AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA, SEBUAH PROSPEK MELACAK NENEK MOYANG ETNIS JAWA. Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA, SEBUAH PROSPEK MELACAK NENEK MOYANG ETNIS JAWA. Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta"

Transkripsi

1 AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA, SEBUAH PROSPEK MELACAK NENEK MOYANG ETNIS JAWA Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta Abstrak Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 BP yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Namun, bukti arkeologis yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses awal penghunian pulau Jawa oleh masyarakat neolitik Austronesia masih menjadi misteri. Mungkin saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting untuk mengungkap kasus tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan muka air laut pada masa lampau. Metode pencarian data dari bidang lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya. Abstract Java Island is the densest island in the Indonesian Archipelago. From linguistic evidence, Blust (1985) argued that there are the created process of proto Javanese, Balinese, Sasak and West Sumbawa language took place approx. in the last 2500 years, which came from a language spoken somewhere in Sumatera or Borneo. The archaeological evidence, which can support these linguistic hypotheses is very rear uncovered, this causes reconstruction of the process of colonization in Java Island by Austronesia speaking people to still be a mystery. Maybe, early Neolithic sites along north coast of Java buried under alluvial deposit at the present time. Geomorphology and Geological data are very important to answer this case. Another hand, ancient sea level fluctuation will be an important factor. Survey methodology from other discipline will very helpful, such as Geo-electric. Terminologi Austronesia Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur, serta membujur dari Taiwan dan Hawai i di

2 utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas persebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kep. Mergui), Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di pantai utara Papua (lihat: Tryon, 1995: dan Martins, 2000: 78). Persebaran Berbagai Rumpun Bahasa Manusia ( Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta (seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan (Fox, 2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596,

3 mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu (Tanudirjo, 2001:9). William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah Malayo- Polynesia untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia yang memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa Malayo-Polynesia menjadi bahasa Malayo-Polynesia Barat yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa Malayo-Polynesia Timur yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology Austronesia, untuk menyebut bahasa Malayo-Polynesia. Selain itu beliau juga mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa Austric yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic. Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya, antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13). Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia (kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff, 1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara

4 Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantau untuk menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut. Persebaran Austronesia Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, :47-49). Robert Blust ( ) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan bahasa Austronesia dengan menggunakan metode Wörter und Sachen Technique, yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan (Formosa) pada kurun sebelum SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada SM. Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada SM. Pada SM, bahasa Melayu- Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan Melayu-

5 Polynesia Timur. Akhirnya, pada SM bahasa Melayu-Polynesia Timur berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania. Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978) Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed), Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki (Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept (Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers, 2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1) Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia. Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap

6 sebagai tempat asal bahasa proto-austronesia. Disamping itu, secara arkeologis daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98). Kolonisasi Austronesia di Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini, penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina. Pada masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar BP akibat tekanan demografi (Tanudirjo, 2006: 87). Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000)

7 Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode SM. Kemudian mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada SM. Namun proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Beberapa Permasalahan Berdasarkan kajian arkeologi, paket budaya neolitik yang dapat diasosiasikan dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah; pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala. Beberapa dari kategori tersebut, terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita ( BP) (lihat: Bellwood, 2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri. Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon, Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas),

8 Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang, Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asalusulnya, kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti misalnya Punung. Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih menjadi misteri. Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah; Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut. Prospek Penelitian Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang yang terjadi pada BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara

9 Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara BP harus dicari pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan laut saat ini. Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban, Semarang dan Batang. Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan kronologi yang diinginkan ( BP untuk awal pendaratan Austronesia di Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik). Purbalingga Punung Kendenglembu Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006). Melihat beberapa kasus tersebut, maka sebaiknya dalam eksplorasi situs-situs di pantai utara Jawa juga

10 memperhatikan keberadaan sungai yang dapat berpotensi sebagai jalur akses menuju ke pedalaman. Hal tersebut disebabkan karena Pulau Jawa terlalu luas bagi komunitas Austronesia jika hanya dikoloni pada bagian sekeliling garis pantainya saja. Selain itu, komunitas petani dan peternak Austronesia tentunya membutuhkan dataran alluvial gunung berapi yang subur di lokasi yang lebih ke pedalaman untuk mengembangkan pola subsistensi bercocok tanam biji-bijian di Pulau Jawa. Dalam hal ini, beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara Jawa harus mendapat perhatian khusus, seperti misalnya Sungai Tuntang di Semarang. Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200 SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil. Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas hektar di Peinan yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t ou di Taiwan yang dihuni SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs, 1995: 118). Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, : 220). Sedangkan berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan (Toraja).

11 Implikasi Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen, Purbalingga ( BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan ( BP) (Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi (bukan tradisi). Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama, Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak 2006). Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini. Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan) Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di pulau ini.

