Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran
|
|
- Hamdani Hartanto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan Kesadaran Penyusun Dr. Stevent Sumantri Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 1
2 Daftar Isi I. Pendahuluan... 4 Besaran masalah... 4 Definisi (1)... 4 Kesadaran... 4 Gangguan kesadaran akut... 5 Gangguan kesadaran sub-akut dan kronik... 5 Epidemiologi... 6 II. Etiologi dan patofisiologi... 7 Etiologi (1) (4)... 7 Penyebab struktural dari koma dan penurunan kesadaran... 7 Penyebab metabolik dan penyakit otak multifokal difus dari koma dan penurunan kesadaran Koma dan gangguan kesadaran psikogenik Patofisiologi Fisiologi dan patofisiologi kesadaran, koma dan gangguan kesadaran Patologi anatomi koma Patofisiologi lesi struktural sebagai penyebab koma Patofisiologi kelainan metabolik dan kelainan otak multifokal difus sebagai penyebab koma III. Manifestasi klinis (1) (4) Manifestasi klinis koma akibat lesi struktural Manifestasi klinis koma akibat lesi kompresi Manifestasi klinis koma akibat herniasi Manifestasi klinis koma akibat lesi destruksi Manifestasi klinis koma akibat ensefalopati metabolik Aspek klinis kesadaran Respirasi Pupil Motilitas okular Aktivitas motorik Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 2
3 Diagnosis diferensial koma metabolik Perbedaan gangguan kesadaran metabolik dan psikogenik Perbedaan koma metabolik dan struktural IV. Diagnosis (1) (4) (5) (6) Pendekatan diagnostik klinis pasien koma Pemeriksaan klinis pasien koma Anamnesis Pemeriksaan fisis umum Derajat kesadaran ABC: Airway, Breathing, Circulation Respons pupil Respons okulomotor Respons motorik Pemeriksaan laboratorium utama Diagnosis diferensial koma V. Tatalaksana Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan Panduan tatalaksana khusus Lesi masa supratentorial Lesi masa infratentorial Ensefalopati metabolik Gangguan kesadaran psikogenik VI. Prognosis koma (1) (8) Prognosis koma berdasarkan penyakit penyebab Mati Otak VII. Penutup/kesimpulan Daftar Pustaka Lampiran Lampiran 1. Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial (9) Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 3
4 I. Pendahuluan Besaran masalah Koma merupakan permasalahan medis yang terus menjadi perhatian bagi banyak kalangan, baik dari jaman para klinisi Yunani kuno sampai masa sekarang. Gangguan kesadaran sebagai bagian yang lebih luas dari koma telah menjadi pusat penelitian dari banyak ilmuwan, namun hingga kini masih banyak aspek dari koma dan gangguan kesadaran yang masih menjadi misteri. Meskipun demikian banyak kemajuan yang telah mampu dicapai oleh dunia medis dalam penelusuran sebab, diagnosis dan tatalaksana dari koma. Koma dan gangguan penurunan kesadaran merupakan gambaran dari adanya gangguan atau kerusakan fungsi otak yang menyeluruh. Penanganan medis dan intervensi di dalam koma dan gangguan penurunan kesadaran harus dilakukan secara tepat dan sesegera mungkin untuk meminimalisir kerusakan dan memperbesar kemungkinan pemulihan pasien. Kedua hal tersebut di atas perlu dilakukan oleh karena otak manusia mempunyai cadangan fungsi yang terbatas, sehingga apabila penanganan tidak dilakukan segera tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengembalikan atau mencegah kerusakan fungsi lebih lanjut. Definisi (1) Kesadaran Kesadaran adalah suatu keadaan di mana seorang individu sepenuhnya sadar akan diri dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Penilaian kesadaran dapat terganggu apabila terdapat keadaan-keadaan di mana pasien sadar namun tidak dapat merespons terhadap stimulus yang diberikan oleh pemeriksa, seperti keadaan kerusakan input sensorik, kelumpuhan (locked in states) atau gangguan psikiatrik. Kesadaran mempunyai dua komponen, yakni kualitas (konten) dan kuantitas (arousal). Kualitas kesadaran meliputi keseluruhan fungsi yang dimediasi oleh korteks serebri, termasuk fungsi kognitif dan afektif. Pasien dapat saja mengalami gangguan pada lokasi tertentu yang mengakibatkan mereka bangun namun tidak dapat merespons terhadap stimulus kognitif yang diberikan oleh pemeriksa, sehingga menimbulkan kesan pasien tersebut mengalami kebingungan. Penurunan kesadaran terjadi oleh karena adanya kerusakan menyeluruh dari fungsi korteks, sehingga menyebabkan penurunan kualitas kesadaran secara menyeluruh, atau karena kerusakan jalur-jalur tertentu dari batang otak atau diensefalon. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas kesadaran sangat dipengaruhi oleh kuantitas kesadaran, karena tanpa adanya kemampuan pasien untuk mempertahankan keadaan bangun tidak mungkin ada kemampuan untuk merespons terhadap stimulus kognitif afektif. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 4
5 Gangguan kesadaran akut Kesadaran berkabut merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan penurunan kesadaran minimal, yang dapat berubah-ubah antara hipereksitabilitas, hiperiritabilitas dan mengantuk (drowsiness). Delirium merupakan gangguan kesadaran yang lebih kompleks, dengan adanya gangguan persepsi terhadap stimulus sensorik bahkan sering mengarah kepada halusinasi nyata. Pasien dengan delirium sering mengalami disorientasi, pertaham terhadap waktu, kemudian kepada tempat dan orang di sekitarnya untuk keadaan yang semakin parah. Obtundasi merupakan suatu keadaan penurunan kesadaran ringan atau moderat yang disertai dengan kehilangan minat terhadap lingkungan sekitar. Stupor merupakan gangguan penurunan kesadaran moderat sampai berat, di mana pasien berada dalam keadaan tidur dalam dan hanya dapat dibangunkan dengan stimulus kuat serta terus menerus. Pasien dengan stupor pada saat dirangsang dengan maksimal, seringkali masih mengalami gangguan kesadaran. Koma merupakan suatu keadaan di mana pasien dalam keadaan tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan secara adekuat dengan stimulus kuat yang sesuai. Pasien mungkin masih dapat meringis atau melakukan gerakan stereotipik, namun tidak dapat melakukan lokalisasi nyeri dan gerakan defensif yang sesuai. Seiring dengan semakin dalamnya koma, pada akhirnya pasien tidak merespons terhadap rangsangan sekuat apapun. Namun perlu diperhatikan bahwa sulit menilai kedalam koma dari respons motorik, karena area otak yang mengatur gerakan motorik berbeda dengan area yang mengatur kesadaran. Keadaan terkunci (locked-in) merupakan suatu keadaan di mana pasien sepenuhnya sadar, namun tidak dapat menggerakkan keempat tungkainya. Keadaan ini disebabkan oleh karena kerusakan di jaras otak yang mengatur persarafan motorik dan juga saraf kranial bagian bawah. Kecurigaan klinis yang tinggi harus diterapkan untuk dapat mengenali pasien-pasien seperti ini, oleh karena manajemen terhadap kasus-kasus seperti ini harus dibedakan dengan keadaan penurunan kesadaran sejati. Gangguan kesadaran sub-akut dan kronik Dementia didefinisikan sebagai penurunan proses mental secara progresif dan terus menerus oleh karena proses organik tanpa disertai dengan penurunan kuantitas kesadaran. Pasien-pasien dengan dementia penting untuk dikenali karena merupakan kelompok dengan risiko tinggi untuk mengalami gangguan kesadaran lainnya pada saat perawatan di rumah sakit maupun di masyarakat. Hypersomnia adalah keadaan di mana pasien membutuhkan waktu tidur yang sangat panjang, namun dapat segera dibangungkan tanpa disertai adanya gangguan kualitas kesadaran. Abulia merupakan keadaan di mana pasien berada dalam keadaan apatis dan tidak atau lambat dalam merespons terhadap stimulus verbal, biasanya tidak memulai pembicaraan atau interaksi dalam bentuk apapun. Mutisme akinetik merupakan tahap lanjut dari abulia, di mana tidak ada aktivitas mental dan hanya sedikit aktivitas motorik yang dilakukan oleh pasien. Keadaan kesadaran minimal merupakan istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana adanya bukti-bukti kesadaran minimal pada pasien akan diri dan lingkungan sekitarnya. Keadaan ini timbul sebagai periode transisi antara bangun dari koma atau perburukan ke Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 5
6 arah koma dari keadaan gangguan kesadaran lainnya. Keadaan vegetatif menggambarkan keadaan di mana pasien memperoleh kembali siklus buka tutup mata dan pengendalian batang otak atas fungsi kardiopulmonar serta vegetatif otonom, namun masih tidak sadar akan diri dan lingkungan sekitarnya. Keadaan vegetatif persistens digunakan untuk menggambarkan pasien dengan keadaan vegetatif yang telah melebihi 30 hari. Mati otak digunakan untuk menggambarkan keadaan hilangnya kemampuan otak secara total ireversibel untuk mempertahankan fungsi kesadaran dan juga fungsi kardiopulmonar serta vegetatif otonom. Mati batang otak merupakan istilah yang dikembangkan untuk menggambarkan hilangnya kemampuan otak untuk mempertahankan kesadaran dan juga pernapasan secara ireversibel. Epidemiologi Prevalensi dan insidensi dari koma dan gangguan kesadaran sulit untuk ditentukan secara pasti, mengingat luas dan beragamnya faktor penyebab dari koma. Laporan rawat inap nasional dari Inggris tahun melaporkan bahwa 0,02% (2.499) dari seluruh konsultasi rumah sakit disebabkan oleh gangguan terkait dengan koma dan penurunan kesadaran, 82% dari kasus tersebut memerlukan rawat inap di rumah sakit. Koma juga nampaknya lebih banyak dialami oleh pasien usia paruh baya dan lanjut usia, dengan rata-rata usia rawat inap untuk koma adalah 57 tahun pada laporan yang sama. (2) Hasil lain dilaporkan oleh dua rumah sakit daerah Boston, Amerika Serikat, di mana koma diperkirakan menyebabkan hampir 3% dari seluruh diagnosis masuk rumah sakit. Penyebab yang paling banyak dari laporan tersebut adalah alkoholisme, trauma serebri dan stroke, di mana ketiga sebab tersebut menyebabkan kurang lebih 82% dari semua admisi. (3) Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 6
7 II. Etiologi dan patofisiologi Etiologi (1) (4) Faktor penyebab koma dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yakni lesi supratentorial, lesi infratentorial, metabolik dan kelainan psikiatrik. Lesi supratentorial, termasuk di dalamnya lesi rhinensefalik dan kerusakan subkortikal luas serta massa supratentorial menyebabkan kurang lebih 20,2% dari kasus koma dan penurunan kesadaran. Lesi infratentorial, diantaranya lesi penekanan terhadap serebelum dan perdarahan atau kerusakan pontin dan batang otak, mencakup 13% keseluruhan kasus koma dan penurunan kesadaran. Namun penyebab terbanyak dari koma dan penurunan kesadaran bukanlah lesi struktural, melainkan kelainan korteks difus atau metabolisme sistemik yang mencakup 65,2% dari keseluruhan kasus. Kelainan korteks difus dan metabolisme sistemik mencakup faktor-faktor etiologik yang luas, diantaranya adalah: perdarahan subarakhnoid, ensefalitis, trauma kapitis, kejang dan stadium post-iktal, anoksia, iskemia, ensefalopati hepatikum, uremia dan banyak lagi keadaan lainnya (tabel 1.). Lebih lanjut lagi, kita juga harus mewaspadai terhadap penyebab koma dan penurunan kesadaran yang berasal dari kelainan psikiatrik seperti reaksi koversi, depresi dan stupor katatonik, yang walaupun kecil presentasenya (1,6%) dapat menyebabkan kesulitan dalam penegakan diagnosis apabila tidak diperhitungkan sebelumnya. (1) Penelitian yang dilakukan oleh Solomon dan Aring bertahun-tahun yang lalu menempatkan alkoholisme, trauma serebri dan stroke sebagai tiga besar penyebab koma. Nampaknya trend ini masih tetap diketemukan sampai saat ini di rumah sakit-rumah sakit umum daerah, di mana intoksikasi, trauma serebri dan penyakit serebrovaskuler tetap merupakan penyebab utama dari koma. Perhatian lebih lanjut harus diperhatikan pada rumah sakit rujukan sebagaimana di atas, penyebab koma dapat mengalami sedikit bias di mana lebih banyak didapatkan kasus-kasus jarang yang mengubah pola penyebab koma di tempat-tempat di atas. Faktor-faktor penyebab koma lainnya yang sering ditemukan adalah epilepsi, intoksikasi obat-obatan, diabetes dan infeksi berat. (3) Penyebab struktural dari koma dan penurunan kesadaran Lesi struktural dapat menyebabkan koma melalui dua macam mekanisme, yakni melalui lesi kompresi dan lesi destruktif (tabel 2). Lesi kompresi dapat menyebabkan koma melalui dua cara, melalui penekanan langsung atau melalui disposisi jaringan otak sedemikian rupa sehingga menekan sistem arousal asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan. Lesi destruktif menyebabkan koma dengan kerusakan langsung di sistem arousal asenden atau lokasi-lokasi di otak bagian depan, namun untuk menyebabkan koma lesi destruktif biasanya harus difus dan bilateral. Lesi destruktif minimal dapat menyebabkan koma bila lokasinya tepat di garis tengah dari sistem arousal asenden di otak tengan atau kaudal dari diensefalon, untuk lesi subkortikal dan kortikal harus difus dan bilateral untuk dapat menyebabkan koma (gambar 1). Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 7
8 Tabel 1. Penyebab stupor atau koma pada 500 pasien dengan diagnosis awal koma dengan etiologi tidak diketahui.* Kausal Subtotal I. Lesi supratentorial 101/500 = 20,2% Lesi destruktif rinensefalik dan subkortikal (2/101) Lesi masa supratentorial (99/101) II. Lesi subtentorial 65/500 = 13% Lesi kompresi (12/65) Lesi destruktif/iskemik (53/65) III. Kelainan otak difus atau metabolik 326/500 = 65,2% Kelainan intrinsik otak difus (38/326) Kelainan ekstrinsik atau metabolik (288/326) IV. Koma psikiatrik 8/500 = 1,6% Reaksi konversi (4/8) Depresi (2/8) Stupor katatonik (2/8) *Mewakili hanya pasien-pasien yang dikonsultasikan ke bagian neurologi oleh karena diagnosis awal tidak pasti dan diagnosis final dapat ditegakkan. Oleh karena itu diagnosis yang jelas seperti keracunan, meningitis dan cedera kepala tertutup serta kasus ensefalopati metabolik campuran di mana etiologi spesifik tidak dapat ditegakkan menjadi kurang terwakili. Lesi kompresi Lesi kompresi dapat menyebabkan koma melalui beberapa mekanisme, yakni: (1) Dengan secara langsung menekan sistem arousal desenden atau lokasi-lokasi target di otak bagian depan; (2) Meningkatkan tekanan intrakranial sehingga mengganggu aliran darah ke otak; (3) Menekan jaringan sedemikian rupa sehingga menyebabkan iskemia; (4) Menyebabkan edema sehingga memperberat penekanan; dan (5) Dengan menyebabkan herniasi jaringan. Pemahaman mengenai anatomi, patologi dan patofisiologi dari kerusakan yang disebabkan oleh lesi kompresi amat penting dalam penanganan koma yang disebabkan olehnya. Tabel 2. Lesi struktural yang dapat menyebabkan koma. (1) Lesi kompresi Serebral Hematoma subdural bilateral Diensefalon Thalamus (eq. perdarahan) Hipothalamus (eq. tumor hipofisis) Batang otak Otak tengah (eq. herniasi unkus) Serebelum (eq. perdarahan, tumor, abses) Lesi destruksi Hemisfer serebri Korteks (eq. trauma anoksia akut) Substantia alba subkorteks (eq. trauma anoksia subakut) Diensefalon Thalamus (eq. infark) Batang otak Otak tengah, pons (eq. infark) Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 8
