya banyak syarat biaya yang dibebankan sehingga pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Dengan terbitnya Keppres No. 21 tahun 1998, maka tataniaga cengkeh yang selama ini ditangani oleh BPPC dibebaskan. Para petani bebas menjual hasil cengkehnya dan pedagang dapat membeli cengkeh dengan pihak manapun.

40 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian tentang analisis permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek pernah dilakukan oleh Chaniago (1980). Dalam penelitian tersebut salah satu tujuannya adalah menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan cengkeh dan membuat suatu estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data time series selama 21 tahun, yaitu data berskala dari tahun Data di olah dengan persamaan regresi berganda dengan metode analisis pangkat dua terkecil dua tahap (two stage least square). Estimasi atau proyeksi permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek dibuat dengan menggunakan beberapa asumsi, di mana pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk berubah sedangkan harga-harga setelah memperhitungkan laju inflasi yang berpedoman dari perkembangan laju inflasi sebelumnya, dianggap tetap. Dari hasil analisis permintaan rokok kretek ternyata yang sangat mempengaruhi permintaan cengkeh adalah pendapatan. Berdasarkan perhitungan proyeksi permintaan cengkeh dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 7 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,3 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai ribu ton sedangkan jika 0,7 gram cengkah per batang rokok kretek, permintaan cengkeh pada tahun 1990 diperkirakan ribu ton. Dengan asumsi angka kenaikan pendapatan nasional 6 persen setahun, angka kenaikan penduduk 2,4 persen setahun dan harga-harga tetap dengan menggunakan 0,9 gram cengkeh per batang rokok kretek, diperkirakan

41 permintaan cengkeh tahun 1990 mencapai ribu ton. Sedangkan jika satu batang rokok kretek 0,7 gram cengkeh, kebutuhan cengkeh untuk rokok kretek pada tahun 1990 hanya mencapai ribu ton. Selain penelitian Chaniago, penelitian tentang cengkeh juga dilakukan oleh Wachjutomo (1996), Sinaga (1999) dan Rumangit (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Wachjutomo (1996) dengan judul analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap penawaran dan permintaan cengkeh di Indonesia, membahas masalah adanya penurunan harga cengkeh di tingkat petani, dan peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek yang disebabkan oleh kebijakan tataniaga cengkeh. Dalam penelitian tersebut menggunakan data time series, yaitu data tahun 1969 sampai dengan tahun Data di olah menggunakan model ekonometrika yang mempresentasikan pasar dan proses produksi komoditi cengkeh dalam bentuk persamaan simultan. Model di duga dengan metode three-stage least squares dan disimulasi untuk berbagai alternatif kebijakan. Dari analisis diperoleh bahwa volume impor cengkeh responsif terhadap perubahan jumlah produksi cengkeh, stok cengkeh nasional tahun lalu, dan konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Jumlah stok cengkeh nasional dalam jangka panjang responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi cengkeh industri sigaret kretek. Kenaikan konsumsi sigaret kretek akan meningkatkan stok cengkeh nasional sehingga sebagian besar jumlah stok cengkeh nasional berada di tingkat industri sigaret kretek. Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, volume ekspor cengkeh responsif terhadap perubahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar. Sehingga penurunan nilai tukar (depresiasi) akan meningkatkan volume ekspor

42 cengkeh. Dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, harga cengkeh impor responsif terhadap perubahan harga cengkeh di pasar dunia. Sehingga kenaikan harga cengkeh di pasar dunia akan meningkatkan harga impor cengkeh. Bagi petani produsen cengkeh, kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980, lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tataniaga cengkeh berdasarkan BPPC. Karena apabila kebijakan tataniaga berdasarkan Keppres No. 8 tahun 1980 dihapuskan akan berdampak terhadap penurunan harga cengkeh di tingkat petani, sedangkan jika kebijakan BPPC dihapuskan berdampak terhadap peningkatan harga cengkeh di tingkat petani. Semua alternatif kebijakan dalam pasar komoditi cengkeh berdampak terhadap peningkatan surplus nasional dan surplus industri sigaret kretek. Tetapi hanya kebijakan peningkatan harga cengkeh di tingkat petani, peningkatan harga cengkeh di tingkat industri sigaret kretek dan penghapusan tataniaga cengkeh BPPC yang akan meningkatkan surplus dan penerimaan petani produsen. Kebijakan kenaikan harga cengkeh di tingkat petani, merupakan satu-satunya kebijakan yang berdampak terhadap peningkatan surplus dan penerimaan petani produsen cengkeh dan produsen sigaret kretek. Sinaga (1999) dalam penelitiannya yang berjudul dampak perubahan faktor ekonomi terhadap permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis keterkaitan produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia; menganalisis dampak perubahan faktor ekonomi terhadap produksi, permintaan dan penawaran cengkeh di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengunakan data sekunder berupa data