12 REFERENSI Anceaux, J.C. 1991, Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa Austronesia, dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm Bellwood, Peter Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama The Early Movement of Austronesian-speaking-peoples in the Indonesian Region, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm Blench, Roger dan Mallam Dendo Stratification in the Peopling of China: How Far Does the Linguistic Evidence Match Genetics and Archaeology?, Paper for the Symposium : Human migrations in continental East Asia and Taiwan: genetic, linguistic and archaeological evidence, Genève: Université de Genève Blust, Robert The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective, Asian Perspectives 26 (1), hlm Chambers, Geoffrey K Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm Diamond, Jared. M Taiwan s gift to the world, Nature, Vol. 403, Macmillan Magazines Ltd Duff, Roger Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury Museum Fox, James J Current Developments in Comparative Austronesian Studies, makalah disampaikan dalam Symposium Austronesia, Pascasarjana Linguistik dan Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali Heekeren, H.R. van The Stone Age of Indonesia, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-, en Volkenkunde, 61, Revised Edition, The Hague: Martinus Nijhoff Mahirta The Prehistory of Austronesian Dispersal to the Southern Island of Eastern Indonesia, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm

13 Martins, F.M Susunan Beruntun dalam Bahasa Bunac dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm Simanjuntak, Truman, ed Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Simanjuntak, Truman Advance of Research on the Austronesian in Sulawesi, dalam dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm Spriggs, Matthew The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in Oceania, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm Tanudirjo, Daud Aris Island In-Between: the Prehistory of Northeastern Indonesia. Ph.D. Thesis, Canberra: ANU The Dispersal of Austronesian-speaking-people and the Ethnogenesis Indonesian People dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm Tjia, H.D Geological Evidence for Quaternary Land Bridge in Insular Southeast Asia, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed. Archaeology: Indonesian Perspective, R.P. Soejono s Festschrift, Jakarta: LIPI Press. hlm Tryon, Darrel Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU, hlm

BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA 1 Sofwan Noerwidi 2

BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA 1 Sofwan Noerwidi 2 BEBERAPA SENI KRIYA ELEMEN PENANDA KEHADIRAN AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA 1 Sofwan Noerwidi 2 /i sěděng wwang těkan hanyar makadrěwya sarwawidya (PRiBN, Parwa 1 Sargah 1, 73:21-74:2) 3 Austronesia

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR

DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR DISTRIBUSI SPASIAL SITUS SITUS NEOLITIK DI SEPANJANG ALIRAN SUNGAI KALI BARU, KABUPATEN BANYUWANGI, PROVINSI JAWA TIMUR Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta A. Kolonisasi Austronesia di Pulau Jawa

Lebih terperinci

PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA DI KAWASAN MALUKU UTARA. Studi Kasus Pada Situs Ceruk Peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa

PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA DI KAWASAN MALUKU UTARA. Studi Kasus Pada Situs Ceruk Peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa PROSES KOLONISASI BANGSA AUSTRONESIA DI KAWASAN MALUKU UTARA Studi Kasus Pada Situs Ceruk Peneduh Uattamdi, Pulau Kayoa Pendahuluan Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak

BAB I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak BAB I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG MASALAH Penelitian tentang keberadaan manusia di Indonesia telah dimulai sejak Eugene Dubois menemukan fosil atap tengkorak dan tulang paha Pithecantropus

Lebih terperinci

EKSKAVASI SITUS KENDENGLEMBU: Implikasinya Bagi Migrasi-Kolonisasi Austronesia di Sudut Tenggara Jawa

EKSKAVASI SITUS KENDENGLEMBU: Implikasinya Bagi Migrasi-Kolonisasi Austronesia di Sudut Tenggara Jawa EKSKAVASI SITUS KENDENGLEMBU: Implikasinya Bagi Migrasi-Kolonisasi Austronesia di Sudut Tenggara Jawa Sofwan Noerwidi (Balai Arkeologi Yogyakarta) ABSTRACT The first Neolithic dwelling settlement discovered

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.4. Yunani. Cina. Vietnam. Yunan. Teluk Tonkin

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.4. Yunani. Cina. Vietnam. Yunan. Teluk Tonkin SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.4 1. Berdasarkan kesamaan artefak yang ditemukan menurut Prof. H.C Kern nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah...

Lebih terperinci

II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA

II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA A. Pengertian Interprestasi Peta Unsur geografis adalah keadaan alam di muka bumi yang membentuk lingkungan geografis adalah bentang alam, letak,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anonim. Kerajinan Tanah Liat Desa Anjun Plered, Jawa Barat. Pengembangan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, 1984.

DAFTAR PUSTAKA. Anonim. Kerajinan Tanah Liat Desa Anjun Plered, Jawa Barat. Pengembangan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, 1984. 138 DAFTAR PUSTAKA Anonim. Kerajinan Tanah Liat Desa Anjun Plered, Jawa Barat. Pengembangan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, 1984. Ardika, I Wayan. Austronesian Prehistory And Ethnogeneses

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. populer didapati pada situs-situs masa prasejarah, khususnya masa bercocok-tanam.