9 Sindrom herniasi Doktrin Monro-Kellie mengajukan hipotesis sebagai berikut: oleh karena isi kranium tidak dapat ditekan dan terbungkus di dalam kerangka tulang yang tidak elastis, maka jumlah volume otak, likuor serebrospinal dan darah intracranial konstan sepanjang waktu. Pada otak normal, peningkatan ukuran lesi masa dapat dikompensasi dengan pemindahan volume likuor serebrospinal dan pada beberapa keadaan volume darah yang sesuai oleh peningkatan tekanan intrakranial. Seiring pembesaran masa, semakin sedikit likuor yang dapat dipindahkan, sehingga komplians intracranial menurun seiring dengan pembesaran lesi kompresi. Pada saat masa telah mencapai keadaan di mana hanya ada sedikit likuor di dalam kompartemen, peningkatan sedikit saja volume lesi dapat meningkatkan tekanan kompartemental secara signifikan. Rendahnya tekanan di kompartemen yang bersebelahan menyebabkan terjadinya herniasi. Gambar 1. Lesi struktural penyebab koma: (a) lesi batang otak fokal; (b) lesi tumor/masa; (c) patologi kortikal difus dan bilateral (10) Destruksi korteks difus bilateral Kerusakan bilateral korteks serebri dapat timbul sebagai akibat dari kekurangan substrat metabolik (eq. oksigen, glukosa atau darah yang membawa mereka) atau sebagai akibat gangguan metabolik dan infeksi tertentu. Keadaan ini seringkali disebabkan oleh henti jantung berkepanjangan pada pasien yang berhasil diresusitasi, namun juga dapat sebagai akibat hipoksia difus oleh karena gagal napas atau pada pasien dengan hipoglikemia berat dan berkepanjangan. Kekurangan substrat metabolik menyebabkan kerusakan neuron lapis III dan V korteks serebri serta lapangan CA1 dan CA3 formasio hippokampal, sebagai akibat dari toksisitas langsung asam amino eksitatorik. Pada periode kekurangan zat metabolik terdapat perubahan gradien ion menuju ke depolarisasi neuron, sehingga terjadi pelepasan neurotransmitter secara berlebihan. Salah satu Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 9
10 neurotransmitter, yakni NMDA (N-Methyl-D-Aspartate), menyebabkan influks ion kalsium berlebih ke dalam sel neuron dan menyebabkan apoptosis. Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi korteks serebri atau substansia alba disekitarnya antara lain: infeksi prion (penyakit Creutzfeldt-Jakob, sindrom Gertsmann-Sträussler dsb.) dan leukoensefalopati multifokal progresif. Kelainan-kelainan ini berkembang dalam jangka waktu minggu hingga bulan dan jarang menimbulkan permasalahan diagnostik setelah terjadi gangguan kesadaran. Panensefalitis sklerotik oleh karena infeksi lambat dengan virus campak juga dapat menyebabkan gambaran di atas, namun jarang terjadi di masyarakat dengan imunisasi campak yang efektif. Destruksi diensefalon Destruksi diensefalon jarang menyebabkan gangguan kesadaran karena pendarahannya yang luas oleh sirkulus Willisi, namun apabila terdapat oklusi ujung arteri basilaris yang mensuplai darah ke otak bagian belakang dan kedua arteri komunikans maka dapat terjadi gangguan kesadaran akibat destruksi diensefalon. Beberapa kelainan infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan kerusakan diensefalon, diantaranya penyakit Behcet dengan abses steril di diensefalon yang dapat menurunkan kesadaran. Kelainan autoimun juga dapat menyerang diensefalon, antibodi antitumor anti-ma dapat menyebabkan lesi di diensefalon bersamaan dengan ngantuk yang berlebihan dan gejala narkolepsi lainnya seperti katapleksi. Beberapa tumor otak primer yang jarang dapat pula timbul di diensefalon seperti astrositoma atau limfoma susunan saraf pusat primer. Destruksi batang otak Lesi destruksi batang otak dapat timbul sebagai akibat dari penyakit vaskular, tumor, infeksi atau trauma. Penyebab paling sering dari lesi destruktif adalah oklusi arteri vertebralis atau basilaris. Oklusi seperti tersebut di atas biasanya menyebabkan tanda-tanda spesifik yang menunjukkan tempat terjadinya infarksi. Lesi perdarahan batang otak biasanya terjadi intraparenkimal di dalam basis pontis, meskipun demikian malformasi arteriovenous dapat terjadi di mana saja. Infeksi yang dapat menyerang batang otak diantaranya Listeria monositogenes yang sering menyebabkan abses rombensefalik (gambar 2). Trauma yang mengenai batang otak jarang menjadi problem diagnostik karena biasanya fatal. Penyebab metabolik dan penyakit otak multifokal difus dari koma dan penurunan kesadaran Iskemia dan hipoksia Hipoksia otak hampir selalu timbul sebagai bagian dari permasalahan suplai oksigen yang lebih besar, baik oleh karena penurunan tekanan gas lingkungan atau kelainan sistemik yang menyebabkan gangguan penghantaran oksigen ke jaringan. Walaupun ada banyak penyebab hipoksia jaringan, pada dasarnya kekurangan suplai oksigen ke otak dapat dibagi menjadi 4 golongan, yakni: hipoksia hipoksik, Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 10
11 hipoksia anemik, hipoksia histotoksik dan hipoksia iskemik. Perbedaan utama dari hipokisa hipoksik, anemik dan iskemik berdasarkan pada mekanismenya di arteri, oleh karena ketiganya menyebabkan efek yang sama yakni hipoksia vena serebral, namun pada hipoksia histotoksik kadar oksigen darah dapat normal. Gambar 2. Dua gambar hasil pencitraan MRI menunjukkan abses pontin multilokulasi pada wanita usia 73 tahun. Pada hipoksia hipoksik, jumlah oksigen yang mencapai darah tidak mencukupi, sehingga terjadi penurunan kadar dan tekanan oksigen di arteri. Keadaan ini dapat timbul dari rendahnya tekanan oksigen lingkungan (eq. pada ketinggian atau pendesakan oksigen oleh gas inert seperti nitrogen dan metan) atau dari ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan melewati membran kapiler alveolus (penyakit paru dan hipoventilasi). Pada hipoksia anemik jumlah oksigen yang mencapai darah mencukupi, namun jumlah hemoglobin yang tersedia untuk mengikat dan mengantarkannya berkurang. Pada keadaan seperti di atas, kandungan oksigen darah berkurang walaupun tekanan oksigen di dalam darah arteri normal. Baik kadar hemoglobin yang rendah atau adanya gangguan kimiawi hemoglobin yang mengganggu ikatan oksigen (eq. karbon monoksihemoglobin, methemoglobin) dapat menyebabkan keadaan ini. Pada hipoksia iskemik darah bisa atau tidak bisa membawa jumlah oksigen yang cukup, namun aliran darah serebral yang tidak cukup untuk mensuplai jaringan otak. Penyebab keadaan ini biasanya penyakit-penyakit yang mengurangi keluaran jantung secara signifikan, seperti infark miokard, aritmia, renjatan dan sinkop vasovagal atau bisa juga penyakit-penyakit yang meningkatkan tahanan peredaran darah serebral seperti oklusi arteri (eq. stroke) atau spasme (eq. migrain). Hipoksia histotoksik terjadi sebagai akibat adanya zat-zat yang meracuni rantai transpor elektron. Zat-zat ini termasuk sianida dan karbon monoksida. Intoksikasi karbon monoksida merupakan yang paling sering, asap dari kebakaran dapat menyebabkan keracunan karbon monoksida dan sianida sekaligus. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 11
12 Gangguan metabolisme glukosa atau kecukupan kofaktor Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab koma yang sering ditemukan, serius dan dapat menyebabkan pelbagai tanda serta gejala yang beragam. Pada pasien-pasien dengan hipoglikemia berat, sebagian besar disebabkan oleh karena dosis insulin atau obat hipoglikemia oral berlebihan untuk terapi diabetes. Pada pasien-pasien non-diabetik, hipoglikemia paling sering disebabkan oleh karena intoksikasi alkohol, sehingga penting untuk memeriksa kadar gula darah pada pasien yang diduga penurunan kesadarannya disebabkan oleh karena alkohol. Interaksi insulin dengan fluorokuinolon, seperti siprofloksasin, ofloksasin dan levofloksasin juga dapat menyebabkan hipoglikemia berat. Hiperglikemia dapat menyebabkan gangguan kesadaran melalui berbagai mekanisme, diantaranya adalah: peningkatan fluks jalur polyol, akumulasi sorbitol, penurunan mioinositol, peningkatan kerusakan akibat stress oksidatif, glikasi protein non-enzimatik dan gangguan homeostasis ion kalsium yang kesemuanya menyebabkan ensefalopati diabetikum. Hiperglikemia juga dapat menyebabkan kerusakan akut pada otak seperti di dalam keadaan hiperosmolaritas non ketotik diabetikum. Gangguan kofaktor metabolisme, dalam hal ini salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan delirium, stupor dan akhirnya demensia, namun hanya defisiensi tiamin yang dapat dipertimbangkan untuk diagnosis diferensial koma. Defisiensi tiamin menyebabkan ensefalopati Wernicke, suatu kompleks gejala yang disebabkan oleh karena disfungsi neuronal, yang apabila tidak ditangani secara tepat dapat menyebabkan kerusakan substansia grisea dan pembuluh darah yang mengelilingi ventrikel III, akuaduktus serebri dan juga ventrikel IV. Penyakit sistem organ lain Penyakit Hati, dapat merusak otak melalui berbagai macam cara. Kegagalan hati akut dapat menyebabkan edema otak dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial. Sekitar 30% pasien dengan gagal hati akut meninggal pada saat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) mencapai level yang mengganggu aliran darah otak dan menyebabkan infark serebri, meningkatkan edema lebih lanjut sehingga akhirnya herniasi transtentorial. Gagal hati kronik, biasanya pasien sirosis atau setelah pemasangan shunt portokaval, dikarakteristikkan hanya dengan ganguan ingatan dan konsentrasi. Namun ensefalopati hepatikum dapat terjadi secara berfluktuasi tanpa penyebab yang jelas (gambar 3), dan derajat-derajat ensefalopati yang lebih berat dapat menyebabkan delirium, stupor dan koma. Tipetipe ensefalopati hepatikum yang terberat biasanya timbul pada pasien dengan infeksi, perdarahan gastrointestinal atau memakan protein dalam jumlah besar. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 12
13 Gambar 3. Kiri: Spektrum resonansi magnetik otak manusia in vivo. Setiap puncak dilabel dengan molekul dan strukturnya. Garis diagonal mewakili sudut Hunter, yang ditarik dari konsentrasi mioinositol (mi) ke arah N-asetil-aspartat (NAA). Pada spektrum normal sudut Hunter sebesar 45 dan dibentuk oleh puncak-puncak mioinositol, kreatitin (Cr),kolin (Cho) dan NAA. Kanan: Spektrum resonansi magnetik pada pasien dengan ensefalopati hepatikum kronik: penurunan mioinositol, peningkatan kadar glutamat-glutamin dan penurunan kolin. (di sadur dari Lin et al. Neuro Rx 2005, 2, ). Penyakit Ginjal, dalam hal ini gagal ginjal dapat menyebabkan ensefalopati uremikum, namun pengobatan uremia juga dapat menyebabkan dua gangguan tambahan terhadap fungsi serebral, yakni: sindrom disekuilibrium dialisis dan ensefalopati dialisis progresif. Kebingungan, delirium, stupor dan terkadang koma dapat disebabkan oleh tiap-tiap kelainan ini. Penyakit Paru lanjut, dapat menyebabkan ensefalopati dan koma oleh karena hipoventilasi. Dasar mekanisme perubahan neurologis dari keadaan ini masih belum dapat dijelaskan secara lengkap, dan kebanyakan diduga oleh karena adanya interaksi antara hipoksemia, hiperkapnia, gangguan jantung kongestif dan faktor-faktor lain seperti infeksi sistemik serta kelelahan akibat usaha napas jangka panjang yang tidak efektif. Ensefalopati Pankreas, dapat timbul sebagai komplikasi dari pankreatitis akut maupun kronik. Pankreatitis kronik yang sering mengalami relaps juga dapat menimbulkan stupor atau koma episodik. Walaupun mekanisme pastinya masih belum jelas, beberapa studi postmortem menunjukkan adanya demielinisasi bercak substantia alba sehingga menimbulkan kecurigaan enzim yang dilepaskan dari pankreas sebagai penyebab ensefalopati. Hipotesis lain menduga adanya pankreatitis dan ensefalitis viral bersama, gangguan koagulasi intravaskular diseminata sebagai komplikasi pankreatitis dan juga embolisme lemak. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 13
14 Diabetes mellitus, merupakan penyakit endokrin yang paling sering timbul sebagai koma atau stupor belum terdiagnosis. Kegagalan hipofisis, adrenal dan tiroid juga dapat timbul dengan manifestasi klinis yang sama, sedangkan hiper/hipoparatiroid terutama timbul sebagai gangguan metabolisme elektrolit. Beberapa penyebab potensial stupor dan koma pada pasien diabetes mellitus dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Penyebab-penyebab stupor atau koma pada pasien diabetik Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik Ketoasidosis Asidosis laktat Asidosis susunan saraf pusat oleh karena pengobatan Edema serebral oleh karena pengobatan Hiponatremia (SIADH) Koagulasi intravaskular diseminata Hipofosfatemia Hipoglikemia Ensefalopati uremia-hipertensif Infark serebri Hipotensi Sepsis Gangguan kelenjar adrenal, baik keadaan hiperadrenal (eq. sindrom Cushing) maupun hipoadrenal (eq. penyakit Addison), merupakan penyebab beberapa kejadian penurunan kesadaran, namun mekanisme pasti dari keadaan ini masih belum dapat dipastikan. Kortikosteroid adrenal mempunyai efek yang signifikan terhadap otak, termasuk mempengaruhi gen yang mengendalikan enzim dan reseptor untuk amin dan neuropeptida biogenik, faktor pertumbuhan serta faktor adhesi sel. Gangguan kelenjar tiroid,baik hipertiroid maupun hipotiroid dapat mengganggu fungsi serebral normal, namun mengenai mekanisme terjadinya tanda dan gejala tersebut masih belum jelas. Hormon tiroid berikatan pada reseptor nuklear yang berfungsi sebagai faktor transkripsi terkait ligan, sehingga sangat penting untuk perkembangan otak. Hormon tiroid juga berperanan untuk mengatur metabolisme otak, hipotiroid menyebabkan penurunan aliran darah otak sampai 20% dan penurunan metabolisme glukosa serebral sampai 12%. Gangguan kelenjar hipofisis, dapat menyebakan stupor dan koma melalui dua keadaan: (1) apopleksia hipofisis, yakni istilah yang digunakan untuk perdarahan atau infark dari tumor hipofisis (sering) atau jaringan hipofisis normal (jarang). Ensefalopati disebabkan oleh karena lesi masa yang membesar secara cepat dan menekan diensefalon atau inflamasi oleh karena pengeluaran zat-zat iritan (darah atau jaringan nekrotik). (2) Panhipopituitarisme, di mana kadar dari seluruh hormon kortikosteroid atau tiroid mengalami penurunan cukup signifikan atau terjadi gangguan dari keseimbangan cairan. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 14
