2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Ciri Morfologi Menurut Bleeker (1850) in Fishbase dan Kottelat et al. (1993), klasifikasi ikan tilan adalah : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Superkelas : Osteichthyes Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Infrakelas : Teleostei Ordo : Perciformes Subordo : Mastacembelioidei Famili : Mastacembelidae Genus : Mastacembelus Spesies : Mastacembelus erythrotaenia Bleeker 1850 Gambar 1. Ikan tilan (M. erythrotaenia, Bleeker 1850) 3 cm Ikan tilan (M. erythrotaenia) memiliki beberapa nama sinonim yaitu Mastacembelus argus dan Macrognathus erythrotaenia; serta nama lokal iwak tilan di Sumatera Selatan dan tilan merah di Jambi (Wardoyo, 2002). Ikan dari famili Mastacembelidae mempunyai bentuk badan yang sangat panjang dan ekornya pipih datar, terdapat barisan duri kecil di sepanjang punggung yang terletak di depan jarijari sirip punggung, serta tidak memiliki sirip perut. Bentuk moncong memanjang, membentuk hidung mancung dan lubang hidungnya terletak di samping (Kottelat et al. 1993).
4 Ikan tilan berbentuk memanjang, memiliki corak khas di sisi tubuhnya terutama adanya beberapa warna merah dan kuning pada warna dasar tubuh cokelat (Wardoyo et al. 2002). Bagian kepala dan anterior tubuh terdapat pita merah dan hitam yang memanjang serta tubuhnya mempunyai ciri-ciri berupa bintik-bintik merah atau memanjang di atas dasar hitam (www.fishbase.org). Menurut Kottelat et al. (1993), rumus siripnya yaitu D XXXII-XXXV,68-76, A III,68-73. Ikan tilan memiliki jari-jari sirip ekor berjumlah 14-15 yang bersambung dengan sirip punggung dan sirip dubur. Bagian dasar dari sirip dorsal, sirip anal dan sirip ekor berwarna hitam. 2.2 Distribusi dan Habitat Ikan tilan hidup di substrat berpasir atau berlumpur dan lebih senang terhadap daerah dengan intensitas cahaya yang rendah dengan suhu 24-28 0 C dan ph 7 (Wardoyo et al. 2002). Ikan tilan senang menyendiri dan terdapat di sepanjang sungai tetapi lebih banyak ditemukan di sungai bagian hilir karena ikan tilan menyukai habitat yang masih dipengaruhi oleh pasang surut. Berdasarkan observasi pada daerah-daerah penangkapan di Sungai Batanghari bagian hilir, ikan ini senang hidup pada perairan tenang yang masih dipengaruhi oleh pasang surut (Wardoyo et al. 2002). Ikan tilan (M. erythrotaenia) tersebar di Asia yaitu dari Thailand dan Kamboja sampai ke Indonesia (www.fishbase.org). Di Kamboja ikan tersebut terdapat di Danau Besar dan Sungai Tonle Sap (Lim et al. 1999), sedangkan di Vietnam, ikan tilan (M. erythrotaenia) terdapat di Cagar Alam Lang Sen (Hoa et al. 2006). Ikan tilan juga terdapat di Afrika (Vreven, 2005). Di Indonesia, ikan ini banyak terdapat di Sungai Musi, Sungai Batanghari, Sungai Kapuas. Menurut Hadiaty (2001), di Kalimantan Barat ikan tilan tersebar di Cagar Alam Muara Kedawangan. 2.3 Hubungan Panjang Bobot Hubungan antara variabel panjang dan bobot pada ikan dapat diketahui dengan menggunakan analisis regresi. Rumus umum mengenai hubungan panjang bobot adalah W=aL b, dengan a dan b adalah konstanta yang diperoleh dari perhitungan regresi antara W (bobot) dan L (panjang) (Effendie, 1997). Jika