BAB V KESIMPULAN. populer didapati pada situs-situs masa prasejarah, khususnya masa bercocok-tanam. 148 BAB V KESIMPULAN Penelitian mengenai temuan gerabah pada suatu situs arkeologi dapat menjawab berbagai macam hal tentang kehidupan manusia di masa lampau. Gerabah cukup populer didapati pada situs-situs

Lebih terperinci

Institut Teknologi Sumatera Lampung Selatan, 2018 Pengenalan Lingkungan dan Potensi Daerah (Sumatera)

Institut Teknologi Sumatera Lampung Selatan, 2018 Pengenalan Lingkungan dan Potensi Daerah (Sumatera) Sub Topik: - Alur Persebaran Manusia di Pulau Sumatera - Suku-suku di Pulau Sumatera - Dinamika Peradaban di Pulau Sumatera Institut Teknologi Sumatera Lampung Selatan, 2018 Pengenalan Lingkungan dan Potensi

Lebih terperinci

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA

INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA INTRODUCTION: INTERNATIONAL RELATIONS IN SOUTHEAST ASIA by: Dewi Triwahyuni INTERNATIONAL RELATIONS DEPARTMENT COMPUTER UNIVERSITY OF INDONESIA (UNIKOM) BANDUNG 2013 1 SOUTHEAST ASIA (SEA) 2 POSISI GEOGRAFIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerang, sekam padi, atau pecahan tembikar yang dihaluskan (grog), mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. kerang, sekam padi, atau pecahan tembikar yang dihaluskan (grog), mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa Sentang adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Sumatera Utara. Beberapa perempuan di Desa Sentang memiliki keahlian dalam membuat

Lebih terperinci

JEJAK AUSTRONESIA DI SITUS GUA GEDE, PULAU NUSA PENIDA, BALI Austronesian Traces at Gede Cave, Nusa Penida Island, Bali.

JEJAK AUSTRONESIA DI SITUS GUA GEDE, PULAU NUSA PENIDA, BALI Austronesian Traces at Gede Cave, Nusa Penida Island, Bali. JEJAK AUSTRONESIA DI SITUS GUA GEDE, PULAU NUSA PENIDA, BALI Austronesian Traces at Gede Cave, Nusa Penida Island, Bali Balai Arkeologi Bali Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223 Email: ati.rati@kemdikbud.go.id

Lebih terperinci

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH

JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH JEJAK MIGRASI PENGHUNI PULAU MISOOL MASA PRASEJARAH Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstrack Humans and the environment are interrelated and inseparable. Environment provides everything and

Lebih terperinci

BUDAYA AUSTRONESIA DI INDONESIA BAGIAN BARAT DALAM KAITANNYA DENGAN MIGRASI OUT OF TAIWAN

BUDAYA AUSTRONESIA DI INDONESIA BAGIAN BARAT DALAM KAITANNYA DENGAN MIGRASI OUT OF TAIWAN BUDAYA AUSTRONESIA DI INDONESIA BAGIAN BARAT DALAM KAITANNYA DENGAN MIGRASI OUT OF TAIWAN AUSTRONESIAN CULTURE IN THE WESTERN PART OF INDONESIA IN RELATION TO THE OUT OF TAIWAN MIGRATION Naskah diterima:

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster angin selatan dan kata Greek 1 BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek nêsos "pulau". Para

Lebih terperinci

STRATEGI ADAPTASI AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta

STRATEGI ADAPTASI AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta STRATEGI ADAPTASI AUSTRONESIA DI KEPULAUAN INDONESIA Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta ABSTRAK When the Austronesian language speakers come in the Indonesian archipelago, this region has been

Lebih terperinci

Contoh fosil antara lain fosil manusia, fosil binatang, fosil pepohonan (tumbuhan).

Contoh fosil antara lain fosil manusia, fosil binatang, fosil pepohonan (tumbuhan). Kehidupan Manusia Pra Aksara Pengertian zaman praaksara Sebenarnya ada istilah lain untuk menamakan zaman Praaksara yaitu zaman Nirleka, Nir artinya tidak ada dan leka artinya tulisan, jadi zaman Nirleka

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB 4 PENUTUP. Universitas Indonesia BAB 4 PENUTUP Tembikar merupakan salah satu tinggalan arkeologi yang penting dalam mempelajari kehidupan manusia masa lalu. Berbagai informasi dapat diperoleh dari artefak berbahan tanah liat ini, mulai

Lebih terperinci

ARKENAS INTERAKSI REGIONAL DAN CIKAL BAKAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MALUKU. Daud Aris Tanudirjo

ARKENAS INTERAKSI REGIONAL DAN CIKAL BAKAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MALUKU. Daud Aris Tanudirjo INTERAKSI REGIONAL DAN CIKAL BAKAL PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI MALUKU 1. Pendahuluan Sejarah telah mencatat peran penting Kepulauan Maluku dalam jejaring perdagangan internasional setidaknya sejak awal

Lebih terperinci

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah BAB II KERANGKA TEORETIS Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff

Lebih terperinci

BAB IV PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA DI MALUKU UTARA A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA

BAB IV PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA DI MALUKU UTARA A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA BAB IV PROSES MIGRASI-KOLONISASI MANUSIA DI MALUKU UTARA A. INTEPRETASI MIGRASI-KOLONISASI NON-AUSTRONESIA DI MALUKU UTARA Dalam penelitian ini perihal migrasi-kolonisasi komunitas Non- Austronesia merupakan

Lebih terperinci

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Pola Pemukiman Terpusat Pola Pemukiman Linier Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk Adanya pemukiman penduduk di dataran rendah dan dataran tinggi sangat berkaitan dengan perbedaan potensi fisik dan

Lebih terperinci

Observasi Migrasi Manusia di Situs Manusia Purba - Sangiran. Nopsi Marga Handayani Sekar Manik Pranita

Observasi Migrasi Manusia di Situs Manusia Purba - Sangiran. Nopsi Marga Handayani Sekar Manik Pranita Observasi Migrasi Manusia di Situs Manusia Purba - Sangiran Nopsi Marga Handayani 14148118 Sekar Manik Pranita - 14148159 Perjalanan Panjang Manusia Sebelum abad ke-18 Gagasan evolusi muncul Abad ke-18

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan Jakarta Utara, pelabuhan secara geografis terletak pada 06 06' 30" LS,

Lebih terperinci

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN SEJARAH PENEMUAN SITUS Keberadaan temuan arkeologis di kawasan Cindai Alus pertama diketahui dari informasi

Lebih terperinci

KONDISI GEOGRAFIS CHINA

KONDISI GEOGRAFIS CHINA CHINA WILAYAH CINA KONDISI GEOGRAFIS CHINA Dataran tinggi di bagian barat daya China dengan rangkaian pegunungan tinggi yakni Himalaya. Pegunungan ini berbaris melengkung dan membentang dari Hindukush

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8)

2017, No Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2017 ADMINISTRASI. Pemerintahan. Kementerian Pariwisata. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB 1: SEJARAH PRASEJARAH

BAB 1: SEJARAH PRASEJARAH www.bimbinganalumniui.com 1. Studi tentang kebudayaan adalah suatu studi yang mempelajari... (A) Gagasan-gagasan untuk mewujudkan tindakan dan artefak (B) Kesenian (C) Karya sastra dan cerita rakyat (D)

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2 SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 2. INDONESIA MASA PRA AKSARALatihan Soal 2.2 1. Berdasarkan teori geologi modern, Indonesia terbentuk dari pertemuan beberapa lempeng benua yaitu... Lempeng Eurasia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang terdapat di Pulau Jawa. Sungai Ciliwung ini dibentuk dari penyatuan aliran puluhan sungai kecil di kawasan Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa terjadi karena antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak memiliki hubungan

Lebih terperinci

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF Jurnal Skripsi Oleh: Kurnia Novita Sari NIM A2A008030 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan masyarakat masa lampau merupakan catatan sejarah yang sangat penting dan berharga. Kebudayaan tersebut dapat menjadi pedoman atau pegangan hidup bagi masyarakat

Lebih terperinci

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya GUA HARIMAU DAN PERJALANAN PANJANG PERADABAN OKU Editor: Truman Simanjuntak Korektor: Andayani Desain sampul: Pram s Tata letak isi: Didi Penerbit: Gadjah Mada University Press Anggota IKAPI ISBN: 978-602-386-031-9

Lebih terperinci

TEORI-TEORI TENTANG KEBERADAAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA

TEORI-TEORI TENTANG KEBERADAAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA TEORI-TEORI TENTANG KEBERADAAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA Oleh : Drs. Marmayadi Drs.Didik Paranto SMA NEGERI 1 YOGYAKARTA TEORI-TEORI TENTANG KEBERADAAN AWAL MASYARAKAT INDONESIA Definisi manusia Purba

Lebih terperinci

BEBERAPA HASIL PENELITIAN KUTAI MULAWARMAN:

BEBERAPA HASIL PENELITIAN KUTAI MULAWARMAN: BEBERAPA HASIL PENELITIAN KUTAI MULAWARMAN: Tembikar Muarakaman dalam Perspektif Kawasan Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta, Indonesia Sofwan_noerwidi@yahoo.com KALIMANTAN DALAM KONTEKS NUSANTARA

Lebih terperinci

Coon: Paleomongolid (kecoklatan) = Mongolid asli (kuning) + Weddid (hitam) Howells: keturunan 3 ras = hitam, kuning dan putih.

Coon: Paleomongolid (kecoklatan) = Mongolid asli (kuning) + Weddid (hitam) Howells: keturunan 3 ras = hitam, kuning dan putih. Coon: Paleomongolid (kecoklatan) = Mongolid asli (kuning) + Weddid (hitam) Howells: keturunan 3 ras = hitam, kuning dan putih. Ras putih di Iran pindah ke Asia Timur: menyeberang ke Jepang jadi bangsa

Lebih terperinci

SOAL ULANGAN HARIAN. : - Memahami perkembangan wilayah Indonesia

SOAL ULANGAN HARIAN. : - Memahami perkembangan wilayah Indonesia SOAL ULANGAN HARIAN No Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial Hari / Tanggal : Selasa, 18-09 - 2012 Kelas / semester Waktu Standart Kompetensi : VI/I : 35 menit : - Memahami perkembangan wilayah Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Ragam hias..., Ricky Meinson Binsar Simanjuntak, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Ragam hias..., Ricky Meinson Binsar Simanjuntak, FIB UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa bercocok tanam 1 atau Neolitik 2 merupakan salah satu tingkatan kehidupan prasejarah di Indonesia dan di dunia. Manusia tidak lagi hidup berpindah-pindah melainkan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK Jurnal Skripsi Oleh : Nursirwan NIM A2A008038 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012 Klasifikasi

Lebih terperinci

ANALISIS RANGKAIAN TAHAPAN OPERASIONAL PEMBUATAN BELIUNG BATU DARI PERBENGKELAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN

ANALISIS RANGKAIAN TAHAPAN OPERASIONAL PEMBUATAN BELIUNG BATU DARI PERBENGKELAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN ANALISIS RANGKAIAN TAHAPAN OPERASIONAL PEMBUATAN BELIUNG BATU DARI PERBENGKELAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN CHAÎNE OPÉRATOIRE ANALYSIS OF STONE ADZE FROM NEOLITHIC WORKSHOP IN SOUTH BANYUWANGI Sofwan

Lebih terperinci

BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI

BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI BENTUK DAN FUNGSI GERABAH KAWASAN DANAU SENTANI Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Based on the research done, earthenware is found in Sentani Lake. The earthenware which is found in pieces,

Lebih terperinci

JEJAK JEJAK BUDAYA PENUTUR AUSTRONESIA DI SUMATERA SELATAN

JEJAK JEJAK BUDAYA PENUTUR AUSTRONESIA DI SUMATERA SELATAN JEJAK JEJAK BUDAYA PENUTUR AUSTRONESIA DI SUMATERA SELATAN Harry Octavianus Sofian (Balai Arkeologi Palembang) Abstrack Austronesian language speakers migrated to Southeast Asia and Indo-Pacific around

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Artefak obsidian..., Anton Ferdianto, FIB UI, 2008 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Penelitian Pada awal abad ke 20, Pulau Jawa menjadi pusat penelitian mengenai manusia prasejarah. Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Jawa memiliki bukti dan sejarah

Lebih terperinci

LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN

LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN LAPORAN PENGAMATAN SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Budaya Nusantara Dosen Pengampu Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. Sartika Devi Putri E.A.A NIM. 14148115 Angga

Lebih terperinci

MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI.

MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI. MACAM-MACAM LETAK GEOGRAFI. Macam-macam Letak Geografi Untuk mengetahui dengan baik keadaan geografis suatu tempat atau daerah, terlebih dahulu perlu kita ketahui letak tempat atau daerah tersebut di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. goe-politik dan ekonomi dari Negara-negara di kwasan Asia Tenggara, yang

BAB IV GAMBARAN UMUM. goe-politik dan ekonomi dari Negara-negara di kwasan Asia Tenggara, yang BAB IV GAMBARAN UMUM A. Profil ASEAN 1. ASEAN Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan suatu organisasi goe-politik dan ekonomi dari Negara-negara di kwasan Asia Tenggara, yang didirikan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anonim, Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, Jakarta: PT. Intermasa, , Microsoft Encarta Reference Library, 2003.

DAFTAR PUSTAKA. Anonim, Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, Jakarta: PT. Intermasa, , Microsoft Encarta Reference Library, 2003. 161 DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, Paramita R., Kegunaan Sumber-Sumber Portugis dan Spanyol untuk Penulisan Sejarah Maluku Utara, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M /

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / Bayu Setyaningrum / Winda Setya M / WAWASAN BUDAYA NUSANTARA Disusun Oleh : 1. Levi Alvita Y / 14148126 2. Bayu Setyaningrum / 14148127 3. Winda Setya M / 14148128 Institut Seni Indonesia Surakarta 2015/2016 PERGERAKAN MANUSA DISANGIRAN

Lebih terperinci

MENGARUNGI GARIS WALLACE: Awal Migrasi Manusia dari Daratan Sunda menuju Kawasan Wallacea Oleh: Sofwan Noerwidi

MENGARUNGI GARIS WALLACE: Awal Migrasi Manusia dari Daratan Sunda menuju Kawasan Wallacea Oleh: Sofwan Noerwidi MENGARUNGI GARIS WALLACE: Awal Migrasi Manusia dari Daratan Sunda menuju Kawasan Wallacea Oleh: Sofwan Noerwidi Abstrak Pada dasarnya masalah migrasi merupakan kasus yang sangat kompleks, yang harus dijelaskan

Lebih terperinci

RUANG JELAJAH HOABINHIAN DI PULAU SUMATRA Hoabinhian Culture Dispersal in Sumatra Island. Ketut Wiradnyana