15 Kanker, terutama dengan metastasis jauh dapat menyebabkan ensefalopati difus yang mengarah kepada delirium, stupor atay koma. Sekitar 20% konsultasi neurologis pada rumah sakit khusus kanker dilakukan untuk evaluasi gangguan atau penurunan kesadaran pada pasien. Penyebab gangguan kesadaran oleh karena kanker cukup banyak (tabel 4). Tabel 4. Komplikasi neurologis kanker penyebab stupor dan koma Lesi Tumor otak primer Metastasis otak Metastasis leptomeningeal Penyakit vaskular Infeksi Efek terapi Metabolik Nutrisional Intoksikasi eksogen Contoh Glioma hipotalamus, gliomatosis serebri Ensefalitis karsinomatosa Hidrosefalus Stroke besar Tromboendokarditis nonbakterial Oklusi vena serebral Stroke kecil multipel Koagulasi intravaskular diseminata Limfoma intravaskular Viral Ensefalopati multifokal progresif Herpes simpleks/zoster Fungal Aspergillosis Bakterial Listeriosis Radiasi Demensia radioterapi Kemoterapi Leukoensefalopati metothrexate Hipoglikemia, gagal ginjal dan hati Ensefalopati Wernicke, Pellagra dan defisiensi B12 Banyak obat-obatan biasa yang bila digunakan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan delirium, stupor dan koma (tabel 5). Daftar dari obat-obatan sejenis di atas sangatlah banyak, dan juga zat yang disukai oleh para pecandu obat-obatan berubah dari waktu ke waktu serta dari tempat satu ke tempat yang lain. Zat-zat yang dapat menyebabkan delirium atau koma dapat berupa: (1) zat obat yang diresepkan namun overdosis; (2) zat obat namun digunakan secara terlarang seperti opioid; (3) zat pengganti alkohol seperti etilen glikol dan metanol; dan (4) zat obat-obatan terlarang, seperti metamfetamin dan kokain. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 15
16 Tabel 5. Obat-obatan penyebab delirium, stupor dan koma Zat obat Zat non obat Obat terlarang Amfetamin Antikolinergik Psikotropika Sedatif Opioid Asetaminofen Antikonvulsan Alkohol Etilen glikol Metanol Kokain Metamfetamin Gamma-hidroksibutirat Metilen-dioksi-metamfetamin (MDMA) Fensiklidin Ketamin Rohipnol Apabila diketahui obat-obatan apa yang telah digunakan oleh pasien maka permasalahan diagnostik menjadi sederhana, namun pasien biasanya menyangkal penggunaan obat-obatan tersebut atau kesadaran telah terlalu menurun untuk dapat memberikan jawaban. Dalam keadaan-keadaan seperti di atas maka beberapa pemeriksaan dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis (tabel 6). Tabel 6. Petunjuk laboratorium untuk toksin spesifik Anion gap Meningkat Osmolal gap Etilen glikol Metanol Paraldehid Salisilat Asetaminofen Kokain O 2 saturated gap Menurun Senyawa bromida Litium Senyawa iodida Meningkat Etanol Etilen glikol Propilen glikol Meningkat Karbon monoksida Methemoglobin Sianida Hidrogen sulfat Gangguan asam basa dan elektrolit dari sistem saraf pusat Keadaan Hipo-osmolar, terutama dipengaruhi oleh natrium sebagai kation utama serum, sehingga hipoosmolaritas sistemik terjadi hanya pada keadaan-keadaan hiponatremik. Hiponatremia atau intoksikasi air dapat menyebabkan delirium, obtundasi dan koma serta biasanya diketemukan hampir setiap tahun di rumah sakit-rumah sakit besar. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 16
17 Keadaan Hiperosmolar, seringkali diinduksi oleh dokter pada saat mengunakan cairan hipertonik berisi natrium atau manitol untuk mengobati edema serebri. Komplikasi hiperosmolaritas hanya terjadi sesekali pada percobaan terapi seperti disebut di atas, permasalahan hiperosmolaritas lebih sering disebabkan oleh hipernatremia atau hiperglikemia berat. Kalsium, baik dalam kadar yang berlebihan (hiperkalsemia) maupun berkekurangan (hipokalsemia) dapat menyebabkan gangguan neurologis. Hiperkalsemia seringkali terjadi sebagai akibat dari hiperparatiroid, imobilisasi dan juga kanker, sedangkan hipokalsemia biasanya disebabkan oleh hipoparatiroid (pasca tiroidektomi), pankreatitis dan juga gangguan metabolisme kalsium idiopatik (jarang). Gangguan asam basa sistemik, baik alkalosis maupun asidosis dapat menyertai gangguangangguan yang menyebabkan koma metabolik dan perubahan respirasi serta asam basa penyerta dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab koma. Meskipun demikian, dari empat kelainan asam basa sistemik, hanya asidosis respiratorik yang dapat menjadi penyebab langsung stupor dan koma dengan konsisten. Lebih jauh lagi, hipoksia terkait dengan asidosis respiratorik dapat menjadi sama pentingnya sebagai penyebab gangguan neurologis. Asidosis metabolik, gangguan asam basa yang paling berbahaya secara medis, jarang secara langsung menyebabkan koma dan biasanya hanya menyebabkan obtundasi atau kebingungan. Gangguan termoregulasi Baik hipotermia maupun hipertemia dapat menyebabkan gangguan metabolisme serebri, yang dapat mengakibatkan tanda-tanda neurologis beragam, termasuk delirium, stupor atau koma. Suhu otak dipengaruhi oleh suhu tubuh dan juga metabolisme intrinsik otak, dalam keadaan normal suhu otak dapat berfluktuasi sampai 3-4 C. Namun demikian bukti-bukti yang ada sekarang menetapkan batas atas toleransi suhu otak di 41 C, lewat dari batas ini maka kematian neuron otak dimulai. Pada saat suhu otak meningkat, baik karena aktivitasnya maupun karena peningkatan suhu tubuh, terjadi peningkatan aliran darah otak yang melebihi keperluan metabolisme. Vasodilatasi dari peningkatan aliran darah menyebabkan penurunan suhu, namun disertai dengan peningkatan volume otak dan TIK. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma pada otak, terutama bila TIK sudah meningkat oleh karena trauma serebri ataupun tumor, oleh karena itu hipertermia lebih berbahaya pada otak yang sudah mengalami perlukaan dibandingkan terhadap otak normal. Hipertemia juga berbahaya bagi pasien dengan infark serebri, karena aliran darah otak tidak dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme di daerah infark. Infeksi sistem saraf pusat Infeksi susunan saraf pusat pada pasien dengan kompromisasi sistem imun secara khusus sulit untuk didiagnosis dan diobati oleh karena dua sebab: (1) tanda dan gejala kecuali delirium atau stupor dapat absen serta pasien mempunyai kemungkinan penyebab lain untuk ensefalopati; (2) organisme penyebab infeksi SSP pada pasien dengan kompromisasi sistem imun berbeda dengan populasi umum. Namun dengan kecurigaan tinggi kita dapat menegakkan diagnosis dini dengan tepat dan memberikan terapi yang efektif. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 17
18 Leptomenigitis bakterial akut seringkali menyebabkan gangguan kesadaran dan dapat menyebabkan stupor atau koma melalui beberapa cara berikut: (1) ensefalopati toksik; (2) ensefalitis dan vaskulitis bakterial; (3) terapi tidak sesuai yang menyebabkan intoksikasi air; (4) herniasi serebral. Meningitis bakterial kronik dapat menyebabkan gangguan kesadaran hanya melalui dua sebab yang umum, yakni: (1) meningitis tuberkulosa; dan (2) penyakit Whipple. Ensefalitis virus juga dapat menyebabkan gangguan kesadaran akut melalui empat mekanisme yang terkadang sulit untuk dibedakan, yakni: (1) ensefalitis viral akut; (2) ensefalomielitis parainfeksi; (3) ensefalopati toksik akut; dan (4) infeksi virus progresif. Vaskulitis serebral dan vaskulopati lainnya Beberapa gangguan vaskular inflamatorik dapat berupa kelainan yang terbatas pada pembuluh darah SSP maupun sebagai bagian kelainan sistemik, namun menyebabkan tanda gejala SSP sedemikian rupa sehingga diduga sebagai kelainan otak primer. Beberapa penelitian akhir-akhir ini telah mengklasifikasikan secara detail kelainan-kelainan klinis dan temuan-temuan arteriografik dari vaskulitis sistemik dan serebral. Namun hanya beberapa kelainan dapat menjadi penyebab stupor dan koma yang kompleks, diantaranya adalah: angiitis granulomatosa SSP, lupus eritematosus sistemik, angioensefalopati diensefalon subakut, vaskulitis Varicella zoster, sindrom vaskulitis Behcet dan arteriopati serebral autosomal dominan dengan infark subkortikal dan leukoensefalopati. Gangguan neuronal dan glial lainnya Kebanyakan kelaian neuronal dan glial primer menyebabkan koma hanya setelah terjadi periode demensia yang panjang dan telah mengarahkan klinisi kepada diagnosis yang sesuai. Kelainan-kelainan berikut terkadang menyebabkan penurunan kesadaran pada tahapan awal perjalanan penyakitnya sehingga dapat disalahartikan dengan kelainan lain. Kelainan-kelainan tersebut antara lain adalah: Penyakit Prion Adrenoleukodistrofi (Penyakit Schilder) Penyakit Marchiafava-Bignami Gliomatosis serebri Leukoensefalopati multifokal progresif Epilepsi Ensefalopati metabolik campuran Koma dan gangguan kesadaran psikogenik Beberapa kelainan psikiatrik dapat menyebabkan gangguan respons psikogenik, keadaan ini termasuk: (1) reaksi konversi yang dapat disebabkan juga oleh kelainan kepribadian, depresi berat, kecemasan atau reaksi situasional akut; (2) stupor katatonik yang seringkali merupakan manifestasi dari skizofrenia; (3) keadaan disosiatif atau fugue ; dan (4) keadaan faktisiosa atau malingering. Dua kategori mayor gangguan respons psikogenik adalah yang berasal dari gangguan konversi (disebut histeria konversi) dan yang berasal sebagai bagian dari sindrom katatonia (seringkali diduga sebagai bagian dari manifestasi skizofrenia). Kedua gambaran klinis tersebut secara esensi berbeda, namun Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 18
19 keduanya dapat mensimulasikan delirium, stupor atau koma yang disebabkan oleh gangguan struktural atau metabolik. Patofisiologi Fisiologi dan patofisiologi kesadaran, koma dan gangguan kesadaran Lokasi di mana stimulasi menyebabkan keadaan bangun terdiri dari berbagai titik yang menyebar mulai dari nukleus thalamus non-spesifik sampai ke otak tengah bagian kaudal. Titik-titik ini menempatkan diri di sepanjang inti neuron-neuron yang terorganisir secara longgar, daerah yang dinamakan sebagai formatio retikularis oleh para ahli anatomi. Studi-studi anatomikal oleh Scheibels menggambarkan inervasi luas formatio retikularis oleh akson-akson cabang dan kolateral dari sistem sensorik asenden, mengimplikasikan daerah ini dijaga supaya berada dalam keadaan aktif oleh stimulasi sensorik asenden (gambar 3). Oleh karena daerah ini, terutama talamus medial, memproyeksikan dirinya secara luas ke dalam hemisfer serebri maka dari itu timbullah konsep adanya sistem aktivasi retikular yang mempertahankan keadaan responsif dan inaktivasi retikular yang menyebabkan keadaan tidak responsif. Gambar 4. Gambaran skematis sistem RAAS. Masukan utama kepada nukleus pemancar dan retikular talamus (jalur kuning) berasal dari kelompok sel kolinergik di pons bagian atas, pedunkulopontine dan nukleus tegmental laterodorsal. Masukan-masukan ini memfasilitasi transmisi talamokortikal. Jalur kedua (merah) mengaktivasi korteks serebri untuk memfasilitasi pengolahan masukan talamus dan berasal dari neuron-neuron kelompok sel monoaminergik. Jalur ini juga menerima masukan dari neuron peptidergik di hipotalamus lateral dan otak depan bagian basal. Clifford B. Saper, Thomas E. Scammell and Jun Lu Nature 437, (27 October 2005) Patologi anatomi koma Koma dihasilkan oleh dua kelompok besar permasalahan: Pertama, jelas merupakan permasalahan morfologis, terdiri dari lesi-lesi berbatas tegas di batang otak bagian atas atau diensefalon bawah (dapat lesi primer atau sekunder karena kompresi) dan juga dapat terjadi oleh karena perubahan yang lebih luas di hemisfer serebri (gambar 5). Kelompok kedua terdiri atas kausalkausal metabolik atau sub-mikroskopik yang menyebabkan penekanan aktivitas neuron. Pemeriksaan klinis koma dirancang untuk memisahkan mekanisme berbeda ini dan memberikan gambaran mengenai kedalaman disfungsi otak. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 19
20 Gambar 5. Lesi otak yang dapat menyebabkan koma: (A) Kerusakan hemisfer bilateral luas; (B) Kerusakan diensefalik; (C) Kerusakan bagian paramedian otak tengah atas dan diensefalon kaudal; (D) Kerusakan pontin tinggi dan tegmentum paramedial otak tengah bagian bawah. Penelitian kasus dalam jumlah besar di mana koma mendahului kematian dalam waktu beberapa hari telah menunjukkan adanya tiga tipe lesi yang pada akhirnya mengganggu fungsi sistem aktivasi retikular baik secara langsung maupun tidak langsung. Tipe pertama, adalah lesi masa yang mudah dikenali, seperti tumor, abses, infark edematosa masif atau perdarahan baik intraserebral, subarakhnoid, subdural maupun epidural. Biasanya lesi-lesi tersebut melibatkan hanya sebagian dari korteks dan substantia alba, namun tetap mendistorsi struktur yang lebih dalam. Dalam banyak keadaan, lesi masa ini atau hemisfer sekitarnya menyebabkan koma melalui penggeseran lateral struktur-struktur serebral dalam, terkadang diikuti oleh herniasi lobus temporal ke dalam bukaan tentorial yang pada akhirnya menyebabkan penekanan otak tengah dan daerah subtalamik dari sistem aktivasi retikular. Sama seperti di atas, lesi serebelar juga dapat menekan daerah retikular batang otak atas secara tidak langsung dengan mendorongnya ke depan dan juga mungkin ke atas. Pada lesi anatomik tipe kedua, yang lebih jarang dari tipe pertama, lesi berlokasi di dalam talamus atau otak tengah dan menyebabkan neuron-neuron sistem aktivasi retikularis terlibat secara langsung. Pola patoanatomis ini menggambarkan stroke batang otak oleh karena oklusi arteri basilar, atau perdarahan talamik dan batang otak atas serta beberapa tipe kerusakan akibat trauma. Pada tipe yang ketiga, terjadi kerusakan bilateral luas terhadap korteks dan substansia alba, sebagai akibat dari kerusakan traumatis (kontusio, kerusakan aksonal difus), infark atau perdarahan bilateral, ensefalitis viral, meningitis, hipoksia atau iskemia. Koma dari kasus-kasus ini terjadi sebagai akibat interupsi impuls talamokortikal atau kerusakan umum neuron kortikal. Hanya jika lesi serebral luas dan bilateral maka kesadaran dapat ternganggu secara signifikan. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 20
21 Patofisiologi lesi struktural sebagai penyebab koma Kavitas kranium dipisahkan menjadi kompartemen-kompartemen oleh lipatan-lipatan duramater. Kedua hemisfer serebri dipisahkan oleh falx serebri, dan fosa anterior dan posterior dipisahkan oleh tentorium. Herniasi merujuk kepada penggeseran jaringan otak ke dalam kompartemen yang biasanya tidak ditempati. Banyak tanda-tanda terkait koma, dan juga koma sendiri, dapat disebabkan oleh pergeseran-pergeseran jaringan ini dan bahkan beberapa gambaran klinis merupakan karakteristik dari herniasi spesifik (gambar 5). Secara esensi mereka dapat disebut sebagai tanda lokalisasi palsu, karena mereka disebabkan oleh kompresi struktur otak jauh dari tempat asal lesi masa. Gambar 6. Lokasi-lokasi umum tempat terjadinya sindrom herniasi Herniasi yang paling sering terjadi berapsal dari kompartemen supratentorial ke kompartemen infratentorial melalui bukaan tentorial, oleh karena itu disebut sebagai herniasi transtentorial. Herniasi unkal transtentorial merujuk kepada impaksi girus temporalis anterior medial (unkus) ke dalam bukaan tentorial pada posisi anterior dan bersebelahan dengan otak tengah (gambar 6.A). jaringan otak yang tergeser menekan N.III pada saat nervus tersebut melintasi ruang subarakhnoid, sehingga menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Koma yang mengikuti terjadi sebagai akibat kompresi otak tengah terhadap sudut tentorial oleh girus parahipokampal yang tergeser (gambar 7). Pada beberapa kasus pegeseran lateral otak tengah menyebabkan kompresi pedunkulus serebri berseberangan, menyebabkan tanda Babinski postif dan hemiparesis kontralateral terhadap aslinya (tanda Kernohan Woltman). Sebagai tambahan dari menekan batang otak atas, pergeseran jaringan termasuk herniasijuga dapat menekan pembuluh darah utama, khususnya arteri serebral anterior dan posterior pada saat mereka melewati refleksi tentorial, sehingga dapat menyebabkan infark otak. Distorsi jaringan juga dapat menekan ventrikel lainnya sehingga menyebabkan hidrosefalus regional. Herniasi transtentorial sentral menyatakan adanya pergerakan ke bawah simetris dari struktur medial talamus melewati bukaan tentorial dengan menekan bagian atas dari otak tengah (gambar 6.B). miosis pupil dan penurunan kesadaran merupakan tanda-tanda pengantarnya. Herniasi temporal dan Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 21
22 sentral secara klasik telah dipertimbangkan sebagai penyebab kompresi progresif batang otak dari atas dengan proses yang terjadi secara teratur: pertama otak tengah, kemudian pons dan pada akhirnya medulla. Hasilnya adalah urutan tanda-tanda neurologis yang berkaitan dengan tiap level terkena. Bentuk herniasi lainnya adalah herniasi transfalsikal (pergeserang girus cingulus di bawah falx menyeberangi garis tengah, gambar 6.C) dan herniasi foraminal (tekanan terhadap tonsil serebelum ke arah bawah menuju foramen magnum, gambar 6.D) yang menyebabkan penekanan medulla dan henti napas. Gambar 7. Gambaran MRI pergeseran lateral dengan potongan aksial. Hubungan langsung antara beberapa konfigurasi herniasi transtentorial dan koma tidak selalu dapat diketemukan. Mengantuk dan stupor biasanya timbul pada pergeseran horisontal ringan pada tingkatan diensefalon (talamus) jauh sebelum adanya herniasi transtentorial dan yang lainnya. Pergeseran lateral dapat dikuantifikasi pada pencitraan aksial seperti pemindaian dengan CT-scan dan MRI (gambar 7). Pada kasus-kasus masa yang timbul secara akut, pergeseran horisontal kalsifikasi pineal sejauh 3-5 mm biasanya dikaitkan dengan mengantuk, 6-8 mm dengan stupor dan lebih dari 9 mm dengan koma. Koma oleh karena kerusakan luas hemisfer serebri terdiri dari beberapa kelainan yang tidak saling terkait dengan hasil akhir kerusakan struktur serebral luas, sehingga memberikan gambaran mirip dengan kelainan korteks metabolik. Efek dari hipoksia iskemia berkepanjangan adalah salah satu yang paling dikenal dan juga salah satu yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedaan antara efek akut hipoperfusi otak dengan efek lanjutan dari keruakan neuronal luas. Kerusakan bihemisferik yang sama dapat ditemukan pada kelainan-kelainan yang mengoklusi pembuluh darah kecil di otak seperti malaria serebral, purpura trombotik trombositopenik dan hiperviskositas. Kejang dan kerusakan bihemisferik dapat dijadikan indikasi adanya kelainan golongan ini. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 22
23 Patofisiologi kelainan metabolik dan kelainan otak multifokal difus sebagai penyebab koma Pada beberapa proses penyakit yang mengganggu kesadaran, dapat ditemukan gangguan langsung terhadap aktivitas metabolik sel saraf di korteks serebri dan nukleus sentral otak. Hipoksia, iskemia global, hipoglikemia, keadaan hiper dan hipoosmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia, hiperamonemia, hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat dan defisiensi vitamin berat merupakan beberapa contoh yang telah dikenal. Secara umum, kehilangan kesadaran pada beberapa keadaan ini sesuai dengan penurunan metabolisme atau aliran darah serebral. Sebagai contoh, pada iskemia global penurunan aliran darah otak (cerebral blood flow/cbf) sampai 25ml/menit/100g jaringan dari keadaan normal 55ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan pelambatan EEG dan sinkop atau gangguan kesadaran; penurunan CBF sampai di bawah 12-15ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan kesunyian aktivitas elektroserebral, koma dan pengentian hampir semua fungsi metabolik dan sinaptik neuron. Kadar yang lebih rendah dapat ditoleransi bila terjadi dalam laju yang lebih lambat, namun pada dasarnya neuron tidak dapat bertahan bila aliran darah menurun di bawah 8-10ml/menit/100g jaringan. Toksin metabolik endogen yang bertanggung jawab terjadinya koma tidak dapat selalu diindentifikasi. Pada diabetes, badan keton dapat ditemukan dalam konsentrasi tinggi; pada uremia diduga terjadi akumulasi toksin-toksin molekular kecil yang dapat didialisis, terutama turunan asam amino fenolik. Pada koma hepatikum, peningkatan kadar NH 3 darah antara lima sampai enam kali normal berkaitan secara kasar dengan tingkatan koma. Asidosis laktat dapat mempengaruhi otak dengan menurunkan ph darat arterial sampai di bawah 7.0. Gangguan kesadaran yang menyertai insufisiensi pulmonar biasanya terkait dengan hiperkapnia. Pada hiponatremia (Na + <120 meq/l) oleh sebab apapun dapat menyebabkan disfungsi neuronal oleh karena pergerakan air ke dalam sel, sehingga menyebabkan edema neuron dan kehilangan kalium klorida dari dalam sel. Mekanisme aksi toksin bakterial terhadap koma masih belum diketahui. Obat-obatan seperti anestesia umum, alkohol, opiat, barbiturat, fenitoin, antidepresan dan diazepin dapat menginduksi koma dengan efek langsung mereka kepada membran neuron di dalam serebrum dan sistem aktivasi retikular atau kepada neurotransmiter-neurotransmiter dan reseptor mereka. Zat lainnya, seperti metanol dan etilen glikol, menyebabkan asidosis metabolik. Meskipun koma oleh karena penyakit metabolik dan zat racun biasanya berevolusi melalui stadium mengantuk, kebingungan, dan stupor (dengan urutan terbalik pada saat pulih dari koma), tiap-tiap penyakit memberikan gambaran klinis yang khas. Hal ini memberikan kemungkinan bahwa tiap penyakit mempunyai mekanisme dan lokus spesifik untuk efek metabolik mereka yang berbeda dari satu penyakit ke penyakit lainnya. Pelepasan muatan elektrik neuron secara tiba-tiba dan berlebihan merupakan karakteristik kejang epileptik serta merupakan mekanisme penyebab koma yang sering ditemukan. Biasanya kejang fokal hanya mempunyai efek kecil terhadap kesadaran sampai kejang tersebut menyebar dari satu sisi otak ke sisi yang lainnya. Koma kemudian dapat terjadi, diduga sebagai akibat dari penyebaran lepas muatan kejang ke dalam struktur-struktur neuronal sentral dalam yang kemudian menyebabkan Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 23
24 kelumpuhan fungsi. Pada tipe kejang yang lain, di mana kesadaran diganggu sejak awal terjadinya kelainan, sumber kejang diensefalik telah diusulkan (Kelang sentrosefalik Penfield). Kontusio serebri merupakan salah satu mekanisme patofisiologis penyebab koma yang unik. Pada cedera kepala tumpul atau tertutup telah ditunjukkan bahwa pada saat terjadinya tumbukan terjadi peningkatan tekanan intrakranial secara luar biasa besar, diperkirakan berkisar antrara lb/inci, yang berlangsung selama beberapa seperseribu detik. Getaran yang terjadi pada kranium dan ditransmisikan kepada otak selama bertahun-tahun dianggap sebagai penyebab langsung dari paralisis seketika yang menggambarkan cedera kepala kontusio. Namun kini diperkirakan lebih mungkin disebabkan oleh gerakan berputar otak oleh karena tumbukan kepala, yang menghasilkan gaya rotasi (torque) hemisfer serebri dengan sumbu batang otak atas. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 24
25 III. Manifestasi klinis (1) (4) Manifestasi klinis koma akibat lesi struktural Manifestasi klinis koma akibat lesi kompresi Manifestasi klinis koma akibat lesi kompresi di susunan saraf pusat dapat timbul secara berbeda-beda, tergantung dari lokasi di susunan saraf pusat dan juga proses terjadinya lesi tersebut. Lesi kompresi pada tingkatan-tingkatan kunci dari susunan saraf pusat dapat terjadi sebagai akibat gangguan terhadap fungsi akson baik secara anterograde maupun retrograde. Akson sebagai penghubung bagian-bagian sistem saraf sangat penting peranannya, tidak hanya sebagai penghantar impuls elektron, namun juga sebagai penyuplai nutrisi dan eliminasi toksin dari dan ke badan neuron. Manifestasi klinis lesi kompresi pada hemisfer serebri yang berjalan lambat, baik oleh karena tumor, hematoma ataupun abses, dapat menjadi tidak jelas. Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan jaringan otak di hemisfer serebri yang sangat elastis, sehingga mampu untuk bertahan terhadap tekanan dan tarikan dalam jumlah besar selama masih dapat dikompensasi oleh pemindahan likuor serebrospinalis dari ventrikel hemisfer tersebut. Namun, apabila tidak ada ruangan lagi untuk ekspansi, pembesaran masa sekecil apapun dapat memberikan tekanan yang cukup untuk menggeser diensefalon dan otak tengah, sehingga pada pasien-pasien dengan lesi hemisferik hanya ada sedikit waktu untuk bertindak apabila telah terjadi penurunan kesadaran. Diensefalon dapat mengalami kompresi oleh masa di daerah thalamus (biasanya tumor atau perdarahan) atau di sisterna suprasellar (kraniofaringioma, tumor sel germinal atau adenoma hipofisis). Tumor supraselar selain menyebabkan penurunan kesadaran juga menyebabkan gangguan lapangan pandang khas (hemianopsia bitemporal), dan bila meluas lebih lanjut ke arah sinus kavernosus dapat menyebabkan cedera nervus okulomotorik serta cabang oftalmik nervus trigeminal. Tumor supraselar yang merusak batang hipofisis dapat menyebabkan pelbagai gangguan endokrin seperti diabetes insipidus, panhipopituitarism serta galaktore dan amenore pada wanita. Penekanan terhadap otak tengah dorsal oleh masa dari daerah pineal juga menekan daerah pretektal, sehingga selain menyebabkan penurunan kesadaran, lesi tersebut juga menyebabkan beberapa tanda neuro-oftalmologis diagnostik. Pupil pada kasus-kasus ini dapat menjadi non-responsif terhadap rangsang cahaya (refleks cahaya negatif) dan sedikit membesar disertai dengan gangguan gerakan bola mata vertikal terganggu, konvergensi, nistagmus konvergen dan terkadang nistagmus refrakter (sindroma Parinaud). Lesi masa di daerah fosa posterior paling banyak berasal dari serebelum dan menyebabkan koma dengan secara langsung menekan batang otak. Manifestasi klinis lesi di daerah ini dapat digambarkan dengan lesi yang mengenai daerah pons, di mana terjadi diameter pupil yang kecil namun reaktif, gangguan refleks vestibulokoklear dan juga postur deserebrasi. Lesi di daerah ini dapat menyebabkan penekanan ke atas dan menyebabkan herniasi batang otak melalui nodus supratentorial, bila ini terjadi pupil dapat menjadi asimetris dan non-reaktif. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 25
26 Lesi masa daerah serebelum juga dapat menyebabkan koma dengan menekan ventrikel keempat sehingga menghambat aliran likuor serebrospinalis. Keadaan ini menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial secara hebat (tabel 7). Onset obstruksi ventrikel keempat biasanya ditandai dengan nausea dan terkadang muntah proyektil yang hebat. Penelurusan riwayat penyakit dapat memberikan adanya ataksia, vertigo, kekakuan leher dan pada akhirnya henti napas apabila tonsil serebelum terimpaksi pada tepi foramen magnum. Apabila kompresi berjalan lambat (eq. lebih dari 12 jam) dapat diamati adanya papiledema. Tabel 7. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dan sindrom herniasi. (5) Tanda Mekanisme Tipe herniasi Koma Kompresi tegmentum otak Unkal, sentral tengah Dilatasi pupil Kompresi N.III ipsilateral Unkal Miosis Kompresi otak tengah Sentral Paralisis vertical gaze Tarikan N.VI Sentral Hemiparesis Kompresi pedunkulus serebeli Unkal kontralateral Postur deserebrasi Kompresi otak tengah Sentral, unkal Hipertensi, bradikardia Kompresi medulla Sentral, unkal, serebelar Pernapasan abnormal Kompresi pons atau medulla Sentral, unkal, serebelar Manifestasi klinis koma akibat herniasi Patogenesis tanda dan gejala lesi masa yang membesar dan menyebabkan koma jarang hanya mmerupakan fungsi dari peningkatan tekanan intrakranial, namun biasanya sebagai resultante dari ketidakimbangan tekanan antar kompartemen yang berbeda sehingga menyebabkan herniasi jaringan. Pergeseran jaringan intrakranial merupakan pertimbangan kunci dalam diagnosis koma yang disebabkan oleh lesi masa supratentorial (gambar 8). Manifestasi klinis sindrom herniasi transtentorial secara umum dapat digambarkan sesuai dengan patologi-anatominya, di mana sindrom herniasi unkal terjadi sebagai akibat pegeseran unilateral lobus medial temporal termasuk girus unkal ke dalam bukaan tentorial; sedangkan sindrom herniasi sentral terjadi sebagai akibat pergeseran ke arah bawah dan kompresi bilateral batang otak bagian atas. Manifestasi klinis sindrom herniasi unkal Sindrom herniasi unkal, sebagai hasil dari herniasi lobus medial temporal ke dalam bukaan tentorial, memberikan gambaran penurunan kesadaran secara bertahap pada tahap awal yang disertai atau didahului oleh dilatasi pupil unilateral. Dilatasi pupil paling sering terjadi ipsilateral terhadap masa dan terjadi sebagai akibat kompresi N.III oleh girus unkal yang menekan. Manifestasi klinis sindrom herniasi sentral Sindrom herniasi sentral mengambil gambaran kerusakan otak rostro-kaudal, di mana pertama kali timbul kebingungan, apati dan penurunan kesadaran disertai dengan pernapasan Cheyne Stokes. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 26