5 diperoleh b=3, maka pertambahan panjang ikan tersebut seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik). Nilai b=3 ditemui seperti pada ikan sasau (Hampala sp) dan ikan lelan (Osteochilus vittatus C.V.) di Danau Singkarak (Uslichah dan Syandri, 2003). Apabila diperoleh nilai b 3, maka pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya (allometrik) (Effendie, 1997). Nilai b 3 atau allometrik dapat berupa allometrik positif (b>3) dan allometrik negatif (b<3). Allometrik positif (b>3) seperti pada ikan Macrognathus pancalus di Sungai Gangga, India (Suresh et al. 2006) dan allometrik negatif (b<3) seperti pada ikan depik (Rasbora tawarensis) di stasiun Kebayakan Danau Laut Tawar, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Brojo et al. 2001). 2.4 Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan derivat pertumbuhan yang menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi merupakan keadaan atau kemontokan ikan yang diperoleh berdasarkan data-data panjang dan bobot. Lagler (1972) menyebutkan bahwa nilai dari faktor kondisi atau koefisien kondisi digunakan secara luas untuk menyatakan keadaan ikan yang relatif sehat atau kuat. Faktor kondisi (K) juga digunakan untuk melihat kemontokan ikan dalam bentuk angka. Effendie (1979) menyatakan bahwa variasi harga K (Faktor Kondisi) sangat ditentukan oleh makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad ikan. Wotton dan Potts (1984) memperkuat pernyataan tersebut bahwa ikan cenderung menggunakan energinya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, mengakibatkan ikan mengalami penurunan kondisi. Berdasarkan hasil penelitian Suresh et al. (2006), ikan M. pancalus yang merupakan ikan yang masih satu famili dengan ikan tilan (Mastacembelidae) mendapatkan bahwa nilai K ikan jantan lebih rendah daripada ikan betina. Wotton dan Potts (1984) menyatakan bahwa pertumbuhan ovarium dan pemijahan memiliki kaitan yang erat dengan penurunan pertumbuhan somatik. Penurunan ini setara dengan besarnya energi yang diperlukan untuk memproduksi ovum.
6 2.5 Aspek Reproduksi Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Beberapa aspek reproduksi ikan yaitu nisbah kelamin, faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur memberikan informasi mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963). 2.5.1 Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang terdapat di suatu perairan. Dalam suatu populasi, kondisi ideal adalah pada saat jumlah ikan jantan dan jumlah ikan betina berbanding seimbang (1:1). Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa pemijahan akan berlangsung baik dengan keadaan perbandingan jumlah ikan jantan dan betina mendekati 1:1. Kenyataan di alam, kondisi demikian jarang terjadi. Kondisi yang tidak ideal dalam suatu populasi dapat dikarenakan tingkah laku ikan yang suka bergerombol, perbedaan laju mortalitas dan juga perbedaan pertumbuhan. Nisbah kelamin ikan depik (Rasbora tawarensis) di perairan Danau Laut Tawar secara keseluruhan adalah 5:1 (Brojo et al. 2001), sedangkan nisbah kelamin ikan belanak adalah 1:1,6 atau 39% jantan dan 61% betina (Sulistiono et al. 2001). Selanjutnya Brojo dan Sari (2002) menjelaskan bahwa nisbah kelamin ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr.) adalah 1:1,1 atau mendekati nisbah kelamin yang seimbang antara ikan jantan dan ikan betina. 2.5.2 Tingkat kematangan gonad Kematangan gonad suatu individu sangat menentukan reproduksi dari individu ikan tersebut. Pembuahan dapat terjadi apabila gonadnya sudah benarbenar matang yang sempurna. Ikan yang telah dewasa ditandai dengan kematangan gonad dan didukung dengan ukuran panjang serta bobotnya. Pada saat ikan mulai berkembang, gonad betina (telur) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki tahap matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat pada saat matang (Royce, 1972).