RUANG JELAJAH HOABINHIAN DI PULAU SUMATRA Hoabinhian Culture Dispersal in Sumatra Island. Ketut Wiradnyana RUANG JELAJAH HOABINHIAN DI PULAU SUMATRA Hoabinhian Culture Dispersal in Sumatra Island Balai Arkeologi Sumatra Utara Jl. Seroja Raya, Gg. Arkeologi, No1 Medan Tuntungan-Medan Email: ketut.wiradnyana@kemdikbud.go.id

Lebih terperinci

E. Kondisi Alam Indonesia

E. Kondisi Alam Indonesia E. Kondisi Alam Indonesia Alam Indonesia dikenal sangat indah dan kaya akan berbagai sumber daya alamnya. Tidak heran jika banyak wisatawan dari berbagai dunia tertarik dan datang ke Indonesia. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB 2 GAMBARAN UMUM TEMBIKAR TRADISI SA HUYNH-KALANAY DI ASIA TENGGARA

BAB 2 GAMBARAN UMUM TEMBIKAR TRADISI SA HUYNH-KALANAY DI ASIA TENGGARA BAB 2 GAMBARAN UMUM TEMBIKAR TRADISI SA HUYNH-KALANAY DI ASIA TENGGARA 2.1. Landasan Teori 1 Perpindahan penduduk (migrasi) petutur AustronesiaF F merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia. Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19.

BAB I PENDAHULUAN. kontrak perkebunan Deli yang didatangkan pada akhir abad ke-19. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang baru menginjak usia 8 tahun ini diresmikan tepatnya pada 15

Lebih terperinci

TEMUAN RANGKA MANUSIA AUSTRONESIA DI PANTURA JAWA TENGAH: Sebuah kajian awal

TEMUAN RANGKA MANUSIA AUSTRONESIA DI PANTURA JAWA TENGAH: Sebuah kajian awal TEMUAN RANGKA MANUSIA AUSTRONESIA DI PANTURA JAWA TENGAH: Sebuah kajian awal AUSTRONESIANS SKELETONS FOUND IN THE NORTH COAST OF CENTRAL JAVA: A Preliminary Research H. Gunadi Kasnowihardjo Balai Arkeologi

Lebih terperinci

ARTEFAK NEOLITIK DI PULAU WEH: BUKTI KEBERADAAN AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA BAGIAN BARAT

ARTEFAK NEOLITIK DI PULAU WEH: BUKTI KEBERADAAN AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA BAGIAN BARAT ARTEFAK NEOLITIK DI PULAU WEH: BUKTI KEBERADAAN AUSTRONESIA PRASEJARAH DI INDONESIA BAGIAN BARAT Ketut Wiradnyana* Balai Arkeologi Medan, Jalan Seroja Raya, Gg Arkeologi, Medan Tuntungan, Medan 20134 Telepon:

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) GAMBARAN UMUM Propinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 714.480 km 2 terdiri atas 92,4 % Lautan

Lebih terperinci

ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN Site Catchment Analysis of Neolithic Settlements in South Banyuwangi

ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN Site Catchment Analysis of Neolithic Settlements in South Banyuwangi ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN Site Catchment Analysis of Neolithic Settlements in South Banyuwangi Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta noerwidi@arkeologijawa.com

Lebih terperinci

SUNDA, PRIANGAN, DAN JAWA BARAT

SUNDA, PRIANGAN, DAN JAWA BARAT SUNDA, PRIANGAN, DAN JAWA BARAT MAKALAH Disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat Diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada

Lebih terperinci

ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN SITE CATCHMENT ANALYSIS OF NEOLITHIC SETTLEMENTS IN SOUTH BANYUWANGI

ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN SITE CATCHMENT ANALYSIS OF NEOLITHIC SETTLEMENTS IN SOUTH BANYUWANGI ANALISIS CAKUPAN SITUS-SITUS PERMUKIMAN NEOLITIK DI BANYUWANGI SELATAN SITE CATCHMENT ANALYSIS OF NEOLITHIC SETTLEMENTS IN SOUTH BANYUWANGI Sofwan Noerwidi Balai Arkeologi Yogyakarta noerwidi@arkeologijawa.com

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NIAS. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita / Deina Safira / INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA

WAWASAN BUDAYA NIAS. Disusun Oleh : 1. Levi Alvita / Deina Safira / INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA WAWASAN BUDAYA NIAS Disusun Oleh : 1. Levi Alvita /14148126 2. Deina Safira /14148131 INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA Letak Geografis Pulau Nias Pulau Nias yang terletak di sebelah barat pulau Sumatra

Lebih terperinci

Manusia Purba Di Indonesia pada Masa Prasejarah

Manusia Purba Di Indonesia pada Masa Prasejarah Manusia Purba Di Indonesia pada Masa Prasejarah Masa Prasejarah Indonesia dimulai dengan adanya kehidupan manusia purba yang pada saat itu belum mengenal baca dan tulis. Masa yang juga dikenal dengan nama

Lebih terperinci

MASA PRA AKSARA DI INDONESIA

MASA PRA AKSARA DI INDONESIA Pola Kehidupan Manusia Purba Manusia Purba di Indonesia Kedatangan Nenek Moyang Bangsa Indonesia A. Pengertian Apakah kalian sudah pernah membuat peristiwa sejarah? Tentunya setiap manusia sudah membuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Pengertian Megalitik telah banyak disinggung oleh para ahli sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya yaitu mega berarti

Lebih terperinci

KELOMPOK Artha Vindy Febryan Pramesthi [04] 2. Awang Zaki R. [05] 3. Gati Argo W. [07] 4. Ngesty Finesatiti [19] 5. Nisa Nur 'Aini A.