27 Selanjutnya pupil dapat menjadi kecil dan bereaksi minimal terhadap rangsang cahaya; refleks okulosefalik dan okulovestibular bola mata masih dapat ditemukan. Pada tahap awal masih dapat ditemukan refleks Babinski, pada tahap yang lebih lanjut dapat ditemukan refleks genggam dan postur dekortikasi. Tanda-tanda ini memberikan arah kepada tanda-tanda gradien batang otak yang menurun dengan urutan: koma, hiperventilasi sentral, pupil non reaktif berukuran sedang, postur deserebrasi bilateral, kehilangan respons okulovestibular, pernapasan lambat tidak beraturan dan terakhir kematian. Gambar 8. Skema herniasi otak antar kompartemen dural. (1) Transfalsikal; (2) transtentorial unkal-hippokampal; (3) serebelar tonsilar; (4) horisontal menyebabkan fenomena nodus Kernohan Woltman. Herniasi digambarkan dalam warna biru. (4) Manifestasi klinis koma akibat lesi destruksi Lesi destruksi sistem kesadaran asenden atau target-target otak depannya secara paradoksal bukan merupakan permasalahan diagnostik yang segera bagi pemeriksan. Tidak seperti lesi kompresi, yang dapat seringkali dipulihkan dengan mengangkat masa, lesi destruktif secara khas tidak dapat dipulihkan. Walaupun penting untuk mengenali tanda-gejala khas lesi destruktif, dibandingkan dengan lesi kompresi, nilai utama pemeriksaan fisis ada pada mengenali pasien-pasien yang akan diuntungkan dengan intervensi terapetik segera. Manifestasi klinis koma akibat ensefalopati metabolik Setiap pasien dengan koma metabolik mempunyai gambaran klinis yang khas, tergantung dari penyakit penyebabnya, kedalaman koma dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan komorbid atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini, penyakit spesifik seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang, dan sekali dikenali jarang sekali menghasilkan diagnosis yang keliru. Pemeriksaan secara menyeluruh dan detail dari kesadaran, respirasi, reaksi pupil, pergerakan bola mata, fungsi motorik, dan elektroensefalogram (EEG) dapat membedakan ensefalopati metabolik dengan kelainan psikiatrik atau dengan penyakit struktural baik supratentorial maupun infratentorial. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 27
28 Aspek klinis kesadaran Pada pasien dengan ensefalopati metabolik, stupor atau koma biasanya didahului oleh delirium. Delirium dikarakteristikkan dengan perubahan status arousal (baik meningkat ataupun menurun), disorientasi, penurunan daya ingat jangka pendek, penurunan kemampuan untuk mempertahankan atau memindahkan perhatian, proses pikir terganggu, gangguan persepsi, delusi dan atau halusinasi serta gangguan siklus bangun-tidur. Respirasi Capat atau lambat, penyakit otak metabolik hampir selalu menyebabkan kelainan pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama (tabel 8). Kebanyakan perubahan ini terjadi secara non-spesifik dan merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas. Namun demikian, pada keadaankeadaan tertentu, perubahan pernapasan dapat berdiri sendiri dari kelainan-kelainan neurologis lainnya dan memberikan gambaran secara khas penyakit spesifik yang menyebabkan. Perubahan respirasi neurologis dalam koma metabolik Pasien letargik atau obtundasi minimal seringkali mengalami apnea pasca-hiperventilasi, mungkin sebagai akibat dari kehilangan pengaruh lobus frontalis dalam mengendalikan ventilasi volum rendah kontinu bahkan pada saat tidak ada kebutuhan metabolik untuk bernapas. Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali menampilkan gambaran pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi batang otak yang lebih dalam hiperventilasi neurogenik sedaat dapat terjadi sebagai akibat dari penekanan daerah inhibisi batang otak atau dari terjadinya edema pulmonar neurogenik. Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan hiperpnea transien, sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma lainnya yang menghasilkan asidosis metabolik akan menunjukkan pernapasan lambat dan dalam (Kussmaul). Baik ensefalopati hepatik dan keadaan inflamasi sistemik sama-sama menyebabkan hiperventilasi persisten yang pada akhirnya menyebabkan alkalosis respiratorik primer. Pada keadaan-keadaan ini, peningkatan frekuensi napas terkadang berhasil menutupi keadaan metabolik dasarnya dan apabila pasien tersebut juga mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat secara sekilas menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun demikian dengan melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya dapat ditemukan diagnosis kerja yang sesuai. Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit metabolik menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang otak secara khusus rentan terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara selektif menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak mengganggu fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali tekanan darah. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 28
29 Tabel 8. Beberapa penyebab ventilasi abnormal pada pasien dengan gangguan kesadaran I. Hiperventilasi II. Hipoventilasi a. Asidosis metabolik i. Anion gap 1. Ketoasidosis diabetik* 2. Koma hiperosmolar diabetik* 3. Asidosis laktat 4. Uremia* 5. Ketoasidosis alkoholik 6. Toksin asam* (eq. etilen glikol,metanol) ii. Non anion gap 1. Diare 2. Drainase pankreas 3. Inhibitor karbonik anhidrase 4. Ingesti NH4Cl 5. Asidosis tubular renal 6. Ureteroenterostomi b. Alkalosis respiratorik 1. Gagal hati* 2. Sepsis* 3. Pneumonia 4. Kecemasan (sindromhiperventilasi) a. Asidosis respiratorik i. Akut (tidak terkompensasi) 1. Obat-obatan sedatif* 2. Kerusakan batang otak 3. Kelainan neuromuskular 4. Trauma dada 5. Penyakit paru akut ii. Penyakit paru kronis* b. Alkalosis metabolik 1. Muntah hebat atau drainase gastrik 2. Terapi diuretik 3. Kelebihan steroid adrenal (sindrom Cushing) 4. Aldosteronisme primer 5. Sindrom Bartter *Penyebab umum stupor dan koma c. Kelainan asam basa campuran 1. Keracunan salisilat 2. Sepsis* 3. Gagal hati* Pupil Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupilmenjadi kriteria klinis yang paling penting dan mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya refleks cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan, respons kalorik vestibulo-okular negatif, kekakuan deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan koma metabolik. Sebaliknya, bila asfiksia, ingesti antikolinergik atau glutetimid dan penyakit pupil sebelumnya dapat disingkirkan, ketiadaan refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding metabolik. Pupil tidak dapat disimpulkan non-reaktif terhadap rangsang cahaya kecuali telah dilakukan pemeriksaan secara teliti menggunakan cahaya yang sangat terang dan mempertahankan rangsang Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 29
30 selama beberapa detik. Pupilometri inframerah lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan lampu senter. Refleks siliospinal kurang terpercaya dibandingkan dengan refleks cahaya, namun sama seperti refleks cahaya tetap dipertahankan dalam koma metabolik walaupun tanda-tanda motorik dan pernapasan mengindikasikan disfungsi batang otak bawah. Motilitas okular Bola mata biasanya bergerak secara acak pada koma metabolik ringan dan kemudian diam pada posisi depan seiring dengan mendalamnya koma. Walaupun hampir semua posisi atau gerakan bola mata dapat terjadi pada saat fungsi batang otak berubah secara cepat, deviasi konjugat lateral atau posisi bola mata diskonjugat pada saat istirahat menandakan adanya lesi struktural. Lirikan konjugat ke bawah atau kadang-kadang lirikan konjugat ke atas dapat terjadi pada keadaan metabolik sebagaimana pada keadaan struktural dan dengan sendirinya bukan merupakan kriteria diagnosis diferenial yang berguna. Oleh karena semua pergerakan bola mata secara khusus sensitif terhadap obat-obatan depresan, stimulasi kalorik dingin seringkali memberikan informasi berharga mengenai kedalaman koma pada pasien dengan kelainan metabolik. Respons okular terhadap gerakan kepala pasif memeberikan hasil yang kurang reliabel dibandingkan dengan tes kalorik, oleh karena ketiadaan respons okulosefalik dapat mengimplikasikan inhibisi refleks bertujuan dan tidak secara terpercaya membedakan gangguan kesadaran psikogenik dengan depresi batang otak. Stimulasi kalorik dingin menghasilkan deviasi konjugat ke arah telinga yang diirigasi pada pasien dengan koma ringan dan sedikit atau tanpa respons pada pasien dengan koma dalam. Apabila rangsangan kalorik menghasilkan nistagmus, regulasi bola mata serebral nampaknya utuh dan gangguan kesadaran biasanya ringan atau disebabkan oleh gangguan psikogenik. Apabila bola mata bergerak turun setelah gerakan deviasi lateral, harus dicurigai adanya koma terinduksi obat. Terakhir, apabila rangsang kalorik secara berulang menghasilkan gerakan mata diskonjugat, kerusakan batang otak struktural harus dicurigai. Aktivitas motorik Pasien dengan penyakit otak metabolik biasanya memperlihatkan dua tipe kelainan motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan refleks termasuk juga kejang fokal dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk penyakit otak metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma metabolik dan menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP. Paratonia dan refleks primordial (mencucur, menghisap dan menggenggam) dapat ditemukan pada demensia dan koma ringan. Dengan penekanan batang otak yang semakin lanjut rigiditas fleksor dan ekstensor serta kadang-kadang flasiditas dapat ditemukan. Keadaan-keadaan rigiditas ini terkadang ditemukan asimetrik. Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit otak metabolik. Pasien dengan penyakit otak metabolik juga sering mengalami kejang fokal atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang akibat penyakit otak struktural. Meskipun demikian, pada saat ensefalopati Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 30
31 metabolik menyebabkan kejang fokal, fokusnya seringkali berpindah-pindah dari satu serangan ke serangan yang lain, temuan ini jarang didapatkan pada lesi struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas sering ditemukan pada uremia dan sangat sulit dikendalikan. Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari penyakit otak metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada lesi struktural fokal kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor pada ensefalopati metabolik biasanya kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya hilang saat istirahat dan paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang terjulur. Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila dihiperekstensikan pada pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada banyak penyakit otak metabolik bahkan beberap lesi struktural. Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-ritmis dan tidak berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot pada satu bagian dan kemudian bagian tubuh yang lain, terutama pada wajah dan tungkai proksimal. Mioklonus multifokal biasanya menyertai ensefalopati uremikum, penisilin intravena dosis tinggi, narkosis CO 2 dan ensefalopati hiperosmolar hiperglikemik. Mioklonus multifokal pada pasien koma menandakan adanya penyakit metabolik yang berat. Diagnosis diferensial koma metabolik Perbedaan gangguan kesadaran metabolik dan psikogenik Pasien non-responsif dengan penyakit metabolik mempunyai aktivitas EEG yang lambat, bahkan lebih lambat dari pasien penyakit metabolik yang responsif. Stimulasi vestibulo-okular menghasilkan deviasi tonik bola mata atau bila pasien dalam keadaan koma dalam tidak memberikan respons. Pasien non-responsif psikogenik mempunyai EEG dan respons terhadap irigasi kalorik yang normal, dengan disertai nistagmus yang mempunyai fase cepat menjauh dari sisi irigasi air dingin. Pada beberapa pasien dengan koma psikogenik, bola mata dapat berdeviasi ke arah bawah pada saat pasien ditempatkan secara miring. Deviasi ke bawah bola mata dengan paksaan dapat ditemukan pada pasien dengan kejang psikogenik. Perbedaan koma metabolik dan struktural Kebanyakan pasien dengan penyakit otak metabolik mempunyai tanda motorik difus termasuk tremor, mioklonus dan khususnya asteriksis bilateral. Pemeriksaan EEG menunjukkan perlambatan yang difus. Pasien dengan penyakit struktural, di lain pihak biasanya memiliki tanda motorik abnormal fokal dan apabila ditemukan asteriksis maka lokasinya unilateral. Pemeriksaan EEG pada lesi struktural dapat menunjukkan perlambatan, namun dengan adanya lesi supratentorial biasanya disertai dengan abnormalitas fokal. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 31
32 Kelainan metabolik dan struktural dapat juga dibedakan satu sama lain dengan kombinasi tanda gejala serta perjalanan penyakit mereka. Pasien koma dengan penyakit otak metabolik biasanya mengalami disfungsi parsial yang mengenai banyak tingkatan neuraksial secara simultan, namun secara bersamaan tetap mempertahankan integritas fungsi lainnya yang berasal dari tingkatan serupa. Sedangkan, deteriorisasi fungsi rostro-kaudal merupakan ciri khas lesi masa supratentorial yang tidak dapat ditemukan pada penyakit otak metabolik ataupun pada lesi masa terbatas di daerah subtentorial. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 32
33 IV. Diagnosis (1) (4) (5) (6) Pendekatan diagnostik klinis pasien koma Koma selalu merupakan ekspresi simptomatik dari penyakit dasar. Terkadang kelainan primer dapat jelas terlihat sepeti pada trauma kranial. Namun lebih sering pasien di bawa ke rumah sakit dalam keadaan koma dan hanya sedikit informasi medis yang segera tersedia. Kebutuhan akan efisiensi dalam mencapai diagnosis dan memberikan perawatan akut yang sesuai menuntuk klinisi untuk mempunyai pendekatan metodologis yang tidak melewatkan penyebab koma umum dan dapat diobati (tabel 9). Pada saat pertamakali menemui pasien koma, seorang klinisi harus segera memastikan bahwa jalan napas pasien bebas dan tekanan darah mencukup, apabila telah terjadi trauma harus diperiksa adanya luka atau organ yang ruptur (seperti lien ataupun hepar). Apabila terjadi hipotensi, tindakantindakan khusus seperti pemasangan kateter vena sentral dan pemberian cairan serta obat vasopresor, oksigen, darah atau cairan glukosa harus segera dilakukan sebelum melakukan tindakan diagnostik. Apabila pernapasan pendek atau sulit atau bila ada muntahan dengan risiko aspirasi, maka intubasi trakeal dan ventilasi mekanis dibutuhkan. Jalan napas orofaringeal biasanya mencukupi pada pasien koma yang bernapas dengan normal. Pasien koma dalam dengan pernapasan pendek membutuhkan intubasi endotrakeal. Pasien cedera kepala mempunyai risiko mengalami fraktur vertebra servikalis, di mana harus dilakukan prinsip kehati-hatian dalam memindahkan kepala, leher dan juga intubasi untuk mencegah terjadinya cedera medulla spinalis. Tabel 9. Panduan pendekatan diagnostik klinis pasien koma Anamnesis (dari keluarga, teman, pendamping) Onset koma (tiba-tiba, gradual) Keluhan terkini (eq. sakit kepala, depresi, kelemahan fokal, vertigo) Trauma terkini Penyakit medis terdahulu (eq. diabetes, gagal ginjal, penyakit jantung) Riwayat kesehatan kejiwaan Akses terhadap obat-obatan (eq. sedatif, psikotropika) Pemeriksaan fisik umum Tanda-tanda vital Tanda-tanda trauma Tanda-tanda penyakit sistemik akut atau kronik Tanda-tanda penggunaan obat-obatan (eq. bekas jarum, bau alkohol) Rigiditas nukal (pastikan cedera servikal telah disingkirkan) Pemeriksaan neurologis Respons verbal Bukaan mata Fundus optikus Respons pupil Gerakan mata spontan Respons okulosefalik (singkirkan dahulu cedera servikal) Respons okulovestibular Respons korneal Pola pernapasan Respons motorik Refleks tendon dalam Tonus otot skeletal Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 33
34 Pemeriksaan klinis pasien koma Anamnesis Pada banyak kasus, penyebab koma dapat ditemukan dengan cepat (eq. trama, henti jantung atau penggunaan obat-obatan). Pada kasus-kasus lainnya, beberapa poin dalam anamnesa dapat menjadi petunjuk penting: (1) keadaan dan kecepatan timbulnya tanda-tanda neurologi; (2) tanda dan gejala sebelumnya (kebingungan, kelemahan, sakit kepala, demam, kejang, pusing, penglihatan ganda, atau muntah); (3) penggunaan obat-obatan, narkoba atau alkohol; dan (4) penyakit hati, ginjal, jantung, paru kronis atau penyakit medis lainnya. Interogasi langsung kepada keluarga dan saksi mata, sangat penting dalam evaluasi pertama. Pemeriksaan fisis umum Perubahan tanda-tanda vital, seperti suhu, nadi, laju pernapasan dan tekanan darah, merupakan alat bantu diagnostik yang penting. Demam seringkali disebabkan oleh infeksi sistemik seperti pneumonia, meningitis bakterial atau ensefalitis viral. Suhu yang luar biasa tinggi (42-43 C) dengan kulit kering menimbulkan kecurigaan serangan panas atau intoksikai obat dengan aktivitas antikolinergik. Demam sangat jarang disebabkan oleh lesi otak yang menganggu pusat pengatur suhu, yang sering disebut sebagai demam sentral. Hipotermia sering ditemukan pada pasien dengan intoksikasi alkohol atau barbiturat, tenggelam, kegagalan sirkulasi perifer dan miksedema. Pernapasan lambat sering disebabkan oleh intoksikasi barbiturat dan terkadang hipotiroid, sedangkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul) mengarahkan adanya pneumonia, asidosis diabetik atau uremik, edema pulmonar atau keadaan yang lebih jarang yakni hiperventilasi neurogenik sentral. Penyakit-penyakit yang meningkatkan tekanan intrakranial atau merusak otak sering menyebabkan pernapsan yang lambat, iregular atau Cheyne Stokes. Muntah pada onset koma, terutama bila dikombinasikan dengan hipertensi berat, sangat khas untuk perdarahan hemisfer serebri, batang otak, serebelum atau ruang subarakhnoid. Laju nadi, bila sangat lambat mengindikasikan adanya blok jantung oleh obat-obatan seperti antidepresan atau antikonvulsan; atau bila dikombinasikan dengan pernapasan periodik dan hipertensi maka menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial oleh karena lesi masa. Infark miokard dinding inferior juga dapat menyebabkan terjadinya bradikardia prominen. Hipertensi berat biasa diamati pada pasien dengan perdarahan serebral dan ensefalopati hipertensi, serta terkadang pada pasien-pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial hebat. Hipotensi biasanya ditemukan pada keadaan penurunan kesadaran oleh karena diabetes, intoksikasi alkohol atau barbiturat, perdarahan internal, infark miokard, aneurisma aorta disekans, septikemia, penyakit Addison atau trauma otak luas. Pemeriksaan kulit dapat memberikan informasi yang berharga. Sianosis bibir dan kuku menandakan oksigenasi yang inadekuat. Warna kulit merah ceri khas untuk keracunan karbonmonoksida. Trauma multipel (terutama lebam atau daerah sembab di kulit kepala), perdarahan, kebocoran likuor serebrospinal dari telinga atau hidung, perdarahan periorbital meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur kranium dan trauma intrakranial. Telengiektasia dan hiperemia wajah Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 34
35 dan konjungtiva merupakan stigmata alkoholisme; miksedema memberikan karakteristik wajah yang sembab dan hipopituarisme memberikan warna kulit yang pucat. Kepucatan yang berat menandakan adanya perdarahan internal. Ruam makulohemoragik mengindikasikan kemungkinan infeksi meningokokal, endokarditis stafilokokal, tifus atau demam bercak pegunungan Rocky. Keringat yang berlebihan menandakan adanya hipoglikemia atau renjatan; dan kulit yang sangat kering menandakan asidosis diabetik atau uremik. Bau napas juga dapat memberikan petunjuk mengenai etiologi koma. Alkohol mudah dikenali (kecuali vodka yang tidak berbau). Koma diabetik memberikan bau seperti buah-buahan busuk, koma uremik seperti urin, koma hepatikum berbau busuk dan keracunan sianida memberikan bau seperti kacang almon gosong. Derajat kesadaran Suatu sekuens stimulus yang semakin lama semakin intens dapat digunakan untuk menentukan ambang rangsang dan respons motorik optimal untuk setiap sisi tubuh. Hasil dari pemeriksaan dapat berubah dari menit ke menit dan pemeriksaan secara serial disarankan. Merangsang ujung hidung dengan kapas merupakan rangsang moderat untuk menilai respons, semua pasien kecuali yang dalam stupor dalam atau koma akan menggerakan kepala menjauh dan merespons dalam derajat tertentu. Menggunakan tangan untuk memindahkan stimulus yang mengganggu mewakili derajat respons yang lebih tinggi lagi. Postur tubuh stereotipij dalam respons terhadap stimulus nyeri mengindikasikan adanya disfungsi sistem kortikospinal berat. Gerakan menghindar abduksi tungkai biasanya dilakukan dengan tujuan dan menandakan sistem kortikospinal yang intak. Tekanan pada ujung jari atau tonjolan tulang dan stimulasi dengan jarum merupakan beberapa stimulus nyeri yang dapat diterima, mencubit kulit menyebabkan ekimosis dan secara umum tidak diperlukan namun dapat berguna untuk menimbulkan gerakan menghindar abduksi tungkai (gambar 9). Gambar 9. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menimbulkan respons pasien dengan penurunan kesadaran. Stimulus nyeri dapat diberikan dengan trauma minimal pada area supraorbital (A); ujung jari/kuku (B); sternum (C) dan persendian temporomandibular (D). Skala koma Beberapa skala koma yang berbeda telah diciptakan untuk menilai pasien dengan koma. Nilai dari beberapa tes ini adalah untuk memberikan penilaian sederhana untuk prognosis beberapa Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 35
36 kelompok pasien. Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) merupakan skala yang paling banyak digunakan dan mungkin tetap yang terbaik untuk pasien koma, sehingga skala inilah yang dicantumkan pada makalah ini (tabel 10). Skala-skala yang lain yang dapat juga digunakan adalah skala ACDU (alert, confused, drowsy, unresponsive) dan AVPU (alert, response to voice, response to pain, unresponsive) lebih sederhana dibandingkan GCS serta hampir sama baiknya. Satu skala yang baru saja divalidasi, yakni skala FOUR (full outline of responsiveness) memberikan detail neurologis yang lebih baik. Tabel 10. Glasgow Coma Scale (skor maksimal 15-sadar penuh; minimal 3-koma dalam) ABC: Airway, Breathing, Circulation Penting untuk memastikan jalan napas pasien dalam keadaan aman, memiliki pernapasan yang mencukupi dan ada tekanan perfusi arteri yang baik. Tujuan utama adalah untuk memperbaiki adanya kelainan-kelainan pada ketiga parameter ini. Sebagai tambahan, tekanan darah, laju nadi dan pernapasan dapat memberikan petunjuk-petunjuk mengenai penyebab koma. Peredaran darah Kerusakan jalur simpatis desenden yang mempertahankan tekanan darah dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sama seperti kerusakan medulla spinalis (MAP sekitar 60-70mmHg). Meskipun demikian hipotensi persisten di bawah tingkatan ini pada pasien koma hampir tidak pernah disebabkan oleh kerusakan neurologis akut. Pada pihak lain, lesi yang menyebabkan stimulasi sistem simpato-eksitatorik dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Serangan Adams-Stokes merupakan periode kehilangan kesadaran singkat oleh karena adanya kekurangan perfusi serebral yang adekuat. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 36
37 Pernapasan Pola pernapasan dapat memberikan petunjuk penting mengenai tingkatan kerusakan otak. Apabila telah dipastikan ada pertukaran oksigen yang adekuat, klinisi harus memperhatikan pernapasan spontan pasien. Ketidakteraturan pola pernapasan memberikan petunjuk derajat kerusakan otak sebagaimana digambarkan oleh tabel 11 dan gambar 10. Tabel 11. Korelasi neuropatologik kelainan pernapasan. Kerusakan otak depan Inhibisi pernapasan epileptik Afraksia untuk pernapasan dalam dan penahanan napas Menangis atau tertawa pseudobulbar Apnea pasca hiperventilasi Respirasi Cheyne Stokes Kerusakan otak tengah dan hipotalamus Hiperpnea refleks sentral (edema neurogenic pulmonar) Kerusakan basis pontis Kehilangan kontrol volunter pseudobulbar Kerusakan atau disfungsi tegmentum pontin bawah Pernapasan apneusik Pernapasan cluster Pernapasan periodik anoksik hiperkapnik siklus pendek Pernapasan ataksik (Biot) Disfungsi medular Pernapasan ataksik Pernapasan regular lambat Kehilangan pernapasan otonom dengan kontrol volunter intak Pernapasan terengah-engah (gasping) Respons pupil Respons pupil dinilai dengan menggunakan cahaya terang dan difus (bukan dengan oftalmoskop); apabila absen harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan menggunakan kaca pembesar (gambar 11). Pupil reaktif normal, bulat dan berukuran sedang (2,5-5mm) pada dasarnya menyingkirkan kerusakan otak tengah, baik primer maupun sekunder karena kompresi. Pupil reaktif unilateral dan berukuran besar (>6 mm) atau yang bereaksi lambat menandakan adanya kompresi N.III dari efek masa di atas. Pupil berbentuk oval dan sedikit eksentrik merupakan penanda transisional yang menyertai kompresi otak tengah-n.iii awal. Tanda pupil yang paling ekstrim adalah pupil dilatasi bilateral dan nonreaktif yang menandakan adanya kerusakan otak tengah berat, biasanya dari kompresi masa supratentorial. Obat-obatan dengan aktivitas kolinergik, penggunaan tetes mata midriatikum dan trauma mata langsung merupakan salah satu penyebab misdiagnosis pelebaran pupil. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 37
38 Gambar 10. Pola pernapasan abnormal yang berbeda dikaitkan dengan lesi patologik spesifik pada beberapa level otak tertentu. (A) pernapasan Cheyne Stokes ditemukan pada ensefalopati metabolik dan lesi otak depan atau diensefalik. (B) Hiperventilasi neurogenik sentral sering ditemukan pada ensefalopati metabolik, terkadang ditemukan pada tumor batang otak tinggi. (C) Apneusis, terdiri dari beberapa henti napas, dapat dilihat pada pasien dengan lesi pontin bilateral. (D) Pernapasan cluster atau ataksik dapat dilihat pada lesi perbatasan pontomedularis. (E) Apnea timbul pada saat lesi mencapai kelompok neuron pernapasan ventral di medula ventrolateral bilateral. Saper C. Brain stem modulation of sensation, movement, and consciousness. Ch.:45 in: Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM. Principles of Neural Science, 4 th ed. McGraw-Hill, New York, Miosis unilateral pada koma disebabkan oleh disfungsi eferen simpatis yang berasal dari hipotalamus posterior. Keadaan ini sering ditemukan pada perdarahan serebral yang mengenai talamus. Pupil reaktif dan mengecil bilateral (1-2,5mm) namun tidak pinpoint dapat ditemukan pada ensefalopati metabolik atau lesi hemisferik bilateral dalam seperti hidrosefalus atau perdarahan talamik. Pupil yang sangat kecil namun reaktif (<1mm) menandakan overdosis narkotik atau barbiturat dan juga bisa terjadi karena perdarahan pontin luas. Respons terhadap nalokson dan adanya pergerakan mata refleks dapat membedakan kedua keadaan di atas. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 38