7 Ukuran panjang ikan saat pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya terutama ketersediaan makanan, oleh karena itu ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak selalu sama (Effendie, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sulistiono et al. (2001), ukuran ikan belanak pada saat pertama kali matang gonad menunjukkan bahwa ikan jantan cenderung lebih cepat matang dibandingkan dengan ikan betina, yakni masing-masing pada ukuran panjang 120 mm dan 140 mm. Selanjutnya, Brojo dan Sari (2002) mengungkapkan bahwa ikan kurisi (Nemipterus tambuloides Blkr.) di Pandeglang digolongkan kedalam kelompok yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih dahulu dari pada ikan jantan sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda terutama terdiri dari ikan betina, sementara ikan-ikan yang lebih besar ukurannya adalah ikan jantan. 2.5.3 Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad merupakan perbandingan antara bobot gonad dengan bobot tubuh yang nilainya dinyatakan dalam persen. Bobot gonad akan semakin meningkat dengan meningkatnya ukuran gonad dan diameter telur. Bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung hingga selesai (Effendie, 1997). Indeks kematangan gonad diukur secara kuantitatif sehingga berbeda dengan kematangan gonad yang hanya diukur secara kualitatif. Pada ikan belanak, IKG ikan betina berkisar antara 0,81-12,79%, sedangkan pada ikan jantan IKG berkisar antara 0,21-1,31% (Sulistiono et al. 2001). Selanjutnya, Sulistiono et al. (2001) mengungkap bahwa nilai IKG ikan tersebut tergantung dari nilai kematangannya. Dewantoro dan Rachmatika (2004) menyatakan bahwa ikan paray (Rasbora aprotaenia) di beberapa sungai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun secara keseluruhan memiliki IKG yang relatif tinggi, ikan jantan (12,2-22,46%) dan ikan betina (10,47-13,48%).
8 2.5.4 Fekunditas dan diameter telur Fekunditas merupakan jumlah telur yang dikeluarkan ikan pada saat memijah (Effendie, 1997). Moyle dan Cech (2004) menyatakan bahwa secara umum pada setiap ikan, fekunditas akan meningkat sesuai dengan ukuran bobot tubuh ikan betina. Brojo et al. (2001) mengungkapkan hasil penelitian di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah bahwa pada ikan depik (Rasbora tawarensis), IKG akan semakin besar seiring dengan meningkatnya TKG. Fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya, apabila ikan hidup di kondisi yang banyak ancaman predator maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas akan semakin tinggi sebagai bentuk upaya untuk mempertahankan regenerasi keturunannya, sedangkan ikan yang hidup di habitat yang sedikit predator maka telur yang dikeluarkan akan sedikit atau fekunditas rendah. Terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran telur, maka fekunditasnya semakin tinggi begitu pula sebaliknya. Sulistiono et al. (2001) meyatakan bahwa pada ikan belanak (Mugil dussumieri), fekunditas pada TKG III bervariasi antara 27.117-150.466 butir telur, fekunditas maksimum pada ikan berukuran 177 mm dan minimum 140 mm, sedangkan pada TKG IV fekunditas berkisar antara 41.237-323.200 butir telur, fekunditas maksimum terdapat pada ikan berukuran 280 mm dan minimum pada 142 mm. Dewantoro dan Rachmatika (2004) mengungkapkan bahwa fekunditas rata-rata ikan paray (Rasbora aprotaenia) dari sungai-sungai yang diamati berkisar antara 1.357-2.402 butir. Selanjutnya Brojo et al. (2001) mengungkapkan hasil penelitian di Danau Laut Tawar, Aceh Tengah bahwa pada ikan depik (Rasbora tawarensis) memiliki fekunditas 1.686-4.662 butir (TKG III dan IV). Effendie (1979) mengungkapkan bahwa dengan semakin meningkatnya TKG, akan semakin besar pula diameter telurnya. Pada ikan sasau (Hampala sp.), fekunditasnya berkisar antara 88.442 butir sampai dengan 143.155 butir per ekor dengan nilai rataan 128.155 butir, sedangkan pada ikan lelan (Osteochilus vittatus) fekunditasnya berkisar antara 28.140 sampai dengan 129.042 butir per ekor dengan nilai rataan 78.155 butir (Syandri dan Uslichah, 2003). Nilai tersebut menunjukkan potensi telur yang dihasilkan untuk suatu pemijahan.