KELOMPOK Artha Vindy Febryan Pramesthi [04] 2. Awang Zaki R. [05] 3. Gati Argo W. [07] 4. Ngesty Finesatiti [19] 5. Nisa Nur 'Aini A. SELAMAT PAGI KELOMPOK 2 1. Artha Vindy Febryan Pramesthi [04] 2. Awang Zaki R. [05] 3. Gati Argo W. [07] 4. Ngesty Finesatiti [19] 5. Nisa Nur 'Aini A. [20] RAS / ETNIS 1. Diferensiasi Sosial berdasarkan

Lebih terperinci

Kapata Arkeologi, 13(1), ISSN (cetak): ISSN (elektronik):

Kapata Arkeologi, 13(1), ISSN (cetak): ISSN (elektronik): Kapata Arkeologi, 13(1), 47-54 ISSN (cetak): 1858-4101 ISSN (elektronik): 2503-0876 http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id SEBELUM JALUR REMPAH: AWAL INTERAKSI NIAGA LINTAS BATAS DI MALUKU DALAM PERSPEKTIF

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Internasional Oleh : Andy Wijaya NIM :125110200111066 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki peranan penting

Lebih terperinci

GERABAH SITUS MANSINAM KAJIAN ETNOARKEOLOGI

GERABAH SITUS MANSINAM KAJIAN ETNOARKEOLOGI GERABAH SITUS MANSINAM KAJIAN ETNOARKEOLOGI Klementin Fairyo (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract The Process of vessels making in Mansinam site was not far too different with other places in Indonesia:

Lebih terperinci

BENTUK DAN TEKNOLOGI GERABAH DI SITUS DELUBANG DAN TOROAN PULAU MADURA Shape and Pottery Technology on Delubang dan Toroan Site Madura Island

BENTUK DAN TEKNOLOGI GERABAH DI SITUS DELUBANG DAN TOROAN PULAU MADURA Shape and Pottery Technology on Delubang dan Toroan Site Madura Island BENTUK DAN TEKNOLOGI GERABAH DI SITUS DELUBANG DAN TOROAN PULAU MADURA Shape and Pottery Technology on Delubang dan Toroan Site Madura Island Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina. Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar

Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina. Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina Ibukota Bentuk Pemerintahan Mata uang Bahasa resmi Lagu kebangsaan Agama Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar Ibukota Bentuk Pemerintahan Mata uang

Lebih terperinci

POLITIK DAN KONFLIK DI ASIA TENGGARA Nama Asia Tenggara merupakan sebuah istilah untuk merujuk kawasan Timur dari Asia, namun lebih dengan watak

POLITIK DAN KONFLIK DI ASIA TENGGARA Nama Asia Tenggara merupakan sebuah istilah untuk merujuk kawasan Timur dari Asia, namun lebih dengan watak POLITIK DAN KONFLIK DI ASIA TENGGARA Nama Asia Tenggara merupakan sebuah istilah untuk merujuk kawasan Timur dari Asia, namun lebih dengan watak Melayu daripada warna etnik China. Dalam batas tertentu

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, BAB 5 PENUTUP 5.1 Hasil Penelitian Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok, yaitu untuk menjawab pertanyaan mengenai sejak kapan permukiman di Depok telah ada, juga bagaimana

Lebih terperinci

ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN

ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN PENGANTAR ARSITEKTUR MINGGU - 1 TIM DOSEN : AP, LS, VW, RN, OI, SR DAFTAR PUSTAKA Apa Itu Kebudayaan? Kebudayaan Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang dipunyainya

Lebih terperinci

PROGRES PENELITIAN AUSTRONESIA DI NUSANTARA

PROGRES PENELITIAN AUSTRONESIA DI NUSANTARA PROGRES PENELITIAN AUSTRONESIA DI NUSANTARA Truman Simanjuntak Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Raya Condet Pejaten No. 4, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 simanjuntaktruman@gmail.com Abstrak. Penutur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Letak geografis Indonesia yang sangat strategis mengakibatkan adanya hubungan dengan daerah-daerah atau bangsa-bangsa lain di luar Indonesia. Kondisi tersebut sangat

Lebih terperinci

JEJAK KEJAYAAN BAHARI KARIMUNJAWA

JEJAK KEJAYAAN BAHARI KARIMUNJAWA JEJAK KEJAYAAN BAHARI KARIMUNJAWA Oleh: SOFWAN NOERWIDI Nenek Moyangku Orang Pelaut Gemar Mengarung Luas Samudra NEGARA MARITIM TERBESAR Berdasarkan sudut pandang geografis, Kepulauan Nusantara terletak

Lebih terperinci

DAUD ARIS TANUDIRJO JURUSAN ARKEOLOGI, FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

DAUD ARIS TANUDIRJO JURUSAN ARKEOLOGI, FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Peradaban pesisir dan pulau Belajar dari kejayaan masa lampau DAUD ARIS TANUDIRJO JURUSAN ARKEOLOGI, FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Jangan anggap masa lampau sebagai kenangan,

Lebih terperinci

TEMUAN BELIUNG DI KAWASAN DANAU: Studi Kasus di Kawasan Beberapa Ranu di Jawa Timur

TEMUAN BELIUNG DI KAWASAN DANAU: Studi Kasus di Kawasan Beberapa Ranu di Jawa Timur TEMUAN BELIUNG DI KAWASAN DANAU: Studi Kasus di Kawasan Beberapa Ranu di Jawa Timur STONE ADZES FROM LAKE REGION: Case Study in Some Lakes Region in East Java Province Gunadi Kasnowihardjo Balai Arkeologi

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Disusun untuk memenuhi tugas Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Dosen Pengampu: Dra. Murtiningsih, M.Pd. Oleh: Tabah Asmarani 13108244026 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan dan

Lebih terperinci

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN. Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn.

WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN. Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. WAWASAN BUDAYA NUSANTARA OBSERVASI SANGIRAN Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.Sn. Oleh: Muhammad Faried (14148116) Alim Yuli Aysa (14148137) Jurusan Seni Media Rekam Fakultas Seni Rupa dan Desain

Lebih terperinci

PRASEJARAH KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA, INDONESIA

PRASEJARAH KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA, INDONESIA Proposal Penelitian PRASEJARAH KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA, INDONESIA Oleh : Muhammad Nur UNIVERSITI SAINS MALAYSIA PENANG, MALAYSIA 2011 Proposal Penelitian PRASEJARAH KONAWE UTARA, SULAWESI TENGGARA,

Lebih terperinci

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil

Lebih terperinci

KONDISI W I L A Y A H

KONDISI W I L A Y A H KONDISI W I L A Y A H A. Letak Geografis Barito Utara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Kalimantan Tengah, berada di pedalaman Kalimantan dan terletak di daerah khatulistiwa yaitu pada posisi 4 o

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh.

BAB V PENUTUP. makna koleksi tersebut dalam konteks budaya tempat koleksi berasal. Perbedaan. koleksi epigrafi Jawa Kuno, dan koleksi etnik Aceh. BAB V PENUTUP Setelah dilakukan penelitian secara cermat dan mendalam dapat diketahui bahwa pemaknaan koleksi di Pameran Asia Tenggara memiliki perbedaan dengan makna koleksi tersebut dalam konteks budaya

Lebih terperinci

MUNCULNYA MASYARAKAT INDONESIA

MUNCULNYA MASYARAKAT INDONESIA MUNCULNYA MASYARAKAT INDONESIA 1. Asal Nama Indonesia 1. Hindia Herodotus (485-425 SM). 2. Nederlandsch Oost Indie Cornelis de Houtman Nederlandsch Indie. 3. Insulinde Edward Douwes Dekker : Multatuli

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH A.Pembentukan Tanah Pada mulanya, permukaan bumi tidaklah berupa tanah seperti sekarang ini. Permukaan bumi di awal terbentuknya hanyalah berupa batuan-batuan

Lebih terperinci

Antar Kerja Antar Negara (AKAN)

Antar Kerja Antar Negara (AKAN) Antar Kerja Antar Negara (AKAN) Antar kerja antar Negara (AKAN) juga tidak kalah penting untuk dianalisis mengingat kontribusi pekerja kategori ini yang umumnya dikenal dengan TKI terhadap perekonomian

Lebih terperinci

BENDA MUATAN ASAL KAPAL TENGGELAM SITUS KARANG KIJANG BELITUNG: SURVEI AWAL ARKEOLOGI BAWAH AIR

BENDA MUATAN ASAL KAPAL TENGGELAM SITUS KARANG KIJANG BELITUNG: SURVEI AWAL ARKEOLOGI BAWAH AIR BENDA MUATAN ASAL KAPAL TENGGELAM SITUS KARANG KIJANG BELITUNG: SURVEI AWAL ARKEOLOGI BAWAH AIR Harry Octavianus Sofian (Balai Arkeologi Palembang) Abstract Belitung island surrounded by two straits, the

Lebih terperinci

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan waktunya. Hal itu dimungkinkan oleh perubahan dan perkembangan pola kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara-negara dalam melakukan hubungan-hubungan yang sesuai kaidah hukum internasional tidak terlepas dari sengketa. Seperti halnya manusia sebagai makhluk individu,

Lebih terperinci

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA PULAU BALI 1. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8 3'40" - 8 50'48" Lintang Selatan dan 114 25'53" -

Lebih terperinci