39 Gambar 11. Ringkasan perubahan pupil pada pasien dengan lesi penyebab koma pada tingkatantingkatan tertentu di otak. Saper C. Brain stem modulation of sensation, movement, and consciousness. Ch.:45 in: Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM. Principles of Neural Science, 4 th ed. Respons okulomotor Mata pertama-tama diobservasi dengan mengangkat kelopak dan memperhatikan posisi istirahat dan pergerakan bola mata spontan. Tonus kelopak mata, yang dinilai dengan mengangkat kelopak dan memperhatikan ketahanan mereka terhadap bukaan dan kecepatan menutupnya, menurun secara cepat seiring dengan perberatan koma. Divergensi mata hosizontal pada saat istirahat normal pada saat mengantuk. Seiring dengan perberatan koma, aksis okular dapat menjadi paralel lagi. Pergerakan mata normal seringkali mengambil bentuk ayunan horisontal konjugat. Temuan ini menandakan otak tengah dan pons yang normal serta mempunyai signifikansi sama dengan refleks gerakan mata normal. Deviasi horisontal konjugat ke satu sisi mengindikasikan kerusakan pons pada sisi kontralateral, atau kerusakan lobus frontalis ipsilateral. Fenomena ini dapat disimpulkan dengan diktum berikut: Mata melihat ke arah lesi hemisferik dan menjauh dari lesi batang otak. Kejang juga dapat menyebabkan pergerakan mata ke satu sisi. Pada keadaan-keadaan yang jarang, mata dapat menoleh paradoksikal menjauh dari sisi lesi hemisferik dalam ( mata salah arah ). Mata menoleh ke bawah dan dalam sebagai hasil dari lesi talamik dan otak tengah bagian atas, secara khas pada perdarahan talamik. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 39
40 Ocular bobbing menggambarkan gerakan mata ke bawah cepat dan ke atas lambat dengan kehilangan gerakan mata horisontal sebagai akibat dari kerusakan pontin bilateral, biasanya karena trombosis arteri basilar. Ocular dipping merupakan gerakan mata ke bawah yang lebih lambat dan aritmis diikuti dengan gerakan ke atas cepat pada pasien dengan refleks lirikan horisontal normal; mengindikasikan adanya kerusakan anoksia kortikal difus. Refleks okulosefalik tergantung kepada integritas nukleus motorik dan traktus interkoneksinya yang meluas dari otak tengah ke pons dan medulla. Refleks ini ditimbulkan dengan menggerakkan kepala dari sisi ke sisi atau vertikal dan diamati gerakan mata yang timbul pada arah yang berlawanan dengan gerakan kepala (gambar 12). Kemampuan untuk menimbulkan refleks ini menandakan adanya penurunan pengaruh korteks terhadap batang otak, namun juga mengimplikasikan integritas batang dan adanya gangguan kesadaran di hemisfer serebri. Ketiadaan gerakan mata reflektorik menandakan adanya kerusakan batang otak, namun dapat juga ditemukan pada overdosis berat obat-obatan tertentu. Tes stimulasi termal atau kalorik aparatus vestibular (respons okulovestibularik) memberikan stimulus yang lebih hebat untuk refleks okulosefalik, namun memberikan informasi yang pada dasarnya sama. Tes ini dilakukan dengan mengirigasi kanal auditorik eksternal dengn air dingin untuk menginduksi arus konveksi di labirin. Setelah beberapa saat hasilnya adalah deviasi tonik kedua mata ke arah irigasi dan nistagmus ke arah berlawanan (gambar 12). Akronim COWS digunakan untuk mengingatkan gerakan nistagmus ini, cold water opposite warm water same. Kehilangan gerakan mata konjugat menandakan adanya kerusakan batang otak. Ketiadaan nistagmus meskipun gerakan deviasi konjugat intak menandakan kerusakan atau penekanan metabolik hemisfer serebri. Gambar 12. Tes gerakan bola mata untuk memeriksa refleks okulosefalik (A dan B) dan okulovestibularik (C dan D). Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 40
41 Sentuhan kornea dengan sejumput kapas memberikan respons yang terdiri dari penutupan kelopak mata bilateral pada keadaan normal. Refleks korneal tergantung dari integritas jalur pontin antara nervus kranialis V dan VII; walaupun jarang berguna bila digunakan sendiri bila dinilai bersamaan dengan gerakan refleks bola mata penting untuk menilai fungsi pontin. Obat-obatan penekan SSP menurunkan atau menghilangkan respons korneal segera sesudah gerakan refleks bola mata menghilang namun sebelum pupil tidak reaktif terhadap cahaya. Respons motorik Pemeriksaan motorik pasien stupor atau koma, bila diperlukan, berbeda dengan pasien yang bangun dan kooperatif. Dibandingkan dengan menilai kekuatan pada otot spesifik, pemeriksaan ini lebih berfokus pada pemeriksaan responsivitas keseluruhan pasien dengan penilaian respons motorik, tonus motorik dan refleks serta mengindentifikasikan beberapa pola motorik abnormal seperti hemiplegia atau posturing (gambar 13). Gerakan kacau dari kedua tangan dan kaki, menggenggam dan memungut menandakan traktus kortikospinal kurang lebih utuh. Tahanan bervariasi terhadap gerakan pasif (rigiditas paratonik), gerakan menghindar kompleks dan gerakan perlindungan khusus mempunyai arti yang sama, bila gerakan ini bilateral maka koma biasanya tidak dalam. Epilepsi motorik fokal menandakan traktus kortikospinal terkait utuh. Refleks tendon biasanya tetap ada sampai ke tahap lanjut koma oleh karena gangguan metabolik dan intoksikasi. Pada koma oleh karena infark atau perdarahan serebral luas, refleks tendon dapat normal atau hanya sedikit berkurang pada sisi hemiplegik dan refleks plantar dapat tidak ada atau ekstensor. Respons fleksor plantaris yang mendahului respons ekstensor menandakan adanya pemulihan ke arah normal atau dalam konteks peberatan koma menandakan transisi ke arah mati otak. Pemeriksaan laboratorium utama Pemeriksaan-pemeriksaan yang paling penting untuk diagnosis koma adalah: analisis kimiawitoksikologik darah dan urin, pencitraan CT-scan atau MRI kranial, EEG dan pemeriksaan likuor serebrospinalis. Analisis gas darah arterial dapat membantu pada pasien dengan penyakit paru dan kelainan asam basa. Gangguan metabolik yang sering dilihat pada praktek klinis memerlukan pemeriksaan elektrolit, glukosa, kalsium,osmolaritas, dan fungsi ginjal (BUN) serta hati (NH 3 ). Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 41
42 Gambar 13. Respons motor terhadap stimulus nyeri pada pasien dengan disfungsi serebral akut. Tingkatan-tingkatan yang sesuai pada otak digambarkan secara kasar pada sebelah kir. Pasien dengan lesi otak depan atau diensefalik seringkali mempunyai hemiparesis, namun dapat membuat gerakan bertujuan pada sisi yang baik (A). Lesi pada persimpangan diensefalon dan otak tengah dapat menunjukkan posturing dekortikasi (B). Pada lesi yang meluas keotrak tengah dapat ditemukan posturing deserebrasi (C). Saper C. Brain stem modulation of sensation, movement, and consciousness. Ch.:45 in: Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM. Principles of Neural Science, 4 th ed. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 42
43 Diagnosis diferensial koma Demonstrasi penyakit otak fokal atau iritasi meningeal dengan kelainan pada likuor serebrospinalis membantu dalam penyusunan diagnosis diferensial komal dan dapat membantu membagi penyakit-penyakit penyebab koma dalam tiga kelas sebagai berikut: 1. Penyakit-penyakit yang tidak menunjukkan tanda-tanda neurologis fokal atau lateralisasi, biasanya dengan fungsi batang otak normal. Pencitraan CT-scan dan konten selular likuor serebrospinal juga normal. a. Intoksikasi: alkohol, barbiturat dan obat-obatan sedatif lainnya, opiat dsb. b. Gangguan metabolik: anoksia, asidosis diabetik, uremia, gagal hati, hiperglikemia non-ketotik hiperosmolar, hipo dan hipernatremia, hipoglikemia, krisis Addisonian, defisiensi nutrisi berat, keracunan karbon monoksida, penyakit-penyakit tiroid termasuk ensefalopati Hashimoto. c. Infeksi-infeksi berat: pneumonia, peritonitis, demam tifoid, malaria, septikemia, sindrom Waterhouse Friderischsen. d. Renjatan oleh karena sebab apapun. e. Keadaan pasca kejang dan status epileptikus non-konvulsif serta konvulsif. f. Ensefalopati hipertensif dan eklamsia. g. Hipertermia dan hipotermia. h. Kontusio serebri. i. Hidrosefalus akut. j. Derajat lanjut penyakit-penyakit degeneratif dan penyakit Creutzfeldt-Jakob. 2. Penyakit-penyakit yang menyebabkan iritasi meningeal, dengan atau tanpa demam, dengan peningkatan leukosit atau eritrosit di likuor serebrospinal, biasanya tanpa tanda neurologis fokal, lateralisasi atau tanda batang otak lainnya. Pencitraan dengan CT-scan atau MRI, disarankan mendahului pungsi lumbal, dapat normal ataupun abnormal. a. Perdarahan subarakhnoid dari ruptur aneurisma, malformasi arteriovenosa dan terkadang trauma. b. Meningitis bakterial akut. c. Ensefalitis viral tertentu. d. Peradangan menings karena neoplasma atau parasit. 3. Penyakit-penyakit yang menyebabkan tanda-tanda fokal batang otak atau lateralisasi serebral, dengan atau tanpa perubahan di likuor serebrospinalis. Pencitraan CT-scan dan MRI biasanya abnormal. a. Perdarahan hemisferik atau infark luas. b. Infark batang otak oleh karena trombosis arteri basilar atau embolisme. c. Abses otak, empiema subdural, ensefalitis herpetika. d. Perdarahan epidural dan subdural serta kontusio serebri. e. Tumor otak. f. Perdarahan pontin atau serebelum. g. Lain-lain: trombosis vena korteks, beberapa bentuk ensefalitis viral (herpetik), infark embolik fokal karena endokarditis bakterialis, leukoensefalitis hemoragik akut, ensefalomielitis diseminata pasca infeksi, limfoma intravaskular, purpura trombotik trombositopenik, embolisme lemak luas dan lainnya. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 43
44 V. Tatalaksana Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan Apapun diagnosis atau penyebab koma, beberapa prinsip umum manajemen dapat diaplikasikan kepada seluruh pasien dan harus diterapkan pada saat kita menjalankan pemeriksaan dan merencanakan terapi definitif (tabel 12). Algoritma untuk penatalaksanaan awal juga telah disediakan (gambar 14). Tabel 12. Prinsip-prinsip manajemen pasien koma 1. Pastikan oksigenasi 2. Pertahankan sirkulasi 3. Kendalikan gula darah 4. Turunkan tekanan intrakranial 5. Hentikan kejang 6. Obati infeksi 7. Kendalikan kelainan asam basa dan elektrolit 8. Kendalikan suhu tubuh 9. Berikan tiamin 10. Berikat antidotum spesifik (flumazenil, nalokson dsb.) 11. Kendalikan agitasi Amankan oksigenasi Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO 2 lebih tinggi dari 100mmHg dan PaCO 2 antara 35 dan 40mmHg. Pertahankan sirkulasi Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/map; 1/3 sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik, tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau 80 mmhg biasanya cukup, meskipun demikian apabila ada peningkatan TIK maka MAP yang lebih tinggi harus di capai (misalnya di atas 65mmHg). Ukur kadar glukosa Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL, bahkan setelah episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-hatian harus diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan air (dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil. Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 44
45 Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme kronik dan atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa dapat mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan untuk memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian glukosa. Gambar 14. Algoritme untuk petalaksanaan gawat darurat pasien dengan koma. Turunkan tekanan intrakranial Dapat dilihat pada bagian penanganan spesifik untuk lesi masa supratentorial. Hentikan kejang Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan otak dan harus dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena. Gambar 15 merupakan algoritme yang dapat digunakan untuk menatalaksana status epileptikus. (7) Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 45
46 Gambar 15. Algoritme penanganan pasien dengan status epileptikus. Obati infeksi Beragam infeksi dapat menyebabkan delirium atau koma, dan infeksi dapat mengakserbasi coma dari sebab-sebab lainnya. Kultur darah harus diambil pada semua pasien demam dan hipotermik tanpa sebab yang jelas. Pasien lansia atau dengan penekanan sistem imun harus diberikan ampicillin untuk mencakup Listeria monocytogenes. Bukti-bukti terbaru menunjukkan penambahan deksametason untuk pasien dengan infeksi Listeria menurunkan komplikasi jangka panjang. Pemberian antiviral untuk herpes simpleks (asiklovir 10mg/kg setiap 8 jam) disarankan apabila ada kecurigaan klinis, hal ini dikarenakan infeksi dengan virus tersebut sering menyebabkan penurunan kesadaran. Pada pasinepasien dengan penekanan sistem imun, infeksi dengan jamur dan parasit lainnya juga harus dipertimbangkan, namun oleh karena perjalanan penyakitnya lebih lambat pengobatan dapat menunggu pemeriksaan pencitraan dan likuor serebrospinalis. Gambar 16 memberikan algoritme yang dapat digunakan pada pasien koma dengan kecurigaan akibat infeksi (meningitis bakterialis). Perbaiki keseimbangan asam basa Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar ph biasanya akan kembali ke keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin karena asidosis metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik dapat mengganggu fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas, sehingga harus menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan. Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan Penyusun: Dr. Stevent Sumantri; Pembimbing: DR. Dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, M.Epid Page 46
Patofisiologi penurunan kesadaran: Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular
Patofisiologi penurunan kesadaran: Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
Lebih terperinciTipe trauma kepala Trauma kepala terbuka
TRAUMA KEPALA TRAUMA KEPALA Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak / otak atau kulit seperti kontusio / memar otak, edema otak, perdarahan atau laserasi,
Lebih terperinciKesetimbangan asam basa tubuh
Kesetimbangan asam basa tubuh dr. Syazili Mustofa, M.Biomed Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ph normal darah Dipertahankan oleh sistem pernafasan
Lebih terperinciMAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI
MAKALAH KOMA HIPERGLIKEMI OLEH: Vita Wahyuningtias 07.70.0279 Daftar Isi Bab 1 Pendahuluan...1 Bab 2 Tujuan...2 Bab 3 Pembahasan...3 1. Pengertian...3 2. Etiologi...4 3. Patofisiologi...4 4. Gejala dan
Lebih terperinciGANGGUAN KESADARAN. Oleh : Dr. Darwin Amir. Sp.S. Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Unand / Rumah Sakit Dr. M.
GANGGUAN KESADARAN Oleh : Dr. Darwin Amir. Sp.S. Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Unand / Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang Definisi : Kesadaran adalah keadaan awas waspada terhadap lingkungan,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cerebrovaskular accident atau yang sering di sebut dengan istilah stroke adalah gangguan peredaran darah di otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak yang berkembang
Lebih terperinciPendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan
HEAD INJURY Pendahuluan Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan peralatan keselamatan sabuk pengaman, airbag, penggunaan helm batas kadar alkohol dalam
Lebih terperincimekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.
B. HIPERKAPNIA Hiperkapnia adalah berlebihnya karbon dioksida dalam jaringan. Mekanisme penting yang mendasari terjadinya hiperkapnia adalah ventilasi alveolar yang inadekuat untuk jumlah CO 2 yang diproduksi
Lebih terperinciAdvanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview
Advanced Neurology Life Support Course (ANLS) Overview 1 Motto : Save our brain and nerve!! Time is brain!! 2 Latar belakang Sebagian besar kasus neurologi merupakan kasus emergensi. Morbiditas dan mortalitas
Lebih terperinciSyok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi
Syok Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh.
Lebih terperinciAnesty Claresta
Anesty Claresta 102011223 Skenario Seorang perempuan berusia 55 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berdebar sejak seminggu yang lalu. Keluhan berdebar ini terjadi ketika ia mengingat suaminya yang
Lebih terperinciDefinisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m
DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn
Lebih terperinciNyeri. dr. Samuel Sembiring 1
Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN DEFINISI ETIOLOGI
BAB I PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun, yakni mencapai 15,9% dan meningkat menjadi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun. Prevalensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kepala (cedera kepala) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis,
Lebih terperinciLAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang dimanfaatkan sehingga menyebabkan hiperglikemia,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15 juta
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang. Satu dari 10 kematian disebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada masa kini semakin banyak penyakit-penyakit berbahaya yang menyerang dan mengancam kehidupan manusia, salah satunya adalah penyakit sirosis hepatis. Sirosis hepatis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di seluruh Indonesia, pada penderita
Lebih terperinciMampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan mental organik
Judul: Gangguan Mental Organik prof. Jayalangkara Tanra (neuropsikiatri) Alokasi waktu: 3 x 50 menit Tujuan Instruksional Umum (TIU): Mampu melakukan diagnosa dan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat
Lebih terperinciASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN
ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN Niken Andalasari PENGERTIAN Hipoglikemia merupakan keadaan dimana didapatkan penuruan glukosa darah yang lebih rendah dari 50 mg/dl disertai gejala autonomic dan gejala neurologic.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
Lebih terperinciBAB II. Tinjauan Pustaka. 1. Tinjauan Pustaka. Definisi stroke menurut WHO adalah suatu gangguan. fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun
BAB II Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Pustaka 1.1. Definisi Stroke Definisi stroke menurut WHO adalah suatu gangguan fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun global, yang terjadi secara mendadak,
Lebih terperinciKejang Pada Neonatus
Kejang Pada Neonatus Guslihan Dasa Tjipta Emil Azlin Pertin Sianturi Bugis Mardina Lubis 1 DIVISI PERINATOLOGI Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan 2 Definisi : Kejang merupakan
Lebih terperinciA. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap
A. Pemeriksaan penunjang - Darah lengkap Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat
16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga setelah penyakit jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan tertinggi pada manusia, terutama usia dewasa. Insidensi
Lebih terperinciTRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C
TRAUMA KEPALA Doni Aprialdi C11050165 Lusi Sandra H C11050171 Cynthia Dyliza C11050173 PENDAHULUAN Insidensi trauma kepala di USA sekitar 180-220 kasus/100.000 populasi (600.000/tahunnya) 10 % dari kasus-kasus
Lebih terperinciEMBOLI CAIRAN KETUBAN
EMBOLI CAIRAN KETUBAN DEFINISI Sindroma akut, ditandai dyspnea dan hipotensi, diikuti renjatan, edema paru-paru dan henti jantung scr cepat pd wanita dlm proses persalinan atau segera stlh melahirkan sbg
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan penyakit dengan defisit neurologis permanen akibat perfusi yang tidak adekuat pada area tertentu di otak atau batang otak. Stroke dibagi
Lebih terperinciBAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)
BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional) terhadap 46 orang responden pasca stroke iskemik dengan diabetes mellitus terhadap retinopati diabetika dan gangguan
Lebih terperinciTekanan Tinggi Intra Kranial (TTIK) dr. Syarif Indra, Sp.S Bagian Neurologi FK UNAND RS Dr. M. Djamil Padang
4 Tekanan Tinggi Intra Kranial (TTIK) dr. Syarif Indra, Sp.S Bagian Neurologi FK UNAND RS Dr. M. Djamil Padang OBJEKTIF Memahami tekanan tinggi intrakranial (TTIK) dan berbagai penyebabnya Memahami bahaya
Lebih terperinciSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NASIONAL TAHUN
ASIDOSIS METABOLIK Disusun oleh: Desi (A101.19.006) Dewi Sekar (A101.19.007) Dina Fitri Astuti (A101.19.008) Ela Kusumawati (A101.19.009) Fatoni Aditya O (A101.19.010) Febriana Ramadhani (A101.19.011)
Lebih terperinciMAKALAH TINGKAT KESADARAN
MAKALAH TINGKAT KESADARAN Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Psikologi yang di ampu oleh Ibu Naily Disusun Oleh : 1. Alma Festi (13.1214) 2. Lita Sulistyoningrum (13.1235) 3. Marlita Isti Pratiwi
Lebih terperinciBAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS. kedokteran. : menerapkan ilmu kedokteran klinik pada sistem neuropsikiatri
BAHAN AJAR V ARTERITIS TEMPORALIS Nama Mata Kuliah/Bobot SKS Standar Kompetensi Kompetensi Dasar : Sistem Neuropsikiatri / 8 SKS : area kompetensi 5: landasan ilmiah kedokteran : menerapkan ilmu kedokteran
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit
Lebih terperinciDIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatic dengan mengatur
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang
5 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Palsi serebral 2.1.1 Definisi palsi serebral Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak
Lebih terperinciJENIS GANGGUAN ELEKTROLIT
A.HIPERKALEMIA a. pengertian JENIS GANGGUAN ELEKTROLIT Hiperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi b. penyebab 1.pemakaian obat tertentu yang menghalangi pembuangan kalium oleh ginjal misalnya spironolakton
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan
A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas di kalangan anak muda di seluruh dunia, prediksi hasil saat masuk RS sangat
Lebih terperinciPENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI
PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya
Lebih terperinciBUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI
1 BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI Judul mata Kuliah : Neuropsikiatri Standar Kompetensi : Area Kompetensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompetensi dasar : Menerapkan ilmu Kedokteran klinik pada sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,
Lebih terperinci1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI
1.1PENGERTIAN NYERI Nyeri merupakan sensasi yang terlokalisasi berupa ketidaknyamanan, kesedihan dan penderitaan yang dihasilkan oleh stimulasi pada akhiran saraf tertentu. Nyeri terjadi sebagai mekanisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan
Lebih terperinciHIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.
1. Hipokalsemia HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dl darah. PENYEBAB Konsentrasi
Lebih terperinci1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hai
ASERING JENIS-JENIS CAIRAN INFUS Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteriis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma. Komposisi:
Lebih terperinciObat-obat Hormon Hipofisis anterior
Obat-obat Hormon Hipofisis anterior Gonadotropin korionik (Chorex) Menstimulasi produksi testosteron dan progesteron untuk mengobati hipogonadisme pada pria. Menginduksi ovulasi pada wanita dengan ovarium
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, yang ditandai dengan berbagai
Lebih terperinciAlgoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak
Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak Yazid Dimyati Divisi Saraf Anak Departemen IKA FKUSU / RSHAM Medan UKK Neurologi / IDAI 2006 Pendahuluan Kejang merupakan petunjuk adanya
Lebih terperinciHIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELLITUS
HIPOGLIKEMIA PADA PASIEN DIABETES MELLITUS I. DEFINISI Hipoglikemia adalah batas terendah kadar glukosa darah puasa (true glucose) adalah 60 mg %, dengan dasar tersebut maka penurunan kadar glukosa darah
Lebih terperinciHIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:
HIPONATREMIA 1. PENGERTIAN Hiponatremia adalah suatu kondisi yang terjadi ketika kadar natrium dalam darah adalah rendah abnormal. Natrium merupakan elektrolit yang membantu mengatur jumlah air di dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Menurut Fadila, Nadjmir dan Rahmantini (2014), dan Deliana (2002), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal adalah salah satu penyebab paling penting dari kematian dan cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia (Guyton & Hall, 1997). Sedangkan menurut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls elektrik. Perjalanan impuls-impuls
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur ini bertanggung jawab mengendalikan dan mengordinasikan aktivitas sel tubuh melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit. Inflamasi yang terjadi pada sistem saraf pusat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari urutan prevalensi penyakit (Saharso dan Hidayati, 2000). Inflamasi yang terjadi pada sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja
Lebih terperinciREGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan. Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons.
REGULASI PERNAPASAN Pusat Pernapasan Pusat pernapasan adalah beberapa kelompok neuron yang terletak di sebelah bilateral medula oblongata dan pons. Organisasi pusat pernapasan Daerah ini dibagi menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kejang Demam Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 o C) yang disebabkan oleh proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap pembedahan, dilakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk baik menghilangkan rasa nyeri yang kemudian disebut dengan anestesi. Dan keadaan hilangnya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala traumatik merupakan
Lebih terperinciglukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)
14 (polidipsia), banyak kencing (poliuria). Atau di singkat 3P dalam fase ini biasanya penderita menujukan berat badan yang terus naik, bertambah gemuk karena pada fase ini jumlah insulin masih mencukupi.
Lebih terperinciALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA ALGORITMA PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN Definisi : penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15) Riwayat : Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan Mekanisme cedera
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. namun juga sehat rohani juga perlu, seperti halnya di negara sedang
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan merupakan suatu hal yang paling penting. Dengan hidup sehat kita dapat melakukan segala hal, sehat tidak hanya sehat jasmani saja namun juga sehat
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
Lebih terperinciANATOMI OTAK. BIOPSIKOLOGI Unita Werdi Rahajeng, M.Psi
ANATOMI OTAK BIOPSIKOLOGI Unita Werdi Rahajeng, M.Psi www.unita.lecture.ub.ac.id Bagian Otak 1. Otak Bagian Belakang (hindbrain) 2. Otak Bagian Tengah (midbrain) 3. Otak Bagian Depan (forebrain) Hindbrain
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala Akibat Trauma Cedera kepala umumnya diklasifikasikan atas satu dari tiga sistem utama, yaitu: keparahan klinis, tipe patoanatomi dan mekanisme fisik.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi
Lebih terperinciOrganisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent
BAB 1 PENDAHULUAN Hiperglikemia adalah istilah teknis untuk glukosa darah yang tinggi. Glukosa darah tinggi terjadi ketika tubuh memiliki insulin yang terlalu sedikit atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh
Lebih terperinciDiabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya
Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya Apakah diabetes tipe 1 itu? Pada orang dengan diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat membuat insulin. Hormon ini penting membantu sel-sel tubuh mengubah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya hormon insulin. Kadar glukosa yang tinggi dalam tubuh tidak seluruhnya dapat
Lebih terperinciDarulkutni Nasution Department of Neurology
HIGHER CORTICAL C FUNCTIONS (FUNGSI LUHUR) Darulkutni Nasution Department of Neurology University of Sumatera Utara, School of Medicine S I R Integrasi semua impuls afferen pada korteks serebri Gangguan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis
Lebih terperinciManfaat Terapi Ozon Manfaat Terapi Ozon Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer diabetes, kanker, stroke, dll
Manfaat Terapi Ozon Sebagai Pengobatan / Terapi alternatif / komplementer untuk berbagai penyakit. Penyakit yang banyak diderita seperti diabetes, kanker, stroke, dll. Keterangan Rinci tentang manfaat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total kematian di dunia. Pada tahun 2010, prevalensi stroke secara
Lebih terperinciSistem Saraf. Dr. Hernadi Hermanus
Sistem Saraf Dr. Hernadi Hermanus Neuron Neuron adalah unit dasar sistem saraf. Neuron terdiri dari sel saraf dan seratnya. Sel saraf memiliki variasi dalam bentuk dan ukurannya. Setiap sel saraf terdiri
Lebih terperinciDiabetes tipe 2 Pelajari gejalanya
Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan
Lebih terperinciPertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:
Keseimbangan cairan dan elektrolit: Pengertian cairan tubuh total (total body water / TBW) Pembagian ruangan cairan tubuh dan volume dalam masing-masing ruangan Perbedaan komposisi elektrolit di intraseluler
Lebih terperinciSkizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?
Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala
Lebih terperinciGangguan Psikiatrik Pada Pasien Ginjal ANDRI
Gangguan Psikiatrik Pada Pasien Ginjal ANDRI Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Email : andri@ukrida.ac.id Pendahuluan Pasien gagal ginjal kronis adalah salah
Lebih terperinciEfek Diabetes Pada Sistem Ekskresi (Pembuangan)
Efek Diabetes Pada Sistem Ekskresi (Pembuangan) Diabetes merupakan penyakit yang mempengaruhi kemampuan tubuh anda untuk memproduksi atau menggunakan insulin. Yaitu, hormon yang bekerja untuk mengubah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. 1 Kerusakan yang timbul
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Paparan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. 1 Kerusakan yang timbul sangat penting untuk
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit).
Lebih terperinciKELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah
KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah 126070100111044 Latar Belakang: Metabolisme merupakan suatu proses (pembentukan dan penguraian) zat-zat
Lebih terperinci