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN CENGKEH INDUSTRI ROKOK KRETEK DI INDONESIA OLEH: ROYAN AGUSTINUS SIBURIAN A14301041 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA Oleh: Bambang Sayaka dan Benny Rachman') Abstrak Prospek cengkeh agaknya semakin tidak menentu sebagai akibat menurunnya harga cengkeh yang berkepanjangan serta sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara produsen sekaligus konsumen bahkan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A14105570 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMENAGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H14104036 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Perkembangan Jagung Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA. Oleh: Tati Herlina Situmeang A

ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA. Oleh: Tati Herlina Situmeang A ANALISIS PRODUKSI, KONSUMSI, DAN HARGA CENGKEH INDONESIA Oleh: Tati Herlina Situmeang A14303036 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H14102059 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya sebagian besar adalah petani. Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam pembangunan nasional Indonesia. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL

VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL VI. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL 6.1 Aspek Pasar Aspek pasar merupakan aspek yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu usaha. Aspek pasar antara lain mengkaji potensi pasar baik dari sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari peranan sektor perkebunan kopi terhadap penyediaan lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tembakau sebagai bahan baku rokok kretek merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai merupakan komoditas strategis di Indonesia karena kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia setelah beras dan jagung. Komoditas ini mendapatkan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT Oleh : ROLAS TE SILALAHI A14304008 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan

BAB I PENDAHULUAN. tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal maupun eksternal. Masalah kesenjangan dan isu globalisasi berimplikasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi penyediaan pangan penduduk, mencukupi kebutuhan bahan baku industri dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang selalu ingin menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui usahausahanya dalam membangun perekonomian.

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA 1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA OLEH POPY ANGGASARI H14104040 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 2 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang. Tujuannya adalah untuk menciptakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAGING SAPI POTONG DOMESTIK SKRIPSI MARUDUT HUTABALIAN A14105571 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan tersebut merupakan fundamental perekonomian

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku minyak atsiri. Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat

1.5. Hipotesis 3. Pemberian pupuk hayati berperan terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman nilam. 4. Pemberian zeolit dengan dosis tertentu dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nilam (Pogostemon sp.) merupakan salah satu tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri (essential oil). Di dalam dunia perdagangan Intemasional minyak nilam sering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN Sektor pertanian terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, dimana keempat sub sektor tersebut mempunyai peranan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Areal Tanaman Perkebunan Perkembangan luas areal perkebunan perkebunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pengembangan luas areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai iklim tropis, berpeluang besar bagi pengembangan budidaya tanaman buah-buahan, terutama buah-buahan tropika.

Lebih terperinci

ANALISIS RESPONS PENAWARAN KELAPA DI INDONESIA PADA PERIODE OLEH THOMSON MARGANDA SIANIPAR H

ANALISIS RESPONS PENAWARAN KELAPA DI INDONESIA PADA PERIODE OLEH THOMSON MARGANDA SIANIPAR H ANALISIS RESPONS PENAWARAN KELAPA DI INDONESIA PADA PERIODE 1971-2006 OLEH THOMSON MARGANDA SIANIPAR H14050232 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Terdapat penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dan perbedaan objek dalam penelitian. Ini membantu penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum masalah yang dihadapi masyarakat adalah mengenai kebutuhan yang tidak terbatas, sementara factor-faktor produksi yang tersedia terbatas dari segi kuantitas

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA

ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA 9 # ts ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA DI PASAR DOMESTIK DAN INTERNASIONAL OIeh SOHAR THOMAS GUBTOM A26.0308 JURUSAN ILMU-ILMU SOSlAL EKONOMI PERTAIPIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTAWlAfU

Lebih terperinci

ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA

ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA 9 # ts ANALISIS PERDAGANGAN BIJI KAKAO INDONESIA DI PASAR DOMESTIK DAN INTERNASIONAL OIeh SOHAR THOMAS GUBTOM A26.0308 JURUSAN ILMU-ILMU SOSlAL EKONOMI PERTAIPIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTAWlAfU

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS CENGKEH Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian Indonesia memiliki potensi yang besar dalam segi sumberdaya dan kualitas, sehingga dapat menjadi sektor unggulan dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan dalam pembangunan Indonesia, namun tidak selamanya sektor pertanian akan mampu menjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009

I PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik 2009 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia yaitu sekitar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH. Oleh : EKO HENDRAWANTO A

ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH. Oleh : EKO HENDRAWANTO A ANALISIS PENDAPATAN DAN PRODUKSI CABANG USAHATANI CABAI MERAH Oleh : EKO HENDRAWANTO A14105535 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN EKO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Triwulan-I Tahun I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai sumber bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki luas daerah perairan seluas 5.800.000 km2, dimana angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah perairan tersebut wajar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON PENAWARAN KACANG TANAH DI INDONESIA. Oleh : TIAS ARUM NARISWARI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON PENAWARAN KACANG TANAH DI INDONESIA. Oleh : TIAS ARUM NARISWARI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON PENAWARAN KACANG TANAH DI INDONESIA Oleh : TIAS ARUM NARISWARI H14053612 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci